PEMANFAATAN TEPUNG SUWEG (Amorphopallus campanulatus) SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN COOKIES
commit to user
i
SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN COOKIES
SKRIPSI
Oleh :
RATIH TURISYAWATI H1408507
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
(2)
commit to user
ii
SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN COOKIES
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Oleh :
RATIH TURISYAWATI H 1408507
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
(3)
commit to user
iii
SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN COOKIES
yang dipersiapkan dan disusun oleh Ratih Turisyawati
H1408507
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal : 16 Maret 2011
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Tim Penguji Ketua
Ir.Bambang Sigit A., M.Si NIP. 196407141991031002
Anggota I
R. Baskara Katri A., S.TP, MP NIP. 198005132006041001
Anggota II
Ir. Choirul Anam, MP, MT NIP. 196802122005011001
Surakarta, Maret 2011 Mengetahui
Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian
Dekan
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 195512171982031003
(4)
commit to user
iv
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan merangkumnya dalam skripsi berjudul “Pemanfaatan Tepung
Suweg (Amorphopallus campanulatus) Sebagai Subtitusi Tepung Terigu Pada Pembuatan Cookies”. Penelitian dan penyususnan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian dari Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tentunya penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Ir. Kawiji, MS selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Godras Jati Manuhara, S.TP selaku Pembimbing Akademik yang telah
member arahan selama menempuh kuliah di di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Ir. Bambang Sigit Amanto, M.Si selaku selaku Pembimbing Utama yang telah
memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan skripsi ini.
5. R. Baskara Katri Anandito, S.TP, MP selaku Pembimbing Pendamping yang
telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan skripsi ini.
6. Ir. Choirul Anam ,MP, MT selaku Penguji yang telah sabar membimbing dan
juga memberikan saran.
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian pada khususnya serta
seluruh staff pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta pada umumnya, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh kuliah. Semoga kelak bermanfaat.
(5)
commit to user
v
berhenti berdoa memberi dukungan, baik secara material maupun spiritual hingga terselesainya penulisan skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan Badrus, Ihda, mbak Ii, Fitri, Wati dan Taufik.
Makasih atas semua bantuan dan dukungannya selama penelitian ini berlangsung. Kalian adalah sahabat sejati bagiku, sahabat yang selalu ada saat aku susah maupun senang.
10.Temen-teman transfer angkatan 2008-2010 yang selalu membantu dan
memberi dukungan selama penyusunan skripsi ini.
11.Teman-teman mahasiswa Jurusan THP semua angkatan 2004 - angkatan 2010
yang selalu membantu dan memberi dukungan selama penelitian ini berlangsung.
Pada penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa ‘tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali ciptaan-Nya’. Namun penulis tetap berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Surakarta, Maret 2011
(6)
commit to user
vi
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PENGESAHAN... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
RINGKASAN ... xii
SUMMARY ... xiii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
II. LANDASAN TEORI ... 4
A. Tinjauan Pustaka ... 4
1. Suweg ... 4
2. Tepung Suweg... 6
3. Kue Kering ... 8
4. Bahan-bahan pembutan Kue Kering (Cookies)………… . 9
a. Tepung Terigu ... 9
b. Susu Skim ... 11
c. Telur ... 12
d. Gula ... 13
e. Shortening……….. 14
f. Garam ... 14
g. Air ... 15
(7)
commit to user
vii
a. Proses pencampuran ... 16
b. Proses pencetakan ... 17
c. Proses pemanggangan ... 18
B. Kerangka Berpikir ... 18
C. Hipotesis... 19
III. METODE PENELITIAN ... 20
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 20
B. Bahan dan Alat ... 20
1. Bahan ... 20
2. Alat ... 20
C. Tahapan Penelitian ... 20
1. Pembuatan Tepung Suweg ... 21
2. Pembuatan Cookies ... 24
D. Analisa ... 26
E. Rancangan Penelitian ... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
A. Sifat Sensoris... 28
1. Warna ... 28
2. Aroma... 30
3. Rasa ... 31
4. Tekstur ... 33
5. Keseluruhan ... 35
B. Sifat Kimia Cookies ... 36
1. Kadar Air... 36
2. Kadar Abu ... 38
3. Kadar Protein ... 39
4. Kadar Lemak ... 40
5. Kadar Karbohidrat... 42
6. Kadar Serat Kasar ... 43
(8)
commit to user
viii
2. Warna ... 46
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 49
A. Kesimpulan ... 49
B. Saran... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
(9)
commit to user
ix
Nomor Judul Halaman
2.1 Kandungan Gizi Suweg dalam 100 g Bahan ... 6
2.2 Komposisi Tepung Suweg dan Tepung Terigu ... 7
2.3 Syarat Mutu Kue Kering ... 9
2.4 Komposisi Kimia Tepung Terigu ... 11
2.5 Komposisi Kimia Susu Skim dalam Persen ... 12
3.1 Metode Analisis Sifat Kimia dan Fisik ... 26
3.2 Variasi Konsenterasi Tepung Terigu dan Tepung Suweg Pada Pembuatan Cookies ... 27
4.1 Hasil Analisa Sensoris terhadap Warna Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 28
4.2 Hasil Analisa Sensoris terhadap Aroma Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 30
4.3 Hasil Analisa Sensoris terhadap Rasa Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 32
4.4 Hasil Analisa Sensoris terhadap Tekstur Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 33
4.5 Hasil Analisa Sensoris terhadap Keseluruhan Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 35
4.6 Kadar Air (%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 36
4.7 Kadar Abu (%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 38
4.8 Kadar Protein (%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 40
4.9 Kadar Lemak (%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 41
4.10 Kadar Karbohidrat (%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 42
4.11 Kadar Serat Kasar (%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan ... 44
4.12 Gaya Maksimal (N) Cookies Retak ... 45
(10)
commit to user
x
Nomor Judul Halaman
2.1 Diagram Alir Kerangka Berpikir ... 19
3.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Suweg ... 23
3.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Cookies ... 25
3.3 Diagram Rancangan Penelitian ... 27
(11)
commit to user
xi
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1. Metode Analisa Penelitian... 55
Lampiran 2. Borang Penilaian Uji Sensori Metode Kesukaan ... 59
Lampiran 3. Data Uji Sensori Metode Uji Kesukaan ... 60
Lampiran 4. Data Hasil Penelitian ... 61
(12)
commit to user
xii
Ratih Turisyawati H 1408507
RINGKASAN
Umbi suweg merupakan bahan pangan lokal yang belum banyak dimanfaatkan. Pemanfaatan umbi suweg salah satunya adalah sebagai tepung. Tepung suweg kaya akan karbohidrat dan serat kasar. Tepung suweg dapat dimanfaatkan dalam
pembuatan cookies sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung
terigu sebagai bahan baku pembuatan cookies.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung terigu terhadap karakteristik sifat kimia (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat dan serat kasar), sifat fisik (tekstur dan warna) dan sensoris (warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu variasi
konsentrasi subtitusi tepung terigu dan tepung suweg dalam pembuatan cookies, yaitu
F0 tepung terigu (100%), F1 tepung terigu (95%) : tepung suweg (5%), F2 tepung terigu (90%) : tepung suweg (10%), F3 tepung terigu (85%) : tepung suweg (15%)
dan F4 tepung terigu (80%) : tepung suweg (20%). Data yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan menggunakan ANOVA, apabila ada perbedaan yang signifikan antar perlakuan, dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)
dengan tingkat signifikasi 95% atau α 5%.
Hasil penelitian menunjukkan semakin besar subtitusi tepung suweg akan meningkatkan kadar abu, kadar karbohidrat dan kadar serat kasar. Hasil uji tekstur
menunjukkan semakin besar penambahan subtitusi tepung suweg maka cookies akan
memiliki tekstur keras. Hasil uji warna menunjukkan semakin banyak subtitusi
tepung suweg maka cookies memiliki warna gelap. Berdasarkan hasil analisis kimia,
fisik dan sensoris cookies yang dapat diterima oleh konsumen adalah cookies yang
dibuat dengan subtitusi tepung terigu 90% : tepung suweg 10%, cookies tersebut
mempunyai kadar air (4,58%), abu (1,61%), protein (11,78%), lemak (12,32%), karbohidrat (69,72%) dan serat kasar (0,45%) yang telah memenuhi syarat SNI.
(13)
commit to user
xiii
THE UTILIZATION OF SUWEG TUBER FLOUR (Amorphopallus campanulatus) AS THE SUBTITUTE OF WHEAT FLOUR IN MAKING
COOKIES
Ratih Turisyawati H 1408507
SUMMARY
Suweg tuber is a local food material which is less utilized. One of the utilization of suweg tuber is in the form of flour. Suweg tuber flour is rich of carbohydrate and coarse fiber food. Suweg tuber flour can be utilized in making cookies so therefore this the approach condecrease the dependence of wheat flour as the basic material in making cookies.
The objectives of the research were to determine the influence of the use of suweg tuber flour as the substitute of wheat flour toward chemical characteristics (moisture content, ash, protein, fat, carbohydrate, and coarse fiber food, toward physical (texture and colour) and sensory characteristics (colour, aroma, taste, texture, and overall). This research used Completely Randomized Design (CRD) with one treatment factor, the variation of concentration of wheat flour and suweg tuber flour substitution in making cookies, F0 wheat flour (100%), F1 wheat flour(95%) : suweg tuber flour (5%), F2 wheat flour (90%) : suweg tuber flour (10%), F3 wheat flour (85%) : suweg tuber flour (15%) and F4 wheat flour (80%) : suweg tuber flour (20%). The data were then analyzed by using ANOVA and continued by Duncan’s Multiple
Range Test (DMRT) with the level of significance α 5%.
The result of research showed that the higher addition of suweg tuber flour substitution, the higher are the ash, carbohydrate and coarse fiber food levels. The result of texture test showed that the more addition of suweg tuber flour substitution, the harder cookies texture. The result of colour test showed that the more suweg tuber flour substitution, the darker colour cookies. Considering the chemical, physical and sensory analysis the acceptable cookies to the panelists is the cookies which was made of substitution wheat flour of 90% : suweg tuber flour, such cookies has moisture (4,58%), ash (1,61%), protein (11,78%), fat (12,32%), carbohydrate (69,72%) and coars fiber food (0,45%) levels that have met the SNI riquirements.
(14)
commit to user
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sudah terbiasa mengkonsumsi makanan ringan sebagai camilan/kudapan. Kue kering merupakan salah satu jenis makanan ringan yang sangat digemari masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan. Bentuk dan rasa kue kering sangat beragam tergantung bahan tambahan yang
digunakan. Kue kering yang sering dikonsumsi biasanya berbahan baku terigu.
Cookies merupakan biskuit yang berbahan dasar tepung terigu. Tepung terigu merupakan tepung atau bubuk yang berasal dari biji gandum. Keistimewaan tepung terigu dibandingkan serealia lain yaitu kemampuannya untuk membentuk gluten yang bersifat elastis pada saat dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan menyebabkan kue tidak mudah rusak ketika dicetak. Tepung terigu memiliki keistimewaan, namun komoditi gandum di Indonesia kuantitasnya sangat terbatas sehingga mengharuskan negara kita mengimpor gandum. Kebutuhan tepung terigu di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat (Ani dkk, 2007).
Beradasarkan data BPS (2007), pada tahun 2003 impor terigu mencapai 343.144,9 ton sedangkan pada tahun 2006 mencapai 536.961,6 ton. Impor
terigu mengalami peningkatan sebesar 19 %. Peningkatan permintaan terigu
disebabkan semakin beragamnya produk makanan berbasis terigu, terutama di perkotaan. Harga terigu yang semakin mahal menyebabkan beberapa industri makanan berbasis terigu mengalami kerugian atau mengurangi produksinya.
Solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan tepung dari bahan pangan lokal dalam memproduksi makanan berbasis terigu. Budaya mengonsumsi tepung pada masyarakat Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan mengembangkan aneka tepung lokal untuk mengurangi penggunaan terigu
(Budijono et al. 2008). Salah satu pemanfaatan tepung lokal yaitu
(15)
commit to user
Umbi-umbian merupakan bahan pangan berkarbohidrat tinggi, tetapi di Indonesia belum semua umbi-umbian dimanfaatkan dan dikembangkan. Suweg merupakan tanaman yang dapat tumbuh di pekarangan atau tegalan tanpa
dengan pemeliharaan yang khusus. Suweg (Amorphopallus campanulatus)
telah dikenal oleh sebagian petani di Jawa, Sumatera dan Bagian Timur Indonesia. Umbi suweg besarnya mencapai 5 kg, cita rasanya netral sehingga mudah dipadukan dengan beragam bahan sebagai bahan baku makanan tradisional dan modern.
Suweg sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Salah satunya pada areal Gapoktan yang berada di sekitar hutan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Perum Perhutani Kendal telah mengembangkan tanaman suweg pada lahan yang luasnya 5 ha. Hasil umbi berkisar antara 30–200 ton/ha umbi segar. Suweg dapat dipanen 1–2 tahun setelah tanam, tergantung pada macam bibit dan jenis suweg (Matori, 2008).
Suweg merupakan sumber bahan pangan yang sangat potensial. Komposisi utamanya adalah karbohidrat sekitar 80-85%. Kandungan serat, vitamin A dan B juga lumayan tinggi. Setiap 100 g suweg mengandung protein 1.0 g, lemak 0.1 g, karbohidrat 15.7 g, kalsium 62 mg, besi 4.2 g, thiamine 0.07 mg dan asam askorbat 5 mg (Faridah, 2005).
Karbohidrat pada suweg mengandung pati, terutama kandungan mannan sebanyak 30% yang terdiri dari polisakarida manose dan glukose, apabila dicampur dengan air akan menjadi lengket (Kasno, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung terigu dalam
(16)
commit to user
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung
terigu terhadap karakteristik sifat kimia (kadar air, abu, karbohidrat,
protein, lemak dan serat kasar) cookies?
2. Bagaimana pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung
terigu terhadap karakteristik sifat fisik dan sensoris (warna, tekstur, rasa,
aroma dan keseluruhan) cookies?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung
terigu terhadap karakteristik sifat kimia (kadar air, abu, karbohidrat,
protein, lemak dan serat kasar) cookies.
2. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung suweg sebagai subtitusi tepung
terigu terhadap karakteristik sifat fisik dan sensoris (warna, tekstur, rasa,
aroma dan keseluruhan) cookies.
D. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi penggunaan tepung terigu terutama pada pembuatan cookies.
2. Meningkatkan nilai ekonomis umbi suweg dan diversifikasi pangan
(17)
commit to user
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Suweg
Tanaman suweg (Amorphophallus campanulatus) telah lama
dikenal di Indonesia. Pada jaman penjajahan Jepang, umbi suweg berperan sebagai sumber cadangan pangan bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat yang terkendala untuk menyediakan beras atau bahan pangan karbohidrat lainnya. Umbi suweg termasuk umbi batang, merupakan perubahan bentuk dari batang yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan sumber karbohidrat (Pitojo, 2007).
Menurut Tjitrosoepomo (1988), pada taksonomi tumbuhan, tanaman suweg diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Arales
Famili : Araceae
Genus : Amorphophallus
Spesies : Amorphophallus campanulatus Bl .
Nama umum/dagang : Suweg Nama daerah : Suweg (Jawa)
Tanaman suweg umumnya ditanam di pekarangan dan tegalan. Pertumbuhannya diawali dengan munculnya semacam kuncup bunga dari dalam tanah pada awal musim hujan. Suweg dapat tumbuh baik hingga elevasi 2.500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 1.000–1.500 mm/tahun. Suweg dapat tumbuh pada tanah dengan pH agak masam hingga netral dan toleran penaungan hingga 60%. Kuncup bunga tersebut
(18)
commit to user
merupakan tunas, kemudian tumbuh menjadi tanaman suweg. Pada musim kemarau daun suweg menguning, dan lama-kelamaan mati (Lingga, 1986).
Tanaman suweg tumbuh subur di dataran rendah hingga ketinggian
800 m di atas permukaan laut. Kisaran suhu idealnya adalah 25-35 oC
dengan curah hujan 1000-1500 mm/tahun. Suweg berkembang biak dengan pemisahan anakan atau memotong tunas anakan yang tersebar di permukaan umbi. Tanah yang cocok adalah campuran antara tanah humus, lempung, dan pasir. Tanaman suweg akan menghasilkan umbi siap panen ketika memasuki umur 18 bulan (Risa, 2009).
Pada areal Gapoktan yang berada di sekitar hutan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Perum Perhutani Kendal telah mengembangkan tanaman suweg pada lahan sebenyak 5 ha. Hasil umbi berkisar antara 30–200 ton/ha umbi segar. Suweg dapat dipanen 1–2 tahun setelah tanam, tergantung pada macam bibit dan jenis suweg (Matori, 2008).
Masa panen suweg dilakukan saat batang suweg sudah membusuk dan memasuki masa istirahat, saat inilah kandungan pati di dalam suweg maksimal. Berat umbi suweg bisa mencapai 5 kg. Pada rumpun tanaman suweg yang mati tersebut terdapat umbi yang digunakan sebagai bahan makanan (Sutomo, 2008).
Citarasa suweg netral sehingga mudah dipadupadankan dengan beragam bahan sebagai bahan baku kue tradisional dan modern. Suweg
sangat potensial sebagai bahan pangan sumber karbohidrat (Sutomo, 2008).
Menurut Faridah (2005), komposisi utama suweg adalah karbohidrat sekitar 80-85%. Kandungan serat, vitamin A dan B juga lumayan tinggi. Kandungan zat gizi pada umbi suweg dapat dilihat pada tabel 2.1. sebagai berikut :
(19)
commit to user
Tabel 2.1. Kandungan Gizi Suweg dalam 100 g Bahan
Kandungan Jumlah (gr)
Air 4,74
Abu 4,60
Lemak 0,28
Protein 7,20
Karbohidrat 83,18
Sumber : (Faridah, 2005).
Kelebihan lain umbi suweg, kandungan serat pangan dan karbohidratnya cukup tinggi yaitu berturut-turut 13,71%, dan 80% dengan kadar lemak yang rendah sebesar 0,28% (Faridah, 2005).
Karbohidrat suweg mengandung pati, terutama kandungan mannan sebanyak 30% yang terdiri dari polisakarida manose dan glukose, apabila dicampur dengan air akan menjadi lengket (Kasno, 2007).
2. Tepung Suweg
Tepung umbi suweg memiliki keunggulan yaitu kandungan protein serta kandungan serat cukup besar. Telah dilaporkan dari berbagai penelitian bahwa terdapat hubungan erat antar konsumsi serat dan timbulnya berbagai penyakit. Konsumsi serat dalam jumlah yang tinggi akan memberi pertahanan pada tubuh manusia terhadap timbulnya berbagai penyakit seperti kanker usus besar, kloesterol, kencing manis (Faridah, 2005).
Proses pembuatan tepung suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.)
dapat dilakukan dengan cara kering. Umbi yang telah dicabut kemudian dibersihkan, dikupas dan dicuci dengan air bersih. Selanjutnya umbi suweg
diiris tipis-tipis dan dikeringkan dengan cabinet dryer pada suhu 50 0C
selama 18 jam. Kemudian dilakukan penggilingan dan diayak menggunakan ayakan berukuran 80 mesh maka akan dihasilkan tepung suweg (Faridah, 2005).
(20)
commit to user
Menurut Pitojo (2007), sifat fisika tepung umbi suweg antara lain halus, berwarna putih keabu-abuan atau kecokelat-cokelatan. Warna tepung umbi suweg kurang putih dibandingkan dengan tepung terigu, tepung tapioka atau tepung sukun. Tepung suweg berwarna kecoklatan yang disebabkan terjadinya reaksi browning (pencoklatan) pada saat pengupasan umbi sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna putih. Sifat kimia tepung umbi suweg memiliki aroma spesifik. Tepung suweg tidak seperti tepung terigu yang memiliki banyak gluten. Namun demikian tepung suweg dapat dimanfaatkan sebagai subtitusi dengan tepung terigu atau tepung yang lain untuk membuat aneka makanan.
Tabel 2.2 Komposisi Tepung Suweg dan Tepung Terigu
Komponen Nilai
Tepung Umbi Suweg Tepung Terigu
Kadar Air (%) 4,74 7,800
Kadar Abu (%) 4,60 0,520
Kadar Lemak (%) 0,28 0,900
Kadar Protein (%) 7,20 8,000
Kadar Serat Kasar (%) 5,23 0,430
Kadar Karbohidrat (%) 83,18 82,350
Sumber : (Faridah,2005)
Berdasarkan Tabel 2.2 dapat dilihat komposisi dari tepung umbi suweg. Tepung terigu dan tepung suweg mempunyai kelebihan masing-masing pada kandungan gizinya. Tepung suweg mempunyai kadar serat kasar lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu yaitu sebesar 5,23%. Pada tepung suweg memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi daripada tepung terigu yaiti sebesar 83,18%. Selain itu kandungan lemak pada tepung suweg juga rendah yaitu sebesar 0,28% (Faridah,2005).
Umbi suweg mempunyai nilai daya cerna pati cukup rendah yaitu sebesar 61,75% bila dibandingkan dengan tepung singkong sebesar 75,25%. Rendahnya daya cerna pati disebabkan adanya kandungan serat dalam tepung suweg. Pati dapat dihidrolisis oleh enzim alfa amylase
(21)
commit to user
menjadi gula-gula sederhana (glukosa, maltose) dan alfa limit dekstrin. Semakin tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditentukan semakin banyaknya glikosa dan maltose yang dihasilkan (Farudah, 2005).
3. Kue Kering
Kue kering adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak dan bahan pengembang. dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Seiring dengan
perkembangan jaman, bahan pembuatan cookies juga mengalami
perkembangan yaitu penggantian bahan utama dengan bahan lain (Wahyuni, 2006).
Kue kering (cookies) menurut Whiteley (1971) diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu adonan keras dan adonan lunak. Jenis adonan keras biasanya digunakan gula sedikit dan shortening kurang dari 22 % dari jumlah tepung. Pada adonan keras tepung sebagai bahan utama biasanya dicampur dengan air dan bahan-bahan lain seperti garam, ragi, telur, lemak sebelum diuleni dengan tangan atau mesin sehingga kalis (tidak lengket di tangan) dan bisa dibentuk, misalnya : adonan roti, donat, pizza dan berbagai jenis kue kering. Untuk jenis adonan lunak menggunakan gula dan shortening lebih banyak dibandingkan dengan jenis adonan keras. Pada adonan lunak tepung sebagai bahan utama biasanya tidak dicampur air, melainkan dicampur dengan gula, telur, atau susu sebelum dicampur (dikocok) dengan tangan atau mesin sehingga terbentuk cairan yang encer, kental, atau seperti krim, misalnya : adonan cake, bolu dan juga beberapa kue kering.
Cookies merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak (lembek), berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila dipatahkan dan
(22)
commit to user
tepung non-terigu biasanya termasuk ke dalam golongan short dough. Di Indonesia, produk kue kering memiliki ketentuan mutu yang diperbolehkan dan diatur dalam SNI No. 01-2973-1992. Mutu kue kering yang dipersyaratkan sebagai berikut :
Table 2.3. Syarat Mutu Kue Kering
No. Zat Gizi Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Kalori (Kalori/100 gram) Air (%)
Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Serat kasar (%) Logam berbahaya Bau dan rasa Warna Minimum 400 Maksimum 5 Minimum 9 Minimum 9.5 Minimum 70 Maksimum 1.5 Maksimum 0.5 Negatif
Normal dan tidak tengik Normal
Sumber : SNI No. 01-2973-1992
Kue kering merupakan camilan yang banyak digemari orang. Bahan–bahan yang digunakan dalam pembuatan kue kering antara lain : tepung terigu, susu skim, gula, telur, shortening, garam, bahan pengembang dan air (Asmadi, 2007).
4. Bahan-bahan Pembuat Kue Kering (Cookies)
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kue kering antara lain :
a. Tepung Terigu
Tepung terigu adalah tepung / bubuk halus yang berasal dari
biji gandum (Tritikum vulgare), dan digunakan sebagi bahan dasar
pembuat kue, mi, dan roti. Tepung terigu mengandung banyak pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Tepung terigu juga mengandung protein dalam bentuk gluten, yang berperan dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu. Kadar protein ini menentukan elastisitas dan tekstur sehingga penggunaannya disesuaiakan dengan jenis dan spesifikasi adonan
(23)
commit to user
yang akan dibuat. Klasifikasi pertama adalah tepung terigu protein tinggi, yang mengandung kadar protein 11%-13% atau bahkan lebih. Bila terkena bahan cair maka glutennya akan mengembang dan saling mengikat dengan kuat membentuk adonan yang sifatnya liat. Kedua, protein sedang, yang mengandung kadar protein antara 8%-10%, digunakan pada adonan yang memerlukan kerangka lembut namun masih bisa mengembang seperti cake. Tepung terigu jenis ini sangat fleksibel penggunaannya. Ketiga adalah protein rendah, yang mengandung kadar protein sekitar 6%-8%, diperlukan untuk membuat adonan yang bersifat renyah sangat cocok untuk membuat
kue kering (cookies). Terigu ini biasanya disebut dengan soft wheat
atau terigu lunak. Kandungan proteinnya yang rendah membantu selama proses pencampuran karena lebih mudah menyatu dengan bahan–bahan lain (Sutomo, 2006).
Tepung kuat (hard wheat) adalah tepung terigu yang mampu menyerap air dalam jumlah banyak untuk mencapai konsistensi
adonan yang tepat untuk pembuatan produk bakery, dan adonan
tersebut memiliki ekstensibilitas dan sifat elastis yang baik, akan dapat menghasilkan roti dengan remah yang halus, tekstur yang lembut, dan volume pengembangan yang besar dan mengandung 11%-13% protein. Tepung ini cocok untuk pembuatan roti dan
produk bakery yang dikembangkan dengan ragi. Tepung kuat
biasanya berwarna krem, terasa kering bila dipegang tidak menggumpal kalau digenggam dan mudah menyebar kalau ditabur.
Tepung lemah (soft wheat) adalah tepung terigu yang sedikit saja dapat menyerap air dan hanya mengandung 8%-9% protein, kemudian adonan yang terbentuk kurang ekstensibel dan kurang elastis sehingga kurang cocok bila digunakan untuk pembuatan cake atau bolu, biskuit, cookies, dan crakers. Tepung lemah mempunyai
(24)
commit to user
warna yang lebih putih, mudah menggumpal jika digenggam, demikian juga kalau ditabur tidak mudah menyebar karena ada gumpalan-gumpalan kecil (Kristinemonia, 2005).
Tabel 2.4. Komposisi kimia tepung terigu
Komponen Kadar (%)
Pati Protein Lemak Abu Air
65-70 8-13 0,8-1,5 0,-0,6 13-15,5 Sumber : Marsono dan Astanu, 2002.
Tepung terigu memiliki kelebihan dibanding tepung serealia lainnya. Kelebihan tepung terigu dibanding tepung serealia lainnya adalah sifat fisiko kimiawinya, terutama kemampuan protein dalam membentuk gluten. Tepung terigu banyak mengandung gluten. Sifat ini tidak dimiliki oleh tepung serealia lainnya, apalagi komoditas non serealia (Winarno dan Pudjaatmaka, 1989).
b. Susu skim
Susu skim adalah bagian susu yang banyak mengandung protein. Susu skim dalam pembutan kue berfungsi untuk membentuk warna kulit yang menarik, menambah flavor dan manambah nilai gizi (Sultan, 1981).
Susu skim adalah susu yang telah dipisahkan lemaknya dan kaya protein dan laktosa. Laktosa merupakan disakarida reduksi yang memiliki kemanisan 16% dari sukrosa. Kombinasi laktosa dan protein dengan adanya panas menyebabkan reaksi maillard. Reaksi ini menghasilkan warna coklat yang atraktif pada permukaan cookies (Manley, 1998).
Protein susu skim dalam bentuk kasein, laktalbumin, dan laktoglobulin. Kasein dapat membantu pembentukan stuktur porous
(25)
commit to user
dan kekerasan. Susu skim membantu menahan penyerapan air karena protein susu mengikat air sehingga adonan bersifat lebih kuat dan lengket. Susu skim juga berfungsi sebagai emulsifying agent untuk membentuk campuran homogen yang lembut (Smith, 1972). Komposisi kimia susu skim dapat dilihat pada Tabel. 2.5.
Tabel 2.5. Komposisi Kimia Susu Skim dalam Persen
No. Zat Gizi Jumlah (%)
1. 2.
Air Lemak
2,5 0,85
3. Protein 26,15
4. Gula 51,8
5. Mineral 8,7
Sumber : Smith, 1972
c. Telur
Menurut Sultan (1981), fungsi telur dalam adonan untuk membantu proses pengembangan volume adonan, menambah warna
kuning pada produk serta menimbulkan flavour dan rasa gurih.
Putih telur sangat berperan dalam membentuk adonan yang lebih kompak, sedangkan kuning telur sangat mempengaruhi kelembutan dan rasa kue kering yang dihasilkan. Penggunaan salah satu bagian telur (putih, atau kuning telur) atau kombinasi keduanya disesuaikan dengan hasil akhir yang diinginkan (Ani, 2007).
Zat makan pada putih telur yang terbanyak adalah protein albumin, dan paling sedikit adalah lemak, sedangkan pada kuning telur, porsi terbanyak adalah lemak dan bagian yang paling sedikit adalah hidrat arang. Dengan kata lain, putih telur merupakan sumber protein sedangkan kuning telur merupakan sumber lemak. Pada kuning telur juga dikemukakan bahwa kandungan vitamin A ada dalam jumlah banyak (Hadiwiyoto, 1983).
(26)
commit to user
d. Gula.
Menurut Smith (1972), fungsi gula dalam proses pembuatan
cookies selain sebagai pemberi rasa manis, juga berfungsi memperbaiki tesktur dan memberikan warna pada permukaan
cookies. Jumlah gula yang ditambahkan biasanya berpengaruh
terhadap tesktur dan penampilan cookies. Meningkatnya jumlah gula
di dalam adonan cookies, akan mengakibatkan cookies menjadi
semakin keras.
Hampir semua gula yang digunakan dalam pembuatan cookies mengandung 99,8% sukrosa, kurang dari 0,05% air dan 0,05% berupa gula invert dan karbohidrat lain selain sukrosa serta abu. Sukrosa adalah disakarida yang tersusun oleh glukosa dan fruktosa. Sukrosa berkontribusi untuk membantu pembentukan tekstur remah dan volume adonan selama pencampuran dan pemanggangan (Wade, 1995).
Salah satu sifat sukrosa yang penting selama pencampuran adonan adalah ukuran partikel. Satu bagian air mampu melarutkan dua bagian gula pada suhu ruang. Kelarutan menjadi meningkat pada
suhu 100oC (Wade, 1995).
Selama pencampuran adonan, sukrosa menyerap air dan mencegah hidrasi protein dengan air sehingga penambahan gula mengurangi jumlah air dalam adonan. Selain itu, sukrosa dapat menaikkan suhu koagulasi telur dan menunda gelatinisasi pati. Penambahan sukrosa lebih dari 55% dari berat tepung menghasilkan
cookies yang keras. Dasar terbentuknya warna dan flavor pada
cookies karena terjadi reaksi selama pemanggangan yaitu reaksi maillard antara asam amino dan gula reduksi dan reaksi karamelisasi (Wade, 1995).
(27)
commit to user
Gula yang digunakan dalam pembuatan kue kering adalah gula halus. Gula halus mudah larut dalam campuran bahan-bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan kue kering (Surjani, 2009).
e. Shortening
Menurut Sultan (1981), shortening biasa digunakan dalam pembuatan kue kering dengan tujuan untuk membantu pengempukan produk akhir, memperbaiki rasa dan tekstur produk yang dihasilkan. Shortening yang digunakan dalam pembuatan roti dan kue dapat berupa margarin atau mentega.
Shortening merupakan tipe lemak yang memiliki kemampuan untuk melumas (lubricating) dan mengempukan bahan pangan
khususnya cookies. Kemampuan shortening lemak atau minyak
dipengaruhi oleh komposisi asam lemak (Ketaren, 2005). Shortening yang digunakan berupa lemak yang sudah dijernihkan. Shortening terbagi dua yaitu margarin dan mentega. Margarin merupakan produk minyak nabati sedangkan mentega adalah produk minyak hewani.
Margarin adalah emulsi W/O yang mana bulatan-bulatan bergaris tengah antara 1 sampai 20 µm tersebar dalam fase lemak semi-padat mengandung kristal-kristal lemak dan minyak cair. Emulsi yang terdiri atas 80% lemak ini dihasilkan melalui tahap homogenisasi yang berlangsung hanya beberapa detik sampai beberapa menit sebelum dipompa melewati unit pendingin, kemudian diemulsi lebih lanjut sampai fase lemak membentuk kristal. Tidak seperti emulsi yang lain, emulsi margarin tidak terlalu kuat, karena kemampuan mengemulsinya dapat dicapai antara lain karena pendinginan cepat (Ketaren, 2006).
f. Garam
Garam digunakan sebagai penambah rasa dan menghilangkan
(28)
commit to user
warna kue. Jika tidak ada garam yang ditambahkan ke dalam adonan maka warna kue akan pucat. Garam yang digunakan dalam pembuatan kue kering biasanya menggunakan garam halus agar lebih cepat larut dan meresap ke dalam adonan (Lange, 2004).
Garam berkontribusi untuk flavor dan meningkatkan flavor bahan lain seperti memperkuat kemanisan. Jenis garam yang digunakan adalah garam NaCl. Garam efektif digunakan pada konsentrasi 1-1,5% dari jumlah tepung. Apabila digunakan lebih besar dari 2,5%, menyebabkan flavor yang kurang menyenangkan. Oleh karena itu, jumlah yang digunakan dalam adonan sedikit. Ukuran partikel tidak berpengaruh karena semua larut dalam adonan. Jika garam dikurangi, bahan lain harus ditingkatkan untuk mengganti kehilangan flavor (Manley, 1998).
g. Air
Air terdiri dari molekul-molekul H2O yang terikat satu sama lain dengan ikatan hidrogen yang bersifat polar. Sifat ini mampu melemahkan ikatan hidrogen bahan lain sehingga mempercepat proses pencampuran dan pembentukan adonan. Daya larut bahan yang melibatkan ikatan hidrogen meningkat dengan meningkatnya suhu misalnya kelarutan gula (Winarno, 2002).
h. Bahan Pengembang
Soda kue merupakan bahan pengembang yang dibuat dengan mencampur bahan bereaksi asam dengan sodium bikarbonat ditambah air akan menghasilkan CO2, yang terdispersi dalam air. Dalam oven, CO2 bersama-sama dengan udara dan uap air mengembang dan mengembangkan adonan (Winarno, 2002). Menurut Smith (1972), saat pengembangan, gas CO2 dipengaruhi suhu menyebabkan peningkatan volume dan merentangkan adonan.
(29)
commit to user
Peningkatan volume tergantung dari kekuatan struktur yang telah terbentuk. Gas CO2 bersama uap air dan udara kemudian keluar dari adonan ke oven. Perpindahan ini menyebabkan keutuhan struktur menjadi berlubang dan permukaan cookies menjadi retak. Namun tidak semua gas berpindah, perpindahan gas dari adonana ke oven berlangsung sampai struktur menjadi lebih kuat (Smith, 1972).
5. Proses Pembuatan Kue Kering (Cookies)
Menurut Smith (1972), proses pembuatan kue kering dibagi menjadi 3 tahapan yaitu proses pencampuran, pencetakan, dan pemanggangan.
a. Proses pencampuran.
Pencampuran merupakan salah satu tahapan yang paling penting dalam pembuatan kue kering. Adonan diaduk agar semua bahan dapat bercampur dengan baik. Cara pencampuran bahan ada 2
yaitu pertama adalah Creaming yaitu mencampur lebih dahulu lemak
dan gula bersama baru dimasukkan tepungnya. Cara kedua disebut All
In Method yaitu mencampurkan semua bahan menjadi satu hingga homogen. Pembentukan kerangka kue kering diawali selama pencampuran.
Menurut Smith (1972), ada 2 metode pencampuran secara
creaming yaitu two stage method dan three stage method. Pada two
stage method, semua bahan selain tepung dan baking powder dicampur selama 4-10 menit, kemudian dilakukan pencampuran kedua dengan
menambahkan tepung dan baking powder. Three stage method yang
digunakan dalam creaming, terdiri atas :
a) Pencampuran shortening, gula, susu dengan kecepatan putaran
tinggi selam 3-7 menit.
b) Penambahan garam, telur, dan air dengan kecepatan sedang
(30)
commit to user
c) Pencampuran dilanjutkan dengan dimasukkannya tepung dan
leavening agent dengan kecepatan putaran rendah selama 3-10 menit. Setelah homogen lalu dilakukan pencetakan dan pemanggangan.
Metode pencampuran ini digunakan untuk mengontrol
penyebaran dan volume selama pemanggangan. Pada two stage
method adonan yang dihasilkan lebih banyak mengikat air dari pada
three stage method. Sehingga jumlah air yang digunakan menjadi faktor yang sangat menentukan dalam pencampuran.
b. Proses pencetakan
Menurut Smith (1972), pencetakan dimaksudkan untuk
memperoleh produk cookies dengan bentuk yang seragam dan
meningkatkan daya tarik. Pencetakan biasanya dilakukan pada loyang
dengan diberi jarak untuk menghindari agar cookies tidak saling
lengket. Sebelum dilakukan pencetakan perlu dilakukan pendinginan
terlebih dahulu selama 10 menit pada suhu 0-4o C. Pendinginan
dilakukan agar terjadi sedikit pengembangan pada adonan. Alat yang digunakan untuk mencetak roti kering terbuat dari alumunium yang mudah digunakan dan dibersihkan. Bentuk dan cetakan kue kering bermacam–macam dan dapat disesuaikan dengan selera.
Metode pencetakan juga tergantung pada bentuk adonan.
Berdasarkan bentuk adonan cookies terbagi dua yaitu hard dough dan
soft dough. Hard dough merupakan adonan cookies yang memiliki kandungan air tinggi, kandungan lemak dan gula relatif rendah.
Sedangkan soft dough merupakan adonan cookies yang memiliki
kandungan air rendah, kandungan lemak dan gula relatif tinggi. Perbedaan ini terjadi karena jumlah penggunaan shortening yang
berbeda, soft dough lebih banyak menggunakan shortening dari pada
(31)
commit to user
c. Proses pemanggangan
Selama pemanggangan akan terjadi perubahan fisik maupun kimiawi. Perubahan fisik meliputi megembangnya gas dan menguapnya air. Sedangkan perubahan kimiawi meliputi gelatinisasi pati, koagulasi protein, karamelisasi gula, dan reaksi maillard.
Pengembangan akan terjadi tidak hanya sebagai hasil peningkatan volume gas yang sudah berada dalam rongga udara, tetapi
juga sebagai akibat lebih lanjut dari pengembangan CO2, peningkatan
tekanan uap air serta hilangnya senyawa-senyawa yang mudah menguap. Koagulasi protein dan gelatinisasi pati merubah sifat dinding
sel berongga udara adonan menjadi lebih permeabel terhadap CO2.
Pada proses pemanggangan biasanya menggunakan suhu berkisar
150-170oC. Suhu pemanggangan tidak boleh terlalu tinggi, agar penguapan
berjalan perlahan-lahan sehingga pemasakan terjadi rata (Smith, 1972).
B. Kerangka Berpikir
Kue kering merupakan salah satu makanan yang terbuat dari tepung terigu dan sangat digemari masyarakat. Tepung terigu merupakan barang impor yang mengalami kenaikan setiap tahun. Solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan tepung dari bahan pangan lokal dalam memproduksi makanan berbasis terigu.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan komoditas lokal diantaranya umbi-umbian. Suweg memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, tetapi pemanfaatan suweg belum dilakukan secara optimal. Suweg dapat diolah menjadi tepung yang dapat digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada
pembuatan cookies. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
penggunaan tepung suweg sebagai substitusi tepung terigu terhadap karakteristik kimia (kadar air, abu, protein, lemak, karbhidrat dan serat kasar), fisik (tekstur
dan warna) dan sensoris (warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan) cookies.
(32)
commit to user
Gambar 2.1. Diagram Alir Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Subtitusi tepung terigu dengan tepung suweg dalam pembuatan cookies
akan mempengaruhi sifat kimia, fisik dan sensoris cookies yang dihasilkan.
Cookies (kue kering) Indonesia kaya komoditas lokal
Umbi-umbian Tepung terigu
Umbi suweg Barang impor
Belum dimanfaatkan secara optimal
Alternatif pengganti tepung terigu
Tepung suweg
Subtitusi tepung terigu pada cookies
Sifat kimia : Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar karbohidrat
Kadar lemak Serat kasar
Sifat fisik dan organoleptik : Warna
Tekstur Aroma Rasa Keseluruhan
(33)
commit to user
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan dan Hasil Pertanian, Progran Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta, pada bulan September 2010 sampai Desember 2010.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung suweg yaitu umbi
suweg yang berasal dari Jatipuro, air, Natrium metabisulfit(Na2S2O5) 1000
ppm.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung terigu protein rendah dengan merk “Kunci Biru”, gula halus, shortening (margarin) dengan merk “Blueband”, telur, susu skim, garam, soda kue, vanili dan air.
Bahan untuk analisa sifat kimia yaitu analisis kadar protein : aquades,
H2SO4 (93-98% bebas N), campuran Na2SO4-HgO (20 : 1), larutan
NaOH-Na2S2O3, larutan asam borat jenuh, indikator metil merah atau metilen biru
dan HCl 0,02N. Analisis kadar lemak : proteleum ether. Analisis kadar
serat kasar : asbes, antibuih (antifoam agent), larutan H2SO4, kertaslakmus,
larutan NaOH, larutan K2SO4 10%, alkohol 95% dan aquades.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk pembuatan tepung suweg : pisau, alat pengiris, baskom plastik, cabinet
(34)
commit to user
: spatula, kuas, cetakan cookies, baskom plastik, timbangan digital, mixer
dan oven merk “Maspion”. Seperangkat alat untuk analisis kadar air yaitu botol timbang eksikator, termasuk oven dengan merk ”Memmert”, timbangan analitik dengan merk ”Ohaus”. Seperangkat alat untuk analisis kadar abu yaitu krus porselen, desikator, tremasuk oven dengan merk ”Memmert”, timbangan analitik dengan merk ”Ohaus”, tanur dengan merk “Barnstead thermolyne”. Seperangkat alat untuk analisis kadar lemak yaitu tabung reaksi soxhlet dalam thimble, kondensor, tabung ekstraksi, alat detlasi soxhlet, penangas air, botol timbang, termasuk oven dengan merk ”Memmert. Seperangkat alat untuk analisis kadar protein yaitu labu kjeldahl berukuran 30 ml/50 ml, alat distilasi lengkap dengan erlenmeyer berpenampung berukuran 125 ml, buret 25 ml/50 ml, termasuk timbangan analitik dengan merk ”Ohaus”. Seperangkat alat untuk analisis kadar serat kasar yaitu erlenmeyer 500 ml, pendingin balik, desikator, termasuk oven
dengan merk ”Memmert, timbangan analitik merk ”Ohaus. Sedangkan alat
untuk analisa fisik antara lain analisa pengujian warna dengan alat
lovibond tintometer model F dan analisa pengujian tekstur dengan alat
Lloyd Universal Testing Machine dengan merk “Zwick”. Untuk analisa sifat sensoris dengan membuat borang dan menggunakan perlengkapan penyajian.
C. Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan dua tahap penelitian yaitu pembuatan
tepung umbi suweg dan pembuatan cookies. Berikut penjelasan serta diagram
alir masing-masing tahap :
1. Pembuatan tepung suweg
Pembuatan tepung dari umbi suweg dilakukan dengan cara membersihkan umbi yang sudah dicabut, kemudian dikupas dan dicuci
(35)
commit to user
dengan air bersih. Setelah bersih, umbi diiris tipis-tipis (tebal 2 mm) dan
direndam dalam larutan Na2S2O5 1000 ppm selama 30 menit. Menurut
Margono (2000), penggunaan Na2S2O5 bertujuan untuk mencegah proses
browning (pencoklatan) pada saat pengupasan umbi agar didapatkan warna tepung yang lebih menarik serta untuk mengurangi rasa gatal pada umbi adanya kandungan kalium oksalat. Penggunaan makimum atrium
metabisulfit (Na2S2O5) sebesar 2 gram/ kg bahan. Natrium metabisulfit
(Na2S2O5) yang berlebihan akan hilang pada proses pengeringan.
Kemudian dikeringkan dengan cabinet dryer pada suhu 50o C selama 18
jam. Setelah kering akan menjadi seperti keripik. Keripik umbi yang sudah kering digiling dan diayak dengan ayakan ukuran 80 mesh untuk mendapatkan tepung suweg. Proses pembuatan tepung suweg dapat dilihat pada gambar 3.1
(36)
commit to user
Gambar 3.1. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Suweg Sumber: Faridah (2005) yang telah dimodifikasi.
Umbi suweg
Pengupasan
Pencucian dengan air bersih
Pengirisan dengan tebal 2 mm
Pengeringan cabinet dryer pada
suhu 50o C, selama 18 jam.
Penggilingan
Tepung suweg Pengayakan 80 mesh Perendaman dalam larutan Na metabisulfit 1000 ppm selama
(37)
commit to user
2. Pembuatan Cookies
Tahap terakhir dalam penelitian ini yaitu pembuatan cookies,
cookies dibuat dengan bahan-bahan berupa tepung terigu, margarin (shortening), gula halus, susu skim, telur, garam, soda kue,air dan vanili.
Cookies dibuat dengan cara pencampuran margarin, gula halus, susu skim dan garam. Campuran tersebut kemudian diaduk mengunakan mixer dengan kecepatan tinggi selama 3-7 menit. Setelah semua bahan tersebut tercampur rata lalu ditambahkan air, vanili, telur dan diaduk lagi dengan mengunakan kecepatan tinggi selama 1-3 menit. Selanjutnya tepung terigu dan tepung umbi suweg dimasukan.
Bersamaan dengan dimasukannya tepung terigu dan tepung suweg juga dimasukkan soda kue agar adonan mengembang. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan spatula hingga tercampur rata. Setelah adonan selesai dibuat didinginkan dahulu selama 10 menit di kulkas, lalu adonan dicetak dengan tebal 3 mm. Adonan yang telah dicetak selanjutnya
di oven dengan suhu 1500C selama 20 menit.
Diagram alir proses pembuatan cookies dapat dilihat pada gambar 3.2 sebagai berikut:
(38)
commit to user
Gambar 3.2. Diagram Alir Proses Pembuatan Cookies Sumber: Smith (1972) yang telah dimodifikasi.
Pencampuran I Kecepatan putaran tinggi
selama 3-7 menit. Gula halus, shortening,
susu skim dan garam.
Telur, air dan vanili. Pencampuran II
Kecepatan putaran sedang selama 1-3 menit.
Tepung* dan soda kue. Pencampuran III
Pengadukan dengan spatula hingga rata.
Pendinginan selama 10 menit,
pada suhu 0- 4o C.
Pencetakan
Pembakaran pada suhu 150 -
170o C, selama 20 menit.
(39)
commit to user
D. Analisa
Cookies yang telah jadi kemudian dianalisa sifat kimia (kadar protein, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar serat kasar) serta sifat fisik (sensoris, tekstur dan warna ). Metode masing-masing analisis
sifat kimia dan sifat fisik pada cookies dapat dilihat pada Tabel. 3.1 sebagai
berikut:
Tabel 3.1 Metode Analisis Sifat Kimia dan Fisik
Analisa Sifat Kimia Cookies
Macam Uji Metode
Kadar Air Thermogravimetri (Apriyantono, 1989)
Kadar Abu Penetapan Total Abu (Apriyantono, 1989)
Kadar Lemak Soxhlet (Apriyantono, 1989)
Kadar Protein Kjeldhal (Apriyantono, dkk., 1989)
Kadar Karbohidrat by difference (Winarno, 2002)
Kadar Serat Kasar Asam dan Basa Pemanasan (Apriyantono,
dkk., 1989)
Analisa Sifat Fisik Cookies
Sensori Uji Kesukaan (Kartika dkk, 1988)
Tekstur Warna
Llyod Universal Testing Machine Lovibond Tintometer
E. Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor yaitu variasi subtitusi tepung terigu dan tepung suweg. Untuk masing-masing perlakuan dibuat tiga kali ulangan dan dilakukan dua kali ulangan analisa. Variasi konsentrasi tepung terigu dan tepung suweg untuk
pembuatan cookies pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.2. Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan perlakuan pada tingkat α = 0,05. Apabila hasil yang
diperoleh ada beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT pada tingkat α
(40)
commit to user
Tabel 3.2 Variasi Konsentrasi Tepung Terigu dan Tepung Suweg pada pembuatan Cookies.
Formula Tepung Terigu (%) Tepung Suweg (%)
F0 F1 F2 F3 F4 100 95 90 85 80 0 5 10 15 20
Untuk rancangan penelitian cookies penggunaan tepung suweg sebagai
subtitusi tepung terigu terhadap karakteristik (kimia, fisik dan sensoris) dapat dilihat pada gambar 3.3 sebagai berikut:
F0 F1 F2 F3 F4
Ket: F0 = 100% tepung terigu
F1 = 95% tepung terigu:5% tepung umbi suweg F2 = 90 tepung terigu:10% tepung umbi suweg F3 = 85% tepung terigu:15% tepung umbi suweg F4=80% tepung terigu:20% tepung umbi suweg
Gambar 3.3 Diagram Rancangan Penelitian
Uji sensoris: · Warna · Aroma · Aroma · Rasa · Tekstur · Keseluruhan Cookies
Analisa kimia :
· kadar air
· kadar protein
· kadar abu
· kadar lemak
· kadar karbohidrat
· serat kasar Analisa fisik :
· tekstur
(41)
commit to user A.Sifat Sensoris
Dalam perancangan produk pangan baru, pengujian dengan inderawi sangat berperan penting. Bentuk pengujian inderawi inilah yang paling mendasar dan pertama kali dilakukan oleh perancang yang bekerja pada pengembangan produk baru (Kartika,1988). Sifat sensoris sangat penting bagi setiap produk karena berkaitan erat dengan penerimaan konsumen. Untuk
mengetahui sejauh mana tingkat kesukaan panelis terhadap cookies tepung
terigu yang disubstitusi dengan tepungumbi suweg. Dalam penelitian ini parameter yang diamati adalah warna, aroma, rasa, teksur dan keseluruhan.
1. Warna
Warna merupakan salah satu faktor penting bagi konsumen dalam memilih produk makanan. Warna merupakan atribut kualitas yang paling penting. Bersama-sama dengan tekstur dan rasa, warna berperan dalam penentuan tingkat penerimaan suatu makanan. Meskipun suatu produk bernilai gizi tinggi, rasa enak dan tekstur baik namun jika warna tidak menarik maka akan menyebabkan produk tersebut kurang diminati.
Tabel 4.1 Hasil Analisa Sensoris terhadap Warna Cookies dengan Berbagai Perlakuan
Formulasi1) Nilai2)
F0 (100% tepung terigu) 3,93b
F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 4,10b F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 4,23b F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 2,93a F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 2,87a 2)
Nilai :
1 = sangat tidak suka ; 2 = tidak suka ; 3 = netral ; 4 = suka ; 5 = sangat suka
Berdasarkan data Tabel 4.1 pengunaan subtitusi tepung suweg
dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan F0, F1
dan F2 tidak memberikan pengaruh terhadap warna cookies. Demikian
juga cookies dengan perlakuan F3 dan F4. Namun cookies dengan
perlakuan F0, F1 dan F2 memberikan pengaruh berbeda nyata bila
(42)
commit to user
nilai kesukaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan berkisar antara
2,87 - 4,23 yang berarti penilaian panelis terhadap warna cookies yang
dihasilkan pada rentang nilai tidak suka sampai suka. Nilai tertinggi kesukaan panelis terhadap parameter warna adalah pada sampel F2 yaitu
cookies dengan subtitusi tepung suweg 10% : tepung terigu 90%. Cookies
yang paling tidak disukai panelis yaitu cookies dengan perlakuan F4.
Cookies substitusi dengan perlakuan F4 paling tidak disukai panelis karena adanya substitusi tepung terigu 80% dan tepung suweg 20%. Pada
penelitian ini panelis lebih menyukai warna cookies yang agak gelap yaitu
F2, karena panelis menginginkan warna cookies yang berbeda dari yang
biasanya dikonsumsi yaitu cookies tanpa subtitusi bahan lain. Warna
dalam cookies sangat dipengaruhi oleh bahan dasar adonan.
Pembentukan warna disebabkan adanya proses karamelisasi dan reaksi maillard. Warna kecoklatan muncul karena adanya reaksi antara karbohidrat dengan asam amino. Selama pemanasan, gugus karboksil akan bereaksi dengan gugus amino atau peptide sehingga terbentuk
glikosilamin. Komponen-komponen ini selanjutnya mengalami
polimerisasi membentuk komponen berwarna gelap “melanoidin” yang menyebabkan perubahan warna pada produk, yaitu produk akan menjadi kecoklatan. Pada reaksi pencoklatan (Miallard reaction), gila, lemak dari margarin, serta protein dari susu akan mempengaruhi pembentukan Kristal dan perubahan warna menjadi coklat.
Pada penelitian ini sampel cookies yang dihasilkan warna yang
coklat agak gelap. Semakin banyak penambahan tepung suweg maka
warna dari cookies semakin gelap. Menurut Pitojo (2007), sifat fisika
tepung suweg antara lain halus, berwarna putih keabu-abuan atau kecokelat-cokelatan. Warna tepung suweg kurang putih dibandingkan dengan tepung terigu, tepung tapioka atau tepung sukun. Tepung suweg berwarna kecoklatan yang disebabkan terjadinya reaksi browning
(43)
commit to user
tidak berwarna putih. Reaksi browning terjadi karena adanya senyawa fenolik yang mengalami oksidasi antara enzim fenol oksidase dan oksigen (Winarno, 2002).
Dapat dilihat pada Gambar 4.1 diketahui bahwa cookies F0
berwarna kuning terang sedangkan cookies dengan substitusi tepung
suweg memiliki warna kecoklatan.
Gambar 4.1 Cookies dengan berbagai perlakuan.
Keterangan :
F0 = 100% tepung terigu
F1 = 95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg F2 = 90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg F3 = 85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg F4 = 80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg 2. Aroma
Aroma merupakan sensasi sensoris yang dialami oleh indera pembau. Dalam industri pangan pengujian aroma atau bau dianggap penting karena cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produk terkait diterima atau tidaknya suatu produk.
Tabel 4.2 Hasil Analisa Sensoris terhadap Aroma Cookies dengan Berbagai Perlakuan
Formulasi1) Nilai2)
F0 (100% tepung terigu) 4,17c
F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 3,73b F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 3,60b F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 3,33ab F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 3,03a 2)
Nilai : 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = netral; 4 = suka; 5 = sangat suka
(44)
commit to user
dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan F1 dan
F2 tidak memberikan pengaruh terhadap parameter aroma. Demikian juga
cookies dengan perlakuan F2 dan F3 juga tidak memberikan pengaruh.
Namun cookies dengan perlakuan F0 memberikan pengaruh berbeda nyata
terhadap parameter aroma bila dibandingkan dengan cookies yang dibuat
dengan perlakuan F1, F2, F3 dan F4.
Hasil uji kesukaan dengan parameter aroma menunjukkan bahwa
nilai kesukaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan berkisar antara
3,03-4,17 yang berarti penilaian panelis terhadap kenampakan cookies
yang dihasilkan pada rentang nilai netral sampai suka. Nilai kesukaan
panelis terhadap parameter aroma yang tertinggi adalah pada cookies
dengan perlakuan F0 yaitu cookies tepung terigu 100%. Namun pada
perlakuan F2 dengan substitusi tepung suweg 10% dan tepung terigu 90% masih dapat diterima oleh panelis, karena aroma khas suweg mulai terasa.
Cookies yang paling tidak disukai panelis yaitu cookies dengan perlakuan
F4 yaitu cookies dengan substitusi tepung suweg 20% dan tepung terigu
80%, karena substitusi tepung umbi suweg paling banyak sehingga aroma khas suweg tersebut sangat terasa menyengat. Aroma kue kering ditentukan oleh komponen bahan yang digunakan dan perbandingannya, seperti margarine,telur, bahan tambahan dan jenis tepung yang digunakan. Menurut Pitojo (2007), sifat kimia tepung suweg memiliki aroma spesifik. Namun demikian tepung suweg dapat dimanfaatkan sebagai subtitusi tepung terigu atau tepung yang lain untuk membuat aneka makanan.
3. Rasa
Menurut DeMan (1976), flavor dan rasa didefinisikan sebagai rangsangan yang ditimbulkan oleh bahan yang dimakan, terutama dirasakan oleh indera pengecap dan pembau, juga rangsangan lain seperti perabaan dan penerimaan derajat panas di mulut. Rasa merupakan sensasi yang terbentuk dari hasil perpaduan bahan pembentuk dan komposisinya pada suatu produk makanan yang ditangkap indera pengecap. Rasa
(45)
commit to user
bagi konsumen dalam memilih produk. Hasil analisa sensoris terhadap rasa
cookies dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebagai berikut:
Tabel 4.3 Hasil Analisa Sensoris terhadap Rasa Cookies dengan Berbagai Perlakuan
Formulasi1) Nilai2)
F0 (100% tepung terigu) 3,37a
F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 3,97b F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 3.97b F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 3,13a F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 3,07a 2)
Nilai :
1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = netral; 4 = suka; 5 = sangat suka
Berdasarkan data Tabel 4.3 pengunaan subtitusi tepung suweg
dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan F0, F3
dan F4 tidak memberikan pengaruh terhadap rasa cookies. Demikian juga
cookies dengan perlakuan F1 dan F2 juga tidak memberikan pengaruh.
Namun cookies dengan perlakuan F0, F3 dan F4 memberikan pengaruh
berbeda nyata bila dibandingkan dengan cookies yang dibuat dengan
perlakuan F1 dan F2.
Hasil uji kesukaan dengan parameter rasa menunjukkan bahwa
nilai kesukaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan berkisar antara
3,07-3,97 yang berarti penilaian panelis terhadap kenampakan cookies
yang dihasilkan pada rentang nilai yaitu netral. Nilai kesukaan panelis
terhadap parameter rasa yang tertinggi adalah pada cookies dengan
perlakuan F1 dan F2. Cookies dengan perlakuan F1 dan F2 yaitu dengan
penambahan tepung suweg 5% dan 10% dapat diterima oleh panelis
karena panelis menginginkan rasa yang berbeda dari cookies yang
biasanya dikonsumsi. Cookies tersebut memiliki rasa khas umbi suweg
yang sudah mulai terasa. Cookies yang paling tidak disukai panelis yaitu
cookies dengan perlakuan F4. Semakin banyak substitusi tepung suweg yang digunakan maka rasa khas umbi suweg semakin sangat terasa.
(46)
commit to user
yang dihasilkan kurang disukai.
4. Tekstur
Tekstur merupakan salah satu faktor penentu kualitas cookies yang perlu diperhatikan, karena sangat berhubungan dengan derajat penerimaan
konsumen. Pada umumnya cookies yang dianggap baik adalah cookies
yang mempunyai tekstur mudah patah (brittle), yaitu jika cookies ditekan
dengan jari akan mudah patah (Handayani, 1987). Hasil analosa sensoris
terhadap tekstur cookies dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 4.4 sebagai berikut:
Tabel 4.4 Hasil Analisa Sensoris terhadap Tekstur Cookies dengan Berbagai Perlakuan
Formulasi1) Nilai2)
F0 (100% tepung terigu) 3,63bc
F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 4,00c F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 4,03c F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 3,13a F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 3,17ab 2)
Nilai :
1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = netral; 4 = suka; 5 = sangat suka
Berdasarkan data Tabel 4.4 pengunaan subtitusi tepung suweg
dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan F0, F1
dan F2 tidak memberikan pengaruh terhadap tekstur cookies. Demikian
juga cookies dengan perlakuan F3 dan F4 juga tidak memberikan
pengaruh. Namun cookies dengan perlakuan F3 memberikan pengaruh
berbeda nyata bila dibandingkan dengan cookies yang dibuat dengan
perlakuan F0, F1, F2 dan F4.
Hasil uji kesukaan dengan parameter tekstur menunjukkan bahwa
nilai kesukaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan berkisar antara
3,13-4,03 yang berarti penilaian panelis terhadap tekstur cookies yang
dihasilkan pada rentang nilai netral sampai suka. Nilai kesukaan panelis
terhadap parameter tekstur yang tertinggi adalah pada sampel cookies
(47)
commit to user
banyak yang menyebabkan tekstur cookies keras dan tidak renyah.
Adanya penambahan tepung suweg yang banyak menyebabkan
berkurangnya kandungan gluten, maka menyebabkan tekstur dari cookies
menjadi keras. Menurut Pitojo (2007), tepung suweg tidak memiliki gluten. Namun demikian tepung suweg dapat dimanfaatkan sebagai subtitusi dengan tepung terigu atau tepung yang lain untuk membuat aneka makanan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Handayani (1987), yang menyatakan bahwa komponen utama yang terdapat dalam tepung yang berpengaruh terhadap tekstur adalah protein. Protein yang terdapat dalam terigu akan dapat membentuk gluten bila ditambah air, dengan adanya gluten dapat menyebabkan adonan bersifat elastis dan mampu menahan gas. Apabila jumlah gluten dalam adonan sedikit menyebabkan adonan kurang mampu menahan gas, sehingga pori-pori yang terbentuk dalam adonan juga kecil-kecil. Akibatnya adonan tidak mengembang dengan baik, maka setelah pembakaran selesai akan menghasilkan produk yang keras.
Selain kandungan protein, tekstur cookies juga dipengaruhi oleh
kandungan pati. Adanya air di dalam adonan akan menyebabkan pati mengalami penyerapan air, sehingga granula pati akan menggelembung. Apabila dalam keadaan tersebut dipanaskan, pati akan tergelatinisasi, gel pati akan mengalami proses dehidrasi sehingga akhirnya gel membentuk kerangka yang kokoh, menyebabkan tekstur yang dihasilkan menjadi keras. Menurut Kasno (2007), suweg mengandung pati terutama kandungan mannan sebanyak 30% yang terdiri dari polisakarida manose dan glukose, apabila dicampur dengan air akan menjadi lengket. Kandungan mannan dalam suweg juga berpengaruh terhadap nilai
(48)
commit to user
Kesukaan dan penerimaan konsumen terhadap suatu bahan mungkin tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor, akan tetapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor sehingga menimbulkan penerimaan yang utuh. Atribut keseluruhan ini hampir sama dengan kenampakan suatu produk secara keseluruhan, yang berfungsi untuk mengetahui tingkat penerimaan
konsumen. Hasil analisa sensoris terhadap keseluruhan cookies dengan
beebagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.5sebagai berikut:
Tabel 4.5 Hasil Analisa Sensoris terhadap Keseluruhan Cookies dengan Berbagai Perlakuan
Formulasi1) Nilai2)
F0 (100% tepung terigu) 3,80b
F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 4,03b F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 4,17b F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 3,37a F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 3,07a 2)
Nilai :
1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = netral; 4 = suka; 5 = sangat suka
Berdasarkan data Tabel 4.5 pengunaan subtitusi tepung suweg
dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan F0, F1
dan F2 tidak memberikan pengaruh terhadap keseluruhan cookies.
Demikian juga cookies dengan perlakuan F3 dan F4 juga tidak
memberikan pengaruh. Namun cookies dengan perlakuan F0, F1 dan F2
memberikan pengaruh berbeda nyata bila dibandingkan dengan cookies
yang dibuat dengan perlakuan F3 dan F4.
Hasil uji kesukaan dengan parameter keseluruhan menunjukkan
bahwa nilai kesukaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan berkisar
antara 3,07-4,17 yang berarti penilaian panelis terhadap keseluruhan
cookies yang dihasilkan pada rentang nilai netral sampai suka. Nilai kesukaan panelis terhadap parameter keseluruhan yang tertinggi adalah
pada sampel cookies dengan perlakuan F2. Cookies F4 paling tidak disukai
panelis karena secara keseluruhan dilihat dari parameter warna, aroma,
rasa dan tekstur paling tidak disukai oleh panelis. Sedangkan cookies
(49)
commit to user
panelis.
B.Sifat Kimia Cookies 1. Kadar air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, dan rasa bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan. Makin rendah kadar air maka makin lambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga bahan pangan tersebut dapat tahan lama. Sebaliknya makin tinggi kadar air makin cepat mikroorganisme berkembang biak, sehingga proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat (Winarno, 2002).
Tujuan analisis kadar air cookies adalah untuk mengetahui
kandungan air dalam cookies yang disubstitusi dengan tepung umbi suweg.
Besarnya kadar air dapat dilihat pada Tabel 4.6 sebagai berikut:
Tabel 4.6 Kadar Air (%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan
Berdasarkan data Tabel 4.6 pengunaan subtitusi tepung umbi
suweg dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan
F1, F2, F3 dan F4 tidak memberikan pengaruh terhadap kadar air cookies.
Demikian juga cookies dengan perlakuan F0, F1 dan F2 juga tidak
memberikan pengaruh. Namun cookies dengan perlakuan F3 dan F4
Formulasi1) Nilai2) SNI
F0 (100% tepung terigu) 4,66b
Maksimal 5 F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 4,59ab
F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 4,58ab F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 4,49a F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 4,48a
(50)
commit to user
yang dibuat dengan perlakuan F0.
Kadar air untuk cookies menurut karakteristik atau syarat mutu
cookies berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992,
maksimal adalah 5%. Dengan demikian, kadar air cookies F0, F1, F2,
F3dan F4 hasil penelitian masih memenuhi karakteristik atau syarat mutu biskuit berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992 yaitu sebesar 4,48-4,66%.
Pada proses pembuatan cookies pada penelitian ini salah satu
prosesnya yaitu pemanggangan, Menurut Widowati (2003), menyebutkan
ada beberapa kejadian penting yang terjadi selama pemanggangan yaitu
pengembangan adonan, koagulasi protein, gelatinisasi pati dan penguapan air. Menurut Widjanarko (2008), pemanasan akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati dimana granula pati akan membengkak akibat adanya penyerapan air. Pembengkakan granula pati terbatas hingga sekitar 30 % dari berat tepung. Apabila pembengkakan granula pati telah mencapai batas, granula pati tersebut akan pecah sehingga terjadi proses penguapan air.
Kadar air pada cookies yang telah disubstitusi dengan tepung
suweg lebih rendah dibandingkan dengan cookies tepung terigu.
Penurunan kadar air cookies disebabkan adanya substitusi tepung terigu
dengan tepung suweg sehingga menyebabkan penurunan jumlah gluten
dalam adonan cookies karena tepung suweg tidak memiliki kandungan
gluten seperti yang terkandung di dalam tepung terigu. Semakin rendahnya kandungan gluten dalam adonan menyebabkan pelepasan molekul air saat pemanggangan menjadi semakin mudah. Hal tersebut berkaitan dengan pendapat Lowe (1943) yang menyatakan semakin banyak gluten, kecepatan absorpsi air semakin tinggi, begitu pula sebaliknya emakin rendah kandungan gluten maka kecepatan absorpsi air juga semakin
rendah. Oleh karena itu, cookies dengan konsentrasi subtitusi tepung
(51)
commit to user
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Penentuan kadar abu dilakukan dengan cara mengoksidasikan bahan pada
suhu yang tinggi yaitu sekitar 500-6000C dan kemudian melakukan
penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan (Sudarmadji et al.,1989). Pada tubuh, unsur mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Mineral yang digolongkan sebagai zat gizi anorganik (abu) juga disebut unsur abu dalam pangan karena ternyata bahwa jika pangan dibakar , unsur organik akan menghilang dan bahan anorganik (abu) yang tersisa terdiri dari unsur mineral (Sudarmadji, 1996). Besarnya kadar abu dapat dilihat pada Tabel 4.7 sebagai berikut:
Tabel 4.7 Kadar Abu(%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan
Berdasarkan data Tabel 4.7 pengunaan subtitusi tepung umbi
suweg dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan
F2, F3 dan F4 tidak memberikan pengaruh terhadap kadar abu cookies.
Demikian juga cookies dengan perlakuan F0 dan F1 juga tidak
memberikan pengaruh. Namun cookies dengan perlakuan F2, F3 dan F4
memberikan pengaruh berbeda nyata bila dibandingkan dengan cookies
yang dibuat dengan perlakuan F0 dan F1.
Kadar abu untuk cookies menurut karakteristik atau syarat mutu
cookies berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992,
maksimal adalah 1,7%. Dengan demikian, kadar abu cookies hasil
penelitian masih memenuhi karakteristik atau syarat mutu biskuit
Formulasi1) Nilai2) SNI
F0 (100% tepung terigu) 1,52a
Maksimal 1,7 F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 1,57ab
F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 1,61bc F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 1,66c F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 1,66c
(1)
commit to user
Tabel 4.11 Kadar Serat Kasar (%) Cookies dengan Berbagai Perlakuan
Berdasarkan data Tabel 4.11 pengunaan subtitusi tepung suweg
dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan F0, F1
dan F2 tidak memberikan pengaruh terhadap kadar serat kasar cookies.
Demikian juga cookies dengan perlakuan F3 dan F4 juga tidak
memberikan pengaruh. Namun cookies dengan perlakuan F0, F1 dan F2
memberikan pengaruh berbeda nyata bila dibandingkan dengan cookies
yang dibuat dengan perlakuan F3 dan F4.
Menurut SNI 01-2973-1992 tentang syarat mutu cookies
menyatakan bahwa kadar serat kasar cookies maksimal adalah 0,5 %.
Dengan demikian, kadar serat kasar cookies hasil penelitian sudah
memenuhi karakteristik atau syarat mutu cookies berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992 yaitu sebesar 0,44-0,51%.
Peningkatan kadar serat kasar seiring dengan peningkatan substitusi tepung terigu dengan tepung suweg karena umbi suweg memiliki kandungan serat kasar yang jauh lebih tinggi yaitu sebesar 5,23% dibandingkan dengan tepung terigu yang memiliki kadar serat kasar hanya 0,43%. Semakin tinggi serat yang terkandung maka semakin baik untuk
pencernaan. Baliwati., et al (2004) menyatakan serat bukanlah zat yang
diserap oleh usus namun peranannya dalam proses pencernaan sangatlah penting karena berfungsi utnuk pencegahan disfungsi alat pencernaan. Serat sangat baik untuk kesehatan, yaitu membantu mencegah sembelit, mancegah kanker, mencegah sakit pada usus besar, membantu menurunkan kadar kolesterol, membantu mengontrol kadar gula dalam darah, mencegah wasir, membantu menurunkan berat badan dan lain-lain
(Anonimc, 2010).
Formulasi1) Nilai2) SNI
F0 (100% tepung terigu) 0,44a
Maksimum 0,5 F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 0,44a
F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 0,45a F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 0,50b F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 0,51b
(2)
commit to user
C.Sifat Fisik Cookies
1. Tekstur
Tekstur merupakan salah satu faktor penentu kualitas cookies yang
perlu diperhatikan, karena tekstur sangat berhubungan dengan derajat penerimaan konsumen. Pada umumnya biskuit yang dianggap baik adalah
cookies yang mempunyai tekstur mudah patah (Handayani, 1987).
Pengukuran kekerasan cookies dilakukan dengan menggunakan Llyod
Universal Testing Machine. Kekerasan cookies diukur sebagai respon bahan terhadap gaya yang diberikan. Semakin besar gaya tekan yang
diberikan maka tekstur cookies semakin keras artinya cookies tidak mudah
hancur. Besarnya gaya maksimal cookies retak dapat dilihat pada Tabel
4.12 sebagai berikut:
Tabel 4.12 Gaya Maksimal (N) Cookies Retak
Formulasi1) Nilai2)
F0 (100% tepung terigu) 6,69a
F1 (95% tepung terigu : 5% tepung umbi suweg) 11,85ab F2 (90% tepung terigu : 10% tepung umbi suweg) 12,59ab F3 (85% tepung terigu : 15% tepung umbi suweg) 13,21b F4 (80% tepung terigu : 20% tepung umbi suweg) 20,03c
Berdasarkan data Tabel 4.12 pengunaan subtitusi tepung suweg
dengan tepung terigu dalam pembuatan cookies dengan perlakuan F0, F1
dan F2 memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap tekstur
cookies. Sedangkan cookies dengan perlakuan F3 dan F4 juga memberikan
pengaruh tidak berbeda nyata. Namun cookies dengan perlakuan F0, F1
dan F2 memberikan pengaruh berbeda nyata bila dibandingkan dengan
cookies yang dibuat dengan perlakuan F3 dan F4.
Berdasarkan Tabel 4.12 tekstur dalam cookies F4 memiliki nilai
kekerasan lebih besar yaitu sebesar 20,03 N. Hal ini disebabkan adanya substitusi tepung suweg paling banyak sehingga kandungan gluten dalam adonan lebih sedikit, menyebabkan adonan kurang mampu menahan gas,
akibatnya adonan kurang mengembang dan tekstur cookies menjadi keras.
(3)
commit to user
dengan pendapat Handayani (1987), yang menyatakan bahwa komponen utama yang terdapat dalam tepung yang berpengaruh terhadap tekstur adalah protein. Protein yang terdapat dalam terigu akan dapat membentuk gluten bila ditambah air, dengan adanya gluten dapat menyebabkan adonan bersifat elastis dan mampu menahan gas. Apabila jumlah gluten dalam adonan sedikit menyebabkan adonan kurang mampu menahan gas, sehingga pori-pori yang terbentuk dalam adonan juga kecil-kecil. Akibatnya adonan tidak mengembang dengan baik, maka setelah
pembakaran selesai akan menghasilkan produk yang keras
(Singh et al, 2008).
Selain kandungan protein, tekstur cookies juga dipengaruhi oleh
kandungan pati. Tepung yang digunakan sebagai substitusi dalam
pembuatan cookies adalah tepung umbi suweg yang kandungan patinya
cukup tinggi yaitu sebesar 28,98% sehingga menyebabkan tekstur menjadi keras (Faridah, 2005). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Handayani (1987), adanya air di dalam adonan akan menyebabkan pati mengalami penyerapan air, sehingga granula pati akan mengembang. Bila dalam keadaan tersebut dipanaskan, pati akan tergelatinisasi, gel pati akan mengalami proses dehidrasi sehingga akhirnya gel membentuk kerangka yang kokoh, menyebabkan tekstur yang dihasilkan menjadi keras.
2. Warna
Warna merupakan salah satu faktor penting bagi konsumen dalam memilih produk makanan. Warna merupakan atribut kualitas yang paling penting. Bersama-sama dengan tekstur dan rasa, warna berperan dalam penentuan tingkat penerimaan suatu makanan. Meskipun suatu produk bernilai gizi tinggi, rasa enak dan tekstur baik namun jika warna tidak menarik maka akan menyebabkan produk tersebut kurang diminati. Hasil uji warna dapat dilihat pada table 4.13 sebagai berikut:
(4)
commit to user
Tabel 4.13 Hasil Uji Warna
UJI WARNA
Sampel R(Red) Y(Yellow) B(Blue)
F0 2.7 3.3 0.3
2.7 3.3 0.3
2.4 3.3 0.3
2.9 3.3 0.3
F1 3.4 3.4 0.3
3.4 3.4 0.3
3.4 3.3 0.3
3.3 3.3 0.3
F2 3.6 3.5 0.3
3.5 3.3 0.3
3.6 3.4 0.3
3.5 3.4 0.3
F3 5.1 4.5 0.3
5.2 4.1 0.3
3.8 3.1 0.3
4.9 3.6 0.3
F4 5.5 5.4 0.3
5.2 4.5 0.3
5.9 5.2 0.3
5.9 4.5 0.3
Berdasarkan data table 4.13 hasil pengujian warna dengan
menggunakan alat lovibond tintometer dapat dilihat bahwa semakin besar
nilai yang didapat pada setiap kode warna maka menunjukkan
kecenderungan warna suatu produk tersebut. Pada alat lovibond tintometer
ini terdapat 3 warna untuk pengamatan yaitu merah (R), kuning (Y) dan Biru (B). Besarnya angka yang ditunjukkan pada rak geser warna dalam pengamatan maka warna pada suatu produk akan cenderung berwarna sesuai dengan warna rak geser. Semakin besar angka yang ditunjukkan oleh rak geser berarti suatu produk juga akan cenderung berwarna seperti
yang ditunjukkan oleh rak geser (Anonimb, 2008).
Menurut Dalimunthe (2009), warna yang ditimbulkan rak geser yang terletak pada R maka produk tersebut cenderung berwarna merah, jika angka yang ditunjukkan perpaduan antara warna merah dan kuning maka menunjukkkan bahwa suatu produk berwarna agak gelap. Tetapi
(5)
commit to user
maka akan berwarna hijau. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa semakin
banyak penambahan subtitusi tepung suweg maka warna cookies yang
dihasilkan akan semakin gelap kecoklatan yaitu antara kecoklatan yang ditunjukkkan dengan nilai pada tabel antara nilai Y (Yellow) menuju R (Red) semakin tinggi bila dibandingkan dengan penambahan tepung umbi suweg yang sedikit bahkan tanpa penambahan tepung suweg. Warna pada
cookies dipengaruhi oleh jenis tepung yang digunakan dan pada waktu pemanggangan. Tepung suweg berwarna kecoklatan disebabkan terjadinya reaksi browning (pencoklatan) pada saat pengupasan umbi sehingga chips yang dihasilkan tidak berwarna putih. Reaksi browning terjadi karena adanya senyawa fenolik yang mengalami oksidasi antara enzim fenol oksidase dan oksigen (Winarno, 2002).
Pembentukan warna disebabkan adanya proses karamelisasi dan reaksi maillard. Warna kecoklatan muncul karena adanya reaksi antara karbohidrat dengan asam amino. Selama pemanasan, gugus karboksil akan bereaksi dengan gugus amino atau peptide sehingga terbentuk
glikosilamin. Komponen-komponen ini selanjutnya mengalami
polimerisasi membentuk komponen berwarna gelap “melanoidin” yang menyebabkan perubahan warna pada produk, yaitu produk akan menjadi kecoklatan. Pada reaksi pencoklatan (Miallard reaction), gila, lemak dari margarin, serta protein dari susu akan mempengaruhi pembentukan Kristal dan perubahan warna menjadi coklat.
Pengujian dengan cara organoleptik dan menggunakan alat
lovibond tintometer tidak jauh berbeda hasilnya. Warna cookies yang
dihasilkan setelah dilakukan uji dengan alat lovibond tintometer
menunjukkan bahwa dengan semakin banyaknya penambahan subtitusi
(6)
commit to user
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penambahan tepung suweg akan mempengaruhi warna cookies, semakin
besar substitusi maka warna cookies semakin gelap; aroma dan rasa cookies,
semakin besar substitusi maka cookies semakin beraroma dan terasa khas
dari umbi suweg serta tekstur cookies, semakin besar substitusi maka tekstur
cookies semakin keras.
2. Semakin besar subtitusi tepung suweg akan meningkatkan kadar abu, kadar
karbohidrat dan kadar serat kasar pada cookies yang dihasilkan.
3. Berdasarkan hasil analisa kimia, fisik dan sensoris cookies yang dapat
diterima oleh konsumen adalah cookies yang dibuat dengan subtitusi tepung
terigu 90% : tepung suweg 10%, cookies tersebut mempunyai kadar air
(4,58%), abu (1,61%), protein (11,78%), lemak (12,32%), karbohidrat (69,72%) dan serat kasar (0,45%).
B.Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat disampaikan yaitu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan variasi yang berbeda dari tepung suweg yang disubtusikan dengan bahan lain dan