Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193/Pid/B/2013/Pn.Jak.Sel.)

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abidin, A. Z. 1983. Bunga Rampai Hukum Pidana. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Amrullah, M. Arief. 2015. Politik Hukum Pidana: Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku (Offender). Yogyakarta: Genta Publishing.

Anggara Purnama, Andi. 2010. Tips Belanja Hemat dengan Kartu Kredit. Yogyakarta: FlashBooks.

Bemmelen, J. M. van. 1950. Strafvordering. Gravenhage: Martinus Nijhoft. Budhijanto, Danrivanto. 2013. Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi

Informasi: Regulasi dan Konvergensi. Bandung: PT. Refika Aditama. Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Ediwarman. 2015. Monograf Metodologi Penelitian Hukum: Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Medan: PT. Sofmedia.

Ekaputra, Mohammad. 2015. Dasar-dasar Hukum Pidana Edisi 2. Medan: USU Press.

Gosita, Arif. 1985. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan). Jakarta: CV. Akademika Pressindo.

Hamzah, Andi. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Ibrahim, Johannes. 2010. Kartu Kredit: Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan. Bandung: PT. Refika Aditama.

Indradi, Ade Ary Syam. 2006. Carding: Modus Operandi, Penyidikan, dan Penindakan. Jakarta: Pensil-234.

Kartono, Kartini. 2001. Patologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Koops, Bert-Jaap, dkk (Eds.). 2006. Starting Points for ICT Regulation. Deconstructing Prevalent Policy One-Liners, IT & Law Series Vol. 9. The Hague: T. M. C. Asser Press.


(2)

Lubis, Solly. 1989. Serba-serbi Politik dan Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju. Makarim, Edmon. 2003. Kajian Aspek Hukum Kearsipan dan Dokumentasi:

Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. M. D., Mahfud. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: PT. Refika Aditama.

Minkenhof, A. 1967. De Nederlandsche Strafvordering. Haarlem: H. D. Tjeenk Willink & Zoon.

Moeljatno. 1980. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Nawawi Arief, Barda. 2006. Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

H. R., Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nawawi Arief, Barda. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Pengembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana. Nawawi Arief, Barda. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti.

Prodjodikoro, Wirjono. 1967. Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Penerbit Sumur Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Raditio, Resa. 2014. Aspek Hukum Transaksi Elektronik: Perikatan, Pembuktian, dan Penyelesaian Sengketa. Yogyakarta: PT. Graha Ilmu.


(3)

Raharjo, Agus. 2002. Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ramli, Ahmad M. 2010. Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Saherodji, Hani. 1980. Pokok-pokok Kriminologi. Jakarta: Aksara Baru.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Surabaya: CV. Mandar Maju.

Siahaan, N. H. T. 2002. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.

Simanjuntak, B. 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Bandung: Tarsito.

Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: PT. Tatanusa.

Simons, D. 1925. Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordering. Haarlem: De Erven F. Bohn.

Sjahputra, Iman. 2002. Problematika Hukum Internet Indonesia. Jakarta: PT. Prenhallindo.

Soerodibroto, Soenarto. 2000. KUHP dan KUHAP. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Soewarsono, H. dan Reda Manthovani. 2004. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. Jakarta: CV. Malibu.

Sudarto. 1979. Suatu Dilemma dalam Pembaruan Sistem Pidana di Indonesia. Semarang: FH Undip.

_____, 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: PT. Alumni.

_____, 1983. Hukum dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: PT. Sinar Baru. Suhariyanto, Budi. 2012. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime):

Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


(4)

Suparni, Niniek. 2009. Cyberspace: Problematika dan Antisipasi Pengaturannya. Jakarta: Sinar Grafika.

Suranta, Ferry Aries. 2010. Peranan PPATK dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money Laundering. Jakarta: Gramata Publishing.

Suseno, Sigid. 2012. Yurisdiksi Tindak Pidana Siber. Bandung: PT. Refika Aditama.

Syahdeini, Sutan Remy. 2009. Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Utrecht, E. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: PT. Pustaka Tinta Mas.

Wisnubroto, Aloysius. 1999. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar RI Tahun 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHPerdata).

Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

C. Makalah

Siregar, Ashadi. 19 September 2001. Negara, Masyarakat, dan Teknologi Informasi. Makalah pada Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Demokrasi, Yogyakarta.

Suryo, Roy. 9 Desember 2003. Pemanfaatan IT dan Implikasinya terhadap Cybercrime. Makalah pada Seminar, Jakarta.


(5)

D. Jurnal

Harkrisnowo, Hakristuti. 2003/2004. Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistis untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan. Jurnal Keadilan, Vol. 3, No. 6.

Muladi. 2003, 22 Agustus. Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime. Media Hukum Vol. 1, No. 3.

E. Surat Keputusan

Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/507/VIII/1998. 31 Agustus 1998. Buku Petunjuk Lapangan Penyidikan Tindak Pidana yang Berhubungan dengan Kartu Kredit.

F. Seminar

Barda Nawawi Arief. 25-27 Februari 1980. Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat Modern. Kertas Kerja pada Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi BPHN FH Unair, Surabaya. G. Pidato

Moeljatno. 19 Desember 1955. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Pidato diucapkan pada Upacara Peringatan Dies Natalis ke-6 Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

H. Laporan

Dit II Eksus-Unit V (TP, Teknologi Informasi) Bareskrim Polri, Data Kasus Cybercrime Tahun 2001-2003.

Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).

I. Surat Kabar

Purbo, Onno W. 2000, 28 Juni. Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia. Kompas, halaman 50.

J. Internet

Blackapril, Modus Operandi Carding,

www.geocities.com/yogyacarding/blackapril.htm, diakses pada tanggal 22 Januari 2016, pukul 15.00 WIB.


(6)

Donny B. U., Komunitas Internet Indonesia Terkena Embargo, 9 Juli 2002, http://www.free.vlsm.org/v03/com/ictwatc/paper/paper033.htm, diakses pada tanggal 15 Januari 2016, pukul 10.00 WIB.

Gabriole Zeviar-Geese, Across Borders: The State of Law on Cyberjurisdiction

and Cybercrime on the Internet,

http://www.law.gonzaga.edu/border.cyberlaw.html., diakses pada tanggal 21 Januari 2016, pukul 18.00 WIB.

Kompas, BI Dorong Penerapan Teknologi Chip pada Kartu Kredit, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/finansial/1809942. htm, diakses pada tanggal 14 Februari 2016, pukul 16.00 WIB.

Wikipedia, Credit Card Fraud, http://en.wikipedia.org/wiki/credit_card_fraud, diakses pada tanggal 21 Januari 2016, pukul 13.00 WIB.


(7)

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJAHATAN CARDING DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

B. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat pada individu (pelaku kejahatan carding atau carder), seperti psikis, jenis kelamin, usia, fisik, mental,

physical handicaps, ras, dan keluarga.119 Tidak banyak literatur yang membahas mengenai sebab-sebab terjadinya kejahatan carding berdasarkan faktor internalnya, sehingga setelah Penulis menelusuri, mempelajari, dan menganalisis hal tersebut, maka faktor internal terjadinya kejahatan carding, antara lain:

a. Faktor Intelegensi

Pelaku kejahatan carding (carder) pada dasarnya memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata, terutama dalam penguasaan komputer dan hal-hal mengenai TI (Teknologi Informasi). Selain itu,

carder juga sebelumnya telah mempelajari mengenai seluk-beluk kartu kredit dan cara kerjanya dengan mesin EDC. Semakin tinggi tingkat intelegensi seseorang, maka semakin pandai dan lihai seseorang dalam melakukan kejahatan carding karena dapat melakukan cara-cara alternatif apabila gagal dalam melakukan kejahatan carding;

119 Hani Saherodji, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, 1980, halaman


(8)

b. Faktor Peluang

Peluang yang diperoleh pelaku kejahatan carding (carder) dapat dikatakan cukup besar karena carder sudah mempelajari terlebih dahulu berbagai cara untuk melakukan kejahatan carding dengan berbagai kemungkinan, sehingga carder sudah memperhitungkan peluang yang akan diperoleh;

c. Faktor Percaya Diri

Pelaku kejahatan carding (carder) cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri yang cukup tinggi karena carder merasa telah memiliki cukup pengetahuan untuk melakukan kejahatan carding, sehingga carder

merasa mampu untuk melakukan kejahatan carding dan meyakini dirinya akan mendapatkan uang yang berlimpah dari hasil kejahatan carding

tersebut;

d. Faktor Usia

Pelaku kejahatan carding (carder) biasanya berasal dari kalangan remaja dan dewasa (berusia kurang lebih 17 hingga 40 tahun) karena memiliki daya serap yang cukup tinggi terhadap pengetahuan akan cara-cara melakukan kejahatan carding.

C. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar individu (pelaku kejahatan carding atau carder). Faktor eksternal ini pada umumnya berpokok pangkal pada lingkungan, seperti pendidikan, komunikasi (faktor kultur,


(9)

ekonomi, politik, sosial, dan peranan minoritas), dan geografis.120 Berikut ini adalah beberapa faktor eksternal terjadinya kejahatan carding, antara lain:

a. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penerbitan Kartu Kredit Terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat di dalam penerbitan kartu kredit, antara lain:121

1. Bank penerbit kartu kredit atau disebut sebagai issuer bank, yaitu bank yang menerbitkan kartu kredit yang memiliki hak untuk menagih pembayaran dari pemegang kartu kredit atau cardholder, serta mempunyai kewajiban untuk melakukan pembayaran kepada merchant. Bank penerbit mengeluarkan produk kartu kredit;

2. Penjual barang atau jasa yang bersedia menerima pembayaran dengan kartu kredit atau disebut dengan

merchant adalah seseorang atau suatu perusahaan yang melakukan kerjasama dengan bank penerbit dalam menerima kartu kredit sebagai alat pembayaran atas transaksi barang atau jasa yang dijualnya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian kerjasama;

3. Pemegang kartu kredit atau yang disebut dengan cardholder

adalah seseorang yang telah diberi kepercayaan oleh bank

120 Hani Saherodji, Op.cit., halaman 35.


(10)

penerbit untuk menggunakan kartu kredit dalam melakukan transaksi dengan merchant yang telah ditetapkan oleh bank penerbit. Seseorang memiliki kartu kredit dengan mempertimbangkan manfaat dan jenis kartu kredit yang dimiliki juga menunjukkan klasifikasi bonafiditas dari pemegang kartu kredit tersebut, seperti silver, gold, atau

platinum.

b. Subjek Hukum dalam Penerbitan Kartu Kredit

Subjek hukum dalam penerbitan kartu kredit adalah bank, dalam hal ini diwakili oleh card center, kemudian nasabah yang memperoleh fasilitas kredit sesuai dengan aplikasi yang diajukannya sebagai pemegang kartu kredit atau cardholder.122

Card center bank adalah pihak dalam struktur organisasi bank yang bertindak untuk dan atas nama bank dalam memberikan pelayanan kartu kredit, sedangkan pemegang kartu kredit adalah seseorang yang namanya tercantum pada kartu kredit dan yang berhak menggunakan kartu kredit tersebut. Pemegang kartu kredit terdiri atas pemegang kartu kredit utama dan pemegang kartu kredit tambahan (jika ada). Pemegang kartu kredit utama adalah orang yang menerima kartu utama dan bertanggung jawab untuk seluruh pembayaran atas transaksi-transaksi yang dilakukan dengan kartu kredit utama maupun kartu kredit tambahan. Pemegang kartu kredit tambahan adalah orang yang menerima kartu kredit tambahan berdasarkan


(11)

ijin yang diberikan oleh pemegang kartu kredit utama, serta mendapatkan persetujuan dari bank penerbit kartu kredit tersebut.123

Bank selaku pihak yang menerbitkan kartu kredit untuk para pemegang kartu kredit harus didasari oleh perjanjian yang mengikat antara para pihak yang telah diperjanjikan, yaitu antara bank penerbit dengan pemegang kartu kredit atau cardholder, yang sesuai dengan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata. Tentunya para pihak dalam perjanjian kartu kredit menimbulkan hak dan kewajiban sebagai akibat dari lahirnya perjanjian tersebut, antara lain:124

1. Hak dan kewajiban bank, yaitu: a. Menerbitkan kartu kredit;

b. Memberikan pagu atau batas kredit sesuai dengan kemampuan dan kapasitas nasabah;

c. Mempertimbangkan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit utama dan pemegang kartu kredit tambahan;

d. Bank dapat menerbitkan atau menolak untuk menerbitkan kembali atas kartu kredit yang hilang, rusak, atau dicuri selama masa berlaku kartu kredit; e. Penyerahan hak oleh bank penerbit berkaitan dengan

wanprestasi dari pemegang kartu kredit yang sah dalam melunasi pembayaran atas transaksi yang

123Ibid.


(12)

dilakukan, baik oleh pemegang kartu kredit utama yang sah maupun pemegang kartu kredit tambahan yang sah;

f. Bank dapat mengakhiri perjanjian penerbitan kartu kredit dengan mengantisipasi berupa tindakan memblokir dan/atau membatalkan dan/atau membekukan kartu kredit tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu kredit yang sah dan seluruh hutang pemegang kartu kredit yang sah menjadi jatuh tempo dapat segera ditagih, serta harus dibayar seketika dan sekaligus lunas, bilamana telah terjadi salah satu kejadian di bawah ini, yaitu: 1) Pemegang kartu kredit yang sah atau

penjamin terlibat perkara pidana maupun perkara perdata;

2) Harta kekayaan pemegang kartu kredit yang sah dan/atau penjamin disita;

3) Pemegang kartu kredit yang sah dan/atau penjamin tidak memenuhi ketentuan atau kewajiban;

4) Perusahaan pemegang kartu kredit yang sah dan/atau penjamin dibubarkan atau


(13)

dilikuidasi atau ijin usahanya dicabut oleh pihak yang berwajib;

5) Keadaan keuangan, bonafiditas, dan solvabilitas pemegang kartu kredit yang sah dan/atau penjamin menurut pertimbangan bank penerbit dinyatakan telah mundur;

6) Pernyataan atau keterangan yang diberikan oleh pemegang kartu kredit yang sah dan/atau penjamin kepada bank penerbit menurut pertimbangan bank penerbit ternyata tidak benar;

7) Pemegang kartu kredit yang sah mengundurkan diri sebagai pemegang kartu kredit;

8) Pemegang kartu kredit yang sah telah bermukim di luar Indonesia;

9) Pemegang kartu kredit yang sah telah meninggal dunia, maka kewajibannya diselesaikan oleh ahli warisnya;

g. Bank penerbit dapat melakukan penambahan klausula-klausula yang dianggap perlu, seperti klausula domisili hukum dan bunga rampai (miscellaneous provisions).


(14)

2. Hak dan kewajiban pemegang kartu kredit yang sah atau

cardholder, yaitu:

a. Memperoleh fasilitas kredit, yaitu fasilitas pinjaman yang diberikan bank penerbit kartu utama dan kartu kredit tambahan;

b. Membayar seluruh tagihan (billing statement) yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit utama dan kartu kredit tambahan oleh pihak bank penerbit; c. Membayar biaya-biaya yang dibebankan dalam

penerbitan kartu kredit yang terdiri atas iuran tahunan (annual fee), joining fee, biaya keterlambatan (late charge), biaya penggunaan kartu kredit apabila melampaui batas kredit yang telah ditetapkan oleh bank penerbit (overlimit fee), biaya permintaan warkat penjualan (sales draft request fee), biaya bilyet giro atau cek tolakan (returned cheque fee), biaya bunga (finance charge), biaya penarikan uang tunai (cash advance fee), dan biaya penggantian kartu kredit.


(15)

c. Karakteristik Kejahatan Carding

Kejahatan carding pada dasarnya memiliki karakteristik atau ciri-ciri khusus yang membedakan kejahatan ini dengan kejahatan lainnya, antara lain:

i. Bentuk-bentuk Kejahatan Carding

Kejahatan carding yang dilakukan oleh carder dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu transaksi konvensional atau disebut offline dan transaksi maya atau disebut

online.125

Pertama, transaksi konvensional atau disebut offline

dilakukan secara konvensional dengan bertransaksi atau keterlibatan dari merchant dengan bertatapan muka atau face to face karena dalam transaksi yang bersifat offline, pelaku menggunakan kartu kredit secara tanpa hak sebagai alat pembayaran dalam transaksi atau perjanjian jual-beli yang bersifat langsung. Transaksi ini merupakan titik awal dilakukannya modus operandi carding melalui transaksi online.126

Kedua, transaksi maya atau disebut online dengan mempergunakan kemajuan di bidang teknologi yang dikenal dengan istilah cybercrime. Pengertian cybercrime pada awalnya selalu mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan

125Ibid., halaman 86.


(16)

kejahatan di internet, dimulai dari merusak, mencuri data, program komputer, dan berbagai kejahatan lainnya, seperti data forgery,

illegal gambling, dan cyberstalking.127

ii. Metode Carder dalam Melakukan Kejahatan Carding128

Metode carder dalam melakukan kejahatan carding dapat dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:

Sendiri atau Single Fighter, yang biasanya adalah pemula yang ingin mencoba melakukan carding atau mereka yang memang sudah ahli, sehingga tidak memerlukan bantuan dari pihak lain.

Berkelompok, yaitu kumpulan carder yang bekerjasama dalam suatu komunitas tertentu. Kelompok ini bisa secara fisik berdekatan, namun bisa pula secara virtual, yaitu secara fisik berjauhan. Kelebihan yang berkumpul adalah selalu tersedianya informasi nomor kartu kredit baru, situs baru, teknik-teknik pengamanan dan lain sebagainya, sehingga dimungkinkan adanya pembagian tugas, seperti pencari kartu kredit baru, pencari situs baru, pemesan barang, negosiator, penjual, dan bahkan translator

bagi yang tidak memahami bahasa tertentu. Kelompok ini sangatlah solid, bahkan sampai pada pembagian hasil, jika ada yang melakukan penyelewengan, maka tidak akan segan-segan

127 Gabriole Zeviar-Geese, Across Borders: The State of Law on Cyberjurisdiction and Cybercrime on the Internet, http://www.law.gonzaga.edu/border.cyberlaw.html., diakses pada tanggal 21 Januari 2016, pukul 18.00 WIB.

128 Blackapril, Modus Operandi Carding,

www.geocities.com/yogyacarding/blackapril.htm, diakses pada tanggal 22 Januari 2016, pukul 15.00 WIB.


(17)

untuk “menyiksa” si pelaku, baik secara fisik maupun secara mental.

iii. Modus Operandi Kejahatan Carding

Penyalahgunaan kartu kredit (credit card fraud atau

carding) memiliki beberapa modus operandi, antara lain:129

1. Fraud Application, yaitu modus operandi yang

menggunakan kartu kredit asli yang diperoleh dengan aplikasi atau data palsu. Pelaku memalsukan biodata, seperti KTP (alamat), paspor, rekening koran, surat keterangan penghasilan, dan referensi, selanjutnya pelaku mendaftarkan diri kepada penerbit untuk mendapatkan kartu kredit. Setelah berhasil diterima sebagai pemegang kartu kredit, selanjutnya bertransaksi berkali-kali yang nilainya semakin lama semakin besar dan tiba-tiba melarikan diri atau menghilang tanpa memenuhi kewajiban sebagai pemegang kartu, yaitu membayar pemakaian kartu kreditnya;

2. Non-Received Card, yaitu modus operandi yang

menggunakan kartu kredit asli yang tidak diterima oleh pemegang kartu yang sesungguhnya. Modus ini terjadi karena peluang yang berkaitan dengan

129 Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/507/VIII/1998, 31 Agustus 1998 tentang

Buku Petunjuk Lapangan Penyidikan Tindak Pidana yang Berhubungan dengan Kartu Kredit, halaman 13.


(18)

pengiriman kartu kredit oleh penerbit kartu tidak sampai pada pemegang kartu dan digunakan oleh orang lain yang tidak berhak, dalam praktiknya, pelaku membutuhkan tanda tangan korban di kolom tanda tangan (signature panel) yang masih kosong dan bertransaksi di toko-toko dengan menandatangani sales draft dan bertindak seolah-olah sebagai pemegang kartu yang sah. Semua penerbit kartu di Indonesia menggunakan kurir atau pihak ketiga dalam pengiriman kartu kredit. Di Amerika Serikat, kartu kredit dikirim melalui pos, sehingga penanganan pencurian benda-benda pos dilakukan oleh Polisi Khusus, yaitu US Postal Service, karena menyangkut pihak ketiga inilah, maka sering terjadi penyalahgunaan seperti jika kartu kredit hilang di jalan, kemudian digunakan oleh orang lain yang tidak berhak atau salah pengiriman, sehingga akhirnya digunakan oleh orang-orang yang mengerti cara menggunakan kartu kredit tersebut. Modus ini biasanya tidak melibatkan orang dalam (pihak bank atau penerbit), karena setelah kartu dicetak dan siap dikirim, maka beralihlah tanggung jawab kepada pihak kurir,


(19)

kecuali untuk kasus di Amerika Serikat yang pengirimannya dilakukan oleh pos, maka kerugian akan ditanggung oleh penerbit;

3. Lost atau Stolen Card, yaitu modus operandi yang menggunakan kartu kredit asli hasil curian atau temuan. Pelaku menggunakan kartu kredit yang hilang atau curian dengan jumlah di bawah floor

limit dan meniru tanda tangan pemilik kartu,

biasanya kartu-kartu kredit tersebut digunakan di

supermarket atau department store. Pelaku

mendapatkan kartu kredit dari pencopet atau penadah dan menggunakannya dengan cara memecah-mecah nilai belanja (split charge) agar nilainya di bawah limit, sehingga tidak perlu otorisasi. Pelaku sangat khawatir apabila kartu kredit diotorisasikan karena secara sistem nomor kartu kredit telah diblokir, sehingga apabila diotorisasikan akan keluar perintah pick up lost atau pick up stolen, sehingga pelaku harus ditahan oleh pihak yang berwajib;

4. Altered Card, yaitu modus operandi yang

menggunakan kartu kredit asli yang diubah datanya. Pelaku menggunakan kartu kredit asli hasil curian


(20)

atau penggelapan (lost/stolen/non-received card), kemudian permukaan atau relief-nya dipanasi atau diratakan, setelah itu relief dicetak ulang ( re-embossed) dengan data baru, sedangkan magnetic stripe pada kartu kredit tersebut diisi dengan data yang baru (re-encoded). Data didapatkan dari Point

of Compromise (POC), yaitu oknum pedagang,

oknum bank, teman, atau orang-orang dekat di lingkungan pemegang kartu kredit yang sah, setelah itu pelaku bertransaksi dalam jumlah besar ke pedagang yang biasanya dalam hal ini oknum pedagang tersebut juga terlibat;

5. Totally Counterfeit, yaitu modus operandi yang menggunakan kartu kredit yang seluruhnya palsu atau fake. Pelaku mencetak atau membuat kartu kredit tiruan yang bergambar atau berlogo dan secara fisik adalah 100% (seratus persen) palsu, kemudian membubuhkan data yang berupa nomor dan nama pemegang kartu kredit yang bonafide dan

valid (masih berlaku), hal ini dilakukan dengan cara

embossing dan encoding. Jenis kartu kredit ini (total palsu atau non-white card), digunakan sebagaimana layaknya kartu kredit asli di pedagang dengan


(21)

transaksi besar, namun sebelum bertransaksi, biasanya pelaku berusaha menguji coba otorisasi.

Modus operandi ini berhasil dilakukan karena kartu kredit palsu tersebut mutunya baik dan sangat sulit dibedakan dengan kartu kredit asli, selain itu dimungkinkan ada kerjasama antara pedagang kartu kredit palsu dengan oknum pedagang;

6. White Plastic Card, yaitu modus operandi yang menggunakan kartu kredit polos dengan data asli atau valid. Modus-nya, yaitu nomor-nomor yang tercetak timbul pada kartu kredit dicatat lalu dicetak pada kartu plastik polos seukuran kartu kredit asli, tanpa logo dan tanda-tanda visual lainnya, selain itu,

magnetic stripe di balik kartu diisi data pemegang kartu kredit dengan cara encoding. Data pemegang kartu kredit yang sah didapatkan dari Point of

Compromise atau POC. Transaksi yang

menggunakan kartu semacam ini terjadi akibat kerjasama sepenuhnya dengan oknum pedagang karena seharusnya kartu polos tidak dapat digunakan untuk bertransaksi dan selanjutnya sales draft-nya ditagihkan kepada pengelola;


(22)

7. Record of Charge Pumping atau Multiple Imprint, yaitu modus operandi yang dilakukan dengan cara menggandakan sales draft. Oknum pedagang mencetak sales draft lebih dari satu kali, selanjutnya

sales draft hasil penggandaan tersebut dijual atau diserahkan kepada oknum merchant lainnya untuk diisi data transaksi fiktif, kemudian dibubuhi tanda tangan secara sembarangan atau meniru tanda tangan pemegang kartu kredit yang sah, selanjutnya tagihan ditujukan kepada pengelola yang seolah-olah hasil dari transaksi yang sebenarnya;

8. Altered Amount, yaitu modus operandi yang

dilakukan dengan cara mengubah atau menambah nilai nominal dari sales draft. Modus ini bisa terjadi pada saat oknum pedagang mengganti nilai nominal yang tercantum pada sales draft dari kartu kredit yang digunakan dalam transaksi di tokonya, misalnya transaksi yang terjadi sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) diubah menjadi Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan selanjutnya sales draft yang telah diubah ini ditagihkan kepada pengelola;


(23)

9. Mail Order atau Telephone Order, yaitu modus

operandi yang dilakukan dengan cara memesan

barang melalui surat atau telepon. Pelaku memesan barang melalui surat atau telepon dengan memberikan data pemegang kartu kredit yang sah.

Modus ini terjadi karena pelaku mengetahui data pemegang kartu kredit yang sah tersebut, seperti nama dan nomornya, kemudian pelaku bertindak seolah-olah sebagai pemegang kartu yang sah dan memesan beberapa barang pada pedagang yang melayani transaksi melalui surat atau telepon termasuk pengiriman barang ke tempat pembeli atau pemesan, selanjutnya pelaku menerima barang dengan menandatangani tanda terima dari pedagang di tempat yang ditentukan sesuai pesanan dan kemudian melarikan diri. Tempat penerimaan barang atau pesanan, biasanya adalah alamat palsu; 10. Mengubah atau merusak program EDC. Modus ini

terjadi karena oknum pedagang mengubah dan merusak program alat otorisasi EDC milik pengelola yang dititipkan atau dipinjamkan kepada merchant. Alat ini direkayasa agar dapat meng-otorisasi atau mengoperasikan tanpa perlu adanya kartu kredit


(24)

secara fisik. Pelaku atau oknum pedagang langsung melakukan dan menggunakan kartu-kartu kredit palsu secara manual pada EDC dengan memasukkan data pemegang kartu kredit yang sah (tanpa adanya kartu kredit tersebut) yang didapat dari Point of Compromise atau sales draft kartu kredit asli yang pernah digunakan. Setelah diotorisasi, maka keluarlah persetujuan (approval) yang ditandai dengan tercetaknya sales draft secara otomatis yang kemudian ditandatangani sendiri dan disetorkan kepada pengelola;

11. Fictious Merchant, yaitu modus operandi yang dilakukan dengan cara berpura-pura menjadi pedagang. Pedagang mengajukan aplikasi untuk menjadi merchant ke bank dengan data palsu, kemudian bertransaksi dengan modus-modus di atas, seolah-olah telah terjadi transaksi di tokonya. Kartu kredit yang digunakan biasanya juga palsu atau kartu kredit hasil curian yang belum sempat diblokir. Setelah bertransaksi, sales draft ditagihkan kepada bank pengelola, kemudian setelah bank mentransfer dana, pedagang fiktif akan menghilang dengan meninggalkan tokonya begitu saja.


(25)

iv. Proses Terjadinya Kejahatan Carding

1. Menentukan Lokasi Akses Internet

Langkah awal seorang carder untuk beraksi, dimulai dengan menentukan lokasi akses internet. Seorang carder

yang akan melakukan kegiatannya, biasanya memilih tempat yang aman. Carder biasanya mencari warung

internet (warnet) yang aman agar aksinya tidak dapat diketahui dengan mudah, sehingga harus sangat berhati-hati. Carder tersebut mencari lokasi akses internet yang biasanya sulit terdeteksi dan kecepatan aksesnya tinggi, serta pengawasan yang tidak begitu ketat dari pemilik ataupun operator warnet tersebut. Semakin sepi, maka semakin nyaman bagi seorang carder untuk melakukan kejahatan carding. Fasilitas yang lengkap dan nyaman tentunya akan semakin menunjang kinerja carder dalam melakukan kejahatan carding. Carder biasanya memiliki warnet langganan dan jarang berpindah-pindah warnet, karena seorang carder takut merasa tidak aman dan harus beradaptasi dengan situasi baru. Kejahatan carding yang dilakukan oleh carder tersebut juga biasanya dilakukan pada waktu tengah malam;130


(26)

2. Memperoleh Nomor Kartu Kredit

Alat pembayaran yang diperlukan dalam bertransaksi online adalah kartu kredit dan hal yang paling dibutuhkan dari kartu kredit adalah nomor kartu kredit yang terdiri dari 16 (enam belas) digit yang tertera pada sisi bagian depan dan 3-4 (tiga sampai empat) digit CVV (Card Verification Value) yang tertera pada sisi bagian belakang beserta expired date kartu kredit. 131 CVV (Card Verification Value) adalah nomor yang terdiri atas 3-4 (tiga sampai empat) digit yang dibubuhkan pada suatu kartu kredit dan disandikan pada pita magnetik (and encoded on the magnetic stripe) yang berada di belakang kartu kredit tersebut sebagai sarana untuk perlindungan bagi pemegang kartu kredit terhadap terjadinya kecurangan. CVV menampilkan suatu cryptographic check dari informasi yang dicetak timbul (embossed) di atas suatu kartu kredit. Penggunaan CVV pada suatu online transaction

dimaksudkan untuk menunjukkan kehadiran kartu kredit itu pada waktu transaksi terjadi, misalnya di tangan nasabah

online, sehingga dengan demikian dapat mengurangi

terjadinya kecurangan kartu kredit pada transaksi-transaksi yang tidak menampilkan fisik atau wujud dari kartu kredit


(27)

tersebut. Akan tetapi, pada waktu CVV tercatat pada

database dari merchant yang kemudian dibobol, anti-fraud value dari CVV tersebut telah hilang.132

Carder tidak sembarangan dalam memperoleh

nomor kartu kredit. Nomor kartu kredit tersebut pada intinya harus berasal dari kartu kredit yang masih aktif atau masih dapat digunakan. Kartu kredit yang dapat digunakan tersebut pada umumnya memiliki beberapa kriteria, antara lain:133

a. Milik orang asing;

b. Masa berlakunya masih relatif lama agar dana yang tersedia masih banyak dan belum mendekati limit;

c. Bank penerbit yang mengeluarkan kartu kredit tersebut minimal pernah didengar namanya (cukup terkenal);

d. Diprioritaskan untuk mendapatkan kartu kredit seperti VisaCard, MasterCard, Amex,

Diners Club International, dan lain

sebagainya.

Cara yang dilakukan untuk memperoleh kartu kredit ataupun nomor kartu kredit yang telah memenuhi kriteria di

132 Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, PT. Pustaka

Utama Grafiti, Jakarta, 2009, halaman 86-87.


(28)

atas biasanya didapatkan melalui cara-cara sebagai berikut:134

a. Mendapat setoran nomor kartu kredit dari orang yang bekerja di hotel, café, restoran,

travel agency, dan tempat-tempat yang

banyak dikunjungi oleh orang asing;

b. Saling bertukar nomor kartu kredit di

chatroom mIRC;

c. Membobol situs belanja online dengan script

tertentu, berkolusi dengan webmaster yang sakit hati, atau mencari kelemahannya yang lain.

Terdapat 2 (dua) cara yang paling sering digunakan oleh carder untuk memperoleh nomor kartu kredit, antara lain:135

a. Memonitor informasi pada chatroom. Cara ini tergolong mudah untuk dilakukan. Di beberapa chatroom yang terdapat server

dalnet, secara berkesinambungan dan

terjadwal, para carder memberikan nomor kartu kredit yang cukup banyak. Carder

hanya perlu masuk ke dalam suatu chatroom,

134Ibid.


(29)

misalnya chatroom “x” di warnet “y” pada malam hari. Terkadang ada 1 (satu) orang yang sering memberikan nomor kartu kredit yang lengkap kepada carder tersebut atau siapapun yang ingin mendapatkan nomor kartu kredit lengkap beserta expired date-nya dengan nama dan alamat pemegang kartu kredit yang sah tersebut. Sesama carder

biasanya mempunyai komunitas tersendiri, kemudian saling berkomunikasi (chatting) melalui media sosial di dunia maya untuk bertukar nomor kartu kredit. Cara chatting

untuk mendapatkan nomor kartu kredit dilakukan melalui channel mIRC dengan siapapun yang sedang online. Saat melakukan chatting dan joint ke channel carder (seperti Jogja Carder, Indo Carder,

THACC, dan lain sebagainya). Carder

melakukan hubungan online dengan alamat #THACC untuk memperoleh nomor kartu kredit. #THACC adalah alamat yang dapat dikunjungi atau dipanggil pada saat carder


(30)

dalam #THACC adalah nomor kartu kredit dan informasi jual-beli. Nomor kartu kredit tersebut muncul secara acak (random) dalam suatu percakapan secara online antar chatting

di #THACC tersebut. Alamat #THACC memang digunakan oleh para carder untuk saling bertukar informasi dan nomor-nomor kartu kredit tanpa mengetahui siapa pemegang kartu kredit tersebut. Setelah mendapatkan nomor kartu kredit, kemudian

carder membuka internet browser dan di sana akan ada kolom kosong untuk diketik ke

website mana akan dicari, lalu di dalam kolom kosong tersebut, carder hanya tinggal mengetik www.yahoo.com atau

www.ebay.com atau www.google.com,

misalnya yang dibuka adalah website ebay, setelah itu carder akan masuk ke dalam

online shop dan akan muncul nama toko yang menyediakan barang-barang yang dapat dibeli. Carder bebas memilih barang apa saja yang akan dibeli dan carder tersebut menggunakan kartu kredit yang nomornya


(31)

telah diambil secara acak dari #THACC tadi. Biasanya carder menggunakan identitas palsu untuk memesan dan juga alamat palsu untuk pengirimannya. Carder membuka

website tersebut, lalu mengontak e-mail toko (pada kolom contact us), kemudian melakukan negosiasi dengan penjual atau

seller. Jika penjual menyetujui pembayaran melalui kartu kredit dan bisa dikirim ke Indonesia, maka carder tersebut akan memberikan nomor kartu kredit beserta alamat pengiriman yang palsu, selanjutnya barang akan diproses, jika kartu kredit diterima, maka barang akan dikirim sesuai dengan alamat yang tertera. Perlu diingat bahwa nomor kartu kredit yang telah diperoleh tersebut hendaknya segera digunakan karena apabila ditunda, ada kemungkinan bahwa kartu kredit tersebut akan diblokir karena diduga atau telah diketahui terjadi penyimpangan kartu kredit oleh orang yang bukan pemegang kartu kredit yang sah, akan tetapi tidak semua


(32)

nomor kartu kredit yang diberikan oleh para

carder tersebut merupakan nomor kartu

kredit yang valid;

b. Menggunakan software generator nomor kartu kredit (melakukan generate). Software

atau piranti lunak ini tergolong mudah didapatkan hanya dengan mengunduh dari beberapa website para carder. Software ini memudahkan carder untuk mendapatkan nomor kartu kredit, mengetahui card issuer bank (bank penerbit), area alamat pemegang kartu kredit yang sah yang diidentifikasi dengan kombinasi nomor kartu kredit yang mengarah ke kode pos, dan nomor kartu kredit lain yang se-card issue yang bisa dijadikan alternatif jika nomor kartu kredit ditolak. Software ini dapat membuat nama, alamat, dan nomor telepon pemegang kartu kredit secara fiktif, akan tetapi perlu ketekunan seorang carder untuk mengecek validitas nomor kartu kredit. Validasi kartu kredit biasanya online pada website porno, judi, underground, atau yang lebih


(33)

profesional bisa memanfaatkan website

pengembangan software security yang sedang membutuhkan donasi. Validasi nomor kartu kredit dengan menggunakan

software security bisa mencapai 100%

(seratus persen), cukup dengan menyumbang US$ 2 (dua dolar AS) saja. Card generator

ini adalah suatu program untuk memperbanyak nomor kartu kredit dari satu nomor induk ataupun tidak. Program card generator atau explorate dijalankan jika

carder menemukan 1 (satu) nomor kartu

kredit di internet yang dianggap bagus. Kemudian, carder dapat memecah nomor tersebut sampai kurang lebih 1.000 (seribu) nomor kartu kredit dengan program card generator ini. Program tersebut harus diunduh terlebih dahulu ke komputer atau

laptop yang digunakan oleh carder, sehingga dapat digunakan untuk memecah nomor dimaksud. Hasil pemecahan nomor tersebut harus dicek atau dites satu per satu untuk mendapatkan nomor kartu kredit yang valid.


(34)

Pengecekan dapat dilakukan di channel carder yang terdapat di chatroom mIRC.

Carder biasanya melakukan cara tersebut kurang lebih sebanyak 15 (lima belas) kali dan kemungkinan yang berhasil sekitar 4 (empat) kali. Kegunaan card generator bagi para carder adalah untuk mengambil nomor kartu kredit yang akan digunakan untuk melakukan pembelanjaan melalui internet, selain itu masih diperlukan program

verifikasi atau pencocokan nomor yang telah diambil dari card generator.

Dari metode atau cara tersebut, tidak semua operator kartu kredit yang didapat adalah valid. Setelah mendapatkan nomor kartu kredit dari satu atau berbagai cara, para carder

biasanya melakukan langkah untuk membuktikan bahwa nomor kartu kredit yang diperoleh adalah nomor valid. Langkah pembuktian tersebut dilakukan dengan bertransaksi dan hasilnya dapat langsung dirasakan. Metode yang dilakukan biasanya adalah menggunakan nomor kartu kredit untuk membeli domain, membeli hosting, membeli situs porno, atau membeli software yang langsung dapat


(35)

diunduh. Hasil transaksi ini baru dapat diketahui beberapa menit atau detik setelah transaksi itu berlangsung.136

3. Memesan Barang atau Teknik Order

Setelah melewati serangkaian tahap-tahap di atas, langkah selanjutnya adalah memesan barang. Ada suatu kendala yang dialami oleh para carder dalam memesan barang secara online sejak tahun 2000, yaitu ditolaknya transaksi dengan tujuan pengiriman barang ke Indonesia oleh sebagian besar merchant (online shop) akibat meningkatnya kejahatan carding yang terjadi di Indonesia, maka ada kesulitan untuk mencari merchant yang mau mengirim barangnya ke Indonesia. Ada beberapa website

bagi para carder yang menyediakan informasi merchant-merchant yang dapat mengirim barangnya ke Indonesia, hal ini berdasarkan kesuksesan para carder yang meng-order

barang dari merchant tersebut atau informasi merchant mudah diketahui melalui chatroom. Pertukaran informasi mengenai carding sering juga berupa alamat merchant.137

Barang-barang yang dipesan biasanya bernilai jual tinggi, canggih, dan mudah mendapatkan untung (profit) yang besar.138

136Ibid., halaman 71.

137Ibid., halaman 72.


(36)

Pemesanan barang yang dilakukan biasanya dilakukan dengan 3 (tiga) cara, antara lain:139

a. Online order. Cara ini sering juga disebut sebagai web-based order yang merupakan cara umum, tidak terlalu sulit, dan yang paling sering digunakan oleh para carder. Pemesanan dilakukan melalui website

dengan cara mengisi form yang disediakan pada website tersebut. Terdapat beberapa komponen yang harus diisi oleh para pembeli barang dalam form pembelian, yaitu pertama,

billing address (form alamat tujuan tagihan transaksi). Kedua, shipping address (ke mana barang akan dikirimkan). Beberapa merchant

memproteksi dengan memberikan batasan, yaitu mengharuskan ada kesamaan antara

billing address dengan shipping address. Para carder cenderung lebih memilih

merchant yang dapat menerima pemesanan barang dengan memperbolehkan perbedaan

shipping address dengan billing address. Ketiga, jenis pengiriman barang (ekspedisi).


(37)

Biaya pengiriman dimasukkan ke dalam tagihan kartu kredit. Pengiriman barang yang cepat tentunya akan memakan biaya yang lebih besar. Keempat, pengisian form kartu kredit. Bagian inilah yang merupakan langkah yang paling penting. Pemesanan hanya mencantumkan nomor kartu kredit yang telah diperoleh beserta expired date -nya, akan tetapi biasanya beberapa merchant

meminta customer-nya untuk mencantumkan nomor CVV (Card Verification Value) yang tertera di belakang kartu kredit tersebut. Para

carder biasanya menghindari melakukan

carding apabila website yang dituju bekerja sama dengan pihak-pihak lain, seperti

VeriSign sebagai pihak ketiga yang bertugas untuk memeriksa dan mencegah terjadinya transaksi dengan menggunakan kartu kredit curian ataupun kartu kredit fiktif. Cara ini memiliki tingkat keberhasilan yang lebih kecil karena tingkat keamanannya cukup tinggi dan tidak langsung berhadapan dengan


(38)

b. E-mail order. Carder memesan barang dengan mengirimkan e-mail kepada

webmaster dari merchant yang bersangkutan dengan dalih bahwa pemegang kartu kredit tidak mempercayai sistem transaksi melalui

website juga dengan alasan rasa takut jika nomor kartu kreditnya akan diketahui oleh orang lain atau dengan alasan bahwa alamat tujuan mereka tidak terdapat dalam form

pengiriman barang, hal ini dilakukan karena

merchant biasanya tidak hanya melayani transaksi online order, tetapi juga melayani beberapa jenis transaksi lainnya, seperti e-mail order dan phone order. Cara ini dilakukan oleh carder yang memiliki kemampuan menulis atau berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar, terlebih jika harus bernegosiasi atau tawar-menawar dengan pihak pemilik toko (merchant). E-mail order dimanfaatkan bagi situs yang tidak menyediakan transaksi

website sebagai galeri atau tidak memberi pilihan untuk pengiriman ke luar negeri,


(39)

seperti ke Asia, khususnya ke Indonesia. Kemudian menurut carder, cara pemesanan barang tidak menggunakan e-mail gratis, seperti Yahoo!, Hotmail, dan lain sebagainya, karena merchant kurang mempercayai pemesanan yang menggunakan fasilitas e-mail gratis. Pada saat proses pemilihan barang, harus dipilih barang yang mudah dikeluarkan oleh petugas pabean karena secara fisik tidak mencolok atau mencurigakan. Masalah pajak ini terkait dengan pembayaran yang nantinya harus dibayar pada saat pengambilan barang, untuk hal tersebut biasanya carder belajar terlebih dahulu mengenai perpajakan dan biasanya juga akan diterangkan oleh pihak shipment

atau bea cukai. Pertimbangan lainnya adalah yang langsung membayar tanpa harus mengirim kembali fotokopi kartu kredit yang digunakan, selanjutnya toko atau perusahaan yang dipilih sebaiknya namanya kurang terkenal dan bukan merupakan afiliasi dari usaha serupa di Indonesia. Begitu pula


(40)

dengan cara mengirimkan barang, sebaiknya dipilih yang tidak memiliki banyak prosedur dan persyaratannya;

c. Fax order. Secara prinsip sebenarnya hampir sama dengan e-mail order, hanya saja biasanya merchant tidak menerima internet fax untuk melacak alamat nomor tujuan, untuk mengatasinya, carder bekerja sama dengan pihak warung telepon (wartel). Jenis belanjaan pada metode ini pada umumnya adalah grosir dan transaksinya juga tergolong besar, yakni bisa mencapai puluhan ribu dolar AS.

4. Mengirim dan Mengambil Barang

Proses ini merupakan tahap akhir dari proses kejahatan carding. Pengiriman barang hasil transaksi di

internet melibatkan beberapa salah satunya adalah kantor pos atau jasa pengiriman barang swasta lainnya. Pemilihan bentuk pengiriman barang biasanya dilakukan oleh pihak

merchant. Pada saat berkomunikasi dengan merchant

melalui e-mail, para carder meminta beberapa hal, antara lain:140


(41)

a. Removal tag, yaitu meminta agar penjual mencopot semua label yang terkait dengan harga agar pihak bea cukai kesulitan untuk memberikan estimasi pajak berdasarkan harga barang, sehingga biaya pajak bisa dinegosiasikan atau bahkan ditiadakan, bisa juga barang tersebut diakui sebagai barang bekas, hadiah, atau pengiriman kembali karena complain;

b. Permintaan track number. Nomor ini diminta untuk mengetahui jalur perjalanan barang. Pada jasa pengiriman tertentu, pelanggannya bisa mengetahui sampai di mana proses pengiriman dilakukan, yaitu dengan memasukkan track number dari pengiriman pada fitur pencarian barang secara online

pada situs jasa pengiriman yang bersangkutan. Pertimbangan lain para pelaku dalam memilih jasa pengiriman biasanya adalah oknum pada jasa pengiriman yang dapat disuap. Carder dapat mengetahui bahwa barangnya telah dikirim dengan cara


(42)

melihat e-mail yang masuk dari pihak

merchant.

Agar proses pengiriman barang disetujui oleh

merchant, biasanya carder melakukan beberapa trik untuk mengakali pengamanan, yaitu dengan mengakali alamat tujuan pengiriman barang, hal ini dilakukan karena jika tujuan pengiriman ke Indonesia, sudah pasti menimbulkan kecurigaan bagi para korban (merchant) dan akan meminta bantuan kepada aparat untuk menjebak carder, maka biasanya pemesan menuliskan tujuannya ke negara lain, akan tetapi dengan tetap menggunakan kode pos Indonesia. Metode ini tergolong efektif karena shipment melakukan verifikasi melalui kode pos yang sudah pasti unik nomornya, terlebih jika database alamat kota dan jalannya terdapat di kode pos tersebut, selain itu ada beberapa metode pengamanan ekstra pada situs tertentu, diantaranya adalah kehaursan untuk mengirimkan fotokopi kartu kredit beserta tanda tangan dan social security number (KTP masing-masing negara pemesan). Carder biasanya melakukan olah image melalui software pengolah gambar atau grafis seperti Adobe Photoshop, di mana hasil dari pemindaian kartu kredit asli, setelah itu dilakukan modifikasi disesuaikan dengan informasi pada kartu kredit


(43)

yang digunakan. Kartu kredit hasil modifikasi tersebut kemudian dicetak lalu dikirimkan sesuai sarana yang diminta oleh penjual barang (merchant), selain itu biasanya

carder memilih transaksi yang metode pembayarannya menggunakan metode pembayaran seperti e-wallet, paypal,

check, atau moneygram. Caranya adalah dengan mendaftar pada situs yang menyediakan layanan tersebut, setelah sebelumnya menyediakan sejumlah nomor kartu kredit yang

valid, social security number, dan rekening bank. Kelemahan dari metode ini adalah rumit dan berbelit-belit, namun jika berhasil, maka transaksinya bisa mencapai puluhan ribu dolar AS.141

Perusahaan jasa pengiriman barang, bahwa perusahaannya sering dirugikan oleh para carder dengan penumpukan barang hasil kejahatan carding yang tidak diambil oleh para carder, sedangkan biaya pajak barang telah dibayarkan terlebih dahulu oleh pihak perusahaan jasa pengiriman barang.142

Pada saat pengambilan barang, hal ini sangat diperlukan karena pemesan harus menyertakan kartu identitas pada saat pengambilan barang. Identitas palsu

141Ibid., halaman 77-78.


(44)

berguna untuk menghilangkan jejak, namun para carder

pemula sering menyertakan identitas mereka.143

Menurut beberapa carder, sering ditemukan kendala pada saat pengambilan barang hasil kejahatan carding di kantor pos. Para pegawai kantor pos sebenarnya telah mengetahui bahwa barang hasil kiriman tersebut merupakan hasil dari kejahatan carding, sehingga pegawai kantor pos tersebut sering meminta uang atau barang agar barang itu dapat diambil.144

Pelaku bekerja sama dengan pihak ekspedisi untuk memperlancar kejahatan carding ini.145 Biasanya carder

berpengalaman mempunyai koneksi atau jaringan di perusahaan jasa pengiriman barang.

Para carder biasanya tidak langsung mengambil barang, akan tetapi bertemu di suatu tempat dengan “orang dalam” yang bekerja di perusahaan jasa pengiriman barang pesanan tersebut. Sebagian besar carder melakukan kejahatan ini dengan motif untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bahkan menjadi mata pencahariannya, namun tidak sedikit juga sekedar iseng atau hanya ingin coba-coba mendapatkan barang yang diinginkannya. Bagi

143Ibid.

144Ibid., halaman 79.


(45)

carder yang akan menjual barangnya, biasanya dilakukan dengan sangat berhati-hati.

d. Karakteristik Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang pada dasarnya memiliki karakteristik atau ciri-ciri khusus yang membedakan tindak pidana ini dengan tindak pidana lainnya, antara lain:

i. Modus Operandi Tindak Pidana Pencucian Uang

Terdapat 13 (tiga belas) modus operandi tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan objek dan sarana yang dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang dalam melakukan operasi pencucian uang kotornya, antara lain:146

1. Modus secara Loan Back, yaitu dengan cara

meminjam uang miliknya sendiri. Modus ini diperinci lagi dalam bentuk direct loan sebagai cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri (semacam perusahaan bayangan atau immobilen investment company) yang Direksi dan Pemegang Sahamnya adalah si peminjam sendiri. Bentuk yang kedua adalah back loan yang dilakukan dengan cara si pelaku meminjam uang kepada cabang bank asing di negaranya dengan jaminan bank asing secara

146 N. H. T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, PT. Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 2002, halaman 10-14, dikutip dari buku Ferry Aries Suranta, Peranan PPATK dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money Laundering, Gramata Publishing, Jakarta, 2010, halaman 58-64.


(46)

stand by letter of credit atau certificate of deposit, bahwa uang tersebut diperoleh atas dasar uang dari kejahatan;

2. Modus Operandi C-Chase. Modus ini cukup rumit karena memiliki sifat lika-liku sebagai cara menghapus jejak, contohnya seperti pada kasus BCCI, di mana kurir-kurir datang ke bank di Florida untuk menyimpan dana sebesar US$ 10.000 (sepuluh ribu dolar AS) supaya lolos dari kewajiban untuk melapor, kemudian dilakukan beberapa kali transfer dari bank di New York ke bank di Luxemburg, dan dari bank di Luxemburg ditransfer lagi ke cabang bank di Inggris, lalu di sana dikonversikan ke dalam bentuk certificate of deposit

untuk menjamin loan dalam jumlah yang sama dan diambil oleh orang di Florida, kemudian loan dibuat di negara Karibia yang terkenal dengan tax heaven -nya. Loan tersebut tidak pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Uang tersebut ditransfer dari Florida ke Uruguay melalui rekening drug dealer, di sana uang tersebut didistribusikan menurut keperluan dan


(47)

bisnis yang serba gelap. Hasil dari investasi ini dapat tercuci dengan aman;

3. Modus Transaksi Dagang Internasional. Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C (letter of credit) karena yang menjadi fokus adalah urusan bank, termasuk bank koresponden maupun bank penerbit (opening bank) adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang, ini dapat menjadi sasaran pencucian uang berupa membuatkan invoice

atau tagihan besar terhadap barang yang kecil atau bahkan barang (goods) itu tidak ada sama sekali atau fiktif;

4. Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank paralel ke negara lain. Modus ini dilakukan dengan cara menyelundupkan sejumlah uang secara fisik ke luar negeri, namun karena cara ini sangat berisiko, seperti dirampok, hilang, atau tertangkap dalam pemeriksaan di bandara atau pelabuhan laut, maka dicari modus atau cara yang lebih mudah, yaitu melalui electronic transfer dari suatu negara ke negara lain;

5. Modus Akuisisi, yaitu modus yang dilakukan dengan cara mengakuisisi suatu perusahaan, sedangkan


(48)

perusahaan tersebut adalah perusahaan miliknya sendiri (company group) karena biasanya perusahaan tersebut berdomisili di luar negeri, bukan di Indonesia, kemudian perusahaan yang berada di luar negeri tersebut membeli saham-saham yang berada di Indonesia dengan cara mengakuisisi, dengan demikian, pemilik saham (shareholder) yang berada di Indonesia telah memiliki dana yang sah karena telah tercuci melalui hasil penjualan saham-saham di perusahaan yang berada di Indonesia;

6. Modus Real Estate Carousel, yaitu modus yang

dilakukan dengan cara menjual suatu aset properti, seperti kawasan industri, perumahan, apartemen, dan kondominium kepada suatu perusahaan dalam kelompok yang sama. Pelaku pencucian uang memiliki sejumlah perusahaan (pemegang saham mayoritas) dalam bentuk real estate. Sasarannya adalah supaya melalui transaksi penjualan tersebut, menjadi legal atau bersih;

7. Modus Investasi Tertentu, yaitu modus yang biasa dilakukan dalam bisnis transaksi barang antik atau lukisan, misalnya membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang


(49)

sebenarnya adalah orang suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga yang relatif mahal. Lukisan dengan harga yang tidak terukur, dapat ditetapkan dengan harga setinggi-tingginya dan bersifat sah. Hasil dari penjualan tersebut dapat dipandang sebagai dana yang sudah sah (tercuci);

8. Modus Over Invoices atau Double Invoice, yaitu

modus yang dilakukan dengan cara mendirikan

perusahaan ekspor-impor di negara sendiri, lalu di luar negeri (yang bersistem tax heaven) didirikan pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di negara tax heaven mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada di luar negeri membuat invoice pembelian dengan harga tinggi. Inilah yang disebut over invoice dan jika dibuat 2 (dua) invoice, maka disebut double invoices;

9. Modus Perdagangan Saham, yaitu modus yang

dilakukan dengan cara melibatkan perusahaan efek.

Modus ini pernah terjadi di Belanda, dalam suatu kasus di Bursa Efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, di mana beberapa nasabah perusahaan efek tersebut yang menjadi pelaku tindak pidana pencucian uang, artinya, dana


(50)

dari nasabahnya yang diinvestasikan bersumber dari uang gelap. Nusse Brink membuat 2 (dua) buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu untuk transaksi yang menderita kerugian, dan satunya lagi untuk transaksi yang mempunyai keuntungan. Rekening diupayakan dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi kerahasiaannya, supaya sulit ditelusuri siapa beneficial owner dari rekening tersebut;

10. Modus Pizza Connection, yaitu modus yang

dilakukan dengan menginvestasikan hasil perdagangan obat bius dan diinvestasikan untuk mendapatkan konsesi Pizza, sementara sisa lainnya diinvestasikan di Karibia dan Swiss;

11. Modus La Mina, yaitu modus pencucian yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1990-an di mana dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada perdagangan grosir emas dan permata dalam suatu jaringan/sindikat dan kemudian emas batangan yang diperoleh itu diekspor dari Uruguay agar terlihat impornya bersifat legal. Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas, kemudian dikirimkan kepada pedagang perhiasan


(51)

yang bersindikat mafia obat bius. Penjualan dilakukan di Los Angeles dan hasil dari penjualan uang tunai tersebut dibawa ke bank dengan maksud supaya seakan-akan uang tersebut berasal dari emas dan permata, lalu dikirim ke bank di New York dan dari kota ini dikirimkan lagi ke bank di Eropa melalui Panama. Uang tersebut akhirnya sampai di Kolombia guna didistribusikan untuk membayar biaya-biaya atau ongkos investasi perdagangan obat bius, meskipun sebagian besar dana tersebut digunakan untuk investasi jangka panjang;

12. Modus Deposit Taking, yaitu modus yang dilakukan dengan cara mendirikan perusahaan keuangan, seperti Deposit Taking Institutions (DTI). Adapun perusahaan DTI terkenal dengan sarana pencucian uang, seperti trust company dan credit union. Beberapa kasus pencucian uang yang melibatkan DTI, antara lain transfer melalui telex, surat berharga, penukaran valas (valuta asing), pembelian obligasi pemerintah, dan treasury bills;

13. Modus Identitas Palsu, yaitu modus yang dilakukan dengan cara memanfaatkan identitas sebagai mesin pemutihan uang dengan cara mendepositokan,


(52)

menggunakan identitas palsu, menggunakan safe

deposit box untuk menyembunyikan uang hasil

kejahatan (dirty money), menyediakan fasilitas transfer supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki, menggunakan electronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap, dan menyimpan atau mendistribusikan hasil transaksi gelap tersebut.

ii. Proses Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang

Karakteristik dasar dari pencucian uang adalah kejahatan yang bermotif mengejar keuntungan sebesar-besarnya, berbeda dengan kejahatan konvensional lainnya yang menakutkan masyarakat. Kejahatan ini memiliki sifat penciptaan kreativitas pengembangan kejahatan-kejahatan baru yang bersifat internasional, terorganisir secara professional dengan teknologi tinggi, dengan pelayanan sarana bisnis yang menguntungkan, metode dari pencucian uang tidak dapat didefinisikan atau ditetapkan secara pasti karena metode yang baik bagi para pelaku pencucian uang adalah suatu metode yang belum atau tidak diketahui atau dikenal oleh aparat penegak hukum.147 Secara garis besar, proses pencucian uang dikenal terdiri dari 3 (tiga) tahap, antara lain:


(53)

1. Penempatan atau Placement148

Penempatan atau placement adalah upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cek, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan (Penyedia Jasa Keuangan), terutama ke dalam sistem perbankan. Bentuk kegiatan tersebut antara lain:149

a. Menempatkan dana pada bank. Kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit atau pembiayaan;

b. Menyetorkan uang pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail;

c. Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain;

d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit atau pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit atau pembiayaan;

148 Penjelasan atas Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

149 Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang


(54)

e. Membeli barang-barang berharga yang dinilai tinggi untuk keperluan pribadi, membeli hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan (PJK).

Tahap penempatan atau placement ini merupakan suatu tahap yang paling sulit dalam pencucian uang, di mana para pelakunya dihadapkan pada usaha untuk mengkonversi uang tunai dalam jumlah yang besar ke dalam instrumen atau sistem keuangan hingga mudah diatur penggunaannya harus melaporkan kepada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), baik dalam transaksi tunggal maupun berantai dalam satu hari kerja atau bahkan di bawah jumlah tersebut apabila ada kecurigaan terhadap orang yang melakukan transaksi.150

Para pelaku pencucian uang melakukan teknik

smurfing atau structuring dalam memecahkan masalah tersebut untuk menghindari pelaporan ke instansi yang berwenang, yaitu bekerjasama dengan orang suruhannya untuk mendepositokan uang di bank atau broker bursa


(55)

saham/sekuritas untuk membantu dalam menyimpan uang atau melakukan pemecahan nilai nominal yang akan ditransaksikan di Penyedia Jasa Keuangan (PJK);151

2. Transfer atau Layering

Transfer atau layering adalah upaya untuk memindahkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan atau placement ke Penyedia Jasa Keuangan (PJK) karena dengan dilakukannya layering, penegak hukum akan kesulitan untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.152

Harta kekayaan atau uang yang telah diubah bentuknya ke dalam bentuk aset yang lain, maka dapat dikatakan bahwa tahap kedua dari pencucian uang telah dimulai. Tujuan dari layering adalah untuk memutuskan hubungan antara uang ilegal yang berasal dari kejahatan dengan menciptakan suatu jaringan transaksi yang beragam dengan tujuan untuk menghindari jejak asal usul sumber uang atau harta kekayaan tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:153

151Ibid.

152 Penjelasan atas Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 153Ibid.


(56)

a. Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan/atau antar wilayah/negara;

b. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah;

c. Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company;

3. Menggunakan Harta Kekayaan atau Uang (Integration)

Tahap akhir dari proses pencucian uang adalah

integration dari harta atau uang ilegal, yaitu upaya untuk menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer, sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.154

Metode sederhana lainnya adalah dengan mentransfer uang melalui Electronic Financial Transfer

(EFT) ke bank yang resmi dari bank yang dimiliki oleh pelaku pencucian uang, di mana para pelaku pencucian uang tersebut dapat membeli bank di banyak tempat atau


(57)

memiliki beberapa rekening di negara-negara tax heavens.155

Dampak yang lebih mengkhawatirkan adalah bertambahnya penggunaan pasar modal oleh para pelaku pencucian uang untuk mengintegrasikan dan memindahkan uang tersebut, misalnya suatu perusahaan mengeluarkan saham dalam jumlah besar, di mana pelaku pencucian uang dapat memilikinya dengan berbagai agen saham di luar negeri dan saham-saham tersebut akan dipasarkan dan dijual kembali ke masyarakat yang tidak curiga atas hal tersebut, di lain pihak, pelaku pencucian uang akan mendapatkan uang yang legal karena ironisnya, cara yang efisien dalam melakukan pencucian uang adalah dengan membayar pajak dari kegiatan bisnis atau usaha yang berkaitan dengan penggunaan uang tersebut, sehingga cukup sulit bagi penegak hukum untuk mengatakan bahwa uang tersebut berasal dari hasil kejahatan di mana pemiliknya telah membayar pajak atas keuntungan yang didapatnya.156

155 H. Soewarsono dan Reda Manthovani, Op.cit., halaman 8.


(58)

BAB IV

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN UPAYA PENCEGAHANNYA TERHADAP PENERAPAN KEJAHATAN CARDING DALAM KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

H. Kebijakan Penal atau Penal Policy

1.1. Politik Hukum Pidana

Mengkaji perlindungan korban dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), bertitik tolak pada 2 (dua) isu hukum, pertama, perlindungan terhadap calon korban (agar orang tidak menjadi korban), kedua, perlindungan terhadap korban aktual (perlindungan konkret), untuk keperluan tersebut, terlebih dahulu perlu diuraikan tentang kebijakan (politik) hukum pidana atau kebijakan penal.157

Jika menguraikan tentang politik hukum pidana, maka akan terkait dengan politik hukum, untuk mengetahui hubungan antara politik hukum dengan politik hukum pidana dan implementasi politik hukum pidana terhadap perlindungan korban, perlu terlebih dahulu diuraikan mengenai pengertian politik hukum itu sendiri. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata “politik” dan “hukum”. Menurut Sudarto, istilah politik digunakan dalam berbagai arti, yaitu:158

1. Arti yang pertama dan perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;

157 M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana: Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan dalam Perspektif Bank Sebagai Pelaku (Offender), Genta Publishing, Yogyakarta, 2015, halaman 13.


(59)

2. Membicarakan masalah politik berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara. Lebih lanjut ditulis oleh Sudarto bahwa makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy, dalam pengertian ini sering dijumpai kata-kata seperti politik hukum ekonomi, politik kriminal, politik hukum, dan politik hukum pidana. Berikutnya adalah mengenai hubungan antara politik dan hukum, dalam konteks ini Mahfud M. D.159 menulis bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Menurut Solly Lubis160, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Politik hukum pidana (dalam tatanan mikro) dan politik hukum (dalam tatanan makro), maka dalam pembentukan undang-undang, harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan agar dapat dihormati.161

159 Mahfud M. D., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, halaman 1-2.

160 Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 1989,

halaman 49.


(60)

1.2. Aspek Kebijakan Kriminalisasi

Kriminalisasi, menurut Sudarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.

Badan Pembinaan Hukum Nasional mencoba mengidentifikasikan bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas di cyberspace

termasuk di dalamnya kejahatan kartu kredit (credit card fraud) dengan perundang-undangan pidana yang ada. Hasil identifikasi itu diantaranya berupa pengkategorian perbuatan kejahatan kartu kredit ke dalam delik-delik yang terdapat pada KUHPidana.

Pasca munculnya Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang yang digunakan oleh para penegak hukum untuk menjerat pelaku kejahatan

carding (carder), selain menggunakan KUHPidana. Apabila pelaku kejahatan carding (carder) yang menjual kembali hasil dari kejahatannya atau mengubahnya ke dalam bentuk apapun dengan berbagai cara, dapat dijerat dengan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

1.3. Aspek Pertanggungjawaban Pidana

Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat 2 (dua) pandangan, yaitu pandangan yang monistis, antara lain dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai “Eene strafbaar


(61)

gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar persoon” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya). Menurut aliran monisme, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi, baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazim dinamakan unsur subjektif, oleh karena dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah dikatakan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi

strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.162

Menurut A. Z. Abidin, aliran monistis terhadap strafbaar feit

penganutnya merupakan mayoritas di seluruh dunia, memandang unsur pembuat delik sebagai bagian dari strafbaar feit, misalnya Ch. J. E. Enschede dan A. Heijder melukiskan strafbaar feit sebagai een daaddade-complex. Adapun J. M. van Bemmelen tidak memberikan definisi teoretis, namun menyatakan bahwa harus dibedakan antara bestanddelen (bagian inti) dan element (unsur) dari strafbaar feit.163

Bestanddelen dari suatu strafbaar feit adalah bagian inti yang disebut oleh Undang-undang Hukum Pidana, yang harus dicantumkan di dalam surat tuduhan Jaksa Penuntut Umum dan harus dibuktikan. Sebaliknya, element atau unsur adalah syarat-syarat untuk dipidananya

162 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana

Prenadamedia Group, Jakarta, 2010, halaman 63. 163Ibid.


(62)

perbuatan dan pembuat berdasarkan bagian umum KUHPidana serta asas hukum umum. Jika van Bemmelen menggunakan istilah bestanddelen dan

element, maka D. Hazewinkel-Suringga menggunakan istilah

samenstellende elementen atau constitutieve bestanddelen unsur-unsur delik yang disebut oleh undang-undang, sedangkan untuk elementen yang tidak disebut tetapi tidak diakui dalam ajaran ilmu hukum, disebut

stilzwijgende element atau unsur delik yang diterima secara diam-diam.164 Berdasarkan hal tersebut, dengan menganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act, maka unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik meliputi:165

1. Kemampuan bertanggung jawab;

2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; 3. Tidak ada alasan pemaaf.

Menurut pandangan dualistis tentang delik, orang yang membuat sehingga orang lain melakukan (doen plegen) tentunya dapat dipidana.166 Adapun orang pertama yang menganut pandangan dualistis adalah Herman Kontorowicz, pada tahun 1933, Sarjana Hukum Pidana Jerman menulis buku dengan judul “Tut und Schuld”, di mana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa, yang oleh beliau dinamakan “objektief schuld”, oleh karena kesalahan dipandang sebagai sifat daripada kelakukan (merekmal der handlung).

Strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat)

164Ibid., halaman 64-65.

165 A. Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1983,

halaman 45-46.


(63)

diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung

(perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.167

Pandangan Herman Kontorowicz tersebut, Moeljatno menyatakan bahwa syarat-syarat untuk adanya pidana (strafvorausset-zungen) yang umumnya tanpa dipikirkan dengan jelas dan sistematis, diikuti naluri yang memandangnya sebagai kualitet-kualitet handlung ibarat suatu

merekmalshaufe (tumpukan syarat-syarat), sekarang hendaknya di

sistematisasi menurut hakikatnya syarat masing-masing, dengan memperhatikan 2 (dua) segi tadi yang satu dengan lainnya, merupakan bentuk paralel. Pada segi handlung yang boleh dinaikkan pula segi objektif atau “tat”, ada “tasbestandsmaszigkeit” (hal mencocoki rumusan wet) dan tidak adanya alasan pembenar (fahlen von rechtfertigungsgrunden). Pada segi handelde yang boleh dinamakan segi subjektif, sebaliknya ada schuld

(kesalahan) dan tidak adanya alasan pemaaf (fahlen von personalechen strafousschlieszungsgrunden). Sebagaimana hanya segi pertama yang mungkin tatbestsandsmaszig, schuldig. Sementara itu, segi-segi tersebut jika dipandang sebagai kesatuan, tidak hanya berdampingan semata-mata (paralelverhaltnis), bahkan yang satu merupakan syarat adalah tat, yaitu “dietrafbare handlung” dalam makna strafgesetzbuch, yang merupakan “das kriminelle unrecht”, sedangkan yang disyaratkan adalah segi schuld,

167 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana,

Pidato diucapkan pada Upacara Peringatan Dies Natalis ke-6 Universitas Gajah Mada, tanggal 19 Desember 1955, Bina Aksara, Jakarta, 1985, halaman 22-23.


(64)

oleh karena schuld ada setelah adanya unrecht atau sifat melawan hukum perbuatan dan tak mungkin ada schuld tanpa adanya unrecht.168

Apa yang dikemukakan oleh Moeljatno tersebut dapat dipandang sebagai teknik bagi Hakim untuk menjatuhkan pidana. Pendapat tersebut dapat memudahkan Hakim untuk memberikan kualifikasi yang tepat bagi pembuat yang tak dapat dijatuhkan pidana. Jika salah satu unsur perbuatan melawan hukum pidana tidak terbukti, maka bunyi putusannya adalah putusan bebas atau vrijspraak (bandingkan dengan Pasal 191 KUHPidana dan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Adapun jika semua unsur perbuatan tersebut terbukti ditetapkan bahwa telah terjadi delik dan pembuat tak langsung dapat dijatuhi pidana, sedangkan pelaku, yaitu pembuat yang melakukan perbuatan tersebut ternyata tidak mampu bertanggung jawab dinyatakan dilepaskan dari segala tuntutan (bandingkan dengan Pasal 191 ayat (2) KUHPidana).169

Sehubungan dengan adanya 2 (dua) pandangan monistis dan dualistis tersebut, Sudarto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Semarang, menyatakan bahwa pada tingkat terakhir adalah untuk menentukan adanya pidana, kedua pendirian itu tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil, masalahnya ialah apabila orang yang menganut pendirian yang satu hendaknya memegang pendirian tersebut secara konsekuen agar tidak ada kekacauan pengertian (begrijpsverwaring). Jadi, dalam menggunakan istilah “tindakan pidana” haruslah pasti bagi orang

168Ibid., halaman 23-24.


(1)

Partahanan Siregar, Eva Christina Pardede, Gloria Chintia Nitanatama Lumban Tobing, Grace Santo Sihombing, Hariyani Song, Imam Andani Sinabariba, Meisura Dwini Girsang, Muhammad Rizki ‘Melayu’ Mahyuzar, Namira Nazlah, Putra Rizki Akbar, Stanny Yeane Sihite, Veronica Julita Sitanggang, dan Zikri Al-Hakim yang telah memberikan semangat kepada Penulis hingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya;

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan, maka Penulis memohon maaf kepada para pembaca skripsi ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang ada di dalam diri Penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih kepada kita semua dan kiranya doa yang telah diberikan senantiasa mendapatkan berkah dari Tuhan yang Maha Esa dan semoga skripsi ini juga dapat memberikan manfaat untuk perkembangan hukum, khususnya hukum pidana di Republik Indonesia.

Medan, Februari 2016 Penulis,


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

ABSTRAKSI...viii

ABSTRACT...ix

BAB I PENDAHULUAN...1

1. Latar Belakang...1

2. Perumusan Masalah...11

3. Tujuan Penelitian...12

4. Manfaat Penelitian...12

5. Keaslian Penelitian...13

6. Kerangka Teori dan Konsepsi...14

7. Metode Penelitian...30

7.1. Spesifikasi Penelitian...30

7.2. Metode Pendekatan...31

7.3. Lokasi Penelitian, Populasi, dan Sampel...31

7.4. Alat Pengumpul Data...32

7.5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data...34

7.6. Analisis Data...34

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG KEJAHATAN CARDING DAN KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA...36

1. Perkembangan dan Beragam Penggunaan Kartu Plastik dalam Praktik Bisnis...36


(3)

1.1. Konsep dan Jenis Kartu Kredit dalam Praktik

Bisnis...37

1.2. Fungsi dan Manfaat Kartu Kredit...41

1.3. Masa Berlaku dan Batas Kredit Penarikan dalam Kartu Kredit...45

1.4. Transaksi pada Kartu Kredit...47

1.5. Kartu Tambahan dalam Penerbitan Kartu Kredit...49

2. Pengaturan di dalam KUHPidana dan KUHAP (Lex Generalis)...49

3. Pengaturan di luar KUHPidana dan KUHAP (Lex Specialis)...78

4. Kedudukan Korban Kejahatan Carding dalam Hukum Pidana...87

5. Hubungan antara Kejahatan Carding dengan Tindak Pidana Pencucian Uang...91

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEJAHATAN CARDING DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG...95

1. Faktor Internal...95

1.1. Faktor Intelegensi...95

1.2. Faktor Peluang...95

1.3. Faktor Percaya Diri...96

1.4. Faktor Usia...96

2. Faktor Eksternal...96

2.1. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Penerbitan Kartu Kredit...97

2.2. Subjek Hukum dalam Penerbitan Kartu Kredit...98


(4)

2.4. Karakteristik Tindak Pidana Pencucian Uang...133

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN UPAYA PENCEGAHANNYA TERHADAP PENERAPAN KEJAHATAN CARDING DALAM KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG...146

1. Kebijakan Penal atau Penal Policy...146

1.1. Politik Hukum Pidana...146

1.2. Aspek Kebijakan Kriminalisasi...148

1.3. Aspek Pertanggungjawaban Pidana...148

2. Kebijakan Non-Penal atau Non-Penal Policy...161

2.1. Upaya Pencegahan terhadap Penerapan Kejahatan Carding dalam Kaitannya dengan Tindak Pidana Pencucian Uang...161

3. Analisis Putusan PN Jakarta Selatan No. 1193/Pid/B/2013/PN.Jak.Sel...169

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...188

1. Kesimpulan...188

2. Saran...191


(5)

ABSTRAKSI

Marshall Stanley Yehezkiel* Prof. Dr. H. Ediwarman, S.H., M.Hum.**

Dr. Marlina, S.H., M.Hum.***

Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat tidak selalu memberikan dampak positif bagi kehidupan bermasyarakat, akan tetapi juga dapat memberikan dampak negatif apabila disalahgunakan oleh oknum tertentu secara melawan hukum. Pelaku kejahatan carding atau carder yang melakukan kejahatan

carding atau kejahatan kartu kredit atau credit card fraud menjadi salah satu indikator sebagai bentuk penyalahgunaan teknologi informasi yang berdampak negatif bagi kehidupan bermasyarakat, baik yang dilakukan secara online dengan memanfaatkan media internet, maupun yang dilakukan secara offline.

Metode pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode pendekatan empiris atau yuridis sosiologis yang dalam penelitiannya, maka Penulis memulai dari berlakunya hukum positif dan pengaruh berlakunya hukum positif terhadap kehidupan masyarakat, serta pengaruh faktor non hukum terhadap terbentuknya serta belakunya ketentuan hukum positif. Penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan metode pendekatan sosiologis atau empiris ini, Penulis sebaliknya didukung juga oleh data sekunder atau studi dokumentasi. Tegasnya, penelitian hukum empiris atau sosiologis ini juga ditunjang dengan penelitian hukum normatif. Inilah yang seharusnya dilakukan dalam praktiknya agar penelitian hukum ini mendapatkan hasil yang memadai, oleh karena itu pengerjaannya menggunakan data-data sekunder sebagai data utama

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kejahatan carding

ini terdapat di dalam KUHPidana dan KUHAP, serta di luar KUHPidana dan KUHAP melalui undang-undang khusus atau lex specialis, yaitu Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Faktor terjadinya kejahatan carding terdiri dari faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri pelaku kejahatan carding

(carder) dan faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri pelaku kejahatan carding (carder) tersebut. Kebijakan hukum pidana juga berperan aktif dalam melakukan upaya pencegahan terhadap kejahatan carding, baik secara

penal, maupun secara non-penal dengan cara pre-entif dan preventif.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(6)

ABSTRACT

Marshall Stanley Yehezkiel* Prof. Dr. H. Ediwarman, S.H., M.Hum.**

Dr. Marlina, S.H., M.Hum.***

The development of technology which grows rapidly does not always give a positive impact to the life of society, but also may adversely give negative affect if they are misused by certain elements unlawfully. Carding offenders who commit crimes or crimes carding a credit card or credit card fraud is one indicator as abuse of technology of information that negatively impact the life of society, whether conducted online by using internet media, as well as those done offline.

The method used in this thesis is the method of empirical or juridical sociological approach that in his research, the author started from the enactment of positive law and legal validity of the positive influence on people's lives, as well as non-legal factors influence on the form of positive legal provisions. Legal research that is conducted in this research is sociological approach or empirical method, the author is also supported by secondary data or documentation. Strictly speaking, the law of empirical or sociological research is also supported by the normative legal research. This is what should be done in practice to study this law in order to get adequate results, therefore the process using secondary data as the main data.

Legislation governing the crime carding is contained in the Criminal Code and the Criminal Procedure Code, as well as outside of the Criminal Code and the Criminal Procedure Code through specific legislation or lex, namely Law No. 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions and the Law No. 8 of 2010 on the Prevention and Combating of Money Laundering. Factor of carding crimes consist of internal factors, namely the factors that comes from within the offender carding (carder) and external factors, i.e. factors that come from outside carding offenders (carder). Criminal law policy also plays an active role in making efforts to prevent the crime carding, both penal, or in non-penal by way of prevention.

* Student at Law Faculty in University of North Sumatera ** Advisor I


Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel)

1 57 168

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Kejahatan kesusilaan dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif (analisa putusan Nomor 401/Pid.B/ 2007/ PN.Jak.Sel)

0 2 109

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

1 2 11

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

0 0 2

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

1 1 35

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

1 1 59

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

3 5 6