Hubungan Efikasi Diri Terhadap Tindakan Perawatan Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Diabetes Melitus

2.1.1. Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit atau
gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik
pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan
kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah (PERKENI, 2011 dan ADA, 2014).
DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara normal
bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah dan glukosa dibentuk di hati dari
makanan yang dikonsumsi. Insulin, merupakan suatu hormon yang diproduksi
oleh pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur
produksi dan penyimpanannya (Smeltzer dan Bare, 2010).
Sedangkan menurut WHO (2015) dikatakan bahwa DM merupakan

penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang
dihasilkannya secara efektif. Lanywati (2011) juga menjelaskan bahwa penyakit
DM, kencing manis atau penyakit gula, merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada sistem metabolisme
karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam tubuh.
Kesimpulannya, DM merupakan gangguan metabolisme karbohidrat,
protein,

dan

lemak

yang

ditandai

dengan

karakteristik


hiperglikemia,

makroangiopati, mikroangiopati, dan neuropati. Hiperglikemia terjadi karena
akibat dari kekurangan insulin atau menurunnya kerja insulin.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi
DM dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori klinis, yaitu: DM tipe
1, DM tipe 2, DM tipe tertentu, dan DM gestasional (ADA, 2014 ; Smeltzer dan
Bare, 2010).
a. DM tipe 1
DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus),
dapat terjadi disebabkan karena adanya kerusakan sel-β, biasanya
menyebabkan kekurangan insulin absolut yang disebabkan oleh proses
autoimun atau idiopatik. Umumnya penyakit ini berkembang ke arah
ketoasidosis diabetik yang menyebabkan kematian. DM tipe 1 terjadi
sebanyak 5-10% dari semua DM. DM tipe 1 dicirikan dengan onset yang
akut dan biasanya terjadi pada usia ฀30 tahun (ADA, 2014 ; Smeltzer dan

Bare, 2010).
b. DM tipe 2
DM tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus), dapat terjadi karena kerusakan progresif sekretorik insulin akibat
resistensi insulin. DM tipe 2 juga merupakan salah satu gangguan
metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak cukup
jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan tidak berespon terhadap
insulin tersebut. DM tipe 2 mengenai 90-95% pasien dengan DM.
Insidensi terjadi lebih umum pada usia ฀30 tahun, obesitas, herediter, dan
faktor lingkungan. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi
komplikasi (ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).
c. DM tipe tertentu
DM tipe ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya, defek
genetik pada fungsi sel-β, defek genetik pada kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), penyakit
metabolik endokrin, infeksi, sindrom genetik lain dan karena disebabkan
oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ) (ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).

Universitas Sumatera Utara


d. DM gestasional
DM ini merupakan DM yang didiagnosis selama masa kehamilan,
dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan.
Terjadi pada 2-5% semua wanita hamil tetapi hilang saat melahirkan
(ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).
Klasifikasi Etiologis DM (ADA, 2014) :
I. Diabetes Melitus Tipe 1
(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut): (1) Melalui
proses imunologik, (2) Idiopatik
II. Diabetes Melitus Tipe 2 : (Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi
insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin)
III. Diabetes Melitus Tipe Lain
A. Defek Genetik fungsi sel Beta :
- Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)
- DNA Mitochondria, dan lainnya
B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism,
sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, fibrosis
kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro, kalkulus, dan lainnya
D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma,
hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormon tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilatin, interferon alfa
F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi (jarang) : Sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptor insulin
H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner,
Sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington, Porfiria,
Sindrom Prader Willi, lainnya
IV. Diabetes kehamilan

Universitas Sumatera Utara

2.1.3. Faktor Risiko

Menurut PERKENI (2011), faktor risiko DM tipe 2 terdiri dari faktor
risiko yang tidak bisa dimodifikasi, yang bisa dimodifikasi dan faktor lain yang
terkait dengan risiko DM tipe 2.
a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu:
i. Ras dan etnik
ii. Riwayat keluarga dengan DM
iii. Umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya umur, umur ฀45 tahun harus dilakukan
pemeriksaan DM)
iv. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi ฀4000 gram
atau riwayat pernah menderita gestasional
v. Riwayat lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang
lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal)
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu:
i. Berat badan lebih (IMT ฀23 kg/m²)
ii. Kurangnya aktivitas fisik
iii. Hipertensi (฀140/90 mmHg)
iv. Dislipidemia (HDL ฀35 mg/dL dan atau trigliserida ฀250 mg/dL)
v. Diet yang tidak sehat (unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan

rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes atau
intoleransi glukosa dan DM tipe 2
c. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM tipe 2 yaitu:
i.

Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin

ii. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
iii. Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,
penyakit jantung koroner (PJK), atau Peripheral Arterial Diseases (PAD)
(PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4. Patofisiologi
DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik
utama adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya
belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat


penting

dalam munculnya DM tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktorfaktor lingkungan seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet, dan
tingginya kadar asam lemak bebas (ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).
Mekanisme terjadinya DM tipe 2 umumnya disebabkan karena resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terjadi peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan (ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadi DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin
yang merupakan ciri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan

jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM
tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol akan menimbulkan
masalah akut lainnya seperti sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik
(HHNK) (Smeltzer dan Bare, 2010).
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahuntahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika
gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan,
iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama sembuh, infeksi

Universitas Sumatera Utara

vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Salah satu
konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit DM selama bertahun-tahun adalah
terjadinya komplikasi DM jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati
perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis
ditegakkan (Smeltzer dan Bare, 2010).

2.1.5. Gejala Klinis
Pada awalnya, penderita sering kali tidak menyadari bahwa dirinya
menghidap DM, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Namun, harus

dicurigai adanya DM jika seseorang mengalami gejala dan tanda-tanda DM.
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala akut dan
gejala kronik (PERKENI, 2011) :
a. Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap penderita, bahkan
mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.
Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu
banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing
(poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul
gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau
berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu),
mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual
(PERKENI, 2011).
b. Gejala kronik penyakit DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal
di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti
kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama pada wanita, gigi mudah
goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun, dan para ibu hamil
sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau

dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.6. Diagnosis
Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM tipe 2. Kecurigaan
adanya DM tipe 2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM tipe 2
seperti berikut:


Keluhan klasik DM tipe 2 berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.



Keluhan lain dapat berupa: badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
(PERKENI, 2011).

Diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui:


Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM tipe 2.



Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan
adanya keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam.



Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO
≥200mg/dL (11,1 mmol/L). Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma
puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.



Tes hemoglobin-glikosilat/ HbA1C. Terdiagnosis DM tipe 2 jika nilai
HbA1C ≥6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang
menggunakan

metode

yang

bersertifikat

NGSP

(National

Glycohemoglobin Standardization Program) dan standar untuk uji DCCT
(Diabetes Control and Complications Trial) (ADA, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 : Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi
glukosa.
Sumber : PERKENI, 2011.

2.1.7. Penatalaksanaan
Pengelolaan dan pencegahan penyakit DM tipe 2 dimulai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu).
Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.
Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, seperti
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya
ketonuria,

insulin dapat segera diberikan.

Menurut PERKENI (2011),

penatalaksanaan dan pengelolaan DM pada penderita DM tipe 2 dititik beratkan

Universitas Sumatera Utara

pada 4 pilar penatalaksanaan yaitu: edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani,
dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011).
a. Edukasi
DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang DM tipe 2
memerlukan partisipasi aktif dari pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien dalam melakukan perubahan perilaku
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Edukasi
merupakan aspek yang sangat penting dalam mengelola DM. Tujuan dari
edukasi DM adalah mendukung usaha pasien penyandang DM untuk
mengerti perjalanan penyakitnya dan pengelolaannya serta perubahan
perilaku atau kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Pengetahuan atau
edukasi tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).
Antara edukasi yang diberikan kepada pasien adalah:


Makan makanan sehat dan bersih.



Melakukan kegiatan jasmani secara betul dan teratur.



Menggunakan obat DM dan obat-obat pada keadaan khusus secara
aman dan teratur.



Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan
data yang ada.



Melakukan perawatan kaki secara berkala dan teratur.



Mengelola DM dengan tepat.



Dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan yang ada.

b. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan DM tipe 2 secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim yaitu, dokter, ahli gizi,

Universitas Sumatera Utara

petugas kesehatan yang lain, serta pasien dan keluarganya. Setiap
penyandang DM tipe 2 sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang DM tipe 2 hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang
DM tipe 2 perlu ditekankan tentang pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari: karbohidrat yang dianjurkan sebesar
45-65% total asupan energi, asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25%
kebutuhan kalori, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi,
anjuran asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
gram (1 sendok teh garam dapur), anjuran konsumsi serat adalah ±25
gr/hari, dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake/ADI). Kebutuhan kalori disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, umur, jenis kelamin, aktivitas fisik dan kegiatan
jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal
(PERKENI, 2011).
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur adalah 3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk penderita yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah

Universitas Sumatera Utara

mendapat komplikasi DM tipe 2, maka intensitas latihan jasmani dapat
dikurangi. Penderita dianjurkan untuk menghindari kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).
Menurut ADA (2012), ada beberapa pedoman umum untuk melakukan
latihan jasmani pada pasien DM tipe 2 yaitu:


Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu alat pelindung kaki
lainnya.



Hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau dingin.



Periksa kaki setelah melakukan latihan.



Hindari latihan pada saat pengendalian metabolik buruk.

d. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis merupakan salah satu bagian penatalaksanaan DM
tipe 2 yang sangat penting. Intervensi farmakologis ditambahkan jika
sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Obat-obatan yang digunakan untuk
penderita DM tipe 2 adalah obat hipoglikemik oral (OHO), suntikan, dan
terapi kombinasi (PERKENI, 2011).
i.

Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan :
-

Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan
glinid

-

Peningkat

sensitivitas

terhadap

insulin

:

metformin

dan

tiazolidindion
-

Penghambat glukoneogenesis (metformin)

-

Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

-

DPP-IV inhibitor

Cara pemberian OHO:
-

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
optimal.

-

Sulfonilurea : 15 – 30 menit sebelum makan.

Universitas Sumatera Utara

-

Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.

-

Metformin : sebelum/ pada saat/ sesudah makan.

-

Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan
pertama.

-

Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

-

DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.

ii. Suntikan
-

Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :


Penurunan berat badan yang cepat atau drastis



Hiperglikemia berat yang disertai ketosis



Ketoasidosis diabetik



Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik



Hiperglikemia dengan asidosis laktat



Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal



Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)



Kehamilan dengan DM atau DM gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan



Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat



Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Efek samping terapi insulin :


Efek

samping

utama

terapi

insulin

adalah

terjadinya

hipoglikemia.


Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap
insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin.

-

Agonis GLP-1/incretin mimetic
Pengobatan

dengan

dasar

peningkatan

GLP-1

merupakan

pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat

Universitas Sumatera Utara

bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat
badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat
penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Obat itu digunakan pada seekor binatang untuk
percobaan dan obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas.

Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini

antara lain adalah rasa sebah dan muntah.
iii. Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, dan kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan
respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet
dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian
OHO tunggal atau kombinasi OHO. Terapi dengan OHO
kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa
darah belum tercapai, dapat diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau
insulin kerja panjang). Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik. Bila
dengan cara seperti diatas kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan lalu diberikan terapi
kombinasi insulin (PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.8. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe 2 akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 terbagi dua
berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Smeltzer dan Bare, 2010 ; PERKENI, 2011).
a. Komplikasi akut
Terdapat 3 komplikasi akut pada pasien DM tipe 2 yaitu : Ketoasidosis
diabetik (KAD), Hiperosmolar non ketotik (HNK), dan hipoglikemia
(PERKENI, 2011).
i.

Ketoasidosis diabetik (KAD)

KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)
kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi
peningkatan anion gap (PERKENI, 2011).
ii. Hiperosmolar non ketotik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma
sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap
normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2011).
iii. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah ฀60
mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan
mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari
berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa lapar, pusing, gelisah,
dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2011) .
b. Komplikasi kronik
Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien DM
saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih lama.
Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya komplikasi kronik. Kategori umum komplikasi

Universitas Sumatera Utara

jangka panjang terdiri dari komplikasi makrovaskular, komplikasi
mikrovaskular, dan neuropati

(Smeltzer dan Bare, 2010 ; PERKENI,

2011).
i.

Komplikasi makrovaskular

Komplikasi makrovaskular pada DM terjadi akibat aterosklerosis dan
pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan
plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada DM namun dapat
timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi
epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit
kardiovaskular dan penderita DM meningkat 4-5 kali dibandingkan
orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada
hubungan dengan kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah
terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu
faktor resiko mortalitas kardiovaskular dimana peninggian kadar
insulin dapat menyebabkan terjadinya risiko kardiovaskular menjadi
semakin tinggi. Kadar insulin puasa >15 mU/mL akan meningkatkan
risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Makroangiopati,
mengenai pembuluh darah besar antara lain adalah pembuluh darah
jantung atau penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak atau
stroke, dan penyakit pembuluh darah. Hiperinsulinemia juga dikenal
sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam
timbulnya komplikasi makrovaskular (Permana, 2009).
ii. Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada pembuluh
darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari retinopati diabetik dan
nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2 kelompok, yaitu
retinopati non proliferatif dan retinopati proliferatif. Retinopati non
proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan
adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya
hipoksia retina. Seterusnya, nefropati diabetik adalah gangguan fungsi

Universitas Sumatera Utara

ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah. Nefropati diabetik
ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat
retinopati dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekulmolekul besar seperti protein dapat masuk ke dalam kemih
(albuminuria).

Akibat

dari

nefropati

diabetik

tersebut

dapat

menyebabkan kegagalan ginjal progresif dan upaya preventif pada
nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah
(Permana, 2009).
iii. Neuropati
Diabetes neuropati adalah kerusakan saraf sebagai komplikasi serius
akibat DM. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah
neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal dan biasanya
mengenai kaki terlebih dahulu, lalu ke bagian tangan. Neuropati
berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang
sering dirasakan adalah kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan,
pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya
polineuropati distal. Apabila ditemukan adanya polineuropati distal,
perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi.
Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki
(PERKENI, 2011).

2.2.

Perawatan Kaki
Perawatan kaki menjadi bagian dari pencegahan komplikasi kronik dari

kaki. Antara komponen dari perawatan kaki yang dianjurkan bagi penderita DM
tipe 2 adalah (NDEP, 2014 dan Indian Health Diabetes Best Practice, 2011) :
1. Memeriksa kondisi kaki setiap hari dengan cara:
a. Mencuci tangan sebelum memeriksa keadaan kaki.

Universitas Sumatera Utara

b. Kenali kondisi telapak dan punggung kaki dari tanda-tanda seperti:
kering dan pecah-pecah, lepuh, luka, kemerahan, teraba hangat dan
bengkak saat diraba.
c. Kenali adanya bentuk kuku yang tumbuh kearah dalam (ingrown
toenails), kapalan dan kalus.
d. Gunakan cermin jika tidak dapat melihat bagian telapak kaki.
e. Jika terdapat tanda-tanda diatas, pasien harus segera ke tenaga
kesehatan khusus untuk mendapat perawatan kaki lebih awal.
2. Menjaga kebersihan kaki setiap hari dengan cara:
a. Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan menggunakan air
suam.
b. Cek suhu air sebelum digunakan untuk mencuci kaki dengan
menggunakan siku jari tangan untuk dicelupkan ke dalam air.
c. Merendamkan kaki dengan air hangat di dalam Waskom selama 2-3
menit.
d. Bersihkan dengan menggunakan sabun lembut sampai ke sela-sela jari
kaki sambil dipijit dengan lembut.
e. Jika kuku kaki kotor, sikat kuku kaki dengan menggunakan sikat kuku
dan sabun.
f. Membilas kaki dengan menggunakan air hangat.
g. Mengeringkan kaki dengan menggunakan kain bersih yang lembut
sampai ke sela jari kaki.
h. Saat memakai pelembab, usahakan tidak menggosok tetapi dianjurkan
dengan cara memijat pada telapak kaki.
3. Menggunting kuku yang baik dan benar dengan cara:
a. Menggunting kuku kaki minimal 1 minggu 1 kali.
b. Menggunting kuku dengan hati-hati, jangan sampai melukai kulit.
c. Menggunting kuku lebih mudah dilakukan sesudah mandi, sewaktu
kuku lembut.
d. Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa karena dapat
menyebabkan luka pada kaki.

Universitas Sumatera Utara

e. Gunakan gunting kuku yang dikhususkan untuk memotong kuku.
f. Gunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki
secara lurus.
g. Jangan gunakan cat kuku.
h. Kuku kaki yang menusuk daging dan kapalan, hendaklah diobati oleh
dokter.
4. Penggunaan dan pemilihan alas kaki yang tepat dengan cara:
a. Melindungi kaki anda dengan selalu menggunakan alas kaki baik di
dalam maupun di luar ruangan.
b. Alas kaki yang baik adalah sepatu karena dapat melindungi kaki secara
penuh.
c. Alas kaki harus terbuat dari bahan yang lembut untuk kaki, dan tidak
keras.
d. Pilih sepatu dengan ukuran yang sesuai dan ujung tertutup.
e. Jangan memaksakan kaki menggunakan sepatu yang tidak sesuai
dengan ukuran kaki (kebesaran/kekecilan).
f. Memeriksa bagian dalam sepatu sebelum digunakan.
g. Bagi wanita, jangan gunakan sepatu dengan hak yang terlalu tinggi
karena dapat membebani tumit kaki.
h. Jika anda menggunakan sepatu baru, maka harus dipakai secara
berangsur-angsur dan hati-hati.
i. Jari kaki harus masuk semua kedalam sepatu, tidak ada yang menekuk.
j. Dianjurkan memakai kaos kaki terutama jika kaki terasa dingin.
k. Memakai kaos kaki yang bersih dan mengganti setiap hari.
l. Kaos kaki terbuat dari bahan wol atau katun. Jangan memakai kaos
kaki yang terbuat dari bahan sintesis, karena bahan ini menyebabkan
kaki berkeringat.
5. Pencegahan cedera pada kaki:
a. Selalu memakai alas kaki yang lembut baik di dalam ruangan maupun
di luar ruangan.
b. Selalu memeriksa dalam sepatu atau alas kaki sebelum memakainya.

Universitas Sumatera Utara

c. Selalu mengecek suhu air ketika ingin menggunakan, caranya dengan
menggunakan siku jari.
d. Hindari merokok untuk pencegahan kurangnya sirkulasi darah ke kaki.
e. Hindari menekuk kaki dan melipat kaki terlalu lama.
f. Hindari berdiri dalam satu posisi kaki untuk waktu yang lama.
g. Melakukan senam kaki secara rutin.
h. Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki setiap
kontrol walaupun ulkus kaki diabetik sudah sembuh.
6. Pengelolaan cedera awal pada kaki:
a. Jika ada lecet, tutup luka atau lecet tersebut dengan kain kasa kering
setelah diberikan antiseptic (povidon iodine) di area cedera.
b. Segera mencari tim kesehatan khusus yang menangani kesehatan kaki
diabetes jika luka tidak sembuh.

2.3.

Efikasi Diri (Self Efficacy)

2.3.1. Definisi Efikasi Diri
Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori
sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri
adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu
tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri
merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengelola
penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang apakah akan
memulai atau tidak untuk melakukan perawatan dirinya (Holman dan Lorig, 1992;
Nyunt et al., 2010).
Bandura (1982 dalam Kott, 2008) menegaskan bahwa seseorang yang
memiliki efikasi diri yang kuat akan menetapkan tujuan yang tinggi dan
berpegang teguh pada tujuannya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki efikasi diri
yang lemah akan berkomitmen lemah pada tujuannya. Efikasi diri mendorong
proses kontrol diri untuk mempertahankan prilaku yang dibutuhkan dalam
mengelola perawatan diri pada pasien DM.

Universitas Sumatera Utara

Efikasi diri adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu meraih
hasil yang diinginkan, seperti penguasaan suatu keterampilan baru atau mencapai
suatu tujuan (Wade, 2008).
Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi
diri (self-efficacy) merupakan suatu keyakinan individu akan kemampuan dirinya
untuk melakukan tugas-tugas perawatan diri dan berusaha untuk mencapai
tujuannya dengan baik. Secara khusus, efikasi diri pada pasien DM dalam
pendekatan intervensi keperawatan difokuskan pada keyakinan pasien akan
kemampuannya untuk mengelola, merencanakan, memodifikasi perilaku sehingga
memiliki kualitas hidup yang baik.

2.3.2. Sumber Efikasi Diri
Bandura (1994) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari,
dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Sumber-sumber efikasi diri
tersebut adalah:
a. Mastery experiences (Pengalaman keberhasilan).
Sumber informasi ini memberikan pengaruh besar pada efikasi diri
individu karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadi individu
secara nyata yang berupa keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman
keberhasilan akan menaikkan efikasi diri individu, sedangkan pengalaman
kegagalan akan menurunkannya. Pengalaman keberhasilan individu ini
meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi
kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.
b. Vicarious experiences (Pengalaman orang lain).
Yaitu mengamati prilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses
belajar individu. Melalui model ini efikasi diri individu dapat meningkat,
terutama jika ia merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan
merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subyek belajarnya. Ia
akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang
sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini dapat meningkatkan motivasi
untuk mencapai suatu prestasi.

Universitas Sumatera Utara

c. Social persuasion (Persuasi sosial).
Persuasi sosial dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak
atau berperilaku. Dengan persuasi sosial, individu mendapat sugesti bahwa
ia mampu mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang
yang senantiasa diberikan keyakinan dengan dorongan untuk sukses, maka
akan menunjukkan perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan
sebaliknya seseorang dapat menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti
buruk dari lingkungannya.
d. Physiological and emosional state (Kondisi fisik dan emosional).
Yaitu situasi yang menekan kondisi emosional. Ketegangan fisik
dalam situasi yang menekan dipandang individu sebagai suatu tanda
ketidakmampuan karena hal itu dapat melemahkan perfomansi kerja
individu. Karena itu, efikasi diri tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya
tingkat stres dan kecemasan. Sebaliknya, efikasi diri yang rendah ditandai
oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi.

2.3.3. Dimensi Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997), efikasi diri terdiri dari 3 dimensi, yaitu:
a. Magnitude (tingkat kesulitan tugas)
Dimensi ini berfokus pada tingkat kesulitan yang dihadapi oleh
seseorang terkait dengan usaha yang dilakukan. Dimensi ini berimplikasi
pada pemilihan perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi
efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan
tugas tertentu yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan
menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas
kemampuannya.
b. Generality (generalitas)
Generalitas berkaitan dengan luas cakupan tingkah laku diyakini
oleh individu mampu dilaksanakan. Keyakinan individu terhadap
kemampuan dirinya bergantung pada pemahaman kemampuan dirinya,

Universitas Sumatera Utara

baik yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun pada
serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.
c. Strength (kekuatan keyakinan)
Aspek yang berkaitan dengan kekuatan keyakinan individu atas
kemampuannya. Penghargaan yang kuat dan mantap pada individu akan
mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan walaupun
mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang.
Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri
akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak
menunjang. Dimensi ini berkaitan langsung dengan tingkat dimensi, yaitu
semakin tinggi tingkat kesulitan tugas, semakin lemah keyakinan yang
dirasakan untuk menyelesaikannya.

2.3.4. Efikasi Diri Pada DM
Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah jembatan antara mengetahui
apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu, efikasi diri
juga menjadi dasar untuk meningkatkan efektivitas pendidikan DM karena
berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijil dan Shortridge-Baggett, 2014;
Wu, 2007). Efikasi diri merupakan keyakinan individu tentang kemampuan
pribadi terhadap kinerja perilaku. Dalam hal manajemen diri DM, efikasi diri
adalah keyakinan pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai
perilaku manajemen diri DM (Al-Khawaldeh et al., 2012). Efikasi diri adalah
prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri DM, seseorang yang hidup
dengan DM yang memiliki tingkat efikasi diri yang lebih tinggi akan
berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri DM yang lebih baik (Hunt et al.,
2012).

2.3.5. Pengukuran Efikasi Diri Pada DM Tipe 2
The Diabetes Management Self-Efficacy Scale for type 2 DM (DMSES)
Dutch/English Version untuk pasien DM tipe 2 merupakan pengukuran efikasi diri
pasien DM yang dikembangkan oleh Van der Bijil dan Shortridge-Bagget (1999

Universitas Sumatera Utara

dalam Kott, 2008).

Skala

ini juga telah dikembangkan dalam versi

Australia/Inggris oleh McDowell et al. (2005), dan dalam versi Inggris oleh Sturt
et al, (2010). DMSES didesain untuk mengukur efikasi diri pasien DM tipe 2.
Instrumen ini khusus untuk pasien DM tipe 2, pernyataan mudah dimengerti
karena merupakan pernyataan positif.

Universitas Sumatera Utara