Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Berbagai penemuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi saat ini

memungkinkan setiap orang untuk menggunakan interconnection network,
selanjutnya disebut internet, melalui komputer pribadi (personal computer atau
PC) atau media elektronik lainnya dimanapun dan kapanpun. Kemajuan-kemajuan
teknologi tersebut telah banyak memberikan berbagai kemudahan dan manfaat
untuk meningkatkan kesejahteraan bagi umat manusia. Teknologi informasi dan
komunikasi saat ini dimanfaatkan oleh pribadi (individu), korporasi, pemerintah,
dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk berbagai aktivitas, seperti
pendidikan, kesehatan, bisnis, pemerintahan, komunikasi, hiburan, dan begitupun
bentuk kejahatan lain-lain.1
Khususnya bertransaksi menggunakan kartu kredit dan/atau uang plastik.
Fenomena yang bernama teknologi ini sering dianggap sebagai “dewa” bagi
sebagian orang, khususnya oleh para pelaku usaha. Teknologi komputer menjadi
terpadu dalam bertransaksi di era global yang terintegrasi dan/atau terkoneksi

melalui jaringan internet untuk melakukan transaksi keuangan dan teknologi,
terbukti ketika dengan mudahnya mampu merevolusi sistem pembayaran




1

Sigid Suseno, Yurisdiksi Tindak Pidana Siber, PT. Refika Aditama, Bandung, 2012,

halaman 1.

Universitas Sumatera Utara

konvensional secara tunai (cash) yang telah berjalan berabad-abad menjadi sistem
elektronik (non-cash).2
Manusia yang hidup di masa era globalisasi yang terintergrasi secara cepat
tanpa batas waktu, tidak terlepas dari kemajuan suatu teknologi yang berkembang
begitu sangat pesatnya, yang mendukung setiap pengguna teknologi (user of
technology) dalam memberikan kemudahan bertransaksi menggunakan teknologi

untuk keuangan dan khususnya penggunaan kartu kredit antar lintas daerah dan
lintas negara (cross border).
Bentuk transaksi dengan teknologi yang menggunakan kartu kredit (credit
card) dapat dilihat dalam wujud transaksi elektronik (electronic transaction)
melalui

mesin

Anjungan

Tunai

Mandiri

(Automated

Teller

Machine),


menggunakan telepon genggam (phone banking), jaringan internet perbankan
(internet banking), dan lain sebagainya sebagai bentuk baru delivery channel
memodernisasi setiap transaksi. Secara umum, saat ini setidaknya terdapat tiga
basis instrumen pembayaran, yakni:3
1.
2.
3.

Paper-based: cek, bilyet giro, dan nota debet;
Card-based: kartu kredit, kartu debet, dan kartu ATM;
Electronic-based: e-money, internet banking, mobile banking, dan
electronic mall.

Perkembangan dalam transaksi keuangan tidak lagi menggunakan uang
tunai (cash less society) ini merupakan trend yang tidak dapat dihindari.
Peningkatan perputaran ekonomi jelas menuntut dukungan sistem pembayaran
yang cepat, aman, efisien, dan handal. Lancarnya sistem pembayaran akan




2
Resa Raditio, Aspek Hukum Transaksi Elektronik: Perikatan, Pembuktian, dan
Penyelesaian Sengketa, PT. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, halaman 1-2.
3
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

memberikan kepastian kepada masyarakat dalam bertransaksi, maka secara
otomatis juga akan mempercepat peredaran uang (velocity of money) dan
mengurangi floating fund atau dana yang mengambang. Perputaran uang yang
semakin cepat dalam masyarakat akan menstimulasi kegairahan dan pertumbuhan
ekonomi sebagai dampak dari money multiplier yang diciptakannya. Konsumen
juga cenderung menggunakan instrumen (non-cash payment), seperti card-based
dan electronic-based, karena saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan agar
transaksi dapat dilakukan dengan praktis, cepat, dan nyaman. Bagi masyarakat,
penggunaan pembayaran non tunai dengan menggunakan kartu mempermudah
transaksi seperti penarikan tunai, transfer dana, dan pembayaran ke berbagai
tagihan rutin lainnya. Dari sisi operasional, penggunaan non-cash instrument akan
mempercepat dan mempermudah penyelesaian transaksi dan berbagai kebutuhan

nasabah atau customer dalam satu waktu, serta dengan biaya transaksi yang relatif
lebih rendah.4
Terkait dengan penjelasan tersebut, maka internet merupakan Integrated
Services Digital Network (ISDN). 5 Dimensi pertama adalah kenyataan keras
dalam kehidupan empiris (biasa disebut hard reality), dimensi kedua adalah
kenyataan kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (dipadankan dengan
sebutan soft reality), dan dimensi ketiga dikenal dengan kenyataan maya (virtual
reality) yang melahirkan suatu format masyarakat lainnya.6




4

Ibid., halaman 2-3.
Ibid.
6
Ashadi Siregar, Negara, Masyarakat, dan Teknologi Informasi, makalah pada
Seminar Teknologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Demokrasi, Yogyakarta, 19
September 2001.

5

Universitas Sumatera Utara

Indonesia juga tidak terlepas dari kegiatan telekomunikasi nasional yang
mengalami perkembangan begitu pesat. Selain pertimbangan teknologi, ekonomi,
dan budaya, aspek regulasi pun menjadi unsur yang harus disikapi dengan berhatihati.7
Dampak positif di sisi lain timbul pikiran dengan tidak beritikad baik
untuk mencari keuntungan dengan cara melawan hukum, yang berarti melakukan
pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini adalah kejahatan yang dilakukan
menggunakan dan/atau melalui internet, 8 misalnya ancaman serangan terhadap
sarana dan/atau prasarana teknologi informasi dan komunikasi yang terkoneksi
secara global, yang dapat membahayakan tidak hanya materi, tetapi juga nyawa
manusia. Teknologi digunakan untuk menciptakan dan/atau menjadi sarana untuk
melakukan tindak pidana.
Dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi adalah munculnya
tindak pidana baru (new crimes) di bidang teknologi informasi dan komunikasi,
baik berupa tindak pidana terhadap confidentiality, integrity, dan availability data
atau sistem komputer, seperti hacking, cracking, phreaking, viruses, dan lain-lain,
maupun tindak pidana yang dilakukan dengan menggunakan media teknologi

informasi dan komunikasi sebagai alat, seperti cyberfraud, credit card fraud,
cyberpornography, cyberstalking, cyberterrorism, dan lain-lain.9
Penggunaan jaringan internet (network) merupakan sebuah ruang
informasi dan komunikasi yang menjanjikan menembus batas-batas antar negara



7

Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi
Informasi: Regulasi dan Konvergensi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2013, halaman 13.
8
Niniek Suparni, Cyberspace: Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar
Grafika, Jakarta, 2009, halaman 1.
9
Sigid Suseno, Op.cit., halaman 2.

Universitas Sumatera Utara

dan mempercepat penyebaran dan pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan

ilmuwan dan cendikiawan di seluruh dunia. Internet membawa kepada ruang atau
dunia baru yang tercipta yang dinamakan cyberspace.10
Cyberspace adalah merupakan dunia virtual yang terbentuk dari hasil
penyatuan antara manusia dan teknologi, yaitu dari perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi (information and communication technology – ICT).
Teknologi informasi dan komunikasi merupakan gabungan dari teknologi
komputer, telekomunikasi, serta jaringan komputer, seperti yang digambarkan
oleh Koops:11
“technologies that store, transmit, and/or process information and
communication … the term is generally used to indicate “modern” or
“high” technology, in particular electronic data-processing technologies.
Thus, ICT focuses on computers, telecommunications, and computer and
telecommunication networks. The term is sometimes used as a virtual
synonym for the Internet”.
Cyberspace menampilkan suatu fakta, tetapi bukan realitas yang nyata
sebagaimana bisa dilihat dan dirasakan layaknya benda berwujud, melainkan
realitas virtual (virtual reality), bagaikan dunia maya atau dunia tanpa batas,
sehingga inilah sebenarnya yang dimaksud dengan borderless world, karena
memang dalam cyberspace tidak mengenal batas negara, hilangnya batas dimensi





10

Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman 4.
11
Bert-Jaap Koops, Should ICT Regulation be Technology-Neutral? Dalam Bert-Jaap
Koops, Miriam Lips, Corien Prins & Maurice Scellekens (eds), Starting Points for ICT
Regulation. Deconstructing Prevalent Policy One-Liners, IT & Law Series Vol. 9, The Hague:
T.M.C. Asser Press 2006.

Universitas Sumatera Utara

ruang, waktu, dan tempat.12 Semua tindak pidana yang dilakukan di cyberspace
tersebut termasuk tindak pidana siber13 (cybercrime).
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi harus disertai dengan
upaya untuk mengantisipasi, mencegah, dan memberantas tindak pidana siber
tersebut. Pencapaian hasil pembangunan akan terhambat jika langkah-langkah

tersebut tidak dilaksanakan secara konstruktif.14
Dengan bergesernya nilai peradaban manusia yang menimbulkan gerakan
mengembangkan hukum, peraturan, dan norma tidak tertulis dan upaya-upaya
untuk memelihara harmoni sosial, karena hukum itu hidup di tengah-tengah
masyarakat (living law).15 Jika suatu kejahatan terjadi, masyarakat akan bereaksi,
bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang melanggar hukum, dan perlu dicegah.
Pencegahan melalui pengaturan oleh peraturan perundang-undangan dapat
terbatas pada lokasi tertentu, misalnya kota, negara, bahkan secara global, seperti
kejahatan komputer atau kejahatan siber (cybercrime) yang telah berkembang di
Indonesia, maka diperlukan pengaturan, agar dapat mencegah dampak yang
negatif dan mendorong dampak yang positif, sehingga terjadi kondisi sosial yang
harmonis.16
Secara hukum, cybercrime bukanlah kejahatan yang sederhana karena
tidak menggunakan sarana konvensional, melainkan dengan menggunakan



12

Onno W. Purbo, Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia.

Kompas, 28 Juni 2000, halaman 50. Penggunaan istilah borderless world dalam konteks ini
berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Kenichi Ohmae, karena dalam konteks ini istilah
borderless world menunjuk kepada pergerakan dunia informasi melalui internet (yang di
dalamnya dapat saja terdapat unsur ekonomi).
13
Terminologi tindak pidana siber adalah padanan kata dalam Bahasa Indonesia yang
digunakan untuk terminologi cybercrime.
14
Sigid Suseno, Op.cit., halaman 2.
15
Sigid Suseno, Op.cit., halaman 3-5.
16
Niniek Suparni, Op.cit., halaman 2.

Universitas Sumatera Utara

komputer dan internet. Cybercrime juga bukanlah sekedar kejahatan di suatu
negara saja, akan tetapi juga menyangkut kejahatan antar kawasan dan antar
negara. Cybercrime merupakan salah satu bentuk kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crimes) atau paling kompleks untuk saat ini.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum
Siber. Istilah “hukum siber” diartikan sebagai padanan kata dari cyber law, saat
ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi. Istilah hukum siber yang digunakan dalam
tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber, jika diidentikkan dengan “dunia
maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan
penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi
kesulitan jika harus membuktikan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti)
suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, yaitu sesuatu yang tidak
terlihat dan semu.17
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas
dan normanya dan dapat dikatakan hukum yang hidup di masyarakat (living law)
serta berkembang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk menjaga ketertiban,
karena hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum, ketika
menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus
pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian,
tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini, yang
berkaitan dengan kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya



17

Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2010, halaman 2.

Universitas Sumatera Utara

tidak bisa lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat
dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi, baik pada pelaku
internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya
dalam pencurian dana kartu kredit (carding atau credit card fraud) melalui
pembelanjaan di internet.18 Carding atau credit card fraud adalah suatu bentuk
kejahatan yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk dibelanjakan tanpa
sepengetahuan pemiliknya.19
Perkembangan kasus carding di Indonesia bergerak sangat cepat. Menurut
hasil

riset

yang

dilakukan

oleh

perusahaan

sekuriti

Clearcommerce

(www.clearcommerce.com) yang berbasis di Texas, menyatakan bahwa Indonesia
berada di urutan pertama negara asal pelaku cyberfraud, ditambahkan pula bahwa
sekitar 20% (dua puluh persen) total transaksi kartu kredit dari Indonesia melalui
internet adalah kegiatan cyberfraud. Riset tersebut juga mensurvei 1.137
merchant, 6 juta transaksi, dan 40 ribu customer, yang dimulai dari pertengahan
tahun 2000 hingga akhir tahun 2001.20
Catatan Mabes Polri Divisi Cyber Crime pada tahun 2002 diperoleh data
bahwa kasus penipuan menggunakan kartu kredit (carding) menggunakan



18

Pembahasan mengenai e-commerce dan dampaknya terhadap perniagaan global
dapat dilihat lebih lanjut pada Abu Bakar Munir, Cyber Law Policies and Challenges, 1999,
halaman 205, Klaus W. Grewlich, Governance in “CyberSpace” access and Public Interest in
Global Communication, The Netherlands, 1996, halaman 48, ASEAN forum on Net Effect, The
Straits Times (Singapore), 3 September 1996, halaman 2, Assafe Endeshaw, Internet and ECommerce Law, 2001, halaman 258. Bandingkan dengan Leonard, Eamonn, Ahmad M. Ramli,
Kimberley, Paul, et.al., Government of Indonesia Information Infrastructure Development Project
(IIDP): Harmonisation and Enactment Planning for E-Commerce Related Legislation, Jakarta,
June, 2004, halaman 170-dst.
19
Ade Ary Syam Indradi, Carding: Modus Operandi, Penyidikan, dan Penindakan,
Pensil-234, Jakarta, 2006, halaman 4.
20
Donny BU, Komunitas Internet Indonesia Terkena Embargo, 9 Juli 2002,
http://www.free.vlsm.org/v03/com/ictwatc/paper/paper033.htm, diakses pada tanggal 15 Januari
2016, pukul 10.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

jaringan internet menduduki peringkat pertama dari kasus cybercrime yang terjadi
di Indonesia selama tahun 2002, yaitu sejumlah 152 kasus.21
Kejahatan carding adalah murni kejahatan lintas-negara (trans-national
crime), namun saat penanganannya, justru timbul kesulitan ketika banyak warga
negara asing yang menjadi korban kejahatan carding harus datang ke Indonesia
untuk memberikan keterangan kejadian yang dialaminya. Kesulitan bagi pelapor
warga negara asing ini terjadi karena pelapor harus mengeluarkan dana yang tidak
sedikit untuk terus-menerus ke Indonesia berkaitan dengan penyidikan kasusnya,
sehingga hal inilah yang menyebabkan banyaknya dark number pada kasus-kasus
carding yang terjadi.22
Indonesia pada tahun 2002, khususnya di provinsi Jawa Barat, menduduki
peringkat ke-3 dalam jumlah pelaku carding, yaitu 36 (tiga puluh enam) orang,
sedangkan pada tahun 2003 (sampai dengan bulan Agustus 2003) menduduki
peringkat pertama di Indonesia dengan sejumlah 10 (sepuluh) orang pelaku
carding atau credit card fraud. Polda Jawa Barat melalui Sat Opsnal II Direktorat
Reskrim telah beberapa kali menyidik kasus yang berkaitan dengan internet,
khususnya kejahatan carding, namun pada pelaksanaannya, dikhawatirkan praktik
penegakan hukum terhadap kasus carding oleh satuan ini tidak dapat
dilaksanakan sesuai apa yang diharapkan Penyidik pada umumnya, yaitu
membuktikan terjadinya tindak pidana.

23

Pembuktian terhadap cybercrime,

khususnya kejahatan carding ini merupakan faktor yang sangat penting,



21
Dit II Eksus-Unit V (TP, Teknologi Informasi) Bareskrim Polri, Data Kasus
Cybercrime Tahun 2001-2003.
22
Ade Ary Syam Indradi, Op.cit., halaman 5.
23
Ibid., halaman 6.

Universitas Sumatera Utara

mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum
acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya, data yang dimaksud sangat rentan
untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam
waktu hitungan detik, sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian
cepat, bahkan sangat dahsyat dalam melakukan transaksi.
Berdasarkan data dari Internet World Stats per tanggal 30 Juni 2010
Negara Indonesia termasuk negara tingkat tindak pidana carding tertinggi kedua
di dunia setelah Ukraina.24
Kejahatan carding atau credit card fraud sebagaimana telah dijelaskan
adalah suatu bentuk kejahatan yang menggunakan kartu kredit orang lain untuk
dibelanjakan tanpa sepengetahuan pemiliknya, dengan demikian pelaku kejahatan
carding yang telah membelanjakan kartu kredit milik orang lain tanpa
sepengetahuan pemiliknya ini telah memenuhi salah satu unsur di dalam tindak
pidana pencucian uang sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada
Pasal 3, sehingga dengan kata lain, kejahatan carding dengan tindak pidana
pencucian uang memiliki hubungan erat, artinya setelah tindak pidana kejahatan
kartu kredit (carding) terlaksana, maka hasil kejahatan carding tersebut
disembunyikan, ditempatkan, atau ditransfer dalam proses pencucian uang.
Berdasarkan fakta-fakta dan alasan-alasan yang ditimbulkan dari keadaan
di atas, maka diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi masukan yang baik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu hukum pidana.



24

Roy Suryo, Pemanfaatan IT dan Implikasinya terhadap Cybercrime, Makalah
Seminar, Jakarta, 9 Desember 2003.

Universitas Sumatera Utara

Uang hasil kejahatan kartu kredit (dirty money) tersebut ditempatkan,
ditransfer, dan disembunyikan dan/atau dibelanjakan melalui kegiatan pencucian
uang dan/atau money laundering agar tidak dapat dilacak oleh para penegak
hukum di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan/atau
aparat Kepolisian Negara RI, maka Pemerintah Republik Indonesia atas dorongan
negara-negara maju untuk segara menerbitkan Undang-undang Tindak Pidana
Pencucian Uang yang pertama, yaitu Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2002
telah dirubah menjadi Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan
dasar hukum untuk menindak para pelaku tindak pidana pencucian uang di
Indonesia, dengan demikian, hal-hal tersebut di ataslah yang mendorong Penulis
mengadakan penelitian untuk skripsi yang berjudul “Analisis Hukum terhadap
Kejahatan Carding dalam Perspektif Cyber Law di Indonesia”.
B.

Perumusan Masalah
a.

Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang kejahatan
carding dan kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang di
Indonesia?

b.

Apa faktor penyebab terjadinya kejahatan carding dalam
hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang?

c.

Bagaimana kebijakan hukum pidana dan upaya pencegahannya
terhadap penerapan kejahatan carding dalam kaitannya dengan
tindak pidana pencucian uang?

Universitas Sumatera Utara

C.

Tujuan Penelitian
a.

Untuk mengetahui pengaturan hukum yang mengatur tentang
kejahatan carding dan kaitannya dengan tindak pidana pencucian
uang di Indonesia;

b.

Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kejahatan carding
dalam hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang;

c.

Untuk

mengetahui

kebijakan

hukum

pidana

dan

upaya

pencegahannya terhadap penerapan kejahatan carding dalam
kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang.
D.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:
a.

Manfaat Teoritis:
i. Untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih
mendalam

tentang

kejahatan,

khususnya

mengenai

kejahatan carding;
ii. Untuk mengetahui korelasi atau keterkaitan antara kejahatan
carding dengan tindak pidana pencucian uang;
iii. Untuk mengkaji penerapan dan efektivitas Undang-undang RI
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagai dasar hukum yang dapat

Universitas Sumatera Utara

digunakan

untuk

mengantisipasi

dan

menanggulangi

kejahatan carding.
b.

Manfaat Praktis:
i. Untuk dijadikan sebagai pedoman dalam rangka menambah
pengetahuan masyarakat tentang kejahatan carding seiring
dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini;
ii. Untuk memberikan masukan bagi masyarakat dan kalangan
praktisi hukum demi menambah wawasan tentang kejahatan
carding sebagai salah satu cara untuk melakukan tindak
pidana pencucian uang;
iii. Untuk menumbuhkan kesadaran hukum di kalangan masyarakat,
khususnya bagi para pelaku kejahatan carding agar dapat
meminimalisir terjadinya kejahatan carding di Indonesia.

E.

Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran dan pemeriksaan yang telah dilakukan di

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tidak ditemukan judul
yang sama dengan skripsi-skripsi yang ada di dalam arsip perpustakaan tersebut.
Skripsi yang ditulis oleh Penulis adalah merupakan hasil dari buah pemikiran
Penulis dan ditambah dengan beberapa literatur, baik itu berupa buku-buku milik
Penulis sendiri, buku-buku yang ada di perpustakaan, maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Penulisan skripsi ini sepenuhnya murni dikerjakan oleh Penulis sendiri
dengan topik atau pembahasan yang Penulis kaji dan belum pernah dikaji oleh

Universitas Sumatera Utara

orang lain yang dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada di Sekretaris
Departemen Hukum Pidana. Jika ternyata terdapat judul yang sama sebelum
skripsi ini dibuat, maka Penulis bertanggung jawab sepenuhnya akan hal itu.
F.

Kerangka Teori dan Konsepsi
Penulis menggunakan pisau analisis berikut dalam kerangka teori dan

konsepsi, antara lain:
a.

Grand Theory
Adapun yang menjadi Grand Theory atau Teori Besar yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Teori Legal System dari
Lawrence Friedman, bahwa hukum terdiri dari sistem hukum (legal
system) memiliki cakupan yang luas dari hukum itu sendiri. Kata “hukum”
sering hanya mengacu pada aturan dan peraturan, padahal menurut
Lawrence Friedman, sistem hukum membedakan antara aturan dan
peraturan, struktur serta lembaga dan proses yang ada dalam sistem itu.
Bekerjanya hukum dalam suatu sistem ditentukan oleh 3 (tiga) unsur, yaitu
struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan
budaya hukum (legal culture).25
Struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka berpikir
yang memberikan pengertian dan bentuk bagi bekerjanya sistem yang ada
dengan batasan yang telah ditentukan. Jadi, struktur hukum dapat
dikatakan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan



25
Lawrence Friedman, American Law in an Intorduction, W.W. Norton & Company,
New York, halaman 4, dikutip dari buku Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia:
Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009,
halaman 14.

Universitas Sumatera Utara

segala proses yang ada di dalamnya. Struktur hukum (legal structure)
dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang menjalankan
proses peradilan pidana adalah Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan
Lembaga Pemasyarakatan.26
Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma, dan
pola perilaku manusia yang berada di dalam sistem hukum dan substansi
hukum (legal substance) berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang
berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa keputusan yang telah
dikeluarkan maupun aturan-aturan baru yang telah dan/atau akan disusun.
Substansi hukum (legal substance) tidak hanya terdapat pada hukum yang
tertulis (law in the book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup di
masyarakat (living law).27
Budaya hukum (legal culture) merupakan sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum. Sikap ini meliputi kepercayaan, nilai-nilai, ideide, serta harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya
hukum juga merupakan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum disalahgunakan. Budaya hukum (legal culture) mempunyai
peranan yang besar dalam sistem hukum. Tanpa budaya hukum (legal
culture), maka sistem hukum (legal system) akan kehilangan kekuatannya,
seperti ikan mati yang terdampar di keranjangnya, bukan ikan hidup yang




26
27

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

berenang di lautan (without legal culture, the legal system is meet-as dead
fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).28
Menurut Masaki Hamano dalam tulisannya yang berjudul
Comparative Study in the Approach to Jurisdiction in Cyberspace (Studi
Banding dalam Pendekatan Yurisdiksi di Mayantara), mengemukakan
terlebih dahulu adanya yurisdiksi yang didasarkan pada prinsip-prinsip
tradisional, menurutnya ada 3 (tiga) kategori yurisdiksi tradisional, yaitu
yurisdiksi legislatif (legislative jurisdiction atau jurisdiction to prescribe),
yurisdiksi yudisial (judicial jurisdiction atau jurisdiction to adjudicate),
dan yurisdiksi eksekutif (jurisdiction atau jurisdiction to enforce).29
Penulis mengamati bagaimana terjadinya kejahatan carding yang
menggunakan sarana dunia maya atau cyberspace untuk mencapai tujuan
akhir yaitu mengambil hak orang lain dengan mencuri atau menipu yang
melanggar norma-norma hukum.
b.

Middle Theory
Adapun yang menjadi Middle Theory atau Teori Tengah yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Penulis menggunakan Teori
Pertanggungjawaban Pidana (Responsiblity Crimes), yaitu teori yang
terdiri dari

2 (dua) istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban

dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Sebagaimana
liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua
karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau



28

Ibid.
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber
Crime di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, halaman 28.
29

Universitas Sumatera Utara

yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual
atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau kondisi
yang

menciptakan

tugas

untuk

melaksanakan

undang-undang.

Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan
kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undangundang yang dilaksanakan. Menurut pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu
tanggung jawab akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum,
sedangkan

istilah

responsibility

cenderung

merujuk

pada

pertanggungjawaban politik.30
c.

Applied Theory
Adapun yang menjadi Applied Theory atau Teori Terapan yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Teori Kebijakan Hukum
Pidana. Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris, yaitu policy atau
dalam bahasa Belanda, politiek, yang secara umum dapat diartikan sebagai
prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah
dalam arti luas termasuk aparat penegak hukum dalam mengelola,
mengatur,
masyarakat

menyelesaikan
atau

urusan-urusan

publik,

masalah-masalah

bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-

undangan, dan pengaplikasian hukum atau peraturan, dengan tujuan
(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau



30

Ridwan H. R., Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, halaman 335-337.

Universitas Sumatera Utara

kemakmuran masyarakat (warga negara). 31 Bertolak dari kedua istilah
asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat juga disebut
dengan istilah politik hukum pidana, dalam kepustakaan asing istilah
politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain
penal policy, criminal law policy, atau staftrechtspolitiek.32
Sebagai tujuan akhir dari penulisan skripsi ini, maka yang
merupakan final goal atau tujuan akhirnya adalah bahwa kejahatan
carding atau kejahatan kartu kredit merupakan kejahatan yang dilakukan
secara terstruktur dan sistematis, maka sangat diperlukan suatu kebijakan
hukum pidana berkaitan dengan kejahatan kartu kredit tersebut untuk
melakukan pencegahan agar tidak terjadi tindak kriminal yang merugikan
orang lain atas perbuatan tindak pidana dan penalisasi, yaitu sanksi apa
yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana, khususnya
kejahatan kartu kredit (carding).

Perbuatan kriminal dan/atau penal

dan/atau sanksi hukum menjadi masalah sentral dalam penanganannya
diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented
approach). Kriminalisasi (criminalisation) mencakup lingkup perbuatan
melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea),
sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment), maupun
tindakan (treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati,
jangan sampai menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip



31
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010, halaman 23-24.
32
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999, halaman 10.

Universitas Sumatera Utara

ultimum remedium atau ultima ratio principle dan menjadi bumerang
dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan (over
criminalisation), yang justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi
dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah
pragmatis dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan. 33 Pada tahap selanjutnya, hukum yang telah dipilih sebagai
sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur
negara, maka perlu ditindaklanjuti usaha pelaksanaan hukum sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Tahap ini termasuk ke dalam
bidang penegakan hukum, dalam hal ini perlu diperhatikan komponenkomponen yang terdapat dalam sistem hukum, yaitu struktur, substansi,
dan kultur.34
d.

Pengertian Kejahatan
Kejahatan adalah suatu perbuatan-perbuatan tertentu sebagai

perbuatan jahat, dengan demikian si pelaku disebut penjahat. Pengertian
mengenai penjahat sangatlah relatif karena pengertian tersebut bersumber
dari alam, yaitu sangat bergantung pada manusia yang memberikan
penilaian.
Secara empiris, pengertian kejahatan dapat dilihat dari dua
perspektif, pertama adalah kejahatan dalam perspektif yuridis, kejahatan



33
Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1
No. 3 tanggal 22 Agustus 2003, halaman 1-2.
34
Hakristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistis untuk
Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan, Jurnal Keadilan Vol. 3 No. 6, tahun 2003/2004.

Universitas Sumatera Utara

dirumuskan sebagai perbuatan oleh negara diberi pidana. Pemberian
pidana ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang
terganggu akibat perbuatan itu. 35 Kejahatan dalam arti yuridis dapat
dilihat, misalnya di dalam sistem KUHPidana di Indonesia. KUHPidana
membedakan antara perbuatan yang digolongkan “pelanggaran” dan
perbuatan yang digolongkan “kejahatan”. 36 Kedua, kejahatan dalam arti
(perspektif) sosiologis (kriminologis) merupakan suatu perbuatan yang
dari sisi sosiologis merupakan kejahatan, sedangkan dari segi yuridis
(hukum positif) bukan merupakan suatu kejahatan. 37 Artinya, perbuatan
tersebut oleh negara tidak dijatuhi pidana. Perbuatan ini dalam ilmu
hukum pidana disebut dengan strafwaardig, artinya perbuatan tersebut
patut atau pantas dipidana, dikarenakan penjatuhan pidana merupakan
upaya untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat
perbuatan (kejahatan) tersebut.38
Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan,
perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosialpsikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila,
dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup




35

B. Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung,
1981, halaman 70.
36
Gerson W. Bawengan, Op.cit., halaman 9.
37
B. Simanjuntak, Op.cit., halaman 70.
38
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Op.cit., halaman 38.

Universitas Sumatera Utara

dalam undang-undang, maupun yang belum tercakup dalam undangundang pidana).39
Pengertian Kejahatan Carding

e.

Carding atau credit card fraud, suatu kejahatan kartu kredit,
merupakan salah satu bentuk dari pencurian (theft) dan kecurangan (fraud)
di dunia internet yang dilakukan oleh pelakunya dengan menggunakan
kartu kredit (credit card) curian atau kartu kredit palsu yang dibuat sendiri
dengan tujuan untuk membeli barang secara tidak sah atas beban rekening
dari pemilik kartu kredit yang sebenarnya (yang asli) atau untuk menarik
dana secara tidak sah dari suatu rekening bank milik orang lain.40
Sudut

pandang

dalam

mengkaji

permasalahan

dengan

mengasumsikan adanya berbagai perubahan akibat dunia yang semakin
global dan tanpa batas (globalized and borderless world) berarti tidak
terpaut adanya jarak, ruang, dan waktu, maka dapat dianggap pula semakin
tidak terbatasnya kemungkinan perubahan dalam bidang teknologi, politik,
ekonomi, dan informasi-informasi lain.41
Perkembangan teknologi dengan berbagai bentuk kecanggihan
informasi, komunikasi, dan transportasi menjadi salah satu faktor yang




39

Kartini Kartono, Patologi Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,

halaman 126.
40
Wikipedia, Credit Card Fraud, http://en.wikipedia.org/wiki/credit_card_fraud,
diakses pada tanggal 21 Januari 2016, pukul 13.00 WIB.
41
Johannes Ibrahim, Kartu Kredit: Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2010, halaman 83.

Universitas Sumatera Utara

membuat modus kejahatan semakin marak dilakukan oleh pelaku-pelaku
kejahatan, diantaranya dengan menggunakan kartu kredit.42
Modus dalam kejahatan kartu kredit merupakan salah satu bentuk
kejahatan bisnis. Memahami makna dari kejahatan bisnis, perlu kiranya
untuk mencermati perkembangan yang terjadi dalam praktik bisnis dengan
berbagai modus, diantaranya adalah dalam bidang kompetisi yang dikenal
dengan unfair competion, yaitu berupa tindakan tying contract, exclusive
dealing, price discrimination, price fixing, penggabungan perusahaan,
false advertising (penipuan iklan), dan kejahatan lingkungan hidup
(environmental crime).43
Selanjutnya dipertegas bahwa kejahatan bisnis:44
“Meliputi serangkaian perbuatan salah atau jahat yang lebih luas
yang walau bagaimanapun juga merugikan dan selain itu tidak
diinginkan karena berakibat paksaan, kurang kompeten, kelalaian,
kecerobohan, kurangnya latihan, kurang jelasnya peraturan,
peluang, pelanggaran teknis, atau pikiran jahat belaka, bukannya
penipuan yang dikalkulasi saja dan bermotivasi kerakusan atau
ketamakan”.
Sebelum memahami kejahatan bisnis dengan lebih lanjut, perlu
diketahui mengenai pengertian dari kejahatan bisnis, pertama, yaitu
kelakuan tidak senonoh atau perbuatan jahat yang terjadi dalam
lingkungan bisnis dan kejahatan bisnis ini terjadi dalam kegiatan bisnis
yang legal. Permasalahan yang terutama dalam kejahatan bisnis adalah
sejauh mana konteks bisnis ini menyusun peluang-peluang bagi perbuatan
jahat dan bagaimana cara menangani perbuatan jahat dan tidak senonoh



42

Ibid.
Ibid.
44
Ibid.

43

Universitas Sumatera Utara

ini, kedua, adalah disediakannya kesempatan legal untuk eksploitasi dan
konsekuensi kunci pokok mengenai ini adalah dapat dipertandingkannya
delik tersebut. Dua hal yang dapat disimpulkan untuk menarik pengertian
tentang kejahatan bisnis adalah, pertama, perbuatan tidak senonoh atau
jahat yang terjadi dalam lingkungan yang sah dan yang kedua adalah
lingkungan itu menyediakan kejahatan bisnis dan ciri yang dapat
dipertandingkan.45
f.

Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda, yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan
istilah yang berbeda-beda dalam upaya memberikan arti dari strafbaar feit.
Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang
pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun
dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar
feit, yaitu sebagai berikut:46
a.

Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
perundang-undangan pidana. Hampir seluruh peraturan
perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana,
seperti dalam Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2002
dengan perubahannya, yaitu Undang-undang RI Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang, Undang-undang RI Nomor 6



45

Ibid., halaman 95.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, halaman 67-68.
46

Universitas Sumatera Utara

Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Undang-undang RI Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001, dan
perundang-undangan

lainnya.

Ahli

hukum

yang

menggunakan istilah ini, misalnya pendapat Wirjono
Prodjodikoro dan Andi Hamzah;
b.

Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum,
misalnya: R. Tresna dalam bukunya “Asas-asas Hukum
Pidana”, H. J. van Schravendijk dalam buku “Pelajaran
tentang Hukum Pidana Indonesia”, A. Zainal Abidin, dalam
bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk Undang-undang
juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu
dalam UUDS RI 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)];

c.

Delik,

yang

sebenarnya

berasal

dari

bahasa

Latin

“delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang
apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat
dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E. Utrecht,
walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni
peristiwa pidana (dalam buku “Hukum Pidana I”). A. Zainal
Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Moeljatno
pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku
“Delik-delik Percobaan, Delik-delik Penyertaan”, walaupun

Universitas Sumatera Utara

menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan
pidana;
d.

Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M. H. Tirta
Amidjaja yang berjudul “Pokok-pokok Hukum Pidana”;

e.

Perbuatan yang boleh dihukum, istilah tersebut digunakan
oleh M. Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang
Hukum Pidana”, begitu juga H. J. van Schravendijk dalam
bukunya

“Buku

Pelajaran

tentang

Hukum

Pidana

Indonesia”;
f.

Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk
Undang-undang di dalam Undang-undang Darurat RI
Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3);

g.

Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam
berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku “Asas-asas
Hukum Pidana”.

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan
Perbuatan Pidana (strafbaar feit) di dalam KUHPidana maupun di luar
KUHPidana, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan
arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman
pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini

Universitas Sumatera Utara

dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan
seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.47
Barda Nawawi Arief menyebutkan48 bahwa di dalam KUHPidana
hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHPidana) yang merupakan “landasan
yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang
dapat dipidana (strafbaar feit), sedangkan yang dimaksud dengan
“strafbaar feit” tidak dijelaskan, sehingga tidak ada pengertian atau
batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar
feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.
g.

Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Tak seorangpun yang benar-benar yakin kapan tepatnya tindak

pidana pencucian uang itu pertama kali dimulai, namun dapat dikatakan
bahwa hal tersebut telah berjalan sejak beberapa ribu tahun yang lalu.
“Lords of the Rim” Sterling Seagrave telah menjelaskan bagaimana para
pedagang di Tiongkok sekitar 2000 tahun sebelum kelahiran Nabi Isa
Almasih telah menyembunyikan kekayaan mereka dari pihak penguasa
yang akan mengambil harta mereka dan akan menghukum mereka.
Mereka menyembunyikan hartanya dengan cara menyimpan harta tersebut
di provinsi yang terpencil atau bahkan di luar Tiongkok, cara tersebut telah
melahirkan industri lepas pantai dan penghindaran pajak. Prinsip utama




47
Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan,
2015, halaman 78.
48
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Pengembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, halaman 73-74.

Universitas Sumatera Utara

itulah dari pencucian uang, yaitu menyembunyikan, memindahkan, dan
menginvestasikan harta kekayaan tersebut kepada pihak lain.49
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perserorangan
maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang
dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Para
penjahat tersebut bisa saja pengedar narkotika, organisasi kejahatan,
teroris, pedagang senjata, blackmailers, pemalsu kartu kredit, dan
sebagainya, berusaha menghilangkan asal usul uang kejahatan, sehingga
dapat menghindarkan pendeteksian dan risiko tuntutan pidana.50
Harta kekayaan atau uang yang berasal dari berbagai kejahatan atau
tindak pidana, pada umumnya tindak langsung dibelanjakan atau
digunakan oleh para pelaku karena apabila langsung digunakan, akan
mudah dilacak oleh penegak hukum tentang sumber diperolehnya uang
atau harta kekayaan tersebut. Para pelaku biasanya terlebih dahulu
mengupayakan agar uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari
kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system),
terutama ke dalam sistem perbankan (banking system) karena dengan cara
demikianlah, asal usul uang atau harta kekayaan tersebut diharapkan tidak
dapat dilacak oleh para penegak hukum.51
Secara garis besar, yang dipahami dari pendapat para pakar, baik
dari dalam maupun luar negeri, dapat disimpulkan bahwa kegiatan



49
H. Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia, CV. Malibu, Jakarta, 2004, halaman 1.
50
Ibid., halaman 2.
51
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

pencucian uang atau money laundering adalah suatu proses untuk
menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari
hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan/atau penyitaan. Hasil
akhir dari proses itu adalah hasil tindak pidana yang “menjelma” menjadi
uang yang sah.52
Pasal 1 angka 1 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

menyatakan bahwa:
“Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
ini”.
Unsur-unsur yang dimaksud tersebut dijelaskan lebih lanjut pada
Pasal 3 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu:
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
Pasal tersebut dapat dijadikan gambaran bagi masyarakat luas
mengenai apa yang dimaksud dengan kegiatan pencucian uang, akan tetapi
di lain pihak, pengertian tersebut akan membatasi ruang gerak para
penegak hukum dalam menentukan kejahatan pencucian uang yang



52

Ibid., halaman 3.

Universitas Sumatera Utara

notabene akan selalu mencari pola dan mekanisme kerja yang selalu
berubah-ubah dalam rangka menghindarkan diri dari pendeteksian, baik
dari Otoritas Keuangan maupun aparat penegak hukum.53
Pengertian Cyber Law

h.

Hukum Siber atau Cyber Law adalah istilah hukum yang terkait
dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan
adalah Hukum Teknologi Informasi (Law of Information Techonology)
Hukum Dunia Maya (Virtual World Law), dan Hukum Mayantara. 54
Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui
jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi, baik dalam lingkup lokal
maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi
berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat
dilihat secara virtual.55
Hukum pada prinsipnya merupakan pengaturan terhadap sikap
tindak (perilaku) seseorang dan masyarakat yang terhadap pelanggarannya
dikenakan sanksi oleh negara. Meskipun dunia siber adalah dunia virtual,
hukum tetap diperlukan untuk mengatur sikap tindak masyarakat yang
setidaknya karena 2 (dua) hal, yaitu pertama, yang berasal dari dunia
nyata. Masyarakat memiliki nilai dan kepentingan, baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama yang harus dilindungi. Kedua, walaupun




53

Ibid.
Ahmad M. Ramli, Op.cit., halaman 1-2.
55
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi
Pengaturan dan Celah Hukumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 3.
54

Universitas Sumatera Utara

terjadi di dunia virtual, transaksi yang dilakukan oleh masyarakat memiliki
pengaruh ke dunia nyata, baik secara ekonomis maupun non ekonomis.56
G.

Metode Penelitian
Adapun Metode Penelitian yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut:
a.

Spesifikasi Penelitian
Metodologi penelitian berfungsi sebagai alat untuk mengetahui

suatu masalah yang akan diteliti. Suatu penelitian biasanya dibedakan
antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai
perilakunya atau data empiris) dan dari bahan pustaka.57
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
penelitian hukum normatif atau doktriner, yaitu penelitian hukum yang
menggunakan data sekunder sebagai sumber atau bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier58, oleh karena spesifikasi
penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
hukum normatif, maka penelitiannya ditinjau dari sudut penelitian hukum,
yang mencakup:59
a.

Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b.

Penelitian terhadap sistematika hukum;

c.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;




56

Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum
Pidana, PT. Tatanusa, Jakarta, 2012, halaman 38-39.
57
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, halaman
51.
58
Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum: Panduan Penulisan Skripsi,
Tesis, dan Disertasi, PT. Sofmedia, Medan, 2015, halaman 97.
59
Soerjono Soekanto, Op.cit., halaman 51.

Universitas Sumatera Utara

d.

Penelitian sejarah hukum;

e.

Penelitian perbandingan hukum.

Dengan demikian, penelitian hukum yang dilakukan untuk
penulisan skripsi ini adalah penelitian terhadap asas hukum karena Penulis
berusaha untuk meneliti dan mendalami mengenai asas-asas hukum yang
berkenaan dengan kejahatan, khususnya adalah untuk kejahatan carding
itu sendiri penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum karena Penulis
ingin melihat ketersinambungan antara peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kejahatan carding dengan praktik terhadap
kesesuaian dari peraturan-perundang-undangan tersebut.
b.

Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah

metode pendekatan empiris atau yuridis sosiologis yang dalam
penelitiannya, Penulis memulai dari berlakunya hukum positif dan
pengaruh berlakunya hukum positif terhadap kehidupan masyarakat, serta
pengaruh faktor non hukum terhadap terbentuknya, serta belakunya
ketentuan hukum positif.60
c.

Lokasi Penelitian, Populasi, dan Sampel
Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah di Jakarta Selatan dengan

alasan untuk menunjang fakta-fakta hukum berdasarkan bahan hukum
yang diperoleh tersebut karena contoh kasus yang telah diputuskan oleh
Majelis Hakim di terdapat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah



60

Ediwarman, Op.cit., halaman 100.

Universitas Sumatera Utara

memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga
dapat

dijadikan

Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel)

1 57 168

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Medan

0 27 5

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193/Pid/B/2013/Pn.Jak.Sel.)

6 50 210

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

1 2 11

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

0 0 2

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

1 1 59

Analisis Hukum Terhadap Kejahatan Carding Dalam Perspektif Cyber Law Di Indonesia (Studi Putusan Pn Jakarta Selatan No. 1193 Pid B 2013 Pn.Jak.Sel.)

3 5 6