Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
PERBEDAAN NASIONALISME ANTARA SISWA SEKOLAH BIASA DAN SISWA SEKOLAH BERTARAF
INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Swastika Maharani
069114014
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang sudah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 7 Juni 2011 Penulis
(Swastika Maharani)
PERBEDAAN NASIONALISME ANTARA SISWA SEKOLAH BIASA
DAN SISWA SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL
Swastika Maharani
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasadan siswa sekolah bertaraf internasional. Nasionalisme dalam penelitian ini dibagi dalam dua
dimensi yaitu, dimensi chauvinisme dan dimensi patriotisme. Hipotesis pertama dalam penelitian
ini adalah terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi chauvinisme antara siswa sekolah biasa
dan siswa sekolah bertaraf internasional. Hipotesis kedua yaitu, terdapat perbedaan nasionalisme
pada dimensi patriotisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 120 orang, yang terdiri dari 60 siswa sekolah biasa dan 60
siswa sekolah bertaraf internasional. Seluruh subyek merupakan siswa SMA yang sedang
menempuh pendidikan di Jakarta dan berusia 15 sampai 18 tahun. Penelitian ini menggunakan dua
skala, yaitu skala nasionalisme dimensi chauvinisme dan skala nasionalisme dimensi patriotisme
yang dibuat sendiri oleh penulis. Berdasarkan hasil uji hipotesis dua sisi (2 tailed) menggunakan
Independent Sample t- test, pada skala chauvinisme didapatkan angka 0,791 (p>0,05). Hal ini
berarti bahwa tidak terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi chauvinisme antara siswa
sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional. Pada skala patriotisme didapatkan angka
0,012 (p>0,05). Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi patriotisme
antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional.Kata kunci : nasionalisme, sekolah biasa, sekolah bertaraf internasional
THE DIFFERENCE OF NATIONALISM BETWEEN STUDENTS OF
REGULAR SCHOOLS AND STUDENTS OF INTERNATIONAL
SCHOOLS
Swastika Maharani
ABSTRACT
This research aimed to examine if there is a difference regarding nationalism betweenstudents of regular schools and students of international schools. For the purpose of this research,
nationalism was divided into two dimensions: the dimension of chauvinism and the patriotic
dimension. The first hypothesis in this research is that there is a difference on the chauvinism
dimension between students of regular schools and students of international schools. The second
hypothesis is that there is a difference on the patriotic dimension between students of regular
schools and students of international schools. This research was conducted by having 120 students
fill out questionnaires. Of these 120 students, 60 students went to regular school and 60 students
went to an international school. All participants were senior high school students in Jakarta, aged
15 – 18. Two scales were used in this research. On the one hand, a scale using chauvinism, on the
other hand one using the patriotic dimension. Both scales were made by the author. Using an
Independent Samples t–test, the result on the chauvinism scale was 0,791 (p>0,05). This indicates
that there is no difference of nationalism on the chauvinism dimension between students of regular
schools and students of international schools. In contrast to this, on the patriotic scale, the number
was 0,012 (p>0,05). This result indicates that there is a difference of nationalism on the patriotic
dimension between students of regular schools and students of international schools..
Keywords: nationalism, regular school, international school
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Swastika Maharani Nomor Mahasiswa : 069114014
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Perbedaan Nasionalisme antara Siswa Sekolah Biasa dan Siswa Bertaraf
Internasional
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk penskalaan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 7 Juni 2011 Yang menyatakan, (Swastika Maharani)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur atas kasih Tuhan Yesus yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini tidak lepas dari peran serta dan bantuan dari berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis, untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas masukan dan kesabaran bapak selama ini.
2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing akademik.
4. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membagikan ilmunya sehingga penulis dapat mencapai tahap ini.
5. Segenap staff dan karyawan Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Pak Gie, Bu Nanik, Mas Muji dan Mas Doni, atas segala bantuan dan keramahan yang diberikan selama penulis belajar hingga menyusun skripsi di Fakultas Psikologi.
6. Rekan-rekan yang telah membantu penulis untuk menyebarkan dan bersedia mengisi angket, terimakasih atas kesediaan kalian dalam membantu proses pengambilan data.
7. Papa, Mama dan Ario. Terima kasih atas segala perhatian, dukungan, doa dan fasilitas yang telah diberikan. Aku sayang kalian...
8. Keluarga besar Soetyasmo dan keluarga besar Wasis. Terima kasih atas doa kalian di setiap arisan keluarga dan pertanyaan “kapan lulusnya?”. Anyway..
I can’t hardly wait for christmas!
9. Jagoanku. Gemblung dan Whiskey... Terima kasih.. bersama kalian, semua air mata menjadi tawa bahagia. Lov you both!
10. Sahabat-sahabatku, baik dari Psikologi maupun yang lainnya.. Devi, Rateh, Chacha, Maria, Arum, Viany, Chika, Nobi dan semua yang tidak bisa
11. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah ikut membantu, baik langsung maupun tidak langsung. Tanpa bantuan kalian, skripsi ini tidak mungkin terselesaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.
Yogyakarta, 7 Juni 2011 Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................iv ABSTRAK ..........................................................................................................v ABSTRACT .........................................................................................................vi HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....................vii KATA PENGANTAR ..............................................................................viii DAFTAR ISI ..........................................................................................................x DAFTAR TABEL ...........................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................xv
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................................1 B. Rumusan Masalah ......................................................................................…...9 C. Tujuan Penelitian ...........................................................................................10 D. Manfaat Penelitian ................................................................................10 BAB II. LANDASAN TEORI ..............................................................................12 A. Nasionalisme ............................................................................................12
1. Pengertian Nasionalisme ..........................................................................12
2. Dimensi Nasionalisme ....................................................................15
b. Patriotisme ...........................................................................................17
B. Pendidikan di Indonesia ..................................................................................19
C. Perbedaan Sekolah Biasa dengan Sekolah Bertaraf Internasional ...............20
1. Sekolah Biasa (SB) ...................................................................................21
a. Karakteristik Visi ................................................................................21
b. Konsep SB ..........................................................................................21
c. Proses Pembelajaran SB ......................................................................23
2. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ........................................................24
a. Karakteristik Visi ...............................................................................24
b. Konsep SBI .........................................................................................24
c. Proses Pembelajaran SBI ....................................................................25
D. Remaja .............................................................................................................27
E. Perbedaan Nasionalisme antara Siswa Sekolah Biasa dan Siswa Sekolah Bertaraf Internasional .......................................................29 F. Hipotesis ..........................................................................................................33
G. Pertanyaan Deskriptif ......................................................................................33
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................34 A. Jenis Penelitian ............................................................................................34 B. Identifikasi Variabel Penelitian ..................................................................34 C. Definisi Operasional ................................................................................34
1. Jenis Sekolah ................................................................................34
a. Sekolah Biasa ................................................................................34
2. Nasionalisme ............................................................................................35
D. Subyek Penelitian ................................................................................37
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ........................................................38
F. Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Item Alat Ukur ................................39
1. Validitas ............................................................................................39
2. Seleksi Item ............................................................................................40
3. Reliabilitas ............................................................................................41
G. Metode Analisis Data ................................................................................44
1. Uji Asumsi Data Peneltian ....................................................................44
a. Uji Normalitas ................................................................................44
b. Uji Homogenitas ................................................................................45
2. Uji Hipotesis Penelitian ....................................................................45
3. Analisis Data untuk Menjawab Pertanyaan Deskriptif .............................46
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................47 A. Pelaksanaan Penelitian ................................................................................48 B. Hasil Penelitian ............................................................................................48
1. Mata Pelajaran SB dan SBI .......................................................................48
a. Materi Pelajaran Sekolah Biasa ........................................................49
b. Materi Pelajaran Sekolah Bertaraf Internasional ..............................54
2. Deskripsi Subyek Penelitian ....................................................................55
a. Persentase Subyek Berdasarkan Usia ............................................55
b. Persentase Subyek Berdasarkan Kelas ...........................................56
3. Uji Asumsi ............................................................................................57
a. Uji Normalitas ................................................................................57
b. Uji Homogenitas ................................................................................58
4. Hasil ........................................................................................................59
a. Uji Hipotesis ................................................................................59
b. Analisis Data untuk menjawab Pertanyaan Deskriptif ......................60
c. Hasil Tambahan .........................................................................61
5. Pembahasan ............................................................................................64
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................72 A. Kesimpulan ............................................................................................72 B. Saran ........................................................................................................73 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................74 LAMPIRAN ........................................................................................................78
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel Perbedaan SB dan SBI ........................................................................27
2. Tabel Blue Print Skala Nasionalisme Sebelum Uji Coba ....................39
3. Tabel Blue Print Skala Nasionalisme Setelah Uji Coba ................................42
4. Tabel Blue Print Skala Nasionalisme Setelah Dikorelasikan dengan Skala Social Desirability ...................................................................43
5. Tabel Blue Print Skala Nasionalisme Setelah Modifikasi ....................44
6. Tabel Mata Pelajaran SB dan SBI .................................................................48
7. Tabel Presentase Subyek Berdasarkan Usia ............................................55
8. Tabel Presentase Subyek Berdasarkan Kelas .................................................56
9. Tabel Presentase Subyek Berdasarkan Jenis Sekolah .....................................56
10. Tabel Hasil Uji Normalitas ....................................................................57
11. Tabel Hasil Uji Homogenitas ....................................................................58
12. Tabel Hasil Uji Hipotesis................................................................................60
13. Tabel Hasil Uji Hipotesis................................................................................60
14. Tabel Paired Samples t- test ....................................................................61
15. Tabel Mean Empiris ....................................................................62
16. Tabel Mean Empiris ....................................................................62
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
A. LAMPIRAN A : Skala Uji Coba Nasionalisme dan Angket Social Desirability .......................................79 B. LAMPIRAN B : Uji Reliabilitas Butir Skala Nasionalisme ..........................86
C. LAMPIRAN C : Korelasi Skala Nasionalisme dan Angket Social Desirability .......................................96 D. LAMPIRAN D : Skala Penelitian Nasionalisme ........................................101
E. LAMPIRAN E : Uji Normalitas ..............................................................106
F. LAMPIRAN F : Uji Homogenitas .............................................................108
G. LAMPIRAN G : Uji Hipotesis ...................................................................110
H. LAMPIRAN H : Uji Tambahan ..............................................................113
I. LAMPIRAN I : Verbatim Hasil Wawancara ..........................................116
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi yang melanda dunia dewasa ini dapat menguntungkan
masyarakat Indonesia tetapi juga dapat merugikan yaitu dapat mengakibatkan terkikisnya budaya nasional dalam masyarakat Indonesia yang pada akhirnya melemahkan ketahanan negara (Handayani, 2008). Menurut Sofyan Wanandi (2007) globalisasi telah membuat nilai-nilai bangsa Indonesia luntur dan untuk dapat mempertahankan nilai-nilai tersebut dibutuhkan semangat nasionalisme.
Di Indonesia, kesadaran nasionalisme para pemuda tumbuh karena mereka prihatin melihat bangsa terus terlindas dalam kolonialisme dan kultur imprealisme. Para pemuda itu memiliki pemikiran kritis, gigih, serta idealis karena merasa ketidakadilan mulai merajalela. Nasionalisme tumbuh karena sebuah dorongan jiwa dan moral sebagai anak bangsa (Marzali dalam Rahmat, 2007)
Hidayat (2008) mengatakan bahwa nasionalisme adalah pilar utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh akan menjadi rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Nasionalisme lebih mengarah pada perasaan cinta, rasa memiliki, dan mau berkorban dari individu atau Mahfud (2009) mengatakan bahwa sikap nasionalisme anak bangsa sekarang ini semakin berkurang. Hal tersebut ditandai dengan disorientasi, dislokasi dan krisis sosial-budaya di kalangan masyarakat Indonesia. Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya ‘asing’ dan tidak memiliki basis kultural dalam masyarakat Indonesia, semakin menyebar dan memunculkan “gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai, positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari munculnya kultur hybrid atau budaya ‘gado-gado’ tanpa identitas, di Indonesia saat ini. Pada satu sisi, kemunculan budaya hybrid tampaknya tidak terelakkan, khususnya karena proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Pada sisi lain, budaya hybrid dapat mengakibatkan erosi budaya, lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal. Padahal, identitas nasional dan lokal tersebut mutlak diperlukan bagi terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara-bangsa (Mahfud, 2009).
Krsnaagni (2005) menambahkan bahwa globalisasi dalam aspek ekonomi, menyebabkan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri membanjiri di Indonesia. Hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia. Segala sesuatu yang berbau lokal dianggap ketinggalan jaman. Di samping itu masyarakat Indonesia kelas atas lebih senang menghabiskan waktu untuk berbelanja ke
Edy Santosa (2009) mengatakan bahwa menurunnya rasa nasionalisme dapat meyebabkan jaringan teroris bergerak leluasa. Penurunan rasa nasionalisme terjadi akibat keyakinan diri yang terikat sebagai suatu bangsa tererosi dan meluntur. Disamping itu, secara umum kondisi masyarakat yang terbebani dengan himpitan berbagai persoalan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang semakin sulit. Kemudian timbul pemahaman bahwa urusan keamanan bukan urusan mereka tetapi merupakan urusan pemerintah semata. kondisi tersebut membuat masyarakat menjadi tidak atau kurang peduli terhadap kondisi keamanan lingkungannya. Ketidakpedulian masyarakat terhadap keamanan dan lingkungannya menyebabkan kelompok teroris dengan leluasa dapat membaurkan diri pada lingkungan kehidupan masyarakat untuk aktivitasnya. Padahal dampak yang ditimbulkan dari aksi- aksi terorisme sangat merusak mental, semangat dan daya juang masyarakat dan dalam skala yang lebih luas serta jangka panjang dapat melumpuhkan kehidupan masyarakat. Selain itu, Edy Santosa juga juga mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa menurunnya rasa nasionalisme dapat menyebabkan terjadinya disorientasi dan perpecahan.
Menurut Amien Rais (1999), salah satu cara yang digunakan untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman melunturnya patriotisme dan nasionalisme adalah melalui pendidikan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi masa depan bangsa. Pendidikan mempunyai peran dalam bekal ilmu, keterampilan, wawasan, dan sikap. Pendidikan diharapkan mampu meningkatkankan semangat nasionalisme para generasi muda yang semakin meluntur. Sikap nasionalisme sangat dibutuhkan untuk membangun Indonesia yang kuat dan kokoh karena dengan menanamkan perasaan cinta tanah dan bangsa (nasionalisme) dalam hati serta adanya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, suatu bangsa tidak akan mudah digoyahkan.
Ketertinggalan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga rupanya menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional. Sektor pendidikan termasuk yang didorong untuk berstandar internasional. Sekolah internasional sebenarnya bukan fenomena baru di Indonesia. Sekolah internasional pertama yang tercatat di Indonesia adalah
Jakarta International School (JIS). JIS didirikan pada tahun 1951 untuk
melayani anak-anak para ekspatriat yang tinggal di Jakarta. Dua direktori dari sekolah internasional di seluruh dunia mencatat terdapat 62 sekolah internasional yang terletak di berbagai daerah di Indonesia. Sekolah-sekolah tersebut telah berdiri mulai dari 1 tahun sampai 50 tahun. Sekolah internasional ini bukan satu-satunya jenis sekolah swasta yang menyediakan sertifikat internasional kepada siswa. Kelompok sekolah lain yang mengklaim telah memiliki standar internasional adalah sekolah Nasional Plus (NP) (Kustulasari,2009).
Kustulasari (2009) mengatakan bahwa sekolah Nasional Plus tidak menawarkan program internasional, melainkan menggabungkan kurikulum nasional dengan kurikulum internasional pilihan mereka. Jumlah sekolah NP telah berkembang banyak dalam sepuluh tahun terakhir. Perkembangan sekolah NP yang pesat ini juga tidak lepas dari dukungan pemerintah.
Pemerintah bahkan mencantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Oleh karena itu, Undang-Undang Sisdiknas 2003 memperkenalkan klasifikasi sekolah baru.
Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB).
Dari ketiga klasifikasi tersebut, pembangunan Sekolah Bertaraf Internasional adalah pembangunan yang paling pesat. Hal tersebut di dukung oleh data yang diperoleh Suara Pembaruan (2008) dalam kurun waktu 2005-2007 jumlah sekolah rintisan atau sudah bertaraf internasional sudah mencapai 749 sekolah. Rincian sekolah itu adalah Taman kanak-kanak (TK)/Sekolah Dasar (SD) rintisan atau sudah bertaraf internasional mencapai 141 sekolah, Sekolah Menengah Pertama (SMP) rintisan atau sudah bertaraf internasional mencapai 170 sekolah, Sekolah Menengah Atas (SMA) rintisan atau bertaraf internasional mencapai 259 sekolah, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) rintisan atau sudah bertaraf internasional mencapai 179 sekolah. Tidak menutup kemungkinan, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan terus mengembangkan sekolah-sekolah lainnya menjadi SBI.
Dalam visi yang dijalankan, terdapat perbedaan antara sekolah biasa dan sekolah bertaraf internasional. Visi sekolah biasa cenderung mengacu pada UU no 20/ 2003, yang lebih mempersiapkan peserta didiknya untuk mampu mengembangkan potensi diri dalam keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi diri, masyarakat dan bangsa Indonesia. Sedangkan sekolah bertaraf internasional memiliki visi untuk mewujudkan peserta didik yang cerdas dan kompetitif atau memiliki daya saing secara internasional. Visi SBI untuk mampu bersaing secara internasional diwujudkan dari kurikulum yang digunakan dan proses belajar mengajar yang dilakukan. Kurikulum SBI mengacu pada negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Co-
operation and Development) dan proses belajar mengajar disampaikan dalam bahasa Inggris.
Dari beberapa hal yang diungkapkan diatas, para pengamat pendidikan memiliki pandangan yang berbeda-beda baik pro maupun kontra terhadap perkembangan SBI. Pandangan yang kontra dikemukakan oleh M. Fajri Siregar, seorang peneliti SBI Universitas Indonesia, dalam acara diskusi publik "Membedah Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional" (2009) di Jakarta. Beliau mengemukakan kekhawatiran pada pemerintah karena pemerintah terkesan tidak mengontrol kurikulum dan materi pelajaran yang nasional tersebut juga mengadopsi kurikulum internasional. Bahkan, pengajarnya lebih banyak warga negara asing, termasuk penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Fajri mangatakan jika hal tersebut dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan akan muncul dampak panjang sosial budaya dan nasionalisme pada anak-anak Indonesia. Para siswa begitu minim pengetahuan sosial dan budaya Indonesia, nilai-nilai historis dan nasionalisme, serta sikap individualisme yang begitu tinggi karena kurikulum sekolah mempersiapkan mereka sebagai warga dunia atau sebagai komunitas internasional, sedangkan nilai-nilai ke-Indonesiaan tidak ditanamkan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Prof Suyanto PhD, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional. Beliau mengatakan bahwa di era globalisasi ini masyarakat diminta untuk tidak berpikiran sederhana dan berpandangan picik. Jika hal-hal yang bernuansa internasional selalu dipersoalkan, masyarakat akan terisolasi dan semakin jauh tertinggal oleh kemajuan global. Oleh karena itu, pemerintah sudah mengantisipasi dengan cara tidak semua mata pelajaran menggunakan pengantar bahasa asing. Disamping itu beliau juga mengungkapkan bahwa ketakutan masyarakat itu tidak masuk akal, hanya alasan bagi orang-orang yang malas berbahasa asing. Beliau mempercayai sebuah teori yang mengatakan bahwa setiap ada aksi selalu dilawan dengan reaksi. Bahwa semakin gencar budaya global menerpa, sebenarnya secara otomatis budaya lokal juga akan merespon dengan gencar pula karena masyarakat tidak ingin masyarakat tidak perlu terlalu khawatir jika SBI akan melunturkan kebanggaan akan budaya lokal karena justu akan semakin memperkokoh.
Hal ini diperkuat Hayden (2000) yang mengatakan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan oleh sekolah semacam SBI kepada para siswanya adalah pemikiran yang universal, kepedulian dan empati, toleransi pada berbagai macam budaya, menghormati perilaku dan sudut pandang orang lain, pemikiran yang tebuka, pemikiran yang fleksibel, netralitas dan afiliasi yang
universal. Nugroho (2008) mengemukakan bahwa manusia-manusia yang
terbiasa hidup dan bekerja dalam keberagaman adalah manusia yang cakap untuk masuk dalam globalisasi, oleh karena, globalisasi adalah keberagaman dan suatu kesatuan.
Penelitian sebelumnya Coenders dan Scheepers (2003) menemukan pengaruh pendidikan terhadap nasionalisme dan eksklusifitas etnis. Subyek dalam penelitian ini terdiri dari berbagai kelompok, yaitu kelompok berdasarkan tingkat pendidikan, jabatan, usia, dan agama. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa pendidikan secara jelas berkaitan dengan chauvinisme dan eksklusifitas etnis seperti, orang dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung tidak berprasangka terhadap etnis di luar kelompok mereka daripada kelompok orang dengan tingkat pendidikan rendah. Pada dimensi patriotisme tidak begitu tampak perbedaan antar kelompok-kelompok pendidikan, hanya subyek dari kelompok pendidikan terendah saja yang secara signifikan lebih patriotis dibandingkan dengan kelompok pendidikan berpengaruh terhadap nasionalisme. Subyek dalam penelitian sebelumnya adalah kelompok orang dari berbagai tingkat pendidikan sedangkan peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan rasa nasionalisme pada tingkat pendidikan yang setara.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan juga bahwa karakteristik sekolah biasa berbeda dengan sekolah bertaraf internasional namun belum diketahui secara tepat, jenis sekolah mana yang lebih menunjang nasionalisme para siswa. Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah terdapat perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional. Selain itu peneliti juga ingin melihat apakah terdapat perbedaan kecenderungan nasionalisme antara siswa SB dan SBI dimana kecenderungan nasionalisme yang dimaksud dalam penelitian ini adalah chauvinisme atau patriotisme. Kecenderungan nasionalisme pada generasi muda sekarang ini menarik untuk diketahui karena menurut Hamdi (2011) sikap chauvinisme dapat berujung pada diskriminasi. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apakah nasionalisme generasi muda sekarang ini termasuk nasionalisme yang sehat atau tidak.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ada perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dengan siswa sekolah bertaraf internasional?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dengan siswa sekolah bertaraf internasional.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis : Memberi pengetahuan tentang perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dan sekolah bertaraf internasional serta memberi pengetahuan tentang perbedaan kecenderungan nasionalisme pada tiap jenis sekolah, yang nantinya dapat dijadikan informasi tambahan bagi penelitian serupa.
2. Praktis :
a. Bagi pihak sekolah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah agar lebih memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi nasionalisme para siswa.
b. Bagi orangtua Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada orang tua untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih sekolah bagi anak. c. Bagi siswa Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi bagi para siswa mengenai perbedaan nasionalisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf internasional.
BAB II LANDASAN TEORI A. Nasionalisme
1. Pengertian Nasionalisme
Awalnya seorang tokoh di tahun 1862 yang berasal dari Prancis, Ernest Renan, mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham sekelompok orang yang mempunyai keinginan bersama untuk dan mempertahankan persatuan. Di Indonesia nasionalisme dipertegas oleh Pembukaan UUD 1945 sebagai nasionalisme pancasila yaitu religious monoteistis, humanistis, berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Nasionalisme dan patriotisme saling kait mengkait dan merupakan dwi tunggal. Keduanya disumberi oleh rasa cinta, hanya arahnya berbeda.
Apabila cinta nasionalisme lebih terarah kepada sesama bangsa maka patiotisme lebih terarah kepada cinta tanah air dan keduanya berisikan solidaritas atau setia kawan (Abdulgani, 1987
Pada tahun 2003 Anthony Smith (Miftahuddin, 2009) memberikan pandangan yang lain tentang nasionalisme. Smith memberikan definisi nasionalisme sebagai suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu ‘bangsa’ yang aktual atau ‘bangsa’ yang potensial untuk seluruh rakyat.
Di kalangan ilmuwan sosial Ernest Gellner (Miftahuddin, 2009) yang berkebangsaan Perancis dikenal sebagai modernis. Gellner menjelaskan bahwa konteks nasionalisme dapat muncul dalam konteks industrialisme karena hal tersebut merupakan ciri-ciri dan tuntutan masyarakat modern dan industrialis itu sendiri, di mana di dalamnya menuntut adanya egalitarianisme dan mobilitas individu di dalam pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dan politiknya. Tuntutan-tuntutan ini memang cocok dengan gagasan yang diusung nasionalisme, yang hendak menggeser tatanan budaya lama seperti adanya status budaya atau kelas, yang selama ini membelenggu masyarakat untuk bergerak bebas (sesuatu yang selama ini, menurut Gellner merupakan atribut masyarakat pra- modern). Jadi nasionalisme, menurut Gellner, adalah ideologi politik dan kebudayaan modernitas.
Masyarakat industri modern mengandaikan adanya kemampuan individu untuk melakukan mobilitas tinggi lintas batas apa pun, termasuk batas-batas status dan kelas. Dalam struktur masyarakat lama (pra-modern dan pra-industri), kebebasan semacam ini tidak dimungkinkan, karena adanya batas-batas yang tak mungkin dilewati, seperti jaring-jaring budaya (seperti kelas, kasta, adat istiadat, status dan lain-lain). Modernisasi menghasilkan jenis masyarakat industri baru, menuntut tenaga yang mobil, terpelajar dan berjumlah banyak, mampu terlibat dalam kerja sistematik dan komunikasi yang bebas konteks. Dalam konteks seperti ini masyarakat egaliter. Di sinilah maka nasionalisme, menurut Gellner, merupakan suatu keharusan bagi masyarakat modern. Sementara dalam masyarakat sebelumnya yang agraris hanya ada sedikit orang yang terpelajar dan orang-orang masih disatukan oleh struktur peran dan institusi yang seringkali didasarkan pada kekeluargaan, di masyarakat industri modern ‘budaya telah menggantikan struktur’. Artinya, bahasa dan budaya menjadi perekat baru bagi masyarakat yang telah terpecah-pecah dan identitas mereka yang baru dan bisa diterima hanyalah kewarganegaraan yang didasarkan pada pendidikan dan budaya. Karena itu, modernisasi telah mengikis tradisi dan masyarakat tradisional, dan menjadikan bahasa dan budaya sebagai basis tunggal untuk identitas.
Terkait erat dengan teori nasionalisme, yang penting juga untuk dikemukakan di sini adalah konsep mengenai identitas. Di dalamnya buku
Nation and Identity (Miftahuddin, 2009) Poole menyatakan bahwa, kita
memiliki identitas karena kita memang mengidentifikasikan diri kita dengan gambaran atau representasi yang memang disediakan untuk kita gunakan. Jadi konsep identitas juga berkaitan dengan sikap nasionalisme tiap individu, dimana sikap seseorang yang merasa berkebangsaan Indonesia akan merepresentasikan budaya bangsanya melalui perilakunya.
Dengan melihat batasan dari bermacam-macam ahli tersebut, terlihat bahwa nasionalisme adalah perasaan cinta terhadap tanah air yang disatukan oleh nasib sepenanggungan karena adanya kesamaan sejarah dan bangsa dari berbagai bentuk tantangan baik dari dalam maupun luar negeri. Kondisi ini menyebabkan tiap individu harus melakukan harmonisasi perbedaan budaya dan agama, untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa.
2. Dimensi Nasionalisme
Menurut Marcel Coenders & Peer Scheepers (2003) nasionalisme memiliki dua dimensi yaitu Chauvinisme dan Patriotisme:
a. Chauvinisme
Chauvinisme dapat digambarkan sebagai pandangan bahwa suatu kelompok etnisnya sendiri dan suatu negaranya adalah unik dan superior. Hal ini dilakukan dengan membandingkan secara rendah etnis maupun negara lain yang dikombinasikan dengan memandang fanatik buta dan tidak kritis pada kelompok dan negaranya sendiri. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Adorno et al (dalam Coenders, 2003), yang mengatakan bahwa kombinasi dari perasaan superior dan fanatik buta pada suatu negara atau kelompok dapat disebut “Pseudopatriotism” (berbanding terbalik dengan “patriotisme murni”), yang dapat didefinisikan sebagai fanatik buta terhadap nilai- nilai budaya nasional tertentu, konformitas yang tidak kritis pada suatu kelompok dan adanya penolakan terhadap negara-negara lain dan
Dewasa ini, Staub dan Schatz dan Lavine (1999) menyarankan perbedaan yang lebih halus antara nasionalisme, fanatik patriotisme dan konstruktif patriotisme. Nasionalisme didefinisikan sebagai perasaan superioritas nasional dan mendukung dominasi nasional.
Fanatik patriotisme didefinisikan sebagai perilaku yang kaku dan tidak fleksibel kepada suatu negara yang ditandai dengan tidak meragukan evaluasi positif, setia pada negara dan intoleransi dalam kritik. Argumen yang sama juga dikemukakan oleh Kosterman dan Feshbach (dalam Mumendey, 2001), nasionalisme dapat menjadi kerugian suatu kelompok karena mencakup pandangan bahwa suatu negara lebih unggul daripada negara lain dan karenanya harus dominan. Mencerminkan karakter Janus, Staub dan Schatz, mereka mendefinisikan fanatik patriotisme sebagai suatu perilaku yang mendukung setiap hal yang dilakukan kelompoknya baik itu benar maupun salah.
Jadi, chauvinisme dalam penelitian ini adalah pandangan bahwa suatu kelompok etnisnya sendiri dan suatu negaranya adalah unik dan superior. Hal ini dilakukan dengan membandingkan secara rendah etnis maupun negara lain yang dikombinasikan dengan perilaku konformitas yang tidak kritis pada negaranya sendiri.
Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa aspek dari chauvinisme adalah :
1. Superior Aspek ini ditunjukkan dengan adanya pandangan bahwa negaranya adalah unik dan superior, sehingga seseorang cenderung menganggap rendah negara lain. Perasaan superior ini dapat menimbulkan penolakan terhadap negara-negara lain dan menganggap negara lain di luar kelompok.
2. Fanatik Aspek ini ditunjukkan dengan adanya perasaan cinta yang berlebihan pada suatu negara sehingga menciptakan konformitas yang tidak kritis pada suatu kelompok. Sikap fanatik ini dapat juga diartikan sebagai suatu perilaku yang mendukung setiap hal yang dilakukan kelompoknya baik itu benar maupun salah.
b. Patriotisme
Menurut Marcel Coenders & Peer Scheepers (2003) Patriotisme adalah perasaan cinta, bangga pada suatu masyarakat dan negara yang berdasar pada pemahaman kritis akan situasi negaranya. Sejalan dengan hal tersebut, Staub dan Schatz dan Lavine (1999), mendefinisikan konstruktif patriotisme sebagai perilaku mendukung suatu negara yang ditandai dengan mempertanyakan dan mengkritik praktek suatu kelompok saat ini yang dimaksudkan untuk menghasilkan suatu perubahan yang positif. Hal tersebut juga sesuai mengatakan konstruktif patriotisme itu merupakan kesadaran kritis akan hal yang dilakukan kelompoknya dan kesetiaan terhadap kelompoknya.
Kosterman dan Feshbach (dalam Mumendey, 2001) memahami patriotisme sebagai aspek dasar yang berharga karena hal tersebut mewakili perasaan keterikatan seseorang pada negara. Oleh karena itu patriotisme dalam penelitian ini didefinisikan sebagai perasaan cinta, bangga pada suatu masyarakat dan negara yang berdasar pada pemahaman kritis akan situasi negaranya
Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa aspek dari patriotisme adalah :
1. Perasaan bangga dan kepedulian terhadap kultur dan masyarakat Aspek ini ditunjukkan dengan adanya perasaan cinta, bangga pada suatu masyarakat dan negara yang berdasar pada pemahaman kritis. Selain itu, aspek ini juga meliputi perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap masyarakat sekitar dan kepeduliam terhadap kebudayaan.
2. Sikap kritis membangun Aspek ini ditunjukkan oleh perilaku mendukung suatu negara yang ditandai dengan mempertanyakan dan mengkritik praktek suatu kelompok saat ini. Kritik tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan suatu perubahan yang positif.
B. Pendidikan di Indonesia
Pendidikan Indonesia dewasa ini menghadapi berbagai tantangan dan persoalan, diantaranya (Sa’ud, 2008):
1. Bertambahnya jumlah penduduk yang sangat cepat dan sekaligus bertambahnya keinginan masyarakat untuk mendapat pendidikan, yang secara kumulatif menuntut tersedianya sarana pendidikan yang memadai
2. Berkembangnya ilmu pengetahuan yang modern menghendaki dasar-dasar pendidikan yang kokoh dan penguasaan kemampuan terus-menerus, dan dengan demikian menuntut pendidikan yang lebih lama sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup (life long education).
3. Berkembangnya teknologi yang mempermudah manusia dalam menguasai dan memanfaatkan alam dan lingkungannya, tetapi yang sering kali ditangani sebagai suatu ancaman terhadap kelestarian peranan manusiawi.
Persoalan-persoalan tersebut membuat masyarakat membutuhkan sarana pendidikan yang memadai. Di Indonesia sendiri, menurut Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 terdapat tiga klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara lain disebut Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Sekolah dengan Kategori Mandiri (SKM), dan kelompok Sekolah Biasa (SB).