PERILAKU KONSUMSI WISATAWAN DOMESTIK DALAM WISATA BUDAYA DI KOTA SOLO

PERILAKU KONSUMSI WISATAWAN DOMESTIK DALAM WISATA BUDAYA DI KOTA SOLO SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat – syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi

Disusun Oleh :

Istiqomah D.0305042)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Pariwisata memang cukup menjanjikan sebagai primadona ekspor karena beberapa ciri positifnya. Misalnya saja, meskipun terjadi kelesuan perdagangan komoditas, ternyata pariwisata tetap mampu menunjukkan keberadaannya yang kian meningkat. Sangatlah beralasan jika Indonesia menaruh harapan yang besar pada pariwisata sebagai komoditas ekspor yang mampu menggantikan peran migas, karena Indonesia memiliki potensi pariwisata yang begitu besar, baik dari segi alam ataupun sosial budaya.

Dengan mempertimbangkan potensi pariwisata Indonesia yang terbentang dari Barat sampai Timur, maka pemerintah berusaha meningkatkan dan mengembangkan sektor pariwisata sebagai salah satu pemasukan devisa Negara. Salah satu usaha pemerintah dalam hal tersebut adalah pembuatan UU No. 9 Th 1990, dijelaskan bahwa modal berupa sumber daya alami atau buatan yang dimiliki bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan Dengan mempertimbangkan potensi pariwisata Indonesia yang terbentang dari Barat sampai Timur, maka pemerintah berusaha meningkatkan dan mengembangkan sektor pariwisata sebagai salah satu pemasukan devisa Negara. Salah satu usaha pemerintah dalam hal tersebut adalah pembuatan UU No. 9 Th 1990, dijelaskan bahwa modal berupa sumber daya alami atau buatan yang dimiliki bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan

Meskipun pariwisata bukanlah suatu fenomena baru, dan telah banyak disadari bahwa pariwisata merupakan fenomena kemasyarakatan yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan, interaksi, dan sebagainya yang merupakan obyek kajian sosiologi, tapi sosiologi belum begitu lama mengkaji terhadap pariwisata. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pada awalnya pariwisata dipandang sebagai kegiatan ekonomi dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah mendapat keuntungan bagi masyarakat ataupun pemerintah dan hal ini merupakan obyek kajian ekonomi. Belakangan, aspek sosial budaya mulai diperhatikan karena berbagai alasan. Di kalangan ahli pembangunan, mulai muncul wacana bahwa pembangunan tersebut sesungguhnya adalah untuk manusia sebagai suatu proses belajar ( social learning process ) dan dalam hal ini manusia merupakan pusat dan penggerak, sekaligus untuk siapa Meskipun pariwisata bukanlah suatu fenomena baru, dan telah banyak disadari bahwa pariwisata merupakan fenomena kemasyarakatan yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan, interaksi, dan sebagainya yang merupakan obyek kajian sosiologi, tapi sosiologi belum begitu lama mengkaji terhadap pariwisata. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pada awalnya pariwisata dipandang sebagai kegiatan ekonomi dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah mendapat keuntungan bagi masyarakat ataupun pemerintah dan hal ini merupakan obyek kajian ekonomi. Belakangan, aspek sosial budaya mulai diperhatikan karena berbagai alasan. Di kalangan ahli pembangunan, mulai muncul wacana bahwa pembangunan tersebut sesungguhnya adalah untuk manusia sebagai suatu proses belajar ( social learning process ) dan dalam hal ini manusia merupakan pusat dan penggerak, sekaligus untuk siapa

mempertemukan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dalam norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya. Pertemuan manusia dengan latar sosial budaya yang berbeda akan menghasilkan berbagai proses akulturasi, dominasi, asimilasi, adopsi, adaptasi, dan seterusnya dalam kajian hubungan antar budaya yang tentu saja merupakan salah satu isu sentral dalam sosiologi. Pariwisata bersifat sangat dinamis, sehingga setiap saat memerlukan analisa dan kajian yang lebih mendalam. Sebagai suatu aktifitas yang dinamis, sehingga pembangunan pariwisata memerlukan kajian terus menerus, yang dinamis juga sehingga bisa memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar ( Pitana dan Gayatri, 2005: 5 ).

Dari waktu ke waktu, aspek sosiologis dalam pembangunan pariwisata semakin mendapat perhatian karena semakin meningkatnya kesadaran bahwa pembangunan pariwisata tanpa pertimbangan yang matang dari aspek sosial justru akan membawa malapetaka bagi masyarakat, khususnya daerah pariwisata. Sehingga harus seimbang antara pembangunan material dan non material (Pendit, 1990 ).

Seorang wisatawan yang merasa puas akan kembali ke daerah asalnya dengan sebuah kenangan manis dari perjalanannya, dan membawa pulang citra yang baik dari daerah yang dikunjunginya ( Deparpostel, 1989 ). Sementara itu, Seorang wisatawan yang merasa puas akan kembali ke daerah asalnya dengan sebuah kenangan manis dari perjalanannya, dan membawa pulang citra yang baik dari daerah yang dikunjunginya ( Deparpostel, 1989 ). Sementara itu,

Umumnya, dalam usaha peningkatan kepariwisataan terdapat unsur penting yang perlu di perhatikan yaitu perlunya mengetahui selera atau keinginan wisatawan sepanjang tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa atau daerah. Faktor penunjang untuk memenuhi selera wisatawan selain menyediakan fasilitas- fasilitas yang memadai seperti: akomodasi yang baik, restaurant, angkutan wisata ( transportation ), atraksi atau obyek wisata hal lain yang tak kalah pentingnya adalah: keramah - tamahan masyarakat, kebersihan lingkungan, keamanan dan keselamatan wisatawan perlu diperhatikan (Gromang, 2003: 17 )

Solo yang telah diresmikan menjadi Kota Budaya menjadi semakin ramai dikunjungi wisatawan, baik domestik ataupun manca. Dengan slogan barunya, yakni “ The Spirit of Java “, Kota Solo gencar melakukan pemasaran obyek wisatanya. Dengan menggelar berbagai event bertajuk pengenalan budaya yang dimiliki, Kota Solo terus memperbaiki berbagai sarana dan prasarana untuk wisatawan yang berkunjung ( Analisis Pasar Pariwisata Soloraya, 5 Juni 2007 ). Bentuk riil budaya yang hampir hilang dimakan zaman misalnya saja batik, kini Solo yang telah diresmikan menjadi Kota Budaya menjadi semakin ramai dikunjungi wisatawan, baik domestik ataupun manca. Dengan slogan barunya, yakni “ The Spirit of Java “, Kota Solo gencar melakukan pemasaran obyek wisatanya. Dengan menggelar berbagai event bertajuk pengenalan budaya yang dimiliki, Kota Solo terus memperbaiki berbagai sarana dan prasarana untuk wisatawan yang berkunjung ( Analisis Pasar Pariwisata Soloraya, 5 Juni 2007 ). Bentuk riil budaya yang hampir hilang dimakan zaman misalnya saja batik, kini

Meskipun bukan ibukota provinsi, namun Solo berstatus sebagai kota besar dan menjadi salah satu kota budaya di Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakatnya mempunyai karakter yang kuat, yaitu lembut dalam bahasa, tingkah laku, serta tutur kata di samping masih mempertahankan kehidupan tradisinya. Penduduk Solo juga mengadopsi kehidupan modern, seperti banyaknya hotel berbintang, kafe, pub, bar, dan diskotik ( Visit Solo YEAR 2008 ). Seiring adanya kehidupan modern, di Kota Solo juga terdapat bangunan kuno peninggalan sejarah yang menambah kaya asset budaya. Maka dari itu tidak berlebihan jka Kota Solo disebut sebagai “Kota Budaya”

Tabel 1.

Jumlah Wisatawan Domestik yang Berkunjung di Kota Solo

TAHUN

Jumlah Wisatawan Domestik yang Berkunjung ke Solo

1.029.003 ( Sumber: Badan Pusat Statistik, Disparsenibud Solo 2008 )

Melihat tabel di atas, setelah tahun 2006 wisatawan yang datang ke Solo terlihat meningkat. Hal ini memperlihatkan bahwa Kota Solo semakin mendapat prioritas wisatawan untuk dikunjungi. Dalam harian Suara Merdeka 19 Maret 2009 , Walikota Solo, Joko Widodo mengatakan bahwa Kota Solo tidak mempunyai sumber daya alam sebagai dasar pertumbuhan pariwisata, tapi Kota Solo mempunyai potensi besar dalam bidang budaya untuk membangkitkan pariwisata di Kota Solo.

Dengan berdasarkan pada jurnal internasional yang berisi : “The spaces of tourism are constructed, more or less consciously, to fulfil

or attempt to fulfil, such expextation tgrough representations and consumption of goods and services as well as the cultural assets and activities to be found at a destination or en route (Journal of Tourism Consumption and Practice, 2009).”

Dimana mempunyai arti kurang lebih : “ Ruang lingkup kepariwisataan dibangun secara sadar supaya memenuhi

atau usaha untuk memenuhi seperti harapan yang kuat akan gambaran dan konsumsi barang dan jasa sebaik kekayaan budaya dan kegiatan yang ditemukan ditempat tujuan dalam suatu perjalanan”.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang menarik untuk dikaji adalah “ Perilaku Konsumsi Wisatawan Domestik dalam Wisata Budaya di Kota Solo “.

B. Perumusan Masalah :

Dari latar belakang yang telah dikemukakantersebut, didapat perumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa saja motivasi Perilaku Konsumsi Wisatawan Domestik dalam Wisata Budaya di Kota Solo ?

2. Bagaimana Perilaku Konsumsi Wisatawan Domestik dalam Wisata Budaya di Kota Solo ?

C. Tujuan Penelitian :

Tujuan penelitian diarahkan untuk mendapatkan jawaban dari perumusan

masalah yang diambil. Adapun penelitian ini mempunyai tujuan, antara lain :

1. Untuk syarat kelulusan study S1 Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Untuk mengetahui motivasi Perilaku Konsumsi Wisatawan Domestik dalam Wisata Budaya di Kota Solo.

3. Untuk mengetahui perilaku konsumsi wisatawan domestik dalam wisata budaya di Kota Solo.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan ungkapan peneliti terhadap hasil penelitian.

Penelitian ini mempunyai manfaat untuk:

2. Menambah pengetahuan tentang motivasi dan perilaku konsumsi wisatawan domestik dalam wisata budaya di Kota Solo.

E. Landasan Teori

1. Batasan Konsep

a. Pariwisata Pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah, tuan rumah, serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan – wisatawan serta pengunjung lainnya ( Robert McIntosh dan Shasikant dalam Tourism, Principles, Practices, Philosophies, 1980 ). Menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, pariwisata merupakan sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi ; pelancongan. Pariwisata juga diartikan sebagai perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu yang pendek ke tujuan di luar tempat dimana mereka biasa hidup, dan bekerja dan kegiatan mereka selama tinggal di tempat tujuan itu ( oleh AJ. Burkat, dan S.Medlik dalam Tourism, Past, Present, and Future ).

b. Konsumsi Konsumsi adalah kebutuhan manusia yang membawanya menuju pada obyek yang memberinya kepuasan ( Ritzer dan Baudrillard,dalam

Masyarakat Konsumsi, 2006: 73 ). Menurut Smelser dalam Sosiologi Ekonomi , konsumsi adalah kepuasan yang didapat oleh konsumen dari pemakaian barang atau jasa.

c. Perilaku Perilaku dapat didefinisikan secara singkat berupa suatu keadaan jiwa atau berfikir dan sebagainya dari seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan terhadap situasi di luar subyek tersebut. Respon atau tanggapan ini ada dua macam, yaitu perilaku aktif yang dilakukan dengan tindakan, dan perilaku pasif yang tak terlihat, dan bukan merupakan tindakan (Soekanto 1990: 7 ).

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal atau eksternal dari individu. Pada garis besarnya, perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni : fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi, dari aspek – aspek tersebut sulit untuk ditarik garis lurus yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci, perilaku manusia sebenarnya refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya. Namun demikian, pada realitasnya sulit dibedakan gejala yang menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: pengalaman, keyakinan, Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal atau eksternal dari individu. Pada garis besarnya, perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni : fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi, dari aspek – aspek tersebut sulit untuk ditarik garis lurus yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci, perilaku manusia sebenarnya refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya. Namun demikian, pada realitasnya sulit dibedakan gejala yang menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: pengalaman, keyakinan,

Bagan 1. Bagan Terbentuknya Perilaku

Keyakinan Perilaku

( Sumber : Snehandu, 1983 )

Bentuk operasional dari perilaku dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis tindakan, yaitu:

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni mengetahui adanya situasi dan rangsangan dari luar.

2. Perilaku dalam bentuk sikap, yakni tantangan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar.

3. Perilaku dalam bentuk praktek atau tindakan, yakni perbuatan yang jelas terhadap adanya rangsangan dari luar. (Notoatmojo, 1990:1 ).

Menurut Purwodarminto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku adalah perbuatan atau tingkah laku. Di samping itu, Soekidjo Notoatmojo mengartikan perilaku sebagai suatu keadaan jiwa atau berpikir dari seseorang untuk memberi respon atau tanggapan terhadap situasi di luar obyek tersebut.

Tidak mudah untuk menguraikan timbulnya perilaku yang ada pada diri individu, karena faktor yang mempengaruhi sangat banyak, setiap perilaku yang memperlihatkan individu ada maknanya sehingga dalam rangka menampilkan apa yang diinginkannya individu akan berperilaku tertentu. Dalam kehidupan sehari – hari, tidak semua arti atau makna yang terkandung dalam perilaku tersebut dapat dimengerti oleh semua pihak. Perilaku tertentu sebenarnya terdapat motif tertentu pada diri seseorang, atau rangsangan atau pembangkit bagi terjadinya suatu perilaku tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan tertentu yang ada pada individu tersebut (Notoatmojo, 1990:1 ).

d. Wisatawan Orang yang melakukan perjalanan wisata disebut wisatawan (tourist). Batasan terhadap wisatawan juga sangat beragam. United Nation Conference on Travel and Tourism di Roma ( 1963 ) memberikan batasan yang lebih umum, tetapi dengan menggunakan istilah pengunjung ( visitor ), yakni:

“ Setiap orang yang mengunjungi daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari daerah yang dikunjungi” ( Pitana dan Gayatri, 2005 ).

Menurut Smith ( 1977 ), wisatawan adalah orang yang sedang tidak bekerja, atau sedang berlibur, dan secara sukarela mengunjungi daerah lain untuk mendapatkan sesuatu yang lain.

e. Perilaku Wisatawan Adanya pariwisata karena wisatawan, sehingga kajian terhadap wisatawan merupakan salah satu fokus dalam sosiologi pariwisata. Pembahasan mengenai wisatawan ditinjau dari aspek sosiologis meliputi motivasi wisatawan, ciri social ekonomi, tujuan kunjungan, lama tinggal aktivitas yang dilakukan di daerah tujuan wisatawan, perilaku wisatawan, tingkat kepuasan dan sebagainya.

Berdasarkan perilaku wisatawan pada suatu daerah tujuan wisata, Gray ( 1970 ) membedakan wisatawan menjadi dua, yaitu :

1. Sunlust tourist, yakni wisatawan yang berkunjung di suatu daerah dengan tujuan utama untuk istirahat atau relaksasi. Wisatawan tipe ini umumnya memilih daerah tujuan wisata yang mempunyai kategori multiple “ S “ ( Sun, Sea, Sand ). Selain itu, juga mengharapkan keadaan suasana, fasilitas, makanan, dan lainnya yang standar dengan daerah asalnya.

2. Wanderlust tourist, yakni wisatawan yang perjalanan wisatanya didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengalaman baru, atau kebudayaan baru, juga mengagumi keindahan alam yang belum pernah dilihat. Wisatawan seperti ini lebih tertarik pada daerah tujuan wisata yang mampu menawarkan keunikan budaya atau pemandangan alam yang mempunyai nilai pembelajaran yang tinggi.

Dari pengertian yang telah dijelaskan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa perilaku wisatawan adalah perbuatan atau tingkah laku setiap orang yang mengunjungi daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari daerah yang dikunjungi.

f. Konsumsi Wisatawan Konsumsi wisatawan diartikan sebagai kepuasan yang didapat oleh setiap orang yang mengunjungi daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari daerah yang dikunjungi dengan pemakaian barang ataupun jasa yang dapat memenuhi kebutuhannya.

g. Wisata Budaya Pada dasarnya, wisata budaya merupakan bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan kekayaan budaya yang potensial untuk dikembangkan.

Keyes dan Van Berghe ( 1984 ) dalam Kabut Institut, Kamis 16 April 2009 mengatakan bahwa, “ Wisata budaya adalah wisata dengan atraksi primer, yakni keeksotisan budaya penduduk kota dengan berbagai artefak ( pakaian, arsitektur, bangunan, teater, musik, tari, dan seni ).

h. Perilaku Konsumsi Wisatawan Domestik Perilaku konsumsi wisatawan domestik merupakan perbuatan atau tingkah laku setiap orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam melakukan perjalanan pariwisata yang memanfaatkan kekayaan budaya yang potensial untuk dikembangkan.

2. Tinjauan Pustaka

“ Tourism is an industry build on distinctions between strangers and friends, with inherent potentials for both oppression and empowerment. Critical cosmopolitan theory offers ideas that give us hope for the progressive potential of tourism to transform differences into equity” (Byrne Swain, Margaret. 2009)

Kurang lebih mempunyai arti sebagai berikut : “ Pariwisata merupakan industri yang dibangun pada perbedaan

antara asing dan familier, dengan potensi dasar untuk penindasan dan pemberdayaan. Kritik teori kosmopolitan menawarkan gagasan yang memberi kita harapan untuk peningkatan potensi pariwisata utuk mengubah perbedaan menuju persamaan “.

Pariwisata yang dilakukan oleh wisatawan yang satu berbeda dengan wisatawan yang lain. Tetapi pada dasarnya wisatawan tersebut

yang dimiliki. Berbagai macam jenis pariwisata, salah satunya adalah pariwisata budaya. Pariwisata budaya pada dasarnya merupakan bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan kekayaan budaya yang potensial untuk dikembangkan (Kristiani, 2007). Perjalanan wisata menjadi sumber pengalaman, menghasilkan rekaman tentang berbagai hal atau peristiwa yang unik, menggembirakan, membahagiakan, dan semua hal yang menyentuh perasaan wisatawan yang tesimpan dan terkenang di dalam hatinya. Semua yang dirasakan dibagi juga pada keluarga, kerabat, teman, dan kelompok masyarakatnya ( dalam Journal of Tourism Research, 1996, Vol. I, 1 ). Wisatawan yang datang berkunjung di suatu daerah membuat peremintaan akan hasil daerah setempat meningkat. Misalnya saja permintaan akan barang kerajinan, handicraft, souvenir, serta barang yang khas dari daerah tersebut, seperti kain tenun, sulaman, minuman ataupun makanan khas daerah tersebut.

Sebagaimana telah diungkapkan, pariwisata merupakan fenomena perjalanan orang – orang dari tempat asalnya ke tempat lain dengan tujuan bersenang – senang ( pleasure ), dan untuk memanfaatkan waktu luang (leisure), memerlukan layanan yang dapat menggantikan apa yang biasa dinikmati di tempat tinggal mereka kesehariannya ( Suradnya, 2006 ). Dari sinilah awal perilaku konsumsi wisatawan muncul. Perilaku konsumsi wisatawan terletak pada kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya. Dalam Sebagaimana telah diungkapkan, pariwisata merupakan fenomena perjalanan orang – orang dari tempat asalnya ke tempat lain dengan tujuan bersenang – senang ( pleasure ), dan untuk memanfaatkan waktu luang (leisure), memerlukan layanan yang dapat menggantikan apa yang biasa dinikmati di tempat tinggal mereka kesehariannya ( Suradnya, 2006 ). Dari sinilah awal perilaku konsumsi wisatawan muncul. Perilaku konsumsi wisatawan terletak pada kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya. Dalam

Secara umum, kebutuhan manusia itu bertingkat, dimulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi, dan selalu tidak ada batas serta bersifat sangat relatif. Dan disinilah kompleksnya melayani atau menyediakan kebutuhan konsumsi wisatawan. Bertolak dari asumsi dasar bahwa wisatawan adalah orang asing yang sedang melakukan perjalanan nikmat, maka secara garis besar, konsumsi wisatawan adalah :

a. Konsumsi informasi. Informasi merupakan pintu utama wisatawan masuk ke daerah tujuan wisata.

b. Konsumsi jasa transportasi

c. Konsumsi akan makan dan minum ( foods and beverages )

d. Konsumsi akan sesuatu yang unik, spesifik, indah, menyejukkan, belum pernah dilihat ataupun dirasakan ditempat lain.

e. Konsumsi belanja. Selain tempat yang memadai, transaksi harus dalam kondisi yang berdasarkan tanpa paksaan. Disamping itu, barang yang dijual juga harus sesuai antara harga dan kualitasnya, sehingga konsumen tidak merasa tertipu dan kecewa.

d. Konsumsi akan kesan yang menyenangkan, sehingga mendorong wisatawan untuk mengabadikannya, baik dalam bentuk fotografi, video, atau yang lain (Prabowo, 2003).

3. Landasan Teori

Menurut George Ritzer, dalam upaya menganalisis perkembangan sosiologi dan perspektif paradigma, ia merumuskan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Dalam suatu paradigma tertentu terdapat persamaan pandanngan tentang apa yang menjadi pokok persoalan dari cabang ilmu itu dan kesamaan metode serta alat yang digunakan untuk analisis.

Paradigma merupakan konsensus terluas yang terdapat pada cabang ilmu pengetahuan yang membedakan antara komunitas ilmuwan atau sub komunitas satu dengan yang lainnya. Paradigma membagi, merumuskan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode serta seluruh pengmatan yang terdapat dalam metode itu (Ritzer, 192 : 1-11 ).

Klasifikasi paradigma menurut George Ritzer:

a. Paradigma Fakta sosial, yang mempunyai empat teori yaitu: Teori Fungsional struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan teori Sosiologi Makro.

b. Paradigma Definisi social, yang mempunyai tiga teori, yaitu:Teori Aksi, Teori interaksionisme Simbolik, Teori Fenomenologi.

c. Paradigma Perilaku social, yang mempunyai dua teori, yaitu: Teori Behavioral Sociology , Teori Exchange. Di dalam penelitian ini, mendasarkan pada paradigma perilaku sosial. Paradigma ini memusatkan perhatian pada tingkah laku individu yang berlangsung dalam lingkungan dimana menimbulkan akibat atau perubahan pada tingkah laku berikutnya. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan actor (George Ritzer, 1992:84).

Sedangkan teori yang digunakan berdasar Paradigma Perilaku Sosial adalah Teori Behavioral Sociology. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkunngan aktor dengan tingkah laku aktor. Teori ini berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi itu melalui akibat-akibat yang mengikutinya kemudian. Dimana akibat dari tingkah laku masa lalu mempengaruhi tingkah laku di masa sekarang. Perubahan perilaku yang terjadi pada diri individu disebabkan karena adanya pengaruh dari lingkungan sekitar individu ( Ritzer, 1992 : 86 ).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori perilaku sosial. Teori ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dengan Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori perilaku sosial. Teori ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dengan

Kajian mengenai perilaku wisatawan dapat dilihat dari motivasi wisatawan melakukan perjalanan pariwisata. Motivasi merupakan hal yang mendasar dalam studi tentang wisatawan, dan pariwisata, karena motivasi merupakan penggerak dalam proses perjalanan wisata, meskipun motivasi seringkali tidak disadari sepenuhnya oleh wisatawan itu sendiri ( Sharpley, 1994: Wahab, 1975 ).

Perilaku konsumsi wisatawan dikaji dengan berdasarkan pada teori sosiologi konsumsi. Baudrillard menjelaskan bahwa dalam sebuah dunia yang dikontrol oleh kode, persoalan konsumsi memiliki sesuatu yang berkenaan dengan kepuasan atas apa yang umumnya dikenal sebagai “kebutuhan“. Kebutuhan diciptakan berasal dari pembagian subyek dan obyek. Ide kebutuhan tersebut diciptakan untuk menghubungkan mereka. Sehingga, pergulatan - pergulatan berdasarkan penegasan satu sama lain subyek dan obyek ( Ritzer, 2003 : 238 ).

Baudrillard berusaha mendekonstruksikan subyek obyek yang lebih umum lagi dengan konsep konsumsi. Seseorang tidak membeli apa yang ia butuhkan, tapi membeli apa yang kode sampaikan padanya. Di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citra daripada nilai guna (utilitas), logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan ( need ) melainkan logika hasrat ( desire ).

Obyek adalah tanda, ia lebih sebagai tanda ( sign value ) daripada nilai guna atau nilai tukar. Sesuatu dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, serta kekuasaan ( Kellner,1994;4 ). Konsumsi dalam masyarakat modern bukan mencari kenikmatan, bukan pula kenikmatan memperoleh dan menggunakan obyek yang dicari, tapi lebih pada perbedaan.

Dalam kajian ekonomi, perilaku konsumsi individu dikaji dari segi pilihan rasional dengan asumsi dasar bahwa setiap perilaku individu diarahkan oleh perhitungan yang sadar untuk meminimalkan pengorbanan dan memaksimalkan keuntungan. Menurut J.S Smelser ( 1987;53 ), sosiologi membahas berbagai perilaku dalam spektrum yang luas, sehingga dalam sosiologi dipelajari faktor – faktor non ekonomi yang termasuk dalam aspek non rasional. Bagi orang awam, dunia konsumsi kelihatannya pada permulaannya benar – benar sebuah kebebasan. Bagaimanapun, jika Dalam kajian ekonomi, perilaku konsumsi individu dikaji dari segi pilihan rasional dengan asumsi dasar bahwa setiap perilaku individu diarahkan oleh perhitungan yang sadar untuk meminimalkan pengorbanan dan memaksimalkan keuntungan. Menurut J.S Smelser ( 1987;53 ), sosiologi membahas berbagai perilaku dalam spektrum yang luas, sehingga dalam sosiologi dipelajari faktor – faktor non ekonomi yang termasuk dalam aspek non rasional. Bagi orang awam, dunia konsumsi kelihatannya pada permulaannya benar – benar sebuah kebebasan. Bagaimanapun, jika

F. Kerangka Berfikir

Bagan 2. Bagan Kerangka Berfikir Karakter Informan

Analisa

Motivasi Perilaku Konsumsi

Perilaku Konsumsi Wisatawan :

a. Konsumsi informasi

b. Konsumsi jasa transportasi

c. Konsumsi akan makan dan minum ( foods and beverages )

d. Konsumsi jasa akomodasi

e. Konsumsi akan sesuatu yang unik (souvenir)

f. Konsumsi akan kesan yang menyenangkan (memory)

Pariwisata merupakan fenomena perjalanan orang – orang dari tempat asalnya ke tempat lain dengan tujuan bersenang – senang (pleasure), dan untuk memanfaatkan waktu luang (leisure), memerlukan layanan yang dapat menggantikan apa yang biasa dinikmati di tempat tinggal mereka kesehariannya (Suradnya, 2006). Dari sinilah awal perilaku konsumsi wisatawan muncul. Perilaku konsumsi wisatawan terletak pada kegiatan atau aktivitas yang dilakukannya. Dalam konteks ini, perilaku wisatawan adalah kebutuhan manusia yang sedang dalam perjalanan mencari kesenangan, jauh dari tempat tinggalnya, dan semata- mata sebagai konsumen di daerah tujuan wisata yang dikunjunginya.

Perilaku konsumsi wisatawan dikaji dengan berdasarkan pada teori sosiologi konsumsi. Baudrillard menjelaskan bahwa dalam sebuah dunia yang dikontrol oleh kode, persoalan konsumsi memiliki sesuatu yang berkenaan dengan kepuasan atas apa yang umumnya dikenal sebagai “ kebutuhan “. Kebutuhan diciptakan berasal dari pembagian subyek dan obyek palsu. Ide kebutukan tersebut diciptakan untuk menghubungkan mereka. Sehingga, pergulatan - pergulatan berdasarkan penegasan satu sama lain subyek dan obyek ( Ritzer, 2003 : 238 ).

Secara umum, kebutuhan manusia itu bertingkat, dimulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi, dan selalu tidak ada batas serta bersifat sangat relatif. Dan disinilah kompleksnya melayani atau menyediakan kebutuhan konsumsi wisatawan. Bertolak dari asumsi dasar bahwa wisatawan adalah Secara umum, kebutuhan manusia itu bertingkat, dimulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi, dan selalu tidak ada batas serta bersifat sangat relatif. Dan disinilah kompleksnya melayani atau menyediakan kebutuhan konsumsi wisatawan. Bertolak dari asumsi dasar bahwa wisatawan adalah

a. Konsumsi informasi.

b. Konsumsi jasa transportasi dan akomodasi.

c. Konsumsi akan makan dan minum ( foods and beverages )

d. Konsumsi akan sesuatu yang unik, spesifik, indah, menyejukkan, belum pernah dilihat ataupun dirasakan ditempat lain.

e. Konsumsi belanja.

f. Konsumsi akan kesan yang menyenangkan, sehingga mendorong wisatawan untuk mengabadikannya.

G. Definisi Konseptual

Pariwisata diartikan sebagai perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu yang pendek ke tujuan di luar tempat dimana mereka biasa hidup, dan bekerja dan kegiatan mereka selama tinggal di tempat tujuan itu. Konsumsi adalah kepuasan yang didapat oleh konsumen dari pemakaian barang atau jasa. Perilaku dapat didefinisikan secara singkat berupa suatu keadaan jiwa atau berfikir dan sebagainya dari seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan terhadap situasi di luar subyek tersebut. Perilaku wisatawan adalah perbuatan atau tingkah laku setiap orang yang mengunjungi daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, tetapi Pariwisata diartikan sebagai perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu yang pendek ke tujuan di luar tempat dimana mereka biasa hidup, dan bekerja dan kegiatan mereka selama tinggal di tempat tujuan itu. Konsumsi adalah kepuasan yang didapat oleh konsumen dari pemakaian barang atau jasa. Perilaku dapat didefinisikan secara singkat berupa suatu keadaan jiwa atau berfikir dan sebagainya dari seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan terhadap situasi di luar subyek tersebut. Perilaku wisatawan adalah perbuatan atau tingkah laku setiap orang yang mengunjungi daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, tetapi

Perilaku konsumsi wisatawan domestik dalam wisata budaya di Kota Solo merupakan perbuatan atau tingkah laku setiap orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya ketika melakukan kegiatan pariwisata dengan memanfaatkan kekayaan budaya yang ada di Kota Solo.

H. Metode Penelitian :

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini memilih lokasi atau tempat penelitian di Kota Solo. Hal ini dilakukan dengan alasan sebagai berikut :

a. Kota Solo sebagai Kota Budaya

b. Banyaknya wisatawan yang datang di Kota Solo

c. Penulis dapat memperoleh data dan bahan yang dibutuhkan untuk

penelitian di daerah tersebut.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini memakai jenis penelitian deskriptif kualitatif dimana menggambarkan situasi sebenarnya yang terdapat di lapangan ( Sutopo, 2002 ) dalam penelitian ini, yakni menggambarkan perilaku konsumsi wisatawan domestik dalam wisata budaya di kota Solo, dan memberikan Penelitian ini memakai jenis penelitian deskriptif kualitatif dimana menggambarkan situasi sebenarnya yang terdapat di lapangan ( Sutopo, 2002 ) dalam penelitian ini, yakni menggambarkan perilaku konsumsi wisatawan domestik dalam wisata budaya di kota Solo, dan memberikan

Dengan menghasilkan data deskriptif yang berupa kata – kata, gambar, tanda, simbol, dan lain sebagainya yang diperlukan peneliti. Dimana jenis penelitian ini akan dapat menangkap berbagai informasi kualitatif secara deskripsi yang lebih bermakna daripada sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka.

3. Sumber Data

Data atau informasi yang paling penting untuk dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini sebagian besar berupa data kualitatif. Data tersebut meliputi :

a. Data Primer adalah informasi yang diperoleh peneliti langsung dari sumber

– sumber primer, yakni dari informan. Informan atau narasumber dalam penelitian ini adalah para wisatawan lokal yang berkunjung di Kota Solo, petugas yang ada di obyek wisata di Solo, para pedagang yang berjualan di sekitar obyek wisata di Solo.

b. Data Sekunder adalah data yang mendukung, menjelaskan, serta mempunyai hubungan erat dengan data primer. Data sekunder diambil dari hasil pengamatan peneliti selama penelitian. Data sekunder terdiri dari : Dokumen, dan Referensi, serta data – data yang berkaitan dengan perilaku konsumsi wisatawan domestik dalam wisata budaya di Kota Solo.

Dalam penelitian ini data sekunder didapat dari BPS (Badan Pusat Statistik), Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Disparsenibud) Kota Solo, dan juga data dari beberapa Hotel di Kota Solo. Data sekunder dipakai dalam penelitian ini karena dapat membantu peneliti dalam menghemat waktu dan tenaga.

4. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel dari penelitian ini yakni Wisatawan domestik, para pedagang di daerah tujuan wisata, petugas di obyek wisata, dan Dinas terkait. Teknik Pengambilan Sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah Convenience Sampling ( Moleong, 1997 ). Pengambilan sampel yang dilakukan semata – mata dengan cara memilih siapa saja yang dapat diraih pada saat penelitian diadakan untuk dijadikan respondennya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

a. Wawancara Mendalam ( Indepth Interview ) Teknik atau metode wawancara adalah cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara peneliti dengan informan. Di dalam interaksi sosial itu, peneliti berusaha mengungkap gejala yang sedang diteliti melalui tanya jawab. Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan wisatawan dan para a. Wawancara Mendalam ( Indepth Interview ) Teknik atau metode wawancara adalah cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara peneliti dengan informan. Di dalam interaksi sosial itu, peneliti berusaha mengungkap gejala yang sedang diteliti melalui tanya jawab. Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan wisatawan dan para

b. Observasi Langsung Dalam observasi langsung ini, peneliti sebagai pengamat yang hadir ke lokasi penelitian untuk mengamati berbagai kegiatan dan peristiwa yang terjadi di lokasi penelitian.

c. Dokumen Dokumen dalam penelitian ini berarti pengambilan data dari dokumen atau catatan yang berhubungan dengan penelitian. Peneliti mengumpulkan data situasi atau keadaan di lokasi penelitian dari pihak yang bersangkutan.

6. Validitas Data

Setelah memperoleh data dari lapangan, penulis mengumpulkan, dan mencatatnya dalam kegiatan penelitian. Tidak hanya kedalaman, dan kemantapan data, tetapi juga harus diperhatikan kebenarannya. Oleh karena itu, peneliti memakai teknik trianggulasi untuk kebenaran data yang telah diperoleh. Penulis memakai teknik trianggulasi sumber, dimana data yang Setelah memperoleh data dari lapangan, penulis mengumpulkan, dan mencatatnya dalam kegiatan penelitian. Tidak hanya kedalaman, dan kemantapan data, tetapi juga harus diperhatikan kebenarannya. Oleh karena itu, peneliti memakai teknik trianggulasi untuk kebenaran data yang telah diperoleh. Penulis memakai teknik trianggulasi sumber, dimana data yang

Bagan 3. Bagan Teknik Trianggulasi

Teknik Trianggulasi Sumber Data

Interview Narasumber I Narasumber II Narasumber III

Teknik Trianggulasi Metode

Narasumber Data

Dokumentasi ( Sutopo, 2002 : 78-80 )

7. Teknik Analisa Data

Peneliti memakai teknik analisis penelitian kualitatif yang bersifat induktif, dimana semua kesimpulan diambil dari data yang diperoleh di lapangan. Peneliti melakukan analisis bersamaan dengan pengumpulan data. Setiap data yang diperoleh dikomparasikan untuk melihat Peneliti memakai teknik analisis penelitian kualitatif yang bersifat induktif, dimana semua kesimpulan diambil dari data yang diperoleh di lapangan. Peneliti melakukan analisis bersamaan dengan pengumpulan data. Setiap data yang diperoleh dikomparasikan untuk melihat

tujuan peneli tian. Untuk lebih rincinya :

sesuai

dengan

a. Reduksi Data Reduksi berlangsung terus – menerus selama penelitian berlangsung di lapangan. Kegiatan awalnya berupa proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.

b. Penyajian Data Setelah penelitian berlangsung, dan menghasilkan sejumlah data, kemudian data tersebut diedit lagi supaya penyajiannya lebih praktis, dan mudah diterima khalayak.

c. Menarik Kesimpulan ( verifikasi ) Dalam menarik kesimpulan, dapat juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Dengan merefleksi kembali apa yang telah kembali ditemukan serta bertukar pikiran untuk memperoleh kebenaran intersubjektif, sehingga makna – makna yang muncul dari data dapat diuji kebenaran, dan kekokohannya yang merupakan validitasnya .

Bagan 4.

TEKNIK ANALISA DATA MODEL INTERAKTIF

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan / Verivikasi

Sumber : Sutopo, 1996 : 87

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

A. Keadaan Umum Kota Surakarta

1. Sejarah Kota Surakarta Sejarah kelahiran Kota Surakarta (Solo) dimulai pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono II di Kraton Kartosuro. Pada masa itu terjadi pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) dibantu kerabat-kerabat Keraton yang tidak setuju dengan sikap Paku Buwono II yang mengadakan kerjasama dengan Belanda. Salah satu pendukung pemberontakan ini adalah Pangeran Sambernyowo (RM Said) yang merasa kecewa karena daerah Sukowati yang dulu diberikan oleh keraton Kartosuro kepada ayahandanya dipangkas. Karena terdesak, Paku Buwono mengungsi ke daerah Jawa Timur (Pacitan dan Ponorogo). Dengan bantuan pasukan Kumpeni dibawah pimpinan Mayor Baron Van Hohendrof serta Adipati Bagus Suroto dari Ponorogo pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah tahu Keraton Kartosuro dihancurkan Paku Buwono II lalu memerintahkan Tumenggung Tirtowiguno, Tumenggung Honggowongso, dan Pangeran Wijil untuk mencari lokasi ibu kota Kerajaan yang baru.

Pada tahun 1745, dengan berbagai pertimbangan fisik dan

Bengawan Solo- sebagai daerah yang terasa tepat untuk membangun istana yang baru. Sejak saat itulah, desa sala segera berubah menjadi Surakarta Hadiningrat.

Melihat perjalanan sejarah tersebut, nampak jelas bahwa perkembangan dan dinamika Surakarta (Solo) pada masa dahulu sangat dipengaruhi selain oleh Pusat Pemerintahan dan Budaya Keraton (Kasunanan dan Mangkunegaran), juga oleh kolonialisme Belanda (Benteng Verstenburg ). Sedangkan pertumbuhan dan persebaran ekonomi melalui Pasar Gedhe (Hardjonagoro) (www.wisata solo.com).

Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi pemerintahan Kota Surakarta. Secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendirisekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Secara yuridis Kota Surakarta terbentuk berdasarkan ketetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD, yang diumumkan pada tanggal 15 Juli. Dengan berbagai pertimbangan faktor historis sebelumnya, tanggal 16 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta (www.surakarta.co.id)

2. Keadaan Alam Kota Surakarta Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo“ merupakan dataran rendah dengan ketinggian sekitar 92 m dari permukaan air laut, dan 2. Keadaan Alam Kota Surakarta Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo“ merupakan dataran rendah dengan ketinggian sekitar 92 m dari permukaan air laut, dan

Kota Surakarta terletak di daerah Provinsi Jawa Tengah bagian selatan dan merupakan penghubung antara daerah Provinsi Jawa Tengah bagian Timur dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini berbatasan dengan daerah – daerah sebagai berikut : Sebelah Utara

: Kabupaten Boyolali

Sebelah Timur

: Kabupaten Karanganyar

Sebelah Selatan

: Kabupaten Sukoharjo

Sebelah Barat

: Kabupaten Sukoharjo

Secara astronomi, Kota Surakarta terletak antara 110 0 45 ‘ 15 “ dan 110 0 45 ‘ 35 “ BT. Dan 7 0 36 ‘ dan 7 0 56 ‘LS. Kota Surakarta yang

merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah, juga menjadi penunjang kota – kota lain, seperti Semarang atau Yogyakarta tepatnya terletak sekitar

65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang. Lokasi kota

ini berada di dataran rendah yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo. Tanah di Solo bersifat ini berada di dataran rendah yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo. Tanah di Solo bersifat

3. Luas Kota Surakarta Kota Surakarta memiliki luas sekitar 44 km2 atau kurang lebih 4.404,06 ha. Dengan luas sebesar itu, kota ini terbagi dalam lima (5) kecamatan, yaitu : Banjarsari, Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, dan Jebres. Karena wilayah kota Surakarta adalah perkotaan, maka sebagian besar wilayahnya diperuntukkan untuk perumahan, perusahaan, dan jasa. Sekitar 61% luas wilayahnya digunakan untuk perumahan, 10% wilayahnya digunakan untuk usaha di bidang jasa, serta 7% untuk kawasan perusahaan. Sisa wilayah yang ada sekitar 22 % diperuntukkan untuk taman kota sebesar 1%, lapangan olah raga 1 %, area pemakaman 2 %, sawah 4 %, tegalan 2 %, lahan kosong 1 %, industri 2 %, lain – lain kurang lebih 9 %.

Daerah pemukiman memiliki pola pemukiman mengelompok. Keadaan ini ditandai antara lain dengan rumah atau tempat tinggal penduduk yang sangat berdekatan. Rumah – rumah di Kota Surakarta sebagian besar dipakai sebagai tempat usaha yang sangat menunjang kegiatan pariwisata, misalnya saja tempat penginapan, rumah makan, toko cinderamata, tempat penukaran uang, agen perjalanan, dan lain lain. Kondisi jalan di Kota Surakarta hampir semuanya sudah diperkeras dengan aspal.

B. Keadaan Demografi Penduduk Kota Surakarta

Penduduk merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kemajuan suatu daerah. Pengetahuan mengenai kondisi dan potensi penduduk di suatu daerah bermanfaat sebagai bahan dalam pertimbangan pengambilan kebijakan oleh pemerintah kota sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat Jumlah penduduk yang besar apabila dimanfaatkan secara optimal akan bermanfaat bagi pembangunan suatu daerah. Namun sebaliknya, apabila penduduk yang berjumlah besar itu kurang dimanfaatkan dan mempunyai kualitas yang rendah, maka akan menimbulkan berbagai kendala di daerah tersebut.

Tabel 2. Jumlah Jumlah Penduduk Kota Surakarta

Tahun

Jenis Kelamin

Jumlah Rasio Jenis

515.372 91,42 Sumber : BPS Kota Surakarta ( diolah dari hasil Susenas 2007 )

Menurut Data BPS yang diolah dari hasil Susenas 2007, jumlah penduduk Kota Surakarta di tahun 2003 adalah 497.234 dengan penduduk laki-laki sebanyak 242.951 dan perempuan 254.643. Rasio jenis kelamin sebesar 95,27. Ini Menurut Data BPS yang diolah dari hasil Susenas 2007, jumlah penduduk Kota Surakarta di tahun 2003 adalah 497.234 dengan penduduk laki-laki sebanyak 242.951 dan perempuan 254.643. Rasio jenis kelamin sebesar 95,27. Ini

Menurut Surakarta Dalam Angka 2007 ( BPS Kota Surakarta ), penduduk Kota Surakarta di tahun 2007 mencapai 515.372. Ini berarti ada pertumbuhan penduduk sebanyak 18.138 terhitung dari tahun 2003.

C. Keadaan Sosial – Ekonomi Kota Surakarta

1. Sosial

Sebagian besar penduduk Kota Surakarta adalah penduduk asli setempat. Juga terdapat pendatang – pendatang yang pada akhirnya menetap di Kota Surakarta, namun demikian ada beberapa warga Kota Surakarta yang pindah ke kota lain. Sebagian besar penduduk Kota Surakarta beragama Islam dan sebagian penduduk lainnya beragama Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masjid sebagai tempat ibadah umat Islam. Dari pengamatan di lapangan terlihat bahwa aktivitas sehari – hari di antara penduduknya berjalan tanpa halangan agama, karena penduduk Sebagian besar penduduk Kota Surakarta adalah penduduk asli setempat. Juga terdapat pendatang – pendatang yang pada akhirnya menetap di Kota Surakarta, namun demikian ada beberapa warga Kota Surakarta yang pindah ke kota lain. Sebagian besar penduduk Kota Surakarta beragama Islam dan sebagian penduduk lainnya beragama Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masjid sebagai tempat ibadah umat Islam. Dari pengamatan di lapangan terlihat bahwa aktivitas sehari – hari di antara penduduknya berjalan tanpa halangan agama, karena penduduk

Dari hasil pengamatan, dapat dijelaskan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang masih mempertahankan semangat gotong royong, dan kegiatan selamatan. Gotong royong merupakan aktivitas kerjasama yang sifatnya spontan, suka rela, dan tanpa pamrih. Hal ini dilaksanakan dengan sendirinya atas kesadaran individu. Kegiatan selamatan diadakan untuk memperingati putaran kehidupan seseorang, misalnya saja acara “mitoni“ diadakan utuk selamatan bulan ke-tujuh usia kandungan seseorang. Setelah lahir, diperingati upacara sepasar, untuk lima (5) hari setelah kelahiran bayi yang dikandung.

2. Ekonomi

Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang sedang berkembang. Hal ini tampak pada perkembangan ekonomi kearah yang lebih maju dengan segala macam dampak sosial yang menyertainya. Kota Surakarta yang dikenal sebagai Kota Budaya berdiri sebelum kemerdekaan Indonesia yang saat itu masih menggunakan system kerajaan sebagai sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan kerajaan tersebut sampai saat ini masih memberikan pengaruh dalam tata kehidupan masyarakat Kota Surakarta baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kebudayaan feodalisme masih dianut oleh sebagian masyarakat.