KEANEKARAGAMAN DAN STRUKTUR VEGETASI MANGROVE DI PANTAI BAMA – DERMAGA LAMA TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR.

(1)

KEANEKARAGAMAN DAN STRUKTUR VEGETASI MANGROVE DI

PANTAI BAMA – DERMAGA LAMA TAMAN NASIONAL BALURAN

JAWA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan Kepada Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Oleh: Putrisari NIM. 12308141041

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

Menuju Sampai Menggenggam Selesai

Sungguh tulangku telah lemah dan rambutku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu.

(Maryam; 4)

Hidup untuk guna bukan nilai (Putrisari)

Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudra yang menampung sampah-sampah? Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian manusia sehingga ia makin sanggup memahami orang lain?


(6)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Allah STW, berjuta syukur atas segala nikmat yang telah diberikan. Dekaplah hamba dalam Iman dan Islam. Matursuwun Gusti.

Bapak, Mamak, Mas Oka, Sesa, Mba Wati, Simbah dan keluargaku, terimaksih untuk doa yang seujung kuku pun tak sanggup untuk ku balas. Semoga Allah selalu

memeluk ditiap langkah. I love you!

Ibuku Suhartini dan Ratnawati yang telah sabar dalam mendidik, membimbing, mengajari, memberi masukan dan mengingatkan saya untuk menyelesaikan skripsi

ini.

Masku Sulistyono yang telah mengingatkan dengan tamparan kata yang justru membangkitkan semangat. Terimaksih.

Mas Kompleh, Mas Cuin, Nita, Rekan-rekan Bama dan Bekol yang telah mengubah lelah menjadi tawa dalam proses pengambilan data.

Rekanku Winna Wijayanti yang selalu mengembangkan senyum di setiap kalut. Mba Dita, Tanti, Sekar, Dwi Cawet, Cece dan semua teman-teman UNSTRAT 2010

sampai 2016 yang telah mengiringi proses skripsi

Teman- teman Biologi Subsidi 2012 atas perhatian, bantuan dan motivasi yang selalu diberikan selama empat tahun setengah ini.


(7)

KEANEKARAGAMAN DAN STRUKTUR VEGETASI MANGROVE DI

PANTAI BAMA – DERMAGA LAMA TAMAN NASIONAL BALURAN

JAWA TIMUR

Oleh: Putrisari Nim 12308141041

ABSTRAK

Penelitian mengenai keanekaragaman dan struktur vegetasi mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur ini dilakukan selama tiga minggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis, pola sebaran jenis dan zonasi tumbuhan mangrove.

Penelitian ini bersifat eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove, menggunakan metode purpose sampling dengan jalur berpetak. Lokasi penelitian dibagi menjadi 2 stasiun, masing-masing seluas empat ha dan sembilan ha.

Hasil dari penelitian ini, stasiun 1 terdapat dua mangrove mayor (Rhizophora

stylosa dan R. apiculata), tiga mangrove minor (Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis dan Excoecaria agallocha) dan delapan mangrove asosiasi(Corypha utan, Syzygium polyanthum, Terminalia catappa, Ardisia sp, Desmodium umbellatum, Caesalpinia sp, Clerodendrum sp dan Buchanannia arborescens). Stasiun 2 terdapat

enam mangrove mayor (R. apiculata, B. gymnorrhiza, C. tagal, S. caseolaris dan S.

alba), empat mangrove minor (H. littoralis, E. agallocha, Acrostichum aureum dan A. speciosum), dan 10 mangrove asosiasi (C. utan, S. polyanthum, T. catappa, B. arborescens, Calophyllum inophyllum, Pongamia pinnata, D. umbellatum, Clerodendrum sp, Scaevola taccada dan Ardisia sp). Keanekaragaman di kedua

stasiun, kategori pohon, tiang dan semai adalah sedang (1 < H < 3), untuk kategori

pancang, stasiun 1 masuk dalam kategori rendah (H’ < 1), dan stasiun 2 masuk dalam

kategori sedang. Indeks kemerataan kategori pohon di kedua stasiun sedang (0,3 < E < 0,6). Kategori tiang, pancang dan semai memiliki indeks kemerataan tinggi (E > 0,6). Indeks kekayaan jenis pada kategori pohon, tiang, pancang maupun semai di kedua stasiun rendah (R < 3,5). Tumbuhan mangrove dikedua stasiun, kategori pohon, tiang, pancang dan semai berpola mengelompok kecuali tegakan R. apiculata kategori tiang (stasiun 1 dan 2) dan kategori pohon (stasiun 2) berpola seragam. Stasiun 1 memiliki tiga zonasi yaitu zona seaward, zona tengah dan zona landward. Stasiun 2 memiliki 4 zonasi yaitu, zona seaward, zona tengah, zona landward, dan transek 1, 2, 4 dan 5, memiliki zona S. caseolaris yang bercampur dengan R.

apiculata (overlap).


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul

“Keanekaragaman dan Struktur Vegetasi Mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga

Lama Taman Nasional Baluran Jawa Timur” dapat diselesaikan.

Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik juga berkat bantuan dari berbagai pihak, terutama pembimbing. Oleh karena itu, pada kesempatan ini disampaikan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Hartono, M. Si selaku Dekan FMIPA beserta seluruh staf atas fasilitas dan bantuannya sehingga administrasi tugas akhir berjalan lancar. 2. Bapak Dr. Slamet Suyanto, selaku Wakil Dekan I yang telah membantu dalam

penetapan SK Pembimbing dan Penguji Tugas Akhir Skripsi.

3. Bapak Dr. Paidi, M.Si selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA yang telah memberikan izin penelitian ini.

4. Ibu Dr. Ir Suhartini M.S dan Ibu Ratnawati, Dra., M.Sc, selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar dalam membimbing, menasehati dan memberikan saran dan semangat sehingga skripsi ini dapat selesai.

5. Mas Sulistyono selaku kakak yang telah bersedia meluangkan waktu dan sabar memberikan saran, masukan, nasihat, dan pengalaman sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.


(9)

6. Mas Cuin, Mas Kompleh dan Nita selaku teman yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk bersusah payah mengambil data skripsi.

7. Bapak Tri, selaku petugas Taman Nasional Baluran yang telah membantu dalam proses perijinan pengambilan data di Taman Nasional Baluran.

8. Pak Hendro, Mang Agus, Mas Heru, Mas Ferdi, Mas Teguh, Mas Didi, Mas Azam, selaku pengelola Pantai Bama yang telah memberikan semangat, ilmu, pengalaman serta keceriaan selama proses pengambilan data.

9. Pak Suwono, Mas Ryan, Mas Udin, Mas Agus, Mas Linggar, Mas Rudi, Pak Anis, Mas Ledi dan Mba Fiko selaku warga Bekol yang telah memberikan semangat, pengalaman dan kaceriaan selama proses pengambilan data.

10.Mas ojan, Arbi, Eni Sagita, Bondan dan Meta selaku teman yang telah memberi semangat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi.

11.Semua pihak yang telah membantu dan mendoakan proses pengerjaan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Sangat disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, tetapi penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.

Yogyakarta, 12 Januari 2016 Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN... ii

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 7


(11)

BAB II Kajian Pustaka ... 9

A. Kajian Teori ... 9

1. Mangrove ... 9

2. Habitat Mangrove ... 12

3. Zonasi Mangrove ... 16

4. Peran Mangrove ... 22

5. Mangrove Indonesia ... 25

6. Mangrove Taman Nasional Baluran ... 28

B. Kerangka Berfikir ... 31

BAB III Metode ... 32

A. Jenis Penelitian ... 32

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

C. Populasi dan Sampel ... 32

D. Alat dan Bahan ... 32

E. Langkah Pelelitian ... 33

F. Penyusunan Data ... 36

G. Analisi Data ... 36

BAB IV Hasil dan Pembahasan ... 42

A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 42

B. Struktur Vegetasi Mangrove ... 44

B.1 Pohon... 50

B.2 Tiang ... 55


(12)

B.4 Semai ... 59

C. Indeks Keanekaragaman (H’), Kemerataan (E) dan Kekayaan (R) ... 63

D. Pola Sebaran ... 65

E. Zonasi ... 68

1. Zonasi Stasiun 1 ... 69

2. Zonasi Stasiun 2 ... 77

BAB V... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bentuk-bentuk akar pada pohon mangrove………..10

Gambar 2. Buah Rhizophora apiculata dengan bagian-bagiannya. ... 11

Gambar 3. Zonasi Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah ... 17

Gambar 4. Skematik potongan melintang hutan mangrove di Pulau Kimbe, Papua Nugini. ... 17

Gambar 5. Distribusi hutan mangrove di Indonesia ... 27

Gambar 6. Skema metode jalur berpetak. ... 33

Gambar 7. Batas pengukuran diameter pohon mangrove. ... 35

Gambar 8. Gambaran lokasi penelitan beserta titik koordinat pada setiap plot. ... 44

Gambar 9. Susunan zonasi mangrove transek 1,stasiun 1 dengan MHWL 0,37 m dan MLWL -0,39 m pada transek 1 stasiun 1. ... 69

Gambar 10. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,37 m dan MLWL -0,39 m pada transek 2 stasiun 1. ... 71

Gambar 11. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,37 m dan MLWL -0,39 m pada transek 3 stasiun 1. ... 74

Gambar 12. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 1, stasiun 2. ... 77

Gambar 13. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 2, stasiun 2. ... 78

Gambar 14. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 3, stasiun 2. ... 80

Gambar 15. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 4, stasiun 2. ... 82

Gambar 16. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 5, stasiun 2. ... 83


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Table 1. Daftar jenis pohon bakau yang dilaporkan di Indonesia (Mackinnon

dkk, 2000: 98) ... 26 Tabel 2. Susunan mangrove di stasiun 1 dan 2 ... 46 Table 3. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)

dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Pohon Stasiun 1. ... 51 Table 4. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR) dan

Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Pohon Stasiun 2…………...52 Table 5. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)

dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Tiang di Stasiun 1 ... 56 Table 6. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)

dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Tiang di Stasiun 2 ... 56 Table 7. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)

dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Pancang di stasiun 1. ... 57 Table 8. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)

dan Indeks Nilai Penting Kategori Pancang di stasiun 2. ... 58 Table 9. Hasil perhitungan Keraptan (KR) dan Frekuensi (FR) Kategori Semai

Stasiun 1. ... 59 Table 10. Hasil perhitungan Keraptan (KR) dan Frekuensi (FR) Kategori

Semai Stasiun 2. ... 60 Table 11. Hasil perhitungan Indeks keanekaragaman (H’), Kemerataan (E) dan

Kekayaan (R) di stasiun 1 dan 2. ... 64 Table 12. Hasil perhitungan Indeks Sebaran Morisita dan pola sebaran

Mangrove Kategori Pohon, Tiang, Pancang dan Semai di stasiun 1 dan 2... 66 Table 13. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies transek 1, stasiun 1 ... 70


(15)

Table 14. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 2, stasiun 1 .... 73 Table 15. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 3, stasiun 1 .... 75 Table 16. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 1, stasiun 2 .... 77 Table 17. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 2, stasiun 2 .... 79 Table 18. Tabel data edafik kode spesies dan nama spesies, transek 3, stasiun 2 ... 81 Table 19. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 4, stasiun 2 .... 83 Table 20. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 5, stasiun 2 .... 84


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Gambar Jenis Mangrove ... 92

Lampiran 2. Sampel Substrat ... 114

Lampiran 3: Dokumentasi Pengambilan Data ... 116


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kata “mangrove” dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk

menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas

Rhizophora spp., (Soeroyo.1992: 1). Seager, dkk (1983 dalam Noor, dkk.

2016: 1.) menyebutkan bahwa jenis pohon atau belukar yang tumbuh di antara batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

Hutan mangrove ditemukan di sepanjang pantai berlumpur yang terlindung dari hempasan angin dan arus laut. Mangrove dapat tumbuh di lumpur, pantai berbatu atau pantai berkarang (Kotimura, dkk. 1997: 97), terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,

Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Noor, dkk. 1999: 1).

Hutan mangrove terbesar di Asia Tenggara ditemukan di Indonesia (60% dari total luas hutan mangrove di Asia Tenggara), Malaysia (11,7%), Myanmar (8,8%), Papua Nugini (8,7%), dan Thailand (5,0%) (Giesen dkk. 2006: 2). Di tahun 1996, hutan mangrove mengalami penurunan, tersisa 3.533.600 ha, dengan 15 famili, 18 genus, dan 41 spesies dari mangrove sejati dan 116 mangrove asosiasi (Kotimura, dkk. 1997: 98).

RRL (1999) mengatakan luas hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan).


(18)

Lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6%) ternyata dalam kondisi rusak parah dan di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/th (Chairil Anwar dan Hendra Guanawan. 2007: 24).

Hutan mangrove di Pulau Jawa, pada tahun 1985 seluas 170.500 ha, namun pada tahun 1997 tinggal 19.077 ha (11,19%). Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha tinggal 500 ha (8%), di Jawa Barat dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha (7,5%), dan di Jawa Tengah dari 46.500 ha tinggal 13.577 ha (29%). Sementara luas tambak di Pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jawa Barat (50.330 ha), Jawa Tengah (30.497 ha), dan Jawa Timur (47.913 ha). Apabila pengadaan lahan tambak dengan mengubah hutan mangrove terus dilakukan, maka kemungkinan besar akan sangat sulit menemukan hutan mangrove di Jawa (Giesen, 1993; Republika, 23/7/2002).

Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi di Pulau Jawa yang secara administrasi pemerintahan masuk dalam wilayah Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Taman Nasional Baluran secara geografis terletak pada 7°29′10” -55” LS dan 114°39′10” BT dengan luas ± 25.000 Ha. Di dalam kawasan konservasi ini terdapat 444 jenis flora yang tergolong dalam 87 familia. Jenis - jenis tersebut terdiri dari 24 jenis tumbuhan eksotik, 265 jenis tumbuhan penghasil obat dan 37 jenis


(19)

merupakan tumbuhan yang hidup pada ekosistem mangrove (Arif Pratiwi. 2005: 69). Hutan mangrove sebagai salah satu pembentuk ekosistem di kawasan Taman Nasional Baluran mempunyai beberapa manfaat di antaranya, yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis flora dan fauna, wahana pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata selain itu sistem perakaran mangrove yang rapat mampu menahan dan mengikat sedimen (lumpur) sehingga tidak memcemari ekosistem terumbu karang.

Berdasarkan penelitian Sudarmadji (2009: 16-17), luas keseluruhan hutan mangrove di Taman Nasional Baluran adalah 416,093 ha. Hutan mangrove tersebut mengalami ancaman di antaranya adalah pencurian kayu jenis R. apiculata oleh masyarakat, pencurian kayu ini berada di blok Pantai Popongan, sementara di blok Perengan terjadi pencurian akar Sonneratia

moluccensis. Pencurian belum merambah ke blok lainnya namun

dimungkinkan pencurian akan menyebar di seluruh blok Taman Nasional Baluran. Ancaman lain adalah pengambilan nener, walaupun sebenarnya tidak merusak vegetasi mangrove secara langsung, akan tetapi pembongkaran batu yang berserakan di tepi pantai dan kemudian disusun sebagai batas petak pengambilan nener telah menghilangkan kesempatan terjadinya endapan lumpur atau pasir yang dapat ditahan oleh batu-batu tersebut, sehingga menghilangkan kesempatan perluasan hutan mangrove (Arif Pratiwi. 2005: 4).


(20)

Selain permasalahan di atas, sampah juga menjadi ancaman yang serius. Sampah yang hanyut dan tidak dapat terurai akan menghambat perkembangan vegetasi mangrove. Sampah yang berada di permukaan tanah membuat semaian yang jatuh tidak dapat menancap. Semaian yang sudah hidup juga berkemungkinan tertimbun sampah, yang mengakibatkan kematian (Arif Pratiwi. 2005: 4). Sampah tersebut ditemukan pada beberapa lokasi di hutan Mangrove Pantai Bama hingga Dermaga Lama.

Pantai Bama merupakan salah satu tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Baluran. Pantai ini adalah pantai landai dan berpasir putih serta mempunyai formasi terumbu karang. Dasar Pantai Bama memiliki empat jenis substrat, yaitu pasir, lumpur, lamun dan terumbu karang. Perairan Pantai Bama merupakan daerah pantai yang tidak terdapat muara sungai (Prima Tegar. 2014: 5). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sudarmadji dan Sulistyawati (1994: 137), Pantai Bama memiliki jenis tumbuhan mangrove seperti R. stylosa, R. apiculata, B. gymnorrhiza dan S.

alba.

Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa komunitas tersebut memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas tersebut disusun


(21)

oleh banyak spesies dengan jumlah individu yang relatif sama atau merata, begitupun sebaliknya (Indrianto. 2016: 146).

Penelitian mengenai keanekaragaman dan struktur vegetasi telah banyak dilakukan namun selalu terjadi perubahan keanekaragaman jenis dan struktur vegetasinya, ini dapat terjadi karena aktivitas manusia. Seperti halnya di Taman Nasional Baluran khususnya blok Bama, yang merupakan tujuan utama wisatawan saat berkunjung, oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian keanekaragaman jenis dan struktur vegetasi mangrove karena hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan perubahan lingkungan pada masa yang akan datang serta sebagai pertimbangan pengelolaan jangka panjang.

B. Identifikasi Masalah

Berikut beberapa permasalahan yang ada di Taman Nasional Baluran:

1. Belum ada inventarisasi ulang mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.

2. Belum diketahui pola sebaran jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

3. Belum diketahui zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur.


(22)

4. Belum diketahui dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman mangrove, di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

5. Belum dibuat atlas mangrove di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah maka penelitian ini dibatasi pada identifikasi, keanekaragaman dan pola sebaran jenis tumbuhan mangrove, serta zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka masalah penelitian yang dapat dirumuskan yaitu:

1. Bagaimana keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur?

2. Bagaimana pola sebaran jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur?

3. Bagaimana zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur.


(23)

2. Pola sebaran jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

3. Zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

F. Manfaat Penelitian

Adanya penelitian ini dapat memberikan informasi keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove, pola sebaran jenis tumbuhan mangrove dan zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Bagi Pengelola Taman Nasional Baluran data tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan, pertimbangan dan pengambilan kebijakan dalam pengelolaan kawasan wisata mangrove.

G. Batasan Operasional 1. Mangrove

Mangrove merupakan jenis pohon atau belukar yang terdapat di sepanjang garis pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Hanley, dkk. 2014: 7)

2. Keanekaragaman

Keanekaragaman merupakan parameter ekologi yang digunakan untuk mengukur stabilitas suatu komunitas (Ghufran H Kordi. 2012: 226).


(24)

3. Zonasi

Zonasi merupakan pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan kemampuan adaptasi tumbuhan tersebut. (Soeroyo. 1992: 5).

4. Pola Sebaran

Pola sebaran adalah gambaran penyebaran tumbuhan di ruang horizontal, yang menuruti tiga pola yaitu acak, seragam, bergerombol atau mengelompok (Odum. 1993: 255).

5. Taman Nasional Baluran

Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi di Pulau Jawa. Secara geografis terletak pada 7°29′10” -55” LS dan 114°39′10” BT dengan luas ± 25.000 Ha. Di dalam kawasan konservasi tersebut terdapat 444 jenis flora yang tergolong dalam 87 familia. Jenis - jenis tersebut terdiri dari 24 jenis tumbuhan eksotik, 265 jenis tumbuhan penghasil obat dan 37 jenis merupakan tumbuhan yang hidup pada ekosistem mangrove (Arif Pratiwi. 2005: 69).


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Mangrove

Kitamura, dkk (1997: 97) menyatakan bahwa mangrove adalah tumbuhan di daerah tropik berada di zona pasang surut. Jenis pohon atau belukar yang tumbuh di antara batas atas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove (Hanley, dkk 2014: 7)

Hutan mangrove merupakan hutan yang ditemukan di sepanjang garis pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut. Hutan atau ekosistem mangrove tumbuh di pantai terlindung atau pantai datar. Biasanya jika tidak ada muara sungai hutan mangrove akan cenderung lebih tipis. Tempat tumbuh yang ideal bagi mangrove adalah area dengan muara sungai yang besar, delta dan aliran air yang kaya akan lumpur dan pasir (Ministry of Forestry Republic of Indonesia: 2). Terdapat total 268 spesies mangrove yang tercatat di hutan mangrove Asia Tenggara, termasuk di dalamnya 129 jenis pohon, 50 jenis herba (termasuk 27 jenis rumput-rumputan), 28 jenis tumbuhan pemanjat, 28 jenis tumbuhan epifit, 24 jenis paku-pakuan, tujuh jenis palem, satu pandan dan satu jenis cycad (Giesen,dkk. 2006: 5).

Daerah yang menjadi tempat tumbuh mangrove adalah daerah anaerob (miskin udara) ketika digenangi air. Beberapa spesies mangrove


(26)

mengembangkan sistem perakaran khusus yang dikenal sebagai akar udara (Kitamura, dkk. 1997: 99). Gill dan Tomlinson (dalam 1975 Kitamura, dkk. 1997: 4) menyatakan bahwa akar udara adalah akar yang terkena udara secara langsung, selama beberapa waktu dalam sehari atau bahkan sepanjang hari.

Struktur perakaran mangrove dibagi menjadi enam kategori, meliputi akar tunjang, akar nafas, akar lutut, akar papan, banir dan tanpa akar udara. Banir sebenarnya tidak termasuk dalam akar udara namun biasanya ditemukan bersamaan dengan akar udara lainnya dan merupakan karakteristik yang penting untuk jenis- jenis mangrove. Beberapa jenis mangrove dapat memiliki beberapa akar udara secara bersamaan (Kitamura, dkk. 1997: 4).

Gambar 1. Bentuk-bentuk akar pada pohon mangrove (Noor, dkk. 2006: 213)

Semua spesies mangrove menghasilkan buah yang penyebarannya diperantarai air. Buah yang dihasilkan oleh tumbuhan mangrove memiliki bentuk bola, silindris, kacang dan sebagainya. Rhizophoraceace


(27)

(serupa tongkat) yang dikenal dengan tipe vivipari (Kitamura, dkk. 1997: 99). Vivipar merupakan biji yang berkecambah dalam buah (Noor, dkk. 2006: 217) dan hipokotilnya telah mencuat ke luar pada saat buah masih menempel di pohon induknya (Kitamura, dkk. 1997: 99).

Avicennia (buah berbentuk seperti kacang), Aegiceras (bentuk

buah silindris) dan Nypa merupakan buah dengan tipe kriptovivipari, di mana biji telah berkecambah tetapi biji terlindung oleh kulit buah atau perikarp sebelum lepas dari pohon induk. Sonneratia dan Xylocarpus memiliki buah dengan bentuk bola (Kitamura, dkk. 1997: 99).

Gambar 2. Buah Rhizophora apiculata dengan bagian-bagiannya, (Noor, dkk. 2006: 218).

Beberapa spesies mangrove dapat menyesuaikan diri terhadap kadar garam tinggi, di antaranya dengan membentuk kelenjar garam yang berfungsi untuk membuang kelebihan garam. Tomlinson (1986),

Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegilitis mengatur keseimbangan


(28)

garam sering ditemukan pada permukaan daun sehingga terkadang pada permukaan daun terlihat kristal-kristal garam. Spesies lain seperti

Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia dan Lumnitzera mengatur

keseimbangan garam dengan cara menggugurkan daun tua yang berisi akumulasi garam (Kitamura, dkk. 1997: 99).

2. Habitat Mangrove

Mangrove tumbuh subur pada tempat dengan endapan lumpur yang melimpah serta aliran air tawar yang cukup. Air payau bukan merupakan hal yang wajib untuk pertumbuhan mangrove namun mangrove sangat baik tumbuh di lingkungan tersebut. Mangrove juga dapat tumbuh di pantai berpasir, pantai berbatu atau pantai berkarang dan pulau-pulau kecil (Kitimura, dkk. 1997: 97). Pantai mangrove berkembang dengan baik apabila aliran sungai membawa lumpur dan pasir ke dasar laut yang kemudian bercampur kembali dan terangkut oleh ombak, pasang dan aliran. Pantai mangrove yang ideal terjadi di mana banyak saluran-saluran sungai yang berliku-liku membentuk suatu jaringan kerja, jalannya air tenang membatasi daerah pasang surut (Soeroyo. 1992: 2).

a. Salinitas

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara


(29)

berbeda-beda (Noor. 1999: 5). Beberapa di antaranya tidak tumbuh pada perairan yang terlalu asin dan beberapa ditemukan hanya pada zona payau (Giesen, dkk. 2007: 13). Beberapa di antaranya pula, secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lain mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daun (Noor. 1999: 5).

Beberapa spesies mempunyai rentang toleransi yang sangat tinggi, misalnya Sonneratia yang ditemukan pada air laut murni atau di sepanjang sungai dengan salinitas yang hampir tawar (yaitu<0,1% air laut). Spesies lain bahkan tumbuh subur di kolam air tawar di Kebun Raya Bogor di Jawa (Giesen, dkk. 2007: 14). Pada lokasi yang garis pantainya tidak terkikis dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia alba, di sepanjang perairan dengan salinitas rendah (misalnya di muara sungai) dapat ditemukan pula Nypa fruticans,

Cerbera odollam dan Sonneratia .

Avicennia mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang

mendekati tawar sampai dengan 90% (MacNae. 1966; 1968), pada salinitas ekstrim pohon akan tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia ditemui hidup pada daerah dengan salinitas mendekati salinitas air laut, kecuali S.

caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10%. Beberapa juga


(30)

(20-40%), R. mucronata dan R. stylosa (55%), Ceriops tagal (60%) dan bahkan Lumnitzera racemosa dapat tumbuh pada salinitas 90% (Camp. 1976a; Yuslia Noor. 1999: 5). Jenis-jenis Bruguiera dapat tumbuh pada salinitas di bawah 25%, Mac Nae (1966; 1968 dalam Noor. 1999: 5) menyebutkan bahwa kadar salinitas optimum untuk B.

parviflora adalah 20% sementara B. gymnorrhiza adalah 10-25%

(Giesen, dkk. 2007: 14). b. Substrat

Sebagian besar spesies mangrove tumbuh baik di tanah berlumpur, yaitu pada daerah di mana lumpur terakumulasi, baik untuk perkembangan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Hutan yang didominasi oleh Bruguiera sering bersubstrat tanah lumpur dalam. Spesies tertentu seperti R. stylosa tumbuh baik pada substrat pasir dan bahkan dapat tumbuh di pulau-pulau karang dengan substrat pecahan karang dan kerang. Kint (1934) melaporkan di Indonesia R.

stylosa dan S. alba biasa tumbuh pada substrat berpasir dan bahkan

pantai berbatu (Giesen, dkk. 2007: 15).

Kint (1934 dalam Noor. 1999: 5), menyatakan bahwa di Indonesia substrat berlumpur sangat baik untuk tegakan R. mucronata dan A. marina. Di kondisi tertentu mangrove juga dapat tumbuh pada


(31)

daerah pantai bergambut misalnya di Florida, Amerika Serikat (Noor. 1999: 5).

c. Pasang Surut

Zona vegetasi mangrove jelas berhubungan dengan pasang surut dan berhubungan pula dengan frekuensi genangan (Giesen, dkk. 2007: 16). Durasi pasang surut berakibat pada perubahan salinitas di suatu area. Salinitas akan tinggi jika air pasang begitupun sebaliknya. Perubahan salinitas karena pasang surut ini juga menjadi faktor yang membatasi penyebaran mangrove, kususnya di runag horizontal. Pasang surut juga menyebabkan perubahan antara air dan payau dan berdampak pada distribusi vertikal tumbuhan mangrove (Aksornkoae. 1993: 36).

Di Indonesia, area yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh A. alba dan S. alba. Area yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis

Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang

tinggi, yang mana area tersebut lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan X. granatum, sedangkan area yang digenangi hanya pada pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan


(32)

3. Zonasi Mangrove

Hutan mangrove biasanya membentuk zonasi, dan jika dilihat dari udara atau menara pengamat kumpulan tanaman yang berbeda jenis akan mudah dibedakan. Penyebab adanya zonasi ini berkaitan dengan salinitas, ketinggian dan keterbukaan terhadap gelombang (genangan). Umumnya adanya pola zonasi tersebut ditentukan oleh kombinasi ketiga faktor tersebut tetapi faktor yang dominan adalah genangan pasang surut (Giesen, dkk. 2006: 16).

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Beberapa ahli menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut. Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur terutama di daerah dengan akumulasi endapan lumpur (Chapman 1977; Noor. 1999: 5). Berikut adalah beberapa tipe zonasi mangrove:


(33)

Gambar 3. Zonasi Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah (Adaptasi White et al. 1989; Giessen, dkk. 2006: 12)

Gambar 4. Skematik potongan melintang hutan mangrove di Pulau Kimbe, Papua Nugini.

Ae. -Aegiceras corniculatum A.c. Acanthus ilicifolius A.S.- Acrostichum speciosum B.g.- Bruguiera gymnorrhiza B.p.- Bruguiera parviflora B.s.- Bruguiera sexangula F.s.- Ficus sp (bukan spesies mangrove) H.i Heritiera littoralis M.h.- Myristica hollrungii P.s.- Pandanuscf. Furcatus P.p.- Pongamia pinnata R.a- Rapiculata

R.m.- Rhizophora mucronata X.g.- Xylocarpus granatum MHWL- Mean High Water Level; MLWL- Mean Low Water Level

(Giessen, dkk. 2006: 12-13).

Champman (1975), menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh terhadap zonasi mangrove, yaitu


(34)

substrat, salinitas, drainase, pasang surut, kelembapan substrat serta frekuensi penggenangan (Aksornkoae. 1993: 55). Sukardjo (1993) ada lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu, yaitu: (1) gelombang, yang menentukan frekuensi genangan; (2) salinitas, yang berkaitan dengan hubungan osmosis mangrove; (3) substrat; (4) pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan rembasan air tawar; (5) keterbukaan terhadap gelombang, yang menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan (Ghufran H Kordi. 2012: 14).

Frekuensi genangan merupakan alasan utama dalam pembagian zonasi mangrove. Berdasarkan penggenangan pasang surut, Watson (1928) mengklasifikasikan distribusi mangrove dalam kelas:

Zona 1:

Area ini digenangi pada pasang tertinggi atau selalu tergenang, biasanya tidak ditumbuhi tumbuhan kecuali R. mucronata.

Zona 2:

Area ini di genangi pada pasang sedang, A. alba, A. marina, S.

alba, ditemukan pada daerah ini sedangkan R. mucronata ada di

sepanjang tepi muara.

Komposisi dari berbagai tumbuhan ini bergantung pada substrat, seperti S. alba yang cenderung mendominasi pada pasir atau karang, seperti pada pulau-pulau di Handeuleum Teluk Ujung Kulon (Jawa


(35)

Barat, Indonesia), sedangkan menurut Steenis (1958) A. marina dan R.

mucronata cenderung mendominasi di pantai berlumpur.

Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993), Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika substrat berlumpur dan kaya akan bahan organik. Di pantai berlumpur di pantai utara Jawa Barat, zona ini terutama terdiri dari A. marina dan A. Alba (Giessen, dkk. 2006: 17).

Zona 3:

Area ini digenangi pada pasang normal. Mangrove tumbuh dengan sumbur pada zona ini, khususnya Rhizophora, C. tagal, X.granatum, dan B. parviflora.

Zona 4:

Zona ini digenangi pada saat-saat tertentu. Lokasi ini terlalu kering untuk Rhizhophora, tetapi baik untuk Brguiera, Xylocarpus dan

Exoecaria.

Zona 5:

Area ini akan digenangi pada pasang luar biasa, atau dengan kata lain daerah ini jarang sekali terkena pasang. Kebanyakan tumbuhan pada area yaitu B. gymnorrhiza, Instia bijuca, Heritiera littoralis,

Excoecaria agallocha, dan Nypa fruticants.

Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun kenyataan di lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak formasi


(36)

serta zona vegetasi yang tumpang tindih dan bercampur serta seringkali struktur dan korelasi yang nampak di suatu daerah tidak selalu dapat diaplikasikan di daerah yang lain (Noor, dkk. 2006: 9).

Zona sering diinterpretasikan sebagai tingkat perbedaan dalam suksesi (perubahan secara progresif dalam komposisi jenis selama perkembangan vegetasi). Hal ini diterangkan sebagai suatu kemajuan yang lambat, karena pionir mangrove didesak oleh sabuk yang luas atau zona dari jenis yang kurang toleran terhadap garam sehingga mangrove secara keseluruhan meluas ke arah laut. Suksesi dan perkembangan ke arah laut merupakan keadaan yang lengkap walaupun telah lama diteliti bahwa dalam pantai yang stabil dalam pengalaman tidak ada erosi maupun akresi dari sedimen (Soeroyo 1992: 6).

Zonasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor (Lear dan Turner. 1997 dalam Soeroyo. 1992: 7), di antaranya adalah:

a. Fisiografi atau bentuk permukaan, hal ini dapat berupa kemiringan permukaan, yang menentukan lama dan perluasan dari genangan pasang surut. Faktor fisiografi ini bisa mempengaruhi zonasi karena dapat berpengaruh dalam hal salinitas, aliran air dan aerasi tanah. b. Kisaran pasang surut.

c. Iklim, ini mempengaruhi presipitasi, evaporasi dan temperatur yang membatasi jenis mangrove yang menyusun pola zonasi.


(37)

Sebagai contoh zonasi di daerah timur laut Australia yang mempunyai iklim lebih cocok untuk pertumbuhan mangrove. Di sini mempunyai zonasi yang lebih banyak dan komplek. Berikut adalah zonasi yang didasarkan pada dominasi spesies:

a. Landward zone (Zona ke arah darat)

Zona ini sering didapatkan sebagai zona yang sempit sebab bercampur dengan hutan hujan yang lebih rendah atau berdekatan dengan hutan hujan sehingga tanahnya ditumbuhi rerumputan. Kebanyakan jenis mangrove yang ditemukan pada zona ini adalah

Excoecaria agallocha, Lumnitzera Iittorea, L. racemosa, C. tagal, C. decandra, Aegialitis annulata, Aegiceras corniculatum, Heritiera littoralis dan juga Avicennia marilla.

b. Zona Ceriops

Zona ini hampir seragam, dengan ketinggian sampai 5 m yang didominasi oleh Ceriops. Jenis ini merupakan zona yang paling lebar di daerah yang bercurah hujan sedang.

c. Zona Bruguiera

Zona ini merupakan puncak kesuburan, terlihat pada daerah Australia Timur laut sebagai hutan yang tertutup yang tingginya lebih dari 30 m. Zona ini didominasi oleh Bruguiera gymnorrizha yang


(38)

berasosiasi dengan Xylocarpus australasius, X. granatum dan

Heritiera littoralis. Salinitas lebih tinggi dan tanahnya lebih stabil.

d. Zona Rhizophora

Zona ini sering terdiri dari Rhizophora stylosa, terletak di belakang seaward. Memiliki substrat yang agak lunak.

e. Zona Seaward

Zona ini merupakan pionir, umumnya didominasi oleh A.

marina. Selain jenis tersebut, Sonneratia juga merupakan pionir

dalam zona seaward ini, di mana salinitas tertinggi sangat mempengaruhi pertumbuhannya (Lear dan Turner. 1997. 13-15). 4. Peran Mangrove

a. Peran Ekologis Mangrove

Davis and Claridge (1993) dan Othman (1994) mengemukakan bahwa mangrove berkemampuan untuk mengembangkan wilayah ke arah laut, hal tersebut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen (Noor. 2006: 21). Selain itu, vegetasi mangrove juga berperan dalam mempertahankan lahan yang telah dikolonisasinya, terutama dari ombak dan arus laut. Pada


(39)

pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove, peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan pulau tersebut. Sebaliknya, pada pulau yang hilang mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu oleh ombak dan arus musiman (Chambers. 1980 dalam Noor. 2006: 21). Data lain menunjukkan adanya kecenderungan terjadi pengendapan tanah setebal 6 sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran mangrove (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007: 26).

Pada ekosistem mangrove komponen dasar rantai makanan adalah seresah (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya) yang jatuh dan didekomposisi oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur) menjadi zat hara/ nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis. Sebagain lagi dimanfaatkan oleh udang, kepiting sebagai makanan (Ghufran H Kordi. 2012: 63).

Melalui sistem ekologi yang terjadi, maka ekosistem hutan mangrove berperan penting sebagai penyedia sumber energi dan daerah nursery bagi perikanan. Manfaat mangrove terhadap perikanan adalah manfaat tidak langsung, yaitu suplai makanan bagi komunitas laut melalui rantai makanan detritifus (detritifus food chain) yang dimulai dari luruhan seresah daun mangrove. Ekspor detritifus dari hutan mangrove merupakan sumber nutrien dan energi bagi ekosistem sekitarnya. Manfaat lain secara tidak langsung adalah fungsi mangrove


(40)

sebagai habitat bagi berbagai organisme laut yang mempunyai nilai ekonomis (missal: udang, kepiting dan ikan) (Harahab. 2010: 60).

Mangrove juga mampu menekan laju intrusi air laut ke arah daratan. Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrove yang relatif baik, masih tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007: 27).

Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang menjumpai sembilan jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Di laporkan bahwa nyamuk Anopheles sp, nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove, hal Ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya areal- areal pertambakan (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007: 27).

b. Peran Sosial Ekonomis Mangrove

Peran sosial ekonomi hutan mangrove di antaranya:

1. Penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan),


(41)

2. Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),

3. Penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,

4. Pariwisata, penelitian, dan pendidikan (Erna Rochana: 2012. 5) Selain itu, hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi objek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat) serta Cilacap (Jawa Tengah).

Hutan mangrove memberikan objek wisata yang berbeda dengan objek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada diperalihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperolah pelajaran langsung dari alam. Kegiatan wisata ini disamping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja, kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu dan menjadi pemandu wisata. 5. Mangrove Indonesia

Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasarkan hasil


(42)

interpretasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo, 1994 ;Chairil Anwar dan Hendra Guanawan. 2007: 24). RRL (1999), laus hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan), namun demikian lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6%) ternyata dalam kondisi rusak parah dan di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/th (Chairil Anwar dan Hendra Guanawan. 2007: 24).

Table 1. Daftar jenis pohon bakau yang dilaporkan di Indonesia (Mackinnon dkk, 2000: 98)

Suku Jenis Sebaran

1 2 3 4 5 6

Avicenniaceae A. alba x x x x x x

A. marina x x x x x x

A. officinalis x x x x x x

Bombacaceae Camptostemon schultzii x x Combretaceae Lumnitzera littorea x x x x x x

L. racemosa x x x x x

Euphorbiaceae Excoecaria agallocha x x x x x x Flacourtiaceae Scolopia macrophylla x x x Leguminosae Cynometra ramiflora x x x Meliaceae Xylocarpus granatum x x x x x x

X. moluccennis x x x x x

Myrsinaceae Aigiceras corniculatum x x x x x Myrtaceae Osbornia octodonta x x x

Palmae Nypa fruticans x x x x x

Plmbaginaceae Aegialitis annulata ? ?

A. rotundifolia x x

Rhizophoraceae Bruguiera cylindrica x x x x x

B. exaristata x

B. gymnorrhiza x x x x x x


(43)

B. parviflora x x x x x

B. sexangula x x x x x x

Ceriops tagal x x x x x

C. decandra x x x x x x

Kandelia candel x x

Rhizophora apiculata x x x x x x

R. mucronata x x x x x

R. stylosa x x

Rubiaceae Scyphiphora hydrophyllacea x x x x Rutaceae Paramignya angulata x x x Sonnerataceae Sonneratia alba x x x x x x

S. caseolaris x x x x x x

S. ovata x x x x x x

Sterculiaceae Heritiera littoralis x x x x x x Jenis bukan kusus hutan bakau

Apocynaceae Cerbera manghas x x x x x x Bignoniaceae Dolicandrone spathacea x x x Lecythidaceae Barringtonia acutangula x x x x x

B. racemosa x x x x x

Malvaceae Thespesia populnea x x x x x x

Hibiscus tiliaceus x x x x x x

Palmae Oncosperma tigillarium x x x x Tiliaceae Brownlowia argentata x x x x x

Keterangan: 1. Sarawak, 2. Kalimantan, 3. Sumatera, 4. Sulawesi, 5. Maluku, Nusa Tenggara, 6. Pulau Irian

Gambar 5. Distribusi hutan mangrove di Indonesia

Sumber: FAO 1985; Ahmad Dwi Setyawan dkk. 2003: 135.

Hutan mangrove di pulau Jawa, pada tahun 1985 seluas 170.500 ha, namun pada tahun 1997 tinggal 19.077 ha (11,19%). Penyusutan


(44)

terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha tinggal 500 ha (8%), di Jawa Barat dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha (7,5%), dan di Jawa Tengah dari 46.500 ha tinggal 13.577 ha (29%). Sementara luas tambak di pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jawa Barat (50.330 ha), Jawa Tengah (30.497 ha), dan Jawa Timur (47.913 ha). Apabila ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove terus dilakukan, maka kemungkinan besar akan sangat sulit menemukan hutan mangrove di Jawa (Giesen, 1993; Republika, 23/7/2002).

6. Mangrove Taman Nasional Baluran

Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi di Pulau Jawa yang secara administrasi pemerintahan masuk dalam wilayah Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Secara geografis Taman Nasional Baluran terletak pada 7°29′10” - 7°55′55” LS dan 114°39′10” BT dengan luas ± 25.000 Ha (Arif Pratiwi. 2005: 2) Di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Baluran terdapat 444 jenis flora yang tergolong dalam 87 famili, terdiri dari 24 jenis tumbuhan eksotik, 265 jenis tumbuhan penghasil obat dan 37 jenis merupakan tumbuhan yang hidup pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove sebagai salah satu pembentuk ekosistem di kawasan Taman Nasional Baluran mempunyai beberapa manfaat di antaranya, yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis


(45)

flora dan fauna, wahana pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata selain itu sistem perakaran mangrove yang rapat mampu menahan dan mengikat sedimen (lumpur) sehingga tidak memcemari ekosistem terumbu karang (Arif Pratiwi. 2005: 2)

Hutan mangrove di kawasan Tama Nasional Baluran mengalami ancaman di antaranya adalah pencurian kayu jenis R. apiculata oleh masyarakat yang digunakan untuk pembuatan gubuk pada musim ikan. Pencurian kayu ini berada di blok Pantai Popongan sementara, di blok Perengan terjadi pencurian akar S. moluccensis yang digunakan sebagai tutup termos. Walaupun pencurian belum merambah ke blok lainnya namun dimungkinkan pencurian akan menyebar di seluruh blok TN Baluran. Ancaman lain adalah pengambilan nener, walaupun sebenarnya tidak merusak vegetasi mangrove secara langsung, akan tetapi pembongkaran batu yang berserakan di tepi pantai dan kemudian disusun sebagai batas petak pengambilan nener telah menghilangkan kesempatan terjadinya endapan lumpur atau pasir yang dapat ditahan oleh batu-batu tersebut sehingga menghilangkan kesempatan perluasan hutan mangrove. Selain itu sampah juga menjadi ancaman yang terpenting. Sampah yang hanyut dan tidak dapat terurai akan menghambat perkembangan vegetasi mangrove. Adanya sampah dipermukaan tanah maka buah yang


(46)

jatuh akan tertahan oleh tumpukan sampah sehingga biji tidak dapat tumbuh. Serta adanya sampah yang terhanyut juga menimbun seedling yang baru tumbuh sehingga mengakibatkan kematian (Arif Pratiwi. 2005: 3-4).


(47)

B. Kerangka Berfikir

Poda Sebaran, Zonasi

Masukan, prtimbangan Pengelolaan, Pengawasan dan kebijakan Mangrove TN Baluran

Mangrove Pantai Bama – Dermaga lama

Kerapatan, Frekuensi, Dominansi, Indeks

Nilai Penting,

Analisis dan Inventaris

Sampah Kiriman Sampah aktivitas wisata

Keanekaragaman, Kemerataan,

Kekayaan,

1. Propagul Mangrove tertimbun, tidak dapat

menancap dan menambat pada substrat.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan data dilakukan di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

– 22 Oktober 2016. C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama Taman Nasional Baluran Jawa Timur.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian berupa tumbuhan mangrove dan substrat dari setiap plot pengamatan.

D. Alat dan Bahan 1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, binokuler, kompas, meteran jahit, Global Position System (GPS) Garmin tipe E650, meteran


(49)

panjang, tali rafia, gunting, pisau, klinometer, soiltester, refractometer, kamera, tabung reaksi, penggaris, pensil, pena, tabel pengambilan data, papan jalan, plastik klip, kertas label dan buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia serta Mangrove Guidebook for Southeast Asia. 2. Bahan

Bahan dalam penelitian ini adalah sampel jenis tumbuhan mangrove. E. Langkah Pelelitian

Penelitian yang dilakukan di ekosistem hutan mangrove ini menggunakan metode purpose sampling dengan jalur berpetak. Lokasi penelitian dibagi menjadi 2 stasiun, stasiun 1 memiliki luas empat ha, dan stasiun 2 seluas sembilan ha.

1. Membuat Transek dan Plot

a. Menentukan panjang sabuk mangrove dan menentukan titik pembuatan transek per 100 m.

b. Membuat garis transek tegak lurus garis pantai hingga hutan mangrove berakhir.

c. Membuat plot pada garis transek secara berselang-seling dengan ukuran 20 x 20 m untuk pohon, 10 x 10 m untuk tiang dan 5 x 5 m untuk pancang dan 1 x 1 untuk semai. (modifikasi Darmadi. dkk. 2012. 348).


(50)

Berikut adalah kriteria penentuan pohon, tiang pancang dan semai:

1. Semai : Permudaan tingkat kecambah sampai setinggi <1,5m

2. Pancang : Permudaan dengan tinggi > 1,5 m sampai anakan berdiameter < 10 cm.

3. Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm samapi 20 cm. 4. Pohon : Pohon berdiameter > 20 cm.

2. Menentukan Zonasi

Berikut adalah cara menentukan zonasi dalam penelitian ini: a. Membuat jalur tegak lurus dengan garis pantai hingga zona hutan

mangrove berakhir, dengan jarak antar jalur sepanjang 100 m.

b. Mengamati setiap tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pada setiap meter dan mencatatnya.

3. Mengambil Data

a. Data Tumbuhan Mangrove

1) Melakukan pengukuran diameter pohon mangrove pada setiap plotnya dengan cara mengukur keliling pohon menggunakan meteran jahit.


(51)

Gambar 2. Batas pengukuran diameter pohon mangrove.

Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 20 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Kerusakan Mangrove.

2) Mengukur tinggi pohon menggunkan klinometer. 3) Menghitung jumlah pohon disetiap plot.

4) Mengidentifikasi jenis tanaman mangrove berdasarkan acuan buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia serta

Mangrove Guidebook for Southeast Asia.

5) Mendokumentasikan sampel daun, bunga, buah, akar, batang dan propagul untuk kepentingan identifikasi.

b. Data Edafik

Mengambil data edafik meliputi tekstur substrat, pH dan, salinitas. Pengukuran edafik dilakukan di setiap plot pengamatan dengan gambaran sebagai berikut:


(52)

F. Penyusunan Data

Berikut adalah tabel pengumpulan data lapangan:

No Transek : … No Plot : ….

Tabel Pengumpulan Data Tinggi Pohon

No Se/Pa/Ti/Po Jenis Keliling Jarak Tinggi Dada Sudut

Tabel Data Edafik

Lokasi Transek Plot Karakteristik Substrat

Prosentase

Pasir pH Salt (‰)

Stasiun

G. Analisi Data

Data yang telah diperoleh akan dianalis dengan menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Berikut adalah rancangan analisis kualitatif yang akan digunakan:

1. Stratifikasi

Stratifikasi adalah distribusi tumbuhan dalam ruang vertikal. Di penelitian ini penarikan stratifikasi vertikal akan ditarik dari garis pantai hingga daratan (batas hutan mangrove) (Indriyanto. 2006: 139). 2. Pola Sebaran

Pola sebaran adalah gambaran penyebaran tumbuhan di ruang horizontal. Penyebaran ini dikelompokkan menjadi tiga kategori; acak,


(53)

seragam dan berkelompok. Pola sebaran dihitung dengan indeks morisita (Odum, 1993; Suwardi dkk. 2013: 4):

= n� � −∑ � − �

Id : Indeks distribusi morisita n : Jumlah plot

x : Jumlah total individu dalam plot

Σn2 : kuadrat jumlah individu dalam plot dengan kriteria peniliaan:

Id=1 : Pola penyebaran secara acak Id>1 : Pola penyebaran mengelompok Id<1 : Pola penyebaran seragam.

Data yang diperoleh juga dianalisis berdasarkan teknis analisis kuantitatif sebagai berikut:

1. Densitas atau Kerapatan

Densitas atau kerapatan adalah jumlah individu per satuan luas atau per unit volume, dengan kata lain densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang (Indriyanto. 2006: 142).

� =luas petak pengamatanJumlah Individu


(54)

� � ���� =

Ke apa an eKe apa an pe e e− pe e

2. Frekuensi

Frekuensi merupakan besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organisme pada pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau ekosistem (Indriyanto. 2006: 14).

= Jumlah petak contoh ditemukannya suatu sesies ke − iJumlah seluruh petak contoh � =Jumlah petak contoh ditemukannya suatu sesies ke − iJumlah seluruh petak pohon

� ���� − � =frekuensi suatu sesies ke − ifrekuensi seluruh spesies x % 3. Dominansi atau Luas Penutupan

Luas penutupan atau coverage adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (luas basal area). Beberapa penulis menggunakan istilah dominansi untuk menyatakan luas penutupan. Parameter ini juga menunjukkan spesies yang dominan dalam suatu komunitas (Indriyanto. 2006: 143).

= Luas bidang dasar suatu jenisLuas petak contoh


(55)

4. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting adalah parameter kuantitatif yang dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto; Indriyanto. 2006: 144). Spesies-spesies yang dominan atau berkuasa dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar (Indriyanto. 2006: 144).

�� = KR + FR + CR 5. Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman yang digunakan adalah indeks Shannon-Wiener, karena indeks ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis di setiap pertumbuhan (Odum. 1993; Suwardi dkk. 3), dengan rumus sebagai berikut:

′ = − Σ �� ln ��

�� =N = Jumlah total semua individu dalam sampelni = Jumlah individu dari satu spesies

H’ : Ideks keanekaragaman Shannon-Wiener Ni : Jumlah individu spesies ke-i

N : Total jumlah individu

Kriteria indeks keanekaragaman dibagi dalam tiga kategori:


(56)

1<H<3 : Keanekaragaman jenis sedang

H’>3 : Keanekaragaman jenis tinggi 6. Indeks Kemerataan

Indeks kemerataan ini digunakana untuk mengetahui keseimbangan komunitas, yaitu ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Semakin mirip jumlah individu antar spesies (semakin merata penyebarannya) maka semakin merata derajat keseimbangannya. Dihitung menggunakan Evenes indeks (Magurran.1988; Suwardi dkk. 2013: 3).

=Ln SH′

E : Indeks kemerataan jenis

H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S : Jumlah jenis

Nilai kisaran:

E<0,3 : Kemerataan populasi kecil 0,3<E<0,6 : Kemerataan populasi sedang E>0,6 : Kemerataan populasi tinggi 7. Indeks Kekayaan Jenis (R1)

� = Ln NS −


(57)

S : Jumlah jenis

N : Total jumlah individu Nilai kisaran:

R1 < 3,5 : Kekayaan jenis rendah

3,5 < R1 < 5,0 : kekayaan jenis sedang


(58)

BAB IV

Hasil dan Pembahasan A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Terdapat jeda pada sabuk mangrove antara Pantai Bama dan Dermaga Lama, sehingga lokasi penelitian dibagi menjadi dua stasiun (Gambar 10). Tumbuhan mangrove di lokasi ini adalah mangrove alami.

Stasiun 1 memiliki luas empat ha, dibagi menjadi tiga transek, dengan masing-masing transek tiga plot. Sedangkan stasiun 2, memiliki luas sembilan ha, dibagi menjadi lima transek, dengan masing-masing transek tiga atau empat plot, tergantung dengan panjang hutan mangrove ke arah darat. Jarak antar transek pada kedua stasiun adalah 100 m. Panjang hutan mangrove ke arah darat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta kondisi topografi wilayah. Seperti halnya dikatakan oleh Noor, dkk (2006: 6) bahwa panjang hamparan hutan mangrove bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran material ke dalam dan dari sungai, serta kecuramannya.

Stasiun 1 didominasi oleh tegakan R. apiculata yang memiliki tinggi berkisar antara 15 – 20 m. Di temukan dua mangrove mayor pada lokasi ini, yaitu R. apiculata dan R. stylosa. Tegakan R. stylosa berada pada baris terdepan atau berhadapan langsung dengan laut. Di transek 1 tegakan R.


(59)

stylosa tumbuh sangat rapat, sehingga jika teman anda berjarak 15 m maka

tidak akan terlihat. Jaringan akar pada R.stylosa juga sangat rapat sehingga cukup menyulitkan untuk berjalan.

Tumbuhan yang mendominasi di stasiun 2 adalah R. apiculata dengan tinggi berkisar antara 15 – 20 m. R. apiculata tumbuh langsung berhadapan dengan laut, tetapi terlihat dibeberapa lokasi R. apiculata berasosiasi dengan

Sonneratia alba. Di temukan enam mangrove mayor pada lokasi ini, yaitu R. apiculata, R. stylosa, Bruguiera gymnorrizha, Ceriops tagal, S. caseolaris dan S. alba. Di lokasi ini, panjang hutan mangrove ke arah darat dapat mencapai

125 m.

Di kedua stasiun, pada beberapa lokasi terdapat tumpukan sampah, di stasiun 1 sampah terdapat di antara transek 2 dan 3, sedangkan di stasiun 2 sampah bercecer di dekat transek 8. Berdasarkan pengakuan dari petugas pantai Bama, sampah tersebut merupakan sampah kiriman dari lokasi lain yang terbawa oleh gelombang pasang. Jika dibiarkan sampah tersebut akan bertambah banyak sehingga dapat mengganggu stabilitas hutan mangrove, terutama pertumbuhan semaiannya. Hal ini juga diungkapkan oleh Arif Pratiwi (2005: 3-4), bahwa adanya sampah di permukaan tanah membuat buah yang jatuh akan tertahan oleh tumpukan sampah sehingga biji tidak dapat tumbuh. Serta adanya sampah yang terhanyut juga menimbun seedling yang baru tumbuh yang mengakibatkan kematian.


(60)

Gambar 1. Gambaran lokasi penelitan beserta titik koordinat pada setiap plot.

B. Struktur Vegetasi Mangrove 1. Susunan Jenis Mangrove

Komposisi mangrove di kedua stasiun berbeda, di stasiun 1 ditemukan 13 jenis tumbuhan mangrove, terdiri dari dua mangrove mayor, tiga mangrove minor dan delapan mangrove asosiasi. Sementara di stasiun 2 ditemukan 20 jenis tumbuhan yang terdiri dari enam mangrove mayor, empat mangrove minor dan sepuluh mangrove asosiasi. Pengelompokan tersebut didasarkan pada Kitamura (1997: 97), bahwa mangrove sejati atau komponen mayor ialah tumbuhan yang secara morfologi membentuk seperti akar udara dan mekanisme fisiologis seperti

Stasiun 1


(61)

organ pengeluaran garam agar dapat beradaptasi di lingkungan mangrove. Kelompok ini hanya terdapat di hutan mangrove dan membentuk tegakan murni. tidak Kelompok tambahan atau minor merupakan bagian yang penting dari mangrove biasanya terdapat pada daerah tepi dan jarang sekali membentuk tegakan murni. Asosiasi adalah kelompok tumbuhan yang tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati dan biasanya tumbuh dengan tumbuhan darat.

Terdapat 50 jenis mangrove sejati dan setidaknya tercatat 40 jenis terdapat di Indoesia (Noor, dkk. 2006: 9) dan enam di antaranya berada di lokasi penelitian. Di Indonesia terdapat 14 jenis mangrove langka (Noor, dkk. 2006: 9). Noor, dkk (2006; 9) juga mengatakan bahwa lima jenis umum setempat namun langka secara global, sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya. Jenis-jenis tersebut adalah Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quassia

indica, Sonneratia ovata atau S. alba, dan Rhododendron brookeanum,

dari kelima spesies tersebut terdapat satu jenis di lokasi penelitian yaitu

Sonneratia ovata atau S. alba.

Terdapat perbedaan susunan jenis pada kedua stasiun (Tabel 2), di stasiun 1 tidak ditemukan S. alba, S. caseolaris, Bruguiera gymnorrhiza,

C. tagal, Acrostichum aureum, A. speciosum, Pongamia pinnata serta Scaevola taccada sementara pada stasiun 2 tidak ditemukan Xylocarpus granatum dan Caesalpinia sp, namun spesies yang mendominasi pada


(62)

kedua stasiun sama yaitu Rhizophora apiculata. Perbedaan komposisi susunan mangrove ini dikarenakan faktor lingkungan yang berbeda seperti salinitas, substrat dan pasang surut. Hal ini sesuai dengan Aksornkoae (1993: 33) bahwa komposisi dan distribusi jenis serta pola pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti salinitas, pasang surut, gelombang, arus, substrat dan nutrisi.

Tabel 1. Susunan mangrove di stasiun 1 dan 2

No Kel. Famili Jenis

Stasiun 1 Stasiun 2

Jalur 1 Jalur 2 Jalur 2 Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 1 Mayor Rhizophoraceae Rhizophora stylosa + + + - - - - + 2 Mayor Rhizophoraceae Rhizophora apiculata + + + + + + + + 3 Mayor Rhizophoraceae Bruguiera gymnorrhiza - - - - - + + -

4 Mayor Rhizophoraceae Ceriops tagal - - - - - + + -

5 Mayor Lythraceae Sonneratia caseolaris - - - + + - + -

6 Mayor Lythraceae Sonneratia alba - - - - + - - -

7 Minor Meliaceae Xylocarpus granatum + - - - - - - -

8 Minor Malvaceae Heritiera littoralis + + - - + - + +

9 Minor Euphorbiaceae Excoecaria agallocha - + - - + - + +

10 Minor Pteridaceae Acrostichum aureum - - - - + - + -

11 Minor Pteridaceae Acrostichum speciosum - - - - - + - -

12 Asosiasi Arecaceae Corypha utan - + + + + + + -

13 Asosiasi Myrtaceae Syzygium polyanthum - + + - + - + + 14 Asosiasi Combretaceae Terminalia catappa - + + - + - - - 15 Asosiasi Anacardiaceae Buchanannia arborescens - - + + + + - + 16 Asosiasi Calophyllaceae Calophyllum inophyllum - - - + + + + -

17 Asosiasi Fabaceae Pongamia pinnata - - - - - - - +

18 Asosiasi Fabaceae Ardisia sp - + - + - - - -

19 Asosiasi Fabaceae Desmodium umbellatum - + - - - - - +

20 Asosiasi Fabaceae Caesalpinia sp - + - - - - - -

21 Asosiasi Lamiaceae Clerodendrum sp - + - - - - + +

22 Asosiasi Goodeniaceae Scaevola taccada - - - - - - - +


(63)

Dominasi R. apiculata, tersebut sesuai dengan Aksornkoae (1993: 47), bahwa spesies yang dominan dan penting merupakan famili dari

Rhizophoraceae, genus Rhizophora, Ceriops, dan Bruguiera, famili Sonneratiaceae dengan spesies Sonneratia dan famili Avicenniaceae

dengan spesies Avicennia. Jenis R. apiculata tumbuh langsung berhadapan dengan laut, tetapi di stasiun 1, pada ketiga transek, R. stylosa berada di baris terdepan, walaupun dari transek 1 hingga transek 3 zona

R. stylosa semakin pendek. Di baris terdepan pada stasiun 2, R. apiculata

berasosiasi dengan Sonneratia alba. Hal ini menunjukkan bahwa R.

apiculata, R stylosa dan S. alba mampu tumbuh di zona dengan tingkat

penggenangan dan salinitas tinggi. Pernyataan tersebut didukung oleh Aksornkoae (1993: 47) bahwa R. mucronata dan R. apiculata lebih suka berada pada daerah dengan pasang tinggi (selalu tergenang). Samingan (1980 dalam Noor, dkk. 2006: 8) menemukan bahwa di Karang Agung, Sumatra Selatan, pada zona terdepan di dominasi oleh S. alba yang tumbuh di areal yang benar-benar dipengaruhi oleh air laut. Van Steenis (1958 dalam Noordkk. 2006: 8) menambahkan pula bahwa S. alba dan

Avicennia alba adalah jenis ko-dominan pada areal pantai yang selalu

tergenang. Noor, dkk (2006: 5), mengungkapkan bahwa S. alba sering ditemui dalam kondisi salinitas mendekati salinitas air laut.

Hasil penelitian ini tidak ditemukan Avicennia yang disebabkan kondisi wilayah yang rapat sehingga sinar matahari tidak dapat mencapai


(64)

lantai hutan serta kondisi biji Avicennia yang berbentuk seperti kacang sehingga sulit tertambat pada substrat yang memiliki frekuensi penggenangan tinggi, terlebih pada stasiun 2, walaupun Avicennia memiliki toleransi yang besar terhadap salinitas. Alasan di atas diperkuat oleh Nybakken (2003: 368) bahwa Avicennia tumbuh di bagian pinggir, biji Avicennia tidak dapat tumbuh dalam keadaan teduh atau berlumpur tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan. Sementara kondisi wilayah penelitiaan ini cenderung teduh dengan tegakan Rhizophora yang rapat.

Tegakan S. caseolaris di beberapa lokasi terletak di zona belakang, pada stasiun 2 di transek 1, 2 dan 4, pohon tersebut tergenang pasang hanya pada pasang luar biasa, sehingga kadar salinitas rendah. Sebenarnya di stasiun 1 terdapat S. caseolaris namun tidak masuk dalam plot, S. caseolaris terletak di ujung zona pasang surut yang mengakibatkan kadar salinitas di lokasi ini juga minim. Kenyataan tersebut sama dengan yang dikatakan Noor, dkk (2006: 9) bahwa S.

caseolaris dapat tumbuh pada salinitas kurang dari 10‰ (rendah).

Tegakan Bruguiera gymnorrhiza dan Ceriops tagal tidak ditemukan di stasiun 1, disebabkan oleh substrat di stasiun ini lebih lembek, dibanding substrat di stasiun 2 yang lebih keras dan padat. Seperti yang dikatakan oleh Aksornkoae (1993: 99) bahwa daerah yang menuju ke darat, pada tanah liat yang keras tumbuh pohon B.


(65)

Adanya Pongamia pinnata serta Scaevola taccada di stasiun 2 disebabkan substrat didominasi oleh pasir, sementara stasiun 1 memiliki substrat dengan prosentase pasir lebih sedikit. Selain itu juga karena tegakan di zona landward stasiun 1 memiliki pohon dengan kanopi yang cukup rapat sehingga sinar matahari sulit menjangkau lantai hutan, sementara kedua jenis tumbuhan ini biasanya tumbuh di lokasi dengan keterbukaan cukup tinggi. Sadiyasa (2012: 45) mengungkapkan bahwa

Pongamia pinnata tumbuh di lokasi dengan susbtrat yang memiliki

konsentrasi pasir besar. Tumbuhan ini masih ditemukan di belakang zona pasang surut hingga lebih dari 100 m. Di lokasi yang tidak mengandung pasir tegakan ini tidak ditemukan.

Acrostichum aureum ditemukan hanya pada stasiun 2 di transek 2

dan 4, sedang Acrostichum speciosum ditemukan pada transek 3, disebabkan oleh kondisi lokasi pada zona landward ini cenderung terbuka, sehingga tumbuhan bawah seperti paku laut ini dapat tumbuh karena sinar matahari dapat masuk. Selain itu juga terdapat pohon yang tumbang pada transek 2, mengakibatkan keterbukaan lebih besar. Hal ini sesuai dengan Mackinnon, dkk (2000: 99), bahwa selain penyusun utama hutan bakau juga ditemukan jenis liana misalnya Derris, tumbuhan paku, rumput dan teki-tekian yang tumbuh di tempat terbuka, adanya paku laut dapat membuat lingkungan mangrove rusak, atau lingkungan mangrove yang rusak biasanya ditandai dengan adanya paku laut. Apabila paku laut


(66)

mendominasi maka semaian yang jatuh akan menimpanya dan semaian tidak mencapai substrat sehingga tidak dapat tumbuh, atau tidak disebarkan oleh air.

Xilocarpus granatum hanya ditemukan di stasiun 1 pada transek 1,

disebabkan lokasi lebih tebuka dibanding area lain di stasiun 1. Hal ini pun dikuatkan dengan pernyataan Noor, dkk (2006: 134) bahwa

Xilocarpus granatum melimpah khususnya pada area bekas tebangan

hutan dan gangguang lainnya dengan kata lain sinar matahari masuk dengan baik.

Caesalpinia sp hanya ditemukan di stasiun 1, disebabkan oleh

zona landward stasiun 2 yang bersubstrat pasir, sementara tumbuhan ini biasanya tumbuh di substrat yang minim pasir. Hal ini sama dengan apa yang dituliskan dalam pharmatutor.org bahwa jenis ini tumbuh di bantaran sungai atau di belakang zona pasir pada hutan mangrove.

B.1 Pohon

Berdasarkan analisis vegetasi mangrove di kedua stasiun yang menggunakan metode jalur berpetak, ditentukan tiga jalur dan sembilan plot di stasiun 1 serta lima jalur, 17 plot di stasiun 2, diperoleh data kerapatan, frekuensi, dominansi dan nilai penting (lihat Tabel 3 dan 4).


(67)

Table 2. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Pohon Stasiun 1.

No Jenis Ki KR (%) Fi FR (%) Di DR (%) INP

1 Rhizophora stylosa 77,78 29,17 0,44 23,52 3,35 15,35 68,03 2 Rhizophora apiculata 119,44 44,79 0,56 29,39 6,13 28,12 102,30 3 Xylocarpus granatum 2,78 1,04 0,11 5,88 0,57 2,60 9,52 4 Heritiera littoralis 16,67 6,25 0,22 11,76 2,05 9,41 27,42 5 Excoecaria agallocha 2,78 1,04 0,11 5,88 0,27 1,23 8,15 6 Corypha utan 33,33 12,50 0,22 11,76 6,89 31,62 55,88 7 Syzygium polyanthum 8,33 3,12 0,11 5,88 1,75 8,02 17,03 8 Terminalia catappa 5,56 2,08 0,11 5,88 0,78 3,58 11,54

Seluruh pohon yang diamati dan diidentifikasi dari kedua stasiun berjumlah 269 pohon. Di stasiun 1, total pohon sebanyak 96, sementara di stasiun 2 berjumlah 173 pohon. Sebanyak 96 pohon tersebut terdiri dari 28 R. stylosa, 43 R. apiculata, satu

Xilocarpus granatum, enam Heritiera littoralis, 12 Corypha utan,

tiga Syzygium polyanthum dan dua Terminalia cattapa. Di stasiun 2, dari total 173 pohon, terdiri dari satu Rhizophora stylosa, 100 R.

apiculata, 16 Bruguiera gymnorrhiza, satu Ceriops tagal, delapan Sonneratia caseolaris, tiga S. alba, tujuh Heritiera littoralis, enam Exoecaria agallocha, lima Syzygium polyanthum, tujuh

Buchanannia arborescens, satu Terminalia cattapa, enam Corypha utan dan satu Pongamia pinnata.

Kerapatan merupakan jumlah individu yang ditemukan perluas area pengamatan atau persatuan ruang. Tingkat


(68)

penguasaan ruang tertinggi adalah R. apiculata baik di stasiun 1 maupun stasiun 2, dengan nilai kerapatan relatif masing-masing sebesar 44,79% dan 57,80%. R. apiculata di stasiun 1 ditemukan di lima plot, diikuti dengan nilai penutupan yang paling tinggi pula yaitu 2,21 m2/ha, dengan dominansi sebesar 28,12%, berbanding lurus dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 102,30 (Tabel 14).

Table 3. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Pohon Stasiun 2

No Jenis Ki KR (%) Fi FR (%) Di DR (%) INP

1 Rhizophora stylosa 1,47 0,58 0,06 2,13 0,05 0,21 2,92 2 Rhizophora apiculata 147,06 57,80 0,82 29,79 8,65 37,17 124,76 3 Bruguiera gymnorrhiza 23,53 9,25 0,24 8,51 1,51 6,47 24,23 4 Ceriops tagal 1,47 0,58 0,06 2,13 0,05 0,21 2,92 5 Sonneratia caseolaris 11,76 4,62 0,24 8,51 2,96 12,72 25,85 6 Sonneratia alba 4,41 1,73 0,06 2,13 0,19 0,81 4,67 7 Heritiera littoralis 10,29 4,05 0,24 8,51 1,25 5,35 17,91 8 Excoecaria agallocha 8,82 3,47 0,24 8,51 0,49 2,09 14,07 9 Syzygium polyanthum 7,35 2,89 0,24 8,51 1,26 5,42 16,83 10 Calophyllum inophyllum 16,18 6,36 0,18 6,38 3,54 15,20 27,94 11 Buchanannia arborescens 10,29 4,05 0,24 8,51 1,57 6,75 19,31 12 Terminalia catappa 1,47 0,58 0,06 2,13 0,11 0,47 3,18 13 Corypha utan 8,82 3,47 0,06 2,13 1,56 6,70 12,30 14 Pongamia pinnata 1,47 0,58 0,06 2,13 0,10 0,43 3,13

Keadaan tersebut juga berlaku pada stasiun 2, R. apiculata ditemukan di seluruh transek, sebanyak 14 plot. Luas penutupan 5,88 m2/ha, dominansi relatif 37,17%, sejalan dengan INP sebesar 124,76. Kemelimpahan R. apiculata berkaitan dengan faktor


(69)

lingkungan yang mendukung, sesuai dengan Mackinnon (2000: 99), bahwa keberadaan atau kemelimpahan suatu jenis dipengaruhi oleh tiga faktor utama: kekerapan dan lama penggenangan air laut, salinitas dan substrat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sudharmadji (1994: 135), bahwa komunitas didominasi oleh R. apiculata untuk semua tegakan dan diperkirakan akan sama untuk tahun-tahun mendatang. Selain itu, kerapatan dan penyebarannya yang tinggi juga didukung oleh semaian tanaman tersebut. Semaian yang berkecambah saat di pohon atau vivipari, serta bentuknya yang panjang, sehingga ketika jatuh dapat menancap pada substrat atau terbawa air dan tertambat di tempat lain. Hal ini sesuai dengan Nybakken (1998: 364), bahwa benih ketika masih menempel pada induk berkecambah dan terus tumbuh dalam semaian tanpa mengalami istrirahat. Selama waktu ini semaian memanjang dan semakin berat hingga akhirnya terlepas, dapat menancap langsung pada substrat atau mengapung, terbawa ke tempat yang dangkal di mana ujung akar dapat menyentuh substrat hingga akhirnya tumbuh.

Di stasiun 1, kerapatan R.stylosa menempati urutan kedua sebesar 29,17%, atau dengan kata lain hanya 26,04% yang diisi tegakan lain. Indeks nilai penting untuk R. stylosa sebesar 68,03.


(70)

Di stasiun 2, kerapatan setelah R. apiculata adalah

Bruguiera gymnorrhiza yaitu 9,25%, yang ditemukan di empat

plot, dengan frekuensi diketemukannya sebesar 8,51% serta luas basal area sebesar 1,02 m2/ha. Indeks nilai penting sebesar 24,23. Tegakan S. caseolaris memiliki kerapatan relatif sebesar 4,62% namun indeks nilai pentingnya melebihi B. gymnorrhiza, yaitu sebesar 25,85. Keadaan tersebut dapat terjadi karena luas basal area yang dihitung berdasarkan diameter lebih besar S. caseolaris dibanding B. gymnorrhiza.

Baris terdepan stasiun 2 adalah R. apiculata yang berasosiasi dengan S. alba, tepatnya di transek 2. Tegakan S. alba memliki kerapatan jenis sebesar 1,73%, indeks nilai penting sebesar 4,67. Mackinnon (2000: 99) menyebutkan bahwa komunitas perintis umumnya didominasi oleh tegakan Avicennia

marina, Avicennia alba atau Sonneratia alba. Avicennia tumbuh

di atas tanah pasir yang kokoh sedangkan Sonneratia dengan lumpur yang lunak. Berdasarkan pernyataan tersebut dan pengamatan lapangan substrat memang cenderung berlumpur dan lunak. Ditambahkan pula oleh Giesen (2007: 18), pada komunitas mangrove di Vietnam Avicennia alba adalah populasi pionir yang berkembang di muara sungai, R. apiculata dan S. alba terdapat pada substrat yang stabil.


(71)

Berdasarkan tabel 3, tumbuhan asosiasi mangrove memiliki kerapatan, frekuensi, dominansi dan indeks nilai penting yang lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan tegakan tumbuh di lokasi yang memang bukan habitat aslinya. Merujuk pada pengertian asosiasi yang merupakan kelompok tumbuhan yang tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati. Biasanya tumbuh dengan tumbuhan darat atau dengan kata lain tegakan tersebut berhasil beradaptasi dengan lingkungan di hutan mangrove, tidak murni memiliki akar, batang maupun daun yang dirancang khusus untuk hidup dilingkungan pasang surut. Kondisi ini juga berlaku di stasiun 2 (lihat kembali Tabel 4).

B.2 Tiang

Berdasarkan Tabel 5, hasil analisis vegetasi stasiun 1 dengan luasan wilayah empat ha, total tiang yang didapat sebanyak 29 tiang, dengan total kerapatan jenis sebesar 322 tiang/ha, yang terdiri dari dua mangrove mayor (R. stylosa & R.

apiculata) dan tiga mangrove asosiasi (C. utan, T. cattapa dan B. arborescens).

Tegakan tiang di stasiun 2 (Tabel 6) berjumlah delapan jenis yang terdiri dari empat mangrove mayor, dua mangrove minor dan dua mangrove asosiasi. Total individu sebanyak 102,


(72)

total kerapatan jenis sebesar 600 tiang/ha, dengan luas total sembilan ha.

Table 4. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Tiang di Stasiun 1

No Jenis Ki KR (%) Fi FR (%) Di DR (%) INP

1 Rhizophora stylosa 122,222 37,931 0,333 0,273 2,690 40,059 78,262 2 Rhizophora apiculata 155,556 48,276 0,556 0,455 3,954 58,889 107,619 3 Corypha utan 11,111 3,448 0,111 0,091 0,018 0,263 3,803 4 Terminalia catappa 11,111 3,448 0,111 0,091 0,017 0,248 3,787 5 Buchanannia arborescens 22,222 6,897 0,111 0,091 0,036 0,543 7,530

Jumlah jenis di kedua stasiun berbeda, hal tersebut disebabkan luasan dari kedua plot berbeda, faktor edafik yang berbeda, dan panjang garis tegak lurus garis pantai yang berbeda pula. Di stasiun 1 rata-rata panjang garis tersebut tidak lebih dari 100 m, sementara di stasiun 2, 3 transek memiliki panjang 125 m. Table 5. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)

dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Tiang di Stasiun 2

No Jenis Ki KR (%) Fi FR (%) Ki DR (%) INP

1 Rhizophora apiculata 341,176 56,863 0,706 52,174 7,105 0,621 109,658 2 Bruguiera gymnorrhiza 70,588 11,765 0,176 13,043 1,543 0,135 24,943 3 Ceriops tagal 35,294 5,882 0,118 8,696 0,497 0,044 14,622 4 Sonneratia alba 17,647 2,941 0,059 4,348 0,451 0,039 7,328 5 Heritiera littoralis 17,647 2,941 0,059 4,348 0,200 0,017 7,306 6 Excoecaria agallocha 52,941 8,824 0,059 4,348 0,860 0,075 13,247 7 Buchanannia arborescens 11,765 1,961 0,059 4,348 0,174 0,015 6,324 8 Corypha utan 52,941 8,824 0,118 8,696 0,605 0,053 17,572

Di stasiun 1 tidak terdapat jenis Ceriops tagal, Sonneratia


(1)

 (b) (c)

(d) (e)

Gambar 24: (a). Substrat lempung stasiun 2, transek 1, plot 2. (b) Substrat lempung berpasir stasiun 2, transek 2, plot 2 (c) Substrat lempung stasiun 2, transek 3, plot 2, (d) substrat lempung berpasir, stasiun 2, transek 4, plot 2, (e). Substrat lempung stasiun 1, transek 5, plot 2.


(2)

Lampiran 3: Dokumentasi pengambilan data

(a) (b)

(c)

Gambar 25: (a) Proses pengukuran tinggi pohon menggunakan klinometer. (b) Ceceran sampah di Stasiun , (c) Tim pengumpul data skripsi


(3)

Lampiran 4. Grafik Pasang Surut Selama Pengambilan Data Menggunakan Aplikasi Fishing Points)


(4)

(5)

(6)