Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Hak Ata

L
U

Edisi III, 2010

Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi

Hak Azasi Atas Air

A

wal bulan September lalu, masyarakat
dunia, khususnya praktisi, pegiat lingkungan
hidup dan kesehatan
masyarakat serta aktivis dibidang Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan dibuat terkejut dengan terbitnya
Resolusi Majelis Umum PBB yang
menegaskan bahwa akses memperoleh air minum dan sanitasi yang
layak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Jelasnya, resolusi Majelis
Umum PBB tersebut bertajuk: “Hak
untuk mendapatkan air minum dan

sanitasi yang bersih dan aman merupakan bagian dari hak asasi manusia,
dan merupakan elemen penting untuk menikmati hak atas hidup secara
menyeluruh.”

Dalam resolusi tersebut Majelis Umum PBB mendesak seluruh
masyarakat internasional dan Negara
yang menandatangani resolusi untuk
meningkatkan usaha menyediakan air
dan sanitasi yang aman, bersih, dan
mudah untuk dijangkau bagi seluruh manusia.” “Keterbatasan akses ke
air minum membunuh lebih banyak
anak-anak dibandingkan jumlah anak
yang meninggal dunia akibat AIDS,
malaria, dan campak,” kata Ketua
Dewan HAM PBB dari Bolivia, Pablo
Solon dalam situs resmi PBB.
Data Program Lingkungan Hidup
PBB memperkirakan 884 juta penduduk dunia tidak memiliki akses
untuk mendapatkan air minum yang
aman dan 2,6 milyar orang memiliki

akses terbatas untuk fasilitas sanitasi

5

yang layak. Kesulitan akses tersebut
menyebabkan antara lain 1,5 juta balita meninggal dunia akibat penyakit
yang terkait dengan air minum dan
sanitasi yang layak.
Resolusi Hak Atas Air minum
tersebut disahkan melalui voting yang
diikuti 163 negara anggota PBB. Tidak
ada negara yang menolak resolusi ini.
Terdapat 122 negara termasuk China,
Rusia, Jerman, Prancis, Spanyol, dan
Brazil mendukung resolusi tersebut.
Sementara 41 negara, seperti Kanada,
Amerika Serikat, Inggris, Australia
dan Botswana menyatakan abstain.
Sebagian negara yang abstain menyatakan, resolusi tersebut tidak
menjelaskan cakupan hak atas

air minum dan kewajiban yang

Laporan Utama
ISTIMEWA

harus dilakukan untuk memenuhi
hak tersebut. Menyikapi resolusi tersebut, pakar AMPL, Hening Darpito
mengatakan pada awalnya ada kekhawatiran bahwa resolusi hak atas air
dan sanitasi ini prematur, ternyata
sebaliknya dalam voting, resolusi ini
malah memperoleh tanggapan positif
oleh hampir semua peserta sidang.
Jalan Panjang
Diawali pada tahun 1948 ketika
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) diumumkan dan
dilanjutkan pada tahun 1966 ketika
International Covenants on Economic,
Social and Cultural Rights (ICESCR)
dan International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR), air tidak

disebut eksplisit sebagai hak asasi
tetapi disebutkan sebagai bagian tidak
terpisahkan dari hak asasi yang telah
disepakati yaitu hak untuk hidup, hak
untuk kehidupan yang layak, hak un-

tuk kesehatan, hak untuk perumahan
dan hak untuk makanan. Setelah itu
barulah disebutkan secara lebih eksplisit walaupun masih sebagai bagian
dari suatu konvensi dengan tema lain
seperti misalnya yang tertuang dalam
pasal 14 ayat (2) huruf h he Convention on the Elimination all of Forms Discrimination Against Women-(CEDAW
1979), bahwa negara pihak harus
mengambil langkah-langkah yang terukur untuk menghapuskan berbagai
bentuk diskriminasi terhadap perempuan, khususnya menjamin hak-hak
perempuan untuk menikmati standar
kehidupan yang layak atas sanitasi
dan air minum yang sehat. Demikian
juga dalam pasal 24 he Convention
on he Right of he Child-CRC 1989

yang menyatakan bahwa dalam upaya
mencegah malnutrisi dan penyebaran
penyakit maka setiap anak memiliki
hak atas air minum yang bersih.
Kemudian dilanjutkan dengan

Water Right dan Right to Water
emahaman atas pengerian Water Right dan Right to Water sering kabur,
kedua isilah itu sering diarikan sama dalam Bahasa Indonesia yaitu Hak
atas Air. Padahal kedua isilah tersebut mempunyai pemahaman yang
berbeda. Kekuasaan untuk mengambil air dari alam sering disebut sebagai
Water Right yang mengandung pengerian sebagai berikut :
l Mengambil atau mengalihkan dan menggunakan sejumlah air dari sebuah
sumber alamiah
l Mengumpulkan sejumlah air dari sebuah sumber air ke dalam suatu
tempat seperi bendungan atau struktur lainnya atau
l Menggunakan air di sumber alaminya.
Water Right merupakan suatu alat yang dikeluarkan oleh negara sebagai
insitusi yang menguasai air kepada perseorangan atau badan usaha yang secara
hukum disebut sebagai ‘licences’, ‘permissions’, ‘authorisaions’, ‘consents’ and

‘concessions’ untuk memanfaatkan air. Water right dalam terminologi ekonomi
dipakai sebagai alat untuk menarik restribusi atas air yang dimanfaatkan.
Pengerian tersebut jelas sangat berbeda dengan Right to Water seperi yang
dipahami dalam kajian Hak Asasi Manusia. Hukum yang mengatur Water Right
memiliki asumsi bahwa air adalah komodii yang membutuhkan perlindungan
hukum bagi pihak-pihak yang menguasainya. Water Right dapat lebih diarikan
sebagai Hak Memiliki Air. Perbedaannya adalah air sebagai sebuah kebutuhan
(untuk dimiliki) dan air sebagai sebuah hak. The Right to Water (air sebagai
sebuah hak) lebih ditekankan pada air sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan manusia yang bermartabat, oleh karena itu Hak Atas Air adalah
sesuatu yang mutlak dan telah memunculkan kewajiban bagi Negara untuk
mengakuinya.

P

6

pernyataan dan himbauan melalui
Deklarasi Millenium yang mencetuskan proyek MDGs (Millenium
Development Goals), yang merupakan komitmen para kepala negara/

pemerintahan anggota PBB untuk
memerangi kemiskinan global antara
2000-2015 menyerukan kepada pemerintah agar “menyediakan akses air
bersih dan sanitasi yang memadai bagi
masyarakat yang saat ini belum bisa
menikmatinya”.
Tetapi pernyataan yang eksplisit
dan secara khusus menyebut air
baru terjadi pada tahun 2002, ketika
Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB dalam komentar umum Nomor 15 memberikan penafsiran yang
lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12
Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya yang menyatakan hak atas
air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak
asasi manusia lainnya, yaitu air tidak
hanya sebagai komoditas ekonomi
dan akses terhadap air (right to water)
adalah hak asasi manusia. ” he human

Edisi III, 2010


right to water entitles everyone to suficient, afordable, physically accessible,
safe and acceptable water for personal
and domestic uses.” Hak atas air juga
termasuk kebebasan untuk mengelola
akses atas air. Elemen hak atas air harus
mencukupi untuk martabat manusia,
kehidupan dan kesehatan. Kecukupan
hak atas air tidak bisa diterjemahkan
dengan sempit, hanya sebatas pada
kuantitas volume dan teknologi. Air
harus diperlakukan sebagai barang
social dan budaya, tidak semata-mata
sebagai barang ekonomi.
Dalam Komentar Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations General Comments) pada Komite
untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Committee on Economic, Social, and
Cultural Rights) Nomor 15, hak asasi
manusia atas air terdiri dan dua komponen penting, yaitu kebebasan (freedom) dan pengakuan (entitlements).

Kebebasan dimaksudkan tidak adanya
intervensi yang bisa menyebabkan ter-

cerabutnya hak asasi manusia atas air,
misalnya terkontaminasinya air yang
dikonsumsi. Pengakuan adalah hak
atas sistem dan manajemen air yang
memungkinkan setiap orang mempunyai kesempatan dan akses yang sama
atas air.
Upaya Pemerintah
Sebagaimana hak asasi manusia
lainnya posisi negara dalam hubungannya dengan kewajibannya yang
ditimbulkan oleh hak asasi manusia,
negara harus menghormati (to respect)
yaitu mengharuskan negara mencegah
terganggunya langsung/tidak langsung pemenuhan hak atas air, melindungi (to protect) yaitu mengharuskan
negara mencegah keterlibatan pihak
ketiga (perusahaan) dalam pemenuhan hak atas air, dan memenuhinya (to
fulill) yaitu mengharuskan negara
mengambil langkah untuk mencapai

pemenuhan hak atas air sepenuhnya.
Dalam konteks menghormati, pemerintah Indonesia telah meratifikasi

7

kovenan internasional tentang hak
ekonomi, sosial, budaya melalui UU
Nomor 11 Tahun 2005 sehingga negara harus memenuhi hak masyarakat
termasuk kebutuhan akan air minum.
Upaya pemerintah pun terlihat
serius dengan keluarnya UU Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, yang dalam pasal 5 menyatakan
bahwa negera menjamin hak setiap
orang untuk mendapatkan air bagi
kebutuhan pokok minimal sehari-hari
guna memenuhi kehidupannya yang
sehat, bersih dan produktif. Lebih lanjut penjabaran hak atas air yang tertuang dalam UU menyebutkan bahwa
masyarakat memiliki hak untuk (i)
memperoleh informasi yang berkaitan

dengan pengelolaan sumber daya air;
(ii) memperoleh penggantian yang
layak atas kerugian yang dialaminya
sebagai akibat pelaksanaan pengelolaan sumber daya air; (iii)
memperoleh manfaat atas
pengelo-

Laporan Utama
laan sumber daya air; (iv) menyatakan
keberatan terhadap rencana pengelolaan sumberdaya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi setempat; (v)
mengajukan laporan dan pengaduan
kepada pihak yang berwenang atas
kerugian yang menimpa dirinya yang
berkaitan dengan penyelenggaraan
pengelolaan sumberdaya air; dan/
atau (vi) mengajukan gugatan kepada
pengadilan terhadap berbagai masalah
sumberdaya air yang merugikan kehidupannya.
Sementara hak masyarakat diatur
lebih jauh dalam Peraturan Pemerin-

tah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan
Air Minum sebagai turunan UU Nomor 7 Tahun 2004, yang dalam hal
ini adalah pelanggan adalah (i) memperoleh pelayanan air minum yang
memenuhi syarat kualitas, kuantitas,
dan kontinuitas sesuai dengan standar
yang ditetapkan; (ii) mendapatkan
informasi tentang struktur dan besaran tarif serta tagihan; (iii) mengajukan gugatan atas pelayanan yang
merugikan dirinya ke pengadilan; (iv)
mendapatkan ganti rugi yang layak
sebagai akibat kelalaian pelayanan;
dan (v) memperoleh pelayanan pemPOKJA

8

buangan air limbah atau penyedotan
lumpur tinja.
Bahkan secara teknis kualitas air
minum telah diatur tersendiri dalam
PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk memastikan kepentingan masyarakat terlindungi.
Walaupun demikian, pemerintah
dianggap telah gagal memenuhi hak
masyarakat tersebut. “Upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi
dan menghormati hak atas air minum masih terlalu jauh dari harapan
masyarakat,” kata Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas
Air (Kruha) Hamong Santono. “Laporan yang disusun oleh UNESCAP,
ADB, dan UNDP, juga secara tegas
menyatakan bahwa Indonesia berada
di jalur yang lambat dalam pemenuhan target air minum dan sanitasi dalam MDGs,” tuturnya.
Salah satu pemicu rendahnya
akses masyarakat terhadap air minum itu adalah kecilnya anggaran
yang dialokasikan pemerintah. Tahun
2005 lalu, anggaran yang dikeluarkan
hanya Rp.500 miliar dan tahun 2010
Rp.3 triliun. Padahal, kebutuhan anggaran untuk pembangunan air minum dan sanitasi berkisar 2 sampai 3
kalinya. “Perlu komitmen dan agenda
politik yang lebih jelas soal hak atas
air masyarakat. Kita jangan asal ikut
menandatangani resolusi namun tidak
tahu setelah itu akan kemana persoalan air minum dan sanitasi dasar
masyarakat bergerak,” ujar Hamong,
Namun kembali kepada salah satu
prinsip pemenuhan hak asasi manusia, bahwa prosesnya harus memperhatikan kemampuan dari masingmasing pemerintah. Terpenting dari
semuanya adalah adanya keinginan
yang kuat dari pemerintah mencapai
target pemenuhan hak atas air. Hal
ini sudah terlihat jelas jika memban-

Edisi III, 2010
dingkan kenaikan alokasi anggaran air
minum dan penyehatan lingkunngan naik hampir enam kali lipat pada
kurun waktu lima tahun mendatang
(2010-2014) dibanding kurun waktu
lima tahun sebelumnya (2005-2009).
Pemerintah Daerah
sebagai Ujung Tombak
Seringkali aktor utama dari pembangunan air minum dan penyehatan
lingkungan terlupakan. Berdasarkan
regulasi yang ada, pemerintah daerah
lah yang saat ini menjadi pihak yang
bertanggungjawab menyediakan air
minum. Menjadi pertanyaan penting,
sejauh mana konsep hak atas air sebagai hak asasi manusia telah dipahami
oleh pengambil keputusan di daerah.
Jika itu saja belum terlaksana, jangan
berharap banyak bahwa resolusi PBB
tersebut akan berdampak bagi peningkatan akses air minum di Indonesia. Kalapun telah dipahami, menjadi
langkah berikutnya untuk mengetahui sejauhmana pemahaman tersebut
telah terinternalisasi dalam dokumen
perencanaan pemerintah daerah,
semisal rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerh (RPJMD). Demikian selanjutnya sampai teralokasikan
dana yang terfokus pada kelompok
marjinal.
Menjadi tugas pemerintah pusat
dan pemerintah propinsi menjadikan pemahaman hak atas air sebagai
hak asasi manusia menjadi bagian
dariarus utama pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan di
daerah. Dibutuhkan upaya advokasi
baik ke pihak eksekutif maupun legislatif, dilanjutkan dengan internalisasi
melalui peninjauan kembali dokumen RPJMD, sehingga terlihat jelas
peningkatan dramatis dari alokasi
anggaran AMPL khususnya bagi mereka yang termarjinalkan. Sepertinya
dibutuhkan waktu yang cukup lama
dengan mempertimbangkan terdapat

Dirjen HAM, Harkristui Harkrisnowo:

Sejumlah Masalah di Sektor Air Jadi
Perhaian Pemerintah
ISTIMEWA

Dalam Lokakarya Hak Atas Air yang
diselenggarakan oleh Pokja AMPL di Bogor
beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Hak
Asasi Manusia, Harkristui Harkrisnowo
dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan
oleh Direktur Kerjasama HAM, Dimas
Samudera Rum menegaskan,air merupakan
benda yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan mahluk hidup. Tanpa air mahluk
hidup idak akan mampu mempertahankan
kehidupannya. Namun dalam kenyataannya dunia mengalami
permasalahan dengan air yang disebabkan berbagai faktor, antara
lain laju pertumbuhan penduduk dunia yang cepat, serta pengelolaan
air yang idak berkelanjutan yang saat ini dilaksanakan.
Disampaikan pula bahwa dalam sambutan tersebut sejumlah
kebijakan internasional terkait hak atas air seperi CEDAW
(Convenion on the Eliminaion of All Forms of Discriminaion Against
Women), CRC (Convenion on the Rights of the Child) dan ICESCR
(Internaional Covenant on Civil and Poliical Rights dan Internaional
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Termasuk juga
ECOSOC DECLARATION (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB
pada bulan November 2002.
Sementara Indonesia sendiri mencantumkan pengakuan atas
hak dasar tersebut sejak awal di dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 33 yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian,
negara bertanggung jawab menjamin penyediaan air yang bagi
seiap individu warga negara.

sekitar 500 kabupaten/kota di seluruh
Indonesia.
Tugas Bersama
Jadi dibutuhkan tentunya sedikit
kesabaran bagi kita semua untuk dapat melihat hasil dari upaya pemerintah. Tentunya kerjasama dari semua
pihak, dan ini juga merupakan salah
satu prinsip pemenuhan hak asasi
yaitu saling ketergantungan, men-

9

jadi suatu keniscayaan. Pemenuhan
hak atas air sebagai hak asasi manusia tidak akan tercapai jika pemerintah dibiarkan berjuang sendiri. Mari
kita bekerjasama. Masih sekitar 100
juta saudara kita belum memperoleh
akses terhadap air minum. Sebagian
terbesar dari mereka berasal dari
kelompok yang termarjinalkan
(OM)