BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA SISWA SMA : Studi Pra Eksperimen Terhadap Siswa Kelas XI SMA BPI 1 Bandung tahun Ajaran 2012-2013.

(1)

No. Daftar :

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA SISWA SMA

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Oleh HENDI SUHENDI

1004822

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2014


(2)

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK

MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA

SISWA SMA

Oleh Hendi Suhendi S.Pd UPI Bandung, 2008

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Prodi Bimbingan dan Konseling SPS UPI

© Hendi Suhendi, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


(3)

HENDI SUHENDI 1004822

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN

EMPATI BUDAYA SISWA SMA

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf, L.N M.Pd. Dr. Suherman, M. Pd. NIP. 195206201980021001 NIP. 195903311986031

Mengetahui

Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Pendidikan Indonesia

Dr. H. Nandang Rusmana, M.Pd. NIP. 196005011986031


(4)

ABSTRAK

Hendi Suhendi (2014) Bimbingan Pribadi Sosial Untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa SMA (Studi Pra Eksperimen Terhadap Siswa Kelas XI SMA BPI 1 Bandung tahun Ajaran 2012-2013)

Penelitian ini bertujuan mengembangkan bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya siswa kelas XI di SMA BPI 1 Bandung. Penelitian ini menggunakan metode Pre-Experimental Design (one group pretest posttest). Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan Mix Method (kuantitatif dan kualitatif). Penelitian dilakukan di SMA BPI 1 Bandung. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI. Penentuan sampel diambil dengan teknik Quata sampling dengan proporsi 50 %. Hasil menunjukkan bahwa bimbingan pribadi sosial belum mampu secara signifikan mengembangkan empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Bandung. Rekomendasi hasil penelitan ini ditunjukan pada sekolah, prodi bimbingan dan konseling serta peneliti selanjutnya.


(5)

ABSTRACT

Hendi Suhendi (2014) Social Personal Guidance for Developing Cultural Empathy of High School Students (a Pre-Experimental Study among Student of Class XI of BPI 1 Bandung High School year of 2012-2013)

The research aimed to develop a social personal guidance in order to foster cultural empathy of High School students. Method of this research is Pre-Experimental Design with one group pretest posttest. Research approaches using Method Mix approach (quantitative and qualitative). The research was conducted at SMA BPI 1 Bandung. The population of this research was XI grade students. The sample for this research was taken by Quota sampling techniques with the proportion of 50%. The results showed that social personal guidance was not able to significantly develop cultural empathy yet of XI grade students at BPI 1 Bandung high school. The outcomes of this research are recommended for school, department of guidance and counseling, and further research.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GRAFIK ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ... 14

E. Asumsi ... 16

BAB II. KAJIAN TEORETIS TENTANG KONSEP DASAR EMPATI BUDAYA DAN BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL A. Konsep Empati Budaya……… 18

1. Konsep dan Karakteristik Empati Budaya... 18

2. Komponen Empati Budaya... 27

3. Signifikansi Empati Budaya... 29

4. Perbedaan Empati Dasar dan Empati Budaya... 33

B. Konsep Bimbingan Pribadi Sosial ... 33

1. Definisi Bimbingan Pribadi Sosial ... 33

2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan Pribadi Sosial... 39

3. Upaya Pengembangan Empati Budaya Melalui Bimbingan Pribadi Sosial ... 41

C. Kerangka Teoretik Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya ... 44

D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ………... 63

BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode dan Pendekatan Penelitian ... 70

B. Alur Penelitian ... 71

C. Definisi Operasional Variabel ... 73

D. Lokasi dan Sampel Penelitian ... 75

E. Proses Pengembangan Instrumen Penelitian ... 77

1. Pengembangan Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 78

2. Penimbangan (judge) Instrumen Penelitian... 79

3. Uji Keterbacaan Instrumen Penelitian ... 80


(7)

F. Proses Pengembangan Layanan Bimbingan Pribadi Sosial Untuk Mengembangkan Empati

Budaya………...

G. Prosedur Pengumpulan Data……… 87

H. Teknik dan Analisis Data ... 89

BAB IV HASIL PENELITIAAN DAN PEMBAHASAN A. Profil Empati Budaya Siswa SMA BPI 1 Kota Bandung kelas XI Tahun Ajaran 2012-2013 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 91

B. Layanan Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya ... 94

C. Analisis Efektivitas Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa ... 108

1. Analisis Statistik ... 108

2. Analisis Proses ... 113

3. Analisis Individual ... 119

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 124

E. Keterbatasan Penelitian ... 134

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 136

B. Rekomendasi ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 139 LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Proporsi Sampel Penelitian ... 76 3.2 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Sebelum Dilakukan

Penimbangan dan Pengujian Validitas ... 77 3.3 Hasil Uji Validitas ... 80 3.4 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Setelah Dilakukan

Penimbangan dan Pengujian Validitas ... 80 3.5 Indeks Korelasi Drummond & Jones (2009) ... 82 3.6 Hasil Penimbangan Pakar Terhadap Pedoman Rasional Rencana

Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya .... 85 3.7 Kategori Pemberian Skor Alternatif Jawaban ... 87 3.8 Kualifikasi Empati Budaya ... 89 4.1 Gambaran Hasil Penelitian Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi

Sosial ... 90 4.2 Profil Empati Budaya Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi

Sosial ... 91 4.3 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi dan Perasaan Empatik

Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial)… ... 93 4.4 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi Dan Perasaan Empatik

untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 94 4.5 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi Dan Perasaan Empatik

untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 95 4.6 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik

Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 96 4.7 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik

untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 98 4.8 Profil Empati Budaya pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik

untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 99 4.9 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya

Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 100 4.10 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya

untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 102 Halaman


(9)

4.11 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 103 4.12 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Kesadaran Empatik Sebelum

Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 104 4.13 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik untuk

indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 106 4.14 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik Indikator 2

Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 107 4.15 Profil Empati Budaya pada Dimensi kesadaran Empatik untuk

Indikator 3 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 108 4.16 Tabel Hasil Pengujian Normalitas Data ... 123 4.17 Tabel Hasil Pengujian Perbedaan Profil Empati Budaya Sebelum dan

Setelah Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 125 4.18 Perubahan Profil Empati Budaya Sebelum dan Setelah Layanan ... 126


(10)

DAFTAR GRAFIK

GRAFIK 4.1 Profil Empati Budaya Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi

Sosial ... 92 4.2 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi dan Perasaan Empatik

Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 93 4.3 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi Dan Perasaan Empatik

untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 94 4.4 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi Dan Perasaan Empatik

untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial … ... 95 4.5 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik

Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 97 4.6 Profil Empati Budaya pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik

untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 98 4.7 Profil Empati Budaya pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik

untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 99 4.8 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya

Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 101 4.9 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya

untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan

4.10 Bimbingan Pribadi Sosial ... 102 4.11 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya

untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 103 4.12 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Kesadaran Empatik Sebelum

Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 104 4.13 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik untuk

Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial. ... 106 4.14 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik Indikator 2

Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 107 4.15 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik untuk

Indikator 3 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial. ... 108 4.16 Perubahan Profil Empati Budaya Sebelum dan Setelah Pelaksanaan

Bimbingan Pribadi Sosial ... 109 Halaman


(11)

4.17 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Ekspresi dan Perasaan Empatik Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 110 4.18 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Ekspresi dan

Perasaan Empatik Untuk Indikator 1 Sebelum Dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 111 4.19 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Ekspresi dan

Perasaan Empatik Untuk Indikator 1 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 112 4.20 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil

Perspektif Empatik Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 113 4.21 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil

Perspektif Empatik untuk indikator 1 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 114 4.22 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil

Perspektif Empatik untuk indikator 2 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 115 4.23 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Menerima

Perbedaan Budaya Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan pribadi Sosial ... 116 4.24 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Menerima

Perbedaan Budaya Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan pribadi Sosial ... 117 4.25 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Menerima

Perbedaan Budaya untuk indikator 2 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 118 4.26 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Kesadaran Empatik

Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 119 4.27 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi kesadaran Empatik

untuk Indikator 1 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 120 4.28 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi kesadaran Empatik

untuk Indikator 2 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 121 4.29 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi kesadaran Empatik

untuk Indikator 3 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan P Bimbingan Pribadi Sosial ... 122 4.30 Normal QQ Plot dan Detrended Normal QQ Plot Pretest... 124 4.31 Normal QQ Plot dan Detrended Normal QQ Plot Post Test ... 124


(12)

4.32 Perubahan Nilai Rata-rata Sebelum dan Setelah Mendapat Layanan Bimbingan Pribadi Sosial ... 127


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman suku bangsa dan kebudayaan, terdapat 1.128 suku bangsa telah mengantarkan indonesia menjadi negara yang multietnik dan multibudaya (multikultur), sedangkan menurut Suryadinata (1999) sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa. Masing-masing etnik itu tidak berdiri sendiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi dan bergantung satu sama lain (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam keberagaman tersebut, Herdi (2008) mengatakan bahwa dalam konteks kehidupan di Indonesia Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan sebuah kongruensi antara aspek ke-bhineka-an yang manunggal dalam ke-eka-an mulai menjadi masalah yang tak pernah kunjung selesai. Nilai-nilai budaya kini syarat dengan masalah minoritas, rasial dan etnik, serta agama (SARA).

Dari data di atas telah dapat disimpulkan bahwa indonesia merupakan negara yang majemuk secara budaya . Kemajemukan budaya tersebut dapat menjadi modal unuk kemajuan bangsa tetapi disisi lain dapat menjadi sebuah hambatan. Kemajemukan budaya merupakan hal yang telah ada di indonesia jauh sebelum terbentuknya negara ini. Kemajemukan budaya ini tidak dapat dibatasi hanya pada hubungan antar keyakinan dan pandangan belaka, melainkan juga


(15)

hubungan intern dalam masing-masing kelompok (K.H. Abdurrahman Wahid, 2003).

Munculnya isu multikulturalisme tidak akan lepas dari isu pruralisme masyarakat dan proses akulturasi budaya yang terjadi di dalamnya. Perkembangan tersebut dapat memunculkan sebuah ketidakseimbangan sosial budaya yang memaksa setiap individu dan kelompok masyarakat untuk melakukan transformasi, reformasi, dan reposisi. Transformasi, reformasi, dan reposisi ini harus mencakup segala segi kehidupan, dan dilaksanakan pada semua tingkatan. Segi-segi tersebut meliputi segi ideologis, politis, ekonomis, sosial, budaya, pendidikan, bahkan pertahanan dan keamanan. Transformasi juga harus dilakukan pada semua tingkatan lingkungan sosial budaya. Untuk menyikapi perubahan-perubahan tersebut dibutuhkan pendekatan baru, baik yang melingkupi pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam lintas budaya dan serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21 (Supriatna. M, dalam Nurihsan. J, & Supriatna, M: 2005)

Transformasi, reformasi, dan reposisi menjadi tuntutan individual dan masyarakat serta harus dilakukan secara terus menerus (Herdi, 2008: 4). Pencarian dan redefinisi identitas diri menjadi isu penting, bahkan krusial. Redefinisi identitas diri secara individual, kelompok, maupun organisasi dapat berupa upaya membangun kembali diri dan masyarakat secara sistematik. Pengembangan diri dan masyarakat yang sistematik menunjuk pada upaya penyesuaian kapasitas dan


(16)

kemampuan hingga derajat tertentu yang layak untuk menghadapi dan mengendalikan setiap detail perubahan.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa keragaman budaya justru menjadi sumber pertentangan antarkomponen bangsa. Krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia belum berakhir sampai saat ini. Berbagai kerusuhan dan konflik sosial baik yang bersifat horizontal maupun vertikal sudah mengarah pada disintegrasi bangsa. Sungguh ironis ketika pada kenyataannya bahwa apresiasi dan interaksi tentang keberagaman kebudayaan itu belum sepenuhnya menjadi keniscayaan. Sebagian besar anggota masyarakat saat ini belum memahami arti penting pluralisme budaya. Masyarakat belum meyakini bahwa kehidupan dapat dibangun dalam naungan keragaman budaya (Bandem, 2001). Interaksi sosial yang terbentuk dalam suatu keberagaman memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Matsumoto, 1998), dan rasa percaya diri pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu merupakan modal sosial (Ancok, 2003) bagi terbentuknya antar etnik-antar budaya yang sehat, sejahtera, dan maju. Beberapa kejadian konflik etnis telah terjadi di indonesia seperti konflik sampang yang pada tahun 2011 terjadi dan menyebabkan pembakaran sebuah pesantren di daerah sampang madura. Konflik tersebut telah menyebabkan ratusan orang mengungsi dan pendidikan anak terbengkalai sehingga mereka akhirnya bersekolah di tenda. Penyebab konflik sampang ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat (Akuntono dalam Kompas, 31 Desember 2011). Konflik lain pernah terjadi yaitu konflik ambon yag terjadi hampir sekitar 2 tahun dari periode tahun 1998 sampai 2000, konflik tersebut telah memberikan dampak yang besar


(17)

pada masyarakat ambon disana. Konflik tersebut telah menyebabkan korban lebih dari 50 orang meninggal dunia (kontras, 1999). Konflik lain yang lebih besar pernah terjadi di indonesia yaitu konflik sampit. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Ada beberapa versi tentang penyebab konflik sampang ini tetapi salah satunya diklaim adalah konflik ini berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama (wikipedia online).

Beberapa contoh kejadian diatas seakan menegaskan betapa sangat rawannya konflik terjadi di indonesia. Ketika sebuah konflik terjadi maka banyak hal yang dapat diakibatkannya, akibat tersebut mulai dari korban jiwa, korban harta, terbengkalainya hak hidup orang lain, terbengkalainya pendidikan anak dan lain-lain. Contoh untuk kerusuhan sampit saja kerugian materi akibat konflik ini terdiri atas 192 rumah dibakar dan 748 rumah rusak serta 16 mobil dan 43 sepeda motor hancur. Konflik ini memiliki 41.000 item pemberitaan dengan kata kunci "Kerusuhan Sampit" di Google Search (http://news.liputan6.com). Pada akhirnya perlu dilakukan upaya untuk mengatasi agar konflik-konflik diatas tidak terulang. Upaya tersebut dapat kita lakukan dalam berbagai aspek kehidupan dan salah satunya dalam sistem pendidikan


(18)

Sistem pendidikan merupakan salah satu bagian dari sistem kehidupan yang secara integral menyatu dan berperan penting dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Sistem persekolahan sebagai sub sistem pendidikan dalam tatanan masyarakat tentulah tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya. Konteks budaya dalam pelaksanaan sistem persekolahan diantaranya menyangkut lingkungan budaya di sekolah, baik yang menyangkut keragaman asal-usul personel sekolah maupun siswa, pola interaksi diantara mereka baik personel sekolah maupun siswa, orientasi nilai budaya yang dianut, hal-hal khusus dalam konteks budaya ini dapat juga berupa gender, kelas, agama, suku bangsa, kelas sosial, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Pedersen, 1991).

Dalam arah pendidikan yang memiliki paradigma baru, Azyumardi Azra (2002: 184) mengemukakan suatu proses pendidikan harus memiliki nilai-nilai dan dasar sebagai berikut. Pertama, keimanan dan ketaqwaan, dimana pendidikan harus memberikan atmosfer religius kepada peserta didik. Kedua, kemerdekaan yakni kebebasan dalam pengembangan gagasan pemikiran dan kreativitas. Ketiga, kebangsaan yakni komitmen kepada kesatuan kebangsaan dengan sekaligus menghormati pluralitas. Keempat, keseimbangan dalam perkembangan kepribadian dan kecerdasan anak didik. Kelima, pembudayaan yakni memiliki ketahanan budaya dalam ekspansi budaya global. Keenam, kemandirian dalam pikiran dan tindakan, tidak tergantung pada orang lain. Ketujuh, kemanusiaan yakni menghormati nilai-nilai kemanusiaan, akhlak, budi pekerti dan keadilan.


(19)

Kedelapan, kekeluargaan yakni ikatan yang erat antara komponen sekolah, keluarga dan masyarakat.

Berkaitan dengan sekolah sebagai lembaga pendidikan, (Supriatna, M: 2011) mengungkapkan apabila sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan, maka keberfungsiannya tidak hanya diorientasikan kepada pemahaman budaya antar etnis, melainkan harus melingkupi matra-matra yang lain secara terpadu, hingga diperoleh keutuhan internalisasi (proses pendidikan) pada pribadi individu sebagai peserta didik. Dalam wawasan budaya sekurang-kurangnya terlingkup tiga matra, yakni matra paham budaya, rasa budaya dan semangat budaya.

Dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, siswa sebagai masukan dalam proses pendidikan tersebut memiliki keberagaman latar belakang dan karakteristik budaya yang dimilikinya. Karakteristik dan latar belakang tersebut akan mempengaruhi siswa dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. Wang, et.al (2008) mengadakan penelitian pada sekolah internasional di Amerika dan menemukan bahwa perbedaan latar belakang dan karakteristik ini menyebabkan siswa Internasional mengalami gegar budaya (culture shock).

Hal lain yang dapat terjadi di sekolah berkaitan dengan keberagaman siswa ini adalah terjadinya bullying di sekolah, Sekolah umum Sir Isaac Brock (2010) dalam rencana penanganan korban bullying di sekolah menyatakan bahwa salah satu contoh bentuk bullying di sekolah adalah Racial/Ethnocultural bullying. Sedangkan menurut Merrell (2006) menyebutkan faktor yang menyebabkan terjadinya intra-racial bullying adalah keadaan status sosial ekonomi, perkembangan identitas, dan faktor sekolah. Bentuk kekerasan yang lain yang


(20)

terjadi dalam dunia pendidikan adalah tawuran, Peter Kreuzer (2002:1) dalam laporan Peace Reseach Institute Frankfurt menyebutkan bahwa konflik di Indonesia terjadi bahkan pada kalangan anak sekolah, dan hal tersebut merupakan salah satu lingkaran kekerasan yang terjadi di Indonesia.

Hasil studi tentang pelaksanaan program pembauran di bidang pendidikan (Supriatna, M, 2011) tahun 1999-2000 di delapan provinsi, merekomendasikan perlunya pembinaan kesatuan bangsa melalui bidang pendidikan. Implementasi pembinaan tersebut hendaknya diwujudkan dalam bentuk penciptaan lembaga-lembaga pendidikan di daerah-daerah yang bercorak budaya Bhinneka Tunggal Ika melalui strategi pendidikan yang menumbuhkembangkan nilai-nilai religius, teoretik, ekonomik, humanistik, politik dan estetik secara terpadu. Selanjutnya dinyatakan dalam rekomendasi studi, bahwa langkah-langkah operasional tentang pembinaan kesatuan bangsa yang dimaksud hendaknya sejalan dengan otonomi daerah.

Sebagai upaya pendidikan untuk mengatasi persoalan-persoalan budaya

sebuah “pendidikan multikultural” dapat menjadi salah satu solusi. Tujuan pendidikan multikultural ini adalah agar tercipta pemahaman antar individu berdasarkan latarbelakang dan karakteristik yang dimilikinya. Menurut James Bank (dalam Nurdin Hasan, 2011: 85) ada lima dimensi yang saling berkaitan dalam pendidikan multikultural di sekolah, yaitu :

1. Content integration, mengilustrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk menghasilkan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/ disiplin ilmu.


(21)

2. The Knowledge Construction Process, dimana membawa siswa memahami implikasi budaya ke dalam suatu mata pelajaran (disiplin). 3. An Equity Paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan

cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya maupun sosial.

4. Prejudice Reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.

5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan ekstra kulikuler (seni budaya, olahraga, keagamaan, maupun kegiatan lain) agar mampu berinteraksi antara peserta didik maupun pendidik (guru) dalam menciptakan budaya akademik.

Dalam pendidikan multikultural, toleransi dan pemahaman terhadap budaya individu lain tersebut dapat disebut sebagai “empati budaya”. Empati menurut Wikipedia Indonesia didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.

Ketika konsep empati digabungkan menjadi kata “empati budaya” (wikipedia) maknanya menjadi empati budaya mengacu pada pemahaman perasaan individu suatu etnis atau budaya yang berbeda dari diri individu lain. Konsep ini menimbulkan keraguan pada konsep empati secara global, yang mengasumsikan bahwa empati merupakan "perasaan dalam diri sendiri terhadap


(22)

perasaan orang lain" dan tidak secara khusus menargetkan salah satu kelompok (misalnya usia, jenis kelamin, dan etnis). Empati budaya, pada sisi lain, mengasumsikan bahwa empati terhadap orang lain mungkin meningkat jika yang lain sama dengan karakter diri individu itu sendiri dalam hal etnis, latar belakang gender, usia, atau budaya.

Empati budaya berkaitan dengan hubungan individu dengan individu lainnya dalam kehidupan sehari-hari, dan empati budaya merupakan elemen penting dalam masyarakat multibudaya (Rasoal et al. : 2009). Pada akhirnya ketika memasukan unsur lintas budaya dalam rencana dan mengimplementasikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, terlebih dahulu dilakukan pengkajian dalam rangka menjawab tantangan utama bagi konselor sekolah. Langkah berikutnya adalah merefleksikan kondisi lingkungan budaya persekolahan baik yang menyangkut keragaman asal usul personil sekolah dan interaksi di antara mereka, berbagai variabel latar belakang yang memungkinkan bias budaya, maupun budaya organisasi dan kepemimpinan yang berkembang di sekolah (Supriatna, M. dalam Nurihsan, J & Supriatna, M : 2005).

Berdasarkan studi pendahuluan profil empati budaya (N=120) siswa kelas IX SMA BPI 1 Bandung menunjukan berada pada kategori sangat tinggi sebesar 65 % dan yang berada pada kategori tinggi sebesar 35 %. Gambaran secara rinci pada setiap dimensi ditunjukan sebagai berikut : (1) dimensi ekspresi dan perasaan empatik pada kategori sangat tinggi sebesar 80% dan pada kategori tinggi sebesar 20 %, (2) dimensi mengambil perspektif empatik pada kategori sangat tinggi sebesar 57,5 % dan pada ketegori tinggi sebesar 42,5 %, (3) dimensi


(23)

menerima perbedaan budaya pada kategori sangat tinggi sebesar 60,8% dan kategori tinggi sebesar 39,2%, (4) dimensi kesadaran empatik pada kategori tinggi sebesar 22,5% dan pada ketegori sedang sebesar 77,5%.

Walaupun gambaran profil menunjukan hasil yang cenderung tinggi tetapi pada salah satu aspek masih cenderung sedang sehingga masih perlu dilakukan peningkatan, dan secara keseluruhan perlu dilakukan pengembangan sebagai upaya memberikan bimbingan yang bersifat guidance for all. Dalam konteks bimbingan dan konseling, pengembangan ini dapat dilakukan melalui bimbingan pribadi sosial karena jika dilihat dari ragam masalahnya, maka pengembangan empati budaya termasuk ke dalam jenis layanan bimbingan pribadi-sosial. Yusuf dan Nurihsan (2005) menyatakan bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialami oleh individu. Adapun yang termasuk tergolong dalam masalah sosial-pribadi adalah masalah-masalah hubungan dengan sesama teman, guru, dosen serta staf, pemahaman sifat dan kemampuan diri dengan lingkungan pendidikan dan masyarakat tempat mereka tinggal dan penyelesaian konflik (Nurihsan, 2006: 15).

Seorang konselor yang responsif secara budaya, harus berupaya menggunakan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan melatih budaya di dalam konteks pertemuan yang terfokus pada perkembangan akademik, karir, pribadi dan atau sosial, serta kebutuhan khusus para siswa dari lingkungan yang secara budaya berbeda.


(24)

Berdasarkan uraian tersebut, dalam rangka sebagai upaya dalam mengatasi persoalan-persoalan budaya yang berkaitan bidang pribadi dan sosial siswa sebagai upaya mereduksi sebab-sebab terjadinya konflik budaya dan mengembangkan potensi siswa yang memiliki latar belakang dan karakteristik budaya dapat berkembang secara optimal baik secara pribadi dan sosial. Maka penelitian ini berupaya untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang ” Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya ”.

B. Rumusan Masalah

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis dan multikultural. Indonesia terkenal dengan pluralitas suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara. Diketahui bahwa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain itu kehidupan suku-suku tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang cepat. Melalui sensus 2000 tercatat 101 suku bangsa di Indonesia dengan jumlah total penduduk 201.092.238 jiwa sebagai warga negara (Suryadinata cs, 2003: 102).

Berbagai kajian teoretik maupun empirik tentang isu-isu bimbingan dan multikultural dan implikasinya memberikan suatu acuan pemikiran bagi perlunya adanya suatu bentuk layanan pengembangan yang berbasis aspek keberagaman dan budaya. Proses pendidikan di sekolah dapat dimaknai sebagai pertemuan budaya dari siswa dengan siswa lainnya dalam sebuah interaksi diantara mereka.


(25)

Keberagaman siswa secara budaya secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif siswa dapat merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya siswa lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial (Bennet & Janet dalam Kamin Sumardi : tt)

Untuk menghindarkan masalah yang terjadi karena keberagaman budaya tersebut pendidikan multikultural dapat menjadi solusi. Salah satu aspek dari pendidikan multikultural tersebut yang dapat dikembangkan adalah pengembangan empati budaya siswa. Beberapa tujuan dari pendidikan multikultural ini adalah (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok ( Bank dalam Skeel :1995)


(26)

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan

sebagai berikut: “Bagaimana bimbingan pribadi-sosial yang dapat membantu mengembangkan empati budaya?”

Secara lebih terperinci rumusan masalah di atas dibagi ke dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana profil empati budaya Siswa Kelas XI SMA BPI 1 Kota Bandung Tahun Ajaran 2012-2013?

2. Seperti apa rumusan layanan bimbingan pribadi-sosial yang sesuai dengan Siswa Kelas XI SMA BPI 1 Kota Bandung Tahun Ajaran 2012-2013 untuk mengembangkan empati budaya siswa?

3. Bagaimana efektifitas layanan bimbingan pribadi sosial dalam mengembangkan empati budaya siswa?

C. Tujuan Penelitian

Maksud utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan layanan bimbingan pribadi sosial yang efektif dalam mengembangkan empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Kota Bandung Tahun Ajaran 2012-2013.

Adapun tujuan lain penelitian ini adalah mengkaji secara empiris gambaran tentang: Perbedaan profil empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Kota Bandung Tahun Ajaran 2012-2013 sebelum dan setelah implementasi bimbingan pribadi dan sosial, Efektifitas bimbingan pribadi sosial dalam meningkatkan empati budaya siswa.


(27)

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian 1. Signifikansi Penelitian

Pentingnya mengembangkan empati budaya individu didasarkan pada kebutuhan dan pemikiran sebagai berikut.

Pertama, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan pluralis dimana terdiri dari berbagai budaya. Hal tersebut secara logis akan menimbulkan permasalahan dimana persentuhan diantara budaya terjadi, permasalahan ini terjadi karena persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan cultural materialism yang mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan dan hubungan sosial tertentu (Herdi, 2008: 22). Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra individual, sosial dan kultural sekaligus.

Proses persentuhan nilai-nilai budaya merupakan bentuk dinamika kebudayaan. Permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu konsensus yang perlu disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas. Proses persentuhan antar budaya terjadi secara


(28)

dinamis dalam sebuah proses tawar menawar yang mengarah pada tujuan mewujudkan perubahan tata nilai yang tampil sekedar sebagai pergeseran (shift) antar nilai, atau persengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash) antar nilai tersebut (Herdi, 2008: 22). Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang budaya, harus dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan adanya mekanisme yang dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media masa.

Kedua, sekolah sebagai institusi pendidikan harus memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi siswa, maka perlu melakukan strategi baru terutama dalam: (1) memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent); (2) menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; (4) memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.


(29)

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut.

a. Penelitian ini dapat menambah khasanah bimbingan dan konseling untuk membantu siswa dalam mengembangkan empati budaya yang dimilikinya.

b. Bagi pihak sekolah, dapat membantu menciptakan atmosfir sekolah yang kondusif bagi pengembangan empati budaya siswa.

c. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam mengembangkan layanan bimbingan yang sesuai untuk pengembangan empati budaya siswa.

E. Asumsi Penelitian

1. Sebagai seorang pendidik psikologis, konselor dituntut kompeten dalam memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam konteks sosial budaya. Ini berarti konselor harus mampu mengases, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis dari keluarga, sekolah, lembaga sosial dan masyarakat sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu dalam sistem (Kartadinata, 2005 : 8). Dalam hal ini konselor harus dapat membuat sebuah layanan bimbingan dan konseling pribadi sosial yang sesuai dengan karakteristik keunikan budaya konseli.

2. Perbedaan-perbedaan pada diri anak didik yang harus diakui dalam pendidikan, antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras, kelompok pemeluk agama, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin,


(30)

kondisi ekonomi, daerah/asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan lain-lain (Baker dalam Farida Hanum, 2010).

3. Empati memainkan peran penting dalam proses interaksi sosial baik dalam konteks informal maupun dalam konteks hubungan profesional, dan hal tersebut juga berlaku dalam empati budaya. (Davis dalam Rasoal: 2011)

4. Empati budaya merupakan sifat stabil tetapi dapat dilatihkan 'empati diarahkan terhadap orang-orang dari ras dan kelompok budaya etnis yang berbeda dari individu sendiri atau kelompok '(Wang, Davidson, Yakushko, Bilestein Savoy, Tan, & Bleier, 2003).

5. Empati budaya merupakan elemen penting dalam masyarakat multibudaya (Rasoal, C., Eklund, J., & Hansen, M. E. (2011).


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang berkenaan dengan persiapan dan

pelaksanaan penelitian, dengan pokok bahasan utamanya yaitu: Metode dan Pendekatan

Penelitian, Desain Penelitian, Definisi Operasional Variabel, Lokasi dan Sampel Penelitian, Proses Pengembangan Instrumen Penelitian, Proses Pengembangan Rencana Bimbingan Pribadi Sosial, Pelaksanaan dan Pengolahan Data, Teknik dan Analis Data

A. Metode Dan Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre-Experimental Design (one group pretest posttest). Disebut pre experiments

karena belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen (Sugiyono, 2011: 73). Pada one group pretest posttest, pretest dilakukan sebelum diberi perlakuan sehingga hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum diberi perlakuan.

Penelitian ini menggunakan gabungan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif ( Mixed Methods ). Mixed methods research design merupakan prosedur untuk mengumpulkan, menganalisis, dan "mencampur" kedua metode kuantitatif dan kualitatif dalam studi tunggal atau serangkaian penelitian untuk memahami masalah penelitian (Creswell & Plano Clark, dalam Creswell, 2012 : 535 ). Pendekatan kuantitatif dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian secara spesifik dengan penggunaan analisis statistik.


(32)

Pendekatan kualitatif digunakan peneliti ketika mengamati berbagai gejala yang terjadi pada aktivitas bimbingan pribadi sosial yang berkaitan dengan empati budaya yang dimiliki oleh siswa, pendekatan kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui analisis proses dan wawancara tak terstruktur setelah kegiatan dilaksanakan. Data yang sudah diperoleh kemudian diberi arti sesuai dengan teori-teori yang terkait dengan fokus masalah yang diteliti.

B. Alur Penelitian

Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur penelitian dan pengembangan (research and development). Hal ini digunakan dengan alasan karena penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan produk dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011 : 297). Borg and Gall (1989) yang mengemukakan bahwa penelitian dan pengembangan merupakan sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi hasil pendidikan (a process used to develop and validate educational product). Hasil pendidikan yang dimaksud merujuk pada kegiatan bimbingan dan konseling sebagai salah satu pilar dari pendidikan itu sendiri, maka metode penelitian dan pengembangan ini juga dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai model intervensi.

Langkah-langkah dalam penelitian pengembangan antara lain, menemukan potensi dan masalah, pengumpulan data atau informasi, desain program, validasi program, revisi program, uji coba program, revisi program dan langkah terakhir berupa finalisasi hasil program (Sugiyono, 2011 : 298). Prosedur penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:


(33)

Gambar 3.1

Alur Penelitian Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa

KAJIAN EMPIRIS EMPATI BUDAYA

DI SMA BPI 1 BANDUNG

KAJIAN TEORETIS

1. EMPATI BUDAYA

2. BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA DI

SMA BPI 1 BANDUNG PENGEMBANGAN BIMBINGAN PRIBADI

SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA DI SMA BPI 1

BANDUNG

PENGUJIAN

SECARA RASIONAL OLEH PAKAR BIMBINGAN DAN KONSELOR

REVISI

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA DI SMA

BPI 1 BANDUNG

PENGUJIAN EMPIRIS TERBATAS : peneliti menguji coba layanan bimbingan pribadi sosial kepada siswa yang merupakan sampel penelitian

REVISI

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA DI

SMA BPI 1 BANDUNG FINALISASI BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL

UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA DI SMA BPI 1 BANDUNG


(34)

C. Definisi Operasional Variabel 1. Bimbingan Pribadi Sosial

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan bimbingan pribadi sosial adalah kegiatan bimbingan yang dilakukan oleh peneliti dengan guru pembimbing secara sistematis, terarah dan terpadu untuk membantu mengembangkan kemampuan pribadi-sosial siswa sebagai berikut: (a) secara pribadi, mengenal karakteristik diri sendiri, menerima keadaan diri sendiri secara positif dan realistik serta mengikuti kegiatan yang positif dalam rangka mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya; dan (b) secara sosial, mengenal cara-cara memperoleh hak dan memenuhi kewajiban dalam kehidupan sehari-hari, menghargai hak-hak orang lain dan merasa senang melaksanakan kewajiban yang diembannya serta mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar pertimbangan hak dan kewajiban yang diembannya masing-masing.

Tujuan bimbingan pribadi sosial dalam penelitian ini membantu siswa dalam mengembangkan empati budaya yang dimilikinya ke arah yang positif sehingga muncul sikap penuh toleransi, berempati dan dapat mampu memaknai diri dan lingkungannya secara lebih realistis sesuai panduan dan tuntutan norma yang ada.

Bimbingan pribadi sosial yang dimaksud upaya peneliti dan guru bimbingan dan konseling untuk mengarahkan pribadi siswa kelas XI SMA BPI tahun pelajaran 2012/2013 dalam mengembangkan empati budaya melalui serangkaian kegiatan yaitu perencanaan, perancangan, penerapan dan evaluasi, yaitu berupa layanan klasikal dan strategi yang tepat.


(35)

2. Empati budaya

Banyak ahli menyebut empati budaya dengan istilah yang berbeda-beda tetapi memiliki makna yang sama, ada yang tetap cultural empathy (Ivey, Ivey, & Simek-Downing, 1987; Ridley & Lingle, 1996), ada yang menyebut empathetic multicultural awareness (Junn, Morton, & Yee, 1995), cultural role taking (Scott & Borodovsky, 1990), ethnic perspective taking (Quintana, Ybarra, Gonzalez-Doupe, & Baessa, 2000), dan ethnotherapeutic empathy (Parson, 1993), dan Wang et.al (2003) disebut sebagai ethnocultural emphathy. Dalam penelitian ini kita akan menggunakan istilah “cultural empathy” dan jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi empati budaya.

Empati budaya didefinisikan berdasarkan pendapat Wang et all (2003) yang mendefinisikan empati budaya sebagai empati yang diarahkan pada orang dari ras dan kelompok budaya etnis yang berbeda dari satu kelompok budaya sendiri. Empati budaya ini merupakan empati dan pemahaman terhadap berbagai budaya dan etnis. Empati terhadap kelompok-kelompok budaya yang berbeda secara logis harus berhubungan dengan memiliki sikap positif terhadap beragam kelompok tertentu.

Dalam penelitian ini empati budaya didefinisikan sebagai kemampuan atau kapasitas individu untuk mengetahui dan memahami etnik atau budaya yang berbeda, diwujudkan melalui ekspresi verbal, perasaan maupun sikap menerima yang didasari atas kesadaran, pengetahuan diri, pengambilan perspektif budaya lain.


(36)

Empati budaya dalam penelitian ini akan memfokuskan pada 4 dimensi empati budaya yang ungkapkan oleh Wang et.al (2003) yaitu

1. Ekspresi dan Perasaan Empatik (Empathic Feeling and Expression) berfokus pada ekspresi verbal dari pikiran dan perasaan empatik budaya terhadap anggota kelompok etnis lain.

2. Pengambilan Perspektif Empatik (Empathic Perspective Taking ) adalah kemampuan untuk memahami bagaimana orang dengan latar belakang etnis yang berbeda pikirkan atau rasakan

3. Menerima Perbedaan Budaya (Acceptance of Cultural Differences) adalah perasaan menerima ketika orang-orang dari kelompok etnis lain berperilaku seperti yang mereka lakukan, misalnya, mengenakan pakaian tradisional, atau berbicara bahasa mereka sendiri

4. Kesadaran Empatik (Empathic Awareness) merupakan kesadaran atau pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang pengalaman orang-orang dari kelompok ras atau etnis yang berbeda dari seseorang sendiri. Hal tersebut merupakan kesadaran akan emosi dan pengalaman orang lain terutama yang berkaitan dengan pengalaman mereka diskriminasi atau perlakuan yang tidak adil dari kelompok yang berbeda.

D. Lokasi Dan Sampel Penelitian

Penelitian tentang Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya dilaksanakan di SMA BPI 1 Bandung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA BPI Bandung berjumlah 253 siswa.


(37)

Metode penarikan sampel yang digunakan adalah jenis teknik Quota Sampling dengan proporsi 50% dari anggota kelas di SMA BPI 1 Bandung khususnya pada kelas XI terdiri dari 7 kelas, 5 kelas jurusan IPA dan 2 kelas jurusan IPS. Asumsi pemilihan siswa kelas XI pada SMA BPI 1 Bandung adalah sebagai berikut: (1) Siswa di kelas XI adalah siswa yang sudah mengalami proses interaksi dengan teman sebaya selama hampir satu tahun; (2) Belum adanya layanan bimbingan dan konseling di SMA BPI 1 Bandung yang seraca khusus untuk mengembangkan empati budaya;

Dalam menentukan sampel, Surakhmad (1998:100) menjelaskan bahwa bila populasi di bawah 100 dapat dipergunakan sampel sebesar 50%, dan jika berada di antara 100 sampai 1000, maka dipergunakan sampel sebesar 15% - 50% dari jumlah populasi. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Riduwan (2006:65) yaitu sebagai berikut.

S =

50% 15%

100 1000 1000 % 15    n Dimana :

S = jumlah sampel yang diambil n = jumlah anggota populasi

S =

50% 15%

100 1000 253 1000 % 15    

S =

 

35%

900 747 % 15 

S = 15%0,83

 

35% = 15% + 29%


(38)

Jadi jumlah sampel adalah sebesar 44 % X 243 = 106, 92 dan didapat angka 107 orang. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan berjumlah 120 siswa, artinya telah memenuhi dari angka ukuran minimal.

Tabel 3.1

Proporsi Sampel Penelitian

Kelas Populasi Jumlah Sampel Jumlah

Pria Wanita Pria Wanita

XI IPA 1 17 13 30 8 6 14

XI IPA 2 15 14 29 7 7 14

XI IPA 3 16 18 24 8 9 17

XI IPA 4 25 14 39 12 7 19

XI IPA 5 27 12 39 13 6 19

XI IPS 1 14 27 41 7 13 20

XI IPS 2 25 16 41 12 8 20

Jumlah 139 104 253 67 56 123

E. Proses Pengembangan Instrumen Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah profil empati budaya. Maka sesuai dengan kebutuhan tersebut, instrumen penelitian adalah angket skala empati budaya dan pedoman wawancara. Skala ini dikembangkan berdasarkan konstruk skala empati etnobudaya oleh Wang et al. (2003) dalam Journal of Counseling Psychology tahun 2003, Vol. 50, No. 2, 221–234. Skala ini berentang dari angka 1 yang paling rendah sampai dengan angka 5 paling tinggi.

Wawancara digunakan untuk melihat sejauh mana dampak dari diberikannya bimbingan pribadi sosial tersebut, dalam hal ini wawancara dilakukan setelah kegiatan berakhir dan menggunakan wawancara tak terstruktur. Berikut disajikan pengembangan skala empati budaya siswa.


(39)

1. Pengembangan Kisi-kisi Instrumen Penelitian

Sebelum menyusun butir pernyataan, terlebih dahulu dirumuskan kisi-kisi instrumen, dengan demikian butir pernyataan merupakan penjabaran dari kisi-kisi instrumen yang telah dirumuskan. Selain itu dilakukan pengembangan kisi-kisi wawancara untuk guru yang akan dijadikan dasar penyusunan layanan bimbingan prbadi sosial untuk mengembangkan empati budaya. Lebih lanjut kisi-kisi instrumennya.dapat dilihat pada Tabel 3.2 sebagai berikut.

Tabel 3.2

Kisi-kisi Instrumen Penelitian Sebelum Dilakukan Penimbangan dan Pengujian Validitas

Variabel Dimensi Indikator Pernyataan

Item Empati Budaya Ekspresi dan perasaan empatik

Mampu mengekspresikan pikiran secara verbal terhadap orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis)

4,9,12,21,25,2 9,40

7

Mampu mengekspresikan perasaan secara verbal terhadap orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis)

2,19,30,39,44 ,45,48 7 Mengambil perspektif empatik

Mampu memahami pikiran orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis)

3,6,11,17, 27,31, 35,50

8

Mampu merasakan perasaan orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis) 5,20,22,24,26 ,33 6 Menerima perbedaan budaya

Menerima karakteristik orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis)

1,8,18,34,41, 47

6

Menerima budaya lain dalam kehidupan sehari-hari

15,28,46,49 4 Kesadaran Menyadari cara masyarakat

memperlakukan ras-etnis lain


(40)

Variabel Dimensi Indikator Pernyataan Item Empatik Menyadari cara media

memperlakukan ras-etnis lain

10,36,38,42 4 Menyadari cara pasar kerja dan

dunia ekonomi memperlakukan ras-etnis lain

13,14,23,43 4

Jumlah 50

2. Penimbangan (Judge) Instrumen Penelitian

Berdasarkan kisi-kisi tersebut, lalu dikembangkan instrumen skala empati budaya yang dilanjutkan dengan tahap penimbangan (judge) kepada tiga orang pakar bimbingan dan konseling yang semuanya berasal dari program studi Bimbingan dan Konseling (BK) jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yaitu DR. Hj. Nani M. Sugandhi, M.Pd, DR. Mubiar Agustin, M.Pd, dan DR. Ipah Saripah, M.Pd.

Kegiatan penimbangan ini berorientasi pada validitas konstruk dan validitas isi, berupa aspek atau dimensi dan indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap bentuk format yang digunakan.

3. Uji Keterbacaan Instrumen Penelitian

Uji keterbacaan instrumen penelitian dilakukan siswa kelas XI di SMAN 3 Kota Sukabumi sebanyak 5 orang yang memiliki karakteristik yang dipandang sama dalam karakteristik usia maupun perkembangannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam


(41)

instrumen dapat dimengerti susunan redaksi dan maknanya, telah sesuai/menggambarkan tentang apa yang dirasakan, dialami, dan dihadapi oleh mereka.

4. Uji Coba Instrumen Pengumpulan Data

Uji coba ini dilakukan sebanyak satu (1) kali, yang meliputi pengujian validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dilakukan di SMAN 3 Kota Sukabumi kepada 90 orang siswa. Uji Hal ini dilakukan untuk memperoleh kualitas instrumen yang layak pakai.

a. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian

Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesahihan instrumen yang akan digunakan dalam mengumpulkan data penelitian. Kegiatan uji validitas butir item dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan dalam penelitian dapat digunakan untuk mengukur apa yang akan diukur (Sugiyono, 2011: 267). Semakin tinggi nilai validitas soal menunjukkan semakin valid instrumen tersebut digunakan di lapangan.

Pengujian alat pengumpul data menggunakan teknik korelasi item-total product moment. Secara lengkap rumusnya sebagai berikut.

 

   2 2 2 2 Y Y N X X N Y X XY N xy Keterangan:

X = skor item nomor soal Y = skor total


(42)

Pengujian korelasi item-total product moment untuk mencari validitas item dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) PASW Statistic (SPSS) version 18.0 for Windows. Hasil pengujian validitas instrumen empati budaya dengan menggunakan teknik korelasi item-total product moment, dari 50 item pernyataan yang disusun didapatkan 49 item pernyataan dinyatakan valid.(hasil pengolahan terlampir)

Berikut ini merupakan hasil uji coba validasi instrument empati budaya. Tabel 3.3

Hasil Uji Validitas

Keterangan Item

Valid 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49

49

Tidak Valid 1, 1

Tabel 3.4

Kisi-kisi Instrumen Penelitian Setelah Dilakukan Penimbangan dan Pengujian Validitas

Variabel Dimensi Indikator Pernyataan

Item Empati Budaya Ekspresi dan perasaan empatik

Mampu mengekspresikan pikiran secara verbal terhadap orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis)

4,9,12,21,25,29, 40

7

Mampu mengekspresikan perasaan secara verbal terhadap orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis)

2,19,30,39,44, 45,48 7 Mengambil perspektif empatik

Mampu memahami pikiran orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis)

1,3,6,11,17,27, 31, 35,


(43)

Variabel Dimensi Indikator Pernyataan Item Mampu merasakan perasaan

orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis) 5,20,22,24,26, 33 6 Menerima perbedaan budaya

Menerima karakteristik orang lain yang berbeda budaya (ras-etnis)

8,18,34,41,47 5

Menerima budaya lain dalam kehidupan sehari-hari

15,28,46,49 4 Kesadaran

Empatik

Menyadari cara masyarakat memperlakukan ras-etnis lain

7,16,32,37 4

Menyadari cara media memperlakukan ras-etnis lain

10,36,38,42 4

Menyadari cara pasar kerja dan dunia ekonomi memperlakukan ras-etnis lain

13,14,23,43 4

Jumlah 49

b. Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian

Setelah diuji validitas setiap item selanjutnya alat pengumpul data tersebut diuji tingkat reliabilitasnya. Pengujian reliabilitas instrumen penelitian dimaksudkan untuk melihat konsistensi internal instrumen yang digunakan. Reliabilitas tes berarti bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (ajeg). Instrumen yang dipercaya atau reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Dalam penelitian ini pengujian reliabilitas menggunakan rumus


(44)

Cronbach’s Alpha ( ) dan dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) PASW Statistic (SPSS) version 18.0 for Windows.

Kriteria untuk mengetahui reliabilitas menggunakan klasifikasi kriteria dari Drummond & Jones (2009) dengan kriteria indeks angka korelasi sebagai berikut.

Tabel 3.5

Indeks Korelasi Drummond & Jones (2009) No. Indeks Koefisien Korelasi Kualifikasi

1. + 90 Very High

2. + 0,89 + 0,80 High

3. + 0,79 + 0,70 Acceptable

4. + 0,69 + 0,60 Moderate/Acceptable

5. + 0,59 Low/Unacceptable

Hasil uji reliabilitas instrumen skala empati budaya diperoleh koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,835. Dengan merujuk pada klasifikasi rentang koefisien reliabilitas dari Drummond & Jones (2009), koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,835 termasuk ke dalam kategori tinggi (High).

F. Proses Pengembangan Layanan Bimbingan Pribadi Sosial Untuk Mengembangkan Empati Budaya

Pengembangan rencana layanan merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan dalam sebuah penelitian. Adapun tahapan dalam pengembangan layanan yang berupa rencana bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini.


(45)

1. Penyusunan Rencana Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa

Rencana bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya dirancang berdasarkan hasil profil empati budaya dari penyebaran angket skala empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Bandung tahun ajaran 2012/2013.

Berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan melalui angket, diketahui gambaran empati budaya siswa SMA BPI 1 kelas XI tahun pelajaran 2012-2013 yaitu 78 orang (65%) masuk pada kategori Tinggi Sekali (TS) dan sebanyak 42 orang (35%) masuk pada kategori Tinggi (T). Pada profil tiap dimensi diketahui pada dimensi ekspresi dan perasaan empatik sebanyak 96 orang (80%) masuk pada kategori Tinggi Sekali (TS), dan sebanyak 24 orang (20%) masuk pada kategori Tinggi (T). Gambaran pada dimensi mengambil perspektif empatik sebanyak 69 orang (57,5%) masuk pada kategori Tinggi Sekali (TS), dan sebanyak 51 orang (42,5%) masuk pada kategori Tinggi (T). Pada dimensi menerima perbedaan budaya sebanyak 73 orang (60,8%) masuk pada kategori Tinggi Sekali (TS), dan sebanyak 47 orang (39,2%) masuk pada kategori Tinggi (T). Pada dimensi kesadaran empatik sebanyak 27 orang (22,5%) masuk pada kategori Tinggi (T), dan sebanyak 93 orang (77,5%) masuk pada kategori Sedang (SD). Berdasarkan data yang diungkapkan maka materi yang dikembangkan lebih besar proporsinya pada pengembangan untuk dimensi “kesadaran empatik” dan selanjutnya dikembangkan materi yang berkaitan dengan dimensi lainnya.


(46)

Setelah memperoleh landasan teoretis mengenai konsep empati budaya dan data awal mengenai gambaran empati budaya siswa, maka kegiatan berikutnya dalam pengembangan layanan adalah menyusun draf rencana layanan berisi pedoman umum operasional yang meliputi: (a) Rasional; (b) Tujuan bimbingan pribadi sosial (c) Strategi Layanan; (e) Sasaran Layanan Bimbingan pribadi sosial; (f) Waktu Pelaksanaan Kegiatan; (g) Rencana Operasional; (h) Evaluasi dan Indikator Keberhasilan.

Perangkat layanan bimbingan pribadi sosial yang berisi pedoman khusus operasional Layanan meliputi: (a) modul Satuan Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling (SKLBK), dan (b) Jurnal kegiatan.

2. Pengujian Kelayakan Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa

Dalam rangka menghasilkan bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Bandung yang teruji secara efektif, maka langkah awal yang dilakukan adalah menguji kelayakan layanan secara rasional. Validasi rasional dilakukan oleh pakar bimbingan dan konseling. pakar yang terlibat terdiri dari 2 (dua) orang yang memiliki latar belakang pendidikan Doktor (S3) dalam bidang bimbingan dan konseling yaitu Dr. H. Mubiar Agustin, M.Pd dan Dr. Ipah Saripah, M.Pd serta 1 (satu) orang konselor sekolah dari SMA BPI 1 Bandung yaitu Dra Hj Ati Budiarti.

Validasi rasional layanan dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif. Peneliti menyampaikan program bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya siswa kelas XI SMA BPI Bandung yang disertai dengan lembaran penimbangan berbentuk catatan ungkapan saran/masukan.


(47)

Secara garis besar, terdapat dua dimensi yang dipertimbangkan oleh pakar, yaitu struktur dan isi layanan. Dimensi struktur layanan berkenaan dengan judul, penggunaan istilah, sistematika, keterbacaan, kelengkapan dan kesesuaian antar komponen layanan.

Dimensi isi kerangka kerja (framework) konseptual program bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya meliputi rasional, tujuan program, komponen layanan, sasaran program, mekanisme pelaksanaan program, serta evaluasi dan indikator keberhasilan. Deskripsi hasil penimbang pakar terhadap dimensi layanan sebagai berikut.

Tabel 3.6

Hasil Penimbangan Pakar Terhadap Pedoman Rasional Rencana Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya

KOMPONEN PROGRAM HASIL PENIMBANGAN PAKAR

1 2

a. Rasional Rasional merupakan pertimbangan-pertimbangan teoritis dan empiris yang menjadi dasar pengembangan layanan. Hasil penimbangan pakar memandang hal tersebut belum cukup memadai. Pakar menyarankan merubah susunan pembahasan di rasional dengan memulai pembahasan dari aspek teoritis empati budaya yang dilanjutkan pada aspek rasional yang didapat dari deskripsi hasil angket.

b. Tujuan Bimbingan Tujuan layanan bimbingan merupakan gambaran perilaku yang diharapkan setelah siswa mengikuti layanan. Hasil penimbangan pakar tujuan program belum memadai, masukan dari pakar berkaitan dengan tujuan penelitian ini adalah disesuaikan dengan hasil data penelitian.

c. Aspek Komponen Layanan

Komponen layanan yang terdiri dari atas empat komponen layanan yaitu layanan dasar, layanan responsif, perencanaan individual dan dukungan sistem. Hasil penimbangan pakar menyatakan bahwa komponen layanan ini sudah memadai.


(48)

KOMPONEN PROGRAM HASIL PENIMBANGAN PAKAR

1 2

d. Aspek Sasaran Bimbingan

Hasil penimbangan pakar menyatakan bahwa strategi layanan telah memadai telah memiliki sasaran yang intervensi yang tepat.

e. Sasaran Bimbingan Hasil penimbangan pakar terhadap sasaran bimbingan sudah memadai

f. Waktu Pelaksanaan Kegiatan

Waktu pelaksanaan kegiatan dari hasil penimbangan pakar dinyatakan sudah memadai

g. Aspek Mekanisme Pelaksanaan Bimbingan

Berisi gambaran singkat tentang langkah kerja dan aktivitas yang ada dalam setiap sesi layanan. Hasil penimbang pakar menyatakan bahwa aspek ini sudah memadai, namun ada catatan mengenai kesesuaian isi layanan dengan aktivitas dalam setiap sesi, sehingga menunjang tujuan pada setiap sesi layanan

h. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan

Rumusan evaluasi keberhasilan dilakukan dalam setiap aktivitas layanan, jadi setiap sesi layanan disiapkan lembar kerja siswa berupa refleksi kegiatan. Dari hasil penimbangan pakar memandang sudah cukup memadai.

G.

Prosedur Pengumpulan Data 1. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan pada awal Januari 2013 dengan responden berjumlah 120 orang, dan tersebar dari kelas XI IPA 1, XI IPA 2, XI IPA 3, XI IPA 4, X IPA 5 dan XI IPS 1, XI IPS 2

2.

Penyeleksian Data

Langkah ini dilakukan dengan tujuan memilih data yang memadai untuk diolah, dimana yang memiliki kelengkapan dalam pengisian, baik identitas maupun jawaban. Jumlah angket yang terkumpul harus sesuai dengan jumlah


(49)

angket yang disebarkan. Dari 123 orang responden yang mengisi skala, ternyata cuma ada 3 orang yang ketika dikumpulkan angket masih kosong belum diisi oleh responden, jadi 3 orang tersebut akhirnya diabaikan.

3. Tabulasi Data

Tabulasi data merupakan cara yang dilakukan dalam merekap semua data yang memadai untuk diolah, dimana data yang memiliki kelengkapan dalam pengisian, baik identitas maupun jawaban. Jumlah angket yang terkumpul harus sesuai dengan jumlah angket yang disebarkan

4. Penyekoran

Jenis instrumen empati budaya ini menggunakan model rating-scale yang digunakan yaitu summated ratings (Likert) dengan alternatif respons pernyataan subjek skala 5 (lima). Interval skor 1, 2, 3, 4, dan 5 apabila pernyataan bersifat negatif dan interval skor 5, 4, 3, 2, dan 1 apabila pernyataan bersifat positif; berikut adalah kategori pemberian skor :

Tabel 3.7

Kategori Pemberian Skor Alternatif Jawaban

Alternatif Jawaban SKOR

Positif Negatif

Sangat Sesuai 5 1

Sesuai 4 2

Ragu-ragu 3 3

Tidak Sesuai 2 4


(50)

G. Teknik Dan Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian tentang empati budaya yang menghasilkan data ordinal. Keseluruhan proses analisis data kuantitatif ini menggunakan bantuan perangkat lunak (software) PASW Statistic (SPSS) version 18.0 for Windows.

Untuk melihat posisi profil/gambaran umum empati budaya sebelum dan sesudah diberikan layanan, baik yang total maupun sub dimensi, dipergunakan batas lulus ideal yang perhitungannya didasarkan atas rerata ideal dan simpangan baku ideal skala nilai 0-4 (Cece Rakhmat dan M. Solehuddin, 2006: 63 dan 65) sebagai berikut.

_

+ 1,5 SDideal

_

 + 0,5 SDideal

_

 - 0,5 SDideal

_

 -1,5 SDideal

Keterangan:

X ideal = Rata-rata Ideal

±1.5 dan ±0.5 = Nilai Z pada kurva normal SDideal = Simpangan Baku Ideal


(51)

Sebagai ilustrasi, berikut diberikan contoh cara memperoleh kualifikasi empati

budaya.

Diketahui:

Skor Maksimum Ideal (SMideal) = 245

Rata-rata Ideal (

ideal) = 122,5 Standar Deviasi Ideal (SD ideal) = 40,8

Ditanyakan: Kualifikasi empati budaya? Jawab :

122,5 + 1.5 40,8 183,8

122,5 + 0.5 40,8 142,9

122,5 - 0.5 40,8 102,1

122,5 - 1.5 40,8 61,3

Berdasarkan hasil di atas, kemudian dibuat klasifikasi berikut.

Tabel 3.8

Tabel Kualifikasi Empati Budaya

NO. SKOR KUALIFIKASI

1. > 183,8 Sangat Tinggi (ST)

2. 142,9 183,7 Tinggi (T) 3. 102,1 142,8 Sedang (Sd)

4. 61,3 102 Rendah (R)

5. < 61,3 Sangat Rendah (S R)

Selanjutnya, untuk mencari kualifikasi empati budaya untuk setiap dimensi dilakukan langkah-langkah yang sama. Begitupun untuk setiap indikator pada setiap dimensi digunakan rumus dan langkah-langkah pengerjaan yang sama juga. Sedangkan data yang diperoleh melalui wawancara dianalisis secara kualitatif yaitu menggunakan metode analisa rasional.


(52)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Kesimpulan hasil penelitian tentang bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya disajikan sebagai berikut.

1. Hasil studi menunjukan bahwa profil empati budaya siswa SMA BPI 1 Bandung kelas XI tahun pelajaran 2012-2013 berada pada kategori tinggi sekali, hal ini mengindikasikan siswa telah memiliki kapasitas dalam memahami budaya lain secara sadar, dapat menghormati karakteristik budaya lain, sehingga dapat mengambil pandangan berdasarkan perspektif budaya yang lain.

2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada profil empati budaya sebelum dan setelah pemberian bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya. Tetapi pada dasarnya terjadi perubahan tetapi nilainya kecil, hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan pada nilai rata-rata sebelum dan setelah pemberian bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya. 3. Bimbingan pribadi sosial yang telah dikembangkan belum mampu

meningkatkan empati budaya siswa secara signifikan. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa hal yaitu : adalah pertama, berkaitan dengan hasil pretest yang telah tinggi, kedua berkaitan dengan isu perbedaan sosial budaya, ketiga berkaitan dengan instrumen skala empati budaya, keempat berkaitan dengan terjadinya retensi dari sampel penelitian, kelima berkaitan kondisi sampel sebagai remaja. oleh karena itu diperlukan perbaikan terhadap layanan


(1)

Ivey, A.E. Ivey, M.B., & Simek-Morgan, L. (1997). Counseling and Psychotherapy: A Multicultural Perspective, Fourth, Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Junn, E. N., Morton, K. R., & Yee, I. (1995). The “Gibberish” Exercise: Facilitating Empathetic Multicultural Awareness. Journal of Instructional Psychology, 22, 324–329.

Kartadinata, S. (2005). “Standardisasi Profesi Bimbingan dan Konseling”. Makalah pada Konvensi Nasional XIV dan Kongres Nasional X ABKIN, Semarang, 13-16 April 2005.

___________ (1996) Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru besar Bimbingam Penyuluhan FIP IKIP Bandung.

Khadafi, A (2012). Proses Konseling Kelompok. (online) Tersedia : http://asrofulkhadafi.wordpress.com (diakses 8 Agustus 2012)

Ketut, S. Dewa (2002). Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Kreuzer, Peter (2002). Applying theories of ethnocultural conflict and conflictresolution to collective violence in Indonesia. Peace Research Institute Frankfurt : Frankfurt

Laksono, K. Dwiarto (2009) Hubungan Empati Dengan Perilaku Prososial Pada Peer Educator Universitas Katolik Soegijapranata. Tesis , Unika Soegijapranata : (Tidak diterbitkan)

Lawrence, D., & Luis, H. Z. (2001). Cross-Cultural Empathy And Training The Contemporary Psychotherapist. Clinical Social Work Journal, 29, 3.

Lau, S.R, (2011) Cultivating Culturally Empathic Environments In The Academic Setting. Tesis. Gonzaga University. Washington : Tidak diterbitkan

Mallett, R. K., Wilson, T. D., & Gilbert, D. T (2009). Expect The Unexpected: Failure To Anticipate Similarities When Predicting The Quality Of An Intergroup Interaction. Journal of Personality and Social Psychology. Manstead, A.S.R., & Hewstone, M. (1996). The Blackwell Encyclopedia Of Social

Psychology. Oxford: Blackwell Publisher Ltd

Matsumoto, D.,& Takeuchi, S. (1998). Emotions and intercultural communication. Intercultural Communication Research, Kanda University of International Studies Intercultural Communication Institute, 11, 1-32.

Meo, A.D (2006). Ethnocultural Emphaty in Relation to Social Donance orientation, Right-Wing Authotitarianism, Hypersensitive Narcissism And Overt Narcissism. Disertasi. University Los Angeles. California : Tidak diterbitkan.


(2)

Merrell-James, (2006). “Intra-racial bullying: An issue of multicultural counseling” (online ) . Tersedia di http://gwired.gwu.edu (diakses 5 Juli 2011)

Miharja (2012) Inspirasi Konseling Islami dalam Konseling Karir. (Online). Tersedia : http://bimbingankonselingislambandung.blogspot.com (diakses 30 juni 2013)

Misu (2009). Cross Cultural Empathy. (online) Tersedia : http://empathicperspectives.blogspot.com (diakses 18 Januari 2012)

Mugiarso (2012). Konseling Dalam Analisis Lintas Budaya (Kasus Indonesia). (Online). Tersedia : http://labkonselingumk.blogspot.com (diakses 30 Juni 2013)

Mussen, P.H. 1994. Perkembangan dan Kepribadian Anak (Terjemahan Budiyanto, F.X., dkk). Jakarta: Archan.

Newsdale, D., Griffith, J., Durkin, K., & Maass, A. (2005). Empathy, group norms and children’s ethnic attitudes. Applied Developmental Psychology, 26, 623-637.

Nguyen, Patty (2009). Social Context, Ethnic Identity, And Ethnocultural Empathy. Tesis . California State University, Sacramento. : Tidak diterbitkan

Nurihsan, Juntika. (2003). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung : Mutiara.

Nurihsan, Juntika & Sudianto, A (2004) Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Remaja Rosdakarya

Nurihsan, Juntika & Supriatna, M (Eds.). (2005). Pendidikan dan Konseling di Era Global dalam Perspektif Prof. Dr. M. Djawad Dahlan. Bandung : Rizqi Press.

Nurihsan, Juntika (2006). Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung : Refika Aditama.

Oscar, Ferri (2012). LSI: Ini 5 Kasus Kekerasan Paling Mengerikan di Indonesia. (online). Tersedia : http://news.liputan6.com (diakses 16 januari 2013). Parson, E. R. (1993). Ethnotherapeutic Empathy (Ethe): II. Techniques In

Interpersonal Cognition And Vicarious Experience Across Cultures. Journal of Contemporary Psychotherapy, 23, 171–182.

Pedersen, P.B., ed. (1986). Counseling Across Cultures. Hawaii : East-West Center.

___________ (1988). Handbook for Developing Multicultural Awareness. Washington, D.C.: American Association for Counseling and Development.


(3)

___________ (1990). The Constructs of Complexity and Balance in Multicultural Counseling Theory and Practice. Journal of Counseling & Development, Vol. 68, pp. 550-554.

__________ (1991). Multiculturalism As A Generic Approach To Counseling. Journal of Counseling and Development, 70(1), 6-12.

Pedersen, P.B, Crethar. C.H, & Carlson, J. (2008) Inclusive Cultural Empathy: Making Relationships Central In Counseling And Psychotherapy. Washington DC. American Psychological Association

Pratto, F., Sidanius, J, Stallworth, L.M., & Malle, B.F. (1994). Social Dominance Orientation: A Personality Variable Predicting Social And Political Attitudes. Journal of Personality and Social Psychology, 67, 741-763. Prayitno. (1998). Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan Konseling Di Sekolah:

Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Umum (SMU). Jakarta: Kerjasama Koperasi Karyawan Pusgrafin: Penebar Aksara

Priyanto, Digo (2013). Layanan Bimbingan Pribadi Sosial.(online) Tersedia: http://digopriyanto6.blogspot.com

Purnama, Diana (2009). Konsep Dasar Kompetensi Pribadi Sosial. (online) Tersedia : http://dianaseptipurnama.wordpress.com (diakses 30 juni 2013) Putri, Faralia Eka (2013). Pendidikan Multikultural dan Implementasi. (Online).

Tersedia : http://feraliaekaputri.wordpress.com (diakses 30 juni 2013) Quintana, S. M., Ybarra, V. C., Gonzalez-Doupe, P., & de Baessa, Y. (2000).

Cross-Cultural Evaluation Of Ethnic Perspective-Taking Ability In Two Samples : US Latino and Guatemalan Ladino Children. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology, 6, 334-351.

Rahmat, Cece dan Sollehudin (2006)“ Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar”. Bandung : CV. Andira.

Rasoal, C., Jungert. T., Hau, S., Edvardsson-Stiwne, E., & Andersson, G. (2009). Ethnocultural Empathy Among Students In Healthcare Education. Journal of Evaluation & the Health Professions, 3, 300-313.

Rasoal, C. Jungert. T, Hau, S, & Andersson. G (2011) Development of a Swedish Version of the Scale of Ethnocultural Empathy. Journal of Psychology. 2011. Vol.2, No.6, 568-573

Rasoal, C., Eklund, J., & Hansen, M. E. (2011). Toward Conceptualization of ethnocultural empathy. Journal of Social, Evolutionary, and Cultural Psychology ,2011 5(1), 1-13.

____________ (2011) “Ethnocultural versus Basic Empathy: Same or Different?’ Journal of Psychology. 2011. Vol.2, No.9, 925-930

Ridley,C.R., & Lingle,D.W.(1996).Cultural empathy in multicultural counseling : A multi dimensional process model. Dalam P.B.Pedersen,J.G. Draguns,


(4)

W.J.Lonner, & J.E.Trimble (Eds.), Counseling a cross cultures (pp.21-46).Thousand Oaks,CA: Sage.

Ross K.G, Thornson, C.A, & Arrastia M.C (2009). Development of the Cross-Cultural Competence Inventory (CCCI): Final Report for the Defense Equal Opportunity Management Institute (online ) Tersedia : www. issuu.com (20 Januari 2012

Sampaio, L. R. et al. (2012) Translation, Adaptation, and Construct Validity Study of the Scale of Ethnocultural Empathy. Journal of Psycho Volume 43, n. 1, pp. 101-108, jan./mar. 2012

School Public Sir Isaac Brock (2010) School Bullying Prevention Plan. Tersedia di http://www.ugdsb.on.ca (online) 5 Juli 2011

Scott, N.E., & Borodovsky, L.G. (1990). Effective Use Of Cultural Roletaking. Professional Psychology: Research and Practice, 21(3), 167-170.

Shadish, et.al (2002). Experimental and quasi-experimental design for generalized causal inference. Boston, MA: Houghton Mifflin.

Skeel, Dorothy J. (1995). Elementary Social Studies: Challenges for Tomorrow’s World. New York: Harcout Brace College Publisher

Spanierman LB, Poteat VP, Beer AM, Armstrong PI.(2006). Psychosocial Costs Of Racism To Whites: Exploring Patterns Through Cluster Analysis. Journal of Counseling Psychology. 2006;53:434–441.

State of Connecticut State Board of Education (2008). Comprehensive School Counseling : A Guide to Comprehensive School Counseling Program Development. Connecticut : Department of Education

Stephan, W. G., & Finlay, K. (1999). The role of empathy in improving intergroup relations. Journal of Social Issues, 4, 729-743.

Sugiyono, (2011) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta

Sukardi, Kamin (tt). Pembelajaran Berbasis Multikultural. (online) Tersedia : www.scribd.com (diakses 18 Januari 2012)

Suneni.D.(2006). Hubungan Antara Empati Dengan Kemampuan Interaksi Sosial Pada Remaja Di SMU Islam Pujon Malang. Universitas Muhamadiyah Malang. Tesis. Tidak Diterbitkan.

Supriatna, Mamat (2011) Sekolah Sebagai Sarana Pemahaman Budaya Antaretnis Dalam Kehidupan Masyarakat Majemuk. Bandung

Surakhmad, W. (1998) Metode Penelitian. Penerbit Graha Indonesia. Jakarta. Surya, Muhamad. (1988). Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Teori&Konsep).

Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang.

Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : LP3ES.


(5)

Suryadinata, Leo & Arifin E.N (2003). Penduduk Indonesia. Jakarta : LP3ES. Taufik (2010). Effectiveness of Traditional Games to Increase Ethno Cultural

Empathy. (online) Tersedia : http://www.anima.ubaya.ac.id (20 Januari 2012.

Triandis, H.C. (1994). Culture and Social Behavior. New York : McGraw-Hill Ulfah, (2010). Program Bimbingan Dan Konseling Pribadi Sosial Untuk

Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Siswa Terhadap Keragaman Budaya. SPS UPI. Tesis : Tidak diterbitkan

Unger, L. S. & Thumuluri, L. K. (1997). Trait Empathy And Continuous Helping: The Case Of Voluntarism. Journal of Social Behavior and Personality, 12(3), 785-800.

Van der Zee, K.I., & Van Oudenhoven, J.P. (2000). The Multicultural Personality Questionnaire: A Multidimensional Instrument Of Multicultural Effectiveness. European Journal of Personality, 14, 291-309.

Vescio, T. K., Sechrist, G. B., & Paolucci, M. P. (2003). Perspective Taking And Prejudice Reduction: The Meditational Role Of Empathy Arousal And Situational Attributions. European Journal of Social Psychology, 33, 455-472.

Wahab, Rochmat. (2003) Bimbingan Sosial-Pribadi Berbasis Model Perkembangan. Jurnal Bimbingan dan Konseling. Volume VI, No. 12 November 2003, 137-139.

Wang, Y. W., Davidson, M. M., Yakushko, O. F., Savory, H. B., Tan, J. A., & Bleier, J. K. (2003). The Scale Of Ethnocultural Empathy: Development, Validation, And Reliability. Journal of Counseling Psychology, 50, 221-234.

Wiethoff, C. (2004), "Motivation to learn and diversity training: Application of the Theory of Planned Behavior," Human Resource Development Quarterly, Vol. 15, pp. 263-278.

Winkel, W.S. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo Gramedia Widia Sarana Indonesia

Wong, Y. & Tsai, J.L.(2007). Cultural Models Of Shame And Guilt. Chapter in J.Tracy, R. Robins & J. Tangney (Eds.). Handbook of Self-Conscious Emotions, (pp.210-223) . New York, NY: Guilford Press.

Yusuf, Syamsu & Nurihsan J.A (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Yusuf, Syamsu. (2007). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

_________ (2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung : Rizqi Press.


(6)

Yusuf. Syamsu (2012). Posisi BK dalam Pendidikan Karakter. Materi kuliah bersama. SPS UPI

Zhu, Honglin (2011). From Intercultural Awareness to Intercultural Empathy. Journal of English Language Teaching Vol. 4, No. 1; March 2011


Dokumen yang terkait

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN KESADARAN GENDER SISWA: Studi Deskriptif Terhadap Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 15 Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.

2 8 42

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN PERILAKU SISWA : Studi Deskriptif terhadap Siswa Kelas XI SMA Pasundan 8 Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.

0 1 3

EFEKTIVITAS BIMBINGAN PRANIKAH UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP POSITIF REMAJA TERHADAP PERNIKAHAN : Studi Pra-Eksperimen pada Siswa Kelas XI di SMA PGRI 1 Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.

0 10 67

PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN HUBUNGAN INTERPERSONAL PESERTA DIDIK : Studi Pra Eksperimen Terhadap Peserta didik Kelas XI SMA Negeri 11 Bandung Ajaran 2013/2014.

0 4 54

PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING PRIBADI-SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA : Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Cipatat Bandung Barat Tahun Ajaran 2011-2012.

0 0 39

PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN DIRI FISIK SISWA : Studi Deskriptif terhadap Siswa Kelas X SMA Pasundan 2 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013.

0 2 30

PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING PRIBADI-SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN KONSEP DIRI AKADEMIK: Studi Deskriptif terhadap Siswa Kelas XI Jurusan IPS SMA Negeri 18 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013.

0 2 49

PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MEREDUKSI PERILAKU AGRESIF SISWA : Studi Deskriptif terhadap Siswa Kelas XI di Salah Satu SMA Swasta di Kota Bandung Tahun Ajaran 2012-2013.

0 6 37

BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN KESADARAN GENDER SISWA : Studi Pra Eksperimen terhadap Siswa Kelas III SD Laboratorium Percontohan UPI Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.

0 1 43

PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING PRIBADI SOSIAL UNTUK MEMBANTU KETERAMPILAN SOSIAL SISWA TERISOLIR : Studi Pra Eksperimen terhadap Siswa Kelas XI SMKN 20 Jakarta Selatan Tahun Ajaran 2011/2012.

0 0 22