Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

BAB II
PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG KEJAHATAN
CARDING DAN KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANG DI INDONESIA

a.

Perkembangan dan Beragam Penggunaan Kartu Plastik dalam
Praktik Bisnis
Kartu kredit merupakan salah satu kartu yang diterbitkan oleh bank atau

dikenal sebagai bank card, yaitu “uang plastik” yang dikeluarkan oleh bank.
Kegunaannya adalah sebagai alat pembayaran di tempat-tempat tertentu, seperti
pasar swalayan, hotel, restoran, tempat hiburan, dan tempat lainnya. Penggunaan
berbagai jenis kartu plastik disebabkan karena beberapa faktor, yaitu keamanan,
kenyamanan, kemudahan, dan unsur prestise bagi pemegangnya.68
Penggunaan kartu kredit di Indonesia mulai marak setelah deregulasi
perbankan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988, di mana bisnis kartu kredit
digolongkan sebagai kelompok usaha jasa pembiayaan. Penerbit kartu kredit
internasional yang mengembangkan jaringan di Indonesia, VisaCard International

dan MasterCard International bekerja sama dengan bank-bank nasional dalam
merebut pangsa pasar. Perkembangan yang pesat diikuti oleh penerbit lainnya,
yaitu Amexcard, BCA Card, Procard, dan beberapa kartu lainnya yang diterbitkan
oleh bank-bank.69




68
69

Johannes Ibrahim, Op.cit., halaman 12-13.
Ibid., halaman 13.

Universitas Sumatera Utara

1.1.

Konsep dan Jenis Kartu Kredit dalam Praktik Bisnis
Konsep dasar kartu kredit merupakan alat identifikasi pribadi yang


digunakan untuk menunda pembayaran atas transaksi jual-beli barang dan
jasa. Di beberapa negara, perusahaan penerbit kartu kredit harus tunduk
pada undang-undang yang mengaturnya. Di Inggris, hal tersebut diatur
dalam Consumer Credit Card Act 1974, di mana perusahaan kartu harus
mengikuti aturan-aturan dalam undang-undang tersebut, di samping
ketentuan dan perjanjian pada umumya.70
Secara umum, tujuan dari perusahaan penerbit untuk menerbitkan
kartu kredit, antara lain:71
1.

Menerima sebanyak-banyaknya nasabah yang memiliki
kekayaan kredit;

2.

Menerima merchant yang dapat dipercaya;

3.


Merangsang penggunaan maksimum fasilitas credit line;

4.

Membatasi dan mengurangi piutang yang bermasalah dan
penyelewengan;

5.

Memaksimalkan nilai rata-rata setiap transaksi kartu
(sehingga mengurangi jumlah voucher yang nilainya kecil).

Adapun jenis-jenis dari bank card yang ada pada saat ini, antara
lain:72
1.

Charge Card, yaitu kartu yang dapat digunakan sebagai alat

pembayaran transaksi jual-beli barang dan jasa di mana




70

Ibid., halaman 14.
Ibid.
72
Ibid., halaman 14-15.

71

Universitas Sumatera Utara

sistem pembayarannya dilakukan oleh pemegang kartu
untuk melunasi semua tagihan (bills) secara sekaligus pada
saat jatuh tempo, contohnya seperti BCA Card, Hero
Master, Diners Club International, dll;
2.

Credit Card, yaitu kartu yang dapat digunakan sebagai alat

pembayaran transaksi jual-beli barang dan jasa dengan
sistem pembayaran yang dilakukan oleh pemegang kartu
untuk melunasi tagihan, baik secara sekaligus atau secara
angsuran dengan minimal pembayaran tertentu pada saat
jatuh tempo. Tagihan pada bulan sebelumnya termasuk
bunga (retail interest) merupakan pokok pinjaman pada
bulan berikutnya. Apabila pemegang kartu melakukan
transaksi melampaui limit, maka pembayaran minimumnya
adalah sebanyak kelebihan dari credit limit ditambah
sebesar 20% (dua puluh persen) dari total credit limit.
Pembayaran tersebut harus diselesaikan paling lambat pada
tanggal jatuh tempo setiap bulan yang ditetapkan oleh
penerbit untuk setiap pemegang kartu. Keterlambatan
pembayaran akan dikenakan denda atau late charge. Kartu
kredit dapat juga digunakan untuk penarikan tunai melalui
ATM (Anjungan Tunai Mandiri atau Automated Teller
Machine) sesuai dengan logo yang terdapat pada kartu
kredit, misalnya seperti VisaCard atau MasterCard;

Universitas Sumatera Utara


3.

Debit Card, yaitu kartu yang dapat digunakan untuk
melakukan pembayaran atau penagihan nasabah melalui
pendebetan atas rekening yang ada di bank pada saat
melakukan transaksi. Disebut sebagai debit card karena
langsung mengurangi atau mendebet saldo rekening dan
pada saat yang sama akan mengkredit rekening merchant
sebesar nilai transaksi pada bank penerbit atau pengelola.
Mekanisme pembayaran dengan debit card dilakukan
dengan cara pemegang kartu menyerahkan kartu debetnya
kepada kasir di counter penjualan, kemudian dengan
menggunakan alat elektronik yang sedang online dengan
bank yang bersangkutan, saldo rekening dari pemegang
kartu akan didebet sebesar nilai transaksi dan mengkredit
rekening merchant, seperti halnya dengan kartu kredit, debit
card dapat pula digunakan untuk menarik uang tunai
melalui ATM (Automated Teller Machine atau Anjungan
Tunai Mandiri) dan berfungsi sebagai cash card. Pada

umumnya, kartu yang dapat berfungsi sebagai debit card
juga dapat berfungsi sebagai cash card karena pada
prinsipnya cash card adalah kartu yang memungkinkan
pemegang kartu untuk memperoleh atau menarik dana
tunai, baik secara langsung pada kasir bank atau melalui
ATM (Automated Teller Machine atau Anjungan Tunai

Universitas Sumatera Utara

Mandiri) pada bank tertentu yang pada umumnya tersebar
di tempat-tempat strategis, seperti hotel, pusat perbelanjaan,
dan wilayah perkantoran. Penggunaan cash card dapat
dilakukan pada bank-bank lainnya yang terdapat kerjasama
antara bank di mana pemegang kartu menjadi nasabah
dengan bank yang bersangkutan;
4.

Private Label Card, yaitu kartu yang bukan diterbitkan oleh
bank,


melainkan

oleh

suatu

badan

usaha,

seperti

supermarket, hotel, dan perusahaan lainnya. Pemakaian
kartu

ini

hanya

terbatas


pada

perusahaan

yang

mengeluarkannya.
Dari beberapa jenis bank card, masing-masing kartu memberikan
kemanfaatan tersendiri bagi pemegangnya, hal yang sangat prinsipil dari
kartu kredit (credit card) dengan kartu tagihan (charge card), di mana
pada kartu tagihan (charge card) tidak terdapat fasilitas kredit. Pemegang
kartu tagihan (charge card) diwajibkan untuk melunasi seluruh penagihan
secara sekaligus pada waktu yang telah ditentukan. Jika hal tersebut tidak
dilakukan atau pembayaran dilakukan dengan cara angsuran, maka akan
dikenakan biaya keterlambatan (late charge) dan biaya bunga (finance
charge), selanjutnya jika sampai batas waktu yang ditentukan dan
pelunasan tagihan belum juga dilakukan, maka kartu tagihan (charge card)
akan ditarik dari pemegang kartu yang bersangkutan.73




73

Ibid., halaman 16.

Universitas Sumatera Utara

1.2.

Fungsi dan Manfaat Kartu Kredit
Terdapat 3 (tiga) manfaat kartu kredit bagi pemegangnya, antara

lain:
1.

Sebagai Alat Pembayaran
Kartu kredit merupakan salah satu alat pembayaran yang

istimewa, intinya adalah dengan memiliki kartu kredit, setiap orang

dapat melakukan berbagai macam pembayaran yang sifatnya
darurat, bahkan di Indonesia, pada saat ini penerima (merchant)
kartu kredit masih jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan
penerima kartu debit, jadi perlu diketahui bahwa sebenarnya kartu
kredit bukanlah satu-satunya sumber masalah.74
Meskipun

masih

banyak

orang

yang

takut

untuk

menggunakan kartu kredit, namun alat pembayaran yang satu ini
sebenarnya layak untuk dimiliki karena berbagai benefit-nya,
antara lain:75
a.

Kartu kredit dapat digunakan sebagai salah satu alat
pengganti pembayaran uang tunai yang lebih praktis
dan aman jika tidak terdeteksi pihak lain;

b.

Kartu kredit dapat digunakan sebagai alat untuk
membayar berbagai macam transaksi yang sifatnya
darurat (emergency) atau tidak dapat ditunda lagi

pembayarannya;



74
Andi Anggara Purnama, Tips Belanja Hemat dengan Kartu Kredit, FlashBooks,
Yogyakarta, 2010, halaman 19.
75
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

c.

Kartu kredit dapat digunakan sebagai alat untuk
menarik uang tunai dari ATM (Automated Teller
Machine atau Anjungan Tunai Mandiri). Batas
maksimum untuk penarikan tunai biasanya sebesar
40% (empat puluh persen) Besarnya jumlah uang
yang bisa ditarik juga tergantung dari seberapa besar
sisa batas pemakaian yang ada;

d.

Kartu kredit dapat memberikan keleluasaan dalam
pembayaran tagihan yang bisa dilakukan dalam
jumlah minimum saja atau dapat dicicil, di mana
pemegang kartu kredit diberikan tenggang waktu
pembayaran, artinya, pengguna kartu kredit tidak
diharuskan untuk langsung membayar tagihan pada
saat itu juga atau keesokan harinya, tetapi biasanya
diberikan masa tenggang selama beberapa hari
(sekitar 20, 25, sampai dengan 30 hari) dari saat
melakukan transaksi dan melakukan pembayaran
ketika

surat

tagihan

datang,

sedangkan

cara

pelunasannya dapat dipilih, yaitu lunas sekaligus
atau

dicicil

sesuai

dengan

jumlah

minimum

pembayaran yang juga tertera pada surat tagihan;
e.

Penghitungan terhadap bunga kartu kredit tergolong
cukup murah, akan tetapi hasil perhitungan dengan

Universitas Sumatera Utara

kartu kredit sebenarnya mungkin akan ada sedikit
perbedaan lebih kurangnya, yang penting adalah
pemegang kartu kredit mengetahui bahwa tagihan
setiap bulannya yang belum dibayar lunas akan
dikenakan bunga dan jumlahnya akan ditambahkan
ke dalam jumlah tagihan baru pada bulan berikut,
demikian seterusnya;
f.

Kartu kredit dapat digunakan sebagai modal usaha.
Tidak sedikit orang yang menggunakan kartu kredit
untuk modal usaha dan hal ini memang sah-sah saja
asalkan bisa mengatur dan memutar uang tersebut
hingga memperoleh keuntungan dan yang paling
penting

adalah

tidak

mengganggu

jadwal

pembayaran kartu kredit.
2.

Kemudahan dalam Bertransaksi
Terdapat beberapa kemanfaatan yang diberikan oleh kartu

kredit, antara lain:76
a.

Kemudahan dalam bertransaksi, di mana pemakai
kartu kredit tidak perlu membawa uang tunai
berbelanja di mall dan department store;




76

Ibid., halaman 29.

Universitas Sumatera Utara

b.

Kemudahan dalam melakukan pembayaran yang
bisa dilakukan dengan mencicil atau membayar
minimum dari tagihan yang dikirim tiap bulannya;

c.

Kemudahan dalam menggunakan dana pihak lain
tanpa bunga, jika dilakukan pembayaran lunas setiap
datangnya tagihan (grace period);

d.

Tingkat keamanan yang cukup tinggi. Jika tas dan
dompet dapat dengan mudahnya dicopet pada saat di
tempat umum, maka yang diambil hanyalah kartu
kredit yang bisa segera dilaporkan ke card center
untuk melakukan pembatalan, sehingga pencopetnya
tidak bisa menggunakannya;

e.

Kartu kredit juga dapat digunakan untuk mengambil
uang tunai melalui ATM (Automated Teller Machine
atau Anjungan Tunai Mandiri).

3.

Bagian dari Gaya Hidup (Lifestyle)
Penggunaan kartu plastik adalah salah satu sisi kehidupan

finansial yang paling cepat berkembang mengikuti budaya global.
Salah satu produknya adalah kartu kredit. Instrumen keuangan ini
memberikan berbagai kemudahan, baik dalam bertansaksi maupun
manajemen arus kas, tetapi dalam penggunaan suatu produk
budaya baru tersebut tetap harus diperhatikan beberapa hal, artinya
pengguna kartu kredit harus dapat melakukan penyesuaian-

Universitas Sumatera Utara

penyesuaian pada perilakunya sendiri. Jangan sampai terjebak pada
gaya hidupnya saja, tetapi juga bagaimana memanfaatkan guna
kepentingan penggunanya.77
Perkembangan penggunaan kartu kredit tampaknya justru
terjadi pada saat kondisi ekonomi nasional pada keadaan yang
kurang baik. Mungkin hal itu terjadi secara kebetulan saja karena
bersamaan dengan semakin dilonggarkannya operasi bank-bank
asing untuk menggarap bidang retail ini.78
1.3.

Masa Berlaku dan Batas Kredit Penarikan dalam Kartu
Kredit
1.3.1. Masa Berlaku Kartu Kredit
Penggunaan kartu kredit yang direkomendasikan oleh bank,
ditentukan tenggang waktunya, untuk pemegang kartu kredit baru,
umumnya diberikan jangka waktu 12 (dua belas) bulan, sedangkan
bagi pemegang kartu kredit lama yang telah diketahui kinerjanya,
dapat diberikan jangka waktu antara 36 (tiga puluh enam) sampai
dengan 60 (enam puluh) bulan, biasanya masa berlaku kartu kredit
tertera dalam kolom “good thru” yang menunjukkan masa
berlakunya.79




77

Ibid., halaman 31-32.
Ibid., halaman 32.
79
Johannes Ibrahim, Op.cit., halaman 65.
78

Universitas Sumatera Utara

1.3.2. Batas Kredit Penarikan dalam Kartu Kredit
Penggunaan kartu kredit untuk setiap pemegang kartu kredit
yang sah ditentukan oleh pihak bank berdasarkan analisis atas
kelayakan dari data yang diserahkan oleh calon pemegang kartu
kredit.

Berdasarkan

pertimbangan

dari

pihak

bank,

akan

direkomendasikan jenis-jenis kartu kredit, dapat berupa kartu
classic (reguler), kartu gold, atau kartu platinum, di mana masingmasing kartu memiliki batas kredit atau pagu yang berbeda antara
satu dengan yang lain.80
Persyaratan tentang batas kredit dirumuskan oleh penerbitan
kartu kredit, antara lain:81
1.

Bank

akan

memberikan

batas

kredit

kepada

pemegang kartu yang sah dan tidak boleh digunakan
melebihi batas kredit tanpa persetujuan bank terlebih
dahulu;
2.

Jika pemegang kartu kredit menggunakan kartu
kredit melebihi batas kredit yang telah diberikan
tanpa persetujuan terlebih dahulu dari bank, maka
pemegang kartu yang sah harus segera melunasi
kelebihan tersebut dan atas kelebihan jumlah
pemakaian tersebut akan dikenakan denda yang
besarnya ditetapkan oleh bank;




80
81

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

3.

Bank berhak mengubah besarnya batas kredit pada
kartu kredit tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
kepada pemegang kartu kredit yang sah.

1.4.

Transaksi pada Kartu Kredit
Transaksi kartu kredit harus memenuhi prosedur yang ditentukan

oleh pihak bank agar dapat dinyatakan sah atau valid.82
Persayaratan yang ditentukan oleh pihak bank dalam perjanjian
penerbitan kartu kredit, antara lain:83
1.

Pemegang kartu kredit harus menandatangani slip penjualan
atau slip penarikan tunai pada saat transaksi dan
menyimpan salinannya sebagai bukti untuk dicocokkan
dengan tagihan yang terdapat dalam pemberitahuan tagihan;

2.

Permintaan salinan slip penjualan atau slip penarikan tunai
oleh pemegang kartu akan dikenakan biaya yang besarnya
ditetapkan oleh bank untuk setiap salinan, yang akan ditagih
melalui tagihan bulan berjalan;

3.

Bank tidak bertanggungjawab atas penolakan pembayaran
dengan kartu kredit oleh pedagang manapun, siapapun, dan
dengan alasan apapun;

4.

Bank berhak menyetujui atau menolak transaksi sesuai
dengan pertimbangan bank itu sendiri tanpa harus
memberikan alasan kepada pemegang kartu;




82
83

Ibid.
Ibid., halaman 67.

Universitas Sumatera Utara

5.

Pemegang kartu kredit yang sah bertanggung jawab penuh
atas semua transaksi yang dilakukannya berikut dengan
bunga

dan

seluruh

biaya

yang

dibebankan

pada

rekeningnya;
6.

Pembatalan transaksi atau pengembalian barang yang
diperoleh dengan menggunakan kartu kredit hanya dapat
dilakukan atas persetujuan pedagang dan/atau bank.
Pedagang harus mengeluarkan bukti kredit yang akan
dikreditkan oleh bank ke dalam tagihan pemegang kartu
kredit yang sah pada saat bukti kredit tersebut diterima oleh
bank;

7.

Bank tidak bertanggung jawab atas setiap permasalahan
yang menyangkut pembelian barang-barang/makanan/jasa
oleh pemegang kartu kredit. Apabila timbul perselisihan
antara pemegang kartu kredit dengan pedagang, maka
pemegang kartu kredit harus menyelesaikan masalah
tersebut

secara

langsung

kepada

pedagang

yang

bersangkutan dan perselisihan tersebut tidak menyebabkan
tertundanya pembayaran tagihan kartu kredit kepada bank.

Universitas Sumatera Utara

1.5.

Kartu Tambahan dalam Penerbitan Kartu Kredit
Pemohon fasilitas kartu kredit dapat mengajukan kepada bank

untuk menerbitkan kartu kredit tambahan, misalnya untuk istri, anak, atau
orang tua yang memiliki hubungan pertalian darah yang jelas.84
Persyaratan untuk kartu kredit tambahan telah dirumuskan dalam
perjanjian penerbitan kartu kredit, antara lain:85
1.

Bank dapat menerbitkan kartu kredit tambahan atas
permintaan dari pemegang kartu kredit utama yang sah;

2.

Semua peraturan yang diberlakukan oleh bank kepada
pemegang kartu kredit utama yang sah juga berlaku bagi
pemegang kartu kredit tambahan yang sah;

3.

Pemegang kartu kredit utama yang sah bertanggung jawab
atas pembayaran seluruh transaksi yang dilakukan oleh
pemegang kartu tambahan.

2.

Pengaturan di dalam KUHPidana dan KUHAP (Lex Generalis)
KUHPidana dan KUHAP sebenarnya belum mengatur secara tegas

mengenai kejahatan carding, akan tetapi pelaku kejahatan carding (carder)
tersebut tidak serta-merta dapat lolos dari jerat hukum atas perbuatannya tersebut.
Pengaturan mengenai kejahatan carding ini diatur secara tersirat menurut
KUHPidana dan KUHAP, artinya tidak secara spesifik, namun dikaitkan pada
perbuatannya secara umum, misalnya seperti halnya pada pencurian.




84
85

Ibid.
Ibid., halaman 67-68.

Universitas Sumatera Utara

2.1.

Menurut KUHPidana
KUHPidana dikenal sebagai salah satu sumber hukum pidana

materiil yang sifatnya lex generalis, yaitu berisi ketentuan-ketentuan
pidana yang bersifat umum. Ketentuan di dalam KUHPidana ini
digunakan oleh para penegak hukum sebagai dasar hukum untuk menjerat
para pelaku kejahatan carding (carder) sebelum undang-undang khusus
(lex specialis) dibuat. Berikut ini adalah beberapa pasal di dalam
KUHPidana yang berkenaan dengan kejahatan carding:86
2.1.1. Pasal 263 KUHPidana tentang Pemalsuan Surat
Pasal ini berbunyi:
“(1) Barangsiapa yang membuat secara palsu atau
memalsukan sesuatu yang dapat menimbulkan suatu hak,
perikatan, atau suatu pembebasan hutang atau yang
diperuntukkan sebagai bukti bagi suatu tindakan, dengan
maksud untuk menggunakan atau menyuruh orang lain
menggunakannya seolah-olah asli dan tidak palsu, jika
karena penggunaan itu dapat menimbulkan suatu kerugian,
diancam karena pemalsuan surat dengan pidana penjara
maksimum enam tahun; (2) Diancam dengan pidana yang
sama barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat yang
isinya secara palsu dibuat atau yang dipalsukan tersebut,
seolah-olah asli dan tidak palsu jika karena itu dapat
menimbulkan kerugian”.
Kejahatan carding dapat digolongkan pemalsuan sederhana
karena telah memenuhi unsur-unsur di dalam tindak pidana, antara
lain:
Pertama, unsur subjek, yaitu barangsiapa. Unsur ini
menunjukkan siapa yang melakukan tindak pidana. Unsur pertama



86

Ade Ary Syam Indradi, Op.cit., halaman 134-145.

Universitas Sumatera Utara

ini didapatkan dari proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian atas keterangan dari saksi-saksi yang telah diperiksa
sesuai dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dan petunjuk yang
diperoleh pihak Kepolisian atas investigasi dari kejahatan carding
ini.
Kedua, unsur kesalahan. Unsur ini terbentuk “dengan
sengaja” yang tersirat pada kata-kata membuat secara palsu atau
memalsukan, namun kesengajaan ini harus berbarengan dengan
tujuan terdekatnya, yaitu dengan maksud menggunakan atau
menyuruh orang lain untuk menggunakan seolah-olah asli dan
tidak dipalsukan. Tujuan ini sekaligus merupakan penguatan
kesengajaan atau kehendak pelaku.
Ketiga, unsur “bersifat melawan hukum”. Unsur ini
mengandung 2 (dua) alternatif tindakan melawan hukum, yaitu
membuat surat palsu dan/atau memalsukan suatu surat. Alternatif
yang pertama ini artinya adalah membuat sendiri surat yang belum
ada yang mirip dengan aslinya, misalnya mencetak sendiri formulir
kosong yang lazim digunakan atau berusaha mendapatkan formulir
asli secara tidak sah kemudian mengisi formulir tersebut. Cara
penulisannya tidak dipersoalkan, baik itu dilakukan dengan tulis
tangan, diketik, dicetak, dan sebagainya. Tindakan alternatif kedua
adalah memalsukan surat yang artinya adalah sudah adanya surat,
lalu ditambah, dikurangi, dan/atau diubah isinya, misalnya tulisan

Universitas Sumatera Utara

Rp. 1.000,- (seribu rupiah) ditambah menjadi Rp. 10.000,- (sepuluh
ribu rupiah).
Penerapan yang dilakukan atas pasal ini hendaknya perlu
diperhatikan syarat pemidanaan yang ditentukan tersirat di dalam
anak kalimat “…jika penggunaan itu dapat menimbulkan suatu
kerugian…” Syarat pemidanaan ini tidak termasuk ke dalam unsur
kesengajaan pelaku, artinya adalah bahwa tidak perlu dipersoalkan
apakah pelaku kejahatan carding (carder) tersebut juga sudah
mengetahui atau menghendaki bahwa penggunaan itu dapat
menimbulkan suatu kerugian, dengan kata lain, pembuatan surat
palsu tidak perlu menghasilkan pemalsuan yang dapat dihukum,
melainkan cukup jika sewaktu digunakan adalah palsu dan
kepalsuan itu diketahui oleh pelakunya.
2.1.2. Pasal 362 KUHPidana tentang Pencurian
Pasal ini berbunyi:
“Barangsiapa yang mengambil suatu barang, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk memilikinya secara melawan hukum
diancam karena pencurian dengan pidana penjara
maksimum lima tahun atau pidana maksimum sembilan
ratus rupiah”.
Kejahatan carding dapat digolongkan pencurian karena
telah memenuhi unsur-unsur di dalam tindak pidana, antara lain:
Pertama, unsur kesalahan yang menyiratkan unsur
sengaja. Unsur sengaja tersirat pada kata-kata “mengambil”. Katakata “dengan maksud” berfungsi ganda, yaitu menguatkan unsur

Universitas Sumatera Utara

sengaja pada delik ini dan menonjolkan peran sebagai tujuan
pelaku. Unsur “dengan maksud” tidak selalu bermakna sengaja,
tetapi

tetap

berkaitan.

Mempunyai

kehendak

berarti

ada

kesengajaan. Pencantuman “dengan maksud” pada pasal ini tidak
berarti yang dimaksudkan itu harus sudah terwujud sepenuhnya.
Kedua, unsur “bersifat melawan hukum”. Unsur ini
ditinjau atau dibahas dari 2 (dua) sudut, yaitu

87

dengan

mendasarkan “bersifat melawan hukum” materiil dan “bersifat
melawan hukum” formil. Menurut sifat melawan hukum materiil,
tindakan mengambil harus bersifat melawan hukum. Mengingat
unsur “bersifat melawan hukum” pasal ini tersirat dan menganut
ajaran “bersifat melawan hukum materiil”, maka tindakan bersifat
melawan hukumnya harus dapat dibuktikan di persidangan.
Peninjauan kedua dari sudut ajaran melawan hukum formil yang
berarti apabila unsur bersifat melawan hukum tidak dirumuskan
dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak ada keharusan
untuk membuktikannya. Lebih jauh lagi, ajaran ini berpendapat
bahwa dirumuskannya “larangan” dalam undang-undang kendati
tidak dirumuskan atau dicantumkan secara tegas unsur-unsur
bersifat melawan hukumnya, maka dengan sendirinya tindakan
terlarang itu sudah bersifat melawan hukum.




87

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama,
Bandung, 2003, halaman 64.

Universitas Sumatera Utara

Ketiga, unsur tindakan terlarang. Tindakan terlarang
yang dirumuskan adalah mengambil sesuatu barang yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud
untuk

memilikinya

secara

melawan

hukum.

“Mengambil”

maksudnya adalah memindahkan penguasaan nyata sendiri dari
penguasaan nyata orang lain. Kata “mengambil” dalam arti sempit
hanyalah terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari,
memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain. Sudah
lazim dalam istilah pencurian apabila seseorang mencuri barang
cair, seperti bir dengan membuka keran untuk mengalirkannya ke
dalam botol yang ditempatkan di bawah keran itu. Bahkan pada
perkembangan penafsiran sekarang, tenaga listrik dianggap dapat
dicuri dengan seutas kawat yang mengalirkannya ke suatu tempat
yang dituju oleh orang yang mengambilnya. Begitu pula halnya
dengan mengambil nomor kartu kredit milik orang lain dengan
menggunakan

internet,

hal

ini

ditafsirkan

sama

dengan

pengambilan arus atau tenaga listrik.
Keempat, unsur barang. Barang pada delik ini pada
dasarnya adalah setiap benda bergerak yang memiliki nilai
ekonomis. Pengertian ini adalah wajar karena jika tidak ada nilai
ekonomisnya, sulit untuk diterima akal sehat bahwa seseorang akan
membentuk kehendaknya untuk mengambil sesuatu sedangkan
telah diketahui bahwa barang yang akan diambil tidak memiliki

Universitas Sumatera Utara

nilai ekonomis, di samping itu Tersangka juga mengetahui bahwa
tindakannya itu bersifat melawan hukum.
Barang milik orang lain yang diambil dalam konteks
kejahatan carding ini adalah nomor kartu kredit. Nomor kartu
kredit sangat berharga dan memiliki nilai ekonomis bagi pemilik
atau pemegang kartu kredit yang sah. Apabila seseorang
mengambil nomor kartu kredit milik orang lain kemudian
menggunakannya tanpa hak, maka akan merugikan pemilik atau
pemegang kartu kredit yang sah tersebut. Jadi, nilai ekonomis
nomor kartu kredit ada pada pemilik atau pemegang kartu kredit
dan pada pelaku kejahatan carding (carder) yang menggunakannya
tanpa hak. Nomor kartu kredit dapat digolongkan sebagai benda
bergerak karena nomor tersebut melekat pada pemilik atau
pemegang kartu kredit yang sah tersebut, baik itu melekat dalam
ingatan maupun melekat secara fisik pada kartu kredit tersebut.
Nomor kartu kredit disebut juga benda bergerak yang ada pada
pemiliknya, hal ini berarti barang tersebut berada pada kekuasaan
pemilik atau pemegang kartu kredit yang sah.
Nomor kartu kredit merupakan objek delik pencurian.
Objek delik pencurian adalah seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain (pemilik atau pemegang kartu kredit yang sah).
Tindak pidana pencurian termasuk kejahatan terhadap harta
benda. Salah satu ciri umum kejahatan terhadap harta benda adalah

Universitas Sumatera Utara

tindakan

yang

menguntungkan

pelaku, namun dalam hal

pengambilan untuk kepemilikan, tidak dipersoalkan apakah pelaku
merasa diuntungkan atau tidak.88 Para penegak hukum dapat saja
tidak mempersoalkan apakah pengambilan nomor kartu kredit
tersebut menguntungkan Tersangka atau tidak, namun pelaku
kejahatan carding (carder) memiliki tujuan untuk menguntungkan
dengan menyalahgunakan nomor kartu kredit yang bukan miliknya,
sehingga

pencurian

nomor

kartu

kredit

bertujuan

untuk

menguntungkan Tersangka.
2.1.3. Pasal 378 KUHPidana tentang Penipuan
Pasal ini berbunyi:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau keadaan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu barang, membuat hutang atau
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara maksimum empat tahun”.
Pembahasan mengenai unsur “barangsiapa” dan unsur
“bersifat melawan hukum” sama dengan penjelasan sebelumnya.
Berkaitan dengan Pasal 378 KUHPidana, pembahasan dilanjutkan
pada unsur kesalahan. Unsur kesalahan dirumuskan dengan istilah
“dengan maksud”, sehingga tersimpulkan tindakan yang berupa
menggerakkan.89 Maksud dari “menggerakkan” adalah tergeraknya
hati korban untuk melakukan suatu perbuatan dan tidak terdapat



88
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2003, halaman 14.
89
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
2000, halaman 238.

Universitas Sumatera Utara

“permintaan dengan tekanan” meskipun ada sikap ragu-ragu atau
penolakan dari korban, bahkan dalam praktiknya cenderung
berupaya rayuan, sehingga korban melakukan perbuatan yang
merugikan diri sendiri tanpa paksaan.
Unsur kesalahan pada kejahatan carding telah terpenuhi.
Tersangka kejahatan carding berupaya menggerakkan pemilik toko
online (merchant) agar menjual barang kepadanya. Barang bukti
dari upaya menggerakkan pemilik toko dapat berupa e-mail
dan/atau screenshot otentik antara Tersangka dengan merchant.
Melalui e-mail, diterangkan komunikasi antara pelaku kejahatan
carding (carder) dengan merchant pada proses pemesanan barang.
Tersangka berupaya meyakinkan merchant bahwa memang pemilik
atau pemegang nomor kartu kredit yang sah yang digunakan untuk
bertransaksi, lebih kuat lagi apabila terdapat keterangan dari
Tersangka carding kepada Penyidik.
Tersangka menggunakan nama palsu, keadaan, tipu
muslihat, dan rangkaian kebohongan untuk melancarkan aksi
kejahatannya karena dengan keadaan dan pribadi palsu digunakan
oleh Tersangka, maka Tersangka bersikap seakan-akan ada
kekuasaan, kewenangan, martabat, status, sikap, atau jabatan yang
sebenarnya tidak dimilikinya. Nama palsu yang digunakan oleh
Tersangka bukanlah nama asli Tersangka. Rangkaian kebohongan
adalah beberapa keterangan saling mengisi yang seakan-akan benar

Universitas Sumatera Utara

isinya, padahal tidak lain adalah kebohongan semata. Masingmasing keterangan tidak sepenuhnya adalah kebohongan, sehingga
akan ada kesimpulan dari keterkaitan satu sama lainnya sebagai
sesuatu yang benar. Tersangka meyakinkan merchant dengan
rangkaian kebohongan, sehingga proses pemesanan barang berhasil
dilakukan.
Unsur membuat hutang atau mengakui berhutang. Tindakan
carder yang menyalahgunakan kartu kredit yang bukan miliknya,
secara otomatis akan menimbulkan hutang ataupun kewajiban
membayar kepada penerbit kartu kredit atau pemegang kartu kredit
yang sah, sehingga merugikan keduanya.
2.2.

Pengaturan Menurut KUHAP
Menurut Pitlo, pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan suatu

pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya. 90
Menurut Subekti, membuktikan adalah meyakinkan Hakim tentang
kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang
bersengketa.91
2.2.1. Sistem Pembuktian yang Berlaku di Indonesia
Pembuktian

tentang

benar

atau

tidaknya

Terdakwa

melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang
terpenting dalam acara pidana karena dalam hal ini pun hak asasi
manusia dipertaruhan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana akibat



90
Edmon Makarim, Kajian Aspek Hukum Kearsipan dan Dokumentasi: Kompilasi
Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, halaman 210.
91
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada
disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar, maka untuk hal
inilah hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran
materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas
dengan kebenaran formil saja.92
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan
bahwa terdapat beberapa sistem untuk membuktikan perbuatan
yang didakwakan. Sistem pembuktian bervariasi menurut waktu
dan tempat (negara).93
Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa
Kontinental lainnya yang menganut paham bahwa Hakimlah yang
menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri dan
bukan menggunakan juri seperti di Amerika Serikat dan negaranegara Anglo Saxon lainnya. Di negara-negara tersebut, bagian
belakang dari juri yang pada umumnya terdiri dari orang awam
itulah yang menentukan sah atau tidaknya (guilty or not guilty)
seorang

Terdakwa,

sedangkan

Hakim

hanya

memimpin

persidangan dan menjatuhkan pidana (sentencing).94
Demi alasan mencari kebenaran materiil itulah, maka asas
akusator (accusatoir) memandang Terdakwa sebagai pihak yang



92

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,

halaman 249.
93
94

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

sama dalam perkara perdata yang telah ditinggalkan dan diganti
dengan asas inkisitor (inquisitoir) memandang bahwa Terdakwa
sebagai objek pemeriksaan, bahkan kadangkala digunakan alat
penyiksa untuk memperoleh pengakuan secara langsung dari
Terdakwa.95
Terdapat beberapa sistem pembuktian untuk menilai
kekuatan pembuktian terhadap alat-alat bukti yang ada, antara
lain:96
1.

Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-undang
Secara Positif atau Positief Wettelijk Bewijstheorie.
Pembuktian yang hanya didasarkan kepada alat-alat

pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
(positief wettelijk bewijstheorie), dikatakan positif karena
hanya didasarkan kepada undang-undang, artinya, jika telah
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang
disebut oleh undang-undang, maka keyakinan Hakim tidak
diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga dengan teori
pembuktian formil atau formele bewijstheorie.
Menurut D. Simons, sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif (positiefwettelijk) ini berusaha
untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif Hakim



95
96

Ibid., halaman 250.
Ibid., halaman 251.

Universitas Sumatera Utara

dan mengikat Hakim dengan ketat menurut peraturanperaturan pembuktian yang keras. Sistem pembuktian ini
dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor
(inquisitoir) dalam acara pidana.97
Tidak ada yang menganut sistem ini sekarang. 98
Sistem

ini

terlalu

banyak

mengandalkan

kekuatan

pembuktian yang disebut oleh undang-undang.
Sistem pembuktian ini juga ditolak oleh Wirjono
Prodjodikoro

untuk

dianut

di

Indonesia

karena

ia

berpendapat bahwa bagaimana Hakim dapat menetapkan
kebenaran

selain

dengan

cara

menyatakan

kepada

keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula
keyakinan seorang Hakim yang jujur dan berpengalaman
mungkin

sekali

adalah

sesuai

dengan

keyakinan

masyarakat;99
2.

Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
Belaka atau Conviction in Time
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan sistem

pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah




97

D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering, De Erven F.
Bohn, Haarlem, 1925, halaman 149.
98
A. Minkenhof, De Nederlandsche Strafvordering, H. D. Tjeenk Willink & Zoon,
Haarlem, 1967, halaman 217.
99
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Penerbit Sumur Bandung,
Jakarta, 1967, halaman 75.

Universitas Sumatera Utara

sistem pembuktian menurut keyakinan Hakim belaka.
Sistem ini disebut juga dengan conviction in time.
Alat bukti berupa pengakuan dari Terdakwa sendiri
juga

disadari

tidak

selalu

membuktikan

kebenaran.

Pengakuan terkadang tidak menjamin bahwa Terdakwa
benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan,
oleh karena itu diperlukan keyakinan Hakim.
Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka
sistem atau teori berdasarkan keyakinan Hakim belaka yang
didasarkan kepada keyakinan hati nurani Hakim sendiri
ditetapkan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan
yang

didakwakan,

dengan

sistem

ini

pemidanaan

dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti
dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh Peradilan Juri
di Perancis.100
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian
ini pernah dianut di Indonesia, yaitu pada Pengadilan
Distrik

dan

Pengadilan

Kabupaten.

Sistem

ini

memungkinan Hakim menyebut apa saja yang menjadi
dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau
dukun.101




100
D. Simons, Op.cit., halaman 149, merujuk pada Pasal 342 Code d’ Instruction
Criminelle. Disebut juga oleh A. Minkenhof, Op.cit., halaman 219.
101
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., halaman 72.

Universitas Sumatera Utara

Sistem ini memberikan kebebasan kepada Hakim
terlalu besar, sehingga sulit untuk diawasi, di samping itu,
Terdakwa atau Penasihat Hukumnya sulit untuk melakukan
pembelaan, namun Hakim dapat memidana Terdakwa
berdasarkan

keyakinannya

bahwa

Terdakwa

telah

melakukan apa yang didakwakan. Praktik Peradilan Juri di
Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini
dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang
sangat aneh.102
Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan
pengambilan sumpah saksi serta pembacaan berkas perkara
terdapat pada semua perundang-undangan acara pidana,
termasuk sistem keyakinan Hakim belaka;
3.

Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
atas Alasan yang Logis atau La Conviction
Raisonnee
Sebagai jalan tengah, muncul sistem yang disebut

dengan pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim sampai
batas tertentu (la conviction raisonnee). Menurut sistem ini,
Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atau tidak
bersalah, berdasarkan keyakinan, yaitu keyakinan yang
didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian yang disertai



102

A. Minkenhof, Op.cit., halaman 219.

Universitas Sumatera Utara

dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan
kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi,
putusan Hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.
Sistem

pembuktian

ini

disebut

juga

dengan

pembuktian bebas, karena Hakim bebas untuk menyebutkan
alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).
Sistem

pembuktian

jalan

tengah

atau

yang

berdasarkan keyakinan Hakim sampai batas tertentu ini
terpecah menjadi 2 (dua) jenis. Pertama, yaitu pembuktian
berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis (la
conviction raisonnee). Kedua, yaitu sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif atau negatief
wettelijk bewijstheorie.
Persamaan antara keduanya adalah bahwa keduanya
sama-sama berdasarkan atas keyakinan Hakim, artinya
Terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan
Hakim bahwa Terdakwa bersalah. Perbedaannya adalah
bahwa jenis yang pertama berpangkal tolak pada keyakinan
Hakim, tetapi keyakinan harus didasarkan kepada suatu
kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan
kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut
ilmu pengetahuan Hakim sendiri, menurut pilihan sendiri
tentang

pelaksanaan

pembuktian

yang

mana

akan

Universitas Sumatera Utara

dipergunakan, sedangkan jenis yang kedua berpangkal tolak
pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara
limitatif oleh undang-undang, akan tetapi hal harus diikuti
dengan keyakinan Hakim.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada 2
(dua), yaitu yang pertama, pangkal tolaknya pada keyakinan
Hakim, sedangkan yang kedua, pada ketentuan undangundang, kemudian pada yang pertama, dasarnya adalah
suatu konklusi yang tidak didasarkan pada undang-undang,
sedangkan pada yang kedua, didasarkan kepada ketentuan
undang-undang yang disebut secara limitatif;
4.

Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-undang
Secara Negatif atau Negatief Wettelijk
HIR (Herziene Inlands Regelement), KUHAP, dan

Ned. Sv. (Nederlandsche Strafvordering) yang lama dan
yang baru, semua menganut sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang negatif (negatief wettelijk), hal tersebut
dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, yang dahulu
adalah Pasal 294 HIR.
Pasal 183 KUHAP berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Universitas Sumatera Utara

Dari kalimat tersebut, nyata bahwa pembuktian
harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu
alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP,
disertai dengan keyakinan Hakim yang diperoleh dari alatalat bukti tersebut.
Pasal 184 KUHAP ini dapat dikatakan sama dengan
ketentuan pada Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi:
“Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain
jika Hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti
yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang
dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang
didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan
itu”.
Sebenarnya sebelum diberlakukannya KUHAP,
ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undangundang RI tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 6
ayat (2) yang berbunyi:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila Pengadilan karena alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang mendapat keyakinan,
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung
jawab telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya”.
Kelemahan rumus undang-undang ini adalah karena
disebut

alat

pembuktian,

melainkan

bukan

alat-alat

pembuktian, atau seperti dalam Pasal 183 KUHAP disebut
2 (dua) alat bukti.

Universitas Sumatera Utara

Dasar pemidanaan dalam sistem pembuktian yang
berdasarkan undang-undang secara negatif didasarkan
kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag)
menurut D. Simons, yaitu pada peraturan perundangundangan, keyakinan Hakim, dan menurut undang-undang,
dasar keyakinan Hakim itu bersumber dari peraturan
perundang-undangan.103
Sistem pembuktian inilah yang hingga saat ini masih
dipertahankan

oleh

KUHAP.

Wirjono

Prodjodikoro

berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan
2 (dua) alasan, pertama, memang sudah selayaknya harus
ada keyakinan Hakim tentang kesalahan Terdakwa untuk
dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, sehingga Hakim
tidak memidana orang lain dengan terpaksa padahal tidak
yakin atas kesalahan Terdakwa. Kedua adalah berfaedah
jika ada aturan yang mengikat Hakim dalam menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang
harus dituruti oleh Hakim dalam melakukan praktik
peradilan.104




103
104

Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., halaman 77.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Tujuan dan Kegunaan Pembuktian
Pembuktian dalam perkara pidana bertujuan untuk mencari
suatu kebenaran materiil, tidak hanya kebenaran formil, karena
dalam hal pembuktian dapat diketahui benar atau tidak Terdakwa
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi
suatu kebenaran materiil sangat sulit untuk dibuktikan dalam
praktiknya, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:105
a.

Faktor Sistem Adversarial, yang memberikan hak
seluas-luasnya kepada para pihak untuk saling
membuktikan,

saling

membantah,

dan

saling

mengajukan argumennya masing-masing;
b.

Sulitnya mencari kebenaran dari suatu alat bukti
yang disebabkan karena tidak adanya keharusan
untuk menggunakan sistem pencarian keadilan
melalui pemakaian metode ilmiah dan teknologi,
yang tingkat kebenarannya dapat terukur, bahkan di
mana-mana masih banyak hambatan untuk secara
langsung
Pengadilan,
pembuktian

menerima
yang

alat

bukti

terjadi

pidana

baik

maupun

scientific
dalam
dalam

di

sistem
sistem

pembuktian perdata.




105

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman

496.

Universitas Sumatera Utara

Di samping alasan-alasan tersebut di atas, terdapat pula
berbagai kelemahan lainnya dari alat bukti tersebut yang
menyebabkan pencarian keadilan tidak selamanya dapat terealisasi,
misalnya:106
1.

Alat bukti yang palsu;

2.

Alat bukti yang hanya menghasilkan prasangka atau
dugaan saja;

3.

Kebohongan atau kelicikan;

4.

Keterbatasan para pihak untuk membuktikan;

5.

Keterbatasan Hakim dalam menafsirkan penggunaan
dari alat bukti;

6.

Mafia peradilan.

Pembuktian memiliki unsur esensial dalam menentukan
apakah seseorang dapat dinyatakan bersalah atau tidak dan
sekaligus merupakan faktor penentu dalam hal Hakim sebagai
pengambil keputusan, dengan demikian pembuktian juga memiliki
kegunaan untuk membantu para praktisi hukum dalam proses
persidangan, antara lain:107
1.

Bagi Penuntut Umum, pembuktian merupakan usaha
Penuntut Umum untuk meyakinkan Hakim, yaitu
berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan




106

Ibid., halaman 497.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, CV.
Mandar Maju, Surabaya, 2003, halaman 13.
107

Universitas Sumatera Utara

bahwa seseorang Terdakwa bersalah sesuai dengan
Surat Dakwaan;
2.

Bagi Terdakwa atau Penasihat Hukum, pembuktian
merupakan usaha sebaliknya yang bertujuan untuk
meyakinkan Hakim, yaitu berdasarkan alat bukti
yang ada agar menyatakan bahwa Terdakwa
dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau
meringankan pidananya, untuk itu Terdakwa atau
Penasihat Hukumnya harus mengajukan alat-alat
bukti yang menguntungkan atau meringankan
pihaknya, biasanya bukti tersebut disebut bukti
kebalikan;

3.

Bagi Hakim, pembuktian berguna bagi Hakim atas
dasar pembuktian tersebut, yaitu dengan adanya
alat-alat bukti yang ada dalam persidangan, baik
yang berasal dari Penuntut Umum maupun yang
berasal dari Penasihat Hukum atau Terdakwa yang
dipergunakan

sebagai

dasar

untuk

membuat

keputusan.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Pembuktian Kejahatan Carding Menurut KUHAP
Pembuktian kejahatan carding tidak terlepas dari alat-alat
bukti yang merujuk pada ketentuan di Pasal 184 KUHAP, antara
lain:
1.

Keterangan saksi. Menurut Pasal 185 ayat (1)
KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti adalah
apa yang saksi nyatakan di persidangan. Semua
orang dapat menjadi saksi, adapun pengecualian
untuk menjadi saksi tercantum pada Pasal 186
KUHAP, antara lain:108
a.

Keluarga sedarah atau semenda dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari Terdakwa atau yang bersamasama sebagai Terdakwa;

b.

Saudara dari Terdakwa atau yang bersamasama sebagai Terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak
saudara Terdakwa sampai derajat ketiga;

c.

Suami atau istri Terdakwa meskipun sudah
bercerai atau yang bersama-sama sebagai
Terdakwa.




108

Andi Hamzah, Op.cit., halaman 260.

Universitas Sumatera Utara

Saksi-saksi yang terkait dengan kejahatan
carding tersebut dapat berasal dari:
a.

Saksi fakta, yaitu saksi yang menyaksikan
secara langsung pada saat carder sedang
melakukan

kejahatan

carding

apabila

kejahatan carding tersebut dilakukan secara
online, yaitu dengan menggunakan komputer
dan koneksi internet;
b.

Pihak merchant, yaitu penjual barang atau
jasa yang memiliki mesin EDC di tokonya
apabila kejahatan carding tersebut dilakukan
secara

offline,

yaitu

dengan

langsung

berbelanja ke tempat di mana mesin EDC
tersebut berada. Biasanya kartu kredit yang
digunakan oleh carder adalah hasil curian;
c.

Korban, yaitu pihak yang dalam hal ini
adalah pemilik atau pemegang kartu kredit
yang sah yang dirugikan atas kejahatan
carding;

d.

Pihak lainnya, baik secara sadar maupun
tidak

sadar

mempermudah

yang

membantu

terlaksananya

dan/atau
kejahatan

carding, seperti kurir pada kantor pos

Universitas Sumatera Utara

ataupun

kurir

pada

ekspedisi

yang

mengantarkan barang hasil kejahatan carding
kepada carder.
2.

Keterangan

ahli

atau

verklaringen

van

een

deskundige. Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa
keterangan seorang ahli adalah apa yang seorang
ahli nyatakan di persidangan. KUHAP sendiri tidak
memberikan suatu penjelasan mengenai keterangan
ahli tersebut, akan tetapi Pasal 343 Ned. Sv.
(Nederlandsche

Strafvordering)

memberikan

pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan
ahli, yaitu:
“Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan
ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang
sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya”.
Saksi-saksi ahli yang terkait dengan kejahatan
carding ini dapat berasal dari:
a.

Pihak-pihak terkait sesuai dengan perumusan
delik pada kejahatan carding, misalnya
apabila berkaitan dengan pemalsuan surat
untuk menyamarkan identitas yang dalam hal
ini adalah KTP, maka saksi yang diperiksa
adalah pegawai kecamatan yang menerbitkan
KTP tersebut;

Universitas Sumatera Utara

b.

Pihak yang berkaitan dengan hal-hal yang
berhubungan erat dengan kartu kredit, seperti
orang-orang yang berasal dari Asosiasi Kartu
Kredit Indonesia (AKKI);

c.

Pihak bank sebagai penerbit kartu kredit
yang dapat memberikan penjelasan seputar
kartu kredit yang diterbitkannya;

d.

Dosen ataupun Praktisi Hukum yang telah
terbukti mengerti dan memahami secara luas
terhadap

suatu

bidang

terkait

dengan

kejahatan carding yang dalam hal ini bisa
saja

pakar

hukum

pidana

ataupun

kriminolog.
3.

Surat. Selain pada Pasal 184 KUHAP yang
menyebutkan alat-alat bukti, maka hanya ada 1
(satu) pasal saja di dalam KUHAP yang mengatur
tentang alat bukti surat, yaitu pada Pasal 187
KUHAP, yang menurut ketentuan tersebut alat bukti
surat terdiri atas:109
a.

Berita acara dan surat lain dalam bentuk
resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya,




109

Ibid., halaman 275.

Universitas Sumatera Utara

yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat, atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan

yang

jelas

dan

tegas

tentang

keterangan itu;
b.

Surat

yang

dibuat

menurut

ketentuan

peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c.

Surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau keadaan yang
diminta secara resmi daripadanya;

d.

Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.

Alat bukti surat yang terkait dengan kejahatan
carding ini dapat berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
yang dibuat oleh Penyidik pada waktu memeriksa carder

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian;
4.

Petunjuk. Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberikan
pengertian terhadap petunjuk, yaitu:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Pasal 188 ayat (3) KUHAP jika diperhatikan

Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel)

1 57 168

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Medan

0 27 5

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193/Pid/B/2013/Pn.Jak.Sel.)

6 50 210

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

1 2 11

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

0 0 2

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

1 1 35

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

3 5 6