KADAR INTERLEUKIN - 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN - 6 / INTERLEUKIN - 10 PLASMA YANG TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN.

(1)

DISERTASI

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI

DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 /

INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA

PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

DEFISIENSI ESTROGEN

I KETUT SUYASA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

DISERTASI

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI

DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 /

INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA

PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

DEFISIENSI ESTROGEN

I KETUT SUYASA NIM 1390271014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii !

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI

DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 /

INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG TINGGI

MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA

OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA

PENDERITA WANITA PASCA MENOPAUSE

DEFISIENSI ESTROGEN

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor

dalam Bidang Ilmu Kedokteran Biomedik, Program Studi Ilmu Kedokteran, pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dipertahankan di hadapan Sidang Khusus Badan Perwakilan Program Pascasarjana Universitas Udayana

I KETUT SUYASA NIM 1390271014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii !

Lembar Pengesahan

NASKAH DISERTASI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 25 JULI 2016

Promotor

Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp B., Sp OT (K) NIP: 194809091979031002

Kopromotor I, Kopromotor II,

Prof. Dr.dr. I Made Bakta, Prof. Dr.dr. I Gde Raka

Sp PD-KHOM Widiana, Sp PD-KGH

NIP: 19480628 197903 1 001 NIP:19560707 198211 1 001

Mengetahui

Direktur Ketua Program Studi Doktor Program Pascasarjana Ilmu Kedokteran

Universitas Udayana Program Pascasarjana Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. Anak Agung Dr. dr. Bagus Komang Raka Sudewi, Sp S(K) Satriyasa, M. Repro


(5)

iv !

Naskah Ujian Tertutup ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran

Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 25 April 2016

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1594/UN14.4/HK/2016

Tanggal : 15 April 2016

Panitia Penguji Ujian Tertutup adalah:

Ketua : Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M Kes., Sp OT (K) Anggota : Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp B, Sp OT (K)

Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp PD-KHOM Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp PD-KGH

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp S (K) Dr. dr. Luthfi Gatam, Sp OT (K)

Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph D Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M Si


(6)

v !!

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini saya:

Nama : dr. I Ketut Suyasa Sp B, Sp OT (K) NIM : 1390271014

Program Studi : Program Doktor Pogram Studi Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana Konsentrasi : Ilmu Kedokteran Biomedik

Alamat : Jalan Dahlia No. 33 Denpasar Bali Indonesia E-mail : iksysa@gmail.com

Handphone : 081558724088 / 087862400166

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi saya ini bebas plagiat dan jika di kemudian hari terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang – undangan yang berlaku.

Denpasar, 18 April 2016 yang membuat pernyataan


(7)

vi !

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kerta wara nugraha-Nya, desertasi ini dapat terselesaikan. Perkenankan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT(K) sebagai promotor yang penuh dengan kesabaran dan ketulusan hati serta penuh perhatian telah memberikan bimbingan dan dorongan semangat serta saran - saran selama penulis mengikuti pendidikan program doktor sampai dengan penyelesaian desertasi ini. Begitu pula penghargaan dan rasa terima kasih kami yang sebesar – besarnya kami sampaikan kehadapan Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM sebagai Kopromotor I dan Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH sebagai Kopromotor II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan desertasi ini.

Terima kasih juga kami sampaikan kehadapan Bapak Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku direktur program pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A, selaku Asisten Direktur I dan Prof. Made Sudiana Mahendra, PhD, selaku Asisten Direktur II Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M. Repro dan Dr. dr.


(8)

vii !

Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, Sp.BS selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana serta Dr. dr. I Wayan Sutirta Yasa, M.Si dan Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si., Sp.MK (K) selaku mantan Ketua dan Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes sebagai Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar atas izin yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti Program Doktor ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB., SpOT (K), Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM, Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp.PD-KGH, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Dr. dr. Luthfi Gatam, Sp.OT (K), Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, sebagai penguji disertasi ini mulai dari tahap awal sampai ujian terbuka, atas semua masukan dan bimbingannya yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan semangat, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga penulis sampaikan kepada teman sejawat di Sub Bagian/SMF Orthopaedi dan Traumatologi FK Unud/RSUP


(9)

viii !

Sanglah atas kerja sama, kerelaan hati dan dukungannya yang dengan tulus menggantikan tugas-tugas yang menjadi beban pekerjaan penulis selama mengikuti pendidikan sehingga mendapat kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan doktor ini. Utamanya kepada dr. K. G. Mulyadi Ridia, Sp.OT (K), dr. Wayan Suryanto Dusak, Sp.OT (K), dr. Made Bramantya Karna, Sp.OT (K), dr. I Gst. Ngr. Wien Aryana, Sp.OT, dr. Cokorda Gd Oka Dharmayuda, Sp.OT (K), dr. I Gst. L. N. A. Artha Wiguna, Sp.OT (K), dr. I Gd Eka Wiratnaya, Sp.OT, dr. A. A. Gd Yuda Asmara, Sp.OT, dr. Kadek Ayu Candra Dewi, Sp.OT, dr. I Wayan Subawa, Sp.OT, penulis ucapkan banyak terima kasih atas bantuannya dalam penyusunan disertasi ini. Terima kasih juga penulis tujukan kepada seluruh residen PPDS Orthopaedi dan Traumatologi atas dukungan dan bantuan selama proses penelitian dan penyusunan disertasi ini, serta kepada Made Sujani, Ni Ketut Budiasih, Ketut Ari Fibrianingsih, A. A. Dwi Kartika Mahadewi, Kadek Widianingsih yang telah banyak membantu dalam penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih pula kepada dr. H. M. Danun, Sp.Rad (K) dan Dr. dr. Elysanti D.M., Sp.Rad, Dr. dr. A.A. Wiradewi Lestari Sp.PK, Dr. dr. Sianny Herawati, Sp.PK, Ibu Alit Ardani, I Ketut Gede Adi Santika, Amd.Ak dan Ni Wayan Meni atas bantuannya selama penelitian ini dilaksanakan. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada Kepala Dinas Kesehatan kota Denpasar, Kepala Puskesmas 2 Denpasar Utara, Kepala Puskesmas 3 Denpasar Timur, Kepala Puskesmas 1 Kuta beserta staf dan ibu – ibu responden penelitian. Demikian pula guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.


(10)

ix !

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar – sebesarnya kepada Ayahanda Kapten Polisi (Purn) I Wayan Surpha, SH (Almarhum) dan Ibunda tercinta Ni Nengah Murtiasih Sulasmi, yang telah mengasuh, membesarkan penulis dan selalu memberi dorongan untuk terus maju menuntut ilmu dengan penuh disiplin dan kasih sayang hingga sampai pada jenjang pendidikan doktor. Demikian pula terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak mertua I G.N. Sudana (almarhum) dan Ibu mertua Ni Wayan Sumiati yang selalu memberikan dorongan dan dukungan kepada penulis dalam menempuh pendidikan ini.

Akhirnya penulis juga menyampaikan terima kasih kepada istri tercinta Ir. Gusti Ayu Aryani yang dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu mendampingi penulis selama ini, serta anak – anak tercinta Putu Ayu Suryani, I Made Agus Satrya Wibawa dan I Nyoman Adi Satya Wiradharma yang telah ikut memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini. Demikian pula terima kasih kepada semua saudara tersayang I Wayan Suambara, SH, MM, Ir. Ni Luh Wayan Suparmi, MMA, I Made Sudharma, S.Sos, SH,MM,MH, dr. Ni Nyoman Ayu Sutrini, SpKK, M.Repro termasuk semua ipar, sepupu yang telah memberikan dorongan semangat dan dukungan moril selama penulis menjalani pendidikan.


(11)

x !!

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulisan dalam mengikuti pendidikan doktor dan penyelesaian desertasi ini.

Denpasar, 25 April 2016 Penulis


(12)

xi !

ABSTRAK

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama daerah lumbal disebut osteoarthritis lumbal. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab terjadinya OA lumbal, di antaranya akibat perubahan hormonal utamanya estrogen pada wanita pasca menopause. Di samping perubahan hormonal akibat proses degenerasi, nyeri pinggang bawah akibat OA lumbal dapat diakibatkan oleh karena proses inflamasi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkuat teori inflamasi dan peran biomarker sebagai patogenesis osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan membuktikan peran COMP serum, IL-6 dan IL-10 plasma sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

Telah dilakukan studi kasus kontrol untuk mengetahui peran COMP serum, IL-6 dan IL-10 plasma sebagai faktor risiko terjadinya OA lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Studi dilaksanakan di RSUP Sanglah dari bulan Oktober 2015 - Maret 2016 dengan melakukan pemeriksaan sampel darah dan diperiksa dengan metode ELISA. Dari 44 pasang sampel yang terdiri atas 44 kasus dan 44 kontrol, didapatkan bahwa kadar COMP serum tinggi pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen tidak berisiko terhadap terjadinya OA lumbal simtomatik (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) dari yang memiliki kadar COMP serum rendah (cut-off point 0,946). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar IL-6 plasma yang tinggi mempunyai risiko 2,7 kali (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320 dengan p=0,033) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki kadar IL-6 plasma yang rendah (cut-off point 2,264). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar IL-10 plasma yang rendah tidak mempunyai risiko (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki kadar IL-10 plasma yang tinggi (cut-off point 6,049). Sedangkan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan rasio kadar IL-6/ IL-10 plasma yang tinggi mempunyai risiko 3,4 kali (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011) untuk mengalami OA lumbal simtomatik dari yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang rendah (cut-off point 0,364).

Hasil studi ini menunjukkan bahwa rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko paling kuat terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen.


(13)

xii !

ABSTRACT

Low back pain is a common symptom, usually in elderly due to a degeneration process. Degeneration process of the spine, especially in the lumbar region is termed as lumbar osteoarthritis. Numerous factors are thought to be the cause of lumbar OA, it is primarily due to hormonal changes of estrogen in postmenopausal women. Besides hormonal changes due to degeneration process, low back pain of lumbar OA may be caused by inflammatory process.

The purpose of this study is to strengthen the theory of inflammation and the role of biomarker as the pathogenesis of symptomatic lumbar osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency by proving the role of serum COMP, IL-6 and IL-10 as a risk factor to the lumbar symptomatic osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency.

Case-control study had been conducted to determine the role of COMP, IL-6 and IL-10 as a risk factor to symptomatic lumbar OA estrogen deficiency in postmenopausal women. The study was conducted in Sanglah General Hospital from October 2015 until March 2016 by obtaining blood samples and measure the COMP, IL-6 and IL-10 level by enzyme-linked immunisorbent assay (ELISA). From 44 pairs of samples consisting of 44 samples as case group and 44 samples as control group showed that high level of COMP in estrogen deficiency postmenopausal women are not at risk (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) for symptomatic lumbar OA (cut-off point 0,946). Estrogen deficiency postmenopausal women with the high level of IL-6 have 2.7 times risk (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320; p=0,033) for symptomatic lumbar OA from the low level of IL-6 (cut-off point 2,264). At lower level of IL-10, there is no risk for symptomatic lumbar OA (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) than with the higher level of IL-10 (cut-off point 6,049). While the high ratio of IL-6 / IL-10 level in estrogen deficiency postmenopausal women give 3,4 times risk (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011) for symptomatic lumbar OA than the low ratio of IL-6 / IL-10 level (cut-off point 0,364).

The results of the study showed that the high ratio of IL-6/IL-10 plasma level is the highest risk factor for causing symptomatic lumbar osteoarthritis in postmenopausal women with estrogen deficiency.

Keywords: Symptomatic lumbar OA, IL-6, IL-10, COMP, the ratio of IL-6/IL-10 !


(14)

xiii !

RINGKASAN

KADAR INTERLEUKIN – 6 PLASMA YANG TINGGI DAN RASIO KADAR INTERLEUKIN – 6 / INTERLEUKIN – 10 PLASMA YANG

TINGGI MERUPAKAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOARTHRITIS LUMBAL SIMTOMATIK PADA PENDERITA

WANITA PASCA MENOPAUSE DEFISIENSI ESTROGEN

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama di daerah lumbal disebut osteoarthritis (OA) lumbal. Osteoarthritis lumbal adalah terjadinya degenerasi tulang rawan yang melibatkan three joint complex lumbal yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya vertebral osteofit dan terjadinya osteoarthritis pada facet joint. Ketiga keadaan patologis ini dapat terjadi oleh karena beban stress mekanik oleh karena peningkatan berat badan, bertambahnya usia, serta akibat terjadinya proses inflamasi (Richette et al, 2003; Sniekers et al, 2010).

Degradasi kartilago mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar COMP dalam cairan sinovium dan dalam serum. Produk degradasi kartilago ini akan difagositosis oleh sinovium dan menstimulasi proses inflamasi. Sel–sel sinovium akan teraktivasi dan memproduksi berbagai mediator katabolik dan pro inflamasi serta enzim proteolitik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago (Yuan et al, 2003).

Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal adalah proses inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti IL-6 maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Interleukin-6 juga berperan penting dalam metabolisme tulang melalui induksi osteoklastogenesis dan merangsang aktifitas osteoklas terutama apabila kadar hormon estrogen menurun (Maggio et al, 2006; Holm et al, 2012). Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif (Kresno, 2001). Rendahnya kadar IL-10 merupakan indikator kegagalan dalam proses penekanan terhadap produksi TNF-α dan IL-6 (Holm et al., 2012).

Sampai saat ini belum diketahui apakah COMP yang tinggi, kadar IL-6 lebih tinggi dan IL-10 yang rendah serta rasio kadar IL-6/IL-10 pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik. Pada penelitian ini penulis ingin membuktikan bahwa COMP, IL-6 dan IL-10 merupakan faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkuat teori inflamasi dan peran biomarker sebagai patogenesis osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan mengetahui peran COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.


(15)

xiv !

Rancangan penelitian ini dibagi dalam 2 fase yaitu fase 1 berupa studi cross sectional yang bertujuan untuk mencari prevalensi osteoarthritis lumbal. Sedangkan fase 2 dalam bentuk studi case control, yang dimulai dengan mengidentifikasi kelompok kasus, yaitu 44 orang wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal simtomatik, yang dipasangkan dengan 44 orang dari kelompok kontrol yaitu wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal asimtomatik. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar COMP serum, kadar IL-6 dan IL-10 plasma. Analisis dilakukan dengan membandingkan probabilitas paparan faktor risiko (odd ratio). Penelitian dilakuan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada bulan Oktober 2015 sampai dengan bulan Maret 2016.

Hasil penelitian pada fase 1 dengan sampel sebanyak 196 sampel wanita pasca menopause didapatkan sebanyak 189 sampel (96,4 %) defisiensi estrogen. Wanita pasca menopause defisiensi estrogen tersebut kemudian dilakukan pemeriksaan x-ray untuk mengetahui prevalensi OA Lumbal. Didapatkan sebanyak 184 sampel (97,3 %) mengalami OA Lumbal. Dari 184 sampel wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan OA lumbal tersebut, sebanyak 98 sampel (53,2 %) dengan nyeri pinggang dan 86 sampel (46,8%) tanpa nyeri pinggang. Pada fase 2, hasil penelitian menunjukkan wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar COMP serum di atas atau sama dengan 0,946 (cut-off point) tidak terbukti secara signifikan berperan sebagai faktor risiko untuk mengalami OA lumbal simtomatik (OR = 0,7; CI 95% = 0,261-1,751; p = 0,393) dari yang memiliki kadar COMP serum rendah. Sedangkan wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki kadar IL-6 sama atau lebih besar dari 2,264 (cut-off point) memiliki risiko OA lumbal simtomatik 2,7 kali dari yang memiliki kadar IL-6 lebih rendah dari 2,264 (OR=2,7; CI 95%=0,991-8,320 dengan p=0,033). Wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki kadar IL-10 sama atau lebih rendah dari 6,049 (cut-off point) tidak memiliki risiko untuk mengalami OA lumbal simtomatik (OR=0,6; CI 95%=0,209 – 1,798; p=0,345) dari yang memiliki kadar IL-10 plasma yang tinggi. Sedangkan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 sama atau lebih besar dari 0,364 (cut-off point) memiliki risiko OA lumbal simtomatik 3,4 kali dari yang memiliki rasio kadar IL-6/IL-10 lebih kecil dari 0,364 (OR=3,4; CI 95%=1,204-11,787; p=0,011).

Kebaharuan dari penelitian ini adalah peranan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi sebagai faktor risiko yang paling kuat terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Hal ini memperkuat teori inflamasi pada osteoarthritis lumbal simtomatik.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko yang paling kuat terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Sehingga pemeriksaan rasio IL-6/IL-10 plasma untuk mengetahui faktor risiko terjadinya inflamasi pada OA lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen, dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil akurat. Sedangkan biomarker COMP yang diambil dari darah tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian osteoarthritis lumbal simtomatik.


(16)

xv !

DAFTAR ISI

Halaman SAMPUL DEPAN

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

RINGKASAN ... xiii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR SINGKATAN ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.!Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.!Rumusan Masalah ... 6

1.3.!Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1.! Tujuan umum ... 7

1.3.2.! Tujuan khusus ... 7


(17)

xvi !

1.4.1.! Manfaat akademik/ilmiah ... 8

1.4.2.! Manfaat praktis ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Anatomi Lumbal ... 9

2.2 Biomekanik, Fungsi Diskus, dan Disc Dysfunction ... 12

2.2.1 Biomekanik ... 12

2.2.2 Fungsi diskus ... 13

2.2.3 Disc dysfunction ... 14

2.3 Estrogen, Kartilago, dan Osteoarthritis ... 16

2.4 Biomarker COMP ... 18

2.5 Sitokin ... 20

2.5.1 Sifat umum sitokin ... 21

2.5.2 Fungsi sitokin ... 23

2.5.3 Sitokin IL-6 ... 24

2.5.4 Sitokin IL-10 ... 25

2.6 Inflamasi dan Respon Nyeri ... 27

2.7 Hubungan Inflamasi, Defisiensi Estrogen dengan OA Lumbal Simtomatik ... 38

2.8 Hubungan COMP Serum dengan OA Lumbal Simtomatik ... 43

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 46 3.1 Kerangka Berpikir ... 46

3.2 Kerangka Konsep ... 49


(18)

xvii !

BAB IV METODE PENELITIAN ... 51

4.1 Rancangan Penelitian ... 51

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

4.3 Penentuan Sumber Data ... 54

4.3.1 Besar sampel ... 54

4.3.1.1 Besar sampel untuk studi cross sectional ... 54

4.3.1.2 Besar sampel untuk studi case control ... 55

4.3.2 Teknik pemilihan sampel ... 56

4.3.3 Kriteria inklusi ... 57

4.3.4 Kriteria eksklusi ... 57

4.4 Variabel Penelitian ... 58

4.4.1 Variabel ... 58

4.4.2 Definisi operasional variabel ... 60

4.5 Alur Penelitian ... 63

4.5.1 Penapisan subyek ... 63

4.5.2 Pemilihan kasus dan kontrol ... 64

4.5.3 Pemeriksaan sampel darah ... 64

4.6 Analisis Statistik ... 66

4.6.1 Normalitas data ... 66

4.6.2 Analisis karakteristik kasus dan kontrol ... 66

4.6.3 Analisis faktor risiko osteoarthritis ... 66

4.7 Waktu dan Tempat Penelitian ... 67


(19)

xviii !

5.1 Normalitas Data ... 70

5.2 Karakteristik OA Lumbal Simtomatik dan OA Lumbal Asimtomatik ... 70

5.3 Faktor Risiko OA Lumbal Simtomatik ... 71

5.3.1 Kadar COMP serum dengan OA lumbal simtomatik ... 72

5.3.2 Kadar IL-6 plasma dengan OA lumbal simtomatik ... 73

5.3.3 Kadar IL-10 plasma dengan OA lumbal simtomatik ... 74

5.3.4 Rasio kadar IL-6/IL-10 dengan OA lumbal simtomatik ... 75

BAB VI PEMBAHASAN ... 76

6.1 Karakteristik Umur, IMT, Lama Menopause dan Kadar Estrogen pada OA Lumbal Simtomatik ... 76

6.2 Peran kadar COMP Serum pada OA Lumbal Simtomatik ... 77

6.3 Peran Kadar IL-6 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ... 80

6.4 Peran Kadar IL-10 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ... 82

6.5 Rasio Kadar IL-6/IL-10 Plasma pada OA Lumbal Simtomatik ... 84

6.6 Kelemahan Penelitian ... 85

6.7 Novelty ... 86

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 87

7.1 Simpulan Penelitian ... 87

7.2 Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(20)

xix !

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Substansi Kimia yang Dilepaskan pada Stimulus Kerusakan Jaringan ... 30 5.1 Prevalensi wanita pasca menopause dengan defisiensi estrogen ... 68 5.2 Prevalensi wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan

atau tanpa OA Lumbal dan keluhan nyeri pinggang ... 69 5.3 Normalitas Data COMP, IL-6, IL-10 dan Rasio IL-6/IL-10

dengan Kolmogorov Smirnov ... 70 5.4 Karakteristik OA Lumbal Simtomatik dan OA Lumbal Asimtomatik ... 71 5.5 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar COMP Serum dengan Variabel

OA lumbal simtomatik ... 72 5.6 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar IL-6 plasma dengan Variabel OA

lumbal simtomatik.. ... 73 5.7 Tabulasi Silang antara Variabel Kadar IL-10 plasma dengan Variabel OA

lumbal simtomatik ... 74 5.8 Tabulasi Silang antara Variabel Rasio Kadar IL-6/IL-10 plasma dengan


(21)

xx !!

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Anatomi Lumbal ... 11

2.2. Osteoartritis Lumbal ... 18

2.3 Peran Sitokin pada Respon Nyeri ... 28

2.4 Beberapa substansi kimia yang dilepaskan pada kerusakan jaringan yang menstimulasi nosiseptor ... 31

2.5 Jalur Nyeri Perifer Menuju ke Otak ... 32

2.6 Potensi Crosstalk antara Reseptor Kemokin dan Reseptor Opioid di Jalur Nociceptive ... 34

2.7 Respon Inflamasi Terhadap Degenerasi Diskus ... 35

2.8 Visual Analogue Scale ... 38

3.1 Bagan Kerangka Pikir ... 48

3.2 Bagan Kerangka Konsep Penelitian ... 49

4.1 Bagan Rancangan Penelitian Fase I ... 52

4.2 Bagan Rancangan Penelitian Fase II ... 53

4.3 Bagan Fase Penelitian ... 59


(22)

xxi !

DAFTAR SINGKATAN

ADAMTs : a Disintegrin and Metalloproteinase with Thrombospondin Motifs BIRC3 : Baculoviral IAP Repeat Containing 3

BIRC5 : Baculoviral IAP Repeat Containing 5 BMD : Bone Mineral Density

BNP : Brain derived Neurotrophic Factor C1 : Cervical 1

C2 : Cervical 2

CBP : CREB binding Protein

CGRP : Calcitonin gene-related peptide

COMP : Cartilage Oligomeric Matrix Protein

DD : Disc Degeneration E2 : Hormone Estradiol

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay ERE : Estrogen Responsive Elements

Erα : Estrogen Receptor Alpha ERß : Estrogen Receptor Beta FGF : Fibroblast Growth Factor FSU : Functional Spine Unit GAG : Glycosaminoglycan

HRT : Hormone Replacement Therapy IAP : Inhibitor Apoptosis Protein


(23)

xxii !

IFN : Interferon IL-10 : Interleukin 10 IL-12 : Interleukin 12 IL-1ra : Interleukin 1ra IL-1ß : Interleukin 1beta IL-6 : Interleukin 6 IL-8 : Interleukin 8

IMT : Indeks Massa Tubuh

MHC : Major Histocompatibility Complex MMPs : Matrix Metalloproteinases

MMP-1 : Matrix Metalloproteinase - 1 MMP-3 : Matrix Metalloproteinases -3 MMP- 13 : Matrix Metalloproteinases - 13 NGF : Nerve Growth Factor

NRSs : Numerical Rating Scales OA : Osteoarthritis

PAG : Periaqueductual Grey Matter

PGE2 : Prostaglandin E2 RNA : Ribonucleic Acid

RVM : Rostral Ventromedial Medulla

SMRT : Silencing Mediator for Retinoid and Thyroid Hormone SRC-1 : Steroid Receptor Coactivator 1


(24)

xxiii !

TNFα : Tumor Necrosing Factor α

TRPV : Transient Receptor Potential Subfamily V Member I

VRSs : Verbal Rating Scales

VAS : Visual Analogue Scale

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor XIAP : X-linked IAP


(25)

xxiv !

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Penjelasan Persetujuan Penelitian ... 95 Lampiran 2. Surat Persetujuan Peserta dalam Penelitian ... 99 Lampiran 3. Kuesioner Penelitian ... 100 Lampiran 4. Protokol Penelitian ... 103 Lampiran 5. Pemeriksaan Interleukin-6 ... 104 Lampiran 6. Pemeriksaan Interleukin-10 ... 110 Lampiran 7. Pemeriksaan COMP Serum ... 116 Lampiran 8. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ... 120 Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian ... 121 Lampiran 10. Data Dasar Penelitian ... 122 Lampiran 11. Hasil Analisis Data (STATA/S.E. 12.1) ... 126


(26)

!

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.!Latar Belakang Masalah

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering ditemukan pada usia tua karena proses degenerasi. Proses degenerasi pada tulang belakang terutama di daerah lumbal disebut osteoarthritis (OA) lumbal. Prevalensi osteoarthritis pada usia 50 tahun baik pada laki-laki maupun pada wanita sama, sedangkan pada usia di atas 50 tahun prevalensinya meningkat pada wanita. Namun demikian sampai saat ini penyebabnya belum diketahui. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab terjadinya nyeri pinggang bawah, di antaranya adalah perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita tua, termasuk perubahan hormon estrogen.

Defisiensi estrogen terdapat pada wanita menopause. Menopause adalah proses berhentinya menstruasi akibat berkurangnya produksi hormon estrogen pada wanita. Proses dan kerja organ tubuh akan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia. Beban mekanik akan menimbulkan penipisan kartilago yang mengakibatkan rusaknya kartilago, sehingga sendi menjadi kaku dan terasa nyeri. Kellgren dan Moore menyatakan menopausal arthritis dengan Heberden Nodes

pada wanita ditandai dengan timbulnya gejala osteoarthritis yang cepat dan mengenai berbagai sendi yang disebut dengan primary generalized osteoarthritis

yang mengenai tangan, lutut dan tulang belakang (Wluka et al., 2000).

Regio lumbal adalah bagian bawah dari susunan tulang belakang yang terdiri dari 5 vertebral body yang mobile, 4 diskus intervertebralis, dengan 1 diskus pada


(27)

2 !

thoracolumbar junction dan lumbosacral junction, dan pada penampang sagital regio ini berbentuk lordosis karena posisinya paling banyak menahan beban mekanik (Urban, 2000; Bullough, 2004). Akibat dari bentuk dan strukturnya ini, secara biomekanik regio ini merupakan regio yang paling mudah dan cepat mengalami degenerasi.

Proses degenerasi tulang belakang yang diklasifikasikan sebagai osteoarthritis ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini dikenal dengan three joint complex yang saling mempengaruhi dan menimbulkan osteoarthritis lumbal. Pada tahun 1982, Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc disfunction, instability

dan stability (Dugan, 2013). Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA facet joint), perubahan komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000).

Facet joint sebagai sendi diarthrodial merupakan salah satu sendi yang memegang peranan penting pada gerakan satu segmen tulang belakang. Load bearing pada facet joint akan mengalami perubahan pada degenerasi tulang belakang. Degenerasi pada facet joint ditandai dengan adanya degradasi kartilago berupa erosi fokal dan difus serta sklerosis dari tulang subkondral. Terbentuknya facet hyperthrophy, malalignment apophyseal, stenosis dari foramen intervertebral central maupun lateral (Kalichman dan Hunter, 2007). Secara klinis penderita mengeluhkan nyeri pinggang bawah.


(28)

3 !

Degenerasi pada facet joint yang ditandai dengan adanya degradasi kartilago akan dapat menyebabkan peningkatan kadar COMP dalam cairan sinovium maupun dalam serum. Goode AP et al (2012) pada riset terbarunya menemukan hasil yang menarik mengenai hubungan antara menyempitnya diskus intervertebralis, cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dan nyeri pinggang bawah. Di antara penderita nyeri pinggang bawah (n= 265) terdapat hubungan positif kuat antara COMP dan penyempitan diskus intervetebralis (OR=1,82; 95% CI 1,02-3,27) yang tidak ditemukan pada pasien tanpa nyeri pinggang bawah (OR=0,65; 95% CI 0,35-1,20). Oleh karena itu, sangat mungkin peningkatan kadar COMP mencerminkan proses degenerasi diskus intervertebralis yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis dan gejala-gejala yang berkaitan dengan proses degenerasi ini (Goode et al., 2012).

Perubahan degenerasi seperti tersebut di atas, juga dapat disebabkan oleh karena defisiensi estrogen. Ada beberapa studi melaporkan adanya pengaruh hormon terhadap terjadinya osteoarthritis. Dilaporkan pada penderita pasca histerektomi yang mengalami osteoarthritis knee meningkat secara signifikan. Sedangkan pada percobaan binatang dilaporkan pemberian estrogen eksogen secara parenteral dan intraarticular dengan dosis supra pharmacologic mengurangi terjadinya osteoarthritis (Rosner et al., 1979; Chandler dan Desa, 1991).

Estrogen secara langsung mempengaruhi jaringan karena adanya reseptor estrogen pada kondrosit human articular dan secara tidak langsung melalui

secondary messenger. Estrogen mempengaruhi level sitokin pada in vitro dan in vivo. Identifikasi 2 reseptor estrogen ERα dan ERβ pada kondrosit membuktikan


(29)

4 !

bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen (Ushiyama, 1999). Beberapa studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kondrosit merespon estrogen dan adanya mekanisme bahwa estrogen mempengaruhi metabolisme kondrosit (Richette et al., 2003).

Perubahan hormonal yang terjadi selama menopause akan mempengaruhi terjadinya osteoarthritis. Pada wanita post menopause, penggunaan HRT (Hormone Replacement Therapy) menurunkan progresinya secara radiologis. Estrogen akan merangsang perubahan proteoglikan pada kartilago baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sitokin.

Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Interleukin-6 (IL-6) adalah sitokin pro inflamasi. Sitokin pro inflamasi menstimulasi inflamasi sendi dan destruksi kartilago. Peningkatan sitokin ini dapat dideteksi dari cairan sinovial (Wluka et al., 2000). Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) adalah mediator inflamasi pada diskus intervertebralis lumbal yang mengalami degenerasi dan herniasi, dapat diidentifikasi pada ekstrak jaringan, histiosit, fibroblast, sel endotelial dan kondrosit. Pada analisis imunohistokimia, TNF-α diproduksi pada situasi akut setelah herniasi diskus intervertebralis dan digunakan secara lokal pada saraf spinalis atau ganglion dorsalis untuk menginduksi nyeri sepanjang perjalanan saraf tersebut (Holm et al., 2012).

Produksi IL-6 oleh human kondrosit juga dipengaruhi oleh estradiol, hal ini menunjukkan kemungkinan adanya suatu mekanisme yang mempengaruhi metabolisme tulang rawan (Wluka et al., 2000). Peningkatan IL-6 akan memfasilitasi proses degenerasi dan menstimulasi pembentukan prekursor


(30)

5 !

osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah osteoklas in vivo yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, dan berkontribusi terhadap terjadinya perubahan spondiloarthrosis (Holm et al., 2012). Interleukin-6 (IL-6) sendiri juga diproduksi oleh sel lemak. Inhibitor dari IL-6 (termasuk estrogen) digunakan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita-wanita post menopause (Bastard dan Jardel, 1999).

Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif. Interleukin-10 (IL-Interleukin-10) selain dapat diproduksi dari sel T regulator, juga diproduksi oleh sejumlah besar sel - sel lain termasuk makrofag. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α.

Osteoarthritis lumbal secara radiologis ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint, namun tidak semuanya menimbulkan nyeri pinggang. Osteoarthritis lumbal yang disertai nyeri pinggang disebut osteoarthritis lumbal simtomatik.

Sampai saat ini belum diketahui apakah COMP yang tinggi, kadar IL-6 lebih tinggi dan IL-10 yang rendah pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik. Pada penelitian ini penulis ingin membuktikan bahwa COMP, IL-6 dan IL-10 merupakan faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen. Dengan mengetahui peran COMP, IL-6 dan IL-10 berisiko terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca


(31)

6 !

menopause defisiensi estrogen, maka diharapkan secara dini prediksi, pencegahan dan penatalaksanaannya dapat diketahui.

1.2.!Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas, untuk membuktikan adanya peranan biomarker COMP, sitokin IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 sebagai faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisensi estrogen, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1.! Apakah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi mengalami osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum yang rendah?

2.! Apakah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 plasma yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 yang rendah?

3.! Apakah wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma yang rendah mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 yang tinggi?


(32)

7 !

4.! Apakah rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

1.3.!Tujuan Penelitian

1.3.1! Tujuan umum

Untuk memperkuat teori inflamasi dan peran biomarker sebagai patogenesis osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan mengetahui peran COMP, IL-6, IL-10 dan rasio IL-6/IL-10 terhadap terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

1.3.2! Tujuan khusus

1.! Untuk membuktikan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan COMP serum yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik dibandingkan dengan wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan kadar COMP serum yang rendah.

2.! Untuk membuktikan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 plasma yang tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-6 plasma yang rendah.


(33)

8 !

3.! Untuk membuktikan pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma yang rendah mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik daripada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dengan IL-10 plasma yang tinggi.

4.! Untuk membuktikan rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen.

1.4.!Manfaat Penelitian

1.4.1.! Manfaat Akademik/Ilmiah

Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan hasilnya dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai teori inflamasi dan peran biomarker sebagai pathogenesis terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen (peran pro inflamasi dan sitokin anti inflamasi).

1.4.2.! Manfaat praktis

Apabila pada penelitian ini terbukti kadar COMP serum dan IL-6 plasma yang tinggi serta kadar IL-10 plasma yang rendah dan rasio IL-6/IL-10 plasma, dapat merupakan petanda atau prediktor akan terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik penderita wanita pasca menopause defisiensi estrogen, maka akan dapat diupayakan secara dini pencegahan terjadinya osteoarthritis lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause defisiensi estrogen dan tatalaksana pengobatannya.


(34)

! !

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Osteoarthritis lumbal adalah proses degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan menimbulkan keluhan nyeri pinggang. Pada tahun 1982 Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc dysfunction, instability dan stability. Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA Facet joint), perubahan komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000).

2.1 Anatomi Lumbal

Regio lumbal adalah bagian bawah dari susunan tulang belakang yang terdiri dari 5 vertebral body yang mobile, 4 diskus intervertebralis, dengan 1 diskus pada

thoracolumbar junction dan lumbosacral junction, dan pada penampang sagital regio ini berbentuk lordosis. Oleh karena posisinya paling banyak menahan beban mekanik (Urban, 2000; Bullough, 2004). Akibat dari bentuk dan strukturnya ini, secara biomekanik regio ini merupakan regio yang paling mudah dan cepat mengalami degenerasi.


(35)

10 !

!

Di antara dua vertebral body terdapat diskus intervertebralis yang terdiri dari dua regio utama dengan nukleus pulposus yang lembut di bagian tengahnya dan annulus fibrosus yang merupakan sebagai lapisan luar kolagen yang keras. Diskus intervertebralis merupakan sendi yang menghubungkan tulang-tulang vertebra pada tulang belakang (Bullough, 2004). Struktur diskus intervertebralis terdiri dari tiga daerah anatomi yang terintegrasi yaitu nukleus pulposus di bagian tengah yang banyak mengandung air dan berisi kolagen tipe II, anulus fibrosus di bagian tepi mengandung kolagen tipe I dan II serta dua end plate yang terdiri dari tulang rawan hyalin di bagian superior dan inferior (Martin, 2002). Kandungan air dan proteoglikanpada nukleus pulposus memungkinkan meneruskan gaya beban dari vertebra ke vertebra di bawahnya (compressive load), sedangkan gaya beban radial (tensile load) diabsorbsi oleh tegangan pada serabut annulus fibrosus (Melrose et al., 2008). Perubahan isi kolagen yang terdapat dalam diskus intervertebralis dapat berlangsung secara alami bersamaan dengan proses penuaan, proses ini disebut sebagai degenerasi diskus intervertebralis.

Facet joint sebagai sendi diarthrodial merupakan salah satu sendi yang memegang peranan penting pada gerakan satu segmen tulang belakang. Load bearing pada facet joint akan mengalami perubahan pada degenerasi tulang belakang. Degenerasi pada facet joint ditandai dengan adanya degradasi kartilago berupa erosi fokal dan difus serta sklerosis dari tulang subkondral. Terbentuknya

facet hyperthrophy, malalignment apophyseal, stenosis dari foramen intervertebral central maupun lateral (Kalichman dan Hunter, 2007).


(36)

11 !

!

Dua vertebral body yang dihubungkan oleh diskus intevertebralis, facet joint

dan ligamen (kecuali pada segment C1-C2, tidak ada diskus intervertebralis) disebut sebagai suatu functional spine unit (FSU). Functional spine unit ini dikenal sebagai three joint complex yang terdiri dari diskus intervertebralis (suatu

cartilagenous joint) dan dua facet joint (synovial joints), yang secara dinamis bersama-sama dalam suatu physiologics loads.

Gambar 2.1 Anatomi lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)!

Satu kesatuan functional spine unit ini, dalam pergerakannya juga merupakan satu kesatuan pergerakan sebagai satu segmen pergerakan. Oleh karena posisinya paling banyak menahan beban mekanik, maka pada penampang sagital alignment

regio lumbal ini adalah lordosis. Sehingga akibat dari bentuk dan strukturnya ini, secara biomekanik regio ini merupakan regio yang mudah dan cepat mengalami degenerasi.


(37)

12 !

!

2.2!Biomekanik, Fungsi Diskus dan Disc Dysfunction

2.2.1! Biomekanik

Fungsi dari tulang belakang, secara umum dibagi menjadi 2 bagian penting dari masing-masing unit fungsional yaitu bagian anterior yang bersifat statik dan bagian posterior yang bersifat dinamik. Bagian anterior yang fleksibel sebagai pembawa beban dan pengabsorbsi getaran. Sedangkan bagian posterior yang terdiri dari 2 arcus vertebrae, 2 processus transversus, 1 processus spinosus dan 2 buah facet joint, berfungsi melindungi elemen neural berperan sebagai fulcrum

dan mengarahkan pergerakan suatu unit fungsional. Elemen posterior ini akan membagi beban kompresif dan mempengaruhi pola pergerakan tulang belakang (Urban, 2000; Bullough, 2004).

Gerakan vertikal facet joint memungkinkan gerakan fleksi ekstensi tulang belakang. Pada posisi netral, pergerakan lateral dan rotasi dapat dicegah dengan aposisi permukaan sendi, sedangkan pada posisi agak fleksi, permukaan facet joint akan bergeser sehingga memungkinkan pergerakan lateral dan rotasi. Pada posisi ekstensi permukaan sendi facet mengalami aproksimasi sehingga dapat mencegah pergerakan lateral dan miring. Pada saat postur diekstensikan, volume kanalis spinalis dan foraminal neural akan berkurang.

Diskus intervertebralis adalah bagian dari sistem muskuloskeletal manusia yang paling sering dan terparah mengalami proses degenerasi; diduga karena sistem nutrisi yang mengandalkan difusi dari end plate (Grunhagen, 2006; Johnson, 2008; Junger, 2009). Di samping karena faktor nutrisinya, posisi lumbal merupakan daerah yang paling banyak menahan beban mekanik sehingga daerah


(38)

13 !

!

ini merupakan daerah yang paling rentan dan paling mudah mengalami degenerasi.

Setiap segmen pergerakan akan mewakili komponen pembentuk tulang belakang yang merupakan suatu functional spine unit. Pada pergerakan ini peran mekanik dari diskus intervertebralis menerima dan meneruskan gaya tekanan dari atas dan ke bawah serta mengadakan pergerakan untuk fleksi, ekstensi, lateral dan memutar aksial/rotasi, serta kompleks pergerakan kombinasi.

2.2.2! Fungsi diskus

Diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen utama yaitu nucleus pulposus mengandung banyak proteoglikan (50%) dengan konsistensi lunak di bagian tengah dan lapisan luarnya yang disebut annulus fibrosus mengandung

proteoglikan 20%. Proteoglikan merupakan glikoprotein yang tersusun dari

glycosaminoglycan (GAG), yang paling banyak adalah aggrecan. Aggrecan

terbentuk dari rantai kondroitin-6 sulfat dan keratin sulfat yang terikat pada inti protein. Molekul aggrecan memiliki kemampuan mengikat air yang kuat karena sifat tekanan negatif dan hidrofilik alami. Sel nukleus pulposus memproduksi banyak proteoglikan dan aggrecan. Hal ini menyebabkan nukleus pulposus menarik air dan memberinya konsistensi kenyal sebagai bantalan. Sel annulus fibrosus juga memproduksi proteoglikan tapi lebih sedikit dibandingkan nukleus pulposus. Proteoglikan juga diperkirakan mempengaruhi permeabilitas jaringan dan kemampuan difusi pada diskus dan mempengaruhi homeostasis diskus (Slikker et al., 2012).


(39)

14 !

!

Kandungan kolagen dari diskus intervertebralis terdiri dari kolagen tipe I dan tipe II, dengan nukleus pulposusnya hanya mengandung kolagen tipe II dan annulus fibrosus mengandung kolagen tipe I dan tipe II. Perubahan kandungan kolagen dalam diskus intervertebralis dapat terjadi secara alami karena penuaan maupun karena proses degenerasi. Fungsi utama kolagen adalah memberikan kekuatan pada diskus intervertebralis (Slikker et al., 2013).

Ada 2 keseimbangan yang terdapat dalam diskus yaitu:

1.! Keseimbangan swelling pressure atau keseimbangan kimiawi, yaitu keseimbangan antara nukleus pulposus yang mengandung proteoglikan yang menyerap air dengan serat kolagen yang menolak penyerapan air. Adanya keseimbangan antara proteoglikan dengan serat kolagen.

2.! Keseimbangan mekanik

Kesimbangan yang terjadi bila ada gaya/beban diberikan pada nukleus, maka gaya tersebut akan akan diteruskan ke anulus yang ada sekitarnya. Apabila keseimbangan kimiawi dan keseimbangan mekanik ini terganggu, maka akan terjadi kehilangan kemampuan diskus dalam mengatur kandungan air di dalam diskus, yang mengakibatkan terjadinya proses degenerasi pada diskus intervertebralis (Wong, 2007).

2.2.3! Disc dysfunction

Lumbar disc degeneration (dysfunction) disebabkan oleh karena menurunnya komponen mekanis dan komponen kimiawi pada diskus. Hal ini disebabkan oleh


(40)

15 !

!

karena proses penuaan dan diperberat oleh faktor lingkungan seperti trauma, aktifitas dengan high impact, jenis pekerjaan dan merokok.

Pada tahun 1982 Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc dysfunction, instability dan stability. Degenerasi tulang belakang meliputi disc degeneration (DD), facet joint osteoarthritis (OA facet joint), perubahan komponen otot dan proses degenerasi pada ligamen (Fujiwara et al., 2000). Pada stadium I (disc dysfunction) diskus tidak mampu menanggung beban aksial, tinggi diskus juga berkurang, hal ini terjadi sebagai akibat dari berkurangnya kandungan air di nukleus pulposus, sehingga proteoglikannya juga berkurang. Pada stadium II (instability) terjadinya penyempitan ruang diskus akan mengakibatkan struktur ligamen menjadi lemah, terbentuknya vertebral osteofit dari periosteum junction

antara tulang dan tulang rawan. Instability ini juga akan mempengaruhi stabilitas

facet joint. Pada stadium III (stability), functional spine unit akan melakukan usaha-usaha stabilisasi dengan jalan menyempitnya diskus intervertebralis, fibrosis ligamen, terbentuknya osteofit, subluksasi facet joint dan fibrosis kapsul sendi (Wong, 2007).

Proses degenerasi pada tulang belakang diduga diawali dengan adanya degenerasi diskus. Degenerasi diskus ini mengakibatkan ketidakstabilan segmental yang meningkatkan beban pada facet joint dan menyebabkan kerusakan pada tulang rawan sendi.


(41)

16 !

! 2.3!Estrogen, Kartilago dan Osteoarthritis

Peran estrogen pada osteoarthritis pertama kali diungkapkan 75 tahun yang lalu oleh Cecil dan Archer, yang menggambarkan arthritis pada menopause sebagai perkembangan cepat pada osteoarthritis tangan dan lutut yang terjadi setelah berhentinya menstruasi. Hal ini didukung data epidemiologis adanya hubungan penurunan estrogen dengan perkembangan osteoarthritis pada usia yang prevalensinya meningkat pada usia di atas 50 tahun (Richette et al., 2003).

Studi prevalensi osteoarthritis pada wanita post menopause dengan dan tanpa

hormone replacement therapy (HRT) menunjukkan bukti yang kuat adanya manfaat estrogen pada osteoarthritis. Identifikasi 2 reseptor estrogen ERα dan ERβ pada kondrosit membuktikan bahwa kartilago sensitif terhadap estrogen. Beberapa studi in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa kondrosit merespon estrogen dan adanya mekanisme bahwa estrogen mempengaruhi metabolisme kondrosit(Richette et al., 2003).

Reseptor estrogen merupakan protein nukleus yang termasuk dalam family

reseptor steroid. Setelah aktivasi ligand, mereka berperan sebagai faktor transkripsi. Estradiol mengikat sitosol pada palindromic reseptor element (ERE) yang tampak pada gen promotor target, dengan demikian terjadi aktivasi dan inhibisi transaktivasi gen. Adanya variasi fungsional ERα dan ERβ membuat pembelahan gen alternatif, melibatkan koaktivator transkripsi (CBP, SRC-1 dan SMRT) dan kemampuan reseptor estrogen untuk membentuk heterodimer ERα dan ERβ menambahkan regulasi lebih lanjut. Efek estrogen non nuclear


(42)

17 !

!

estrogen fisiologis (17β estradiol) dan anti estrogen, memiliki afinitas yang mirip dengan kedua reseptor tersebut (Richette et al., 2003).

Identifikasi dua reseptor pada sendi dan cartilage growth plate pada berbagai spesies termasuk manusia, memberikan bukti kuat bahwa kartilago bereaksi terhadap estrogen. Studi immunohistokimia mendeteksi ERβ pada kondrosit

growth plate yang hipertropi pada manusia. Transkripsi dari kedua reseptor ini telah diidentifikasi pada kondrosit dari hip dan lutut dengan osteoarthritis, mendukung hipotesis bahwa kartilago pada osteoarthritis responsif terhadap estrogen (Richette et al., 2003).

Pada studi in vivo pada binatang, injeksi estrogen intra artikular memiliki dosis dependen; dosis suprafisiologis 17β estradiol menginduksi osteoarthritis secara histologis, dimana jika menggunakan dosis rendah tidak berefek. Chandler dan Desa (1991) dalam studinya mengenai kartilago, menunjukkan menurunnya ketahanan terhadap kompresi setelah oovorectomy, kecuali saat HRT telah diberikan. Pada percobaan secara in vivo pada tikus dengan oovorectomy, penggantian estrogen mencegah kerusakan kartilago yang disebabkan interleukin-1β (Richette et al., 2003).

Efek berlawanan estrogen pada kartilagotergantung pada 2 faktor utama yaitu dosis estrogen dan usia pasien. Estradiol memiliki efek menguntungkan pada dosis fisiologis dan merugikan pada dosis yang lebih tinggi. Identifikasi reseptor estrogen α dan β pada kartilago normal dan osteoarthritis, dan efek 17β estradiol pada kartilago binatang secara in vivo dan in vitro menegaskan bahwa kartilago berespon terhadap estrogen. Respon ini sifatnya dose dependent; dosis fisiologis


(43)

18 !

!

(seperti HRT) bersifat protektif dan dosis lebih tinggi sifatnya merugikan. Pada wanita post menopause, estrogen dapat menurunkan kecepatan remodelling tulang subkondral yang merupakan faktor kunci patofisiologi osteoarthritis. Selanjutnya ekspresi reseptor estrogen ditunjukkan pada sinoviosit, dimana merupakan target yang mungkin bagi estrogen untuk memberikan efek pada sendi.

Gambar 2.2 Osteoartritis lumbal (Bohinski,!Ryan,!2013)! !

2.4!Biomarker COMP

Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) yang disebut juga

thrombospondin 5 adalah suatu homopentamer glikoprotein non kolagen dari matiks ekstraseluler, merupakan anggota family trombospondin dengan berat molekul 524 kDa (Tseng dkk, 2009). Cartilage oligomeric matrix protein

terutama diproduksi oleh kartilago sendi. Selain oleh fibroblas dalam synovium, tendon, ligamen, meniskus, otot polos pembuluh darah dan corpus vitreus bola mata. Cartilage oligomeric matrix protein tersusun oleh 5 sub unit yang identik, masing – masing dengan domain EGF like dan calcium bending thrombospondin


(44)

19 !

!

like (Mobasheri dan Henrotin, 2008). Domain karboksiterminal globular dari COMP terikat pada kolagen tipe I, II dan IX. Pada ujung aminoterminal, lima untai molekul bersama–sama membentuk suatu domain coiled yang berperan dalam penyimpanan dan pendistribusian molekul signaling sel yang hidrofobik, seperti vitamin D (Jordan, 2004).

Sebagai biomarker konsentrasi COMP pada cairan sinovial ataupun dalam serum dapat digunakan sebagai indikator awal adanya kelainan pada pemeriksaan radiologis (Dragomir et al, 2002; Sharif et al, 2004). Demikian pula COMP sangat sensitif untuk mendeteksi dini terjadinya prematur OA pada penderita yang secara genetik menderita OA (Bleasel et al, 1999; William et al, 2006).

Sampai saat ini fungsi COMP belum diketahui dengan pasti. Namun demikian COMP dinyatakan berperan pada osifikasi endokondral, pembentukan dan stabilisasi matriks ekstrasel melalui interaksi dengan fibril kolagen dan fibronektin. Di samping itu, cartilage oligomeric matrix protein juga menjadi mediator interaksi antara kondrosit dan matriks ekstrasel tulang rawan melalui interaksi dengan reseptor–reseptor integrin di permukaan sel (Mobasheri dan Henrotin, 2008). Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) juga berperan sebagai katalis dalam fibrilogenesis kolagen tipe I dan II (Hallasz et al, 2007). Oleh karena COMP berikatan dengan agreccan, diduga COMP berperan juga sebagai mediator interaksi berbagai molekul matriks ekstrasel dalam mengorganisasikan matriks tulang rawan untuk mempertahankan fungsinya sebagai penyangga beban (Chen et al, 2007).


(45)

20 !

!

Cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dapat mempertahankan integritas struktural dari kartilago melalui interaksi dengan berbagai protein matriks ekstraseluler. Melalui interaksi dengan integrin, COMP dapat membantu dalam perlekatan dari kondrosit kepada cell culture dishes. Cartilage oligomeric matrix protein ini dapat menghambat proliferasi sel serta juga meningkatkan

chondrogenesis. Selanjutnya, dengan meningkatkan survival protein, COMP bisa melindungi kondrosit dari kematian sel. Cartilage oligomeric matrix protein

mempunyai tempat berikatan yang unik untuk vitamin D, yang mengindikasikan kemungkinan juga berperan dalam penyimpanan dan penghantaran cell-signaling molecules.

!

2.5!Sitokin

Degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, selalu diawali dengan degenerasi pada diskus intervertebralis, yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada facet joint. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan menimbulkan keluhan nyeri pinggang. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab terjadinya nyeri pinggang antara lain: beban mekanik, usia, hormonal dan terjadinya proses inflamasi.

Pada reaksi inflamasi banyak substansi berupa hormon dan faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh limfosit T dan B maupun oleh sel–sel lain yang berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur aktifitas sel yang terlibat dalam respon imun dan respon inflamasi baik lokal maupun sistemik terhadap


(46)

21 !

!

rangsangan dari luar. Substansi ini secara umum disebut sitokin. Substansi yang dilepaskan oleh limfosit disebut limfokin sedangkan yang dilepaskan oleh monosit disebut monokin.

Sitokin ini berperan dalam pengendalian hemopoesis dan limfopoesis dan juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan, serta mobilitas dan diferensiasi leukosit maupun sel– sel lain. Pada reaksi inflamasi, sitokin yang berperan menstimuli terjadinya inflamasi pada sendi dikenal sebagai sitokin pro inflamasi misalnya TNF-α dan IL-6. Sedangkan sitokin yang berperan sebagai faktor penghambat sintesis disebut sitokin anti inflamasi misalnya IL-10.

2.5.1 Sifat umum sitokin

Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lain yang memperantarai dan mengatur reaksi imunologi dan reaksi inflamasi (Abbas et al, 2007). Setiap jenis sitokin mempunyai struktur yang berbeda satu dengan yang lainnya, walaupun demikian ada beberapa sifat umum yang dimiliki bersama yaitu: (Abbas et al, 2007; Oppenheim et al, 1991)

1.! Sekresi sitokin terjadi singkat dan tidak pernah disimpan sebagai molekul yang preformed dan sintesisnya biasanya diawali dengan transkripsi gen yang terjadi akibat stimulasi. Segera setelah disintesis sitokin dengan cepat disekresikan dan menghasilkan aktivitas yang diperlukan.

2.! Aktivitas sitokin seringkali pleiotropic dan redundant. Pleiotropic berarti kemampuan satu jenis sitokin untuk merangsang berbagai jenis sel yang


(47)

22 !

!

berbeda. Sedangkan redundant berarti banyak sitokin yang menghasilkan efek fungsional yang sama.

3.! Sitokin sering mempengaruhi sintesis dan aktivitas sitokin lainnya.

4.! Aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sebagian besar sitokin bereaksi dekat dengan tempatnya diproduksi, bila dalam sel yang memproduksinya disebut autocrine reaction, bila bereaksi pada sel yang berdekatan disebut paracrine reaction, dan bila diproduksi dalam jumlah yang banyak, masuk kedalam sirkulasi dan bekerja sistemik disebut

endocrine reaction.

5.! Sitokin merupakan mediator respon imun yang sangat poten dan mampu berinteraksi dengan reseptor pada permukaan sel.

6.! Sinyal eksternal mengatur ekspresi reseptor sitokin, sehingga juga mengatur respon sel terhadap sitokin.

7.! Respon selular terhadap sebagian besar sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen pada sel sasaran yang berakibat ekspresi fungsi baru atau proliferasi sel sasaran.

8.! Respon seluler terhadap sitokin diatur secara ketat dan ada mekanisme umpan balik untuk menghambat dan menekan respon imun tersebut. Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi interseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah (10-10 – 10-15 mol/L dapat merangsang sel sasaran) (Karnen, 2000). Seperti halnya hormon polipeptida, sitokin mengawali aksinya dengan berikatan dengan reseptor sitokin pada membran sel sasaran dengan afinitas yang sangat tinggi.


(48)

23 !

! 2.5.2 Fungsi Sitokin

Berdasarkan aktivitas biologik yang utama, sitokin dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok fungsional: (Abbas et al, 2007)

1.! Mediator dan regulator imunitas bawaan.

Kelompok sitokin ini terutama diproduksi oleh fagosit mononuklear sebagai respon terhadap agen infeksi. Sebagian besar sitokin kelompok ini bekerja pada sel endotel dan leukosit untuk merangsang reaksi inflamasi dini dan sebagian lagi untuk mengontrol respon ini.

2.! Mediator dan regulator imunitas didapat.

Diproduksi terutama oleh limfosit T sebagai respon terhadap pengenalan spesifik antigen asing, berfungsi terutama untuk mengatur pertumbuhan dan diferensiasi berbagai populasi limfosit. Di samping itu juga berfungsi merekrut, mengaktivasi dan mengatur sel – sel efektor spesifik seperti fagosit mononuklear, neutrophil dan eosinophil untuk mengeliminasi antigen pada fase respon imun didapat.

3.! Stimulator hemopoesis.

Sitokin ini diproduksi oleh sel – sel stroma dalam sumsum tulang, leukosit dan sel – sel lain dan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi leukosit imatur.

Banyak sitokin yang telah teridentifikasi, baik struktur molekul maupun fungsinya, beberapa di antaranya merupakan mediator utama yang meningkatkan reaksi imunologik yang melibatkan makrofag, limfosit dan sel-sel lain. Sehingga berfungsi sebagai imunoregulator spesifik maupun non spesifik.


(49)

Mediator-24 !

!

mediator tersebut ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta fungsi yang serupa dan kemudian diberi nama Interleukin yang berarti adanya komunikasi antar sel. Sampai saat ini telah ditemukan berbagai jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35.

2.5.3! Sitokin IL-6

Interleukin-6 dahulu dikenal dengan sebagai IFN-β2, hepatocyte stimulating factor dan plasmacytoma growth factor merupakan sitokin yang berfungsi pada imunitas bawaan maupun didapat. Interleukin-6 dibentuk oleh banyak sel dan mempengaruhi banyak sasaran. Sumber utama dari IL-6 adalah makrofag dan limfosit di daerah inflamasi. Interleukin-6 dapat juga diproduksi oleh sel tulang di bawah pengaruh hormon osteotropik (PTH, 1,25-dihidroksi vitamin D3) dan Interleukin-1 (Feyen et al. dalam Mundy, 1995). Selain berperan dalam proses imunologi dan inflamasi, IL-6 juga berperan penting dalam metabolisme tulang melalui induksi osteoklastogenesis dan merangsang aktifitas osteoklas (Keller, 1996). Interleukin-6 meningkatkan pembentukan sel osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun (Roitt et al., 1998). Interleukin-6 menstimulasi pembentukan prekursor osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah osteoklas in vivo, yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, yang berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan degenerasi diskus intervertebralis (Holm et al., 2012). Demikian pula Keller, Harman dan Ershler (2002) menemukan peningkatan IL-6 pada penuaan dan penderita menopause. Sehingga diduga bahwa IL-6 merupakan salah satu sitokin


(50)

25 !

!

yang memegang peranan penting dalam proses penyerapan tulang, melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang subkondral.

2.5.4! Sitokin IL-10

Interleukin-10 yang sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin imunosupresif. Interleukin-10 dapat diproduksi selain dari sel T regulator, dengan sejumlah besar sel-sel lain termasuk makrofag. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α.

Meningkatnya kadar IL-10 didahului oleh meningkatnya sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-1, IL-6 dan GM-CSF). Sitokin IL-10 merupakan komponen dari T helper (Th) yang berfungsi untuk menentukan bagian spesifik dari sel Th: Th0, Th1 dan Th2. Bagian-bagian ini telah dapat dibedakan dengan jelas pada tikus dimana IL-10 disintesis oleh Th2. Prekursor dari IL-10 memproduksi IL-2, IFN-γ, IL-4 dan IL-10. Penelitian yang dilakukan pada manusia menunjukkan bahwa kadar IL-10 yang tinggi bekerja antagonis terhadap respon inflamasi. Fungsi dari sel T diregulasi oleh IL-10. Efek dari IL-10 adalah melemahkan respon selular dari Th1 dan memperkuat respon humoral dari Th2. Interleukin-10 menghambat IFN-γ yang diproduksi oleh sel Th1. Efek inhibisi ini terjadi secara tidak langsung dan merupakan hasil dari beberapa mekanisme tertentu. Yang pertama yaitu bahwa IL-10 menghambat ekspresi dari HLA-DR pada antigen presenting cell

(APC), sehingga menghalangi aktivasi dari sel T yang dimediasi oleh antigen. Interleukin-10 juga menghambat ekspresi dari ICAM-1, CD8 dan CD86 pada


(51)

26 !

!

permukaan APC, sehingga menurunkan aktifitas ko-stimulator. Mekanisme lainnya yaitu IL-10 menghambat IL-12 yang dikendalikan oleh respon selular dari Th1 dengan cara menurunkan transkripsi subunit p40 dari reseptor IL-12 (Clair, 1999).

Interleukin-10 juga berperan meningkatkan sel Th2 yang memediasi imunitas humoral dengan menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi dari sel B. Dalam kultur yang diteliti, sel B diaktivasi oleh IL-10 dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel yang mensekresi antibodi dan berubah menjadi IgA, IgG1 dan IgE. Interleukin-10 juga memperkuat produksi dari IgG4. Lama hidup dari sel B dapat diperpanjang oleh IL-10 melalui induksi protein bcl (Clair, 1999).

Ada dua fungsi utama IL-10 adalah menghambat produksi beberapa jenis sitokin (TNF, IL-1, chemokine dan IL-12) dan menghambat fungsi makrofag dan sel dendritik dalam membantu aktivasi sel T, sehingga bersifat immunosupresi. Hambatan fungsi makrofag terjadi karena IL -10 menekan ekspresi molekul MHC kelas II pada makrofag, dan mengurangi ekspresi ko-stimulator (a.l. 1 dan B7-2). Dampak akhir dari aktifitas IL-10 adalah hambatan reaksi inflamasi non spesifik maupun spesifik yang diperantarai sel T, karena itu IL-10 juga disebut

cytokine synthesis inhibitory factor dan sitokin anti inflamasi (Kresno, 2001). Sel nukleus pulposus yang diturunkan secara spontan memproduksi dan menghasilkan IL-6 dan IL-10, tapi tidak pada TNF-α ke dalam media kultur. Stimulasi lipopolisakarida pro inflamasi meningkatkan IL-6 75 kali lipat dan meningkatkan IL-10 150 kali lipat, tapi tidak ada TNF-α terdeteksi setelah stimulasi, meskipun beberapa sitokin lain (IL-1, GM CSF) diinduksi (Holm et al., 2012).


(52)

27 !

!

Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal adalah proses inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, dan IL-6, maupun sitokin anti inflamasi seperti IL-1ra atau IL-10. Dengan demikian tampaknya sitokin bekerja dengan berinteraksi secara kompleks.

2.6 Inflamasi dan Respon Nyeri

Degenerasi tulang belakang pada daerah lumbal yang melibatkan three joint complex, tidak terlepas kaitannya dengan biomekanik terutama dalam physiologic load. Pada proses degenerasi diskus akan terjadi penurunan jumlah cairan pada nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada annulus fibrosus. Robekan pada annulus fibrosus memicu pertumbuhan pembuluh darah baru dan

nociceptor pada bagian luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi sitokin inflamasi akan menyebabkan hiperalgesia yang sering terjadi pada nyeri pinggang bawah.

Mediator inflamasi memicu adanya nyeri melalui jalur biokimia. Adapun mediator yang terlibat antara lain IFN-γ, IL-1β, dan TNF-α. Produksi IL-6 juga meningkat secara signifikan oleh stimulasi dengan TNF-α. Pada kartilago sendi manusia, IL-6 menghambat sintesis proteoglikan, yang secara normal menjaga hidrasi nukleus pulposus dan mencegah pertumbuhan dari pembuluh darah (Dugan, 2013).


(53)

28 !

!

Gambar 2.3 Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keratinosit dan fibroblast dalam kulit membuat, menyimpan dan melepaskan bentuk prekursor dari IL-1 (pro IL-1). Kerusakan kulit membuat sel mast yang berada dalam kulit akan bergabung dengan sel mast yang lainnya melakukan migrasi ke area trauma. Sel mast ini melepaskan TNF, IL-1, IL-6 dan chymase. Chymase berperan utk membelah dan mengaktifkan pro IL-1 menjadi aktif. IL-1 berikatan dengan saraf perifer terminal, menyebabkan aktivasi neural dan lepasnya Substance P. Aktivasi neural ini berikutnya akan menyebabkan aktivasi CNS, menyebabkan hiperalgesia dan respon nyeri lainnya. Substance P yang dilepaskan dari saraf terminal ke kulit akan menginisiasi positive feedback loop, dimana Substance P akan menstimulasi sel mast dan makrofag untuk melepaskan lebih banyak lagi IL-1, TNF, IL-6 dan chymase (Watkin, 1995).

Peran imunitas dalam osteoarthritis jauh lebih kompleks daripada hanya sel mast. Substance P juga mempromosikan kemotaksis dari sel imun ke dalam sendi, mengaktifkan neutrophil, sinoviosit dan makrofag, menstimulasi proliferasi limfosit, menginduksi lepasnya sitokin proinflamasi dan menstimulasi fagositosis. Sitokin TNF, IL-1 dan IL-6 diproduksi oleh makrofag, sinoviosit, sel mast, endotel, fibroblast dan kondrosit dalam sendi. Sitokin pro inflamasi ini menstimulasi kondrosit, osteoklas, osteoblast, fibroblast, dan sinoviosit. Hal ini


(54)

29 !

!

yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari sinovium dan proliferasi fibroblast, produksi berlebihan dari enzim yang mendegradasi jaringan penghubung yang berasal dari sinoviosit, fibroblast dan kondrosit, produksi berlebihan dari prostaglandin oleh fibroblast dan resorbsi berlebihan dari kalsium oleh sel tulang (Watkins, 1995).

Degenerasi diskus intervertebralis akan mengakibatkan perubahan yang signifikan pada diskus dimana akan terjadi penurunan jumlah cairan pada nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada annulus fibrosus. Robekan pada annulus fibrosus memicu pertumbuhan pembuluh darah baru dan nociceptor pada bagian luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi sitokin inflamasi akan menyebabkan hiperalgesia yang sering terjadi pada nyeri pinggang bawah (Nilesh B.P., 2010).

Sistem saraf untuk nosisepsi akan memberitahu otak terhadap rangsangan sensorik yang berbahaya dan tidak berbahaya secara terpisah. Berdasarkan serabut sarafnya, klasifikasi nociceptor ada 2 tipe yaitu serabut C (C fiber) dengan diameter lebih kecil, yang merupakan saraf tanpa myelin yang menginduksikan impuls saraf secara perlahan dan serabut Aδ (Aδ fiber) dengan diameter lebih besar, bermyelin yang menghantarkan impuls saraf lebih cepat. Sensasi nyeri ada 2 kategori yaitu epritic (di awal cepat dan tajam), dan protopathic (lambat, tumpul dan bertahan lama). Impuls cepat pada konduksi cepat dari serabut Aδ menghasilkan sensasi nyeri tajam dan cepat, sedangkan nosiseptor serabut C yang lambat menghasilkan sensasi nyeri yang tertunda dan tumpul. Aktivasi perifer dari


(1)

Sebuah jalur yang rumit menghubungkan sitokin-sitokin ini mencapai puncak progresi dari respon inflamasi dan katabolik di dalam diskus tersebut (Dugan, 2013).

Ada kesepakatan bahwa estrogen tidak dapat bekerja pada jaringan target kecuali terikat pada protein spesifik, reseptor estrogen, yang sudah dikenal dalam 2 bentuk yang telah di-kloning, alpha (ERα) dan beta (ERβ). ER-α diisolasi pada 1986 dan ER-β 10 tahun kemudian pada prostat tikus. Identifikasi pada kedua reseptor ini membuat perubahan radikal pada konsep mekanisme estrogen. Reseptor estrogen merupakan protein nukleus yang termasuk dalam family reseptor steroid. Setelah aktivasi ligand, mereka berperan sebagai faktor transkripsi. Estradiol mengikat sitosol palindromic estrogen reseptor element (ERE) yang tampak pada gen promotor target, dengan demikian terjadi aktivasi atau inhibisi transaktivasi gen. Tempat ikatan lain yang telah diidentifikasi, misalnya AP-1. Adanya variasi fungsional ERα dan ERβ membuat pembelahan gen alternatif, melibatkan koaktivator transkripsi (CBP, SRC-1, dan SMRT) dan kemampuan reseptor estrogen untuk membentuk heterodimer ERα dan ERβ menambahkan regulasi lebih lanjut. Efek estrogen non nuklear meningkatkan kompleksitas mekanisme kerjanya. Banyak ligand, termasuk estrogen fisiologis (17-β estradiol) dan anti estrogen memiliki afinitas yang mirip dengan kedua reseptor (Richette et al., 2003).

Identifikasi dua reseptor pada sendi dan cartilage growth plate pada berbagai spesies termasuk manusia, memberikan bukti kuat bahwa kartilago bereaksi terhadap estrogen. Beberapa studi menunjukkan bahwa ER-α diekspresikan pada


(2)

sendi dan cartilage growth plate pada manusia dan spesies lain. Studi immunohistokimia mendeteksi ER-β pada kondrosit growth plate yang hipertrofi pada manusia. Estrogen bekerja melalui reseptor yang ditemukan pada kartilago, tulang, jaringan sinovial dan ligamen yang semuanya berpengaruh pada osteoarthritis. Beberapa studi melaporkan hubungan osteoarthritis dengan polymorphism pada ER-α dan ER-β. Serum estradiol yang rendah terkait dengan osteoarthritis. Apabila diambil secara bersamaan maka temuan ini menjelaskan peran estrogen dengan osteoarthritis (Richette et al., 2003).

Mekanisme tepat menjelaskan bagaimana estrogen berefek dalam osteoarthritis belum dapat diketahui. Di luar dari efek langsung estrogen pada kartilago, sepertinya efek estrogen pada tulang juga terkait. Estrogen diketahui berefek mengatur keseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi. Perubahan tulang subkondral telah dilaporkan pada pasien dengan osteoarthritis dan model binatang dengan osteoarthritis. Telah banyak dibahas dalam studi bahwa perubahan tulang subkondral adalah etiologi penting osteoarthritis. Perubahan pada remodelling tulang subkondral dan struktur tulang sekitarnya menyebabkan perubahan pada distribusi beban. Hal ini pada akhirnya menyebabkan percepatan kerusakan kartilago. Sehingga dikatakan perubahan pada struktur tulang yang terkait penurunan estrogen berperan dalam perkembangan osteoarthritis (Sniekers et al., 2010).

Kerusakan tulang rawan menyebabkan mediator kimiawi memicu adanya nyeri melalui jalur biokimia. Adapun mediator yang terlibat antara lain IFN-γ, IL-1β dan TNF-α. Mediator tersebut ditemukan pada keluhan nyeri punggung bawah


(3)

walaupun dalam pemeriksaan radiologi ditemukan sedikit kelainan. Keseimbangan homeostatik terganggu secara signifikan oleh IL-1β sehingga jalur inhibitor dari IL-1β diharapkan untuk menghasilkan penekanan pada proses inflamasi (Dugan, 2013).

Inflamasi akan menyebabkan degradasi proteoglikan dan juga kandungan air yang berkontribusi terhadap berkurangnya tinggi diskus dan kemampuan untuk mengabsorpsi tekanan. Ketika diskus intervertebralis mengabsorpsi tekanan kompresif, facet joint juga memiliki peranan penting untuk menahan beban. Beban berlebih secara kronis pada sendi facet dapat menyebabkan osteoarthritis dan osteofit dengan merusak kartilago sendi. Rangkaian ini menyebabkan peningkatan tekanan pada sendi facet yang memiliki efek pada kaskade inflamasi mengubah kartilago hyalin yang halus menjadi fibrocartilage. Fibrocartilage yang dihasilkan tidak memiliki kapasitas mekanik yang sama dan lebih sering mengalami degenerasi dengan tekanan (Dugan, 2013).

Sitokin pro inflamasi IL-6 meningkatkan pembentukan sel osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun. Interleukin-6 menstimulasi pembentukan prekursor osteoklas dari unit pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah osteoklas, yang menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, yang berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan degenerasi diskus intervertebralis. Pada proses menua dan menopause ditemukan peningkatan IL-6. Sehingga diduga bahwa IL-6 merupakan salah satu sitokin yang memegang peranan penting dalam proses penyerapan tulang, melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang subkondral. Produksi IL-6 juga meningkat secara


(4)

signifikan oleh stimulasi dengan TNF-α. Pada kartilago sendi manusia, IL-6 menghambat sintesis proteoglikan, yang secara normal menjaga hidrasi nukleus pulposus dan mencegah pertumbuhan dari pembuluh darah. Dengan demikian akan terjadi peningkatan TNF-α dan IL-6 pada osteoarthritis lumbal.

Peningkatan TNF-α dan IL-6 akan direspon oleh sitokin anti inflamasi. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag untuk melepaskan TNF-α. Rendahnya IL-10 dapat sebagai indikator gagalnya IL-10 menekan produksi TNF-α dan IL-6.

2.8 Hubungan COMP Serum dengan OA Lumbal Simtomatik

Osteoarthritis selalu ditandai dengan destruksi kartilago dan perubahan pada tulang subkondral. Demikian pula halnya pada osteoarthritis lumbal yang melibatkan three joint complex, dimana akan terjadi destruksi kartilago pada facet joint dan tulang subkondral. Penentuan beratnya kerusakan sendi secara anatomi sangat penting untuk menentukan pemilihan terapi, sehingga kemampuan mengidentifkasi penderita dengan risiko tinggi terjadinya destruksi yang progresif sangat dibutuhkan.

!!!!!!!!!Kerusakan tulang rawan dapat disebabkan oleh faktor mekanik dimana akan terjadi pelepasan antigen oleh tulang rawan sendi. Keadaan ini akan menstimulasi sistem imun, sehingga terjadi reaksi immunologis yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dan protease yang bersifat destruktif yang akan memperberat kerusakan tulang rawan (Yuan et al, 2003). Kerusakan tulang rawan ini ditandai dengan meningkatnya COMP. Sebagai indikator diagnosis, COMP berkorelasi


(5)

dengan keparahan penyakit. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya COMP 10 kali lebih tinggi dalam cairan sinovial penderita dengan osteoarthritis. Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) meningkat secara signifikan ditemukan pada kerusakan awal dari hip joint (Wolheim et al, 1977) dan pada OA knee (Clarck et al, 1999). Demikian juga perubahan celah sendi lebih dari 3 tahun berkorelasi positif dengan tingkat serum COMP pada awal (p < 0,01) serta di akhir penelitian (p < 0,001) saat dijumlahkan untuk kedua lutut (Villim et al, 2001).

Di samping oleh karena faktor mekanik, bertambahnya usia akan mengakibatkan makin tipisnya kartilago. Dilaporkan adanya korelasi tingkat COMP dengan usia, synovitis dan interaksi dari synovitis dan keparahan osteoarthritis (Villim et al, 2001). Hubungan antara COMP dan usia pasien rheumatoid arthritis dinyatakan bermakna dengan p < 0,05. Sedangkan pada pasien OA tidak ada korelasi yang ditemukan antara tingkat COMP dan lamanya penyakit yang dideritanya (Wislowska and Jablonska, 2005).

Cartilage Oligomeric Matrix Protein (COMP) yang merupakan protein noncollagen pertama kali diisolasi dari kartilago extracellular matrix dan merupakan prognostic marker dari perjalanan osteoarthritis. Konsentrasi COMP dapat memprediksi beratnya kerusakan pada sendi besar, di samping itu juga dapat memprediksi menyempitnya celah sendi (Conrozier et al, 1998).

Degradasi kartilago mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar COMP dalam cairan sinovium dan dalam serum. Produksi degradasi kartilago ini akan difagositosis oleh sinovium dan menstimulasi proses inflamasi. Sel – sel sinovium


(6)

akan teraktivasi dan memproduksi berbagai mediator katabolik dan pro inflamasi serta enzim proteolitik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan kartilago. Goode AP et al pada riset terbarunya menemukan hasil yang menarik mengenai hubungan menyempitnya diskus intervertebralis, cartilage oligomeric matrix protein (COMP) dan nyeri pinggang bawah. Di antara penderita nyeri pinggang bawah (n= 265) didapatkan hubungan positif kuat antara COMP dan penyempitan diskus intervetebralis (OR =1.82; 95% CI 1.02.3.27) yang tidak ditemukan pada pasien tanpa nyeri pinggang bawah (OR= 0.65; 95% CI 0.35- 1.20). Oleh karena itu sangat mungkin peningkatan kadar COMP mencerminkan proses degenerasi diskus intervertebralis yang ditandai dengan penyempitan diskus intervertebralis dan gejala – gejala yang berkaitan dengan proses degenerasi ini (Goode et al., 2012)


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25