HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG BEKERJA

Disusun Oleh :

  Nama

  : Ramon Diaz

  N.P.M : 10599179 N.I.R.M : 9931373800500339

  Pembimbing

  : Anita Zulkaida, S.Psi., M.Psi.

Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam mencapai Gelar Sarjana Satu (S1) DEPOK

LEMBAR PENGESAHAN

  Komisi Pembimbing

  No Nama

  Kedudukan

  1. Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi

  Ketua

  2. Hendro Prabowo, S.Psi

  Anggota

  3. Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si

  Anggota

  Panitia Ujian

  No Nama

  Kedudukan

  1. DR. Ravi Ahmad Salim

  Ketua

  2. Prof. DR. Wahyudi Priyono

  Sekretaris

  3. Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi

  Anggota

  4. Hendro Prabowo, S.Psi

  Anggota

  5. Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si

  Anggota

  Tanggal Lulus : 24 Maret 2007

  Mengetahui Depok, ……………………….

  Pembimbing

  Bagian Sidang Ujian

  (Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi)

  ( Drs. Edi Sukirman, M.M )

HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG BEKERJA

  Ramon Diaz

  Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak mendukung serta idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Motivasi berprestasi adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis. Motivasi berprestasi memiliki lima karakteristik yaitu resiko pemilihan tugas, membutuhkan umpan balik, ketekunan, tanggung jawab dan inovatif. Penelitian ini bersifat korelasional yang dilakukan terhadap 98 mahasiswa yang bekerja dari lima lembaga perguruan tinggi di Jakarta dan di Depok, dengan karakteristik antara lain berusia minimal 20 tahun, belum menikah, mengambil Strata Satu dari berbagai jurusan.

  Uji asumsi dalam penelitian ini yaitu uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolgomorov Smirnov dan Shapiro-Wilk Test. Untuk nilai signifikan pada burnout adalah 0,000 (p<0,05). Skor signifikan pada motivasi berprestasi adalah 0,000 (p<0,05). Hasil uji normalitas menunjukan bahwa sebaran skor kedua variabel penelitian yaitu burnout dan motivasi berprestasi adalah tidak normal.

  Hasil uji linearitas burnout dengan motivasi berprestasi menunjukkan hasil yang linear dimana skor F sebesar 168,194 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Untuk selanjutnya data penelitian akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik non parametrik.

  Dengan menggunakan uji korelasi Karl Pearson, didapat koefesien korelasi (r) sebesar -0,798 dengan taraf signifikasi 0,000 (p<0,05). Hasil uji korelai tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hipotesis penelitian ini diterima dan hal ini berarti terdapat hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi.

  Kupersembahkan Hasil Kerja Keras Ini Untuk

  Bapa yang di Sorga,

  Orang Tuaku tercinta, Gerry Diaphenia kedua adikku tersayang,

  Priskila kekasihku, Sahabat-sahabat baikku, ini adalah hasil doa, dukungan dan semangat yang kalian berikan

  Cerek air walaupun sesak dengan air panas sampai ke lehernya, Ia tetap bernyanyi

  Orang yang paling sukses dan berbahagia adalah orang yang menikmati segala keadaan

  dengan bersyukur

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugerah-Nya penulisan skripsi dengan judul: HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN

MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG

  BEKERJA, dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, meskipun penulis telah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada.

  Penulis juga menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada :

  1. Ibu Prof. Dr. E. S. Margianti SE., MM., selaku Rektor Universitas

  Gunadarma.

  2. Ibu Anita Zulkaida, S.Psi., M.Psi, selaku Dosen Pembimbing yang telah

  dengan sabar dan penuh pengertian memberikan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi. “Makasih ya Bu….”

  3. Kedua Orang tuaku, Gerry, dan Peni “Terima kasih buat semuanya ... aku

  sayang kalian ...”

  4. Priskila Agustini yang selalu setia mendoakan, memberi semangat serta

  dukungan juga mendengarkan keluhan-keluhan penulis selama ini. “Thanks my dear …!!”

  5. Keluarga Bapak Luhut Panggabean, seisi Pastori serta Jemaat GPI Cibubur.

  “Makasih buat doa dan dukungannya…”

  6. Aldie Nain, Pendukung paling setia “Makasih buat pertolongannya…aku

  doain sukses ya!”

  7. Keluarga Bapak Philipus yang selalu mendoakan dan mendukung selama ini.

  “ Makasih Pak dan Umi “

  8. Sahabat juga adik-adikku yang luar biasa Asiando Yohanes “Keep the faith

  and thanks for the support”

  9. Bro Silvanus Makalew, Admin Server Danamon Bank, Jawa Barat. “Thanks

  Bro …Ini Orang Danamon kan?!”.

  10. Direktur PT. TM, Nopa Echo Raymond. “Thanks for some thinking…and the night shift ...!!!”

  11. M. Oscar S. Petualang PRO-XL. “Thanks for your pray … when is the next trip?”

  12. G. I. Fellowship, Natan, Yosia, Budi dan kawan-kawan seperjuangan. “Thanks for always encourage me …”

  13. Mahasiswa-mahasiswi UI, UP, Gunadarma, STMIK Nusa Mandiri, dan Yarsi. “Thanks dah ngisi angket, selamat belajar dan bekerja.!!”

  Serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi yang tidak disebutkan satu persatu. Akhir kata penulis berharap, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para rekan mahasiswa maupun semua pihak yang terkait.

  Jakarta, 24 Maret 2007 Penulis

  (

  Ramon Diaz )

LAMPIRAN LAMPIRAN A

  Identitas dan jumlah Subjek Penelitian Data deskriptif Motivasi Berprestasi Akademis

  Data deskriptif Burnout

  Pie Chart data deskriptif

LAMPIRAN B

  Hasil Uji Validitas Reliabilitas Skala Motivasi Berprestasi Akademis Data Valid Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis Hasil Uji Validitas Reliabilitas Burnout Data Valid Item Skala Burnout

LAMPIRAN C UJI ASUMSI

1. Uji Normalitas

2. Uji Linearitas LAMPIRAN D

  Hasil Korelasi

LAMPIRAN E

  Gambar

LAMPIRAN F

  Alat Ukur

DAFTAR GAMBAR

  Halaman Gambar 1: Hasil analisa grafik Scatter pada variabel Motivasi Berprestasi

  dan variabel Burnout dengan SPSS 12.00 for Windows ............. 42

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

  Memasuki akhir tahun 1970 laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi mulai berkembang dengan cepat. Begitu banyak alat dan media yang dihasilkan dari berbagai inovasi yang bertujuan memajukan industri dalam berbagai bidang. Pada saat itu industri informasi-komunikasi, ekonomi dalam hal ini perbankan serta teknologi alat-alat rumah tangga hingga pabrik besar mulai mengalami perubahan serta perkembangan yang luar biasa.

  Perkembangan begitu terasa, dalam bidang informasi komunikasi terlihat dengan semakin berkembangnya industri surat kabar, radio serta pertelevisian. Dalam bidang ekonomi, pada saat itu perekonomian dunia semakin membaik terutama sektor perbankan dimana inovasi alat serta layanan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas untuk mulai menabung. Terlebih lagi di bidang teknologi, berbagai alat tercipta untuk berbagai keperluan, mulai dari peralatan rumah tangga, peralatan kantor, peralatan pendidikan, peralatan kesehatan hingga peralatan industri besar seperti pabrik. Dalam bidang pendidikan, banyak perguruan tinggi yang berpartisipasi untuk melakukan berbagai penelitian demi kemajuan industri. Kemajuan dan perkembangan tersebut terus berlanjut hingga memasuki tahun 1990 dimana laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi mengalami transformasi ke era komputerisasi yang lebih dikenal industri global (Wikipedia, 2005).

  Perubahan serta perkembangan tersebut tentu saja membangkitkan kompetisi diantara perusahaan-perusahan yang bergerak dalam industri informasi- komunikasi, ekonomi, dan teknologi. Kinerja serta kemampuan karyawan mulai dituntut oleh perusahaan demi persaingan industri global. Bahkan beberapa Perubahan serta perkembangan tersebut tentu saja membangkitkan kompetisi diantara perusahaan-perusahan yang bergerak dalam industri informasi- komunikasi, ekonomi, dan teknologi. Kinerja serta kemampuan karyawan mulai dituntut oleh perusahaan demi persaingan industri global. Bahkan beberapa

  Standar tingkat pendidikan tersebut menyebabkan terjadi persaingan diantara karyawan selaku tenaga kerja dalam mempertahankan posisinya dari calon tenaga kerja baru dan juga meraih posisi atau jabatan yang lebih baik dalam perusahaan selain memiliki prestasi yang baik dalam pekerjaan. Oleh sebab persaingan yang semakin meningkat diantara para karyawan maupun tenaga kerja baru maka diawal tahun 1980-an banyak karyawan yang mulai memikirkan bahkan kembali menduduki bangku kuliah di perguruan tinggi.

  Fenomena baru muncul, yaitu mahasiswa yang bekerja. Lulusan sekolah menengah atas dan setingkat yang tak mampu kuliah, memilih bekerja lebih dahulu, kemudian kuliah dengan hasil atau gaji yang didapatkan. Ada banyak individu yang adalah mahasiswa karena banyak hal kemudian bekerja untuk mencukupi biaya kuliah. Terlepas dari semua itu individu tersebut adalah mahasiswa yang berkewajiban untuk meraih prestasi akademis (Orsgaz dkk., 2001).

  Untuk meraih prestasi akademis yang baik ada faktor yang tidak dapat dilupakan yaitu motivasi berprestasi dalam hal ini motivasi berprestasi akademis. Dalam dunia bisnis, di sekolah, dan berbagai profesi, motivasi berprestasi menjadi suatu prediktor penting untuk kesuksesan. Pandangan umum juga memprediksi bahwa orang-orang yang paling sukses adalah orang-orang yang mempunyai dua motif, yaitu motivasi berprestasi dan motivasi berkompetisi yang kuat (Riyanti Prabowo, 1998). Winkel (1991) mengatakan, bahwa dalam rangka belajar di sekolah atau di sebuah lembaga pendidikan, motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar yang maksimal demi penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi maksimal yang dimaksudkan, ditentukan oleh siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Motivasi berprestasi dapat dilihat seberapa sering dan baik mahasiswa itu sendiri dengan tekun menghadiri kuliah, kualitas pengerjaan tugas, seperti paper, quiz, dan ujian semester.

  Kondisi tersebut menyebabkan banyak perguruan tinggi berusaha meningkatkan, motivasi mahasiswa untuk meraih prestasi akademis yang tinggi, antara lain dengan memberikan reward, seperti nilai tambah kehadiran, beasiswa kuliah, penghargaan, mengikutsertakan pada perlombaan ilmiah mahasiswa dan lainnya. Ini membuktikan betapa pentingnya motivasi berprestasi dalam mencapai prestasi akademis yang tinggi.

  Mahasiswa yang bekerja biasanya mengambil jam kuliah pada sore sampai malam hari, karena di pagi harinya mereka harus bekerja. Dapat dikatakan mahasiswa yang bekerja, sebagai individu memiliki status lain yaitu pegawai atau karyawan di suatu lembaga usaha (Sarwono, 1981). Dalam hal ini mahasiswa yang bekerja tentunya memiliki waktu yang sedikit dibanding mahasiswa yang tidak bekerja. Mahasiswa yang bekerja, harus mengelola waktu belajar dalam waktu yang sempit. Seringkali dalam kondisi lelah setelah pulang kantor, harus mengikuti kuliah, mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan dengan terburu- buru, bahkan bila terlalu lelah, banyak mahasiswa yang memutuskan untuk tidak mengikuti perkuliahan malam itu.

  Masalah lainnya, adalah berbagai problematika yang terjadi di tempat kerja dapat memberi dampak terhadap proses belajar mahasiswa yang bekerja. Masalah-masalah yang sering dihadapi di tempat kerja antara lain, rutinitas pekerjaan yang monoton, konflik dan hubungan yang tak harmonis sesama pegawai atau dengan atasan, persaingan yang ketat, tuntutan kerja yang makin bertambah, perkerjaan yang bertumpuk, serta gaji yang tak sesuai. Masalah tersebut adalah sedikit hal yang menyebabkan kelelahan baik emosi dan fisik pada karyawan (Dwivedi, 1981)

  Salah satu yang dihadapi oleh dunia kerja hari-hari ini adalah burnout pada karyawan disetiap jenjang jabatan dan pekerjaan. Dalam sebuah artikel bertajuk “Membunuh Burnout, memanfaatkan Stress” pada harian Republika, 5 Agustus 1993 (dalam Sutjipto, 2001) dijelaskan bahwa burnout merupakan kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Cordes dan Daugherty (dalam Cooper Salah satu yang dihadapi oleh dunia kerja hari-hari ini adalah burnout pada karyawan disetiap jenjang jabatan dan pekerjaan. Dalam sebuah artikel bertajuk “Membunuh Burnout, memanfaatkan Stress” pada harian Republika, 5 Agustus 1993 (dalam Sutjipto, 2001) dijelaskan bahwa burnout merupakan kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Cordes dan Daugherty (dalam Cooper

  Saat ini burnout menjadi masalah krusial di dunia kerja, karena seringkali menghambat laju kinerja para karyawan yang akhirnya merugikan perusahaan. Burnout seringkali muncul di dunia kerja dikarenakan rutinitas serta tekanan yang tinggi dalam kesehariaannya (Cooper dkk., 2001). Sebab itu banyak perusahaan mencari cara untuk membantu setiap karyawan yang ada untuk menanggulangi burnout di tempat kerja.

  Mohan (dalam Dwivedi, 1981) menjelaskan bahwa kelelahan yang disebabkan burnout di tempat kerja memberi dampak pada aktivitas lain dalam hidup karyawan. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya perhatian pada sekitar, menurunnya kemampuan persepsi dan berpikir, menurunnya motivasi terhadap kegiatan lain, dan menurunnya kegiatan secara fisik dan mental di luar jam kerja.

  Narayan dan Shanmugam (dalam Dwivedi, 1981) sejak tahun 1971 sampai dengan 1973 melakukan penelitian terhadap kelelahan di kalangan karyawan dengan menggunakan berbagai alat ukur yang bertujuan mengukur tingkat kewaspadaan, konsentrasi, hubungan interpersonal serta istirahat kerja. Hasilnya menunjukan adanya penurunan motivasi, menurunnya kinerja inteligensi, bertambahnya tingkat kecelakaan kerja serta penurunan dalam seksualitas.

  Penelitian yang dilakukan Grenberger Steinberg (dalam Santrock, 1990) menunjukkan adanya dampak yang dialami oleh mahasiswa yang bekerja, yaitu mereka sulit menyeimbangkan tuntutan di dunia kerja, pendidikan, keluarga dan teman-teman mereka. Sementara itu Steinberg (1993) menjelaskan bahwa 20 jam kerja perminggu akan memberi pengaruh yang kurang baik terhadap prestasi akademis maupun terhadap kondisi psikologis bagi mahasiswa yang bekerja.

  Spickard ( 2001 ) menjelaskan bahwa pada mahasiswa yang bekerja salah satu penyebab turunnya prestasi di bangku perkuliaan adalah faktor pekerjaan. Masalah di tempat kerja seperti rutinitas kerja, pekerjaan yang bertumpuk, persaingan yang ketat, dan hubungan yang kurang harmonis dengan sesama karyawan atau dengan atasan serta jenis pekerjaan yang berat menimbulkan Spickard ( 2001 ) menjelaskan bahwa pada mahasiswa yang bekerja salah satu penyebab turunnya prestasi di bangku perkuliaan adalah faktor pekerjaan. Masalah di tempat kerja seperti rutinitas kerja, pekerjaan yang bertumpuk, persaingan yang ketat, dan hubungan yang kurang harmonis dengan sesama karyawan atau dengan atasan serta jenis pekerjaan yang berat menimbulkan

  Dengan uraian di atas maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara burnout di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja?

B. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara burnout di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja.

C. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut ini :

  1. Praktis : Menambah informasi bagi para mahasiswa khususnya yang bekerja terutama tentang hubungan antara burnout dan motivasi berprestasi, sehingga dapat membantu para mahasiswa dalam mengcoping menyikapi keadaan tersebut.

  2. Teoritis : Memberikan masukan bermanfaat bagi ilmu psikologi, khususnya ilmu Psikologi Industri Organisasi dan Psikologi Pendidikan, dengan mengungkap lebih jauh tentang burnout dan motivasi berprestasi serta hubungan antara kedua kedua konsep tersebut. Pada penelitian ini juga disusun skala burnout dan motivasi berprestasi yang akan menambah pengetahuan tentang pengembangan alat ukur psikologis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Motivasi Berprestasi Akademis

1. Pengertian Motivasi Berprestasi Akademis

  Seorang gadis yang ingin menjadi dokter. Seorang lelaki yang berjuang untuk memiliki kekuasaan politik. Seseorang yang mengalami penderitaan yang hebat menginginkan kelegaan. Seseorang yang sangat kelaparan dan hanya berpikir tentang makanan. Seorang anak yang kesepian dan berharap memiliki teman. Seorang pria melakukan pembunuhan dan polisi mengatakan bahwa motif pembunuhan tersebut adalah balas dendam. Seorang wanita yang bekerja keras untuk mencapai rasa sukses dan mampu. Hal-hal tersebut adalah beberapa motif yang berperan dalam perilaku manusia. Motif menggerakkan secara keseluruhan mulai dari keinginan dasar, seperti lapar dan seks, sampai kepada hal yang rumit, yaitu motif-motif jangka panjang, seperti ambisi politik, keinginan untuk melayani kemanusiaan, atau kebutuhan untuk menguasai lingkungan sekitarnya (Morgan dkk., 1986).

  Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa perilaku itu didorong dan diarahkan pada tujuan.Contoh-contoh tersebut juga menunjukan bahwa perilaku yang mengarah pada suatu tujuan cenderung untuk menetap. Suatu istilah yang menunjuk kepada dorongan dan kekuatan yang menentukan keberhasilan perilaku yang yang tetap pada tujuan tertentu. Istilah itu adalah motivasi (Morgan dkk., 1986).

  Banyak sekali orang yang tertarik dengan kata motivasi, bahkan melakukan penyelidikan terhadap alasan mengapa seseorang melalukan suatu tindakan yang tidak biasanya (Hollyforde Whiddet, 2003).

  Begitu banyak definisi dari motivasi.yang dikemukakan oleh para ahli. Baron (dalam Hollyforde Whiddet, 2003) menyatakan bahwa motivasi adalah

  perilaku yang memiliki tujuan). Seiring dengan pernyataan tersebut Robertson dan Smith (dalam Hollyforde Whiddet, 2003), menyatakan motivasi adalah suatu konsep psikologis yang terkait dengan kekuatan dan arah dari perilaku manusia.

  Atkinson (1964) memandang motivasi sebagai suatu disposisi latent yang berusaha kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Sepanjang disposisi tersebut belum terpenuhi maka ia akan selalu muncul kepermukaan. Heckhansen (dalam Asnawi, 2002) memberi pandangan tentang motivasi yaitu sesuatu yang potensial dalam diri manusia yang merupakan keadaan normal tetapi juga sangat menentukan bagaimana suatu situasi menjadi memuaskan.

  Teevan dan Smith memandangan motivasi sebagai suatu konstruksi yang mengaktifkan perilaku (dalam Asnawi, 2002). Terry dan Leslie (dalam Asnawi, 2002) menyatakan motivasi membuat orang bekerja lebih berprestasi. Dengan demikian motivasi dipandangnya sebagai suatu daya dorong untuk berbuat sesuatu dalam kapasitas dan produktivitas optimal atau maksimal.

  Asnawi (2002) berpendapat motivasi adalah konstruksi dan proses interaksi antara harapan dan kenyataan masa yang akan datang baik dalam jangka pendek, sedang atau panjang.

  McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) merupakan salah satu tokoh penganut teori konten, yaitu menekankan pada faktor “apa” yang ada dalam diri manusia yang menyebabkan manusia tersebut berperilaku tertentu. McClelland mengatakan bahwa seseorang memiliki kebutuhan yang menyebabkan mereka terdorong untuk berperilaku untuk mengurangi atau memenuhinya. Sebab itu seseorang akan berperilaku dengan cara tertentu yang mengarah pada pemuasan dari kebutuhan mereka.

  Pada awalnya McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) menganut suatu pemahaman bahwa motif seseorang telah terbentuk atau dipelajari sejak masa dini, dan sekali motif tersebut terbentuk maka akan sukar untuk mengubahnya. Dengan latar belakang pemahaman tersebut McClelland tertarik untuk meneliti apakah benar motif tersebut tidak dapat diubah. Ternyata dalam hasil pengamatannya lebih lanjut, banyak hal yang dapat merubah motivasi seseorang,

  contohnya motif seseorang dapat berubah saat seseorang sakit dan sembuh atau mengalami jatuh cinta.

  Menurut McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) pada saat itu, motivasi adalah pengungkapan kembali (tujuan) oleh isyarat perubahan dalam situasi affektif. Pengungkapan kembali tersebut terjadi sebagai hasil dari pengalaman sebelumnya, seperti contoh seorang yang sakit dan akhirnya sembuh. Motif dapat muncul dan dipelajari karena adanya perubahan suasana hati yang timbul karena adanya perbedaan harapan dan kenyataan yang diamati.

  McClelland (dalam McCelland dkk, 1953), mengungkapkan dalam mendefinisikan motif harus dibedakan jenis harapan yang terlibat didalamnya, kemudian dasar tindakkan, yaitu sampai dimana harapan-harapan tersebut dapat menjadi suatu tujuan yang dapat dicapai. McClelland (dalam McCelland dkk., 1953), mengemukakan ada beberapa jenis motivasi yang cenderung ditampilkan dalam perilaku sehari-hari. Motif-motif tersebut disebut juga motif sosial, yaitu:

  1) Motivasi Berprestasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang dengan menitik beratkan kepada pencapaian prestasi tertentu.

  2) Motivasi Berafiliasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang dalam berhubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan.

  3) Motivasi Berkuasa, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang untuk mencapai kepuasan dengan menguasai dan mempengaruhi orang lain.

  McClelland (dalam Hollyforde Whiddet, 2003) merasakan bahwa motivasi berprestasi sangat berperan dalam semua budaya kehidupan manusia, karna semua manusia dari berbagai latar selalu berusaha mencapai keberhasilan dan menjauhi kegagalan. Hal ini adalah hasil pembelajaran bahwa dalam keseluruhanya masyarakat selalu memberikan penghargaan terhadap keberhasilan (berupa pujian, topik pembicaraan) begitu juga dalam keluarga (berupa pelukan, senyuman dan sanjungan). Oleh karena itu apabila seseorang selalu berusaha

  mengerjakan yang lebih baik maka dapat dikatakan mempunyai motivasi berprestasi tinggi.

  Asnawi (2002) menjelaskan Motivasi berprestasi berhubungan dengan kemampuan untuk mengatasi rintangan dan memelihara semangat kerja yang tinggi, bersaing melalui usaha keras, untuk mengungguli orang lain. McClelland dan Burnham (dalam Asnawi, 2002) menjelaskan motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik atau lebih efesien dari sebelumnya. Sedangkan Dwivedi dan Herbert (Dwivedi, 1981) mengartikan motivasi berprestasi sebagai dorongan untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan pada ukuran keunggulan dibanding standarnya sendiri maupun orang lain. Menurut Davis (Hollyforde dan Whiddet, 2003), motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengatasi rintangan dan mencapai keberhasilan, sehingga menyebabkan individu bekerja lebih baik lagi.

  Gage dan Berliner (1992) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah motivasi untuk sukses, untuk menjadi yang terbaik dalam sesuatu hal. Hollyforde dan Whiddet (2003) menyatakan basis dari motivasi berprestasi adalah kekuatan untuk mencapai kesuksesan. Tentunya setiap individu memiliki definisi tentang kesuksesan pada diri mereka masing. Semakin sukses seseorang mencapai tujuannya, semakin seseorang tersebut memiliki kepuasan dan pengalaman dalam pencapaiannya, sebab itu mereka akan berjuang untuk melakukan dan mendapatkan hal tersebut di masa yang akan datang.

  Atkinson (dalam Hollyforde Whiddet, 2003) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai sebuah kemampuan untuk mengalami kebanggaan dalam penyelesaian tugas demi tugas. Semakin seseorang berhasil dalam suatu tugas yang sama semakin berkurang dorongan pencapaian yang maksimal untuk menyelesaikannya. Hal ini disebabkan adanya suatu asumsi semakin besar rasa pencapaian tugas apabila seseorang diberikan kesempatan menyelesaikan tugas yang lebih sulit dari pada tugas sebelumnya atau tugas yang lebih mudah.

  Murray (dalam Chaplin, 1999) mendefinisikannya dengan bahasa yang lebih mudah, yaitu motivasi berprestasi adalah motif untuk mengatasi rintangan-

  rintangan, atau berusaha melaksanakan secepat dan sebaik mungkin pekerjaan- pekerjaan yang sulit.

  Istilah akademis sangat terkait hubungannya dengan aktivitas keilmuan dan lembaganya seperti sekolah dan perguruan tinggi dimana terjadi proses belajar mengajar. Winkel (1991) menjelaskan bahwa dalam rangka aktivitas belajar di sekolah, motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar yang maksimal demi penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi belajar yang maksimal yang dimaksud adalah penentuan dari siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

  Berdasarkan seluruh uraian di atas serta definisi-definisi tentang motivasi dan motivasi berprestasi dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi akademis adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis.

2. Karakteristik Motivasi Berprestasi Akademis

  Tingkat dimana orang dengan motivasi berprestasi yang kuat dapat menunjukan perilaku yang berorientasi ke prestasi tergantung banyak faktor (Morgan dalam Riyanti Prabowo, 1998). Salah satu faktor itu adalah -takut akan kegagalan- yang dikatakan menghambat pemunculan perilaku berprestasi (Atkinson; Atkinson Birch; Morgan dalam Riyanti Prabowo, 1996). Untuk orang yang takut gagal biasanya kebutuhan berprestasinya relatif rendah, motivasi berprestasi mengekspresikan dirinya dengan berbagai cara (McClelland Winter; Hoyenga Hoyenga; Morgan dalam Riyanti Prabowo, 1998).

a. Resiko Pemilihan Tugas

  Orang dengan motivasi berprestasi yang tinggi lebih suka bekerja dengan

  melakukan pekerjaan yang mudah, dimana tidak ada tantangan sehingga tidak ada kepuasan untuk kebutuhan berprestasinya, mereka juga tidak suka melakukan pekerjaan yang sulit dimana kemungkinan untuk suksesnya kecil. Jadi orang dengan motivasi berprestasi tinggi adalah orang yang realistis dalam memilih tugas, pekerjaan, dan lapangan kerja, yaitu mereka lebih suka mencocokkan antara kemampuan mereka dan apa yang dituntut dari tugas atau pekerjaan itu.

  Dalam konteks akademis maka tugas-tugas yang dimaksud adalah tugas yang didapat dalam perkuliahan, yaitu tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, contohnya laporan praktikum, makalah, presentasi dan lainnya.

b. Membutuhkan Umpan balik

  Orang dengan motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas dimana prestasi mereka dapat dibandingkan dengan prestasi orang lain; mereka menyukai umpan balik “bagaimana mereka melakukannya”. Umpan balik dibutuhkan agar dapat meningkatkan efektivitas dari apa yang dilakukan untuk dapat mencapai apa yang diinginkan (dalam Amir, 1995).

  Orang dengan motivasi berprestasi rendah cenderung tidak menyukai umpan balik terutama karena mereka tidak suka jika kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya diketahui oleh orang lain. Umpan balik dalam konteks akademis yang dimaksud, dapat berupa saling membandingkan nilai hasil belajar antara lain seperti hasil ujian dan indeks prestasi.

c. Ketekunan

  Orang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung tetap mempertahankan pekerjaan yang sudah mereka capai yang berhubungan dengan karir atau merefleksikan ciri pribadi mereka (misalnya kecerdasan) yang dilibatkan untuk mencapai puncak.

  Cooper (dalam Oktarina, 2002) mengatakan bahwa orang dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih bertahan atau tekun dalam mengerjakan tugas

  siswa atau mahasiswa dengan hasrat berprestasi tinggi menpunyai keuletan. Sebaliknya orang yang memiliki motivasi rendah cenderung cepat menyerah apabila berhadapan dengan tugas yang semakin sulit.

d. Tanggung Jawab

  Bila orang dengan motivasi berprestasi tinggi sukses, mereka cenderung menaikkan tingkat aspirasi mereka dalam cara yang realistis sehingga mereka akan terus bergerak ke tugas-tugas yang lebih menantang dan sulit.

  Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi merasa dirinya bertanggung jawab atas tugas yang dikerjakan. Mereka akan berusaha untuk menyelesaikannya dan tidak akan meninggalakan tugas tersebut walau semakin sulit sebelum mereka menyelesaikannya (McClelland, 1961).

e. Inovatif

  Orang dengan motivasi berprestasi tinggi senang bekerja dalam situasi dimana dia dapat mengontrol hasilnya, mereka bukan penjudi. McClelland (1961) menjelaskan orang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung bertindak kreatif dengan mencari cara untuk menyelesaikan tugas seefesien dan seefektif mungkin.

  Menurut Hollyforde dan Whiddett (2003) karakteristik seseorang dengan motivasi berprestasi tinggi yaitu:

  a. Individu tersebut bertanggung jawab atas hasil yang akan dicapai

  b. Individu tersebut menghendaki berbagai umpan balik terhadap hasil yang dicapai.

  c. Individu tersebut memiliki kriteria dari tingkat kesukaran jenis tugas yang diambil Asnawi (2002) menjelaskan manifestasi dari motivasi berprestasi akan

  terlihat pada beberapa cirri perilaku seperti:

  a. Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya

  c. Memilih resiko yang moderat atau sedang dalam perbuatannya

  d. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif Dengan demikian secara garis besar dapat disimpulkan bahwa uraian

  beberapa tokoh diatas memiliki beberapa kesamaan tentang karakteristik orang dengan motivasi berprestasi tinggi, yaitu: Ketekunan, Tanggung Jawab, Membutuhkan Umpan Balik, Resiko Pemilihan Tugas, dan Inovatif.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Berprestasi Akademis

  Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain (Asnawi, 2002):

  a. Tingkah laku dan karakteristik yang ditiru anak oleh anak melalui observational learning. Anak-anak belajar dengan mengamati dan meniru orang tua serta orang lain yang dijadikan model.

  b. Harapan orang tua terhadap anak, dorongan orang tua agar anak mencapai prestasi yang maksimal

  c. Lingkungan

  d. Penekanan kemandirian Juvonen (2003) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi,

  yaitu:

  a. Pola asuh terhadap anak, penanaman nilai serta cita-cita dari orang tua

  b. Lingkungan Sekitar, norma sosial serta harapan masyarakat disekitarnya

  c. Proses pembelajaran oleh anak itu sendiri Tokoh lainnya Hollyforde dan Whiddett (2003) mengungkapkan bahwa

  faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah:

  a. Pola asuh anak, dalam hal ini penanaman nilai serta harapan orang tua menjadi dorongan terkuat untuk berprestasi dengan maksimal

  b. Lingkungan, dimana asumsi dan nilai sosial yang ada memberi masukan serta perbandingan terhadap tujuan pencapaian. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi

  berprestasi akademis adalah pola asuh anak, lingkungan sekitar serta proses

B. Burnout

1. Pengertian Burnout

  Istilah burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologis klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang disebut sebagai sindrom burnout (Farber, 1991). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang terkena burnout, dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh masalah seperti gedung yang terbakar tadi.

  Freudenberger menggunakan istilah yang pada awalnya digunakan pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek-efek penyalahgunaan obat-obat terlarang yang kronis (Freudenberger Richelson dalam Farber, 1991). Deskripsi awal Freudenberger mengenai seseorang yang menderita karena sindrom burnout sebenarnya diawali pada dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa:

  " ….dan anda menempatkan sebagian besar diri anda di dalam pekerjaan. Anda secara gradual terbentuk di dalam lingkungan sekitar anda dan di dalam diri anda sendiri ada perasaan bahwa mereka membutuhkan anda. Anda merasakan sense of commitment yang utuh" (Farber, 1991).

  Maksudnya adalah jika kita bekerja pada suatu pelayanan, misalnya guru, maka kita akan terbentuk secara keseluruhan oleh atmosfir layanan pembelajaran secara intens dengan membiarkan keterlibatan pribadi kita dan sumber emosi kita

  Gambaran tersebut menjelaskan, bahwa terdapat pemahaman awal mengenai burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan karena seseorang bekerja terlalu rutin, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama serta memandang kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal kedua. Hal tersebut menyebabkan mereka merasakan adanya tekanan- tekanan untuk memberi lebih banyak. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri mereka sendiri, dari kliensiswa yang amat membutuhkan, dan dari kepungan para administrator (penilikpengawas dan sebagainya).

  Dengan adanya tekanan-tekanan ini, maka dapat menimbulkan rasa bersalah, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menambah energi dengan lebih besar. Ketika realitas yang ada tidak mendukung idealisme mereka, maka mereka tetap berupaya mencapai idealisme tersebut sampai akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami kelelahan atau frustrasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian harapan (Freudenberger dalam Farber, 1991)

  Penelitian tentang burnout sendiri sebenarnya telah berlangsung selama 20 tahun (Schaufeli dkk., 1993) sehingga menghasilkan berbagai ragam pengertian. Maslach dan Jackson dalam penelitiannya tersebut tentang burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain seperti bidang kesehatan mental, bidang pelayanan kesehatan, bidang pelayanan sosial, bidang penegakan hukum, maupun bidang pendidikan, dalam perkembangannya telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam memahami burnout. Mereka menemukan bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, maupun penurunan pencapaian prestasi pribadi (Schaufeli dkk., 1993).

  Kemudian Pines dan Aronson (1989) mendefinisikan burnout sebagai kelelahan secara fisik, emosional dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh tuntutan emosional. Menurut mereka burnout dialami oleh seseorang yang bekerja di sektor pelayanan sosial yang cukup lama. Pada jenis pekerjaan tersebut, menurutnya, seseorang menghadapi tuntutan dari

  yang adekuat terhadap kinerja pemberi layanan. Situasi menghadapi tuntutan dari penerima layanan menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional. Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan, karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang minimal. Gambaran dari ketiga dimensi tersebut menurut Pines dan Aronson (dalam Wally Huby, 2000) adalah:

  a. Kelelahan fisik, yaitu suatu kelelahan yang bersifat sakit fisik dan energi fisik. Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung, rasa ngilu, rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan. Energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah, rasa letih yang kronis, dan lemah.

  b. Kelelahan emosional, yaitu suatu kelelahan pada individu yang berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai dengan rasa tidak berdaya dan depresi. Kelelahan emosi ini dicirikan antara lain rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan yang tiada henti, tidak dapat dikontrol, suka marah, gelisah, tidak peduli terhadap tujuan, tidak peduli dengan peserta didik orang lain, merasa tidak memilki apa-apa untuk diberikan, sia-sia, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak berdaya (Sutjipto, 2001).

  c. Kelelahan mental, yaitu suatu kondisi kelelahan pada individu yang berhubungan dengan rendahnya penghargaan diri dan depersonalisasi. Kelelahan mental ini dicirikan antara lain merasa tidak berharga, rasa benci, rasa gagal, tidak peka, sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai sikap negatif terhadap orang lain, cenderung masa bodoh dengan dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh tak acuh, pilih kasih, selalu menyalahkan, kurang bertoleransi terhadap orang yang ditolong, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, konsep diri yang rendah, merasa tidak cakap, merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan jalan hidup (Sutjipto, 2001).

  Cherniss (1980) menyatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja yang kuat. Pandangan Cherniss ini nampak sejalan dengan pandangan Freuddenberger bahwa seseorang memiliki sikap antusias dan tujuan yang hendak mereka capai pada awal bekerja. Ia merasa terpanggil untuk bekerja, sehingga idealisme mereka pun tinggi. Namun, stres yang dialami secara kronis menyebabkan mereka mengalami perubahan motivasi, mereka mengalami burnout (Greenberg Baron, 1993).

  Baron, McKnight Glass, Parker Kulik (dalam Sarafino, 1998) memberi definisi bahwa burnout sebagai suatu kondisi kelelahan fisik dan psikososial yang kronis, timbul sebagai akibat derajat stress yang tinggi karena pengendalian diri yang kurang kuat. Sedangkan Taylor (1999) menjelaskan bahwa burnout merupakan resiko yang terjadi pada individu yang bekerja dalam menghadapi orang-orang yang kekurangan.

  Kreitner dan Kinicki (2000) mendefinisikan burnout sebagai kondisi kelelahan emosional dan sikap-sikap negative dari waktu ke waktu. Kreitner dan Kinicki menjelaskan sikap-sikap negatif tersebut antara lain adalah fatalisme, kebosananan, ketidaksenangan, sinisme, ketidakcukupan, kegagalan, kerja berlebihan, kekasaran, ketidak puasan dan melarikan diri.

  Berdasarkan definisi dan pandangan-pandangan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak mendukung serta idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.

2. Dimensi Burnout

  Maslach menjelaskan bahwa pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain dapat membentuk hubungan yang bersifat "asimetris" antara pemberi dan penerima pelayanan. Seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian, pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa, atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang tersebut dapat menimbulkan ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya sumber-sumber emosional. Maslach (Schaufeli dkk., 1993) mengemukakan bahwa burnout merupakan sindrom yang memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.

a. Kelelahan Emosional

  Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis yang maksimal (Maslach, 2001).

b. Depersonalisasi

  Depersonalisasi, menurut Maslach (Schaufeli dkk., 1993) merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Ia menjelaskan depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan orang lain disekitarnya sebagai objek.

  Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orang-orang di sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme, mengurangi

  kontak dengan sekitarnya, berhubungan seperlunya saja, berpendapat negatif dan bersikap sinis terhadap sekitarnya (Maslach, 2001).

  Secara konkret seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung meremehkan, memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan bersikap kasar. Adapun rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan bahkan kehidupan, serta merasa bahwa ia belum pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat (Pines Aronson, 1988). Hal ini mengacu pada penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri dalam pekerjaan.

c. Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi

  Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menyatakan bahwa penurunan pencapaian prestasi pribadi disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan orang lain di sekitarnya secara negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang berkualitas buruk terhadap orang lain di sekitarnya, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif, misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang paling penting adalah mempunyai rasa empati.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout

  Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa penekanan burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap lingkungan kerja. Menurut beberapa tokoh seperti Caputo, Farber, Cherniss, kedua hal ini secara umum merupakan sumber burnout (Schaufeli dkk., 1993). Namun, pandangan tersebut agak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) berpendapat bahwa sumber utama timbulnya burnout adalah karena adanya stres yang berkembang secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan penerima pelayanan dalam

  mencari faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima pelayanan. Selain itu, analisis juga perlu untuk mengkaji faktor individu yang ada pada pemberi pelayanan yang turut memberi sumbangan terhadap timbulnya burnout.

  Dengan demikian faktor timbulnya burnout disebabkan oleh adanya: (1) karakteristik individu, (2) lingkungan kerja, dan (3) keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan.

a. Karakteristik Individu

  Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Schaufeli dkk., 1993).

1) Faktor demografik

  Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis kelamin antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional lebih mampu menangani tekanan yang besar. Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menemukan bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.

  Proses sosialisasi pria cenderung dibesarkan dengan nilai kemandirian sehingga diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya, wanita dibesarkan lebih berorientasi pada kepentingan orang lain (yang paling nyata mendidik anak) sehingga sikap-sikap yang diharapkan berkembang dari dalam dirinya adalah sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan kelembutan. Perbedaan cara dalam membesarkan pria dan wanita berdampak bahwa setiap jenis kelamin memiliki kekuatan dan kelemahan terhadap timbulnya burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan

  terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional.

  Terhadap latar belakang etnis, hasil penelitian Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat burnout yang cukup signifikan antara masyarakat keturunan Afrika dengan masyarakat Caucasian, pada para pekerja pelayanan sosial. Masyarakat keturunan Afrika cederung memiliki burnout yang lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Caucasian. Hal ini bisa terjadi karena mayarakat keturunan Afrika berasal dari ligkungan masyarakat yang menekankan pada hubungan kekeluargaan dan persahabatan. Oleh karenanya, mereka sudah terbiasa dengan hubungan yang melibatkan emosi, misalnya menghadapi konflik, menghadapi harapan yang tidak realistis. Di samping itu, kondisi masyarakat keturunan Afrika di Amerika Serikat telah terbiasa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan karena adanya diskriminasi dan kemiskinan. Dengan latar belakang kehidupan seperti itu, maka akan mendorong individu lebih siap mental dalam menghadapi masalah dan kejadian yang menyakitkan yang dapat menimbulkan burnout.

  Pada sisi usia, Farber (1991) menyatakan bahwa guru-guru di bawah usia empat puluh tahun paling berisiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan burnout. Demikian halnya dengan hasil penelitian Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993), bahwa burnout paling banyak dijumpai pada individu yang berusia muda. Hal ini wajar, sebab para pekerja pemberi pelayanan di usia muda dipenuhi dengan harapan yang tidak realistik, jika dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis.

  Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout. Profesional yang berstatus lajang lebih banyak yang mengalami burnout daripada yang telah menikah (Farber, 1991). Jika dibandingkan antara

  yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah: Pertama, Seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis; Kedua, keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional; Ketiga, kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan; Keempat, seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis (Schaufeli dkk., 1993).

  Profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi (Schaufeli dkk., 1993). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya, bagi profesional yang tidak berpendidikan tinggi, mereka cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

  Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara status profesional dengan burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko terhadap burnout jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu. Smith (dalam Caputo, 1991) dalam penelitiannya pada pegawai perpustakaan menemukan bahwa individu yang mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada mereka yang bekerja secara penuh.

2) Faktor Kepribadian

  Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah individu yang idealis dan antusias (Pines Aronson, 1989). Mereka adalah individu-individu yang memiliki sesuatu yang berharga. Pines (dalam Sutjipto, 2001) mencatat bahwa burnout lebih banyak terjadi pada nilai dan usaha

  (dalam Farber, 1991) menunjukkan bahwa guru-guru yang obsesional, penuh kasih, idealis, dan berdedikasi cenderung lebih rentan mengalami "sindrom guru yang terpukul". Suatu gangguan yang dipaparkan Bloch dengan cara yang hampir sama dengan yang dipaparkan orang lain mengenai burnout. Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan, dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri.

  Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri rendah rentan terhadap burnout. Ia menggambarkan bahwa karakteristik individu yang memiliki konsep diri rendah yaitu tidak percaya diri dan memiliki penghargaan diri yang rendah. Mereka pada umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah. Dalam bekerja, mereka tidak yakin sehingga menjadi beban kerja berlebihan yang berdampak pada terkurasnya sumber diri. Penilaian diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih menitikberatkan perhatian pada kegagalan dalam setiap hal sehingga menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss, 1980).