Identifikasi Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Keterlambatan Dalam Penyusunan APBD Studi Kasus Kabupaten Sumenep Tahun Anggaran 2007-2010.

(1)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

MAGISTER AKUNTANSI

Diajukan Oleh:

NORSAIN

096 202 0020

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

SURABAYA

2010


(2)

Yang disusun oleh:

NORSAIN

NPM : 0962020020

Telah dipertahankan di depan Dosen Penguji Pada tanggal 31 Desember 2010 Dan telah memenuhi syarat untuk diterima

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji

Dr. Sri Trisnaningsih, Msi Prof. Dr. H. Soeparlan P, SE.Ak.MM

Pembimbing Pendamping Dr. Indrawati Yuhertiana, MM.Ak

Drs. Bambang Suhardito, M.Si,Ak Drs. Ec. Munari, MM

Surabaya, 31 Desember 2010 UPN Veteran ”Jawa Timur”

Program Pasca Sarjana Direktur


(3)

Tesis ini diperuntukkan kepada :

Ayah dan Ibundaku tercinta serta

Istri dan anakku tersayang


(4)

sepengetahuan saya, di dalam Naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiblakan, saya bersedia Tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)

Surabaya, 31. Desember 2010


(5)

rahmatNya peneliti dapat menyelesaikan Tesis dengan berjudul "Identifikasi Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Keterlambatan Dalam Penyusunan APBD Studi Kasus Kabupaten Sumenep Tahun Anggaran 2007-2010".

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Dr. Sri Trisnaningsih, MSi selaku Pembimbing Utama, dan Drs. Bambang Suhardito, MS,Ak selaku Pembimbing Pendamping. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya yang telah memberi kesempatan bagi penulis belajar mengembangkan pola pikir untuk pengembangan diri.

2. Direktur beserta staf, dan seluruh Dosen Program Pasca Sarjana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur, Surabaya. 3. Ibu Dr. Indrawati Yuhertiana, MM, Ak selaku Ketua Program Studi

Magister Akuntansi Pasca Sarjana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur, Surabaya.

4. Ibu Dr. Ir. Ida Ekawati MP, Rektor Universitas Wiraraja Sumenep yang memotivasi saya untuk penyelesaiana tesis ini.


(6)

6. Bapak Benny Doddy Susanto, SE M.Ak, selaku sahabat saudara dan sekaligus Supervisor CSO Bank BNI ’46 Sumenep yang banyak membantu dan mendukung secara financial terselesainya tesis ini. 7. Bapak Syahril, SE; As’adil Anwar, SE; Drs. Iskandar M.Ak; Hairil

Iskandar, SE; dan Kadarisman, SE M.Ak; selaku sahabat yang memotivasi dan membantu selesaianya penulisan tesis ini.

8. Ibu Elly,SE yang memotivasi dan membantu selesaianya penulisan tesis ini.

9. Rekan-rekan mahasiwa Program Pasca Sarjana dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan dalam penulisan tesis ini.

10. Sembah sujud penulis haturkan kepada Bapak Niswan (alm), dan Ibunda Mariya yang telah banyak membantu dan mendo’akan untuk keberhasilan penulisan tesis ini.

11. Secara Khusus sampaikan kepada istri peneliti Nurjannah, ananda tercinta Amalia Dina Royhana, dan Iqbal Baiti Zein Putera tersayang yang telah memberikan dorongan semangat selama menyelesaikan studi.


(7)

Negara.

Surabaya, 31 Desember 2010


(8)

ABSTRAKI

Keterlambatan penyusunan APBD menjadi fenomena dalam penganggaran pemerintah daerah di Indonesia. Fenomena ini dialami oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia. Jadwal penyusunan APBD yang dinyatakan oleh peraturan belum belum diterapkan oleh pemerintah daerah. Fenomena ini menyebabkan kelambatan dalam pertumbuhan ekonomi regional.

Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu untuk memecahkan masalah ini. Langkah pertama adalah mengidentifikasi faktor penyebab keterlambatan penyusunan APBD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor penyebab fenomena tersebut dengan menggunakan Pemerintah Daerah kabupaten Sumenep sebagai contoh. Proses untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut adalah Exploratory Factor Analysis (EFA).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada lima faktor penyebab keterlambatan penyusunan APBD. Faktor tersebut adalah (1) faktor pemahaman hukum dan peraturan perundang-undangan, (2) faktor indikator kinerja, (3) faktor hubungan eksekutif dan legislatif , dan (4) faktor komitmen.

Keywords: Keterlambatan dalam penyusunan APBD, faktor analisis, pemahaman peraturan perundang-undangan, indikator kinerja, hubungan eksekutif dan legislatif , dan komitmen.


(9)

SUMMARY

NORSAIN. University Graduate School of National Development "East

Java", December 2010. Identification of the factors causing delays in the preparation of budget , Main Advisor: Dr. Sri Trisnaningsih, M.Si, counselor: Drs. Bambang Suhardito, MS,Ak.

SUMMARY

Lateness of APBD preparation becomes a phenomenon in local government budgeting in Indonesia. The phenomenon is experienced by many local governments in Indonesia. Schedule of APBD preparation which is stated by regulations has not been applied yet by local governments. This phenomenon leads to retardation in regional economic growth.

Based on the fact, it is need to solve this problem. The first step is to identify factors causing lateness of APBD preparation . The purpose of this research is to identify factors causing the phenomenon by using Local Government of Rejang Lebong as a sample. Process to identify these factors is Exploratory Factor Analysis (EFA).

The result of this research showed that there are five factors causing lateness of APBD preparation. Those factors are (1) understanding of laws and regulations factor, (2) performance indicator factor, (3) executive and legislative relationship factor, and (4) commitment factor.

Keywords: Lateness of APBD preparation, factor analysis, understanding of laws and regulations, performance indicator, executive and legislative relationship, and commitment.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu dasarwasa dan hal itu menandakan pula bahwa pelaksanaan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintah juga telah lama dilakukan. Adanya otonomi menjadi salah satu bentuk perubahan dari adanya reformasi dalam bidang pemerintahan. Otonomi adalah bentuk dari hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki pemerintah daerah untuk mengurus urusan terkait pemerintahan dan kepentingan masyarakat secara otonom sesuai dengan peraturan. Pengertian tersebut dinyatakan dalam UU 32/2004 dan memperlihatkan bahwa keterlibatan pemerintah daerah dalam menjalankan urusan daerah semakin besar bila dibandingkan di masa sebelum otonomi. Konsep otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan berpengaruh pula dalam penyelenggaraan anggaran daerah, pada saat ini, anggaran pemerintah daerah yang tertuang dalam APBD disusun secara mandiri oleh pemerintah daerah untuk menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintah di wilayahnya masing-masing.


(11)

Penetapan suatu anggaran dapat dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif (Abdullah & Asmara, 2006; Freeman & Shoulders, 2003:94), bagi Rubin (2000:4) penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari berbagai budget actors yang memiliki kepentingan atau preferensi berbeda terhadap outcomes anggaran. Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumberdaya.

Menurut Mardiasmo (2009:62), penganggaran dalam organisasi sektor publik merupakan tahapan yang cukup rumit dan mengandung nuansa politik yang tinggi, dalam organisasi sektor publik, penganggaran merupakan suatu proses politik. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik.

Proses paling genting dalam konteks politik yang berhubungan dengan produk politik adalah upaya untuk membuat keputusan guna menyelesaikan suatu fenomena atau gejala sosial ekonomi yang muncul. Pengambilan keputusan tentu saja berproses panjang. Proses inipun, pengambilan keputusan menyertakan mekanisme lobi, negosiasi, adu-argumen, hingga konflik yang


(12)

berhubungan dengan kepentingan-kepentingan yang harus diakomodasi dalam produk politik yang dihasilkan. Secara hati-hati Anderson, J.E. (1984:13-15) mengutarakan pendapatnya bahwa terdapat lima kategori yang dapat dijadikan kriteria dalam menunjukkan faktor-faktor yang melatar belakangi aktor dalam membuat atau mengambil keputusan. Pertama, Political Values, yaitu nilai-nilai atau standar-standar politik. Pembuat keputusan dapat mengevaluasi alternatif kebijakan untuk kepentingan partai politiknya atau kelompoknya, maka hal ini menggambarkan bagaimana nilai-nilai politis dapat merangsek masuk dalam setiap pengambilan keputusan, dalam konteks ini keputusan diambil berdasarkan pada kalkulasi keuntungan politik di mana kebijakan dipandang sebagai alat yang menguntungkan atau alat untuk mencapai tujuan partai politik atau kelompok kepentingannya. Kedua, Organization Values yaitu nilai-nilai atau standar-standar organisasional, hal yang paling menonjol adalah,misalnya, bagaimana organisasi yang berorientasi konservatif berhadapan dengan organisasi yang berpandangan revolusioner akan menghasilkan argumentasi-argumentasinya yang berbeda dalam penetapan keputusan.

Pembuat keputusan, birokrat atau politisi, dapat juga dipengaruhi oleh nilai organisasional. Keputusan individu diarahkan melalui pertimbangan seperti keinginan untuk melihat organisasinya


(13)

tetap hidup, untuk meningkatkan atau memperluas program dan aktivitasnya, atau untuk menjaga kekuasaan serta hak-hak istimewanya. Ketiga, personal values, atau nilai-nilai personal (individu). Konteks ini maka personal values menjadi logika berpikir yang perlu juga diperhatikan dalam memahami penetapan atau pengambilan keputusan. Keempat, policy values adalah nilai-nilai atau standar-standar kebijakan yang berwarna kepentingan publik. Pembuat keputusan dapat bertindak dengan baik berdasarkan persepsi mereka mengenai kepentingan publik atau kepercayaan pada kebijakan publik yang secara moral benar atau pantas. Kelima, ideological values, yaitu nilai-nilai atau standar-standar ideologis. Ideologi adalah sekumpulan kepercayaan dan nilai yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran sederhana mengenai dunia dan cara bertindak sebagai petunjuk bagi seseorang untuk berperilaku.

Penganggaran dapat dilihat sebagai transaksi berupa kontrak mandat yang diberikan kepada agen (eksekutif) dalam kerangka struktur institusional dengan berbagai tingkatan yang berbeda. Sesuai dengan apa yang dinyatakan pada teori keagenan, bahwa pihak principal dan agen memiliki kepentingan masing-masing, sehingga benturan atas kepentingan ini memiliki potensi terjadi setiap saat.


(14)

Pihak agen berkemampuan untuk lebih menonjolkan kepentingannya karena memiliki informasi yang lebih dibandingkan pihak principal, hal ini disebabkan karena pihak agenlah yang memegang kendali operasional di lapangan, sehingga pihak agen lebih memilih alternatif yang menguntungkannya, dengan mengelabui dan membebankan kerugian pada pihak principal (Fozard, A. 2001:39-40).

Penelitian yang dilakukan oleh Manor & Crook (1998) dalam Prasojo, E. (2009:186) menyatakan bahwa dalam banyak hal, pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan yang tegas antara mayor (kepala daerah) dan councilor (anggota DPRD) di negara-negara berkembang telah menyebabkan praktek-praktek pemerintahan yang semakin buruk. Faktor utamanya adalah karakteristik elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik rakyat yang rendah, serta tidak adanya pengawasan yang terus-menerus dari DPRD terhadap kepala daerah, selanjutnya dipertegas oleh Prasojo, E (2009) bahwa fakor-faktor tersebut juga terrefleksikan di beberapa daerah di Indonesia. Kooptasi kekuasaan dilakukan oleh calon incumbent dengan memanfaatkan akses birokrasi yang dimilikinya.


(15)

pemerintah pusat dan pemerintah daerah, APBD adalah rencana keuangan yang dibuat pemerintah daerah secara tahunan melalui pembahasan dan persetujuan antara DPRD dan pemerintah d aerah dan kemudian disahkan dalam peraturan daerah.

Penyusunan APBD oleh setiap daerah di Indonesia menjadi wujud penyelenggaraan otonomi yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah melalui penyusunan anggaran. APBD setiap tahunnya disusun oleh pemerintah daerah dan untuk mendukung penyusunan APBD pemerintah pusat menerbitkan peraturan yang menjadi landasan dalam menyusun APBD. Salah satunya aturan yang diterbitkan tersebut adalah Permendagri 13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, berdasarkan aturan tersebut telah diuraikan jadwal dalam menyusun APBD yang berlaku bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia.

Adanya aturan yang berisikan jadwal tersebut belumlah mampu untuk mengatasi fenomena yang tengah terjadi dalam penyusunan APBD di Indonesia. Fenomena tersebut turut menggelitik perhatian karena fenomena ini terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Fenomena tersebut adalah terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD. Keterlambatan dalam penyusunan APBD ini telah terjadi dalam kurun waktu yang


(16)

lama, bahkan di masa reformasi banyak pemerintah daerah yang masih terlambat dalam menyusun APBD. APBD yang mengalami keterlambatan dalam penyusunan tersebut merupakan APBD yang terlambat ditetapkan atau disahkan oleh pemerintah daerah bersama DPRD sebelum atau saat 31 Desember.

Menurut (KPK,2008) diketahui bahwa pada tahun 2005 dari 33 provinsi di Indonesia sebagian besar provinsi terlambat dalam mengesahkan APBD, yakni sebanyak 28 provinsi, lalu sisanya sebanyak 5 provinsi mengesahkan APBD sesuai jadwal, yaitu tidak melebihi 31 Desember. Selain itu, diketahui pula keterlambatan dalam penyusunan APBD juga terjadi di tahun 2009.

Berdasarkan data yang diperoleh dari (Seknas Fitra, 2010) dalam salah satu website diketahui bahwa penetapan perda APBD untuk tahun 2009 sebanyak 68,24% atau 348 daerah ditetapkan dalam kurun waktu 1 Januari – 31 Maret. Posisi kedua sebanyak 23,14% atau 118 daerah telah menetapkan APBD sesuai jadwal dan 44 daerah atau 8,63% menetapkan APBD melebihi 31 Maret. Informasi yang tersaji tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia mengalami keterlambatan dalam penyusunan APBD dengan ditandai terlambatnya penetapan perda APBD.


(17)

Keterlambatan penyusunan APBD telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia dan hal itu telah berlangsung pada kurun waktu yang lama bahkan hingga saat ini. Kabupaten Sumenep merupakan salah satu daerah yang tergolong mengalami keterlambatan dalam menyusun APBD khususnya APBD untuk tahun 2007-2010. APBD pada keempat tahun anggaran tersebut disahkan pada kurun waktu antara 1 Januari – 31 April.

Selain banyaknya daerah yang mengalami keterlambatan dalam penetapan APBD, adanya keterlambatan APBD dapat memberikan dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan dari keterlambatan dalam penyusunan APBD adalah terlambatnya pelaksanaan program pemerintah daerah yang umumnya sebagian besar pendanaan program tersebut berasal dari APBD. Program yang terlambat dilaksanakan dapat berpengaruh pada pelayanan publik terhadap masyarakat.

Data berikut ini menunjukkan keterlambatan penetapan anggaran di kabupaten Sumenep:

NO APBD Penetapan Penetapan

Sebelum/saat Keterlambatan 1 2007 3 April 2007 31 Desember 2006 3 bulan lebih 2 2008 7 April 2008 31 Desember 2007 3 bulan lebih 3 2009 20 April 2009 31 Desember 2008 3 bulan lebih 4 2010 22 Jan 2010 31 Desember 2009 22 hari Sumber data: Sekretaris Dewan Kabupaten Sumenep


(18)

Ada banyak alasan yang disebut sebagai biang keladi keterlambatan tersebut. Mulai dari kepentingan politik yang mencuat di lembaga legislatif, ketidakmampuan aparatur daerah menyusun rancangan APBD yang memadai, dan lambatnya penetapan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) baru, seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, serta alasan lain yang buat orang awam susah dipahami.

Semua alasan yang mengemuka itu, bisa dikategorikan menjadi dua penyebab keterlambatan penyelesaian APBD , yakni persoalan teknis yang meliputi penyiapan rancangan dan pemenuhan standarnya, serta persoalan moral yang mencakup kedisiplinan lembaga legislatif yang lebih mengedepankan kepentingan partai, kelompok, atau golongan ketimbang mengutamakan kepentingan masyarakat di daerahnya. Persoalan pertama yang menyangkut teknis, seperti kemampuan eksekutif dalam menyiapkan rancangan, memang cukup serius. Ganjalan kedua yang menghambat penyelesaian APBD adalah persoalan moral, baik di kalangan eksekutif maupun legislatif.

Para legislator dan eksekutif sepertinya tidak punya tanggung jawab moral untuk menyelesaikan APBD tepat sesuai dengan jadwal.


(19)

Dua pilar penting yakni eksekutif dan legislatif itu tampak tak punya greget untuk segera menyelesaikan tanggung jawab mengegolkan anggaran daerah. Keduanya lebih banyak melontarkan wacana ke publik yang tidak ada relevansinya dengan penyelesaian anggaran menjadi sebuah peraturan daerah (perda). Patut dipertanyakan, kalau penetapan anggaran daerah yang merupakan kegiatan rutin saja tidak bisa diselesaikan tepat waktu, bagaimana nasib penyelesaikan kebijakan lainnya?

APBD yang terlambat dalam proses penyusunannya dapat pula berpengaruh terhadap perekonomian daerah, hal tersebut terjadi karena ketika APBD terlambat ditetapkan melebihi 31 Desember, maka di masa APBD belum disahkan maka aliran dana dari sektor pemerintah akan terhambat dan itu memberikan pengaruh pada aliran uang atau transaksi di daerah dan pada akhirnya perekonomian daerah turut merasakan dampak dengan adanya kelesuan ekonomi.

APBD yang terlambat disahkan oleh pemerintah daerah dan DPRD dapat pula memberi peluang munculnya korupsi, sebagaimana dinyatakan (KPK,2008). Peluang korupsi tersebut dapat muncul dikarenakan adanya usaha untuk mengalihkan dana yang tersisa dari pelaksanaan program APBD ke dalam rekening pribadi. Dana yang tersisa berasal dari dana sisa anggaran program


(20)

yang tidak selesai dilakukan karena terlambat dalam pelaksanaan proses awal. Pengalihan dana ke rekening pribadi tersebut membuka peluang terjadi penyelewengan dana APBD untuk kepentingan pribadi sehingga terjadilah korupsi. Pada akhirnya dampak yang muncul dari keterlambatan penyusunan APBD tersebut merugikan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang menjadi motivasi dalam penelitian ini adalah pertama, masih sedikit adanya penelitian yang terkait dengan keterlambatan dalam penyusunan APBD termasuk dalam hal ini di wilayah Sumenep belum dilakukan penelitian tersebut. Kedua, keterlambatan dalam penyusunan APBD telah menjadi salah satu fenomena yang terjadi di sebagian besar wilayah pemerintah daerah Indonesia dan hingga saat ini fenomena tersebut terus terjadi setiap tahunnya. Ketiga, dampak yang timbulkan dari adanya keterlambatan APBD dapat pada akhirnya merugikan masyarakat selaku penerima layanan publik dan hal ini bertentangan dengan tujuan pemerintah yang selalu berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah adalah “Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab


(21)

terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD?”

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD, khususnya di Kabupaten Sumenep.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Untuk Kepentingan Ilmiah

a. Dalam dunia akademis dan praktis, bagi peneliti, menambah khasanah ilmu pengetahuan.

b. Bagi para akademisi hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan literatur akuntansi sektor publik (ASP) terutama pengembangan sistem pengendalian manajeman disektor publik.

c. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh pembaca atau peneliti lain sebagai referensi atau dasar untuk penelitian lanjutan.

2. Untuk kepentingan praktis

Setelah diidentifikasi faktor-faktor penyebab tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi penyelesaian sekaligus pencegahan terjadinya keterlambatan penyusunan APBD.


(22)

BAB II

TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL

2.1. Penelitian Terdahulu

1. Sopanah (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh

partisipasi masyarakat dan transparansi kebijakan publik terhadap hubungan antara pengetahuan dewan tentang anggaran dengan pengawasan keuangan daerah diperoleh kesimpulan bahwa pengetahuan anggaran berpengaruh signifikan terhadap pengawasan APBD yang dilakukan oleh dewan. Pengaruh yang ditunjukan adalah positif artinya semakin tinggi pengetahuan dewan tentang anggaran maka pengawasan yang dilakukan semakin meningkat. Disamping itu, interaksi pengetahuan anggaran dengan partisipasi masyarakat berpengaruh signifikan terhadap pengawasan APBD yang dilakukan oleh dewan. Sedangkan intaraksi pengetahuan


(23)

anggran dengan transparansi kebijakan publik tidak berpengaruh signifikan terhadap pengawasan yang dilakukan oleh dewan

2. Abdullah (2006) dalam penelitiannya yang berjudul perilaku

oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah terhadap sampel 53 Kabupaten dan Kota di Indonesia diperoleh kesimpulan bahwa, legislatif berperilaku oportunistik dalam pengalokasian sumberdaya di anggaran belanja.

3. Hamzah (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisa Good

Governance dan Value For Money Dalam Perencanaan dan

Penganggaran Daerah: Sebuah Studi Interpretif (studi pada organisasi masyarakat sipil di kota Mojokerto dan Kabupaten Sidoarjo) diperoleh kesimpulan bahwa belum adanya interaksi yang sinergi, selaras, dan serasi antara Pemda, pengusaha, dan OMS. Hal ini menyebabkan terganggunya proses perencanaan dan penganggaran dalam bingkai partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan (good governance).

4. Haryani (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Kepercayaan dan

Implementasi peraturan perundang-undangan penyusunan dan pengelolaan keuangan Daerah di Kabupaten Batang terhadap 348 responden diperoleh kesimpulan bahwa ada beberapa kesulitan pemahaman dan pengimplementasian oleh aparat pemerintah


(24)

daerah dalam memanfaatkan berbagai peraturan dalam menjalankan tugasnya.

5. Arniati (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh

Kapasitas Sumber daya manusia, Politik Penganggaran, Perencanaan dan Informasi Pendukung terhadap Sinkronisasi Dokumen dengan Dokumen KUA-PPAS di lingkungan Pemerintah Kota Tanjung Pinang terhadap 61 responden dari Badan Panitia Anggaran (DPRD) dan 25 SKPD Pemerintah Kota Tanjung Pinang diperoleh kesimpulan bahwa kapasitas sumber daya manusia tidak berpengaruh positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD dengan dokumen KUA-PPAS, Politik penganggaran tidak berpengaruh positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD dengan dokumen KUA-PPAS, Perencanaan tidak berpengaruh positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD dengan dokumen KUA-PPAS dan Informasi pendukung tidak berpengaruh positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD dengan dokumen KUA-PPAS.

6. Wangi (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam penyusunan APBD (Studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong Tahun Anggaran (2008-2010) terhadap 49 responden teridentifikasi 5 faktor penyebab keterlambatan penyusunan anggaran. Kelima faktor tersebut terdiri


(25)

dari faktor hubungan eksekutif dan legislatif; faktor latar belakang pendidikan; faktor infikator kinerja; faktor komitmen; dan faktor penyusun APBD.

2.2. Telaah Pustaka

2.2.1. Konsep Penganggaran Daerah

Untuk dapat menghasilkan struktur anggaran yang sesuai dengan harapan dan kondisi normatif maka APBD yang pada hakikatnya merupakan penjabaran kuantitatif dari tujuan dan sasaran pemerintah daerah serta tugas pokok dan fungsi unit kerja harus disusun dalam struktur yang berorientasi pada pencapaian tingkat kinerja tertentu. Artinya, APBD harus mampu memberikan gambaran yang jelas tentang tuntutan besarnya pembiayaan atas berbagai sasaran yang hendak dicapai, tugas-tugas dan fungsi pokok sesuai dengan kondisi, potensi, aspirasi dan kebutuhan riil di masyarakat untuk suatu tahun tertentu, dengan demikian alokasi dana yang digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan dapat memberikan manfaat yang benar-benar dirasakan masyarakat dan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan publik (PP No 58 Tahun 2005).

2.2.2. Penganggaran Publik dan Politik Anggaran

Lebih dari enam puluh tahun lalu, V.O. Key sudah mengisyaratkan bahwa penganggaran memiliki satu masalah paling


(26)

mendasar, yakni keterbatasan sumber daya. Key (1940) mengajukan pertanyaan berikut: “on what basis shall it be decided to allocate x dollars to activity A instead of activity B?” Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki menyebabkan proses pembuatan keputusan pengalokasian menjadi sangat dinamis, terlebih lagi dalam kondisi di mana terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi yang berbeda (Rubin, 1993).

Penganggaran atau proses penyusunan anggaran publik memiliki karakteristik berbeda dengan penganggaran dalam bisnis. Menurut Lee & Johnson (1998) karakteristik tersebut mencakup (1) ketersediaan sumberdaya, (2) motif laba, (3) barang publik, (4) eksternalitas, (5) penentuan harga pelayanan publik, dan (6) perbedaan lain seperti intervensi pemerintah terhadap perekonomian melalui anggaran, kepemilikan atas organisasi, dan tingkat kesulitan dalam proses pembuatan keputusan.

Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan terintegrasi dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut (Dobell & Ulrich, 2002).


(27)

Freeman & Shoulders (2003:94) menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan dapat dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif. Menurut Rubin (1993:4), penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari berbagai budget actors yang memiliki kepentingan atau preferensi berbeda terhadap outcomes anggaran. Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumberdaya, bagi Hagen et al. (1996), penganggaran di sektor publik merupakan suatu bargaining process antara eksekutif dan legislatif.

Penganggaran setidaknya mempunyai tiga tahapan, yakni (1) perumusan proposal anggaran, (2) pengesahan proposal

anggaran, dan (3) pengimplementasian anggaran yang telah

ditetapkan seabagi produk hukum (Samuels, 2000). Sedangkan menurut Von Hagen (2002) penganggaran terbagi ke dalam empat tahapan, yaitu executive planning, legislative approval, executive implementation, dan ex post accountability, pada kedua tahapan pertama terjadi interaksi antara eksekutif dan legislatif dan politik anggaran paling mendominasi, sementara pada (dua) tahap terakhir hanya melibatkan birokrasi sebagai agent.


(28)

Penerapan autonomi daerah di Indonesia tak terlepas dari perubahan paradigma dalam pengelolaan dan penganggaran daerah. Penganggaran kinerja (performance budgeting) merupakan konsep dalam penganggaran yang menjelaskan keterkaitan antara pengalokasian sumberdaya dengan pencapaian hasil yang dapat diukur. Penganggaran berbasis kinerja mulai diterapkan di Indonesia berdasarkan PP 105/2000 dan Kepmendagri 29/2002 pada tahun anggaran 2003 atau 2004. Anggaran kinerja mendorong partisipasi dari stakeholders sehingga tujuan pencapaian hasil sesuai dengan kebutuhan publik. Legislatif diberi kesempatan untuk berperan aktif dalam penyusunan dan penetapan anggaran sebagai produk hukum.

Proses penyusunan anggaran dalam penganggaran kinerja dimulai dari satuan kerja-satuan kerja yang ada di Pemda, melalui dokumen usulan anggaran yang disebut Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK). RASK kemudian diteliti oleh tim anggaran eksekutif untuk dinilai kelayakannya (berdasarkan urgensi dan ketersediaan dana) diakomodasi dalam RAPBD yang akan disampaikan kepada legislatif.

RAPBD kemudian dipelajari oleh panitia anggaran legislatif dan direspon oleh semua komisi dan fraksi dalam pembahasan anggaran, eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan-kesepakatan yang dicapai melalui bargaining (dengan acuan AKU


(29)

dan SP) sebelum anggaran ditetapkan sebagai suatu peraturan daerah. Anggaran yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi eksekutif untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah.

2.2.4. Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Sektor Publik

Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal. Lupia & McCubbins (2000) menyatakan: delegation occurs when one person or group, a principal, select another person or group, an agent, to act on the principal’s behalf. Menurut Ross (1973) contoh-contoh hubungan keagenan sangat universal.

Para teoretisi berpegang pada proposisi bahwa agents behave opportunistically toward principals. Carr & Brower (2000) menegaskan bahwa “opportunism implies that whenever cooperation among people requires one party (principal) to delegate responsibility


(30)

to another (agency), losses due to to agent self-interest can be expected to result.” Sementara Elgie & Jones (2000) menyatakan adanya principal drift, yakni ketika prinsipal tidak mematuhi kesepakatan pendelegasian yang telah dibuat.

Hubungan prinsipal-agen terjadi whenever one individual’s actions have an effect on another individual atau whenever one individual depends on the action of another (Gilardi, 2001). Stiglitz (1999) menyatakan bahwa masalah keagenan terjadi pada semua organisasi, baik publik maupun privat. Menurut Lane (2003), “...the modern democratic state is based on a set of principal-agent relationships in the public sector.” Menurut Bergman & Lane (1990),

principal-agent framework merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk menganalisis komitmen kebijakan publik karena pembuatan dan pengimplementasiannya melibatkan persoalan kontraktual yang berkaitan dengan asimetri informasi, moral hazard, bounded rationality, and adverse selection.

Menurut Andvig et al. (2001) principal-agent model sangat berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik, karena du hal: (1) terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2) prinsipal bisa berlaku korup dan tidak bertindak sesuai kepentingan masyarakat, tetapi mengejar kepentingannya sendiri.


(31)

Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi:

agents mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuannya yang sesungguhnya, yang berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs) untuk memonitor kinerja agents

dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien (Petrie, 2002). Adanya asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan legislatif-pemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis yang memiliki automatic checks berupa persaingan (Kasper & Streit, 1999).

a. Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif

Dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim & Abdullah, 2006; Fozzard, 2001; Moe, 1984; Strom, 2000). Lupia & McCubbins (1994) menyatakan bahwa:

the legislator’s problem can be characterized as one of a broad class of phenomena known as agency problems… In the legislative policy-making setting, a legislature as a whole acts as principal that delegates to an expert agent (such as the government or a congressional committee) the task of proposing alternatives to an existing policy. The principal-agent interaction in which we are interested begins after the agent makes a proposal and ends when the principal-the full legislature either accepts the proposal or rejects it in favor of the existing policy.”


(32)

Johnson (1994:5) menyebut hubungan eksekutif/birokrasi dengan legislatif/kongres dengan nama self-interest model. Legislators ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan projects

yang membuatnya popular di mata konstituen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya mereka menerima benefits

dari pemerintah. Karena semua pihak dapat “bertemu” dalam

action yang sama, maka konsensus di antara legislators dan birokrat merupakan keniscayaan, bukan pengecualian.

Sebagai prinsipal, legislatif dapat juga berperilaku moral hazard atau dalam merealisasikan self-interestnya (Elgie & Jones, 2001). Menurut Colombatto (2001), adanya discretionary power akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, dan karenanya dapat diprediksi bahwa semakin besar

discretionary power yang dimiliki legislatif semakin besar pula kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadinya. b. Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters)

Groehendijk (1997) menyatakan bahwa without doubt, the relationship between voters and politicians in a representative democracy can be considered to be a principal-agent relationship.


(33)

Legislatif (politisi) adalah agen dan publik (pemilih) adalah prinsipal (Fozzard, 2001; Moe, 1984). Lupia & McCubbins (2000) dan Andvig et al. (2001) menyatakan bahwa citizens atau voters

adalah prinsipal bagi perlemen. Mitchell (2000) lebih tegas menyatakan bahwa voters adalah the ultimate principals.

Von Hagen (2002) berpendapat bahwa hubungan keagenan antara voters-legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat kebijakan publik bagi mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Dengan demikian, politisi diharapkan mewakili kepentingan prinsipalnya ketika legislatif terlibat dalam pengalokasian anggaran. Pada kenyataannya, legislatif tidak selalu memiliki preferensi yang sama dengan publik (Groehendijk, 1997). Oleh karena itu, Lupia & McCubbins (2000) mengingatkan bahwa pendelegasian memiliki konsekuensi terjadinya abdication, yakni agents are unconstrained by how their actions affect their principals. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika tidak ada institusi formal yang berfungsi mengawasi kinerja legislatif.

Menurut Von Hagen (2002), sesungguhnya voters

berkeinginan menghilangkan peluang oportunisme legislatif melalui suatu aturan yang menentukan apa harus mereka lakukan


(34)

pada kondisi tertentu. Namun, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas dan tingginya kompleksitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna sulit dibuat. Karenanya hubungan keagenan voters-politisi dapat dipandang sebagai

incomplete contract (Seabright, 1996). 2.2.5. Peran Legislatif dalam Penganggaran

Selama dua dekade terakhir peran legislatur dalam pembuatan kebijakan publik dan penganggaran semakin meningkat (Schick, 2001). Dengan menggunakan tudi kasus pada empat

agency, Johnson (1994) menemuka bahwa birokrasi merespon

tekanan yang diberikan oleh legislatur dalam proses pembuatan kebijakan dan anggaran. Hyde & Shafritz (1978:324) menyatakan bahwa penganggaran adalah sebuah proses legislatif. Apapun yang dibuat eksekutif dalam proses anggaran, pada akhirnya tergantung pada legislatif karena legislatif mempunyai kekuasaan untuk mengesahkan atau menolak usulan anggaran yang diajukan eksekutif.

Dobell & Ulrich (2002) menyatakan bahwa peran penting legislatif adalah mewakili kepentingan masyarakat, pemberdayaan pemerintah, dan mengawasi kinerja pemerintah. Ketiga peran ini menempatkan legislatur berkemampuan memberikan pengaruh signifikan terhadap kebijakan pemerintah. Sementara menurut


(35)

Havens (1996), tidak ada keharusan bagi legislatif untuk mempunyai preferensi yang sama dengan pemerintah atas kebijakan, termasuk anggaran.

Di Indonesia, penyusunan usulan anggaran atau rancangan APBD oleh eksekutif didasarkan pada arah dan kebijakan umum (AKU) dan strategi dan prioritas (SP) yang diturunkan dari rencana strategis daerah (Renstrada). AKU dan SP dinyatakan dalam sebuah nota kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Pada tahap formulasi relatif tidak terjadi konflik antara eksekutif dan legislatif, sementara pada tahap berikutnya, yakni ketika rancangan anggaran diusulkan menjadi anggaran yang ditetapkan biasanya harus melalui perdebatan dan negosiasi di antara kedua belah pihak.

Penganggaran di beberapa daerah di Indonesia terjadi konflik antara legislatif dengan pemerintah. Sebagai contoh dalam hal (1) penyusunan APBD, terutama pada pos anggaran belanja untuk DPRD, (2) kedudukan keuangan DPRD terhadap PAD, (3) kedudukan protokoler anggota DPRD beserta fasilitas-fasilitasnya, dan (4) pembahasan laporan pertanggungjawaban tahunan kepala daerah (Yudoyono, 2003:39). Abdullah (2004) menemukan bahwa DPRD mempunyai preferensi berbeda dengan eksekutif atas jumlah anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum.


(36)

Anggaran belanja bidang pekerjaan umum diusulkan lebih tinggi, sementara belanja pendidikan dan kesehatan lebih rendah.

2.3. Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang masalah dan penelitian sebelumnya serta landasan teori sebagaimana dikemukakan pada bab tedahulu berikut disajikan kerangka pikir penelitian.

Komunikasi di antara eksekutif dan legislative (X1)

Adanya kesenjangan informasi (X2)

Koordinasi (X3)

Bekerja sama (X4)

Informasi (X5)

Kesulitan menterjemahkan indikator kinerja (X6)

Mengukur dan menentukan capaian kinerja (X7)

Kemauan yang kuat untuk menerapkan penganggaran (X8)

Memahami secara jelas visi, misi, sasaran, dan tujuan (X9)

Exploratory

F ?

Penyebab keterlabatan

dalam penyusunan


(37)

Mengutamakan kepentingan Sendiri (X1 0)

Peraturan perundang-undangan yang sederhana (X1 1)

Peraturan perundang-undangan yang sulit dipahami (X1 2)

Peraturan perundang-undangan yang mudah dilaksanakan (X1 3)

Peraturan perundang-undangan yang memungkinkan penyusunan

dan penetapan lebih tepat waktu (X1 4)

Kesulitan memahami penggunaan peraturan perundangan (X1 5)

Kesulitan penerapan peraturan perundangan (X1 6)

2.4. Hipotesis

Penelitian ini tidak ada hipotesis karena alat analisis data yang digunakan adalah analisis faktor jenis eksploratori atau dikenal dengan exploratory factor analysis (EFA) yang bertujuan untuk mengidentifikasi struktur dari faktor (sekumpulan variabel) yang terbentuk.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

3.1.1. Definisi Operasional

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari beberapa variabel. Variabel-variabel tersebut antara lain:

1. X1 (Komunikasi di antara eksekutif dan legislatif kurang

harmonis)


(39)

legislatif)

3. X3 (Pihak eksekutif dan legislatif belum mampu berkoordinasi

secara baik)

4. X4 (Pihak eksekutif dan legislatif kurang mampu bekerja

sama dengan baik)

5. X5 (Kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah daerah)

6. X6 (Adanya kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja),

7. X7 (Pemerintah Daerah sulit mengukur dan menentukan capaian

kinerja)

8. X8 (kemauan untuk menerapkan penganggaran)

9. X9 (Unsur SKPD kurang memahami secara jelas visi, misi,

sasaran, dan tujuan)

10. X10 (Pihak eksekutif lebih mengutamakan kepentingan eksekutif)

11. X11 (Peraturan perundang-undangan yang terkait sederhana)

12. X12 (Peraturan perundang-undangan yang terkait sulit dipahami)

13. X13 (Peraturan perundang-undangan yang terkait mudah

dilaksanakan)

14. X14 (Peraturan perundang-undangan yang terkait memungkinkan

penyusunan dan penetapan lebih tepat waktu)

15. X15 (Saya tidak mendapat kesulitan memahami penggunaan

peraturan perundangan)

16. X16 (Saya merasa penerapan peraturan perundangan sulit saya 28


(40)

lakukan)

Teknik pengukuran variabel menggunakan skala Likert dijabarkan dalam suatu pernyataan yang diberi jenjang jawaban: dengan skor jawaban masing-masing 1,2,3,4 dan 5. Skala pengukuran variabel ini dengan skala interval.

3.2. Teknik Penentuan Sampel

3.2.1. Penentuan Populasi

Menurut Sugiyono (2002), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Badan Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan anggota Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten Sumenep. Pemerintah Kabupaten Sumenep memiliki 18 Dinas, 6 Badan dan 4 Kantor dan 1 Satpol PP. Tiap Dinas yang terlibat dalam penyusunan anggaran 4 sampai 5 orang, terdiri 4 Kabid dan 1 Kasubag Program. Badan dan Kantor biasanya yang terlibat dalam penyusunan anggaran lebih sedikit dibandingkan Dinas yang berkisar antara 2 sampai dengan 3 orang. Jumlah pimpinan dan anggota Badan Anggaran DPRD Kabupaten Sumenep sebanyak 24 orang jadi secara keseluruhan berjumlah 129 orang.


(41)

3.2.2. Penentuan Sampel

Teknik sampling yang digunakan untuk menentukan sampel adalah sensus yaitu seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan anggaran di Kabupaten Sumenep.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

3.3.1. Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan yang ditetapkan dan paradigma penelitian yang digunakan serta definisi operasional variabel yang ditetapkan maka jenis data pada penelitian ini menggunakan:

1. Data sekunder

Data sekunder yang dimaksud adalah data yang tidak diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti (Marzuki, 2000) atau merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2002). Data sekunder didapatkan melalui studi pustaka terhadap berbagai peraturan terkait serta media baca lainnya dan strategi arsip dari basis data BPS Sumenep.

2. Data primer

Menurut Maruku (2000), data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat pertama kalinya atau merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada


(42)

pengumpul data (Sugiyono, 2002). Data primer yang bersumber Badan Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan anggota Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten Sumenep.

3.4. Teknik Analisis 3.4.1. Analisis Faktor

Analisis faktor merupakan alat analisis yang banyak digunakan pada penelitian exploratory, dimana suatu analisis yang digunakan untuk mereduksi, meringkas dari banyak variabel ke dalam satu atau beberapa faktor, proses ini identik dengan proses penggalian faktor lain dari kumpulan variabel yang ada. Terdapat 4 (empat) fungsi penggunaan teknik analisis faktor, yaitu :

1. Mengidentifikasi seperangkat dimensi yang terpendam (tidak secara mudah diamati) dalam sekumpulan variabel-variabel yang banyak.

2. Merancang metode penggabungan atau pengelompokan

sejumlah besar responden dalam kelompok-kelompok yang berbeda secara jelas dalam populasi yang besar.

3. Mengidentifikasi variabel-variabel yang tepat untuk dianalisis lebih lanjut (regresi, korelasi / analisis diskriminan).

4. Membuat seperangkat variabel baru yang lebih kecil yang dapat menggantikan sebagian / sepenuhnya.


(43)

Model analisis faktor faktor menurut Maholtra (2005;289) dapat dirumuskan sebagai berikut :

Xi = Ai1 . F1 + Ai2 . F2 + Ai3 . F3 + . . . + Aim . Fm + V1 . U1

Dimana :

Xi = Variabel standar ke-1

Aim = Faktor loading multipele regrison dari variabel i pada faktor j

F = Faktor umum

Vi = Koefisien standar regresi dari variabel i pada faktor khusus i

Ui = Faktor khusus dari variabel i

m = Jumlah faktor umum

Faktor-faktor unik berkorelasi satu dengan yang lain dan dengan faktor-faktor umum. Faktor umum itu sendiri dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel yang diamati dengan persamaan :

Fi = Wi1 . X1 + Wi2 . X2 + Wi3 . X3 + . . . + Wik . Xk

Dimana :

Fi = Estimasi faktor i

Wi = Bobot/koefisien nilai faktor

K = Jumlah variabel

Secara umum langkah-langkah pengujian dalam analisis faktor meliputi :


(44)

Langkah ini berfungsi untuk memformulasikan dan merumuskan masalah yang akan diteliti. Masalah penelitian harus berorientasi pada identifikasi faktor-faktor karena analisis faktor bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa saja, tidak menganalisis pada uji hubungan, korelasi atau perbedaan.

2. Menyusun matriks korelasi

Langkah ini secara spesifik menguji tingkat korelasi yang berfungsi untuk menentukan apakah variabel memiliki kesamaan umum (homogen/common) atau tidak dan menguji tingkat kecukupan sampel.

a. Barlett’s Test of Sphericity (BTS)

Tes yang digunakan untuk menguji tes interdepensi antara butir-butir menjadi indikator suatu variabel atau faktor. Analisis ini bermaksud tidak berkorelasi satu dengan yang lainnya (colinearity) dalam populasi. Apabila ternyata terbukti ada variabel yang berkorelasi, maka salah satu dari variabel tersebut tidak perlu dianalisis.

b. Correlation Matiks

Yaitu matriks korelasi yang merupakan hasil korelasi antara butir yang menunjukkan koefisien (r) antara butir yang satu dengan butir yang lain yang mungkin tidak atau dapat dimasukkan ke dalam analisis.


(45)

c. Communality

Jumlah varians yang diberikan tiap-tiap butir dalam butir yang lain yang dipertimbangkan. Koefisien community 50%, maka harus dipertimbangkan besarnya muatan faktor.

d. Eigenvalue

Nilai yang menunjukkan jumlah varians yang berasosiasi dengan masing-masing faktor yang mempunyai eigenvalue 1, dimasukkan ke dalam model. Sedangkan yang nilainya kurang dari 1, merupakan faktor yang tidak dimasukkan ke dalam model.

e. Loading Factor

Merupakan koefisien korelasi antar variabel-variabel dengan faktor-faktornya. Faktor loading yang bernilai besar menunjukkan besarnya pengaruh variabel observasi terhadap faktor.

f. Kaiser-Mayer-Olkin (KMO)

Measure of sampling adequacy adalah angka indeks untuk membandingkan antara besarnya koefisien korelasi observasi dengan besarnya koefisien parsial. Apabila KMO kecil < 0,5, menunjukkan bahwa korelasi antara variabel tidak dapat menjelaskan variabel lain dan analisis faktor tidak sesuai untuk diterapkan.


(46)

g. Faktor Matriks

Adalah faktor yang berisi muatan faktor dari semua variabel pada semua faktor yang telah dipilih. Dari faktor ini dapat dilihat pengaruh dari variabel terhadap faktor.

h. Percentage of Variance

Adalah persentase dari varians explaned atribut-atribut dari masing-masing faktor.

3. Model/teknik analisis faktor

Menggunakan principal componen analisis (PCA), dimana analisis ini bertujuan untuk memperoleh jumlah minimum dari faktor-faktor yang menghasilkan varians maksimum dari data-data untuk digunakan dalam analisis multivariate selanjutnya. Untuk menentukan beberapa faktor yang dapat diterima secara empiris dapat dilihat dari besarnya eigenvalue. Apabila nilai eigen > 1, maka semakin representative faktor tersebut mewakili variabel.

4. Rotasi Faktor

Hasil dari ekstraksi faktor dalam matriks faktor

mengidentifikasikan hubungan antar faktor dan variabel individual, namun dalam faktor-faktor tersebut banyak variabel berkorelasi sehingga sulit diinterprestasikan. Melalui rotasi faktor matriks, faktor matriks ditransformasikan kedalam matriks yang


(47)

lebih sederhana sehingga mudah diinterprestasikan. Rotasi faktor menggunakan prosedur varimax.

5. Interprestasi Faktor

Bertujuan untuk menentukan variabel mana yang dapat masuk dalam suatu faktor dan yang tidak masuk dalam suatu faktor. Variabel-variabel yang masuk dalam suatu faktor harus memiliki loading faktor > 0,4 dan sebaliknya.

6. Penentuan Model yang Tepat

Bertujuan untuk menentukan model faktor yang dihasilkan apakah baik atau tidak. Yaitu dengan menilai nilai residual, apabila terdapat < 50% nilai residual yang kecil, maka model tersebut tidak baik atau tidak layak dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.

3.4.2. Langkah-langkah Analisis Faktor Tahap I : (Masalah Penelitian)

1. Variabel yang dipilih : variabel yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Banyaknya variabel : sesuai jumlah variabel yang relevan 3. Cara pengukuran variabel :

a. Data mentah diasumsikan merupakan hasil pengukuran matriks. b. Data digunakan variabel dummy (0-1)


(48)

- Sampel berukuran lebih dari 50 observasi, atau hendaknya lebih dari 100 observasi.

Matriks data mentah akan dianalisis merupakan hasil dari kuisioner yaitu apabila data-data yang akan dianalisis merupakan hasil kuisioner. Matriks ini berukuran p x q ( p baris dan q kolom) : p = banyaknya responden yang mengisi kuisioner, q = banyaknya variabel manifest/banyaknya item pertanyaan kuisioner. Tiap jawaban responden diberi skala nilai, biasanya dengan skala likert, sehingga dapat disusun dalam suatu bentuk matriks.

Tahap II : (Matriks Korelasi)

Matriks korelasi merupakan matriks yang membuat koefisien korelasi dari semua pasangan variabel dalam penelitian. Jadi, matriks ini digunakan untuk mendapatkan nilai kedekatan hubungan anatar variabel manifest. Nilai kedekatan ini dapat digunakan untuk melakukan pengujian untuk melihat kesesuaian dengan nilai korelasi yang diperoleh dari analisis faktor.

Analisis faktor yang baik memiliki nilai korelasi tinggi. Dalam hal ini diterminan matriks yang mendekati nol menunjukkan nilai korelasi tinggi. Selanjutnya perlu diuji apakah matriks korelasi ini merupakan matriks identitas atau bukan, karena matriks identitas tidak dapat


(49)

digunakan untuk analisis. Metode yang bisa dilakukan adalah metode Bartlett Test of Sphericity. Kemudian perlu ditentukan nilai koefisien korelasi parsial, yaitu estimasi antar faktor unik dan nilainya harus mendekati nol untuk memenuhi asumsi analisis faktor.

Untuk menguji kesesuaian pemakaian analisis faktor, digunakan metode Keiser-Meyer-Olkin (KMO). KMO merupakan indeks perbandingan besarnya koefisien korelasi observasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Jika nilai kuadrat koefisien korelasi parsial dari semua pasangan variabel lebih kecil dari pada jumlah kuadrat koefisien korelasi, maka harga KMO akan mendekati 1, yang menunjukkan kesesuaian penggunaan analisis faktor.

Untuk menentukan apakah proses pengambilan sampel telah

memadai atau digunakan Measure of Sampling (MSA). Harga MSA yang rendah merupakan pertimbangan untuk membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya. Sering kali, karena jumlah data yang banyak, perhitungan KMO dan MSA hanya dimungkinkan dengan bantuan komputer.

Tahap III : Ekstraksi Faktor

Tahap selanjutnya adalah faktor exit-action yaitu menentukan

jumlah faktor yang diperlukan untuk menginterprestasikan data. Cara untuk menentukan jumlah faktor antara lain dengan akar karakteristik yang dibawah 1 atau yang mendekati nol (0), biasanya tidak


(50)

dipergunakan karena dipandang kontribusinya dalam menerangkan keragaman data sangat kecil. Penentuan jumlah faktor juga bisa berdasarkan persentase total varians.

Untuk mengekstrasikan faktor dikenal dua metode rotasi, yaitu : a. Orthogonal faktor

Ekstraksi faktor dengan cara merotasikan sumbu faktor yang kedudukannya tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan melakukan rotasi ini setiap faktor independen terhadap faktor lain karena sumbunya saling tegak lurus. Orthogonal faktor solution digunakan bila analisis bertujuan untuk mereduksi jumlah variabel asal yang sudah seberapa berartinya faktor yang diekstraksi.

b. Oblique faktor

Ekstraksi faktor dilakukan dengan merotasikan sumbu faktor yang kedudukannya saling membentuk sudut dengan besar sudut tertentu. Dengan rotasi ini, maka korelasi antar setiap faktor masih diperhitungkan karena sumbu faktor tidak tegak lurus dengan yang lainnya. Oblique faktor solution digunakan untuk memperoleh jumlah faktor yang secara toritis cukup berarti.

Ekstraksi faktor digunakan untuk menentukan jenis-jenis faktor yang akan dipakai. Estimasi faktor dapat menggunakan metode Principal Cmponent Analysis (selain itu terdapat metode common faktor


(51)

analysis). Dengan metode ini akan terbentuk kombinasi lini dari variabel-variabel observasi.

Dalam analisis faktor, total variasi (Communality) terbentuk dari : 1. Common (variasi umum), menunjukkan varians variabel bersama

antar tiap variabel penelitian.

2. Spesifik (variasi unik) menunjukkan varians spesifik tertentu. 3. Error, akibat ketidak handalan dalam proses pengambilan data.

Setelah ekstraksi faktor, kemudian dilakukan perhitungan nilai eigenvalue, yang menyatakan nilai varians dari variabel menifest. Banyaknya faktor ditentukan berdasarkan nilai persentase dari varians total yang ditetapkan oleh variabel tersebut. Varians nilai tersebut merupakan jumlah varians masing-masing variabel yang disebut nilai eigen

Tahap IV : Menentukan Rotasi Matriks Faktor

Matriks faktor sebelum dirotasi digunakan untuk mengeksplorasi kemungkinan pengelompokan variabel ke dalam sejumlah faktor yang telah diekstraksi. Matriks ini merangkum informasi mengenai bobot variabel ke dalam setiap faktor, informasi yang terkandung di dalam matriks ini belum dapat digunakan untuk menginterprestasikan dengan jelas mengenai pengelompokan variabel dalam setiap faktor karena bobot masing-masing variabel pada setiap variabel belum jauh berbeda.


(52)

Agar dapat diperoleh bobot variabel yang mudah untuk diinterprestasikan, matriks faktor ini harus dirotasikan.

Matriks faktor yang dirotasikan ini bertujuan untuk mempermudah interprestasi dalam menentukan variabel-variabel mana saja yang tercantum dalam suatu faktor. Dalam analisis penelitian menggunakan metode variamax untuk memberikan faktor akstraksi sehingga pada akhirnya diperoleh hasil rotasi dimana dalam satu kolom nilai yang ada sebanyak mungkin mendekati nol. Hal ini dalam setiap faktor tercakup sedikit mungkin variabel.

Tahap V : Interprestasi

Kelanjutan dari rotasi faktor adalah tahap interprestasi faktor berdasarkan bobot masing-masing variabel dalam setiap faktor. Tahap interprestasi meliputi :

1. Dimulai dari variabel urutan pertama

Interprestasi dimulai dengan bergerak dari faktor yang paling kiri ke faktor yang paling kanan pada setiap baris untuk mencari bilangan yang paling besar dalam baris tersebut.


(53)

2. Bilangan yang paling besar menunjukkan dalam faktor mana setiap faktor termasuk. Dengan demikian dapat diketahui variabel-variabel mana yang masuk dalam faktor.

3. Point 1 dan 2 dilakukan berulang sehingga variabel telah tercangkup dalam faktor-faktor hasil ekstraksi.

4. Bila ada variabel yang belum termasuk dalam salah satu faktor (karena bobotnya kurang dari batas keberartian) maka terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan.

5. Menginterprestasikan sosial apa adanya tanpa mengikutkan variabel yang bobotnya tidak signifikan.

6. Mengevaluasi variabel yang tidak memiliki bobot signifikan tersebut. Tujuan dari variabel ini adalah untuk mengetahui relevansi variabel dalam penelitian yang dilakukan.

Tahap VI : Menentukan Bobot Faktor

Bobot faktor adalah ukuran yang menyatakan representasi suatu variabel oleh masing-masing faktor. Merupakan data mentah bagi analisis regresi dan diskriminan. Bobot faktor menunjukkan bahwa suatu data karakteristik khusus yang diinterprestasikan oleh faktor. Bobot faktor ini digunakan untuk analisis lanjutan.

Bobot faktor menunjukkan kedekatan hubungan antara variabel dengan faktornya atau dapat dikatakan kontribusi dari variabel manifest


(54)

terhadap variabel laten. Faktor dengan bobot faktor tinggi untuk suatu variabel menunjukkan tingginya hubungan faktor itu dengan variabelnya.

Pedoman pembobotan faktor ini antara lain sebagai penguji awal yang paling sederhana, bobot faktor > 0,5 dianggap sangat signifikan. Patokan ini biasanya digunakan untuk jumlah sampel yang lebih dari 50.

Dalam analisis faktor terdapat dua pembahasan, yaitu : Analisis faktor exploratory dan analisis faktor konfirmatory, tetapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor exploratory.

Penelitian ini mempunayai tujuan untuk membuat/menentukan

seperangkat variabel baru yang menggantikan seperangkat variabel lama, guna dilakukan analisis lebih lanjut, yaitu analisis diskriminan. Analisis faktor ini memiliki tujuan untuk mengeksplorasi/menggambarkan apa yang didapat dari data dan tidak menyusun batasan-batasan yang utama atas komponen estimasi jumlah yang diekstrak/didapat karena analisis ini bersifat exploratory faktor, maka tidak disusun suatu hipotesis.

3.4.3. Analisis Faktor Exploratory

Suatu penelitian yang bersifat exploratif, umumnya bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyusun dari suatu dimensi kehidupan. Di dalam analisis faktor ini, beberapa faktor yang akan terbentuk dan faktor tersebut merupakan variabel laten apa saja. Hal ini belum dapat ditentukan sebelum analisis dilakukan. Jadi pada prinsipnya, kita akan


(55)

melakukan explorasi dari indikator-indikator atau variabel manifest yang ada, nantinya akan terbentuk faktor-faktor yang kemudian dilakukan interprestasi terhadapnya untuk menentukan variabel-variabel laten apa yang dapat diperoleh.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Obyek Penelitian

4.1.1. Keadaan Geografis

Kabupaten Sumenep terletak diantara 113o32’54’’ BT – 116o16’48’’ BT dan diantara 4o55’ LS – 7o24’ LS dengan batas-batas sebagai berikut : - Sebelah Utara : Laut Jawa


(56)

- Sebelah Timur : Laut Jawa/ Laut Flores - Sebelah Selatan : Selat Madura

- Sebelah Barat : Kabupaten Pamekasan

Secara geografis wilayah Kabupaten Sumenep terbagi atas dua yaitu: - Bagian Daratan dengan luas : 1.146,93 Km2 (54,79 %) yang terbagi atas

Tujuh Belas Kecamatan dan satu pulau di Kecamatan Dungkek

- Bagian Kepulauan dengan luas : 946,53 Km2 (45,21 %) yang meliputi 126 buah pulau, 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni. Berdasarkan Peraturan Bupati Sumenep Nomor 11 Tahun 2006 tentang Luas Wilayah Administrasi Pemerintah Kabupaten Sumenep telah ditetapkan 126 pulau bernama. Bagian kepulauan terbagi atas sembilan Kecamatan yaitu : Kecamatan Giligenting. Talango. Nonggunong. Gayam. Ra as. Arjasa. Sapeken, Masalembu dan Kecamatan Kangayan. Sedangkan pulau paling utara adalah Pulau Karamaian termasuk wilayah Kecamatan Masalembu dengan jarak 151 mil Laut dari Kecamatan Kalianget dan pulau paling timur adalah Pulau Sakala termasuk wilayah Kecamatan Sapeken dengan jarak 165 mil Laut dari Kecamatan Kalianget.

Secara administrasi wilayah Kabupaten Sumenep dibagi menjadi 27 Kecamatan, 328 (Tiga Ratus Dua Puluh delapan) Desa dan 4 (Empat) Wilayah Kelurahan. Dari Tabel I.1 dapat dilihat 5 kecamatan dengan


(57)

wilayah terluas yaitu Kecamatan Arjasa, Kangayan, Sapeken, Pasongsongan dan Batuputih.

4.1.2. Nama-nama Pulau Bernama Dirinci Menurut Pulau

Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni di Kabupaten Sumenep Adapun nama-nama pulau bernama dirinci menurut pulau berpenghuni dan tidak berpenghuni di Kabupaten Sumenep, adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1 : Nama-nama Pulau Bernama Dirinci Menurut Pulau

Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni di Kabupaten Sumenep

Nama Pulau/ Name Islands

Keadaan Pulau/ Islands of Condition

Masuk Wilayah/ Include to Berpenghuni/

Inhibited

Tidak Berpenghuni/ Not Inhibited

002. P.Giliraja 1 - Kec. Giligenting

003. P.Gilingan 1 - Desa Banmaleng

004. P.Giliduak - 1 Desa Banmaleng

005. P.Gilipandan - 1 Desa Banmaleng

006. P.Pasir Putih - 1 Desa Banmaleng

007. P.Karanggemer - 1 Desa Banmaleng

008. P.Karangnoko - 1 Desa Bringsang

009. P.Poteran 1 - Desa Talango

010. P.Gililawak 1 - Desa Kombang


(58)

012. P.Kokop - 1 Desa Kombang

013. P.Karang Tambak - 1 Desa Kombang

014. P.Giliyang 1 - Kecamatan Dungkek

015. P.Sapudi 1 - Kecamatan Gayam

016. P.Payangan 1 - Desa Nonggunong

017. P.Bulumanuk 1 - Desa Sonok

018. Ra as 1 - Kecamatan Ra’as

019. P.Socce - 1 Desa Alas Malang

020. P.Nuko - 1 Desa Ketupat

021. P.Cemara - 1 Desa Ketupat

022. P.Sarok - 1 Desa Karopoh

023. P.Talango Tengah 1 - Desa Brakas

024. P.Talango Timur 1 - Desa Brakas

025. P.Talango Aeng 1 - Desa Brakas

026. P.Kalosot 1 - Desa Brakas

027. P.Tonduk 1 - Desa Tonduk

028. P.Guwa-guwa 1 - Desa Guwa-Guwa

029. P.Komirian 1 - Desa Guwa-Guwa

030. P.Gua-Gua Selatan - 1 Desa Guwa-Guwa

031. P.Kamudi 1 - Desa Guwa-Guwa

032. P.Sapeken 1 - Kecamatan Sapeken

033. P.Salarangan 1 - Desa Sapeken

034. P.Sitabok 1 - Desa Sapeken

035. P.Saular 1 - Desa Sapeken

036. P.Sadulang Besar 1 - Desa Sapeken

037. P.Sadulang Kecil 1 - Desa Sapeken

038. P.Bangkau 1 - Desa Sapeken

039. P.Saebus 1 - Desa Sapeken

040. P.Saur 1 - Desa Sapeken

041. P.Sagendoh - 1 Desa Sapeken

042. P.Araan - 1 Desa Sapeken

043. P.Maegangan - 1 Desa Sapeken

044. P.Aloan - 1 Desa Sapeken

045. P.Maeongan - 1 Desa Sapeken

Lanjutan Tabel 4.1 : Nama-nama Pulau Bernama Dirinci Menurut Pulau Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni di Kabupaten Sumenep

Nama Pulau/ Name Islands

Keadaan Pulau/ Islands of Condition

Masuk Wilayah/ Include to Berpenghuni/ Inhibited Tidak Berpenghuni/ Not Inhibited

046. P.Pagerungan Besar 1 - Ds. Pagerungan

Besar

047. P.Togo-togo - 1 Ds. Pagerungan

Besar

048. P.Pagerungan Kecil 1 - Ds. Pagerungan

Kecil

049. P.Sabuntan 1 - Desa Sabunten


(59)

052. P.Dukoh Besar - 1 Desa Sabunten

053. P.Dukoh Kecil - 1 Desa Sabunten

054. P.Cungcung - 1 Desa Sabunten

055. P.Sarang - 1 Desa Sabunten

056. P.Air Batu - 1 Desa Sabunten

057. P.Paliat 1 - Desa Paliat

058. P.Tingkarah Besar - 1 Desa Paliat

059. P.Tingkarah Kecil - 1 Desa Paliat

060. P.Telangkis Besar - 1 Desa Paliat

061. P.Telangkis Kecil - 1 Desa Paliat

062. P.Kamarong - 1 Desa Paliat

063. P.Piropok - 1 Desa Paliat

064. P.Saseel 1 - Desa Saseel

065. P.Saredeng Besar 1 - Desa Saseel

066. P.Saredeng Kecil 1 - Desa Saseel

067. P.Taboklinto - 1 Desa Saseel

068. P.Sepinggan 1 - Desa Saseel

069. P.Sepanjang 1 - Desa Sepanjang

070. P.Tabok Raba - 1 Desa Sepanjang

071. P.Dandang-dandang - 1 Desa Sepanjang

072. P.Tobo-tobo Dua - 1 Desa Sepanjang

073. P.Tobo-tobu - 1 Desa Sepanjang

074. P.Pindana - 1 Desa Sepanjang

075. P.Salubar - 1 Desa Sepanjang

076. P.Karangan - 1 Desa Tanjung Kiaok

077. P.Tarunggu Besar - 1 Desa Tanjung Kiaok

078. P.Tobo Agoh - 1 Desa Tanjung Kiaok

079. P.Taronggu Kecil - 1 Desa Tanjung Kiaok

080. P.Pangas - 1 Desa Tanjung Kiaok

081. P.Sakala 1 - Desa Sakala

082. P.Togo-Togo Satu - 1 Desa Sakala

083. P.Togo-Togo Dua - 1 Desa Sakala

084. P.Tanjung Sapangkur - 1 Desa Sabunten

085. P.Kangean 1 - Kecamatan Arjasa

086. P.Mamburit 1 - Desa Kalisangka

087. P.Bujareng - 1 Desa Angkatan

Lanjutan Tabel 4.1 : Nama-nama Pulau Bernama Dirinci Menurut Pulau Berpenghuni dan Tidak Berpenghuni di Kabupaten Sumenep

Nama Pulau/ Name Islands

Keadaan Pulau/ Islands of Condition Masuk Wilayah/ Include to Berpenghuni/

Inhibited

Tidak Berpenghuni/ Not Inhibited

088. P.Cibbao - 1 Desa Angkatan

089. P.Sangobing 1 - Desa Buddi

090. P.Sapares - 1 Desa Buddi

091. P.Saketek - 1 Desa Buddi

092. P.Bungin Tengah - 1 Desa Buddi

093. P.Tanjung Pelalang - 1 Desa Buddi

094. P.Sitangis - 1 Desa Buddi

095. P.Pukding - 1 Desa Pajanangger

096. P.Pangapos Raja - 1 Desa Pajanangger


(60)

099. P.Karanjang - 1 Desa Torjek

100. P.Gili-gili - 1 Desa Kangayan

101. P.Salaor - 1 Desa Kangayan

102. P.Sabiteng - 1 Desa Kangayan

103. P.Talaga - 1 Desa Kangayan

104. P.Pangapos - 1 Desa Kangayan

105. P.Kunyit - 1 Desa Kangayan

106. P.Karanjangan - 1 Desa Kangayan

107. P.Malang - 1 Desa Kangayan

108. P.Bunteng - 1 Desa Kangayan

109. P.Bindanan - 1 Desa Kangayan

110. P.Malelangan - 1 Desa Kangayan

111. P.Kaloangan - 1 Desa Kangayan

112. P.Sako - 1 Desa Kangayan

113. P.Timunan - 1 Desa Kangayan

114. P.Nyampur - 1 Desa Kangayan

115. P.Tajjan - 1 Desa Tembayangan

116. P.Karanjeng - 1 Desa Tembayangan

117. P.Salaor Dua - 1 Desa Cangkraman

118. P.Salaoge - 1 Desa Cangkraman

119. P.Saobi 1 - Desa Saobi

120. P.Karenteng - 1 Desa Saobi

121. P.Sapapan 1 - Desa Saobi

122. P.Bunginnyarat 1 - Desa Saobi

123. P.Masalembu 1 - Kec. Masalembu

124. Masakambing 1 - Desa Masakambing

125. Karamian 1 - Desa Karamian

126. Kambing - 1 Desa Karamian

Jumlah 48 78

Sumber : Bappeda Kabupaten Sumenep

4.2. Hasil Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah Badan Anggaran DPRD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan anggota Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di Kabupaten Sumenep. Pemerintah Kabupaten Sumenep memiliki 18 Dinas, 6 Badan dan 4 Kantor dan 1 Satpol PP. Tiap Dinas yang terlibat dalam penyusunan anggaran 4 sampai 5 orang, terdiri 4 Kabid dan 1 Kasubag Program. Badan dan Kantor biasanya


(61)

yang terlibat dalam penyusunan anggaran lebih sedikit dibandingkan Dinas yang berkisar antara 2 sampai dengan 3 orang. Jumlah pimpinan dan anggota Badan Anggaran DPRD Kabupaten Sumenep sebanyak 24 orang jadi secara keseluruhan berjumlah 129 orang.

Teknik sampling yang digunakan untuk menentukan sampel adalah

sensus yaitu seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan anggaran di Kabupaten Sumenep, jadi jumlah sampel yang diambil sebanyak 129 orang.

Kuesioner disebar sebanyak 129 buah, dan terdapat 100 buah kuesioner yang kembali, sedangkan 29 buah lagi tidak kembali, sehingga tingkat pengembalian yang digunakan sebesar = 100/129 x 100% = 77,52%.

4.2.1. Distribusi Jawaban Responden

Item pernyataan yang mempengaruhi keterlambatan dalam penyusunan APBD dalam penelitian ini berjumlah 16 (enam belas) item dan deskripsi frekuensi yang dihasilkan dari jawaban responden adalah sebagai berikut :


(62)

Tabel 4.2 : Deskripsi Frekuensi Variabel Penelitian

No. Pertanyaan Skor

1 2 3 4 5 1. Komunikasi di antara eksekutif dan

legislatif kurang harmonis

0 0% 1 1% 4 4% 67 67% 28 28% 2. Adanya kesenjangan informasi antar

pihak eksekutif dengan legislatif

0 0% 1 1% 12 12% 60 60% 27 27% 3. Pihak eksekutif dan legislatif belum

mampu berkoordinasi secara baik

0 0% 1 1% 0 0% 62 62% 37 37% 4. Pihak eksekutif dan legislatif kurang

mampu bekerja sama dengan baik

0 0% 1 1% 13 13% 68 68% 18 18% 5. Kurangnya informasi yang dimiliki

pemerintah daerah 0 0% 2 2% 19 19% 45 45% 34 34% 6. Adanya kesulitan untuk menterjemahkan

indikator kinerja 0 0% 1 1% 0 0% 22 22% 77 77% 7. Pemerintah Daerah sulit mengukur dan

menentukan capaian kinerja

0 0% 2 2% 10 10% 43 43% 45 45% 8. Belum ada kemauan yang kuat untuk

menerapkan penganggaran 0 0% 1 1% 0 0% 67 67% 32 32% 9. Unsur SKPD kurang memahami secara

jelas visi, misi, sasaran, dan tujuan

0 0% 1 1% 5 5% 56 56% 38 38% 10. Pihak eksekutif lebih mengutamakan

kepentingan eksekutif. 0 0% 1 1% 0 0% 58 58% 41 41% 11. Peraturan perundang-undangan yang

terkait sederhana. 0 0% 0 0% 17 17% 37 37% 46 46% 12. Peraturan perundang-undangan yang

terkait sulit dipahami.

0 0% 1 1% 6 6% 38 38% 55 55% 13. Peraturan perundang-undangan yang

terkait mudah dilaksanakan.

0 0% 1 1% 5 5% 45 45% 49 49% 14. Peraturan perundang-undangan yang

terkait memungkinkan penyusunan dan penetapan lebih tepat waktu

0 0% 1 1% 6 6% 51 51% 42 42%

15. Saya tidak mendapat kesulitan memahami penggunaan peraturan perundangan 0 0% 0 0% 1 1% 44 44% 55 55%

16. Saya merasa penerapan peraturan perundangan sulit saya lakukan

0 0% 0 0% 3 3% 48 48% 49 49%

Sumber : Lampiran 1 dan 2

Penjelasan tabel 4.2 di atas adalah sebagai berikut :

1. Variabel X1 (Komunikasi di antara eksekutif dan legislatif kurang harmonis)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 67% menjawab skor 4 dan 28% menjawab skor 5 yang artinya 96% responden cenderung


(63)

menyetujui bahwa komunikasi yang terjalin di antara eksekutif dan legislatif dalam penyusunan APBD kurang harmonis.

2. Variabel X2 (Adanya kesenjangan informasi antar pihak eksekutif dengan legislatif)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 60% menjawab skor 4 dan 27% menjawab skor 5 yang artinya 87% responden cenderung menyetujui bahwa terjadi kesenjangan informasi yang dimiliki antar pihak eksekutif dengan legislatif.

3. Variabel X3 (Pihak eksekutif dan legislatif belum mampu berkoordinasi secara baik)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 62% menjawab skor 4 dan 37% menjawab skor 5 yang artinya 97% responden cenderung menyetujui bahwa pihak eksekutif dan legislatif belum mampu berkoordinasi secara baik dalam penyusunan APBD.

4. Variabel X4 (Pihak eksekutif dan legislatif kurang mampu bekerja sama dengan baik)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 68% menjawab skor 4 dan 18% menjawab skor 5 yang artinya 86% responden cenderung menyetujui bahwa pihak eksekutif dan legislatif kurang mampu bekerja sama dengan baik dalam penyusunan APBD.


(64)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 45% menjawab skor 4 dan 34% menjawab skor 5 yang artinya 79% responden cenderung menyetujui bahwa pemerintah daerah kurangnya memiliki informasi untuk menentukan indikator kinerja yang diperlukan dalam APBD.

6. Variabel X6 (Adanya kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja) Jawaban responden pada variabel ini yaitu 22% menjawab skor 4 dan

77% menjawab skor 5 yang artinya 99% responden cenderung menyetujui bahwa terdapat kesulitan untuk menterjemahkan indikator kinerja ke dalam elemen anggaran.

7. Variabel X7 (Pemerintah Daerah sulit mengukur dan menentukan capaian kinerja)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 43% menjawab skor 4 dan 45% menjawab skor 5 yang artinya 88% responden cenderung menyetujui bahwa Pemerintah Daerah sulit mengukur dan menentukan capaian kinerja yang dituju dalam penyusunan APBD

8. Variabel X8 (Belum ada kemauan yang kuat untuk menerapkan

penganggaran)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 67% menjawab skor 4 dan 32% menjawab skor 5 yang artinya 99% responden cenderung menyetujui bahwa tidak ada kemauan yang kuat untuk menerapkan penganggaran secara partisipatif.


(65)

9. Variabel X9 (Unsur SKPD kurang memahami secara jelas visi, misi, sasaran, dan tujuan)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 56% menjawab skor 4 dan 38% menjawab skor 5 yang artinya 94% responden cenderung menyetujui bahwa unsur SKPD kurang memahami secara jelas visi, misi, sasaran, dan tujuan dari penyusunan APBD.

10. Variabel X10 (Pihak eksekutif lebih mengutamakan kepentingan eksekutif)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 58% menjawab skor 4 dan 41% menjawab skor 5 yang artinya 99% responden cenderung menyetujui bahwa pihak eksekutif lebih mengutamakan kepentingan eksekutif dalam penyusunan APBD.

11. Variabel X11 (Peraturan perundang-undangan yang terkait sederhana) Jawaban responden pada variabel ini yaitu 37% menjawab skor 4 dan

46% menjawab skor 5 yang artinya 83% responden cenderung menyetujui bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyusunan APBD sederhana.

12. Variabel X12 (Peraturan perundang-undangan yang terkait sulit dipahami)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 38% menjawab skor 4 dan 55% menjawab skor 5 yang artinya 93% responden cenderung


(66)

menyetujui bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyusunan APBD sulit dipahami.

13. Variabel X13 (Peraturan perundang-undangan yang terkait mudah dilaksanakan)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 45% menjawab skor 4 dan 49% menjawab skor 5 yang artinya 84% responden cenderung menyetujui bahwa Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyusunan APBD mudah dilaksanakan.

14. Variabel X14 (Peraturan perundang-undangan yang terkait memungkinkan penyusunan dan penetapan lebih tepat waktu)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 51% menjawab skor 4 dan 42% menjawab skor 5 yang artinya 93% responden cenderung menyetujui bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyusunan APBD memungkinkan penyusunan dan penetapan anggaran yang lebih tepat waktu.

15. Variabel X15 (Saya tidak mendapat kesulitan memahami penggunaan peraturan perundangan)

Jawaban responden pada variabel ini yaitu 44% menjawab skor 4 dan 55% menjawab skor 5 yang artinya 99% responden cenderung menyetujui bahwa dirinya tidak mendapat kesulitan memahami penggunaan peraturan perundangan tentang penyusunan APBD.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Syukriy & Jhon Andra Asmara, 2006. Perilaku Oportunistik

Legislatif Dalam Penganggaran Daerah. Jurnal Simposium

Nasional Akuntansi 9. Padang.

Anderson, James E. 1984. Public Policy Making, New York, N.J. : Holt,

Reinhart and Winston.

Anonim. Budget-Info. 25 Juni 2010. 13 Maret 2010

<www.budget-info.com>.

Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener & Tina Søreide. 2001. Corruption: A review of contemporary

research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and

Human Rights Report R 2001: 7. Web: http//www.cmi.no.

Ardi. Hamah. 2007. Analisa Good Governance dan Value For Money Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah: Sebuah Studi Interpretif (Studi pada Organisasi Masyarakat Sipil di Kota Mojokerto dan Kabupaten Sidoarjo). Jurnal Simposium Nasional Akuntansi X Makasar.

Arikunto, Suharsiwi. 1995. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.

Arniati, Imelda & Ely Kartikaningdyah. 2010. “ Pengaruh Kapasitas Sumberdaya Manusia, Politik Penganggaran, Perencanaan dan Informasi Pendukung, terhadap Singkronisasi Dokumen APBD dengan Dokumen KUA-PPAS di Lingkungan Pemerintah Kota

Tanjung Pinang “. Simposium Nasional Akuntansi (2010).

Azwar, Saifudin. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.

BPKP. "Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja (Revisi)." 28 Juni 2010. Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan. 9 April 2010 <http://www.bpkp.go.id>.

Carr, Jered B & Ralph S. Brower. 2000. Principled opportunism: Evidence

from the organization middle. Public Administration Quarterly


(2)

Cooper, Donald R. & Pamela S. Schindler. Business Research Method. New York: McGraw-Hill, 2001. Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009.

Colombatto, Enrico. 2001. Discretionary power, rent-seeking and corruption. University di Torino & ICER, working paper.

Dobell, Peter & Martin Ulrich. 2002. Parliament’s performance in the

budget process: A case study. Policy Matters 3(2): 1-24.

http://www.irpp.org.

Elgie, Robert & Erik Jones. 2000. Agents, Principals and the Study of Institutions: Constructing a Principal-Centered Account of

Delegation. Working documents in the Study of European

Governance Number: 5. Center for the Study of European Governance (CSEG).

Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem: Approaches to resource allocation in the public sector and their implications for pro-poor budgeting. Center for Aid and Public Expenditure,

Overseas Development Institute (ODI). Working paper 147.

Freeman, Robert J. & Craig D. Shoulders. 2003. Governmental and

Nonprofit Accounting–Theory and Practice. Seventh edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Garamfalvi, L. 1997. Corruption in the public expenditures management process. Paper presented at 8th International Anti-Corruption Conference, Lima, Peru, 7-11 September.

http://www.transparency.org/iacc/8th_iacc/papers/garamfalvi/gar

amfalvi.html.

Gay, L.R dan Diehl. 1992. Research Methods for Bussiness and

Management. Macmilan. New York.

Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent


(3)

presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.

Hagen, Terje P., Rune J. Sorensen, & Oyvind Norly. 1996. Bargaining strength in budgetary process: The impact of institutional procedures. Journal of Theoretical Politics 8(1): 41-63.

Hamzah, Ardi. “Analisa Good Governance dan Value For Money Dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah: Studi Pada Organisasi Masyarakat Sipil di Kota Mojokerto dan Kabupaten Sidoarjo.”

Simposium Nasional Akuntansi (2007).

Hair, et.al. Mulitivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice-Hall, 1998. Halim, Abdul & Syukri Abdulah. "Hubungan Masalah Keagenan di

Pemerintah Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran & Akuntansi." Jurnal Akuntansi Pemerintah (2006): 53-64.

Haryani & Muchammad Syafruddin. “Kepercayaan dan Implementasi Peraturan Perundang-undangan Penyusunan dan Pengelolaan

Keuangan Daerah di Kabupaten Batang.” Jurnal Simposium

Nasional Akuntansi (2010).

Havens, Harry S. 1996. Budgeting and policy-making by the legislature in

the United States. Budgeting and Policy Making SIGMA Papers

No. 8, Organisation for Economic Co-operation and Development.

Havens, Harry S. 1996. Budgeting and policy-making by the

legislature in the United States. Budgeting and Policy Making

SIGMA Papers No. 8, Organisation for Economic Co-operation and Development.

Hyde, Albert C. & Jay M. Shafritz. (Eds.) 1978. Government Budgeting: Theory, Process, and Politics. Oak Park, Illinois: Moore Publishing Company, Inc.

Jogiyanto. Pedoman Survei Kuesioner: Mengembangkan Kuesioner,

Mengatasi Bias da n Meningkatkan Respon. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2008.

Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict between


(4)

Kasper, Wolfang & Manfred E. Streit. 2001. Institutional Economics: Social Order and Public Policy. Cheltham, UK: Edward Elgar.

Key, V.O. 1940. The lack of budgetary theory. American Political Science

Review 34 (December), dalam Shafritz, Jay M. & Albert C. Hyde.

1997. Classics of Public Administration. Fourth edition. Fort

Worth: Harcourt Brace College Publisher.

Krueger, A. 1974. The Political Economy of the Rent-Seeking Society.

American Economic Review 64 (3), 291–303.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Meningkatkan Kapasitas Fungsi Penganggaran DPRD dalam Konteks Pencegahan Korupsi. Jakarta: KPK, Maret 2008.

Lane, Jan-Erik. 2003. Management and public organization: The principal-agent framework. University of Geneva and National University of Singapore. Working paper.

Lee, Robert D. Jr. & Ronald W. Johnson. 1998. Public Budgeting Systems.

Sixth edition. Gaithersburg, Maryland: Aspen Publishers, Inc.

Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 2000. Representation or abdication

How citiens use institutions to help delegation suceed. European Journal of Political Research 37: 291301

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.

Yogyakarta: Penerbit Andi.

Martinez-Vazquez, Jorge, F. Javier Arze, & Jameson Boex. 2004.

Corruption, Fiscal Policy, and Fiscal Management. Working Paper, Georgia State University. http://www.fiscalreform.net

Mauro, Paolo. 1998a. Corruption and the composition of government expenditure. Journal of Public Economics 69: 263-279.

Mitchell, Paul. 2000. Voters and their representatives: Electoral institutions

and delegation in parliamentary democracies. European Journal

of Political Research 37: 335-351.

Petrie, Murray. 2002. A framework for public sector performance contracting. OECD Journal on Budgeting: 117-153.


(5)

Penerbit Salemba Humanika. Jakarta 2009;

Republik Indonesia. Permendagri Nomor 13 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 2006.

...Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah. 2004. ...Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 2004.

...Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140;

...2002. Keputusan Menteri Dalam Negeri No.29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.

Ross, Stephen A. 1973. The economic theory of agency: The principal’s

problem. American Economic Review 63(2): 134-139.

Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and

Spending, Borrowing and Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc.

Samuels, David. 2000. Fiscal horizontal accountability? Toward theory of budgetary “checks and balances” in presidential systems.

University of Minnesota, working paper presented at the

Conference on Horizontal Accountability in New Democracies, University of Notre Dame, May.

Seabright, Paul. 1996. Accountability and decentralisation in government:

An incomplete contracts models. European Economic Review 40:

61-89.

Sekaran, Uma, 1992. Research Methods for Business. John Wiley and

Son. Inc. Singapura.


(6)

budgetary policy? OECD Journal on Budgeting 1(3): 15-42.

Shleifer, A. & R. Vishny. 1993. Corruption. Quarterly Journal of Economics

108: 599-617.

Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998. Principals and agents: An

explanatory model of public budgeting. Journal of Public

Budgeting, Accounting and Financial Management (Fall): 325-353.

Sopanah & Mardiasmo. 2003. Pengaruh Patisipasi Masyarakat dan Transparansi Kabijakan Publik terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah. Simposium Nasional Akuntansi VI Surabaya. Stiglitz, Joseph E. 1999. Economics of the Public Sector. Third edition.

New York: W.W. Norton & Company.

Sugiyono. 2002. Statistik untuk Penelitian. Edisi Pertama. Cetakan

Keempat. Penerbit Alfa Beta. Bandung.

Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance. The Economic and Social review 33(3): 263-284. Wangi, Chitra Ariesta Pandan &, Irwan Taufiq Ritonga . 2010. Identifikasi

faktor-faktor penyebab terjadinya keterlambatan dalam

penyusunan APBD :Studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong

Tahun Anggaran 2008-2010. Jurnal Simposium Nasional

Akuntansi 13. Purwokerto

Yudoyono, Bambang. 2003. Otonomi Daerah – Desentralisasi dan

Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD.