SIKAP KOMUNITAS FILM SURABAYA MENGENAI PENGESAHAN UNDANG UNDANG PERFILMAN MELALUI PEMBERITAAN DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Sikap Komunitas Film Surabaya Mengenai Pengesahan Undang Undang Perfilman di Surat Kabar Jawa Pos).

(1)

( Studi Deskriptif kuantitatif tentang sikap komunitas film di Surabaya mengenai berita pengesahan undang-undang perfilman pada surat kabar Jawapos )

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” JawaTimur

Oleh:

DEWI TRI PUSPASARI NPM. 0543010403  

       

YAYASAN KESEJAHTERAAN, PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


(2)

berita pengesahan undang-undang perfilman pada surat kabar Jawapos ) Disusun Oleh :

DEWI TRI PUSPASARI NPM. 0543010403

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,

Pembimbing Utama,

JUWITO, S Sos, M.Si NPT. 3 6704 95 00361

Mengetahui, D E K A N

Dra.Hj.SUPARWATI,M.Si NIP. 030 175 349


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus sebab oleh rahmat dan perkenanNya penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul ”Sikap komunitas film di surabaya mengenai berita pengesahan undang undang perfilman di Surat kabar Jawapos”. Skripsi ini merupakan program yang wajib dilaksanakan oleh setiap mahasiswa / mahasiswi FISIP Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang telah memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan.

Dalam penyusunan proposal skripsi ini, penulis tidak lepas dari bimbingan serta bantuan dari semua pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu keberhasilan dalam penyusunan proposal ini, baik secara moral maupun material, diantaranya :

1. Bapak IR. H. Didiek Tranggono, Msi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.sos, MSi, Ketua program studi FISIP UPN “Veteran” Jatim sekaligus Dosen pembimbing dalam proposal skripsi ini.

3. Orang tua yang selalu mendukung dan memberikan doa, nasehat, serta kasih sayang yang tiada hentinya.

4. My-B yang slalu jadi inspirasi penulis untuk menjadi lebih baik

5. Teman - teman kampus yang selalu setia memberi dukungan, kritik dan saran.


(4)

  iii

6. Soelastrie People’s : Rio, Dhani, Anton Eboy, Johny Gerrard, Ista Negro, Indra, Amad, Topek, Sanda, Hamsyah, A2ng, Tony Tewel, BramBoed, Toby dan semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu membantu dan menghibur penulis saat sedang jenuh.

7. Seluruh teman – teman di Ilmu Komunikasi FISIP angkatan 2005.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa Komunikasi. Penulis juga menyadari jika proposal skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga kritik serta saran akan sangat membantu dan menjadi masukan yang berharga bagi penulis.

Surabaya, 17 November 2009


(5)

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.4 Kegunaan Penelitian ... 14

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 14

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

2.1 Landasan Teori ... 15

2.1.1 Definisi Media Massa ... 15

2.1.2 Peran Media Massa ... 17

2.1.3 Definisi Surat Kabar ... 18

2.1.4 Surat Kabar Sebagai Kontrol Sosial ... 18

2.1.5 Ciri-ciri Surat Kabar ... 20


(6)

2.1.9 Berita Pengesahan undang-undang Perfilman ... 23

2.1.10 Komunitas Film ... 23

2.1.11 Sikap ... 24

2.1.12 Efek Komunikasi Massa ... 25

2.1.13 Teori S – O – R ... 27

2.1.14 Kerangka Berpikir ... 29

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 31

3.1.1 Sikap komunitas film di Surabaya terhadap pengesahan undang-undang perfilman melalui pemberitaan di Jawa Pos ... 32

3.2 Populasi, Sampel dan Penarikan Sampel ... 37

3.2.1 Populasi ... 37

3.2.2 Penarikan Sampel ... 38

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 38

3.4 Metode Analisis Data ... 39

BAB IV HASIL PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 40

4.1.1 Sejarah Berdirinya Surat Kabar Jawa Pos... 40

4.1.2 Gambaran Umum Komunitas Film Surabaya ... 45


(7)

4.2.3 Pendidikan Terakhir Responden ... 47 4.3 Terpaan Surat Kabar Jawa Pos... 48 4.3.1 Frekuensi Komunitas Komunitas Film Membaca Berita

Pengesahan Undang-Undang Perfilman di Surat Kabar Jawa Pos ... 48 4.3.2 Sikap Komunitas Film di Surabaya Mengenai Pengesahan Undang-undang Perfilman Melalui Pemberitaan Surat Kabar Jawa Pos ... 68 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 72 5.2 Saran ... 73


(8)

Tabel 4.2 Usia Responden (n-100)... 47 Tabel 4.3 Pendidikan Terakhir Responden ... 48 Tabel 4.6 Frekuensi Menonton Tayangan Infotainment di Televisi Dalam

Satu Minggu (n=100) ... 49 Tabel 4.7 Responden mengetahui bahwa pengesahan

undang-undang perfilman diwarnai penolakan dari insan film

melalui pemberitaan surat kabar Jawa Pos... 51 Tabel 4.8 Responden mengetahui bahwa masih banyak pasal yang

bias dan masih perlu dikaji lagi dalam undang-undang

perfilman melalui pemberitaan surat kabar Jawa Pos ... 52 Tabel 4.9 Responden mengetahui bahwa alasan pengesahan

undang-undang perfilman oleh DPR untuk mengejar deadline akhir masa jabatan 2004-2009 melalui pemberitaan di Jawa Pos ... 53 Tabel 4.10 Responden mengetahui alasan pengesahan

undang-undang perfilman demi melestarikan film local dan untuk melindungi moral bangsa melalui pemberitaan di surat

kabar Jawa Pos ... 55 Tabel 4.11 Aspek Kognitif Komunitas Film di Surabaya mengenai

Pengesahan Undang-Undang Perfilman ... 56


(9)

Tabel 4.13 Responden mendukung dengan pengesahan

undang-undang perfilman demi melestarikan film lokal ... 59 Tabel 4.14 Responden mendukung sikap sineas film yang menolak

pengesahan undang undang perfilman ... 60 Tabel 4.15 Responden kecewa karena karena sikap DPR yang

terburu buru mengesahkan undang-undang perfilman

demi deadline akhir masa jabatan 2004-2009... 61 Tabel 4.16 Aspek Afektif Komunitas Film di Surabaya Mengenai

Berita Pengesahan Undang-Undang Perfilman... 62 Tabel 4.17 Jika responden anda akan melakukan demonstrasi untuk

memperjuangkan supaya undang undang perfilman

digodok kembali... 64 Tabel 4.18 Responden melakukan apapun yang diinginkan berkaitan

dengan kegiatan film mereka dan mengabaikan

undang-undang perfilman ... 66 Tabel 4.19 Responden akan melaporkan ke pihak berwajib atau

bahkan akan mengadukan permasalahan pengesahan

undang-undang perfilman ke Mahkamah Agung... 67


(10)

Pengesahan Undang-Undang Perfilman Melalui Pemberitaan di Surat Kabar Jawa Pos... 70


(11)

Gambar 2.1 Model Komunikasi S-O-R (Effendy, 2003 : 255) ... 28 Gambar 2.2 Bagan kerangka berpikir di atas menggambarkan

hubungan pengaruh pemberitaan surat kabar Jawa Pos dengan sikap komunitas film di Surabaya mengenai

pengesahan undang-undang perfilman ... 30


(12)

viii

Lampiran 2 Sikap Kognitif Komunitas Film di Surabaya Mengenai Pengesahan Undang-Undang Perfilman Melalui Pemberitaan di Surat Kabar Jawa Pos ... Lampiran 3 Sikap Afektif Komunitas Film di Surabaya Mengenai

Pengesahan Undang Undang Perfilman Melalui Pemberitaan di Surat Kabar Jawa Pos ... Lampiran 4 Sikap Konatif Komunitas Film di Surabaya Mengenai

Pengesahan Undang Undang Perfilman Melalui Pemberitaan di Surat Kabar Jawa Pos ... Lampiran 5 Tabel Perolehan Total Sikap ...


(13)

MELALUI PEMBERITAAN DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Sikap Komunitas Film Surabaya Mengenai Pengesahan Undang Undang Perfilman di Surat Kabar Jawa Pos)

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap komunitas film surabaya terkait pengesahan undang undang perfilman yang diberitakan oleh harian Jawa Pos. Dalam proses pengesahannya undang undang perfilman ditentang oleh insane film, tetapi tetap disahkan oleh DPR.

Sedangkan landasan teori yang digunakan adalah S-O-R, dimana media dapat mempengaruhi sikap public. Menurut teori stimulus – organism - response ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Dalam hal ini pemberitaan di Jawa Pos mengenai pengesahan undang undang perfilman dapat mempengaruhi sikap komunitas film.

Kemudian populasi dalam penelitian ini adalah komunitas film yang berada di Surabaya dan membaca berita pengesahan undang undang perfilman dalam pemberitaan di surat kabar Jawa Pos. Teknik sampel yang digunakan adalah total sampling. Dimana setiap populasi mempunyai peluang yang sama untuk menjadi sample dalam penelitian. Setelah melalui penyaringan ditetapkan sampel dalam penelitian ini 101 orang dari populasi yang berjumlah 175 orang.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai sikap netral terkait pengesahan undang undang perfilman yang diberitakan oleh surat kabar Jawa Pos. Dimana isi pemberitaanya yaitu dalam proses pengesahannya undang undang perfilman banyak ditentang oleh insan film lokal.

Keyword: Sikap, Pengesahan Undang Undang Perfilman, Komunitas Film


(14)

1.1 Latar Belakang Masalah

Dunia perfilman Indonesia dalam beberapa tahun ini mulai mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal itu terlihat setidaknya sejak tahun 2000 dimana bermunculan film yang bernuansa remaja hingga film yang horror. Animo masyarakat pun juga mulai menunjukkan minat yang positif terhadap perfilman local yang sebelumnya mereka lebih memilih film manca negara, misalnya film India, barat dan sebagainya.

Dan akhir-akhir ini minat masyarakat mulai mengarah pada film yang bertajuk religius. Terbukti dengan banyaknya film yang mengangkat tentang keagamaan. Sebut saja ayat-ayat cinta, ketika cinta bertasbih dan banyak lagi yang lain. Para pekerja film dituntut untuk selalu kreatif dalam mengekspresikan ide mereka dalam film demi mengantisipasi kebosanan khalayak.

Memang minat khalayak sebagai sebagai penonton selalu berubah-ubah. Ada kalanya mereka menginginkan film yang betul-betul memiliki nilai social dalam kehidupan tanpa mengabaikan sisi komedi yang membuat mereka terhibur. Maka dari itu selain film yang bernuansa religius, juga banyak sekali film yang mengangkat tentang pengalaman konyol individu sehari-hari. Biasanya film komedi ini dibalut dengan kehidupan seksual, yang beberapa kalangan menganggap hal itu adalah pornografi atau pornoaksi.


(15)

Baru-baru ini Indonesia diramaikan oleh dengan pro kontra rancangan undang-undang perfilman. Rancangan undang-undang tersebut akhirnya disahkan menjadi undang-undang DPR dalam rapat paripurna pada 8 september 2009. Undang-undang ini dimaksudkan guna melindungi moral serta prilaku bangsa dari berbagai hal negative yang tercermin dalam sebuah film. Selain itu undang-undang ini demi melindungi dan memelihara dunia perfilman Indonesia.

Namun undang-undang ini diwarnai dengan penolakan dari beberapa insane film kondang, mulai dari artis-artis terkenal yang sering mengisi layar kaca perfilman dan sutradara yang banyak menelurkan karya film local berkualitas. Sebutlah Dedi Mizwar, Nia Dinata, Rima Melati, Slamet Rahardjo dan sutradara film remaja Ada Apa dengan Cinta, Mira Lesmana dan Riri Reza. Mereka merasa UU Perfilman yang baru tersebut justru akan mematikan perfilman nasional yang mulai tumbuh, mematikan kreatifitas dan lebih banyak mengatur mengenai tata niaga perfilman.

Menurut beberapa insane film yang menolak terhadap disahkannya undang-undang perfilman Indonesia bahwa film merupakan gambaran dari kehidupan social,dimana masyarakat bias mengambil hikmah dari hal tersebut. Namun menurut sebagian besar anggota DPR sebaliknya, ilustrasi dalam film tersebut dikhawatirkan dapat merusak moral dan prilaku bangsa. Seperti halnya kehidupan narkoba, SARA dan sebagainya yang kemudian dapat mempengaruhi prilaku masyarakat.

Ada beberapa pasal yang diperdebatkan pada beberapa sesi talkshow di televise yang dihadiri para insane film dan anggota DPR dengan topic pro kontra undang


(16)

undang perfilman. salah satunya, Pasal 6 misalnya, mengatur secara rinci sejumlah larangan isi yang boleh ditampilkan dalam film. Film dilarang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif, menonjolkan pornografi, memprovokasi pertentangan kelompok, antarsuku, dan atau antargolongan, menistakan agama, dan merendahkan harkat martabat manusia.

Yang dipertanyakan di sini ialah penafsiran tentang apa-apa saja yang dapat mendorong khalayak melakukan tindakan seperti yang disebutkan di atas? Apakah tidak boleh menampilkan adegan orang mengkonsumsi narkotika, misalnya? Lalu bagaimana dengan film yang memang harus menampilkan adegan tersebut sebagai nilai edukasinya? Hal yang demikianlah yang menurut para sineas RUU Perfilman menjadi kontraproduktif.

Film impor ataupun pembuatan film oleh pihak asing juga sepertinya dibatasi. Terlihat dari beberapa pasal yang mengacu pada hal tersebut, diantaranya:

Pasal 13 mengatur pengedaran film impor tak boleh melebihi 50 persen. Pada pasal 32, diatur pula pertunjukan film Indonesia sekurang-kurangnya 50 persen dari seluruh jam pertunjukan film, kecuali dalam hal sediaan film Indonesia tidak cukup.

Pasal 23 mengatur pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan dengan izin Menteri.


(17)

Pasal 42 mengatur pula, pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang berpengaruh negatif terhadap nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

Maka dari itu, banyak pihak khususnya para insane film yang merasa bahwa undang undang tersebut harus lebih dikaji lagi, Jadi tidak perlu terburu-buru. Sedangkan pengesahan undang undang tersebut didasarkan pada deadline masa akhir jabatan anggota DPR periode 2004-2009. Hal ini menunjukkan spekulasi bahwa anggota DPR yang sudah didaulat sebagai wakil rakyat dalam pengesahan undang undang perfilman hanya untuk menggenapkan laporan akhir masa jabatan mereka. sedangkan ungkapan tersebut yang dilontarkan oleh perwakilan anggota DPR dalam sebuah sesi acara di salah satu stasiun televise nasional.

Pada undang-undang perfilman sebelumnya, yang lebih dititik beratkan adalah masalah pornografi dan pornoaksi sehingga banyak film yang gagal tayang, tapi tak sedikit pula yang sukses tayang dan menuai kontroversi di masyarakat. Hal ini menggambarkan lemahnya Lembaga Sensor Film (LSF) yang menyeleksi setiap film yang akan tayang dan akan dikonsumsi public. Maka dari itu disahkannya undang-undang yang berkualitas harus diimbangi dengan SDM yang tegas pula, sehingga adanya undang-undang tersebut betul-betul efisien dan efektif.

Perfilman di Negeri ini memang sedang berkembang, mengingat besarnya animo masyarakat terhadap film local. Sebenarnya hal tersebut sudah mulai terlihat sejak akhir-akhir tahun belakangan ini, misalnya film remaja Ada Apa


(18)

Dengan Cinta dan baru-baru ini film bernuansa religi Ayat Ayat Cinta serta masih banyak film lainnya. Hal ini tentu saja membuat para insane film lebih terpacu untuk menghasilkan karya yang lebih bagus lagi, sehingga dapat memuaskan konsumen, yang dalam hal ini masyarakat.

Film memang menjadi salah satu alternative masyarakat dalam mencari hiburan, terlebih lagi masyarakat kota. Setiap akhir pekan bias kita perhatikan di gedung-gedung bioskop ibu kota dipenuhi dengan mereka yang ingin melepaskan ketegangan dengan menonton film, padahal tiket masuk terbilang mahal. Namun harapan setiap penonton film tersebut sama, yaitu mendapatkan tontonan yang berkualitas dan tentunya memuaskan.

Tetapi pengesahan undang-undang perfilman sedikit banyak akan mempengaruhi hasil karya insane film berikutnya. Penolakan terhadap pengesahan undang-undang perfilman ini banyak datang dari insane film kondang yang banyak menghasilkan karya berkualitas dan patut dibanggakan. Secara terang-terangan mereka beranggapan bahwa disahkannya undang-undang perfilman dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh perfilman Indonesia. Namun tetap saja DPR mempunyai asumsi bahwa undang-undang tersebut untuk mengayomi dunia perfilman local. Berarti kalau sudah seperti itu masyarakat kita akan memilih untuk menonton film manca Negara.

Pro kontra mengenai pengesahan undang-undang perfilman ini juga terjadi didalam gedung DPR antara beberapa perwakilan dari setiap fraksi. Beberapa fraksi menolak disahkannya undang-undang tersebut, karena banyaknya ketidak sesuaian dalam setiap pasalnya, misalnya perwakilan dari fraksi PDI-P.


(19)

Menurutnya undang-undang ini memang lebih baik dari undang-undang sebelumnya, tetapi masih banyak pasal yang kurang sesuai. Namun karena lebih banyaknya suara dari setiap perwakilan fraksi di DPR yang mendukung, sehingga akhirnya undang-undang yang mengatur tentang perfilman pun disahkan.

Kondisi seperti ini pun dimanfaatkan media untuk berita yang kemudian disebarkan ke khalayak lusa. Setiap media berlomba-lomba untuk memberitakan hal tersebut secara bersamaan, tentunya dengan kemasan dan perspektif yang berbeda. Ada media yang lebih menekankan pada pihak yang pro, dan ada pula yang mengambil penekanan pada mereka yang kontra terhadap undang-undang tersebut. Sebagai media massa penyampai informasi, pers juga mempunyai kekuatan besar untuk mempengaruhi public. Mereka dapat mempengaruhi pola pikir para penontonnya yang awalnya setuju menjadi tidak setuju, yang awalnya suka menjadi tidak suka dan sebaliknya.

Komunikasi massa merupakan proses komunikasi melalui media massa modern, dengan kata lain media massa bisa diartikan sebagai suatu proses dimana komunikator secara professional menggunakan media massa dalam menyeberkan pesannya untuk mempengaruhi khalayak banyak. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan, dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah banyak dengan menggunakan media (Effendi, 2000:79-80)

Teori dasar yang diungkapkan Laswel tentang komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media untuk menghasilkan efek. (Pengantar Ilmu Komunikasi, Deddy Mulyana). Efek terbagi menjadi tiga, yaitu :


(20)

1. Kognitif

Melalui komunikasi komunikan mendapatkan pengetahuan baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Pengaruh komunikasi ini hanya mempengaruhi komunikan dari tidak tahu menjadi tahu.

2. Afektif

Pengaruh komunikasi terhadap perasaan komunikan. Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu perasaan suka atau tidak suka atas informasi yang disampaikan oleh komunikator.

3. Konatif

Dalam tahap ini komunikan cenderung melakukan tindakan nyata karena pengaruh terpaan komunikasi.

Seorang komunikator dapat dikatakan efektif dalam penyampaian pesannya jika sudah menghasilkan tiga efek diatas dari komunikannya. Artinya pesan yan disampaikan komunikator kepada komunikan dapat ditangkap dengan baik, sehingga kemungkinan besar akan menghasilkan efek yang diharapkan.

Kegiatan komunikasi dapat dilakukan secara langsung dan dapat pula dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan media massa. Media massa tersebut adalah pers, radio, televisi, film, dan lain – lain. Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan bahkan termasuk media massa elektronik, radio, siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas pada media massa cetak yakni, surat kabar, majalah, tabloid, dan buletin kantor berita. (Effendy, 1993 : 145)


(21)

Media komunikasi banyak jumlahnya, mulai dari yang tradisional sampai yang modern, misalnya kentongan, bedug, pagelaran kesenian, surat, papan pengumuman, telepon, telegram, pamflet, poster, spanduk, surat kabar, majalah, film, radio, dan televisi yang pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai media tulisan atau cetakan, visual, aural, dan audio-visual. Untuk mencapai sasaran komunikasi dapat memilih salah satu atau gabungan dari beberapa media, tergantung pada tujuan yang akan dicapai, pesan yang akan disampaikan, dan teknik yang akan dipergunakan. (Effendy, 2003:37)

Di antara beberapa jenis media tersebut, media cetak seperti surat kabar memiliki ciri khas dibandingkan dengan media massa lainnya. Yang penting bukan hanya sifatnya yang merupakan media cetak, tetapi khalayak yang diterpanya bersifat aktif, tidak pasif seperti kalau mereka diterpa media radio, televisi dan film. (Effendy, 2000:313).

Pesan melalui media cetak diungkapkan dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan makna apabila khalayak berperan secara aktif. Karena itu berita, tajuk rencana, artikel, dan lain-lain, pada media cetak harus disusun sedemikian rupa, sehingga mudah dicerna oleh khalayak. Kelebihan media cetak lainnya, ialah bahwa media ini dapat di kaji ulang, didokumentasikan, dan dihimpun untuk kepentingan pengetahuan, serta dapat dijadikan bukti otentik yang bernilai tinggi. (Effendy, 2000: 313-314).

Media memiliki kemampuan dalam membeberkan suatu fakta bahkan membentuk opini masyarakat. Salah satu media yang secara gamblang dan lebih


(22)

rinci dalam pemberitaannya adalah surat kabar, sebagaimana diungkapkan oleh Djuroto (2002:11) bahwa :

“Surat kabar merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang diterbitkan secara teratur dan bisa terbit setiap hari atau seminggu sekali.”

Surat kabar merupakan salah satu jenis media cetak yang dinilai lebih up to date dalam menyajikan berita-berita yang akan disampaikan kepada khalayak. Beberapa kelebihan dari surat kabar diantaranya yaitu bisa disimpan lebih lama atau dapat diulang dan jelas, berbeda dengan media elektronik yang hanya bisa menginformasikan sepintas dan membutuhkan perhatian dari komunikan untuk bisa memahami isi dan pesan.

Surat kabar berbeda dengan media elektronik dalam hal kecepatan penyampaian informasi ke masyarakat, informasi lewat media elektronik seperti radio dan televisi lebih bisa menyiarkan informasi dalam waktu beberapa menit setelah informasi tersebut ditemukan, dan surat kabar harus menunggu beberapa jam disampaikan kepada masyarakat namun surat kabar mempunyai metode sendiri untuk menarik perhatian masyarakat dengan versi cerita yang lebih mendalam, surat kabar berani untuk tampil berbeda, berita ekslusif dari surat kabar yang sulit dikalahkan oleh media elektronik.

Surat kabar tidak hanya saja sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa juga mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan untuk memberikan analisis yang sangat kritis yang akan


(23)

menumbuhkan motivasi, mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat untuk semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di dalam media khususnya surat kabar. Namun tidak setiap informasi mengandung dan memiliki nilai berita. Setiap informasi yang tidak memiliki nilai berita, menurut pandangan jurnalistik tidak layak untuk dimuat, disiarkan atau ditayangkan media massa. Hanya informasi yang memiliki nilai berita atau memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media (Sumadiria, 2005:86).

Untuk membuat informasi menjadi lebih bermakna biasanya sebuah media cetak melakukan penonjolan-penonjolan terhadap suatu berita. Dalam pengambil keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita (Sobur, 2001:163).

Assegaff (1983 : 5) mengemukakan : “Berita adalah laporan tentang suatu kejadian yang dapat menarik perhatian pembaca”. Sedangkan menurut Charnley, berita adalah laporan tercepat dari suatu peristiwa atau kejadian yang faktual, penting dan menarik bagi sebagian besar pembaca, serta menyangkut kepentingan mereka. (Romli, 2005 : 5).

Terdapat empat unsur yang dikenal sebagai nilai – nilai berita (Romli, : 2005 : 5). a. Cepat : berarti ketepatan waktu atau aktual. Berita adalah sesuatu yang


(24)

b. Nyata : berarti fakta (bukan karangan ataupun fiksi). Didalamnya terdapat kejadian nyata, pendapat dan pernyataan sumber berita atau sesuai dengan keadaan sebenarnya dan apa adanya.

c. Penting : berarti menyangkut kepentingan orang banyak (berpengaruh pada kehidupan masyarakat secara luas, dinilai perlu diketahui dan diinformasikan kepada orang banyak).

d. Menarik : berarti mengundang orang untuk membaca berita yang ditulis dan dimuat dalma media cetak. Selain berita yang menarik perhatian pembaca, aktual, dan faktual serta menyangkut kepentingan orang banyak, berita bersifat menghibur atau lucu juga dibutuhkan oleh masyarakat luas atau para pembaca. Berita yang mengandung keganjilan atau keanehan, bahkan berita yang menyentuh emosi atau menggugah perasaan (human interest) juga diperlukan.

Seperti halnya pada kasus-kasus pro kontra sebelumnya, misalnya tentang pengesahan RUU pornografi yang terbilang alot dan sempat melibatkan banyak kalangan saling bertentangan, namun saat ini penerapannya dipertanyakan. Begitu juga dengan disahkannya undang-undang perfilman yang sempat ramai diberitakan oleh setiap media massa cetak atau elektronik nasional yang menyebabkan munculnya kecemasan dari masyarakat. Terlebih lagi bagi para komunitas kecil atau besar film tentang masa depan perfilman Indonesia yang sedang berkembang, tetapi diwarnai dengan konflik DPR sebagai pembuat undang-undang dan insane film ternama sebagai pelaku film.


(25)

Media sangat berperan besar dalam mempengaruhi dan menentukan sikap khalayak. Setiap pemberitaan dalam media akan memunculkan perubahan yang signifikan bagi para pembaca atau penontonnya. Menyadari akan hal itu setiap media pun berusaha untuk menampilkan informasi yang akurat bahkan cenderung mendramatisir. Setiap berita atau informasi dikemas sedemikian rupa dan kemudian ditampilkan dengan cara berbeda demi menarik perhatian khalayak. Terkait pro kontra undang-undang perfilman hampir semua media, khususnya media cetak berlomba-lomba untuk memberitakan isu tersebut secara serentak.

Bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kota film hampir menjadi kebutuhan yang mempunyai porsi pemenuhan berbeda. Yaitu dalam hal mencari hiburan atau melepaskan ketegangan dari rutinitas mereka sehari-hari. Sehingga menjadi hal yang wajar ketika para insane film bersaing untuk memberikan suguhan menarik dalam setiap karya mereka. Tidak dapat dipungkiri pada akhirnya untuk dapat menilai film berkualitas atau tidak adalah dengan melihat animo khalayak dalam menonton sebuah film. Ketika undang-undang perfilman disahkan praktis para insane film merasa ide kreatif mereka dibatasi oleh norma hukum.

Melihat efek yang bisa ditimbulkan oleh media massa, dalam hal menyampaikan informasi atau pesan yang bertemakan pro kontra undang-undang perfilman, maka peneliti melihat adanya fenomena yang menarik untuk dibahas, dimana media massa bisa menjadi sumber informasi yang bisa menambah pengetahuan bagi penontonnya dan bukan hal yang tidak mungkin media massa dapat mempengaruhi sikap pembaca atau penontonnya, yakni masyarakat. Oleh


(26)

karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana sikap komunitas film di Surabaya terhadap pemberitaan pengesahan undang-undang perfilman di media massa dengan melihat bagaimana berita tersebut dikemas dan disajikan oleh media kepada audience-nya.

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bergabung dalam sebuah komunitas perfilman, baik dalam skala kecil atau besar. Hal ini cukup beralasan, mengingat mereka adalah merupakan pelaku atau otak dibalik sebuah film. Selain itu tidak sedikit pula bagi mereka yang menyandarkan masa depan mereka dalam dunia perfilman. Sedangkan lokasi penelitian adalah kota Surabaya yang merupakan ibu kota terbesar kedua setelah Jakarta. Banyak seniman yang terjun dalam dunia film berasal dari Surabaya, selain itu komunitas kecil perfilman atau teatre juga seringkali kita jumpai, misalnya disanggar teatre atau bahkan universitas di Surabaya yang mempunyai ekskul film. Surabaya juga mempunyai beberapa komunitas pecinta film, yaitu Q-community yang selalu aktif dalam pengadaan event film indie di Surabaya. Komunitas ini diresmikan sejak 2007, padahal proposal yang di ajukan pada Q-community Jakarta sudah dari 2004. Selain itu juga terdapat komunitas film AWS “KOPI” yang aktif dalam kegiatan perfilman, misalnya pengadaan film indie.

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas peneliti dapat merumuskan permasalahan penelitian ini, yaitu:

Bagaimana Sikap komunitas film di Surabaya mengenai pengesahan undang-undang perfilman melalui pemberitaan di surat kabar Jawa Pos?


(27)

“studi deskriptif kuantitatif mengenai sikap komunitas film di Surabaya mengenai pengesahan undang undang perfilman melalui pemberitaan di surat kabar Jawa Pos”.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana Sikap komunitas film di Surabaya mengenai pengesahan undang-undang perfilman melalui pemberitaan di surat kabar Jawa Pos.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis.

Sebagai bahan tambahan pemikiran untuk ilmu komunikasi terutama topik bahasan yang berhubungan dengan Sikap komunitas film di Surabaya terhadap pemberitaan mengenai pro kontra undang-undang perfilman, khususnya media massa cetak dan sebagai bahan pertimbangan untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini bisa menambah pengetahuan masyarakat bahwa media massa cetak seperti surat kabar merupakan bentuk media yang perlu perhatian, pengertian dan pemikiran yang luas didalam penyajiannya, terutama dalam penyajian informasi tentang sesuatu yang berbau pro kontra.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Definisi Media Massa

Komunikasi massa merupakan proses komunikasi melalui media massa modern, dengan kata lain komunikasi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana komunikator secara profesional menggunakan media massa dalam menyebarkan pesannya untuk mempengaruhi khalayak banyak. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan, dan sikap kepada komunikan yang beragam pada jumlah banyak dengan menggunakan media (Effendi, 2003:79-80).

Media massa merupakan sumber kekuatan sebagai alat kontrol manajemen dan inovasi dalam pelanggan yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya yang lain. Media merupakan lokasi (atau forum) yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan pelanggan, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Media seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan (Mc. Quail, 2005:3).

15  


(29)

Secara garis besar media massa dapat dibedakan menjadi dua, yakni media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak maupun elektronik merupakan media massa yang banyak digunakan oleh masyarakat di berbagai lapisan sosial, terutama di masyarakat kota. Keberadaan media massa seperti halnya pers, radio, televisi, film, dan lain-lain, tidak terlepas kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Media massa dapat menjadi jembatan yang menghubungkan komunikator dengan komunikan yang melintasi jarak, waktu, bahkan lapisan sosial dalam pelanggan (Sugiharti, 2000:3).

Media komunikasi massa bersifat tidak langsung dan oleh karenanya perencanaan, pengolahan, dan penyampaian pesan baik itu bersifat informasi, edukasi, persuasi, dan hiburan kepada khalayak dibuat sedemikian rupa sehingga mencapai sasaran yang dikehendaki. Komunikasi massa bersifat satu arah (one way traffic). Begitu pesan disebarkan komunikator, tidak diketahuinya apakah pesan itu diterima, dimengerti, atau dilakukan oleh komunikan (Effendi, 2003:314).

Media massa yang digunakan sebagai sumber berita tentang Kampanye Antisuap dalam penelitian ini yaitu media cetak berupa surat kabar yang menginformasikan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Kampanye Antisuap baik berupa informasi, himbauan ataupun iklan layanan masyarakat.


(30)

2.1.2 Peran Media Massa

Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigmanya, peran media massa adalah (Bungin, 2006:85) : 1. Sebagai institusi pencerahan, yaitu perannya sebagai media edukasi. Media

massa menjadi media yang setiap saat mendidik pelanggan supaya cerdas, terbuka pikirannya dan menjadi pelanggan yang maju.

2. Selain itu media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada pelanggan. Dengan informasi yang terbuka, jujur dan benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi, masyarakat yang terbuka dengan informasi, sebaliknya pula masyarakat akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuannya.

3. Terakhir media massa sebagai media hiburan. Sebagai agent of change, media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan kebudayaan. Sebagai agent of change yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan pelanggan sakinah. Dengan demikian media masa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.


(31)

2.1.3 Definisi Surat Kabar

Menurut Junaedhie (2002:12) pers disebut sebagai surat kabar, sebutan bagi penerbitan pers yang masuk dalam media massa tercetak seperti lembaran kerja berisi berita-berita, karangan-karangan dan iklan dan diterbitkan secara berkala, bisa harian, mingguan, bulanan serta diedarkan secara umum. Sedangkan surat kabar menurut Sutisna (2003:289) merupakan salah satu media penyampai pesan yang mempunyai daya jangkau yang luas dan massal. Surat kabar berfungsi sebagai penyampai berita kepada para pembacanya.

2.1.4 Surat Kabar Sebagai Kontrol Sosial

Kontrol Sosial menurut J.S Roucek dalam pengendalian sosial (1987 :2) adalah sekelompok proses yang direncanakan atau tidak yang mana individu diajarkan atau dipaksa untuk menerima cara-cara dan nilai kehidupan kelompok.

Dari definisi ini menonjol sifat kolektif dan usaha kelompok untuk mempengaruhi individu agar tidak menyimpang dari apa yang oleh kelompok dinilai sangat baik. Dalam hubungan ini individu bahkan dapat dipaksa untuk kalau perlu bertindak bertentangan dengan keinginannya untuk mengikuti nilai-nilai yang benar menurut kepentingan bersama.

Sedangkan pengertian lain dari kontrol sosial adalah tekanan mental terhadap individu dalam bersikap dan bertindak sesuai penilaian kelompok. (Susanto, 2000 :115). Dalam hal ini sebenarnya kontrol sosial bertujuan :

1. Menyadarkan individu tentang apa yang sedang dilakukannya. 2. Mengadakan himbauan kepada individu untuk mengubah sikap diri.


(32)

3. Perubahan sikap yang kemudian diusahakan untuk menjadi norma baru (Susanto, 2000: 116)

Idealisme yang melekat pada pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyiarkan informasi yang objektif dan edukatif, menghibur, melakukan kontrol sosial yang konstruktif dengan menyalurkan segala aspirasi masyarakat, serta mempengaruhi masyarakat dengan melakukan komunikasi dan peran serta positif dari pelanggan itu sendiri. (Effendy, 2003: 149)

Sementara (Sumadiria, 2005 : 32-35) dalam Jurnalistik Indonesia menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu :

1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secepat cepatnya kepada pelanggan yang seluas-luasnya yang actual, akurat, factual dan bermanfaat.

2. Fungsi Edukasi, maksudnya disini informasi yang disebar luaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers harus mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru pers.

3. Fungsi hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan pelanggan.

4. Fungsi kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan pelanggan. Pers akan senantiasa menyalahkan ketika melihat penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu pelanggan atau negara.


(33)

5. Fungsi mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilitator atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan yang lain.

2.1.5 Ciri-Ciri Surat Kabar

Ciri-ciri surat kabar menurut Effendy (2003:91) adalah sebagai berikut : a. Publisitas

Yaitu penyebarannya kepada publik atau khalayak dan bersifat umum. Dengan ciri ini, maka penerbitan yang bentuk dan fisiknya sama dengan surat kabar tidak bisa disebut surat kabar apabila diperuntukkan untuk sekelompok orang atau segolongan orang. Penerbitan yang sifatnya khusus, tidak termasuk surat kabar.

b. Periodesitas

Yaitu keteraturan terbitnya surat kabar, bisa satu kali sehari, dua kali sehari, dapat pula satu kali atau dua kali dalam seminggu. Kalaupun ada yang diterbitkan lebih dari satu kali, terbitnya tidak teratur.

c. Universalitas

Yaitu kesemastaan isinya, beraneka ragam dari seluruh dunia. Isi surat kabar haruslah berita-berita yang mencakup berita yang ada dari dalam maupun luar negeri, sehingga khalayak (audience) mengetahui segala jenis kejadian atau peristiwa yang sedang terjadi di seluruh dunia.


(34)

d. Aktualitas

Yaitu laporan mengenai peristiwa yang terjadi dan dilaporkan harus benar atau bisa juga kecepatan laporan tanpa mengesampingkan pentingnya kebenaran berita.

2.1.6 Definisi Berita

Menurut Mitchel V. Charnley, berita adalah laporan yang tepat waktu mengenai fakta atau opini yang memiliki daya tarik atau hal penting atau kedua-duanya bagi pelanggan luas. (Deddy Iskandar 2005:22)

2.1.7 Jenis Berita

Menurut Deddy Iskandar dalam bukunya yang berjudul Jurnalistik Televisi, berita pada umumnya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu : a. Hard News (Berita berat), adalah berita tentang peristiwa yang dianggap

penting bagi pelanggan baik sebagai individu, kelompok, maupun organisasi.

b. Sofat News (Berita ringan, adalah berita yang tidak terikat dengan aktualisasi namun memiliki daya tarik bagi pemirsanya.

c. Investigasi Reports (Laporan penyelidikan), adalah jenis berita yang eksklusif karena datanya didapat melalui proses penyelidikan.


(35)

2.1.8 Pengaruh Media

Menurut Prastyono (Rakhmat 2005 : 23), media exposure dapat diartikan sebagai terpaan media. Sedangkan, Shore mengatakan “Exposure is hearing, seeing, reading, or most genneraly, experiencing, with at least a minimal amount of interest the mass media. The exposure might occure to an individual or group level”, (Rakhmat 2003 : 23). Jadi dapat dikatakan bahwa terpaan merupakan kegiatan mendengar, melihat, dan membaca pesan – pesan media ataupun mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu maupun kelompok.

Rosengen mengemukakan bahwa penggunaan media terdri dari jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media, jenis isi media, media yang dikonsumsi dan berbagai hubungan antara individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan (Rakhmat 2005 : 66).

Terpaan media berusaha mencari data khalayak tentang penggunaan media baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan atau longerity (Ardianto Erdinaya, 2004). Sedangkan, pengaruh antara khalayak dengan isi media meliputi attention atau perhatian. Kenneth E. Andersen mendefinisikan perhatian sebagai proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah (Rakhmat, 2005).


(36)

2.1.9 Berita Pengesahan Undang-Undang Perfilman

Pada 8 September 2009 rancangan undang-undang perfilman disahkan lewat sidang paripurna DPR. Namun masih banyak insane film yang menolak pengesahan undang undang tersebut. Diantaranya sutradara muda berbakat Riri Reza, Nia Dinata, Rima Melati dan Jajang C Noer. Mereka menilai bahwa UU perfilman hanya akan menjadi hantu bagi penggiat film dalam negeri kelak. Para insane film ini juga mengkritik beberapa pasal yang maknanya diputar balikkan untuk kepentingan tertentu. Contohnya ada pasal yang mengatakan film Indonesia dilarang menimbulkan kebencian, sedangkan makna dari kebencian itu sendiri masih kabur atau bias. Pada hal saat ini perfilman Indonesia sudah mulai berkembang, terbukti dengan penguasaan pasar yang mencapai 60 persen.

Kendati begitu tetap saja palu godam sudah dijatuhkan dan rancangan undang-undang pun disahkan menjadi UU perfilman oleh DPR. Penerbitan UU perfilman ini untuk melindungi film local agar kuota film local tetap mendominasi pasaran. Selain itu ada juga pihak yang beranggapan bahwa UU tersebut demi melindungi moral dan perilaku bangsa dari tayangan yang dapat merusak generasi bangsa ini. (http://www.tvone.co.id)

2.1.10 Komunitas Film

Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain


(37)

yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak". (http://id.wikipedia.org/wiki/Komunitas)

Film (cara pengucapan: [Filêm] atau Félêm) adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie (semula pelesetan untuk 'berpindah gambar'). Film, secara kolektif, sering disebut 'sinema'. Gambar-hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis. Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Film)

Jadi komunitas film adalah sebuah kelompok social yang mempunyai ketertarikan yang sama dalam hal film. Dalam hal ini mereka yang terjun atau melakukan kegiatan di dunia perfilman, misalnya kinneclub, komunitas film indie dan komunitas film lainnya.

  2.1.11 Sikap

Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen – komponen sikap adalah pengetahuan, perasaan – perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak. Lebih mudahnya, sikap adalah evaluatif terhadap objek atau subjek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap – hadapan dengan objek sikap. Tekanannya pada kebanyakan peneliti dewasa ini adalah perasaan atau emosi. Dewasa ini banyak


(38)

psikolog sosial berasumsi bahwa diantara faktor – faktor lain, perilaku dipengaruhi oleh tujuannya.

Tujuan perilaku ini tidak hanya dipengaruhi oleh sikap seseorang, tetapi juga oleh harapan lingkungan sosialnya terhadap perilaku tersebut, norma – norma subjektif, serta kemampuannya untuk melakukan itu, yakni penilaian perilaku sendiri. (Van Den Ban dan Hawkins, 1999 : 106–107)

Menurut Schfman dan Kanuk (1997 menyatakan bahwa sikap adalah ekspresi perasaan (inner feeling), yang mencerminkan apakah senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, dan setuju atau tidak terhadap suatu objek. Objek yang dimaksud bisa berupa merek, layanan, pengecer, perilaku tertentu dan lain – lain, Sedangkan Paul dan Olson (1999) menyatakan bahwa pesan adalah evaluasi konsep secara menyeluruh yang dilakukan oleh seseorang. Evaluasi adalah tanggapan pada tingkat intensitas dan gerakan yang relatif rendah.

2.1.12 Efek Komunikasi Massa

Komunikasi massa sedikit banyak akan memberikan efek atau pengaruh pada masyarakat.Efek menerpa seseorang yang menerimanya baik secara sengaja dan terasa atau tidak sengaja dan malah sebaliknya tidak dimengerti (Liliweri, 1991).

Lebih lanjut, (Jalludin Rakmat, 2003:219) membagi tiga bagian dari efek yang ditimbulkan oleh media massa, yaitu :


(39)

1. Efek Kognitif

Efek kognitif terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi oleh khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan, atau informasi.

2. Efek Afektif

Efek efektif timbul apabila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap, atau nilai.

3. Efek Behavioral

Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola – pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan perilaku.

Ketiga komponen tersebut berada dalam suatu hubungan yang konsisten. Sebelum suka atau tidak suka (Efek afektif) terhadap suatu objek, tentu seseorang harus tahu dan yakin lebih dahulu (Efek kognitif). Seseorang membeli suatu produk (Efek behavioral), tentu karena suka (Efek afektif), kecuali dalam keadaan terpaksa.

Penelitian ini lebih memfokuskan pada Efek kognitif dan Efek afektif. Karena berhubungan dengan pengetahuan perasaan seseorang. Sikap masyarakat perfilman terhadap pro kontra undang undang perfilman di salah satu surat kabar. Setelah menonton berita tentang pro kontra undang undang prefilman di media cetak yang belum lama ini diperdebatkan. Hal tersebut sangat mungkin mempengaruhi perspektif mereka terhadap undang undang tersebut. Yang pasti mereka mempunyai orientasi berbeda dalam menanggapi setiap pemberitaan yang


(40)

berkaitan dengan kontroversi undang undang yang pengesahannya diwarnai penolakan para sutradara local ternama.

2.1.13 Teori S-O-R

Teori S-O-R sebagai singkatan dari StimulusOrganismResponse ini semula berasal dari ilmu psikologi. Kalau kemudian menjadi teori komunikasi, tidak mengherankan, karena objek material dari ilmu psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia dan jiwanya meliputi komponen – komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi, dan konasi (Effendy, 2003). Menurut teori stimulus – organism - response ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi unsur – unsur dalam model ini adalah :

1. Pesan (Stimulus, S)

2. Komunikan (Organism, O) 3. Efek (Response, R)

“ Pesan yang disampaikan oleh komunikator ke komunikan akan menimbulkan suatu efek yang kehadirannya terkadang tanpa disadari oleh komunikan” (Effendy, 2003 : 255).


(41)

Stimulus (Pesan atau

informasi)

Organism (Komunikan)

 Perhatian

 Pengertian

 Penerimaan

Response (Efek) - Positif - Negatif - Netral

Gambar 2.1

Model Komunikasi S-O-R (Effendy, 2003 : 255)

Stimulus atau pesan yang diterima oleh komunikan melalui media, salah satunya yaitu media cetak diterima oleh organism atau komunikan yang kemudian melambaikan response atau efek. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa efek – efek dari penerimaan pesan yang terjadi pada komunikan antara lain mengubah opini, kognisi, afeksi, dan konasi.

Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau ditolak. Komunikasi berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya komunikan mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang kemudian melanjutkan proses berikutnya. Setelah komunikan mengolahnya dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan komunikan untuk mengubah sikap. (Effendy,2003)

Maka sesuai dengan teori yang telah dijelaskan diatas, stimulus dalam penelitian ini adalah pemberitaan disurat kabar jawa pos mengenai pengesahan undang undang perfilman. Organism dalam penelitian ini adalah masyarakat perfilman, dimana mereka menggantungkan hidup dengan berkarya dibidang film dan merasa mempunyai tanggung jawab memajukan perfilman dalam negeri. sedangkan response yang akan diteliti pada penelitian ini adalah efek kognitif


(42)

yang mengalami perubahan kognisi atau pengetahuan komunikan mengenai suatu pesan. Kemudian terkait perasaan atau afeksi sesudah diterpa pesan itu sendiri. Selain itu komunikan juga akan melakukan tindakan nyata yang timbul karena adanya efek konasi dari terpaan pesan tersebut.

2.1.14 Kerangka berpikir

Dalam penelitian ini yang diteliti adalah pemberitaan mengenai pengesahan undang undang perfilman di surat kabar Jawa Pos mempengaruhi pola piker masyarakat tentang dunia film local dimasa mendatang. Adapun kerangka berpikirnya sebagai berikut :

Komunitas film mendapat terpaan dari pemberitaan di surat kabar Jwapos mengenai pengesahan undang undang perfilman yang diwarnai dengan pro kontra insane film local ternama dengan DPR. Sebelum adanya pro kontra mengenai undang undang perfilman yang disahkan tgl 8 September oleh DPR, masyarakat sangat menikmati film yang banyak ditayangkan di bioskop atau dari karya insane film. Namun ketika undang undang perfilman disahkan dan adanya spekulasi pengesahan undang undang tersebut karena mengejar deadline masa akhir jabatan DPR periode 2004-2009. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa poengesahan undang undang perfilman hanya untuk menggenapi laporan masa akhir jabatan mereka. Padahal menurut insane film masih banyak pasal yang harus di pelajari lagi untuk kemudian dijadikan sebuah aturan dalam dunia perfilman.

Pemberitaan di media massa, khususnya media massa cetak yaitu surat kabar yang seringkali mendramatisir isu tentang perseteruan para insane film local


(43)

dengan DPR mengenai undang undang perfilman. Sehingga bukan tidak mungkin hal ini akan menimbulkan perspektif yang berbeda dari komunitas film tentang nasib perfilman Indonesia pada masa mendatang.

Secara sistematis, kerangka berpikir dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

pemberitaan surat kabar

Jawapos mengenai undang undang

perfilaman

Kecemasan komunitas film

Surabaya Komunitas film

 Perhatian

 Pengertian

 Penerimaan

Gambar 2.2

Bagan kerangka berpikir diatas menggambarkan hubungan pengaruh pemberitaan surat kabar Jawa Pos dengan sikap komunitas film di Surabaya mengenai pengesahan undang undang perfilman.


(44)

3.1 Definisi Operasional Dan Pengukuran Variable

Definisi operasional dimaksudkan untuk menjelaskan indikator-indikator dari variabel-variabel penelitian. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif dengan tujuan melukiskan secara sistematis fakta dan karakteristik populasi secara faktual dan cermat. (Rakhmat, 1999:22)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif, dimana penelitian ini yang mengambil sample dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok(singarimbun, 1995 : 3 ). Selanjutnya dianalisis secara deskriptif, sebagaimana yang dikatakan oleh Atherton & klemmack dalam soehartono (2000 : 35 ) bahwa penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih. Sedangkan dalam penelitian ini bermaksud menggambarkan terpaan dari pemberitaan mengenai pengesahan undang undang perfilman di Jawa Pos yang dapat mempengaruhi sikap komunitas film di surabaya.


(45)

3.1.1 Sikap komunitas film di Surabaya terhadap pengesahan undang undang perfilman melalui pemberitaan di Jawa Pos

Sikap komunitas film di Surabaya terhadap pengesahan undang undang perfilman. Dalam proses pengesahannya undang undang tersebut banyak di protes oleh insan film karena mereka menganggap pengesahannya terkesan terburu-buru, padahal masih banyak pasal yang harus digali lagi. Namun DPR komisi X tetap mengesahkan undang undang perfilman dengan alasan sudah digodok secara matang dan karena akhir masa jabatan DPR periode 2004-2009 akan segera habis. Hal ini kemudian diberitakan secara serentak oleh berbagai media massa nasional, khususnya surat kabar Jawa Pos.

Adapun sikap komunitas film di Surabaya dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif

1. Komponen kognitif yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang mengenai proses pengesahan undang undang perfilman.

2. Komponen afektif yaitu yang berhubungan dengan perasaan seseorang terhadap pengesahan undang undang perfilman.

3. Komponen konatif yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan proses pengesahan undang undang perfilman.

Untuk mengetahui sikap komunitas film di Surabaya tentang pengesahan undang undang perfilman diukur dengan alternative pilihan yang dinyatakan dalam pertanyaan untuk mengukur komponen kognitif, afektif, dan komponen


(46)

konatif dinyatakan dalam jumlah skor. Dalam pemberian skor pernyataan sikap yang bersifat mendukung atau memihak pada objek sikap (azwar 1997:161) sebagai berikut :

Dalam penelitian ini tidak digunakan alternatif jawaban ragu-ragu (undecided), alasannya menurut Hadi (2004 : 20) adalah sebagai berikut :

a. Kategori undecided memilik arti ganda, bias diartikan belum dapat memberikan jawaban netral dan ragu-ragu. Kategori jawaban yang memiliki arti ganda (multi interpretable) ini tidak diharapkan dalam instrument.

b. Tersedianya jawaban ditengah menimbulkan kecenderungan menjawab ketengah (central tendency effect), terutama bagi mereka yang ragu-ragu akan kecenderungan jawabannya.

c. Disediakan jawaban ditengah akan menghilangkan banyaknya data penelitian hingga mengurangi banyaknya informasi yang dapat dijaring oleh responden.

Pengukuran sikap ini diukur melalui pemberian skor dengan menggunakan modifikasi model skala likert (skala sikap). Metode ini merupakan metode pengukuran skala pernyataan sikap dengan menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan skalanya. Untuk melakukan pengukuran skala dengan model ini, responden diberikan daftar pernyataan mengenai motif dan setiap pernyataan akan disediakan jawaban yang harus dipilih oleh responden untuk menyatakan ketidaksetujuannya (Singaribumbun, 1995 : 111). Pilihan jawaban masing-masing pernyataan digolongkan dalam empat macam kategori,


(47)

yaitu "Sangat Tidak Setuju" (STS), "Tidak Setuju" (TS), "Setuju" (S), "Sangat Setuju" (SS).

Pada tahap selanjutnya, empat kategori jawaban diatas akan diberi nilai sesuai dengan jawaban yang dipilih oleh responden. Sedangkan pemberian nilainya sebagai berikut :

Sangat Tidak Setuju (STS) : diberi skor 1 Tidak Setuju : diberi skor 2

Setuju : diberi skor 3

Sangat Setuju : diberi skor 4

Scoring dilakukan dengan cara menjumlahkan skor dari setiap items di tiap-tiap angket, sehingga diperoleh skor total dari setiap pernyataannya untuk masing-masing individu. Selanjutnya, setiap indikator untuk motif diukur melalui pernyataan-pernyataan yang terdapat pada angket. Kemudian jawaban yang telah dipilih, diberi skor dan ditotal. Total skor dari setiap kategori, dikategorikan ke dalam 3 interval, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Penentuan interval dilakukan dengan menggunakan Range. Range masing-masing kategori ditentukan dengan : R(Range) =

diinginkan yang

Jenjang

terendah tertinggi

jawaban

Skor

Keterangan :

Range : Batasan dari tiap tingkatan.

Skor tertinggi : Perkalian antara nilai tertinggi dengan jumlah item pertanyaan. Skor terendah : Perkalian antara nilai terendah dengan jumlah nilai item

pertanyaan.


(48)

Melalui rumus diatas maka diperoleh tingkat interval untuk mengetahui sikap komunitas film di Surabaya, untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pada efek kognitif terdapat 4 pertanyaan tentang responden yang mengetahui informasi mengenai proses pengesahan undang undang perfilman melalui pemberitaan di Jawa Pos. Beberapa pertanyaan tersebut diantaranya adalah Melalui pemberitaan di Jawa Pos anda mengetahui bahwa pengesahan undang undang perfilman diwarnai oleh penolakan insane film. Kedua, Anda mengetahui dari pemberitaan di Jawa Pos bahwa banyak pasal yang masih masih bias dan harus dikaji lagi dalam undang undang perfilman. Kemudian ketiga, Pemberitaan di Jawa Pos membuat anda mengetahui bahwa alasan pengesahan undang undang perfilman oleh DPR untuk mengejar deadline akhir masa jabatan 2004-2009. Dan untuk yang terakhir, Menurut pemberitaan di Jawa Pos DPR mengesahkan undang undang perfilman demi melestarikan film local. Efek kognitif =

3 ) 4 1 ( ) 4 4

( xx = 3 ) 4 16 (  = 4 Negatif = 4 – 8

Netral = 9 – 12 Positif = 13 – 16

2. Pada efek afektif, dimana disini responden akan diberikan 4 pertanyaan mengenai perasaan mereka tehadap pengesahan undang undang perfilman. Beberapa pertanyaan diatas diantaranya adalah Pengesahan undang undang perfilman hanya akan membunuh ide kreatif dari para pekerja film


(49)

serta menghambat perkembangan film Indonesia. Kedua, Pengesahan undang undang perfilman akan dapat melestarikan dan melindungi film local. Ketiga, Anda mendukung tindakan sineas film yang menolak pengesahan undang undang perfilman. Keempat, Anda kecewa karena karena sikap DPR yang terburu buru mengesahkan undang undang perfilman demi deadline akhir masa jabatan 2004-2009.

Efek afektif =

3 ) 4 1 ( ) 4 4

( xx = 3 ) 4 16 (  = 4 Negatif = 4 – 8

Netral = 9 – 12 Positif = 13 – 16

3. Pada efek konatif, responden akan diberikan 3 pertanyaan tentang kesiapan mereka untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan pengesahan undang undang perfilman. Beberapa pertanyaan diatas adalah Anda akan melakukan demonstrasi untuk memperjuangkan supaya undang undang perfilman digodok kembali. Kedua, Sebagai orang yang terjun didunia film, anda akan melakukan apa pun yang anda inginkan dan mengabaikan undang uandang perfilman. Ketiga, Anda akan melaporkan ke pihak berwajib atau bahkan akan mengadukan permasalahan pengesahan undang undang perfilman ke Mahkamah Agung.


(50)

Efek konatif = 3 ) 3 1 ( ) 3 4

( xx = 3 ) 3 12 ( 

Negative = 3 – 6 Netral = 7 – 9 Positif = 10 – 12

Untuk hasil dalam penelitian ini sikap responden dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu positif, netral dan negative disesuaikan dengan isu yang diberitakan mengenai pengesahan undang undang perfilman di surat kabar Jawa Pos. Positif disini adalah dimana responden mendukung atas tindakan insane film dalam menentang pengesahan undang undang. Sedangkan netral, responden mendukung terhadap tindakan insane film, tetapi mereka juga tidak menolak terhadap pengesahan undang undang tersebut. Dan untuk negative, responden tidak membenarkan tindakan insane film yang menolak pengesahan undang undang perfilman.

3.2 Populasi, Sampel dan Penarikan Sampel 3.2.1 Populasi

Dalam penelitian sosial, peneliti memiliki memiliki keterbatasan biaya, waktu dan tenaga yang tidak memungkinkan untuk meneliti keseluruhan dari objek yang dijadikan pengamatan. Peneliti hanya bisa mempelajari, memprediksi, dan menjelaskan sifat-sifat suatu objek atau fenomena hanya dengan mempelajari dan mengamati sebagian dari objek atau fenomena tersebut. Sebagian dari keseluruhan objek atau fenomena yang akan diamati inilah yang disebut sampel.


(51)

Sedangkan keseluruhan objek atau subjek yang diteliti disebut populasi. (Kriyantono,2006:149)

Populasi dalam penelitian ini adalah komunitas film yang berada di Surabaya. Terdapat beberapa komunitas film di Surabaya dengan jumlah anggota yang bervariasi. Misalnya, Kinne UPN 40 orang, kinne UNAIR 20 orang, AWS “KOPI” 50 orang, Cinema UKM UNAIR 30 orang, STIKOM sekitar 20 orang dan UNESA beranggotakan 15 orang. Jadi jumlah populasi secara keseluruhan dalam penelitian ini 175 orang yang terdapat di komunitas film dengan status aktif. Kemudian dari populasi tersebut diambil yang pernah membaca pemberitaan mengenai pengesahan undang undang perfilman di surat kabar Jawa Pos, yaitu berjumlah 101 orang.

3.2.2 Penarikan Sampel

Penarikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari keseluruhan komunitas film di Surabaya yang membaca berita pengesahan undang undang perfilman di Jawa Pos. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Total Sampling. Di sini setiap anggota dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi sample. Dalam penelitian ini populasinya terbilang kecil yakni 175 orang (101 orang setelah melalui penyaringan sebagai sampel). Syarat dari teknik Total Sampling ini adalah tersedianya kerangka sampling atau daftar sampling seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa 101 orang dari populasi yang berjumlah 175 orang tersebar di beberapa komunitas film yang ada di Surabaya. (Krisyantono, 2006 :151)


(52)

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini, menurut cara perolehannya dilakukan dengan dua pendekatan :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan dari responden. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara kepada responden dengan berdasarkan kuisioner yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tertutup dan terbuka.

2. Data Skunder

Data skunder adalah data yang tidak dapat langsung diperoleh dari lapangan. Data skunder dikumpulkan melalui sumber-sumber informasi kedua, seperti perpustakaan, pusat pengolahan data, pusat penelitian, dan lain sebagainya. Data skunder ini akan digunakan sebagai data penunjang untuk melakukan analisis.

3.4 Metode Analisis Data

Penelitian ini menjelaskan variabel-variabel tanpa mencari korelasi satu sama lainnya. Data yang diperoleh dari hasil kuisioner selanjutkan akan diolah guna mendeskripsikan sikap komunitas film di Surabaya terhadap pengesahan undang undang perfilman. Pengolahan data dari hasil kuisioner tersebut terdiri dari mengedit, mengkode dan memasukkan data tersebut ke dalam tabulasi data, kemudian selanjutnya dianalisis secara deskriptif berdasarkan table frekuensi dari setiap pertanyaan yang diajukan.


(53)

40

 

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1 Sejarah Berdirinya Surat Kabar Jawa Pos

Surat kabar Jawa Pos pertama kali diterbitkan pada tanggal 1 Juli 1949

oleh perusahaan bernama PT. Jawa Pos Concern Ltd. berlokasi di Jalan Kembang

Jepun 166-169. Pendirinya seorang warga negara Indonesia keturunan, kelahiran

Bangka, bernama The Chung Shen (Soeseno Tedjo). Sebagai perintis berdirinya

Jawa Pos, Soeseno Tedjo mulanya bekerja di kantor film Surabaya. Soeseno

Tedjo bertugas untuk menghubungi surat kabar agar pemuatan iklan filmnya

lancar dan dari situ, ia mengetahui bahwa memiliki surat kabar ternyata

menguntungkan, maka pada tanggal 1 Juli 1949 surat kabar dengan nama Jawa

Pos didirikan. Surat kabar saat itu dikenal sebagai harian Melayu Tionghoa

dengan pimpinan redaksi pertama yang bernama Goh Tjing Hok.

Sejak tahun 1951 pemimpin redaksinya adalah Thio Oen Sik. Keduanya

dikenal sebagai orang-orang Republikan yang tak pernah goyang. Pada saat itu

The Chung Shen dikenal sebagai raja Koran karena memiliki tiga buah surat kabar

yang diterbitkan dengan tiga bahasa berbeda. Surat kabar yang berbahasa

Indonesia bernama Jawa Post, yang berbahasa Tionghoa bernama Huo Chiau Shin Wan sedangkan De Vrije Pers adalah terbitan bahasa Belanda.

Pada tahun 1962 harian Van Vrije Pers dilarang terbit berkenaan dengan peristiwa Trikora untuk merebut kembali Irian Jaya dari tangan Belanda. Sebagai


(54)

gantinya diterbitkan surat kabar berbahasa Inggris dengan nama Indonesia Daily News pada tahun 1981 terpaksa beerhenti karena minimnya iklan. Sedangkan meletusnya G 30 S/PKI pada tahun 1965 menyebabkan pelarangan terbit pada

harian Huo Chiau Shin Wan. Maka pada tahun 1981 hanya Jawa Pos yang tetap

bertahan untuk terbit dengan oplah yang sangat minim dan memprihatinkan hanya

10.000 eksemplar.

Pada awal terbitnya Jawa Pos memiliki cirri utama terbit pada pagi hari

dengan menampilkan berita-berita umum. Terbitan Jawa Pos pertama kali dicetak

di percetakan Aqil di Jalan Kiai Haji Mas Mansyur Surabaya dengan oplah 1000

eksemplar. Sejak 1 April 1954 Jawa Pos dicetak di percetakan De Virje Pers di Jalan Kaliasin 52 Surabaya dan selanjutnya dari tahun ke tahun oplahnya

mengalami peningkatan.

Tercatat pada tahun 1954-1957 dengan oplah sebesar 4000 eksemplar dan

mulai tahun 1958-1964 oplahnya mencapai 10.000 eksemplar. Karena perubahan

ejaan pada tahun 1958 Jawa Pos berganti menjadi Djawa Pos dan mulai tahun

1961 berubah menjadi Jawa Pos. Pada periode tahun 1971-1981 oplah tercatat

pada 10.000 eksemplar, namun pada tahun1982 terjadi penurunan oplah ke 6.700

eksemplar dengan jumlah pendistribusian 2.000 eksemplar pada kota Surabaya

dan sisanya pada kota lain. Penurunan tersebut terjadi karena sistem manajemen

yang semakin kacau, tiadanya penerus yang mengelola usaha tersebut serta

kemajuan teknologi percetakan yang tidak terkejar. The Chung Shen alias

Soeseno Tedjo sebagai pemilik perusahaan mnerima tawaran untuk menjual

mayoritas dari sahamnya pada PT. Grafiti Pers (penerbit TEMPO) pada tanggal 1


(55)

April 1982, pada tanggal itu juga Dahlan Iskan ditunjuk sebagai Pimpinan Utama

dan Pimred oleh Dirut PT. Grafiti Pers, Eric Samola, SH untuk membenahi

kondisi PT. Jawa Pos Concern Ltd. Hanya dengan waktu dua tahun oplah Jawa

Pos mencapai 250.000 eksemplar, dan sejak itulah perkembangan Jawa Pos

semakin menakjubkan dan menjadi surat kabar terbesar yang terbit di Surabaya.

Pada tahun 1999 oplahnya meningkat lagi menjadi 320.000 eksemplar.

Pada tanggal 29 Mei 1985 sesuai dengan Akta Notaris Lim Shien Hwa,

SH No. 8 Pasal 4 menyatakan nama PT. Jawa Pos Concern Ltd. diganti dengan

nama PT. Jawa Pos dan sesuai dengan surat Menpen No.I/Per 1/Menpen/84

mengenai SIUPP, khususnya pemilikan saham maka 20 persen dari saham harus

dimiliki karyawan untuk menciptakan rasa saling memiliki.

Melejitnya oplah Jawa Pos ini, tidak lepas dari perjuangan dan

kepopuleran Jawa Pos mengubah budaya masyarakat Surabaya, pada khususnya

dan masyarakat Jawa Timur pada umumnya. Waktu itu budaya masyarakat

membaca Koran adalah sore hari. Koran terbesar yang terbit di Surabaya sore

hari. Ketika Jawa Pos mempelopori terbit pagi, banyak warga yang menertawai

“Koran kok pagi” banyak diantaranya menolak. Banyak agen dan loper yang

menolak. Manajemen memutar otak kalau tidak ada loper dan agen, lewat apa

Koran ini dipasarkan?. Akhirnya ditemukan cara lain: istri-istri atau keluarga

wartawan diminta menjadi agen atau loper Koran termasuk istri Dahlan Iskan

sendiri, sebab kendala utama adalah pemasaran. Kedua, gaji wartawan kala itu

masih kecil, dengan cara ini keluarga Jawa Pos akan menambah pendapatan.

Ketiga, memberikan kebanggaan kepada keluarga karyawan Koran Jawa Pos atau


(56)

usaha suaminya dan kelak di kemudia hari beberapa istri atau keluarga wartawan

ini menjadi agen besar Koran Jawa Pos.

Perjuangan dan kepeloporan ini ternyata membuahkan hasil termasuk

perubahan mendasar di keredaksian. Warga Surabaya utamanya lebih memilih

Koran Jawa Pos dan pada tahun 1985 oplah Jawa Pos telah menembus angka

250.000 eksemplar per hari. Sampai dengan tahun 1985, harian Jawa Pos terbit 16

halaman setiap harinya dan ditambah suplemen Ronce setiap hari Senin, Rabu,

Sabtu.

Pada perkembangan selanjutnya, untuk memenangkan persaingan atas

ketatnya kompetisi antara lembaga media maka Jawa Pos melakukan berbagai

terobosan, diantaranya terbit 24 halaman setiap harinya. Dengan terbit 24 halaman

ini, harian Jawa Pos terbagi dalam tiga sesi.

Salah satu hal yang benar-benar membuat kelompok Jawa Pos menjadi

sebuah kelompok media yang sangat besar adalah adanya JPNN (Jawa Pos News Networking). JPNN ini dibentuk sebagai salah satu sarana untuk menampung berita dari seluruh daerah di Indonesia dan untuk keperluan sumber berita

berbagai media cetak yang berada dalam satu naungan dengan kelompok Jawa

Pos, sehingga berita luar daerah tidak perlu mengerjakan layoutnya di Surabaya dan mengirimkan ke JPNN. Ketika media online sedang berkembang, Jawa Pos

juga tidak mau ketinggalan ikut berpartisipasi dengan www.jawapos.co.id.

Ketika dalam waktu singkat Jawa Pos mampu menembus oplah di atas

100.000 eksemplar yang semula dianggap sebagai mimpi, akhirnya Jawa Pos

“bermimpi” lagi dengan ambisi menembus oplah 1 juta eksemplar. Berbagai


(57)

upaya dilakukan baik dengan redaksi pemasaran maupun lainnya untuk

menembus angka itu ternyata sulit. Jawa Pos tetap bertahan dengan oplah 400.000

eksemplar. Manajemen lantas memutar otak agar sumber daya dan dana yang

dimiliki tetap optimal. Lalu muncullah ide ekspansi yakni membuat koran di

daerah-daerah di Indonesia. Ide tersebut muncul dari Dahlan Iskan usai studi di

Amerika dan negara maju lainnya dimana setiap kota mempunyai satu koran. Ia

berasumsi bahwa di kota-kota besar di Indonesia bisa didirikan satu koran dan ini

dilakukan. Dikirimlah orang-orang terbaik Jawa Pos untuk mendirikan koran di

berbagai daerah di Indonesia. Ada yang menghidupkan usaha koran yang mau

gulung tikar atau tinggal SIUPPnya saja. Ada yang kerja sama dan banyak

diantaranya yang didirikan Jawa Pos.

Berhasil di satu kota dilakukan, di kota lain gagal, mencoba lagi di kota

lain dan April 2001 anak perusahaan Jawa Pos sudah mencapai 99 grup.

Koran-koran yang dahulu menjadi anak perusahaan Jawa Pos kini juga mendirikan

koran-koran, majalah, atau tabloid-tabloid yang menjadi cucu dari Jawa Pos.

Kini hampir di seluruh propinsi di Indonesia terdapat Jawa Pos Group

kecuali di Aceh dan NTT. Bisnisnya tidak hanya koran namun juga percetakan,

pabrik kertas, real estate, hotel, bursa sampai travel agen ini semua berada ditangan Dahlan Iskan.

Dicetak diatas 360.000 eksemplar setiap hari, Jawa Pos kini menduduki

peringkat kedua dalam urutan sepuluh koran besar di Indonesia. Basis pemasaran

terkuat berada di Jawa Timur, menyusul berkembang di Kalimantan, Sulawesi,

NTB, NTT, hingga Papua. Dengan orientasi segmentasi menengah atas, Untuk


(58)

meningkatkan kualitas layanan pembaca, Jawa Pos melakukan cetak jarak jauh

dengan sistem cetak jarak jauh (SCJJ) di Bali, Banyuwangi, Nganjuk, Solo,

Jakarta, Balikpapan, Banjarmasin, dan dipersiapkan di beberapa kota lain di

Indonesia. Jawa Pos mulai diminati warga Indonesia yang tinggal di Malaysia dan

Arab Saudi. Kini Jawa Pos terbit 48 halaman.

1. Koran 1 (Bagian utama) memuat liputan-liputan utama mengenai peristiwa

nasional maupun internasional.

2. Koran 2 (Olah raga / sportivo) memuat berita seputar olah raga.

3. Koran 3 (Metropolis) memuat berita-berita tentang daerah Surabaya dan

seputar Jawa Timur.

4.1.2 Gambaran Umum Komunitas Film Surabaya

Kota Surabaya adalah ibukota provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya

merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Di surabaya pun

tersebar beberapa universitas atau sekolah yang mempunyai ekskul perfilman.

Selain itu Surabaya adalah lokasi dimana surat kabar harian Jawa Pos melakukan

aktivitas produksi kemediaannya.

Yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah komunitas film,

dimana mempunyai hobi atau kegiatan yang berhubungan erat dengan dunia

perfilman. Yang jelas ketika undang undang disahkan maka mereka pun wajib

untuk mentaati peraturan tersebut. Sedangkan dalam proses pengesahannya

undang undang tersebut ditentang oleh sebagian insan film, diantaranya para

sutradara film, artis film dan lainnya. Di surabaya terdapat berbagai komunitas


(59)

film yang eksis serta banyak mengadakan kegiatan perfilman, seperti festival film.

Kebanyakan komunitas tersebut tersebar di universitas yang didukung oleh

fasilitas memadai. Dalam penelitian ini populasi berjumlah 175 orang yang

kemudian akan di saring dengan menentukan mereka yang membaca pemberitaan

mengenai pengesahan undang undang perfilman di surat kabar Jawa Pos.

4.2 Penyajian dan Analisis Data 4.2.1 Identitas Responden

Data yang ada pada bagian ini adalah data-data yang diperoleh

berdasarkan karakteristik responden yang meliputi usia, tingkat pendidikan

terakhir dan pekerjaan/kesibukan responden. Data ini diperlukan untuk dapat

menjelaskan secara umum responden yang ada selengkapnya tertera pada

tabel-tabel berikut ini :

4.2.2 Usia Responden

Dari hasil kuesioner yang dapat diketahui bahwasannya dari 101

responden yang membaca berita mengenai pengesahan undang undang perfilman

di surat kabar Jawa Pos mempunyai jenjang usia 20 tahun sampai dengan 60

tahun.


(60)

Tabel 4.2 Usia Responden

(n = 101)

NO USIA RESPONDEN F %

1 17 – 22 tahun 54 54

2 23 – 28 tahun 28 28

3 29 – 34 tahun 17 17

4 35 – 40 tahun 2 2

JUMLAH 101 101

Sumber : kuesioner I.1

Dari hasil tabel 4.2 dapat dilihat bahwa responden yang diperoleh oleh

peneliti berjumlah 101 responden dengan usia yang berbeda-beda. Antara lain

pada tabel No 1 menjelaskan bahwa responden yang berusia 17 sampai dengan 22

tahun sebanyak 54 orang atau 54% dari keseluruhan jumlah responden.

Responden yang berusia 23 sampai dengan 28 tahun sebanyak 28 orang atau 28%

dari total keseluruhan responden. Sedangkan responden responden yang berusia

29 sampai dengan 34 tahun berjumlah 17 orang atau 17% dari total keseluruhan

jumlah responden. Dan sisanya sebanyak 2 orang atau 2% dari keseluruhan

jumlah responden berusia 35 sampai dengan 40 tahun.

4.2.3 Pendidikan Terakhir Responden

Pada tabel 4.3 dibawah ini menjelaskan tentang identitas responden

mengenai pendidikan terakhir yang disandang oleh responden, untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :


(61)

Tabel 4.3

Pendidikan Terakhir Responden

NO PENDIDIKAN F %

1 SMA / Sederajat 61 61

2 Perguruan Tinggi /Akademi 40 40

JUMLAH 101 101

Sumber : kuesioner I.2

Dari hasil tabel 4.3 diketahui bahwa sebesar 61% responden

pendidikan terakhirnya SMA (Sekolah Menengah Atas) dan sebesar 40%

mempunyai pendidikan terakhir perguruan tinggi atau akademi.s

4.3 Terpaan Surat Kabar Jawa Pos

4.3.1 Frekuensi Komunitas Komunitas Film Membaca Berita Pengesahan Undang Undang Perfilman di Surat Kabar Jawa Pos

Frekuensi komunitas film dalam membaca berita mengenai pengesahan

undang undang perfilman di surat kabar Jawa Pos terbagi menjadi empat kategori

untuk memudahkan responden dalam menjawab pertanyaan tentang berapa kali

dalam seminggu mereka membaca berita tersebut. Dari tabel ini dapat diketahui

frekuensi responden dalam membaca berita pengesahan undang undang perfilman

di surat kabar Jawa Pos :


(62)

Tabel 4.6

Frekuensi Membaca Berita Pengesasahan Undang Undang perfilman di Surat Kabar Jawa Pos

NO FREKUENSI MEMBACA F %

1 ≤ 3 kali 5 5

2 4 kali 10 10

3 5 kali 61 61

4 Lebih dari 6 kali 25 25

JUMLAH 101 101

Sumber : kuesioner II.2.2

Penjelasan yang diperoleh dari tabel 4.6 diatas adalah kebanyakan

responden pernah membaca berita pengesahan undang undang perfilman di surat

kabar Jawa Pos lebih dari 6 kali dalam seminggu yaitu sebanyak 25 responden

(25%), hal ini sangat membantu dalam penelitian ini karena terpaan yang

berulang-ulang akan berpengaruh sendiri bagi responden, khususnya mengenai

sikap responden terhadap pengesahan undang undang perfilman. Terpaan yang

berulang-ulang nantinya akan menimbulkan ingatan yang kuat terhadap isi dari

berita mengenai pengesahan undang undang tersebut, sehingga responden

nantinya akan lebih memahami daftar pertanyaan yang diajukan peneliti pada

lembar kuesioner.

A. Aspek Kognitif

Aspek kognitif responden mengenai sikap komunitas film di Surabaya

mengenai berita pengesahan undang undang perfilman di surat kabar Jawa Pos

diukur dengan 4 pertanyaan mengenai aspek tersebut yang diajukan agar

responden memilih masing-masing 1 dari 4 kategori yang telah disusun dalam


(63)

posisi berurutan pada masing-masing pertanyaan pada kuesioner. Kemudian pada

masing-masing kategori diberikan skor dari yang tertinggi ke yang terendah

secara berurutan. Diperoleh data, bahwa skor tertinggi adalah 16 dan skor

terendah adalah 4. Perolehan dari perhitungan tersebut serta pengkategoriannya

adalah sebagai berikut :

1. Skor tertinggi diperoleh dari banyaknya pertanyaan dikalikan dengan

skor jawaban tertinggi responden, yaitu 4 x 4 = 16

2. Skor terendah diperoleh dari banyaknya pertanyaan dikalikan

dengan skor jawaban terendah, yaitu 1 x 4 = 4

Maka perhitungan interval skornya adalah sebagai berikut :

Range =

diinginkan yang

Jenjang

rendah Skorte

tertinggi

Skor

=

3 4 16

= 4

Jadi penentuan kategorinya adalah sebagai berikut :

1. Aspek Kognitif Negatif = 4 - 8

2. Aspek Kognitif Netral = 9 - 12

3. Aspek Kognitif Positif = 13 - 16

Dengan demikian jika dimasukkan kedalam tabel frekuensi dapat

dilihat seperti tabel-tabel dibawah ini :


(64)

1. Untuk pertanyaan melalui pemberitaan di surat kabar Jawapos anda mengetahui bahwa pengesahan undang undang perfilman diwarnai oleh penolakan insane film.

Responden mengetahui bahwa pengesahan undang undang perfilman

diwarnai penolakn dari insan film lokal melalui pemberitaan pada surat kabar

Jawa Pos. Untuk mengetahui Aspek kognitif para responden tersebut, dapat dilihat

pada tabel 4.7

Tabel 4.7

Responden mengetahui bahwa pengesahan undang undang perfilman diwarnai penolakan dari insan film melalui pemberitaan surat kabar

Jawa Pos

NO KETERANGAN JUMLAH %

1 Sangat Setuju 64 64

2 Setuju 32 32

3 Tidak Setuju 4 4

4 Sangat Tidak Setuju 1 1

Total 101 101

Sumber : Kuesioner III.A.1

Dari tabel 4.7 diatas dapat diketahui bahwa dari 101 responden, sebesar

64% responden menyatakan sangat setuju, 32% responden menyatakan setuju,

4% menyatakan tidak setuju dan sisanya 1% menyatakan sangat tidak setuju. Dari

data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden sangat setuju

bahwasannya mereka mengetahui jika pengesahan undang undang perfilman

banyak ditentang oleh insan film sebagai pekerja film melalui pemberitaan di

surat kabar Jawa Pos. Namun sebagian responden yang lainnya berpendapat

mereka juga mengetahui isu tersebut melalui media lain, seperti televisi, intenet

atau surat kabar lainnya..


(1)

perfilman di surat kabar Jawa Pos. Untuk mengetahui lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.20.

Tabel 4.20

Aspek Konatif Komunitas Film Surabaya Mengenai Pengesahan Undang Undang Perfilman

NO KETERANGAN JUMLAH %

1 Positif 12 12

2 Netral 26 26

3 Negatif 63 63

Total 101 101

Sumber : Data yang diolah pada lampiran

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebesar 12% responden mempunyai aspek konatif yang positif, sebesar 26% responden memiliki aspek konatif yang netral dan 63% responden mempunyai aspek konatif yang negatif. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki aspek konatif yang negatif mengenai pengesahan undang undang perfilman yang diberitakan oleh surat kabar Jawa Pos. Kenyataan ini dapat terjadi karena walaupun responden mempunyai pengetahuan (aspek kognitif) yang positif dan menyukai tayangan berita pengesahan undang undang perfilman, namun belum tentu responden mempunyai kemauan untuk melakukan tindakan yang berhubungan dengan proses pengesahan undang undang yang diwarnai dengan penolakan para insan film lokal.

Kenyataan ini dapat terjadi karena kecenderungan tindakan dari responden tidak hanya dipengaruhi oleh kognitif dan afektif yang positif saja tetapi dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti lingkungan, kebudayaan dan orang yang dianggap penting.


(2)

68  

4.3.2 Sikap Komunitas Film di Surabaya Mengenai Pengesahan Undang Undang Perfilman Melalui Pemberitaan Surat Kabar Jawa Pos

Sikap komunitas film di Surabaya mengenai pengesahan undang undang perfilman melalui pemberitaan di surat kabar Jawa Poss diukur dari total nilai masing-masing komponen sikap, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek konatif yang telah diolah dari jawaban responden yang berasal dari kuesioner.

Diperoleh data bahwa skor tertinggi adalah 44 dan skor terendah adalah 11. Perolehan dari perhitungan tersebut serta pengkategoriannya adalah sebagai berikut :

1. Skor tertinggi diperoleh dengan menjumlahkan skor tertinggi dari aspek kognitif, aspek afektif dan aspek konatif, yaitu: 16 + 16 + 12 = 44.

2. Skor terendah diperoleh dengan menjumlahkan skor terendah dari aspek kognitif, afektif dan konatif, yaitu 4 + 4 + 3 = 11.

Maka perhitungan interval kelasnya adalah sebagai berikut : Range =

diinginkan yang

Jenjang

terendah Skor

tertinggi

Skor

= 3

11 44

= 11

Jadi pengkategoriannya adalah :


(3)

Kemudian untuk mengetahui jumlah dan prosentase responden yang mempunyai kategori sikap positif, netral dan negatif dapat dilihat pada tabel 4.21 berikut ini.

Tabel 4.21

Sikap Komunitas Film di Surabaya Mengenai Pengesahan Undang Undang Perfilman Melalui Pemberitaan di Surat Kabar Jawa Pos

NO Keterangan Jumlah %

1 Positif 37 37

2 Netral 58 58

3 Negatif 6 6

Total 101 101

Sumber : Data yang diolah pada lampiran

Dari tabel 4.21 diatas menunjukkan bahwa 37% responden mempunyai sikap positif, 58% responden mempunyai sikap netral dan 6% responden mempunyai sikap negatif. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki sikap yang netral terkait pengesahan undang undang perfilman melalui pemberitaan surat kabar Jawa Pos. Ini berarti bahwa responden mempunyai kecenderungan untuk menyatakan setuju, paham, tertarik atau menyukai terhadap objek sikap, yaitu pengesahan undang undang perfilman. Dimana dalam proses pengesahannya menuai penolakan dari insan film karena mereka menganggap pasal – pasal yang terdapat dalam undang tersebut bisa dan perlu dikaji lagi.


(4)

70  

Hasil ini menunjukkan bahwa komunitas film sebagai responden pada penelitian ini menilai bahwa mereka mendukung atas penolakan yang dilakukan oleh insan film terhadap pengesahan undang undang perfilman. Akan tetapi undang undang tersebut sudah disahkan oleh DPR sehingga setiap insan film atau pelaku film harus mematuhi undang undang tersebut. Sebagai orang yang terjun di dunia film pada dasarnya komunitas film menginginkan yang terbaik untuk perfilman Indonesia dengan mengekspresikan setiap ide kreatif mereka dalam sebuah karya film. Namun di sisi lain mereka juga membutuhkan payung hukum yang dapat melindungi dan melestarikan hasil karya mereka.

Hal ini cukup beralasan apabila mengacu pada sebagian besar insan film yang menentang pengesahan undang undang perfilman adalah pekerja film yang memiliki andil besar dalam perkembangan dunia perfilman Indonesia. Misalnya Riri Reza, Mira Lesmana yang sudah banyak mendapatkan penghargaan prestisius untuk setiap karyanya sebagai sutradara dan sampai undang undang perfilman disahkan mereka tetap menyatakan keberatan. Jadi mungkin saja pola pikir mereka dapat mempengaruhi perspektif komunitas film dalam menilai pengesahan undang undang perfilman tersebut.

Dua sosok sutradara di atas memang banyak memotivasi komunitas film dalam kegiatan yang berhubungan dengan dunia perfilman. Akan tetapi nasi sudah menjadi bubur undang undang perfilman pun sudah disahkan sehingga tidak banyak yang dapat mereka lakukan kecuali mematuhi undang undang yang mengikat setiap kegiatan perfilman secara hukum.


(5)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Hasil penelitian diketahui bahwa sikap komunitas film Surabaya mengenai pengesahan undang undang perfilman melalui pemberitaan surat kabar Jawa Pos adalah netral Kenyataan ini dapat terjadi karena isu yang muncul terkait pengesahan undang undang perfilman adalah penolakan terhadap disahkannya undang undang tersebut yang dilakukan oleh sejumlah pekerja film yang menamakan diri sebagai insane film. Mereka terdiri dari sutradara ternama dan beberapa artis papan atas. Dimana hal tersebut sedikit banyak dapat mempengaruhi perspektif komunitas film dalam menyikapi pengesahan undang undang perfilman.

Namun DPR tetap mengesahkan undang undang perfilman, tepatnya pada 8 september 2009. Kenyataan inilah yang kemudian membuat komunitas film merasa bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali mematuhi undang undang yang berlaku demi keberlangsungan perfilman lokal. Selain itu, mereka juga membutuhkan perlindungan dalam setiap kegiatan mereka yang berkaitan dengan dunia film. Hal ini mencerminkan semakin kompleks situasinya dan semakin banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam bertindak maka semakin sulit memprediksikan perilaku (Azwar,1997:19).


(6)

72  

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang dapat disampaikan adalah:

1. Seharusnya dalam memberitakan isu yang menyangkut pertentangan jangan hanya menampilkan perspektif dari satu sisi saja, melainkan dari kedua sisi.

2. Media jangan terlalu mendramatisir sebuah isu dalam pemberitaannya karena akan sangat potensial terjadi konflik lanjutan.


Dokumen yang terkait

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP PEMBERITAAN “SEDOT PULSA DENGAN MODUS KONTEN” DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Sikap Masyarakat Surabaya Terhadap Pemberitaan “Sedot Pulsa Dengan Modus Konten” Di Surat Kabar Jawa Pos).

0 0 105

SIKAP GURU SD SURABAYA PADA PEMBERITAAN CONTEK MASSAL SDN GADEL 2 SURABAYA DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Guru SD Pada Pemberitaan Contek Massal SDN Gadel 2 Surabaya di Surat Kabar Jawa pos).

0 0 101

SIKAP PEMBACA TERHADAP PEMBERITAAN TABUNG ELPIJI RAWAN BOCOR PADA HARIAN SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Sikap Pembaca Terhadap Elpiji Rawan Bocor Pada Harian Surat Kabar Jawa Pos Di Surabaya).

0 0 121

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP MAKELAR KASUS PAJAK PASCA PEMBERITAAN GAYUS TAMBUNAN DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Sikap Masyarakat Terhadap Makelar Kasus Pajak Pasca Pemberitaan Gayus Tambunan Di Surat Kabar Jawa Pos).

1 2 96

SIKAP GURU DI SURABAYA TENTANG UJIAN NASIONAL MELALUI PEMBERITAAN DI SURAT KABAR JAWA POS ( Studi Deskriptif Sikap Guru Di Surabaya Tentang Ujian Nasional Melalui Pemberitaan Di Surat Kabar Jawa Pos).

0 0 89

SIKAP GURU DI SURABAYA TENTANG UJIAN NASIONAL MELALUI PEMBERITAAN DI SURAT KABAR JAWA POS ( Studi Deskriptif Sikap Guru Di Surabaya Tentang Ujian Nasional Melalui Pemberitaan Di Surat Kabar Jawa Pos)

0 0 27

SIKAP GURU SD SURABAYA PADA PEMBERITAAN CONTEK MASSAL SDN GADEL 2 SURABAYA DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Guru SD Pada Pemberitaan Contek Massal SDN Gadel 2 Surabaya di Surat Kabar Jawa pos)

0 0 27

SIKAP KOMUNITAS FILM SURABAYA MENGENAI PENGESAHAN UNDANG UNDANG PERFILMAN MELALUI PEMBERITAAN DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Sikap Komunitas Film Surabaya Mengenai Pengesahan Undang Undang Perfilman di Surat Kabar Jawa Pos)

0 0 27

SIKAP PEMBACA TERHADAP PEMBERITAAN TABUNG ELPIJI RAWAN BOCOR PADA HARIAN SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Sikap Pembaca Terhadap Elpiji Rawan Bocor Pada Harian Surat Kabar Jawa Pos Di Surabaya)

0 0 33

SIKAP MASYARAKAT SURABAYA TERHADAP PEMBERITAAN “SEDOT PULSA DENGAN MODUS KONTEN” DI SURAT KABAR JAWA POS (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Sikap Masyarakat Surabaya Terhadap Pemberitaan “Sedot Pulsa Dengan Modus Konten” Di Surat Kabar Jawa Pos) SKRIPS

0 0 31