PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATA (2)

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATANI PADI SAWAH DI JAWA : KECENDERUNGAN DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI

Bambang I raw an

Februari 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian

ICASERD WORKING PAPER No. 31

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATANI PADI SAWAH DI JAWA : KECENDERUNGAN DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI

Bambang I raw an Maret 2004

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian

Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id

No. Dok.042.31.02..04

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATANI PADI SAWAH DI JAWA : KECENDERUNGAN DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI

Bambang Irawan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Because of it’s high contribution on national rice production, wetland rice production in Java island should be augmented to increase national food security. Due to limited wetland area available in Java result from high population pressure and agriculture land conversion, production increase of wetland rice in the region should be carried out through yield increase rather than area increase. Rice yield increase can be conducted through two activities : (1) introduction of superior varieties of rice to increase potential yield available to be exploited by farmers, and (2) improvement of cultural practices such as fertilizing method, planting method, pest control etc. so that yield potency of varieties cultivated can be maximally exploited. For efficiency of program of rice yield increase, this study reveals that introduction of superior varieties of rice should be implemented in wet season while improvement of cultural practices implemented in dry season. In accordance with problems faced by farmers, improvement of cultural practices should be supported with a technical guidance of balanced fertilizing and improvement of irrigation network. Besides, the movement of rice production area from Java island to other island in the long term should be considered.

Key words : wetland rice, superior variety, potential yield, quality of cultural practices.

PENDAHULUAN

Secara nasional sekitar 55 persen konsumsi kalori dan 45 persen konsumsi protein di tingkat rumah tangga berasal dari konsumsi beras. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi beras memiliki peranan penting dalam rangka meningkatkan kecukupan konsumsi gizi rumah tangga dan ketahanan pangan nasional. Sementara itu sekitar 90 persen produksi beras nasional dihasilkan dari usahatani padi sawah yang dilakukan oleh sebagian besar petani terutama di Jawa. Akibat lahan yang lebih subur, jaringan irigasi yang lebih tersedia dan teknologi usahatani yang lebih maju maka pulau Jawa memiliki peranan penting dalam produksi padi secara nasional. Selama 30 tahun terakhir pulau Jawa rata-rata menyumbang 59,8 persen produksi padi nasional dengan kisaran antara 55 persen hingga 63 persen.

Pengalaman mengungkapkan bahwa sebagian besar peningkatan produksi padi disebabkan oleh peningkatan produktivitas usahatani yang dirangsang oleh pelaksanaan berbagai program intensifikasi padi. Karena sebagian besar petani mengusahakan tanaman padi maka pelaksanaan program intensifikasi tersebut tidak hanya berguna untuk meningkatkan produksi padi tetapi bermanfaat pula untuk meningkatkan pendapatan sebagian besar petani. Akan tetapi pada akhir-akhir ini seringkali diungkapkan bahwa laju peningkatan produktivitas padi semakin lambat sehingga pertumbuhan produksi padi juga semakin lambat. Kondisi demikian tidak menguntungkan bagi ketahanan pangan nasional karena hal itu dapat berdampak pada kekurangan beras dimasa yang akan datang mengingat kebutuhan beras nasional terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya konsumsi beras per kapita.

Secara agronomis peningkatan produktivitas padi dapat terjadi akibat dua faktor yaitu : (1) meningkatnya penggunaan varietas padi yang berdaya produksi lebih tinggi, dan (2) meningkatnya mutu usahatani yang dilakukan petani seperti cara pengolahan tanah, cara penanaman, cara pemupukan dan sebagainya. Penggunaan varietas padi berdaya produksi tinggi sangat menentukan produktivitas potensial atau potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi petani menjadi produktivitas aktual. Sedangkan mutu usahatani yang dilakukan petani akan menentukan sejauh mana petani mampu mengeksploitasi seluruh potensi produktivitas yang melekat pada varietas padi yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut maka introduksi varietas unggul yang berdampak pada peningkatan produktivitas potensial belum tentu secara langsung meningkatkan produktivitas yang dicapai petani jika tidak diikuti dengan perbaikan mutu usahatani.

Tulisan ini mengungkapkan dinamika jangka panjang produktivitas potensial dan mutu usahatani padi sawah di Jawa. Kajian tersebut dilakukan secara agregat pulau Jawa dan menurut provinsi di Jawa. Disamping itu diungkapkan pula variasi produktivitas dan mutu usahatani menurut musim tanam dalam rangka lebih memahami permasalahan spesifik yang dihadapi petani untuk meningkatkan produktivitas padi sawah pada setiap musim tanam.

METODOLOGI

Konsep Pengukuran Produktivitas Potensial dan Mutu Usahatani

Secara agronomis produktivitas usahatani padi yang dihasilkan petani merupakan resultante dari pengaruh tiga faktor yaitu (De Datta et al. 1987; Dey and Hossain. 1995) :

(1) Faktor lingkungan fisik di lokasi kegiatan produksi seperti kesuburan tanah, temperatur, kelembaban, curah hujan dst, (2) Daya produksi varietas padi yang digunakan, dan (3) Mutu usahatani atau kualitas cara bercocok tanam seperti cara pengolahan tanah, cara penanaman, cara pemupukan, cara pengendalian hama dan seterusnya. Dalam batas tertentu faktor lingkungan fisik dapat dikatakan tetap karena faktor tersebut sulit dimanipulasi. Sedangkan daya produksi varietas padi yang digunakan petani dapat meningkat akibat rekayasa genetik yang dikembangkan. Begitu pula mutu usahatani yang dilakukan petani dapat semakin baik atau semakin mendekati kebutuhan fisiologis tanaman sejalan dengan meningkatnya kemampuan teknis dan kemampuan finansial petani.

Pada kondisi faktor lingkungan fisik tertentu produktivitas usahatani padi ditentukan oleh : (1) jenis varietas yang digunakan dan (2) kualitas cara bercocok tanam atau mutu usahatani. Jenis varietas yang digunakan sangat menentukan produktivitas maksimal yang dapat dicapai, sesuai dengan daya produksi varietas yang bersangkutan. Produktivitas maksimal tersebut pada dasarnya merupakan potensi produktivtas yang dapat digali untuk diwujudkan menjadi produktivitas aktual yang dicapai petani. Dalam hal ini mutu usahatani yang diterapkan akan sangat mempengaruhi tingkat pencapaian potensi produkivitas yang tersedia. Jika cara bercocok tanam atau mutu usahatani yang dilakukan sudah sesuai dengan kebutuhan fisiologis varietas yang ditanam maka produktivitas yang dicapai akan sama besarnya dengan produktivitas maksimal yang dapat dicapai, dengan kata lain sesuai dengan daya produksi varietas yang ditanam.

Pada tingkat penelitian laboratorium potensi produktivitas yang terdapat pada setiap jenis varietas umumnya dapat dieksploitasi secara maksimal karena seluruh faktor penentu produktivitas (faktor lingkungan fisik dan cara bercocok tanam) dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan fisiologis tanaman. Namun pada tingkat lapangan faktor penentu produktivitas tersebut tidak selalu dapat dikendalikan dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman, sehingga produktivitas yang dicapai pada tingkat lapangan akan lebih rendah dibanding produktivitas yang dihasilkan dari penelitian laboratorium. Dengan kata lain, untuk setiap jenis varietas padi yang dipergunakan akan selalu terjadi senjang produktivitas antara produktivitas hasil penelitian laboratorium dengan produktivitas di tingkat lapangan.

Produktivitas

Perbedaan faktor lingkungan fisik media produksi : temperatur, kelembaban, nutrisi

Senjang 1 (S1)

tanah dst.

Perbedaan cara bercocok tanam (pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama penyakit dst)

Senjang 2 (S2)

akibat kendala teknis, ekonomi dan sosial.

P1

P2

P3

hasil penelitian

hasil percoba-

aktual di

laboratorium

an lapangan

tingkat petani

Gambar 1. Konsep Senjang Produktivitas Tanaman Padi Antara Produktivitas Hasil Penelitian dan Produktivitas di Tingkat Petani

Gambar 1 mengilustrasikan konsep senjang produktivitas antara produktivitas di tingkat penelitian laboratorium (P1) dengan produktivitas di tingkat lapangan (P2 dan P3). Produktivitas di tingkat lapangan dibedakan atas produktivitas hasil penelitian lapangan (P2) dan produktivitas yang dicapai petani (P3). Ketiga nilai produktivitas tersebut dapat berbeda akibat perbedaan jenis varietas yang digunakan. Namun pada penggunaan jenis varietas yang sama tetap akan terjadi perbedaan produktivitas atau senjang produktivitas (S1 dan S2) yang disebabkan oleh faktor yang berlainan (De Datta et al., 1987). Senjang produktivitas S1 atau (P1-P2) dapat disebabkan oleh tidak terkontrolnya seluruh faktor lingkungan fisik (temperatur, kelembaban, nutrisi tanah, dst) pada penelitian lapangan, walaupun cara bercocok tanam pada penelitian lapangan dapat disamakan dengan yang dilakukan pada penelitian laboratorium, yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Sedangkan senjang produktivitas S2 atau (P2-P3) dapat terjadi karena petani tidak mampu melakukan cara bercocok tanam seperti yang dilakukan pada penelitian lapangan akibat berbagai kendala teknis, ekonomi dan sosial walaupun faktor lingkungan fisik yang dihadapi petani dan peneliti lapangan relatif sama.

Pada penggunaan jenis varietas yang sama antara petani dan penelitian lapangan, produktivitas P2 merupakan produktivitas maksimal yang dapat dicapai petani.

Dengan kata lain, produktivitas P2 merupakan produktivitas potensial atau merupakan potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi petani. Untuk dapat mengeksploitasi potensi produktivitas yang tersedia secara maksimal, atau mencapai tingkat produktivitas P2, maka petani harus mampu melakukan cara bercocok tanam yang relatif sama dengan yang dilakukan oleh peneliti lapangan. Namun akibat berbagai kendala yang dihadapi petani maka cara bercocok tanam atau mutu usahatani yang dilakukan petani biasanya lebih rendah dibandingkan dengan yang dilakukan pada penelitian lapangan. Besarnya perbedaan mutu usahatani tersebut secara tidak langsung ditunjukkan oleh besarnya senjang produktivitas S2. Jika mutu usahatani yang dilakukan petani relatif sama dengan yang dilakukan peneliti lapangan maka produktivitas P1 akan sama dengan P2 atau S2 = 0.

Uraian diatas menjelaskan bahwa pada pengunaan jenis varietas tertentu, tingkatan mutu usahatani yang dilakukan petani pada dasarnya dapat diukur dari besarnya senjang produktivitas S2. Nilai S2 yang sangat besar mencerminkan mutu usahatani yang diterapkan petani sangat rendah, dengan kata lain, cara bercocok tanam yang dilakukan petani sangat jauh dengan kebutuhan fisiologis tanaman yang diusahakan. Sebaliknya, nilai S2 yang sangat kecil menunjukkan bahwa mutu usahatani yang dilakukan petani relatif tinggi sehingga produktivitas yang dicapai petani (P1) relatif sama dengan produktivitas yang diperoleh pada penelitian lapangan (P2). Pada kondisi demikian peluang untuk meningkatkan produktivitas petani melalui peningkatan mutu usahatani dapat dikatakan sangat terbatas karena cara bercocok tanam yang dilakukan petani dapat dikatakan sudah sesuai dengan kebutuhan fisiologis tanaman.

Pada tingkat lapangan dengan kondisi agroklimat yang sama, besarnya produktivitas P2 akan bervariasi menurut daya produksi varietas yang digunakan. Semakin tinggi daya produksi varietas yang digunakan maka nilai P2 akan semakin tinggi pula, artinya, produktivitas potensial atau potensi produktivitas yang dapat dieksploitasi oleh petani akan semakin besar. Oleh karena itulah kegiatan introduksi varietas unggul yang berdaya produksi lebih tinggi diperlukan untuk meningkatkan produktivitas petani. Namun, penggunaan varietas unggul tersebut belum tentu secara langsung akan meningkatkan produktivitas yang dicapai petani jika mutu usahatani yang diterapkan petani relatif rendah, dengan kata lain, belum sesuai dengan kebutuhan fisiologis tanaman.

Pengukuran Empirik

Produktivitas potensial padi sawah di setiap wilayah pembangunan (kabupaten, provinsi) pada dasarnya ditentukan oleh kondisi biofisik lahan seperti tingkat kesuburan lahan, dan daya produksi varietas padi yang digunakan petani. Kondisi biofisik lahan di setiap wilayah dapat dikatakan relatif tetap sedangkan daya produksi varietas padi yang digunakan petani dapat mengalami perubahan. Oleh karena itu variasi produktivitas potensial padi sawah antarwilayah pembangunan secara umum sangat ditentukan oleh daya produksi varietas yang digunakan. Begitu pula produktivitas potensial dalam jangka panjang dapat bersifat dinamis akibat perubahan pengguna jenis-jenis varietas yang digunakan petani.

Jenis varietas padi yang digunakan petani di setiap wilayah pembangunan umumnya sangat beragam. Komposisi luas tanam padi menurut jenis varietas juga dapat berbeda menurut musim tanam dan menurut tahun, tergantung pada ketersediaan benih varietas yang diinginkan dan preferensi petani dalam memilih varietas padi. Karena setiap varietas padi sawah memiliki daya produksi yang berbeda maka produktivitas potensial padi sawah menurut wilayah, musim dan tahun dapat bervariasi tergantung pada komposisi luas tanaman padi menurut varietas. Jika sebagian besar varietas padi yang digunakan petani di wilayah tertentu memiliki daya produksi relatif tinggi maka produktivitas potensial di wilayah yang bersangkutan relatif tinggi pula, dan sebaliknya.

Uraian diatas menjelaskan bahwa produkivitas potensial padi sawah menurut wilayah, musim tanam dan tahun pengamatan dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh komposisi luas tanam padi menurut jenis varietas dan daya produksi setiap varietas padi yang digunakan petani. Sedangkan mutu usahatani pada dasarnya merupakan selisih antara produktivitas potensial dan produktivitas aktual atau produktivitas yang dicapai petani. Berdasarkan hal tersebut maka secara empirik pengukuran produktivitas potensial dan mutu usahatani padi sawah secara agregat wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (1) dan persamaan (2) sebagai berikut.

Produktivitas potensial n

Ypk = ∑ Li. Yi ………………………………………………………(1)

i=1 dimana: Ypk = Produktivitas potensial padi sawah di wilayah k (ton/ha) Li ….n = Pangsa luas tanam padi sawah varietas i Yi….n = Daya produksi varietas i (ton/ha)

Indeks mutu usahatani MUk = Yak / Ypk . 100 ..…………………………………………… (2)

dimana: MUk = Indeks mutu usahatani padi sawah di wilayah k (%) Yak = Produktivitas aktual padi sawah yang dihasilkan petani di wilayah k (ton/ha)

Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi pemerintah dan publikasi yang relevan. Data luas tanam padi sawah menurut jenis varietas dan menurut musim tanam per provinsi dan per kabupaten di Jawa diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data karakteristik genetik varietas padi diperoleh dari publikasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sedangkan data produktivitas padi sawah per kabupaten di Jawa menurut musim tanam diperoleh dari Badan Pusat Statistik di setiap provinsi yang dikaji.

DINAMIKA PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DI JAWA DAN PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL PADI

Laju Pertumbuhan, Variabilitas dan Variasi Produktivitas Padi Sawah Antar Kabupaten di Jawa

Dengan rata-rata penguasaan lahan yang sempit peningkatan produktivitas usahatani merupakan upaya penting dalam rangka meningkatkan pendapatan petani padi di Jawa. Peningkatan produktivitas tersebut dapat ditempuh melalui : (1) introduksi varietas unggul dan atau (2) perbaikan mutu kegiatan usahatani seperti penggunaan pupuk berimbang, penggunaan insektisida dan pestisida secara memadai, perbaikan cara pengolahan tanah, perbaikan metode tanam dan seterusnya. Pengalaman menunjukkan bahwa kedua upaya peningkatan produktivitas tersebut selama ini sangat terkait dengan pelaksanaan berbagai program intensifikasi padi yang telah dilakukan sejak tahun 1970 seperti program BIMAS, INSUS, SUPRA INSUS, IP Padi-300 dan seterusnya. Di samping itu pemerintah juga mengendalikan harga padi dan harga faktor produksi untuk menjamin keuntungan petani manakala mereka menerapkan paket teknologi yang diintroduksikan melalui program-program tersebut.

Produktivitas (t/ha)

10 n v ie

it a s,

Variabilitas produktivitas (%)

is

ef Koefisien variasi (%)

Gambar 2. Dinamika Produktivitas, Variabilitas dan Koefisien Variasi Produktivitas Padi Sawah di Jawa, 1972-2000.

Gambar 2 memperlihatkan dinamika produktivitas usahatani padi sawah di Jawa selama 1972-2000 yang diukur dalam tiga indikator yaitu : tingkat produktivitas, variabilitas produktivitas dan variasi produktivitas antar kabupaten di Jawa. Tampak bahwa secara umum terdapat tiga kecenderungan yaitu :

1. Tingkat produktivitas mengalami kenaikan dari rata-rata 3,0 ton gabah per hektar pada tahun 1972-1975 menjadi sekitar 5,2 ton gabah per hektar pada tahun 1996-2000 (Tabel 1). Sudaryanto et al., (1992) berpendapat bahwa secara teknis peningkatan produktivitas tersebut disebabkan oleh penerapan panca usahatani padi yang meliputi: (1) penggunaan benih varietas unggul yang berdaya produksi tinggi, (2) penggunaan pupuk anorganik, (3) penggunaan obat-obatan secara memadai, (4) pengaturan pengairan sesuai dengan kebutuhan tanaman, dan (5) perbaikan cara bercocok tanam seperti pengolahan tanah sempurna.

2. Keragaman produktivitas antar kabupaten mengalami penurunan, hal ini ditunjukkan oleh turunnya koefisien variasi produktivitas antar kabupaten dari 2. Keragaman produktivitas antar kabupaten mengalami penurunan, hal ini ditunjukkan oleh turunnya koefisien variasi produktivitas antar kabupaten dari

3. Variabilitas produktivitas padi sawah cenderung turun dari 8,71 persen pada tahun 1972-1975 menjadi 4,45 persen pada tahun 1996-2000. Hal ini mengungkapkan bahwa ketidakpastian produktivitas padi sawah yang disebabkan oleh faktor non teknis-agronomis (seperti harga input, harga output, iklim) semakin kecil. Kondisi demikian dapat terjadi akibat pengendalian harga- harga yang dilakukan pemerintah dan akibat meningkatnya kemampuan adaptasi petani terhadap kondisi agroklimat setempat (Anderson and Hazell, 1994).

Jika dikaji menurut periode, laju peningkatan produktivitas yang relatif tinggi terutama terjadi pada periode 1976-1980 dan periode 1981-1985, masing-masing sebesar 5,59 persen dan 3,53 persen per tahun (Tabel 1). Dibarengi dengan peningkatan luas panen padi sawah akibat pencetakan sawah baru, pembangunan jaringan irigasi dan penggunaan varietas padi yang berumur semakin pendek peningkatan produktivitas yang tinggi tersebut menyebabkan Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun 1984/85. Namun setelah itu laju peningkatan produktivitas padi sawah terus mengalami penurunan hingga mencapai 0,26 persen per tahun pada periode 1991-1995, bahkan, pada periode 1996-2000 produktivitas padi sawah di Jawa cenderung turun sebesar– 0,20 persen per tahun. Menurut Pingali et al., (1997) penurunan laju pertumbuhan produktivitas padi tersebut terjadi di sebagian besar kawasan Asia, terutama di daerah- daerah yang secara historis merupakan sentra produksi padi. Gejala demikian pada dasarnya terjadi akibat penggunaan bahan kimia yang intensif dalam jangka waktu lama sehingga berdampak pada kelelahan lahan, yang diantaranya dicirikan oleh respon pemupukan yang semakin tidak signifikan dan tanah yang semakin keras (Pingali et al., 1997; De datta et al., 1988).

Tabel 1. Rata-rata Produktivitas Padi Sawah, Laju Pertumbuhan Produktivitas, Variabilitas dan Koefisien Variasi Produktivitas Antar Kabupaten di Jawa, 1972-2000

Provinsi 1972-75

1991-95 1996-2000

Produktivitas (kg/ha)

5186 5008 Jawa Tengah

Jawa Barat 2886

5266 5189 Jawa Timur

Pertumbuhan produktivitas (%/thn)

Jawa Barat 1,60

0,62 -0,34 Jawa Tengah

0,43 -0,48 Jawa Timur

0,14 -0,06 Jawa

Variabilitas produktvitas (%)

Jawa Barat 8,41

0,46 6,27 Jawa Tengah

0,81 3,72 Jawa Timur

Koefisien variasi (%)

5,5 6,1 Jawa Tengah

Jawa Barat 12,4

8,0 6,0 Jawa Timur

7,3 6,8 Catatan : Variabilitas produktivitas dihitung dari nilai absolut deviasi produktivitas per tahun

dibanding produktivitas moving average dengan interval 3 tahun (%)

Begitu pula ketidakpastian produktivitas yang dicapai petani akibat faktor non teknis agronomis cenderung meningkat akhir-akhir ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh variabilitas produktivitas padi sawah yang kembali meningkat menjadi 4,45 persen pada 1996-2000, padahal pada dua periode lima tahunan sebelumnya variabilitas produktivitas tersebut hanya sekitar 1 persen. Naiknya variabilitas tersebut tidak menguntungkan karena ketidakpastian pendapatan petani padi akan semakin besar disamping semakin mempersulit perencanaan produksi secara regional dan nasional. Akan tetapi koefisien variasi produktivitas antar kabupaten pada periode 1996-2000 secara rata-rata masih lebih rendah dibandingkan dengan situasi pada periode lima tahunan sebelumnya, walaupun pada tahun 1998 dan 1999 terjadi peningkatan yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan produktivitas padi sawah antar kabupaten di Jawa tetap memperlihatkan kecenderungan yang semakin kecil, dengan kata lain, proses pemerataan pendapatan petani antar kabupaten masih tetap berlangsung.

Uraian diatas menyimpulkan bahwa keragaan produktivitas padi sawah di Jawa akhir-akhir ini atau pada periode 1996-2000 tidak begitu baik, khususnya jika dilihat dari Uraian diatas menyimpulkan bahwa keragaan produktivitas padi sawah di Jawa akhir-akhir ini atau pada periode 1996-2000 tidak begitu baik, khususnya jika dilihat dari

Pada periode 1996-2000 penurunan produktivitas padi sawah dan peningkatan variabilitas produktivitas terutama terjadi pada tahun 1998 dan 1999 (lihat Gambar 2). Penurunan produktivitas pada tahun 1998 pada dasarnya disebabkan oleh anomali iklim El Nino yang berlangsung selama 14 bulan antara Maret 1997 hingga April 1998, dengan kata lain, meliputi musim tanam MK 1997 dan MH 1997/1998. Penyimpangan iklim tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah (Gomez, 1998) dan menyebabkan penurunan curah hujan di Jawa sekitar 40 hingga 52 persen dibawah curah hujan normal menurut provinsi (Irawan, 2002). Konsekuensinya adalah pada tahun 1998 sebanyak 58 kabupaten di Jawa atau sekitar 74 persen dari total kabupaten di Jawa mengalami penurunan produktivitas padi sawah dengan laju penurunan sekitar 2 persen hingga 14 persen menurut kabupaten.

Sedangkan penurunan produktivitas pada tahun 1999 dapat terjadi akibat krisis ekonomi yang berlangsung sejak Agustus 1997. Akibat krisis tersebut subsidi harga pupuk urea telah dicabut pada bulan Desember 1998 sehingga harga urea pada bulan selanjutnya naik sekitar 64 persen. Begitu pula harga insektisida, pestisida dan faktor produksi lain yang menggunakan bahan baku impor relatif tinggi mengalami peningkatan tajam akibat naiknya harga dolar. Sementara itu harga gabah di tingkat petani justru mengalami penurunan akibat mengalirnya impor beras dan semakin lemahnya pengendalian harga dasar gabah sehingga harga gabah yang diterima petani pada tahun 1999 hanya sekitar 85 persen harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Secara simultan dinamika harga-harga tersebut menyebabkan insentif ekonomik untuk menggunakan Sedangkan penurunan produktivitas pada tahun 1999 dapat terjadi akibat krisis ekonomi yang berlangsung sejak Agustus 1997. Akibat krisis tersebut subsidi harga pupuk urea telah dicabut pada bulan Desember 1998 sehingga harga urea pada bulan selanjutnya naik sekitar 64 persen. Begitu pula harga insektisida, pestisida dan faktor produksi lain yang menggunakan bahan baku impor relatif tinggi mengalami peningkatan tajam akibat naiknya harga dolar. Sementara itu harga gabah di tingkat petani justru mengalami penurunan akibat mengalirnya impor beras dan semakin lemahnya pengendalian harga dasar gabah sehingga harga gabah yang diterima petani pada tahun 1999 hanya sekitar 85 persen harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Secara simultan dinamika harga-harga tersebut menyebabkan insentif ekonomik untuk menggunakan

Pengembangan Varietas Unggul Padi

Varietas unggul padi yang berdaya produksi tinggi dapat dikatakan sebagai hasil rekayasa teknologi di bidang pertanian yang paling penting dalam meningkatkan produktivitas usahatani padi (Herdt and Capule, 1983; Byerlee, 1993). Hal ini dapat disimak dari pengalaman selama revolusi hijau dimana produktivitas usahatani padi meningkat signifikan setelah dilakukan introduksi berbagai varietas unggul yang dikembangkan oleh IRRI yang daya produksinya lebih tinggi daripada varietas lokal. Di bidang perbenihan tersebut secara garis besar terdapat dua aspek yang saling terkait yaitu : (1) aspek pengembangan varietas unggul yang dilakukan melalui rekayasa genetik, dan (2) aspek produksi, distribusi, dan adopsi benih varietas unggul yang dikembangkan. Pengembangan berbagai jenis varietas unggul belum tentu meningkatkan produktivitas yang dihasilkan petani jika varietas unggul tersebut tidak diadopsi oleh petani atau proses adopsinya berjalan lambat. Sebaliknya, walaupun proses adopsi varietas unggul dapat berlangsung secara cepat, produktivitas di tingkat petani belum tentu meningkat jika daya produksi varietas yang dikembangkan tidak lebih tinggi dibanding daya produksi varietas yang telah digunakan petani.

Dalam pengembangan varietas unggul padi pemerintah memiliki peranan penting karena sektor swasta sejauh ini kurang tertarik kecuali untuk komoditas sayuran. Selama ini pemerintah telah melepas 124 varietas padi sawah dengan daya produksi, umur tanaman, ketahanan terhadap hama/penyakit dan rasa nasi yang berbeda untuk 3 tipe sawah yaitu sawah dataran rendah, sawah dataran tinggi dan sawah rawa/pasang surut. Sebagian besar varietas yang dilepas (100 varietas) merupakan varietas padi sawah dataran rendah (di bawah ketinggian 500 m dpl) karena sawah dataran rendah merupakan bagian terbesar dari total sawah yang diusahakan petani. Varietas padi sawah tersebut dapat berasal dari varietas yang dikembangkan oleh IRRI atau varietas lokal yang telah mengalami pemuliaan yang biasanya disebut sebagai varietas unggul lokal.

Pengembangan varietas padi melalui kegiatan pemuliaan umumnya ditujukan untuk menghasilkan varietas dengan 4 sifat yaitu: (1) berdaya produksi tinggi, (2) berumur pendek, (3) tahan terhadap organisme pengganggu tanaman dan (4) memiliki rasa nasi yang enak. Namun keempat sifat tersebut tidak mudah dicapai secara serentak sehingga strategi pengembangan varietas benih padi cenderung dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi.

Pada tahun 70-an pengembangan varietas padi sawah dataran rendah lebih difokuskan untuk memperoleh varietas berumur pendek dalam rangka memanfaatkan jaringan irigasi yang telah dibangun dengan sasaran akhir meningkatkan intensitas tanam per tahun. Pada periode ini rata-rata umur varietas yang dilepas lebih rendah sekitar 12 persen atau 17 hari dibanding varietas yang dilepas sebelum tahun 1970 namun rata-rata daya produksinya mengalami penurunan dari 4,92 ton/ha menjadi 4,36 ton/ha (Tabel 2). Rasa nasi yang dihasilkan cenderung dikorbankan karena varietas padi yang dilepas pada tahun 1970-an hanya 29 persen saja yang memiliki rasa nasi yang enak, lebih rendah dibanding situasi sebelum 1970 yang mencapai 42 persen. Kebijakan ini pada dasarnya ditempuh karena varietas dengan rasa nasi yang enak biasanya berumur lebih panjang sehingga dianggap kurang sesuai untuk meningkatkan produksi padi melalui peningkatan intensitas tanam.

Tabel 2. Deskripsi Varietas Padi Sawah Dataran Rendah yang Dilepas Hingga Tahun 2001

Total

Rasa nasi

Umur tanaman (hari)

Daya produksi (Ton/ha)

enak

Periode variet as

Rata- Mini Mak

rata mal simal Sebelum 1970

6.51 5.26 7.77 Sumber : Diolah dari Djunainah, 1993; Sunihardi, 1999; Sunihardi dan Hermanto. 2000

Selama periode 1980-1989 jumlah varietas yang dilepas mencapai 42 varietas atau hampir separuh dari total varietas yang dilepas selama 30 tahun terakhir. Pada periode ini pengembangan varietas lebih ditujukan untuk menghasilkan varietas padi yang tahan terhadap hama/penyakit biotipe atau strain baru terutama wereng coklat (Sunihardi dan Hermanto, 2000). Daya produksi varietas yang dilepas rata-rata meningkat 0,44 ton per hektar atau 10 persen lebih tinggi dibanding varietas yang dilepas Selama periode 1980-1989 jumlah varietas yang dilepas mencapai 42 varietas atau hampir separuh dari total varietas yang dilepas selama 30 tahun terakhir. Pada periode ini pengembangan varietas lebih ditujukan untuk menghasilkan varietas padi yang tahan terhadap hama/penyakit biotipe atau strain baru terutama wereng coklat (Sunihardi dan Hermanto, 2000). Daya produksi varietas yang dilepas rata-rata meningkat 0,44 ton per hektar atau 10 persen lebih tinggi dibanding varietas yang dilepas

Sejalan dengan dinamika pasar pengembangan varietas padi sejak tahun 1990 lebih difokuskan untuk menghasilkan varietas dengan rasa nasi yang enak dan memiliki daya produksi lebih tinggi. Rata-rata daya produksi varietas yang dikembangkan sejak tahun 1990 meningkat signifikan, sekitar 1,06 ton/ha atau 22 persen, tetapi penurunan umur tanaman tidak signifikan, sekitar 2 hari atau 2 persen. Hal ini mengungkapkan bahwa upaya menghasilkan varietas padi berumur lebih pendek semakin sulit diwujudkan. Konsekuensinya adalah, dimasa yang akan datang upaya meningkatkan produksi padi per satuan lahan melalui pengembangan varietas unggul padi hanya mungkin dilakukan melalui peningkatan daya produksi per hektar.

PRODUKTIVITAS POTENSIAL DAN MUTU USAHATANI PADI SAWAH

Penggunaan Varietas Padi Sawah di Jawa

Diluar varietas lokal dan galur lainnya sekitar 75 hingga 83 varietas padi sawah telah digunakan oleh petani di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur selama 1977- 2000. Dari seluruh varietas tersebut terdapat 8 varietas utama yang memiliki rata-rata pangsa luas tanam lebih dari 2 persen selama 1977-2000 pada agegat Jawa (Tabel 3). Setiap varietas tersebut umumnya memiliki karakteristik yang berbeda dalam daya produksi, umur tanaman, daya tahan terhadap hama/penyakit dan rasa nasi yang dihasilkan. Selama 1977 hingga 2000 varietas padi yang digunakan petani umumnya mengalami pergeseran, sesuai dengan preferensi petani dalam memilih varietas padi dan ketersediaan varietas yang dilepas.

Secara umum arah pergeseran varietas yang terjadi adalah meningkatnya penggunaan varietas unggul padi terutama varietas PB-36, Cisadane dan IR-64 yang menggantikan penggunaan varietas lokal (Tabel 3). Namun diantara varietas unggul sendiri sebenarnya terjadi juga pergeseran luas tanam antar varietas. Secara ringkas Secara umum arah pergeseran varietas yang terjadi adalah meningkatnya penggunaan varietas unggul padi terutama varietas PB-36, Cisadane dan IR-64 yang menggantikan penggunaan varietas lokal (Tabel 3). Namun diantara varietas unggul sendiri sebenarnya terjadi juga pergeseran luas tanam antar varietas. Secara ringkas

 1977-1980 : Pada periode ini penggunaan varietas PB-30, PB-36 dan PB-38 semakin luas dan menggeser varietas lokal. Pergeseran ini terutama terjadi

karena varietas lokal umumnya tidak tahan hama wereng coklat dan berumur lebih panjang walaupun memiliki rasa nasi yang enak.

 1981-1983 : Penggunaan varietas Cisadane dan PB-36 semakin luas menggantikan varietas lokal, PB-30 dan PB-38. Penggunaan varietas PB-30 dan

PB-38 semakin sedikit karena kurang tahan terhadap wereng coklat biotype 1 dan

2 sedangkan penggunaan varietas Cisadane mengalami peningkatan karena berdaya produksi lebih tinggi, tahan terhadap hama wereng, dan memiliki rasa nasi yang enak.

 1984-1987 : Penggunaan varietas Cisadane dan Krueng Aceh semakin menggeser varietas PB-36 yang memiliki daya produksi lebih rendah dan memiliki

rasa nasi kurang enak. Sejak periode ini prefensi petani terhadap varietas padi semakin didominasi oleh pertimbangan rasa nasi akibat terjadinya perubahan selera pasar yang dirangsang oleh peningkatan pendapatan konsumen.

 1988-1999 : Penggunaan varietas IR-64 muncul secara dominan dan menggeser varietas Cisadane dan PB-36 karena varietas IR-64 berdaya produksi lebih tinggi,

umur lebih pendek dan memiliki rasa nasi yang enak. Pada tahun 1999 penggunaan varietas padi di Jawa sepenuhnya didominasi oleh varietas IR-64 dan Cisadane yang secara total memiliki pangsa luas tanam sebesar 81,1 persen. Namun pada tahun 2000 varietas Membramo dan Way Apoboru yang dilepas pada tahun 1995 dan 1998 mulai menggeser varietas Cisadane dan IR-64 karena memiliki rasa nasi yang enak dan memiliki daya produksi lebih tinggi, yaitu sebesar 7,3 ton gabah/ha dan 8,0 ton gabah/ha.

Jika dikaji secara keseluruhan proses adopsi varietas berdaya produksi lebih tinggi umumnya berlangsung cukup lambat. Misalnya, pada tahun 1999 penggunaan varietas padi masih didominasi oleh varietas Cisadane dan IR-64 yang dilepas pada tahun 1980 dan 1986. Padahal, seperti diungkapkan dalam Tabel 2, sejak tahun 1990 telah dilepas banyak varietas padi yang berdaya produksi lebih tinggi dari varietas Cisadane Cisadane dan IR-64 dan memiliki rasa nasi yang enak pula. Beberapa faktor yang dapat

Tabel 3. Pangsa Luas Tanam Padi Sawah Menurut Jenis Varietas yang Utama di Jawa, Tahun 1977-2000 (%)

Cisa Krueng

IR 64 Lokal Tahun pelepasan

Varietas

PB 30 PB 36 PB 38 Semeru dane

Aceh

1986 - Daya produksi rata-rata

5,63 - Total (t/ha)

pangsa Umur tanaman (hari)

111 - (%) Rasa nasi

enak - Ketahanan hama penyakit

kurang kurang kurang kurang enak

enak

WC WC-12 WC-1 WC-1 WC-13 WC-123 WC-12 -

Huruf tebal = tiga varietas utama pada tahun pengamatan. WC-123

= tahan terhadap wereng coklat biotype 1, 2 dan 3

menyebabkan lambatnya proses adopsi varietas padi yang lebih unggul adalah (Irawan dan Hendiarto, 2002; Adnyana et al., 1997): (1) varietas padi unggul yang dilepas tidak selalu dapat memenuhi selera pasar atau konsumen meskipun memiliki daya produksi lebih tinggi dibanding varietas padi yang digunakan petani. Hal ini dapat disimak dari kasus varietas Cisadane dan IR-64 dimana walaupun pada tahun 90-an banyak dihasilkan varietas padi dengan daya produksi lebih tinggi tetapi kedua varietas tersebut masih sangat dominan penggunaannya oleh petani karena memiliki rasa nasi yang enak sehingga lebih mudah dipasarkan. (2) produsen benih padi terkesan kurang aktif dalam menyebabkan lambatnya proses adopsi varietas padi yang lebih unggul adalah (Irawan dan Hendiarto, 2002; Adnyana et al., 1997): (1) varietas padi unggul yang dilepas tidak selalu dapat memenuhi selera pasar atau konsumen meskipun memiliki daya produksi lebih tinggi dibanding varietas padi yang digunakan petani. Hal ini dapat disimak dari kasus varietas Cisadane dan IR-64 dimana walaupun pada tahun 90-an banyak dihasilkan varietas padi dengan daya produksi lebih tinggi tetapi kedua varietas tersebut masih sangat dominan penggunaannya oleh petani karena memiliki rasa nasi yang enak sehingga lebih mudah dipasarkan. (2) produsen benih padi terkesan kurang aktif dalam

Seperti diperlihatkan dalam Tabel 4 penggunaan varietas padi yang dilepas pada tahun 1990-an umumnya mengalami peningkatan dan menggantikan varietas yang dilepas pada tahun 1980-an seperti varietas Cisadane dan IR-64. Penggunaan varietas yang dilepas pada tahun 1990-an tersebut umumnya lebih tinggi pada musim kemarau (MK) daripada musim hujan (MH), artinya, adopsi varietas unggul oleh petani cenderung lebih cepat pada musim tanam MK daripada MH. Jika dikaji menurut provinsi, pangsa luas tanam varietas tahun 1990-an lebih tinggi di Jawa Barat untuk musim tanam MH maupun MK (12,5 % dan 14,9 %) dibanding Jawa Tengah (5,3 % dan 10,7 %) dan Jawa Timur (8,3% dan 12,7 %). Hal tersebut mengungkapkan bahwa proses adopsi varietas padi yang lebih unggul berlangsung lebih cepat di Provinsi Jawa Barat daripada di kedua provinsi lainnya.

Lonjakan penggunaan varietas tahun 1990 an terutama terjadi pada dua periode yaitu : (1) pada tahun 1997 akibat introduksi varietas Membramo yang dilepas pada tahun 1995, dan (2) pada tahun 2000 akibat introduksi varietas Way Apo Boru yang dilepas pada tahun 1998. Meluasnya penggunaan kedua varietas tersebut umumnya akibat pelaksanaan berbagai program peningkatan produksi padi seperti program IP Padi-300, program PKP dan program PMI. Hal tersebut membuktikan bahwa penyebarluasan penggunaan varietas yang lebih unggul sangat tergantung kepada pelaksanaan program-program pemerintah. Hasil kajian Irawan et al., (2002) mengungkapkan bahwa kedua varietas Membramo dan Way Apo Boru tersebut cukup disukai petani karena mutu beras yang dihasilkan relatif baik sehingga lebih mudah dipasarkan, disamping akibat daya produksi yang relatif tinggi (7,32 ton/ha dan 8,00 Lonjakan penggunaan varietas tahun 1990 an terutama terjadi pada dua periode yaitu : (1) pada tahun 1997 akibat introduksi varietas Membramo yang dilepas pada tahun 1995, dan (2) pada tahun 2000 akibat introduksi varietas Way Apo Boru yang dilepas pada tahun 1998. Meluasnya penggunaan kedua varietas tersebut umumnya akibat pelaksanaan berbagai program peningkatan produksi padi seperti program IP Padi-300, program PKP dan program PMI. Hal tersebut membuktikan bahwa penyebarluasan penggunaan varietas yang lebih unggul sangat tergantung kepada pelaksanaan program-program pemerintah. Hasil kajian Irawan et al., (2002) mengungkapkan bahwa kedua varietas Membramo dan Way Apo Boru tersebut cukup disukai petani karena mutu beras yang dihasilkan relatif baik sehingga lebih mudah dipasarkan, disamping akibat daya produksi yang relatif tinggi (7,32 ton/ha dan 8,00

Tabel 4. Pangsa Luas Tanam Varietas Padi Sawah di Jawa Menurut Tahun Pelepasan Varietas, Provinsi dan Musim Tanam, 1996-2000 (%)

Provinsi / Musim

Rata-rata Tanam

JAWA BARAT

Musim Hujan (MH) Tahun 90 an

29,3 12,5 Tahun 80 an

70,7 87,5 Tahun 70 an

- - Musim Kemarau (MK) Tahun 90 an

36,5 14,9 Tahun 80 an

63,5 85,1 Tahun 70 an

JAWA TENGAH

Musim Hujan (MH) Tahun 90 an

15,4 5,3 Tahun 80 an

84,3 93,5 Tahun 70 an

0,3 1,2 Musim Kemarau (MK) Tahun 90 an

22,0 10,7 Tahun 80 an

77,7 88,3 Tahun 70 an

JAWA TIMUR

Musim Hujan (MH) Tahun 90 an

14,1 8,3 Tahun 80 an

72,4 81,5 Tahun 70 an

13,4 10,2 Musim Kemarau (MK) Tahun 90 an

32,5 12,7 Tahun 80 an

62,8 80,6 Tahun 70 an

4,8 6,1 Sumber : Daerah Istimewa Yogyakarta

Dinamika Produktivitas Potensial dan Mutu Usahatani Padi Sawah

Peningkatan produktivitas merupakan salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan produksi padi sawah. Secara teknis upaya tersebut dilakukan dengan memperluas penggunaan varietas padi berdaya produksi lebih tinggi dan meningkatkan mutu usahatani padi seperti cara pengolahan tanah, cara pemupukan, cara penanaman dan sebagainya. Pada pelaksanaannya upaya tersebut dikemas dalam berbagai program intensifikasi padi yang telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Untuk memperlancar upaya intensifikasi tersebut pemerintah juga menerapkan kebijakan Peningkatan produktivitas merupakan salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan produksi padi sawah. Secara teknis upaya tersebut dilakukan dengan memperluas penggunaan varietas padi berdaya produksi lebih tinggi dan meningkatkan mutu usahatani padi seperti cara pengolahan tanah, cara pemupukan, cara penanaman dan sebagainya. Pada pelaksanaannya upaya tersebut dikemas dalam berbagai program intensifikasi padi yang telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Untuk memperlancar upaya intensifikasi tersebut pemerintah juga menerapkan kebijakan

Produktivitas potensial

Produktivitas aktual

Indeks Mutu usahatani

Gambar 3. Perkembangan Produktivitas Potensial, Produktivitas Aktual dan Indeks Mutu Usahatani Padi Sawah di Jawa, 1977-2000

Sejalan dengan meningkatnya penggunaan varietas unggul padi yang dirangsang oleh berbagai program intensifikasi maka produktivitas potensial padi sawah di Jawa mengalami peningkatan (Gambar 3). Pada tahun 1977 produktivitas potensial padi sawah masih sekitar 4,5 ton gabah/ha, kemudian naik menjadi sekitar 5,0 ton gabah/ha pada tahun 1984 dan mencapai sekitar 6,0 ton gabah/ha pada tahun 2000. Secara rata- rata produktivitas potensial di Jawa tersebut naik sebesar 2,08 persen per tahun selama 1977-2000 (Tabel 5). Laju pertumbuhan produktivitas potensial tersebut paling tinggi terjadi di Jawa Barat (3,02 % per tahun) dan paling rendah di Jawa Timur (1,64 % per Sejalan dengan meningkatnya penggunaan varietas unggul padi yang dirangsang oleh berbagai program intensifikasi maka produktivitas potensial padi sawah di Jawa mengalami peningkatan (Gambar 3). Pada tahun 1977 produktivitas potensial padi sawah masih sekitar 4,5 ton gabah/ha, kemudian naik menjadi sekitar 5,0 ton gabah/ha pada tahun 1984 dan mencapai sekitar 6,0 ton gabah/ha pada tahun 2000. Secara rata- rata produktivitas potensial di Jawa tersebut naik sebesar 2,08 persen per tahun selama 1977-2000 (Tabel 5). Laju pertumbuhan produktivitas potensial tersebut paling tinggi terjadi di Jawa Barat (3,02 % per tahun) dan paling rendah di Jawa Timur (1,64 % per

Bersamaan dengan naiknya produktivitas potensial , indeks mutu usahatani padi sawah di Jawa juga mengalami peningkatan dengan laju lebih tinggi, rata-rata sebesar 5,20 persen per tahun pada periode yang sama (Tabel 5). Pada tingkat provinsi laju peningkatan indeks mutu usahatani juga lebih tinggi daripada laju peningkatan produktivitas potensial. Hal tersebut mengungkapkan bahwa peningkatan produktivitas padi sawah yang dicapai petani (produktivitas aktual) selama ini sebenarnya lebih disebabkan oleh peningkatan mutu usahatani daripada peningkatan penggunaan varietas unggul padi. Pada agregat Jawa sekitar 71 persen kenaikan produktivitas padi sawah yang dicapai petani bersumber dari peningkatan mutu usahatani sedangkan kontribusi penggunaan varietas unggul padi hanya sebesar 29 persen.

Tabel 5. Parameter Pertumbuhan Produktivitas dan Mutu Usahatani Padi Sawah Menurut Provinsi di Jawa, 1977-2000

T-student R2- Provinsi

Parameter

Laju

Perubahan laju

pertumbuhan (t)

pertumbuhan (t 2 )

t adjust

Produktivitas potensial

7,14 -2,11 96,0 Jabar

9,54 -5,28 95,1 Jateng

5,29 -1,49 93,2 Jatim

Mutu usahatani

9,50 -8,30 84,5 Jabar

7,51 -5,98 81,7 Jateng

9,83 -8,61 85,3 Jatim

Produktivitas aktual

14,51 -10,27 96,1 Jabar

14,67 -10,2 96,4 Jateng

13,16 -9,35 95,2 Jatim

10,71 -7,76 92,6 Keterangan :

(1) Parameter t dan t 2 diestimasi dengan menggunakan persamaan logaritma : Log(Y t )=α+ ßt + µ t 2 dimana Y = produktivitas atau indeks mutu usahatani,

t = tahun, dan α, ß,µ = parameter regresi. (2) Angka dalam kurung menunjukkan sumbangan peningkatan produktivitas potensial dan peningkatan mutu usahatani terhadap peningkatan produktivitas aktual

Seperti diungkapkan dalam Tabel 1, sejak tahun 1981 laju peningkatan produktivitas padi sawah yang dicapai petani di Jawa semakin kecil, dengan kata lain, pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa mengalami perlambatan. Pada dasarnya Seperti diungkapkan dalam Tabel 1, sejak tahun 1981 laju peningkatan produktivitas padi sawah yang dicapai petani di Jawa semakin kecil, dengan kata lain, pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa mengalami perlambatan. Pada dasarnya

perlambatan laju peningkatan mutu usahatani (t 2 ) secara umum lebih besar dibanding parameter perlambatan produktivitas potensial, baik untuk agregat Jawa maupun

menurut provinsi. Pada agregat Jawa perlambatan laju peningkatan mutu usahatani rata- rata sebesar 0,21 persen per tahun sedangkan perlambatan laju peningkatan produktivitas potensial sebesar 0,03 persen per tahun. Dengan kata lain sekitar 87,5 persen perlambatan produktivitas padi sawah di Jawa disebabkan oleh laju peningkatan mutu usahatani yang semakin lambat sedangkan 12,5 persen sisanya disebabkan oleh penggunaan varietas unggul padi yang semakin lambat.

Fakta diatas mengungkapkan bahwa masalah mutu usahatani memiliki peranan lebih besar terhadap perlambatan laju pertumbuhan produktivitas padi sawah di Jawa, dibanding masalah penggunaan varietas padi berdaya produksi lebih tinggi. Terdapat tiga faktor yang dapat menjadi penyebab perlambatan laju peningkatan mutu usahatani yaitu : Pertama, mutu usahatani yang dilakukan petani sudah sangat tinggi sehingga sulit ditingkatkan lebih jauh. Fenomena ini dapat dilihat dari nilai indeks mutu usahatani di Jawa yang sudah mencapai sekitar 90 persen sejak tahun 1981 dan relatif tetap hingga tahun 2000 (Gambar 3). Kedua, kendala yang dihadapi petani untuk meningkatkan mutu usahatani padi sawah semakin tinggi. Misalnya, akhir-akhir ini petani semakin sulit mendapatkan pasokan air irigasi secara memadai akibat persaingan pemanfaatan air dengan kebutuhan diluar pertanian dan akibat tidak terpeliharanya jaringan irigasi. Ketiga, adanya gejala kelelahan lahan sawah akibat penanaman padi yang dilakukan secara intensif, 2 hingga 3 kali per tahun, dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.