Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel)
ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN
(Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/PN.Jak.Sel)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
MAYORUDIN FEBRI NIM : 080200010
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN
(Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/PN.Jak.Sel)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
MAYORUDIN FEBRI NIM : 080200010
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M.Hamdan, SH.MH NIP. 195703261986011001
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Liza Erwina, SH.M.Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum
NIP. 196110241989032002 NIP. 197302202002121001 FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas berkat dan anugerah Allah SWT, karena kasih dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/Pn.Jak.Sel) ini.
Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini. Untuk itu, dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.
Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.,M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.,M.Hum., DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan.
4. Bapak Muhammad Husni , SH.,MH., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU Medan.
(4)
5. Bapak Dr. M.Hamdan, SH.,MH., sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.
6. Ibu Liza Erwina, SH.,M.Hum., sebagai sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan dan juga sebagai Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi ini.
7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum., sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, pikiran dan memberikan ilmunya serta mengarahkan penulis dalam pembuatan skripsi baik materi maupun moril.
8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh staf tata usaha dan staf administrasi perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10.Orang tua terkasih, Maryono dan Elita yang telah membesarkan, memotivasi, mendidik, dan memenuhi seluruh kebutuhan penulis selama ini serta dengan berlimpah kasih sayang, penulis ucapkan terima kasih.
11.Untuk saudara tercinta, Miftahudin/Rozulyana, Yesi Karmila, dan keponakan terkasih Kayra yang selalu mendukung, membantu serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12.Keluarga terkasih yang selalu merawat, menjaga, membimbing dan mengarahkan masa depan penulis di perantauan, Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum dan Imelda Novitasari, S.Pd. yang telah banyak membantu
(5)
penulis dalam memotivasi dan mendoakan penulis selama ini baik materi maupun moril. Keponakan tersayang, Fateh dan Mahesa yang selalu menjadi semangat bagi penulis.
13.Keluarga besar penulis baik dari ayah maupun ibu yang penulis sayangi dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
14.Rekan juang yang selalu membangkitkan semangat dan membangun motivasi penulis: Panca, Hady, Anda, Dendi, Yudhi, Ranni, Nissa, Hendy, Gading, Tigan, Bowo, Romi, Rian, Dhirgan, Mulkan, Ikbal, Randa, serta teman-teman stambuk 2008 yang telah mengukir kenangan dan melukis suka duka bersama, memberikan bantuan materil maupun moril, serta yang memberikan warna dalam hidup penulis selama di perkuliahan.
15.Kawan-kawan dan keluarga besar Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum USU Periode 2011-2012 tempat penulis menempa pengalaman berorganisasi. Terimakasih atas kerjasama, bantuan dan memotivasinya sehingga kita semua mendapatkan proses pembelajaran bersama dan tetap bersatu sampai akhir periodesasi.
16.Buat keluarga Besar HMI FH USU, Kawan-kawan KAM MADANI FH USU, PEMA USU, KSIC, BTM FH USU.
17.Seseorang yang tak henti menyemangati dengan penuh kesabaran dan kesetiaan. Dekat lebih dekat dan jauh terasa dekat.
18.Berbagai pihak yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis selama ini yang juga tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
(6)
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah-lah yang dapat membalas budi baik semuanya.
Semoga ilmu yang penulis peroleh selama ini dapat bermanfaat bagi penulis untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Medan, Juni 2012
Penulis,
(7)
DAFTAR ISI
KATA PERNGANTAR ... i DAFTAR ISI ... v ABTRAKSI ... vii BAB I : PENDAHULUAN
A. ... L atar belakang ... 1 B. ... P
erumusan Masalah ... 9 C. ... T
ujuan Penelitian ... 9 D. ... M
anfaat Penelitian ... 10 E.... K
easlian Penulisan ... 10 F. ... M
etode Penelitian ... 11 a) ... J
enis Pendekatan ... 11 b) ... S
umber Data ... 12 c) ... P
(8)
d) ... A nalisis Data ... 15 BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN ... 16
A. ... T indak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya ... 19 1.... I stilah Tindak Pidana Korupsi ... 21 2.... S
elayang Pandang Sejarah Perundang-undangan Korupsi
di Indonesia ... 39 3... P
erkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 46 4.... U
nsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan
Kerugian Keuangan Negara ... 48 5.... S
ubjek Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi ... 63 B. ... T
indak Pidana di bidang perbankan ... 71 C. ... T
indak pidana korupsi di Bidang Perbankan ... 83 BAB III : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK
(9)
PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN DALAM KASUS DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR : 2068/PID B/ 2005/ PN JAK. SEL ... 90 A. ... P
osisi Kasus ... 90 1.... K
ronologis Perkara ... 90 2.... D
akwaan ... 104 3... T
untutan Pidana ... 105 4.... P
ertimbangan Hakim ... 106 5.... A
mar Putusan ... 132 B. ... A
nalisis Kasus ... 133 1.... T
entang Pertimbangan Hukum ... 135 2.... T
entang Putusan ... 146 BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 148
(10)
A. ... K esimpulan ... 148 B. ... S
aran ... 151 DAFTAR PUSTAKA
(11)
ABSTRAK Mayorudin Febri* Liza Erwina, SH.,M.Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum***
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis tanpa terkecuali di bidang perbankan. Penegakan hukum pidana terhadap kejahatan perbankan dalam praktiknya sering memunculkan kecenderungan untuk memasukkan penanganan kasus-kasus perbankan itu kedalam wilayah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi disamping ketentuan pidana dalam undang-undang perbankan sendiri.
Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi yang dilakukan di bidang perbankan dan bagaimana analisis yuridis hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi di bidang perbankan dalam kasus dengan Register Nomor : 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data skunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Disamping itu, skripsi ini menganalisis putusan tindak pidana korupsi dengan Register Nomor: 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel.
Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah,
pertama pengaturan korupsi di bidang perbankan melibatkan dua domain hukum yang berbeda yaitu tindak pidana korupsi (UU PTPK) dan tindak pidana perbankan (UU Perbankan) dimana keduanya memiliki kualifikasi sebagai undang-undang pidana khusus. Tindak pidana perbankan yang diatur dalam UU Perbankan dapat berkembang menjadi tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK, diantaranya pasal 49 ayat (2) b, Pasal 50 dan Pasal 50 a UU Perbankan. Kedua, pada kasus korupsi yang dibahas dalam skripsi ini berdasarkan uraian pertimbangan dan fakta-fakta di persidangan, maka perbuatan terdakwa dalam kasus tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian, asas perkreditan yang sehat dan telah mengabaikan prinsip-prinsip good corporate governance yang berada dalam ranah UU Perbankan. Kasus ini lebih tepat diadili dengan instrumen yang terkait dengan tindak pidana di bidang perbankan dan bukan sebaliknya dalam ranah tindak pidana korupsi. Putusan bebas murni (vrijspraak) yang di berikan Hakim dalam perkara ini adalah sudah tepat karena tidak terbukti adanya kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatan para terdakwa.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara **
Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
***
Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(12)
ABSTRAK Mayorudin Febri* Liza Erwina, SH.,M.Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum***
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis tanpa terkecuali di bidang perbankan. Penegakan hukum pidana terhadap kejahatan perbankan dalam praktiknya sering memunculkan kecenderungan untuk memasukkan penanganan kasus-kasus perbankan itu kedalam wilayah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi disamping ketentuan pidana dalam undang-undang perbankan sendiri.
Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi yang dilakukan di bidang perbankan dan bagaimana analisis yuridis hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi di bidang perbankan dalam kasus dengan Register Nomor : 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data skunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Disamping itu, skripsi ini menganalisis putusan tindak pidana korupsi dengan Register Nomor: 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel.
Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah,
pertama pengaturan korupsi di bidang perbankan melibatkan dua domain hukum yang berbeda yaitu tindak pidana korupsi (UU PTPK) dan tindak pidana perbankan (UU Perbankan) dimana keduanya memiliki kualifikasi sebagai undang-undang pidana khusus. Tindak pidana perbankan yang diatur dalam UU Perbankan dapat berkembang menjadi tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK, diantaranya pasal 49 ayat (2) b, Pasal 50 dan Pasal 50 a UU Perbankan. Kedua, pada kasus korupsi yang dibahas dalam skripsi ini berdasarkan uraian pertimbangan dan fakta-fakta di persidangan, maka perbuatan terdakwa dalam kasus tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian, asas perkreditan yang sehat dan telah mengabaikan prinsip-prinsip good corporate governance yang berada dalam ranah UU Perbankan. Kasus ini lebih tepat diadili dengan instrumen yang terkait dengan tindak pidana di bidang perbankan dan bukan sebaliknya dalam ranah tindak pidana korupsi. Putusan bebas murni (vrijspraak) yang di berikan Hakim dalam perkara ini adalah sudah tepat karena tidak terbukti adanya kerugian negara yang ditimbulkan dari perbuatan para terdakwa.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara **
Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
***
Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(13)
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Lord Acton pernah membuat ungkapan yang menghubungkan antara “Korupsi” dengan “Kekuasaan”, yakni “Power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.1 Artinya, kekuasaan adalah bagian yang sangat rentan terhadap penyakit korupsi. Secara tidak langsung hal ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat mempermudah bagi pemangkunya untuk menjelma menjadi seorang koruptor.
Permasalahan korupsi juga merupakan bagian dari persoalan hukum, sebab melalui hukum, korupsi diharapkan dapat diberantas. Hukum itu sendiri menurut
Hamaker dirumuskan sebagai suatu refleksi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, hukum tidak bisa lepas dari kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan
Roscoe Pound menegaskan “law is a tool of social engineering” atau hukum sebagai alat mengatur dan mengelola masyarakat. Dengan kata lain, hukum harus mengarahkan menuju masyarakat yang lebih baik.2 Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak
1
Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 1
2
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan praktik, Penaku bekerja sama dengan Maharini Press, Jakarta, 2008, halaman 1
(14)
boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.3
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis.4 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hak-hak sosial masyarakat yang mulai endemis dan sistemis. Korupsi juga dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada masa pemerintahan/ kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile crime) dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.5 Korupsi juga salah satu akar permasalahan yang memperburuk krisis ekonomi yang terjadi di negara ini dan menghambat jalannya sistem hukum yang diamanatkan undang-undang.
Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang hanya merugikan keuangan dan/ atau perekonomian negara saja, tetapi juga sudah sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, terdapat cukup alasan yang rasional untuk mengkategorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa juga (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).6
3
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Jogyakarta, 1995, halaman 41
4
Penjelasan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Paragraf ke-2 5
Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289 6
H. Elwi Danil. Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. halaman: 76
(15)
Marwan Effendy mengemukakan bahwa korupsi semakin terpola dan sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime saja, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.7
Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, keuangan negara pada Perjan, Perum, Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. Keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan negara.8 Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini dari pemerintahan yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah
7
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club (ILC), Surabaya, 2010, halaman 4
8
(16)
budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancama terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.9
Pelbagai peraturan perundang-undangan yang lahir dengan maksud untuk memberantas korupsi telah diterbitkan, namun praktik korupsi masih terus berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya.10 Bahkan hal ini diperparah lagi dengan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang seharusnya bertugas memberantas korupsi dan menegakkan peraturan yang berlaku.11
Tindak pidana korupsi di Indonesia tetap saja terus merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, setidaknya hal itu dapat dirasakan di kehidupan sehari-hari tanpa terkecuali di bidang perbankan. Lembaga perbankan dalam perekonomian Indonesia menduduki posisi yang strategis. Perekonomian nasional dan internasional berkembang dengan sangat cepat, kompetitif dan terintegrasi, sehingga memunculkan tantangan yang semakin kompleks dan menuntut sistem yang semakin maju. Fungsi bank tidak hanya sekedar sebagai lembaga yang hanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam berbagai fasilitas perbankan (financial intermediary), namun telah jauh berkembang menjadi pilar bagi pertumbuhan ekonomi, sosial, bahkan politik.12
9
Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 1 10
Firman Wijaya, Opcit halaman 1-2 11
Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan mengakibatkan lembaga peradilan menjadi tidak independen dan tidak imparsial, sehingga timbul ketidakpastian hukum, ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat dan hakim) kemudian selanjutnya inilah yang disebut sebagai judicial corruption. (Frans H. Winarta, Opcit halaman 289-290)
12
Marwan Effendy, Korupsi dan Pencegahan, Timpani Publishing, Jakarta, 2010, halaman 1
(17)
Posisi perbankan yang strategis tersebut menempatkan perbankan pada fungsi dan peranan yang dominan dalam menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.13 Lembaga perbankan juga sangat penting dalam menunjang sistem keuangan nasional, skaligus sebagai lembaga intermediasi.14 Fungsi sebagai lembaga intermediasi ini dapat diartikan sebagai penghubung atau perantara keuangan baik secara langsung maupun tak langsung antara masyarakat yang membutuhkan dana, masyarakat yang surplus dana maupun dengan pemerintah.
Sejalan dengan semakin strategisnya peranan perbankan dalam mendorong perekonomian nasional, bank-bank nasional maupun swasta semakin mengembangkan kegiatan usahanya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat melalui simpanan dana dari masyarakat dan dilanjutkan dengan pemberian kredit kepada masyarakat juga nantinya. Situasi yang semakin kompetitif seperti ini menuntut pihak bank untuk mampu bersaing melalui berbagai fasilitas-fasilitas yang di tawarkannya.
Fasilitas-fasilitas atau produk yang ditawarkan Perbankan diantaranya dalam bentuk produk tabungan, deposito, kredit, giro, cek wisata (trevelers chck), pengiriman uang, inkaso, kartu kredit, ATM (Autometic Teller Machine), jual beli valuta asing (money changer), jasa penyimpanan barang-barang berharga (custody service), jasa pialang, garansi bank, dana pensiun, dan lain sebagainya.15
13
Ibid.
14
H. Elwi Danil, Opcit, halaman: 1 15
(18)
produk tersebut kesemuanya itu dilakukan dalam rangka menarik nasabah sebanyak-banyaknya demi kelangsungan usaha perbankan.
Kegiatan operasional suatu bank bertumpu pada ketersediaan sumber dana dan pengelolaan sumber dana (asset liabilities management). Kesalahan dalam mengurus pengelolaan dana, pasti akan menimbulkan permasalahan dalam bank.16 Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwasanya nasabah adalah sumber nyawa dari pada aktivitas perbankan.
Pengaturan-pengaturan atau regulasi yang tegas dan jelas mengenai rambu-rambu yang akan dijadikan sebagai acuan terkait dengan aktivitas perbankan ini tentu saja harus terlebih dahulu diciptakan. Regulasi tersebut dapat dipergunakan sebagai instrumen untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin muncul dalam setiap aktivitas perbankan . Pengaturan mengenai ketentutan pidana dalam bidang perbankan diatur lebih lanjut dalam undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan).
Penegakan hukum pidana terhadap kejahatan perbankan dalam praktiknya sering memunculkan kecenderungan untuk memasukkan penanganan kasus-kasus perbankan itu kedalam wilayah ketentuan-ketentuan hukum pidana tentang korupsi, disamping ketentuan pidana dalam Undang-undang Perbankan sendiri.17 Artinya, penanganan korupsi di bidang perbankan ini melibatkan dua domain hukum yang berbeda yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan dimana kedua-duanya memiliki sisi yang sama pentingnya.
16
Elwi Danil, Opcit, halaman 6 17
(19)
Skripsi ini akan membahas dan menganalisia secara yuridis terkait dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dibidang perbankan dengan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel dengan terdakwa mantan direktur PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. yaitu Edward Cornellis William Neloe dan beberapa stafnya yang terlibat, diantaranya; I Wayan Pugeg (Mantan Direktur Risk Management PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., dan M. Soleh Tasripan, SE.,MM (Mantan EVP Coordinator Corporate & Government PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Para terdakwa divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Putusan Nomor: 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel, tanggal 16 Februari 2006. Kesemuanya itu akan dirangkum dalam penulisan skripsi ini.
Kasus tindak pidana korupsi pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. yang didakwakan kepada para terdakwa lahir sebagai konsekuensi atas tindakan para terdakwa yang dianggap telah mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara. Para tedakwa selaku pemutus kredit telah menyetujui/ memproses surat No. 001/CGN/X/2002 perihal permohonan fasilitas kredit PT. Cipta Graha Nusantara (selanjutnya disebut PT. CGN) sebesar USD. 18.500.000.00 (delapan belas juta dolar Amerika) dengan pemberian kredit Bridging Loan sejumlah Rp. 160.000.000.000,- (seratu enam puluh milyar) yang tertuang dalam Nota Analisa Kredit Bridging Loan No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002 perihal Permohonan fasilitas Bridging Loan yang diajukan saksi Edyson selaku Direktur Utama PT. CGN.18
18
http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=24&idsu=15&id=1268 diakses pada hari selasa, tanggal 24 Januari 2012 pukul 14.23 Wib.
(20)
Para terdakwa tidak memastikan bahwa pemberian kredit terhadap PT. CGN telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan. Para terdakwa selaku pemutus kredit telah menyetujui untuk memberikan kredit Bridging Loan
kepada PT. CGN sejumlah Rp. 160.000.000.000,- (seratus enam puluh milyar rupiah) dengan tidak memenuhi norma-norma umum perbankan dan tidak sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat sebagaimana diatur dalam artikel 520 Kebijakan Pekreditan Bank Mandiri (KPBM) tahun 2000.19
Fasilitas Bridging Loan dan pembiayaan secara refinancing sebagaimana hasil Nota Analisa Kredit No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002 perihal permohonan fasilitas Bridging Loan atas nama PT. CGN tidak diatur, baik oleh ketentuan Bank Indonesia maupun ketentuan PT. Bank Mandiri. Ketentuan
Bridging Loan dan pembiayaan secara refinancing tersebut baru diatur setelah para terdakwa menyetujui kredit Bridging Loan Rp. 160.000.000.000,- (seratus enam puluh milyar) kepada PT. CGN, yaitu dalam KPBM tahun 2004 Artikel 620 tentang Produk Perkreditan. Akibat perbuatan para terdakwa menyebabkan kerugian keuangan negara sejumlah Rp. 160.000.000.000,- (seratus enam puluh milyar rupiah).20
Kasus-kasus seperti ini penting untuk disoroti karena sangat meresahkan masyarakat, dan merugikan negara. Korupsi melemahkan kemampuan negara untuk menyediakan barang-barang publik yang mendasar bagi kepentingan umum. Korupsi juga semakin memperburuk citra pemerintah dimata masyarakat
19
Ibid.
20
(21)
yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa.21 Mengingat tindak pidana korupsi ini dilakukan di bidang perbankan tentu saja akan mempengaruhi sistem perekonomian nasional dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara. Disamping itu juga menarik untuk ditelaah berbagai peraturan yang terkait dengan tindak pidana ini, baik regulasi di bidang perbankan maupun berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu sendiri.
2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam bidang perbankan?
2. Bagaimanakah analisis yuridis hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi di bidang perbankan dalam kasus dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Register Nomor : 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menganalisa dan mengkaji ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana korupsi yang dapat menjerat pelaku tindak pidana di bidang perbankan.
21
http://www.kpk.go.id/modules/editor/doc/strategic/plan_plan_2008_to_2011_id.pdf,ren cana strategic komisi pemberantasan korupsi,2008-2011. Diakses pada tanggal 2 februari 2011 pukul 22.00 WIB.
(22)
2. Menganalisa dan mengkaji penegakan hukum pidana dalam mengaplikasikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pelaku perbankan dengan melihat dan meenganalisa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel.
4. Manfaat Penelitan a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan tindak pidana korupsi di bidang perbankan sehingga kemungkinan terjadinya kerancuan-kerancuan dan tumpang-tindih hukum dapat diminimalisasi.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan. 5. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Di Bidang Perbankan (Studi Putusan PN Jakarta Selatan Nomor: 2068/Pid. B/2005/PN.Jak.Sel) berdasarkan pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan, sedangkan penulisan yang berkaitan dengan tindak pidana
(23)
korupsi ada ditemukan penulis tetapi hanya secara khusus membahas masalah proses penyidikan tindak pidana korupsi di bidang perbankan yang yang ditulis oleh Saudara Novan Nadian. Penulisan tersebut mempunyai bahasan permasalahan yang berbeda dengan penulisan skripsi yang dilakukan oleh penulis.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari keterangan-keterangan baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di bidang perbankan. Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.
6. Metode Penelitian A. Jenis Pendekatan
Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang perbankan dengan menelaah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 2068/Pid.B/2005/PN. Jak. Sel. atas nama terpidana Mantan Direktur bank Mandiri Tbk. dkk.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitin hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan
(24)
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.22
Pendekatan kasus (case aproach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaedah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi fokus penelitian.23
B. Sumber Data
Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustaka (data sekunder). 24 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal data sekunder saja.25 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.26
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari; 1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945;
2. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
22 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. halaman 118
23
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasakan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum itu sendiri. Dengan demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, Teori dan metodelogi penelitian hukum normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, halaman 321)
24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman 12
25
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Opcit,halaman31 26
(25)
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun1998;
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang bank Indonesia sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun2004;
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;
8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;
9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
10.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;
11.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas;
(26)
12.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1985 Tentang Pasar Modal;
13.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 2068/Pid.B/2005/PN. Jak. Sel Tanggal 16 Februari 2006 dengan Terdakwa E.C.W. Neloe dkk. 14.Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya;
1. Buku-buku yang terkait dengan hukum; 2. Artikel di jurnal hukum;
3. Komentar-komentar atas putusan pengadilan; 4. Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum;
5. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademis yang ada hubungannya dengan peenelitian ini.
c) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya;
1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia;
2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini;
3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana korupsi khususnya di bidang perbankan.
C. Pengumpulan Data
Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang
(27)
meliputi bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.27 Studi kepustakaan yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang perbankan, termasuk juga bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini.
D. Analisis Data
Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.28 Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.29 Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.
27
Ibid,halaman 68 28
Patton membedakan proses analisis data dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari pala hubungan antar dimensi-dimensi uraian. (Lexy J. Moeleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, halaman 103)
29
(28)
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PERBANKAN
Hukum pidana adalah hukum yang memuat tentang tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), hukum pidana formil (criminal procedure) dan sanksi (sentence).30 Van Hamel mendefinisikan hukum pidana sebagai semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut.31 Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:32
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara yang bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.
Hukum pidana adalah hukum undang-undang sebagai kesimpulan dari “sine praeviea lege poenali” yang merupakan bagian dari adagium terkenal dari
30
Abul Khair & Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, USU press, Medan, 2011, halaman 1-2
31
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, halaman 8 32
(29)
Von Feurbach, nulum delictum noela poena sine praeviea lege poenali. Adagium tersebut selanjutnya menjadi dasar asas legalitas hukum pidana, yang dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.33 Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa:
Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-undang yang telah ada lebih dahulu dari pada perbuatan itu.
Artinya, seseorang hanya dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang telah dirumuskan dalam ketentuan undang-undang sebagai tindak pidana.34 Jawaban normatif yang lazim diberikan oleh hukum pidana berdasarkan asas legalitas adalah bahwa seseorang hanya dapat dipersalahkan sebagai telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut oleh hakim telah dinyatakan terbukti bersalah telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang bersangkutan seperti yang telah dirumuskan dalam undang-undang.35 Hal ini sejalan dengan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya tentu harus tercipta terlebih dahulu regulasi yang melegalkan atau tidak melegalkan suatu perbuatan sehingga jelas perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana atau bukan.
Jonkers membagi perbuatan pidana dalam arti singkat dan luas. Dalam arti singkat, perbuatan pidana adalah perbuatan yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana. Dalam arti luas, perbuatan pidana adalah perbuatan dengan
33
Komariah Emong Sapradjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, halaman 12-13
34
Tongat, Hukum Pidana Materil, Penerbitan Universitas Muhammadiah Malang, Malang, 2003, halaman 2
35
(30)
sengaja atau alpa, yang dilakukan seseorang dengan melawan hukum, yang dapat dipertanggungjawabkan oleh orang tersebut.36
Menurut Pompe, perbuatan pidana adalah pelanggaran norma yang diadakan karena pelanggar bersalah dan harus dihukum untuk menegakkan aturan hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Perbuatan pidana adalah suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan, yaitu melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana. Menurut hukum positif, perbuatan pidana tidak lain dari suatu perbuatan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhi hukuman.37
Simons memberikan arti dari perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah, dan orang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya “straffbaar feit” omschrijven als eene strafbaar gestede, onrechmatige, met schuld in verbband staande hendeling van een toerekeningsvat baar person”.38
Perumusan tentang perbuatan pidana juga dikemukakan oleh Prof. Moeljatno yang merumuskan strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (barang siapa melanggar larangan tersebut) dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang
36
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, halaman, 20
37
Ibid, halaman, 21 38
(31)
dicita-citakan oleh masyarakat itu.39 Berdasarkan definisi tentang perbuatan pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum tersebut diatas terlihat jelas bahwa istilah “perbuatan pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit” meliputi perbuatan pidana itu sendiri dan juga termasuk pertanggungjawaban pidananya.40
D. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya
Pepatah inggris mengatakan “money is the root of all evil”, artinya uang adalah akar dari segala kejahatan. Pepatah tersebut sangat sesuai dengan anatomi kejahatan korupsi, karena bersinggungan atau identik dengan masalah-masalah ekonomi, jabatan, kekuasaan dan juga politik yang pada akhirnya bermuara ke materi yang identik dengan uang.41 Tindak pidana korupsi adalah salah satu bentuk dan dimensi perkembangan kejahatan yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian sekaligus menjadi keperihatinan dunia internasional.42
Korupsi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia, karena telah ada sejak tahun 1950-an. Korupsi seolah telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara.43 Fenomena korupsi di Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat, bahkan jauh sebelum merdeka yaitu pada zaman penjajahan. Salah satu bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah dengan adanya
39
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Patahaem, Jakarta, 1996, halaman 204
40
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, halaman, 22
41
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, graham Ilmu, Jogyakarta, 2010, halaman 67
42 Ibid.
43
Penanggulangan korupsi di Era 50-an tersebut dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. (http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak pidana/#ixzz1aAXOjzOd diterbitkan pada tanggal 20 Juli 2010 dan diakses oleh penulis pada tanggal 5 Februari 2012 pukul 12.05 Wib.)
(32)
tradisi mermberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat tertentu kepada penguasa setempat atau kepada penjajah pada masa itu. 44
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru dimana gejolak korupsi ini meningkat di negara berkembang, negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Korupsi sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron (seorang sosiolog) berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa.45
Korupsi di Indonesia sudah semakin parah dan akut seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi negara seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif hingga ke BUMN. Begitu banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan, baik itu korupsi dalam jumlah yang sedikit maupun dalam jumlah luar biasa. Apalagi mengingat diakhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana, mulai dari pejabat kecil sampai pejabat tinggi.46
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang mulai tidak terkendali akan membawa bencana, tidak hanya bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International pada tahun 2011 terhadap 183 negara di dunia
44
http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di indonesia- tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/ halaman 1
45
Ibid, halaman 2 46
Rohim, SH, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, halaman 3
(33)
mengenai Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) tersebut menunjukkan Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Hasil survei tersebut berdasarkan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011. Rentang indeks berdasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar. Indeks tersebut memposisikan Indonesia di peringkat ke-100 bersama 11 negara lainnya yakni Argentina, Benin, Burkina Faso, Djobouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4).47
1. Istilah Tindak Pidana Korupsi
Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia memperkenalkan istilah korupsi pertama kali digunakan dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum yang mulai akrab di Indonesia. Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsideransnya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.48
UU PTPK tidak memuat pengertian tentang tindak pidana korupsi. Akan tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK mengatur secara tegas mengenai
47
http://nasional.kompas.com/ read/ 2011/ 12/ 01/ 17515759/ Indonesia. Peringkat. Ke-100. Indeks. Persepsi. Korupsi. 2011 diakses pada tanggal 5 Februari 2011 pukul 00.27 Wib.
48
(34)
unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…
Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...
Definisi yuridis dalam UU PTPK tersebut merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di suatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara.49
Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Undang-undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.50
Tujuan pemerintah dan pembuat undang-undang melakukan revisi atau
49
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz1aAXOjzOd.
50
(35)
mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.51 Pemahaman atas hal tersebut akan sangat mambantu mempermudah segala tindakan hukum dalam rangka pemberantaan korupsi, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.
Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang bila diterjemahkan secara harfiah adalah pembusukan, keburukan, kebejadan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah. Pendapat lain bahwa dari segi istilah ”korupsi” yang berasal dari kata ”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery” atau ”seduction”. Bribery dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sedengakan seduction
berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.52
Korupsi juga banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Banyak istilah yang terdapat di berbagai negara menyikapi korupsi yang menyangkut ketidakjujuran ini diantaranya di Muangthai korupsi dikenal akrab dengan istilah “gin moung”, “tanwu” di Cina yang berarti keserakahan,
51
Ibid.
52
(36)
bernoda. Jepang lebih akrab menyapa korupsi dengan istilah “Oshoku” yang berarti kerja kotor.53
Meskipun kata-kata corruptio memiliki arti luas, sering diartikan sebagai penyuapan. Istilah korupsi juga disimpulkan dalam bahasa Indonesia oleh Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa “Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.54
Black’s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.55
Perkembangan pengertian korupsi dapat ditinjau dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh beberapa pakar, diantaranya:56
1. Rumusan korupsi dari sudut pandang jabatan
a. L. Bayley mengatakan korupsi sebagai perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan untuk keuntungan pribadi.
b. J.S. Nye mengemukakan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena
53
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi
(UU No. 31 Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001, halaman 8
54
Firman Wijaya, Opcit, halaman 7 55
Rohim, SH, Opcit, halaman 2 56
(37)
kepentingan pribadi, demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal ini mencangkup tindakan seperti penyuapan, nepotisme penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk keperluan pribadi.
2. Rumusan korupsi dengan titik tolak pada kepentingan umum
Carl. J. Friesrich mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal tertentu yang seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang membujuk dengan menolong siapa yang menyediakan hadiah dan dengan demikian bener-benar membahayakan kepentingan umum.
3. Rumusan korupsi dari sudut pandang politik
Secara keseluruhan korupsi di Indonesia lebih sering muncul sebagai masalah politik daripada ekonomi. Korupsi menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata masyarakat. Korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi pemerintah faktor politik dan penyelewengan penggunaan jabatan.
Shed Hussein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa
(38)
akan akibat yang diderita oleh masyarakat. Menurutnya, “corruption is the abuse of trust in the interest of private gain” yakni penyelahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.57
Apabila memperhatikan modus operandi dan pelaku dari tindak pidana korupsi, kejahatan korupsi bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam kategori kejahatan jabatan (occupational crime). Kejahatan jabatan dapat ditujukan terhadap berbagai kepentingan hukum, baik kepentingan hukum dari masyarakat maupun kepentingan hukum dari individu-individu. Suatu ciri yang bersifat umum dari kejahatan jabatan tampak pada kenyataan bahwa semua kejahatan tersebut juga ditujukan terhadap kepentingan hukum dari negara.58 Kejahatan seperti ini bisa dilakukan oleh pejabat atau biriokrat.59 Kejahatan korupsi pada umumnya dilakukan tanpa kekerasan tetapi diikuti dengan kecurangan, penyesatan, penyembunyian kenyataan, manipulasi , akal-akalan, dan pengelakan terhadap aturan.60
Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa latin, yaitu
corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan pula bahwa corruption itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Kemudian dari bahasa latin itulah lalu turun kebanyak bahasa Eropa seperti inggris, yaitu
corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie
57
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081 Opcit.
58 P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan
Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
halaman 7 59
Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan termasuk dalam lingkup kejahatan jabatan atau ambtsmisderjiven di dalam KUHP adalah kejahatan-kejahatan yang oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam buku ke-II Bab ke-XXVIII KUHP. Kejahatan jabatan yang dimaksudkan tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat sebagai seorang ambtenaar atau sebagai seorang pegawai negeri. (Ibid, halaman 51)
60
(39)
(korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “Korupsi”.61
Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Selain itu, hukum acara dalam menangani tindak pidana korupsi tunduk pada kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan penyimpangannya yang diatur secara khusus dalam UU PTPK.62
Defenisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste, korupsi didefenisikan menjadi 4 jenis:63
1. Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh :
Seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih, dari pada pemohon yang biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang biasa memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini sulit dibuktikan tentang praktik korupsi, walaupun ada peraturan yang dilanggar. Terlebih lagi
61
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, halaman 4
62
Firman Wijaya Opcit, halaman 2 63
(40)
apabila dalih memberikan uang tambahan itu sebagai “tanda ucapan terima kasih” dan diserahkan setelah layanan diberikan.
2. Illegal Corruption, ialah suatu jenis tindakan yang berniat mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan regulasi tertentu. Contoh: Didalam pengaturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang dan jasa jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Akan tetapi karena waktunya mendesak maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu pimpinan proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Misanya dengan alasan “force mejeur”. Maka sebenarnya dari sinilah dimulai illegal corruption, yakni ketika pimpinan proyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat untuk melegalkan tindakannya.
3. Mercenary Corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh keeuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh:
Dalam sebuah persaingan tender seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang sogok atau semir dalam jumlah tertentu. Jika permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang ini sudah termasuk dalam kategori mercenary corruption. Bentuk sogok atau semir itu tidak mutlak berupa uang namun bisa juga dalam bentuk lain.
(41)
4. Ideologycal Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh:
Kasus skandal Watergate adalah contoh Ideological Corruption dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Preesiden Nixon dari pada dukungan kepada undang-undang atau hukum. Penjualan aset BUMN untuk mendukung kemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini.
Pengertian korupsi secara hukum adalah “tindak pidana sebagai mana yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.64 Menurut Syed Hussein Alatas, secara sosiologis ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan (briebery), pemerasan, dan nepotisme.65
Beragam pengertian dan tipe-tipe tindak pidana korupsi yang berkembang di Indonesia dimaksudkan disini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UU PTPK sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Tindak pidana korupsi secara harfiah berasal dari kata Tindak Pidana dan Korupsi. Sedangkan secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK.66
64
Firman Wijaya,Opcit, halaman 7 65
Ibid.
66
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Alumni, Bandung, 2008, halaman 186
(42)
Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak korupsi tersebut tentu saja akan memberi banyak masukan dalam perumusan UU PTPK, sehingga sanksi hukuman yang diancamkan dan ditetapkan dapat membantu memperlancar upaya pengulangan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:67 a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.
d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembeenaran hukum. e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. Beberapa tipe tindak pidana korupsi yang lainnya, antara lain:68
67
Evi Hartanti, Opcit, halaman 10-11 68
(43)
1. Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama
Tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2 UU PTPK yang menyebutkan bahwa:69
a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
b. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
2. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua
Korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan pasal 3 UU PTPK yang menyebutkan bahwa:70
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
3. Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga
Korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 12A, 12B, 12C dan 13 UU PTPK, berasal dari pasal-pasal KUHP yang kemudian sedikit dilakukan modifikasi perumusan ketika ditarik menjadi tindak pidana korupsi sesuai Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dengan menghilangkan redaksional kata “Sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal….KUHP” seperti formulasi dalam ketentuan undang-undang nomor 31 tahun1999. Apabila
69
Ibid, halaman 187-188
70
(44)
dikelompokkan, korupsi tipe ketiga dapat dibagi menjadi 4 pengelompokan, yaitu:71
a) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni pasal 209, 210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP.
b) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni pasal 415, 416, dan pasal 417 KUHP.
c) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (knevelarij, extortion), yakni pasal 423, dan 425 KUHP.
d) Penarikan perbuatan yang berkolerasi dengan pemborongan, leverensir dan rekanan, yakni pasal 387, 388, dan 435 KUHP.
4. Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat
Korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang diluar wilayah Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 UU PTPK). Konkritnya, perbuatan percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai tindak pidana korupsi oleh karena perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi sehingga percobaan melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan dianggap selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
71
(45)
korupsi meskipun masih merupakan tindak persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.72
5. Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima
Korupsi tipe kelima ini sebenarnya bukanlah bersifat murni tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU PTPK. Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:73
a) Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
b) Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
c) Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 KUHP.
72
Ibid, Halaman 201-202
73
Ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Bab III Pasal 21- 24 UU PTPK tersebut berturut-turut dari poin (a) sampai (d) adalah sebagai berikut:
a) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
b) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
c) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
d) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).
(46)
d) Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 KUHP.
Adami Chazawi membagi tindak pidana korupsi kedalam beberapa kriteria/bagian, yaitu:
a) Atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi; b) Atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi; c) Atas dasar sumbernya;
d) Atas dasar tingkah laku/perbuatan dalam perumusan tindak pidana;
e) Atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian negara.
1. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedaakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
a) Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana koruspi murni adalah tindak pidana korupsi yang substanisi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara, perekonomian negara dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang masuk dalam kelompok ini dirumuskan dalam pasal : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan 23 (menarik pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP).74
74
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, halaman 20
(47)
b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentinggan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan disini hanya diatur dalam 3 pasal, yakni pasal 21, 22, dan 24 UU PTPK.75
2. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni:76
a) Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan kepada setiap orang termasuk korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum berlaku untuk semua orang yang termasuk dalam kelompok tindak pidana korupsi umum ini, ialah tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasal: 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24, dan Pasal 220 dan 231 KUHP Jo Pasal 23.
b) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggaraan Negara Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeeri atau penyelenggara negara. Artinya, tindak pidna yang dirumuskanitu semata-mata dibentuk untuk pegawai negeri
75
Ibid, halaman 22
76
(48)
atau penyelenggara negara. Orang yang bukan pegawai negeri tidak dapat melakukan tindak pidana korupsi pegwai negeri ini. Disini, kualitas pegawai negeri merupakan unsur esensalia tindak pidana.77
3. Atas Dasar Sumbernya
Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dikelompokkan mejadi dua kelompok, yakni:
a) Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP
Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:78
1. Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersindiri dalam UU PTPK. Rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda dengan rumusan aslinya dalam pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya sama. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.
2. Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal tertentu dalam KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem pemidanaannya. Termasuk dalam kelompok tindak pidana ini antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan dalam pasal 23 yang merupakan hasil saduran dari pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.
77
Ibid, halaman 23
78
(49)
b) Tindak pidana korupsi yang oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan Udang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dirumuskan sendiri sebagai tindak pidana korupsi.
Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli yang dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Udang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Termasuk dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22, dan 24.79
4. Atas Dasar Tingkah Laku/ Perbuatan dalam Rumusan Tindak Pidana.
Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara lain:
a. Tindak pidana korupsi aktif
Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif ialah tindak tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau perbuatan materil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan gerakan tubuh atau bagian dari tubuh orang.80
b. Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negatif
Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negatif adalah tindak pidana yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat aktif (disebut perbuatan pasif). Dalam kehidupan sehari-hari adakalanya seseorang berada dalam situasi tertentu dan orang itu diwajibkan
79
Ibid, halaman 25
80
(50)
(disebut kewajiban hukum) hukum melakukan suatu perbuatan (aktif) tertentu. Apabila ia tidak menuruti kewajiban hukumnya untuk berbuat (aktif) tertentu tesebut artinya dia telah melanggar kewajiban hukumnya untuk berbuat tadi, maka dia dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana pasif tertentu.81
Tindak pidana pasif dalam doktrin hukum pidana dibedakan menjadi (a) tindak pidna pasif murni dan (b) tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil atau yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Tindak pidana korupsi pasif menurut UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 semuanya adalah berupa tindak pidana pasif murni. Sedangkan tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan perbuatan aktif. 82
5. Atas Dasar Dapat Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau Perekonomian Negara.
Atas dasar seperti itu tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (a) tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan (b) tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Haruslah dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian negara pada sub (a) tersebut bukanlah tindak pidana materil, melainkan tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu
81
Ibid, halaman 28
82
(51)
menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka perbuatan terebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidaana korupsi. Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik sub (a) maupun sub (b) dirumukan secara formil atau merupakan tindak pidana formil dn tidak ada yang dirumuskan secara materil atau berupa tindak pidana materil.83
2. Selayang Pandang Sejarah Perundang-Undangan Korupsi di Indonesia Sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah lahir berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya:
1. Delik-delik Korupsi dalam KUHP.
2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut).
3. Undang-undang No. 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
83
(52)
1) Delik-delik korupsi dalam KUHP
Sejarah perundang-undangan pidana korupsi erat kaitannya dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku sejak 1 Januari 1918. KUHP sebagai suatu kodefikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan penduduk di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi (diselaraskan dengan WvS tahun 1981 di Belanda).84 KUHP merupakan hasil karya sarjana-sarjana hukum, yaitu Stibbe, Veenstra, Hagen, dan Scheur yang tergabung dalam panitia pembuat rencana unifikasi pada tanggal 14 Juli 1909.85
KUHP yang berlaku di Indonesia meskipun telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia, antara lain dengan menyisipkan pasal-pasal tertentu yang dipandang sesuai dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Terdapat pasal-pasal yang benar-benar bersifat Indonesia, misalnya Pasal 423 KUHP kemudian ternyata ditarik kedalam UU PTPK dan digolongkan menjadi delik korupsi.86 Pasal 423 KUHP menegaskan bahwa:
Pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa seseorang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya, supaya memberikan sesuatu, melakukan suatu pembayaran, memotong sebagian dalam melakukan pembayaran, atau mengerjakan sesuatu apa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.87
84
Andi Hamzah, Opcit, halaman 33
85Ibid,
halaman 33 86
Ibid, halaman 34
87
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
(53)
Maksud dari pasal tersebut sebenarnya untuk mencegah atau menghukum perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan kecurangan-kecurangan (korupsi) yang banyak ragamnya dari pegawai negeri.88
KUHP merupakan suatu sistem dimana segala pasal serta bab yang ada didalamnya terikat dengan system itu. Oleh karena itu, ditarik 19 buah pasal untuk dimasukkan dalam sistem yang lain, yaitu UU PTPK. Delik korupsi yang masuk dalam delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti pasal 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut active omkoping), berada dalam bab lain, tetapi juga berada dalam buku II KUHP.89
Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan kejahatan ringan atau pelanggaran sebagai mana dikenal dalam hukum pidana. Begitu pula dalam codepenal, delik jabatan seperti itu termasuk dalam buku tentang kejahatan biasa.90
2) Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut)
Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama adalah Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 april 1957 Nomor Prt/ PM/ 06/ 1957, tanggal 27 Mei 1957 dalam konsiderannya mengatakan sebagai berikut.
Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu
88
Ibid, halaman 287
89
Andi Hamzah, Opcit, halaman 38 90
(54)
segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi,…..dan seterusnya.91
Penting untuk diketahui dari peraturan perundang-undangan tersebut adalah bahwa adanya usaha untuk pertama kalinya memakai istilah-istilah korupsi sebagai istilah hukum dan member batasan perngertian korupsi sebagai berikut “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara”.92 Kemudian peraturan penguasa militer ini digantikan dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi Prn. Penguasa Perang Pusat nomor Prt/ Peperpu/ 013/ 1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958.93 Konsiderans peraturan tersebut menegaskan sebagai berikut:
Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang memperggunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalkan Bank, koperasi, wakaf dan llain-lain atau bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.
Bagian yang menarik dari peraturan penguasa perang pusat (AD/AL) tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian 1 Pasal 1 yang juga dijabarkan dalam pasal 1 dan 2, bahwa perbuatan korupsi terdiri atas:94
1. Perbuatan korupsi pidana
2. Perbuatan korupsi lainnya (Pasal 1) Perbuatan korupsi pidana antara lain:
a. Perbuatan seseorang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
91Ibid,
halaman 41 92
Ibid, halaman 42
93
Ibid.
94
(1)
tersedia. Berdasarkan bukti dan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan,
maka Majelis hakim yang menjatuhkan putusan bebas murni (vrijspraak)
kepada para terdakwa karena.
B. Saran
1. Asas lex specialis derogate legi generali baik dalam pengertian
kekhususan yang logis maupun kekhususan yang sistematis patut kembali
dikedepankan mengingat dalam praktik penegakan hukum pidana di
Indonesia sering mengabaikan dan mengingkari keberadaannya sehingga
seringkali terjadi tumpang tindih penggunaan peraturan dalam suatu kasus.
Hal ini akan menimbulkan salah penerapan hukum dan berpengaruh
terhadap kepastian hukum dalam suatu perkara.
2. Perlu kecermatan bagi aparat penegak hukum baik Jaksa Penuntut Umum,
Hakim, Kepolisian, maupun Pengacara dalam menguraikan, menganalisa
dan menginterpretasikan unsur-unsur dalam suatu rumusan delik baik
terhadap tindak pidana perbankan maupun tindak pidana korupsi agar
dalam merumuskan dakwaan maupun menjatuhkan vonis kepada para
terdakwa pelaku tindak pidana yang bersangkutan dapat mewujudkan
(2)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Sianturi, S.R., 1996, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Patahaem.
---, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta.
Hamzah, Andi, 2008, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Chazawi, Adami, 2005, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing.
---, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mertokusumo, Sudikno, 1995, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Jogyakarta: Liberty.
Schaffmeister, D. et.al., 2004, Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberti, Cetakan ke-3.
---, Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Djaja, Ermansyah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika.
Wijaya, Firman, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan praktik, Jakarta: Penaku bekerja sama dengan Maharini Press.
Winarta, Frans H. 2009, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Kompas.
Danil, H. Elwi. 2011, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
(3)
Pradjonggo, Tjandra Sridjaja, 2011, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Surabaya: Indonesia Lawyer Club (ILC).
Sutedi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Sinar Grafika.
Hartanti, Evi. 2008, Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Effendy, Marwan, 2010, Korupsi dan Pencegahan, Jakarta: Timpani Publishing.
Darmawi, Herman, 2011, Manajemen Perbankan, Jakarta: Bumi Aksara.
Amiruddin, dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan metodelogi penelitian hukum normatif, Malang: Bayumedia Publishing.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Moleong, J. Lexy, 1999, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Khair, Abul & Mohammad Eka Putra, 2011, Pemidanaan, Medan: USU press.
Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sapradjaja, Komariah Emong, 2003, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Alumni.
Tongat, Hukum Pidana Materil, Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiah Malang.
Hiariej, Eddy O.S., 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga.
(4)
Setiadi, Edi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Jogyakarta: Graham Ilmu.
Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Pena Multi Media.
Prodjohamidjojo, Martiman, , 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Bandung: Mandar Maju.
Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang, 2009, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.
Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Bandung: Alumni.
Soesilo, R., 1993, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea.
Krisnawati, Dani Dkk (Editor Eddy O. S. Hiariej), 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Saleh, Roeslan, 1987, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Jakarta: Aksara Baru.
Kaligis, O.C. 2007, Kumpulan Kasus Menarik Jilid 2. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.
Ussama, Arief, 2008, Penyalahgunaaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi, Bogor: Forum Kajian Hukum UNPAK.
Wiryono, R., 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.
(5)
Rido, Ali, Rido, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan badan Hukum bagi Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni.
Djumhana, Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Bahar, Wahyuni dkk, 2008, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta: Centre for Finance, Investment, and Securities Law.
Siahaan, N.H.T., 2008, Money Laundring dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Jala
Muljatno, Dkk, Ekonomi Korupsi, Jakarta: PT. Pustaka Quantum.
Kuffal, H.M.A., 2008, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang: UMM Pres.
Kusumaatmaja, Mochtar, Tanpa tahun, Fungsi Dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta.
Irfan, M. Nurul, 2011, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah.
Seri Peraturan Perundang-undangan Perbankan Indonesia, Tahun 1990-2004, 2004, Jakarta: CV. Citra Mandiri.
B. Undang-undang
undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun1998 Tentang Perbankan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
(6)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas.
C. Internet
<http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=24&idsu=15&id=1268> diakses pada hari selasa, tanggal 24 Januari 2012 pukul 14.23 Wib.
<http://www.kpk.go.id/modules/editor/doc/strategic/plan_plan_2008_to_2011_id. pdf,rencana_strategic_komisi_pemberantasan_korupsi,2008-2011>. Diakses pada tanggal 2 februari 2011 pukul 22.00 WIB.
<http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak pidana/#ixzz1aAXOjzOd>. Diterbitkan pada tanggal 20 Juli 2010 dan diakses pada tanggal 5 Februari 2012 pukul 12.05 Wib.
<http://agusthutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi/>
<http://nasional.kompas.com/ read/ 2011/ 12/ 01/ 17515759/ Indonesia. Peringkat ke-100. Indeks. Persepsi. Korupsi. 2011 diakses pada tanggal 5 Februari 2011 pukul 00.27 Wib.>
D. Skripsi
Munthe, Muhammad Syukur, 2012, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kasus Korupsi pada Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kota Medan Periode 2003-2007, Medan: Universitas Sumatera Utara.