Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

STUDI DESKRIPTIF SINDROM SARANG HAMPA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  

Program Studi Psikologi

  Disusun oleh : Vonny Permanasari Simon

  NIM : 049114116

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

HALAMAN PERSEMBAHAN

DAN

MOTTO

  Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.

  (Filipi 1 : 22)

  

Karya ini kupersembahkan untuk :

Rekan seperjalananku, Yesus Kristus

Bapa, Mama dan Abangku tersayang

Teman-temanku tercinta

  

Almamaterku, Fakultas Psikologi USD

serta

Setiap orangtua yang merindukan anak-anaknya

karena terpisah oleh masa sarang hampa

  “Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup. Kehilangan terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup.“

  Norman Cousins

  

ABSTRAK

Studi Deskriptif Sindrom Sarang Hampa

  Vonny Permanasari Simon Fakultas Psikologi

  Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah sebagai orang tua. Sindrom sarang hampa adalah suatu respon negatif yang berlebihan dan maladaptif dari individu dewasa tengah sebagai orang tua ketika menghadapi periode kepergian anak terakhir dari rumah dimana terungkap melalui indikator emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri.

  Penelitian dilakukan pada 107 orang tua yang memiliki usia dewasa tengah (41-60 tahun) dan memiliki anak dewasa yang meninggalkan rumah dengan alasan menikah atau belajar atau bekerja. Alat yang digunakan adalah

  xx’ =

  Skala Sindrom sarang hampa (n = 24; Alpha r 0.869). Hasil penelitian menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, rata-rata subyek penelitian cenderung mengalami sindrom sarang hampa yang tergolong rendah. Hal ini terlihat dari hasil mean teoritik > mean empirik yaitu 60 > 42.50 (p = 0.000 < 0.05). Kedua, tidak ada perbedaan kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah, baik pria maupun wanita (t = 0.741, p = 0.461> 0.05).

  Kata kunci : sindrom sarang hampa

  

ABSTRACT

The Descriptive Study of Empty Nest Syndrome

  Vonny Permanasari Simon Faculty of Psychology

  Sanata Dharma University Yogyakarta The study was conducted with the goal to gain general description about the tendency level of empty nest syndrome which is experienced by middle adult people as parents. Empty nest syndrome is excessively negative and maladaptive response from middle adult people as parents when facing leaving period of last child from home, which is revealed from excessively negative emotions and maladjustment indicators.

  This study was done to 107 parents who are in middle age category (41-60 years old) and have adult children who stay out of the home because of married or study or do some works. The instrument used was Empty nest syndrome Scale (Skala Sindrom sarang hampa) (n = 24; Alpha r xx’ = 0.869). The study resulted two conclusions. First, generally, subjects of the study tend to experience low empty nest syndrome. It was seen from the result of theoretic mean > empiric mean that is 60 > 42.50 (p = 0.000 < 0.05). Second, there was no difference in the tendency of empty nest syndrome for middle adult people, nor men neither women (t = 0.741, p = 0.461> 0.05).

  Keyword : empty nest syndrome

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Murah Hati yang memberikan anugerah-Nya bagi penulis untuk berdinamika dengan skripsi ini. Skripsi berupa penelitian ini merupakan upaya penulis untuk mengetahui bagaimana gambaran kecenderungan orang tua yang bereaksi negatif berlebihan dan maladaptif ketika anak-anaknya pergi meninggalkan rumah untuk bekerja, belajar atau menikah.

  

Moment yang sama ketika dialami oleh orang tua penulis karena penulis beserta

  kakak harus pergi meninggalkan rumah untuk belajar di propinsi lain. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini tidak mungkin dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

  1. Yesus Kristus yang telah setia dan selalu ada sebagai sumber kekuatan bagi hidup penulis (Segala pujian dan hormat hanya untuk-Mu!).

  2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan fasilitas-fasilitas dan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi dan kegiatan akademik.

  3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan tulus memberikan arahan, masukan dan waktu untuk memperbaiki skripsi ini, serta dorongan untuk menyelesaikannya.

  4. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan kritik kepada penulis.

  5. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan kritik kepada penulis.

  6. Mbak Etta selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan semangat, waktu, pikiran dan tenaga kala penulis ingin berbagi dan berdiskusi tentang penyelesaian skripsi ini.

  7. Bu Titik, Pak Didik, Pak Heri dan para dosen di Fakultas Psikologi USD yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan pengetahuan selama penulis menempuh studi di Fakultas ini.

  8. Mas Doni, Pak Gie, Mas Gandung, Mas Muji dan Mbak Nanik yang membantu kegiatan akademik penulis dengan senyum dan keramahan.

  9. Para orang tua yang menjadi subyek penelitian dan para sumber informasi keberadaan para calon subyek penelitian dimana tanpa ketulusan bantuan dari Bapak/ Ibu, penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini.

  10. Bapak Corpanus Simon Benung dan Ibu Rennyati yang selalu mendampingi dan menjadi kepanjangan cinta Tuhan yang tampak dalam hidup penulis.

  11. Wahyu Yonan Permana Simon yang selalu memberi semangat, kehangatan dan sayang selama hidup penulis.

  12. Keluarga Adi Koesno Yonan (terimakasih untuk doa dan kebersamaan yang tulus), Keluarga Suharsono Adinoto beserta Tante Tuti yang memberiku semangat, keluarga besarku di Yogyakarta (terimakasih untuk hampir selalu bertanya “Kapan lulus, On ?”), Keluarga Agung yang inspirasiku untuk tetap sadar, Bu!”), Keluarga Yadi untuk pinjaman buku dan bantuan dalam mencarikan subyek penelitian, Keluarga Purnomo untuk ketulusan dan waktunya dalam membantu penulis mencari subyek hingga berlimpah.

  13. Teman-teman wanitaku yang manis sekaligus kuat : Emma, Phi, Ndoz (Tanpa kalian kadang aku tak tahu siapa aku!), Ika, Uci, Ita, Kadex (Sungguh anugerah termanis bisa berdinamika dengan kalian!), Berta dan Kak Selvi (Terimakasih atas bantuannya menerjemahkan jurnal dan abstrak), Nana, Evi, Dani, Mbak Monik, Mbak Devi, Mbak Tiwu dan Andin (Kalian benar-benar membuktikan bahwa fakultas kita adalah keluarga.).

  14. Kawan-kawan lelakiku yang bersemangat : Bondan (Terimakasih untuk sayangmu yang membingungkanku.), Dicto (That’s what friend are for!), Alm. Mas Antok (Terimakasih atas seluruh nuansamu!), Mas Adi (terimakasih Masnya! Kan ku ingat kalau mereka juga makan nasi jadi tak perlu gentar!), Kak Jo (terimakasih untuk saran judul seminar yang kemudian menjadi judul penelitian ini. Sapere Aude!), Ndus (Bang!), Rezwie (“Ke Jakarta aku kan kembali !”).

  15. Anak-anak Sekolah Minggu, Pra Remaja dan Korempa GKI Prambanan.

  Tawa, tangis dan kebersamaan dengan kalian semua membuat penulis menjadi pribadi yang semakin jauh lebih baik

  .

  16. Leny dan Bisob (Kuda-kuda besiku yang tak berbudi namun berguna!).

  DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………............... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………….………. ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………….……… iii HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO………………….…. ….. iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………….……… v ABSTRAK……………………………………………………….………. vi

  

ABSTRACT………………………………………………….……............. vii

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... viii KATA PENGANTAR…………………………………………..….... ….. ix DAFTAR ISI…………………………………………………….….......... xiii DAFTAR TABEL……………………………………………….….......... xvi DAFTAR LAMPIRAN………………………………………….…....….. xvii

  BAB I. PENDAHULUAN……………………………………….......... 1 A. Latar Belakang Masalah…………………………………..... 1 B. Rumusan Masalah…………………………………….......... 5 C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 5 D. Manfaat Penelitian………………………………………….. 5 BAB II. LANDASAN TEORI…………………………………….......... 6

  1. Saat Terjadinya Sindrom Sarang Hampa………............. 6

  2. Pengertian Sindrom Sarang Hampa………….….……… 6

  3. Indikator Sindrom Sarang Hampa………………………. 8

  4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sindrom Sarang Hampa Pada Dewasa Tengah…………. 10

  5. Dampak Sindrom Sarang Hampa Pada Perkawinan……………………………………….. 23

  6. Dinamika Munculnya Sindrom Sarang Hampa………… 24

  B. Pertanyaan Penelitian………………………………............. 27 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……………………………….

  28 A. Jenis Penelitian……………………………………………..

  28 B. Definisi Operasional………………………………………..

  29 C. Subyek Penelitian…………………………………………..

  29 D. Metode Pengumpulan Data………………………………… 30 E. Pertanggungjawaban Mutu…………………………............

  33

  1. Validitas………………………………………………… 33

  2. Seleksi Item…………………………………….............. 34 3. Reliabilitas.……………………………………………..

  36 F. Metode Analisis Data………………………………………. 37

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………….. 38 A. Persiapan Penelitian…………………………………............ 38 B. Pelaksanaan Penelitian……………………………………… 38

  1. Deskripsi Data Penelitian………………………............. 40

  2. Analisis Data Tambahan………………………............... 42

  D. Pembahasan…………………………………………………. 44

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………….………… 48 A. Kesimpulan………………………………………………….. 48 B. Saran……………………………………………………….... 48 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 50 LAMPIRAN………………………………………………………………. 54

  DAFTAR TABEL

  Halaman TABEL 1. Blue-print dan Susunan Item Skala

  Sindrom Sarang Hampa……………………………………. 32 TABEL 2. Pemberian Skor Skala………………………………………

  33 TABEL 3. Sebaran Nomer Item yang Sahih dan Gugur Setelah Uji coba…………………………………………..

  35 TABEL 4. Sebaran Item Skala Sindrom Sarang Hampa untuk Penelitian……………………………………………

  36 TABEL 5. Deskripsi Subyek…………………………………………..

  39 TABEL 6. Data Statistik Deskriptif……………………………………

  41 TABEL 7. Deskripsi Hasil Uji t Mean Teoritik dan Empirik……........

  41 TABEL 8. Deskripsi Hasil Uji t Jenis Kelamin……………………….

  44

DAFTAR LAMPIRAN

  Halaman

  A. Tabulasi Data Item a. Uji Coba……………………………………………………….

  54 b. Penelitian Sesungguhnya (Try-out terpakai )………………….

  55 B. Uji Kesahihan Butir Item………………………………………….

  56 Uji Reliabilitas……………………………………………………..

  58 C. Deskripsi Subyek……………………………………......................

  59 Data Penelitian……………………………………………………..

  60 D. Data (Tambahan) Uji t……………………………………………..

  61 E. Instrumen Penelitian

  a. Skala Uji Coba…………………………………………………

  62 b. Skala Penelitian………………………………………………..

  66 F. Surat Ijin Penelitian………………………………………………..

  69

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Orang tua yang anaknya telah berusia 18 tahun atau memasuki masa

  awal dewasa seringkali menyadari bahwa sebentar lagi anak tersebut akan meninggalkan rumah. Hiedemann, dkk. (1998) mengatakan bahwa anak yang memasuki masa dewasa terkadang dianggap sudah cukup berpengalaman untuk meninggalkan rumah dan untuk berkuliah atau bekerja. Hal itu membuat orang tua tidak memiliki anak-anak lagi di rumah sehingga menandai awal periode sarang hampanya.

  Sarang hampa merupakan fase dalam siklus kehidupan keluarga yang biasa atau normal dialami oleh orang tua pada masa tengah baya (Raup, dkk., 1989). Dalam fase ini, anak-anak telah dewasa dan tidak lagi tinggal di rumah (Harkins dalam Dennerstein, dkk., 2002). Sebagian besar ahli (sosiolog dan konselor) menyebut sarang hampa sebagai masa postparental dimana orang tua ditinggalkan oleh anak-anaknya setelah bertahun-tahun mendampingi mereka dalam masa pengasuhan (Raup, dkk., 1989; Warner & Willis, 1991). Respon terhadap masa ini berbeda-beda untuk masing-masing orang tua, sehingga pengalaman sarang hampa dapat menjadi pengalaman yang diharapkan dan menyenangkan, namun dapat juga menciptakan pengalaman yang menyakitkan. Orang tua yang merespon masa ini sebagai

  Raup, dkk. (1989) menerangkan bahwa orang tua yang mengalami sindrom sarang hampa distimulasi oleh reaksi-reaksi tentang kehilangan.

  Kehilangan tersebut dapat dikaitkan dengan peran wanita dan pria sebagai orang tua. Keterlibatan wanita dalam peran pengasuhan selama bertahun- tahun dapat menjadikan peran tersebut sebagai fokus dalam kehidupannya. Peran sebagai pencari nafkah dalam keluarga malah membuat pria hanya memiliki sedikit waktu untuk dihabiskan bersama dengan anak ketika masih tinggal bersama di rumah. Peran-peran tersebut dapat memicu sindrom sarang hampa karena orang tua mengalami kehilangan kesempatan untuk bersama dengan anak.

  Dalam sindrom sarang hampa ditemukan orang tua yang mengalami emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri (Raup, dkk., 1989). Emosi-emosi negatif yang berlebihan terlihat pada kesedihan yang mendalam, kecemasan yang tak beralasan hingga depresi.

  Kesulitan dalam menyesuaikan diri tampak ketika orang tua gagal mengalihkan peran pengasuhannya ke peran-peran baru, tetap memandang anaknya masih belum berpengalaman jika tanpa dirinya, sampai kurang bergairah melakukan pekerjaan. Hal-hal tersebut dapat terlihat dalam hasil wawancara Deutscher (dalam Warner & Willis, 1991) dengan seorang ibu rumah tangga yang mengidentifikasikan dirinya pada anak. Ibu tersebut berkata:

  Kedua anak perempuanku berusia 19 tahun ketika mereka menikah. Aku tidak ingin mereka tidak menikah, tapi aku sangat merindukan mereka.

  bermain kartu. Aku tidak memiliki pekerjaan tetapi aku tidak bisa mengambil beberapa pekerjaan.

  Hasil wawancara yang diungkapkan Scher (1992) menunjukkan hal serupa seperti di atas dimana seorang ayah berkata:

  Aku berpikir telah melewati kehampaan dalam rumah kami dengan baik, namun aku tak henti-hentinya bersarang dan membeli sejumlah barang antik serta perkakas untuk rumahku. Aku berusaha untuk memenuhi sarang. Hal tsb tidak berhasil dan mahal. Aku tidak ingin anak perempuanku kembali, karena dia berada dimana dia harus berada. Apa yang aku inginkan adalah seluruh tahun-tahun indah dari pertumbuhannya dan kebersamaan kami.

  Sindrom sarang hampa juga dapat memberikan pengaruh dalam hubungan perkawinan. Menurut Santrock (1995) ketika terjadi sindrom sarang hampa, kepuasan perkawinan akan mengalami penurunan karena orang tua memperoleh kepuasan yang sesungguhnya dari anak-anak. Hal ini dikarenakan orang tua terbiasa dan lebih dituntut untuk terlibat dalam pengasuhan (Warner & Willis, 1991), sehingga orang tua merasa tidak mendapatkan kepuasan pada pasangannya ketika masa pengasuhan beralih ke masa sarang hampa. Oleh karena itulah, sindrom sarang hampa terkadang dapat menimbulkan perceraian (Hoyer, dkk., 2003; Rybash, dkk., 1991; Hiedemann, dkk., 1998).

  Beberapa sumber penelitian yang digunakan peneliti cenderung mengacu pada kebudayaan Barat. Individu pada masyarakat Barat mengkonstruksikan dirinya sebagai individu yang mandiri. Sebaliknya, individu pada masyarakat Timur (seperti subyek yang akan diteliti) merasa terhubungkan dengan individu lain dan menjadi bagian dari konteks sosial, bergantung (Markus dan Kiyatama dalam Wenzler-Cremer, H., 2004). Hofstede (dalam Sarwono, 2006) juga mengungkapkan hal serupa dimana masyarakat Timur cenderung lebih kolektivis daripada masyarakat Barat.

  Hal ini tercermin pada perilaku masyarakat Timur yang lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungannya (keluarga, marga, organisasi, pandangan publik).

  Penjelasan perbedaan kebudayaan tersebut, bila dikaitkan dengan sindrom sarang hampa, maka dapat memunculkan kemungkinan perbedaan pengalaman. Sindrom sarang hampa yang memang biasa terjadi dalam masyarakat Barat (Sexton dalam Sodders, 2001) dapat disebabkan oleh ketidaklekatan individu secara emosi dalam kelompok masyarakatnya. Adanya karakteristik budaya kemandirian atau keterpisahan pada masyarakat Barat dapat membuat orang tua yang mengalami masa sarang hampa merasa sendiri dan tidak dipedulikan oleh masyarakat sekitar, sehingga memicu timbul dan meningkatnya sindrom sarang hampa.

  Pada masyarakat Timur, adanya dukungan sosial dan saling ketergantungan antar individu kemungkinan dapat membuat orang tua mengalami hal yang berbeda seperti yang kebanyakkan terjadi dalam masyarakat Barat. Berdasarkan hal tersebut, peneliti hendak meneliti mengenai kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami orang tua dimana merupakan bagian dari masyarakat Timur.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Bagaimana tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah sebagai orang tua ?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah sebagai orang tua.

  D. MANFAAT PENELITIAN

  1. Manfaat Teoritis Mengembangkan ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam bidang perkembangan dengan bentuk memberikan sumbangan kajian tentang sindrom sarang hampa.

  2. Manfaat Praktis Penelitian diharapkan dapat berguna bagi masyarakat supaya segera mewaspadai, mengantisipasi dan menanggulangi sindrom sarang hampa.

BAB II LANDASAN TEORI A. SINDROM SARANG HAMPA

  1. Saat Terjadinya Sindrom Sarang Hampa

  Menurut Santrock (1995), keluarga pada kehidupan usia tengah baya berada pada fase kelima dari siklus kehidupan keluarga. Fase yang menghadirkan saat-saat seperti melepaskan anak-anak, memainkan peran penting dalam menghubungkan antargenerasi (menjembatani generasi- generasi) dan menyesuaikan diri dengan perkembangan perubahan hidup pada usia tengah baya. Suatu permulaan dari masa dewasa tengah ialah saat anak terakhir meninggalkan rumah. Hal tersebut menunjuk pada saat berakhirnya peran pengasuhan dari orang tua (O’Connor, 2000). Fase dari siklus kehidupan dewasa yang terjadi ketika anak-anak dewasa dan tidak lagi tinggal di rumah inilah yang biasanya diistilahkan dengan sarang hampa (Raup, dkk., 1989). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sindrom sarang hampa terjadi pada usia dewasa tengah.

  2. Pengertian Sindrom Sarang Hampa

  Dennerstein, dkk. (2002) & Raup, dkk. (1989) mengemukakan bahwa kebanyakan orang tua mengharapkan suatu peristiwa dimana dinamakan sarang hampa ini diartikan sebagai fase dari siklus kehidupan dewasa dimana anak-anak telah dewasa dan tidak lagi tinggal di rumah.

  Sarang hampa memiliki bervariasi definisi, tetapi umumnya (lebih netral) disebut dengan fase post-parenthood (periode postparental).

  Raup, dkk. (1989) mengungkapkan istilah sarang hampa sebagai kejadian transisional yang pendek atau keadaan siklus kehidupan yang dapat disikapi sebagai tantangan perkembangan normatif. Periode

  

postparental sangat dapat dialami orang tua selama rentang 20 tahun

  ketiga (umur 41-60 tahun) atau dimulai ketika anak terakhir meninggalkan rumah untuk alasan apapun. Alasan-alasan yang biasanya muncul adalah pergi belajar, pindah ke tempat tinggal yang terpisah atau menikah (Satiadarma, 2006). Scher (1992) menambahkan alasan anak meninggalkan rumah yaitu untuk mengikuti tuntutan kerja dan hidup mandiri.

  Sarang hampa menciptakan pilihan respon bagi yang menjalankannya. Selain terkadang diinginkan, namun ketika periode tersebut tercapai, perasaan kosong (Santrock, 1995) atau kehampaan dan kehilangan dapat muncul dan menyusahkan. Sarang hampa yang tidak diharapkan atau dipersiapkan atau dihadapi dengan suatu penyesuaian mampu memunculkan stres pada orang tua. Hal-hal tersebut menciptakan imej bagi sarang hampa sebagai suatu kemalangan (Raup, dkk., 1989) dimana kondisi ini menunjuk pada sindrom sarang hampa.

3. Indikator Sindrom Sarang Hampa

  Tingkatan dari sindrom dapat berkisar dari kesedihan ringan sampai depresi yang drastis (Garris, 2004). Cushman (2005); Webber & Delvin (2005) pun menjelaskan dinamika reaksi-reaksi orang tua ketika anak-anak meninggalkan rumah. Hal yang wajar dialami orang tua, seperti :

  a. Merasakan kesedihan;

  b. Menangis;

  c. Menghabiskan waktu di dalam kamar tidur anak yang meninggalkannya untuk berusaha merasakan kedekatannya.

  Hal tersebut kemudian akan memicu munculnya sindrom sarang hampa jika lebih dari seminggu masih terjadi reaksi : a. Merasa bahwa kebergunaan hidup telah usai, atau

  b. Menangis secara berlebihan, atau c. Merasa sangat sedih dimana tidak mau bergaul atau bekerja.

  Raup, dkk. (1989) pun menyebutkan bahwa dalam sindrom sarang hampa didapatkan orang tua yang mengalami emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri (the plethora of

  negative emotions and adjustment difficulties). Berdasarkan hal tersebut,

  peneliti merumuskan indikator yang terkandung dalam sindrom sarang hampa, yaitu : a. Emosi-emosi negatif yang berlebihan

  Pada emosi-emosi negatif yang berlebihan, tercakup di dalamnya adalah :

  • kesedihan dan dukacita mendalam,
  • perasaan bersalah,
  • penyesalan,
  • kecemasan,
  • perasaan-perasaan tersebut jika berlangsung secara intens maka akan mampu memunculkan stres dan depresi (Fingerman dalam Rini, 2004; Webber & Delvin, 2005).

  b. Kesulitan menyesuaikan diri Pada postparental maladjustment yang menjadi masalah bukanlah sarang hampa, namun orang tualah yang hampa (Oliver dalam Raup, dkk., 1989). Kehampaan tersebut berdasar pada rasa ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan diri orang tua (Satiadarma, 2006), sehingga terwujud melalui kesulitan menyesuaikan diri, seperti :

  • kegagalan untuk mengalihkan diri dari peran pengasuhan ke peran-peran baru dalam kehidupan (dapat berupa peran kerja maupun keterlibatannya dalam lingkungan),
  • keengganan dan atau penolakan untuk memandang anak sebagai pribadi yang memiliki kemampuan potensial dalam menjalani kemandiriannya,
kehilangan makna dan gairah hidup yang mencakup kehilangan

  • mendalam dari tujuan dan identitas (Fingerman dalam Rini, 2004; Cushman, 2005).

  

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sindrom Sarang Hampa Pada

Dewasa Tengah

  Faktor-faktor yang mempengaruhi sindrom sarang hampa pada dewasa tengah adalah sebagai berikut : a. Jenis kelamin

  Jenis kelamin memberi pengaruh terhadap munculnya sindrom sarang hampa.

  1) Pada pria disebabkan oleh :

  a) Tradisi peran pria sebagai pencari nafkah keluarga Bagi ayah yang bekerja, tradisi peran membuatnya tetap di luar kehidupan anak-anaknya dan menjadi orang tua yang membantu dari belakang (Scher, 1992). Hal ini tampak ketika ayah dituntut berada di luar rumah untuk bekerja dan pulang ke rumah hanya untuk istirahat. Peran tradisional serta adanya kepentingan pemenuhan kepuasan untuk dorongan kompetitif dari dalam diri pria membuat sebagian besar pria mendefinisikan diri dalam pekerjaan dan lebih berorientasi pada karir. Peran ini menimbulkan rasa bersalah dan bersama dengan anak sebelum anak meninggalkan rumah (Rubin dalam Papalia & Olds, 1986; Warner & Willis, 1991; Clay, 2003).

  b) Tidak adanya persiapan Pria cenderung tidak memikirkan persiapan perubahan, baik aktivitas maupun mental atau emosi untuk menghadapi atau mengisi hari-hari ketika anak-anak meninggalkan rumah. Hal tersebut dikarenakan pria kurang memandang kepergian anak sebagai transisi yang besar (DeVries dalam Clay, 2003).

  c) Peran gender Peran gender pria yang dimaksud yakni seperti sedikitnya emosi, ketidakhadiran kepercayaan yang mendalam dan kebutuhan untuk tampil kuat serta tidak mudah luluh. Pria dituntut untuk sangat mengontrol bagaimana dirinya harus bertindak agar tetap tampil kuat dan lega walaupun sebenarnya sangat sedih, depresi dan kehilangan pegangan hidup. Terkadang sebelum anak-anak meninggalkan rumah, pria telah mencoba untuk mempersiapkan diri bagi penderitaan kesendiriannya kelak. Pria juga merasa bahwa dirinya cukup mampu menerima kehampaan dalam rumahnya saat sarang hampa. Padahal usaha pria menahan sakit dan kekurangmampuannya untuk menerima bahwa dirinya ingin kembali mengalami masa- masa selama anak di rumah (Scher, 1992). 2) Pada wanita dikarenakan oleh :

  a) Sikap pada tradisi peran wanita dalam keluarga dan masyarakat (Borland dalam Raup, dkk., 1989) Peran wanita yang dimaksud adalah peran pengasuhan. Wanita yang mengalami sindrom sarang hampa biasanya memiliki sikap sangat tradisional terhadap peran ini. Hal tersebut tampak pada wanita yang mendefinisikan dan melibatkan dirinya dalam peran maternal (pengasuhan) serta hidup berfokus secara eksklusif pada anak-anaknya (Sodders, 2001; Bart dalam Rybash, dkk., 1991) ketika mencapai periode sarang hampa. Wanita yang demikian biasanya dalam kesehariannya berada di rumah (DeVries dalam Clay, 2003) dan mengorbankan kebutuhannya demi anak-anaknya.

  Sindrom sarang hampa yang dialami wanita dengan sikap seperti disebutkan di atas dapat semakin kuat dengan tidak tersedianya peran alternatif. Wanita ini biasanya tidak menyiapkan atau mengalihkan diri ke dalam peran baru sebagai pengganti peran pengasuhan. Munculnya isu-isu kehidupan lain yang dialami bersamaan waktu dengan sindrom ini. Di sisi lain, Schmidt, dkk. (2004) menambahkan bahwa depresi yang dapat terjadi pada transisi menopause (salah satu isu kehidupan usia dewasa tengah) kurang berhubungan dengan sindrom sarang hampa.

  Faktor lain yang dapat memperkuat sindrom sarang hampa bagi wanita yang memiliki sikap sangat tradisional pada peran wanita dan khususnya pada wanita yang menunda masa kelahiran anak sampai usia lanjut yaitu adanya perbedaan tantangan. Penundaan tersebut salah satunya disebabkan oleh kepentingan karir, sehingga saat periode ini terjadi tantangan yang berkaitan dengan periode sarang hampa telah mengalami perubahan.

  b) Persepsi diri Sindrom sarang hampa biasanya terjadi pada wanita yang menganggap dirinya memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak selama puluhan tahun (Rini, 2004). Hal ini berdampak pada bagaimana wanita memandang kemandirian dan kedewasaan anaknya pada periode sarang hampa (Dennerstein, dkk., 2002). Persepsi wanita pada anak dapat mengarah pada ketidakmampuan anak untuk hidup mandiri dan terpisah darinya. c) Tidak adanya persiapan Wanita memiliki kecenderungan untuk tergantung dengan orang lain dimana dalam hal ini adalah anak

  (Weissman & Klerman dalam Paludi, 2002). Masa sarang hampa terjadi setelah anak-anak tergantung beberapa tahun kepada orang tua (Troll dalam Kail & Wicks-Nelson, 1993). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum anak meninggalkan rumah, ibu dan anak mengalami adanya hubungan saling ketergantungan. Saat anak meninggalkan rumah, anak cenderung menjadi mandiri, namun ibu mengalami ketidaksiapan untuk menjadi mandiri.

  d) Peran kerja Raup, dkk. (1989) mengatakan bahwa wanita tengah baya yang identitasnya tidak terkait langsung dengan peran pengasuhan cenderung tidak mengalami sindrom sarang hampa. Wanita tersebut biasanya mengembangkan peran alternatif bersamaan waktu dengan menurunnya peran pengasuhan. Peran sebagai ibu tetap yang utama dan kehilangan peran tersebut akan memberi pengaruh pada penyesuaian terhadap periode posparental. Di sisi lain, pengaruh kebermaknaan nilai peran kerja sebagai alternatif untuk peran ibu menyumbang rasa keidentitasan dan harga diri yang mempengaruhi penyesuaian pada periode postparental.

  Wanita yang telah lebih dulu berpengalaman bekerja sebelum kelahiran anak atau yang melanjutkan untuk bekerja selama masa pengasuhan atau yang kembali bekerja setelah anak dewasa, lebih mudah menghadapi transisi sarang hampa. Baruch & Barnett (dalam Santrock 1995) pun menuturkan bahwa pekerjaan memainkan peranan penting dalam banyak kesehatan psikologis wanita. Hal ini tampak ketika wanita yang relatif telah bebas dari tanggungjawab peran pengasuhan memilih untuk bekerja. Wanita yang bekerja dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarga (faktor pendapatan), terhindar dari kebosanan dan kesepian serta mencapai ketertarikan pada minat yang baru.

  Kondisi di atas menyebabkan ibu yang bekerja kurang mengalami perasaan hampa ketika anak meninggalkan rumah (Cushman, 2005). Powell (dalam Raup, dkk., 1989) menegaskan bahwa wanita yang tidak bekerja sangat rentan pada sindrom sarang hampa. Kemudian bertahap adalah wanita yang bekerja paruh waktu dan yang memiliki kerentanan terendah pada sindrom sarang hampa adalah wanita yang bekerja full-time.

  Pencapaian pendidikan berpengaruh secara signifikan pada resiko bubarnya perkawinan. Lillard & Waite (dalam Hiedemann, dkk., 1998) mengutarakan hal serupa dimana wanita yang lulus kuliah (bergelar) dapat mengurangi resikonya terhadap bubarnya perkawinan. Wanita yang telah lulus kuliah juga memiliki prospek (harapan ke depan) pekerjaan yang lebih baik daripada mereka yang berpendidikan kurang setara.

  Hal tersebut dapat diartikan bahwa wanita yang telah lulus kuliah cenderung lebih mungkin memiliki pandangan yang luas akan pilihan kesempatan dalam hidupnya sehingga lebih mampu menghadapi permasalahan. Jika hal tersebut dikaitkan dengan individu yang mengalami sarang hampa, maka individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi (dalam hal ini telah lulus kuliah) cenderung mampu melewatinya dengan baik. Individu akan cenderung menerima dan menyesuaikan pola hidup yang berubah serta memilih untuk mengganti kehilangan yang dialaminya dengan hal-hal yang membangun. Santrock (1995) memberikan pilihan pada wanita yang mengalami masa sarang hampa seperti memilih kembali ke sekolah atau mengikuti program pelatihan untuk memperbaharui beberapa b. Status perkawinan Status perkawinan memberikan pengaruh saat mengalami sarang hampa. Raup, dkk. (1989) mengatakan bahwa pengalaman sarang hampa sebagai orang tua tunggal karena bercerai cukup berbeda dari seseorang yang tinggal dalam situasi berpasangan. Hal tersebut tampak ketika terjadi depresi yang cenderung akan memicu sindrom sarang hampa. Pasangan yang tetap bertahan dalam perkawinannya memiliki taraf depresi terendah daripada pasangan yang bercerai dimana menunjukkan taraf depresi tertinggi, terutama bagi wanita (Sodders, 2001; Ebersole dalam Craig, 1980). Hal ini juga dikemukakan oleh Robins, dkk. (dalam Hoyer, dkk., 2003) dimana individu yang menikah mengalami tingkat depresi yang lebih rendah daripada individu yang memiliki status perkawinan lain (bercerai, kumpul kebo, atau tidak pernah menikah).

  Peran pasangan selama masa dewasa tengah yang lebih mementingkan rasa aman, kesetiaan, dan daya tarik emosional antara yang satu dengan yang lain mampu menjadikan hubungan suami-istri ke arah persahabatan (Santrock, 1995). Masa sarang hampa membuat suami dan istri memiliki semakin banyak waktu untuk dihabiskan bersama dan kembali menjadi saling bergantung satu sama lain. Hal ini menjadikan periode postparental mendukung pembangunan kembali hubungan perkawinan (Raup dkk., 1989), sehingga kepuasan perkawinan secara bertahap meningkat (Rollins & Feldman dalam Kail & Wicks-Nelson, 1993).

  Di sisi lain, bagi individu dewasa tengah yang pasangannya meninggal atau diceraikan pasangannya biasanya memiliki masalah kesulitan dalam menyesuaikan diri, terutama bagi wanita (Hurlock, 1991). Wanita tersebut mengalami rasa kesepian yang mendalam, masalah seksual, ekonomi dan sosial. Kehidupan sosial individu dewasa tengah yang sama seperti kehidupan individu dewasa awal yakni berorientasi terhadap pasangan, membuat wanita yang menjanda semakin mengalami kesulitan dalam menjalani pola hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, datangnya masa sarang hampa terutama bagi janda atau orang tua tunggal akan dapat membuatnya semakin merasa sendiri dan mengalami kekacauan dalam pola hidupnya, sehingga dapat memicu timbulnya sindrom sarang hampa.

  c. Kebudayaan Peneliti menyadari perbedaan kebudayaan antara Barat dan

  Timur yang timbul dalam sebagian besar sumber wacana yang digunakan dan subyek penelitian. Sebagian besar sumber wacana yang dipakai peneliti adalah berdasar pada kebudayaan Barat, sedangkan subyek penelitian berada dalam kebudayaan Timur. Hal ini membuat keterlibatan teori kebudayaan diperlukan sebagai kerangka untuk memahami kecenderungan sindrom sarang hampa

  Geertz, H. (1961) menekankan bahwa keluarga dalam beberapa masyarakat adalah suatu jembatan antara individu dan kebudayaannya. Dalam hal ini, masyarakat Barat dan Timur memiliki kebudayaan yang berbeda (individualisme dan kolektivisme), sehingga mampu mempengaruhi kecenderungan nilai dan sikap yang berbeda pula bagi individu di keluarga dalam menghadapi kepergian anak dari rumah. Individualisme dan kolektivisme digunakan peneliti karena menjadi salah satu struktur atau kerangka dasar yang bersifat universal dan berfungsi sebagai teori sederhana untuk menjelaskan perbedaan antar bangsa atau kelompok masyarakat di dunia (Greenfield dalam Supratiknya, 2005 & 2006). Matsumoto, dkk. (1997) juga menyatakan bahwa individualisme dan kolektivisme adalah suatu dimensi yang telah digunakan secara teoritis dan empiris untuk menjelaskan dan memprediksi persamaan dan perbedaan lintas budaya.

  Masyarakat Barat memiliki karakteristik individualisme. Individualisme adalah perasaan tidak tergantung pada suatu bentuk dari kebersamaan yang tercermin pada pembentukan keluarga batih, kebutuhan akan kebebasan dan otonomi individu (Göregenli, 1997). Individualisme memiliki kecenderungan perilaku seperti mengutamakan pengembangan aneka potensi pribadi serta mementingkan kemandirian dan ketidaktergantungan (Triandis, dkk. memunculkan sarang hampa bahkan sindrom sarang hampa yang memang biasa terjadi dalam masyarakat Barat (Sexton dalam Sodders, 2001).

  Di sisi lain, masyarakat Timur berkarakteristik kolektivisme. Kolektivisme adalah suatu perasaan tergantung dalam keluarga, kerabat, struktur, organisasi dan sistem sosial yang tampak dalam keluarga besar, keintegritasan dengan keluarga, dukungan sosial dan saling ketergantungan (Göregenli, 1997). Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Timur, pada umumnya diasumsikan berorientasi kolektivistik (Supratiknya, 2006). Hal tersebut tampak dalam kecenderungan perilaku khas seperti mengutamakan integritas atau keutuhan keluarga, kehangatan, saling ketergantungan, saling memberikan dukungan dan saling menjaga perasaan.

  Raup, dkk. (1989) mengungkapkan bahwa fenomena sarang hampa kurang relevan atau kurang berpengaruh bagi cakupan keluarga besar terlebih yang memiliki status sosioekonomi yang tergolong rendah. Bagi peneliti, masyarakat Indonesia yang berkebudayaan kolektivis cenderung terkait dengan hal tersebut. Di Indonesia biasanya tinggal beberapa kepala keluarga dalam satu rumah yang tercakup dalam keluarga besar. Hal tersebut membuat keterlibatan hubungan antara generasi yang muda dan tua tetap terjalin. Indonesia juga tergolong sebagai negara berkembang dimana membuat keterlibatan orang lain (seperti anggota keluarga besar, tetangga dan teman) untuk membantu kehidupannya sehingga tercipta rasa kekeluargaan pula.

  Berdasarkan penjelasan di atas, maka akan dapat menutup kemungkinan munculnya periode sarang hampa di Indonesia. Di sisi lain, jika periode sarang hampa terjadi, orang tua cenderung tidak akan merasa sendirian karena masyarakat (anggota keluarga lain dalam keluarga besarnya, tetangga, anggota komunitas, dll) akan cenderung memberikan kepeduliannya. Hal yang bercorak kolektivistik inilah yang membuat masyarakat Indonesia masih dapat mengharapkan dan menerima bantuan dari keluarga dan saudara untuk meringankan beban psikis maupun fisiknya. Di pihak lain, pengaruh globalisasi yang berorientasi pada kebudayaan Barat telah masuk ke Indonesia, maka memungkinkan kecenderungan perubahan sistem kekeluargaan yang dapat mengarah pada munculnya sarang hampa bahkan sindrom sarang hampa di Indonesia.

  d. Hubungan dengan anak Derajat kedekatan hubungan individu (orang tua dan anak) mempengaruhi kadar sindrom sarang hampa. Makin dekat hubungan seorang individu dengan individu lainnya, makin besar peluang munculnya sindrom sarang hampa dan jika sindrom ini muncul, makin besar pula kecenderungan intensitasnya (Satiadarma, 2006). dapat berlaku bagi sebagian orang tua yang tinggal sangat dekat dengan anak-anaknya serta yang menitikberatkan kepuasan perkawinannya pada anak-anak dan bukan pada pasangan.

  e. Peran-peran dalam keluarga Individu dewasa tengah sebagai orang tua yang mengalami sindrom sarang hampa juga berperan sebagai ayah dan ibu di dalam keluarga. Peran-peran tersebut menimbulkan perbedaan kecenderungan situasi yang menyebabkan munculnya sindrom sarang hampa. Hal ini tampak dalam pernyataan Papalia & Olds (1986) sebagai berikut : 1) Ayah