Deskripsi Sifat F1 dari Tetua Tidak Ungg

DESKRIPSI HASIL SELEKSI POPULASI GENERASI PERTAMA (F1)
DARI TETUA TIDAK UNGGUL SPECIES IKAN LELE DUMBO
(Clarias gariepinus)

Abstract
The research was conducted in order to describe the first generation of superior
character generated by a pair of African catfish is not superior. The method used in this
study is exploratory descriptive, where the values of the data obtained in the form of
concentration and dispersion values were analyzed quantitatively. The results showed
that the first generation of the resulting parent is not superior, only 2.67% yield superior
individual character as many as 43 tails members of the population while the remaining
97.33% is not superior.
Two characters that became the basis of the production of the African catfish fish
wet weight (B) and standard length (PS). Based on the convergence and diversity of
population size, the value of B at selected F1 reached 214.76 g + 72.77 (KK = 33.89%).
The PS is 25.67 +2.79 cm (KK = 10.86%). There is a relationship between the character
BB with PS of correlation values (r) were high, ranging from 0.96 to 0.97 with the
regression equation Y=25.26X-433,6.
Parent did not excel generate high levels of deformities (30%), it is still possible
optimized through a population genetic approach. High levels of disability that can be
used as a unique collection of germplasm in catfish farming business. Development of

new strains or varieties that benefit from individuals disabilities to allow for future
development.
Key word

: african catfish, not superior, character, growth, deformities
Abstrak

Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendeskripsikan karakter unggul generasi
pertama yang dihasilkan oleh sepasang ikan lele dumbo tidak unggul. Metode penelitian
yang digunakan adalah deskripstif eksploratif, dimana nilai-nilai data yang diperoleh
berupa nilai pemusatan dan penyebaran yang dianalisis secara kuantitatif.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa generasi pertama yang dihasilkan induk tidak unggul,
hanya menghasilkan 2,67% individu berkarakter unggul yaitu sebanyak 43 ekor anggota
populasi sedangkan sisanya 97,33% tidak unggul.
Dua karakter yang menjadi dasar produksi ikan lele dumbo yaitu bobot basah
(BB) dan panjang standard (PS). Berdasarkan ukuran pemusatan dan keragaman
populasi, diperoleh nilai BB pada F1 terseleksi mencapai 214,76g+72,77 (KK=33,89%).
Karakter PS yaitu 25,67cm+2,79 (KK=10,86%). Terdapat hubungan antara karakter BB
dengan PS dari nilai korelasi (r) yang tinggi yaitu berkisar 0,96 hingga 0,97 dengan

persamaan regresi Y = 25,26X–433,6.
Induk tidak unggul menghasilkan tingkat cacat tinggi (30%), masih dimungkinkan
dioptimalkan melalui pendekatan genetik populasi. Tingkat cacat yang tinggi dapat
dijadikan koleksi plasma nutfah yang unik dalam usaha budi daya ikan lele.
Pengembangan strain atau varietas baru yang menguntungkan dari individu-individu
cacat ke depan memungkinkan untuk dikembangkan.
Kata kunci

: lele dumbo, tidak unggul, karakter, pertumbuhan, cacat

PENDAHULUAN
Ikan lele dumbo adalah salah satu
komoditas perikanan yang sangat
populer (Farikhah, 2013; Mahyudin,
2007). Konsumsi ikan lele sangat cepat
peningkatannya di beberapa lokasi
terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa
Barat,
Jakarta,

Sumatera,
Kalimantan, dan Bali (Azwar dkk, 2008).
Ikan ini juga mendapat tanggapan
antusias dari masyarakat pembudi daya
karena
menunjukkan
keragaan
pertumbuhan yang cepat (Cholik dkk,
2006). Laju pertumbuhan harian ikan
lele dumbo dilaporkan sangat tinggi
dimana ikan jantan selalu lebih cepat
tumbuh dibanding betina (Skelton,
1993). Cholik dkk (2006) melaporkan
laju pertumbuhan harian ikan lele
dumbo mencapai
Popularitas ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) ternyata tidak
berimbang dengan peningkatan aspekaspek
keberlanjutan
usaha

budi
dayanya. Salah satu diantara aspek
tersebut adalah ketersediaan induk
unggul.
Ketersediaan induk unggul
terbatas pada pembudi daya skala
besar, atau di Balai-Balai Penelitian.
Adapun yang beredar di masyarakat
luas adalah induk-induk tidak unggul.
Berbagai
permasalahan
yang
dihadapi para pembudi daya daya ikan
lele dumbo di kalangan masyarakat,
diyakini salah satunya disebabkan oleh
mutu genetik induk-induk yang rendah.
Namun selama ini tidak ada penelitian
yang secara kuantitatif mendeskripsikan
sifat ‘rendah’ dari generasi-generasi
yang dihasilkan oleh induk yang tidak

bermutu. Di sisi lain, upaya pemuliaan
genetik ikan lele selama ini hanya dapat
dilakukan
oleh
kalangan-kalangan
terbatas mengingat besarnya biaya yang
dibutuhkan dan lamanya waktu yang
dibutuhkan hingga berhasil.
Berdasarkan penjabaran di atas,
maka
deskripsi
hasil
pemijahan
menggunakan induk-induk tidak unggul
sangat perlu dilakukan, supaya dapat
dilakukan
optimalisasi
upaya
pengembangan.
Penelitian ini dilakukan dalam

rangka mendeskripsikan sifat unggul

generasi pertama yang dihasilkan oleh
sepasang ikan lele dumbo tidak unggul.
Generasi pertama ini akan dapat
digunakan sebagai sumber genetik awal
untuk mengeksplorasi genetik ikan lele
lebih
jauh.
Deskripsi
tersebut
diharapkan dapat menjadi landasan dan
wacana baru untuk pengembangan
induk-induk tidak unggul yang beredar
luas di masyarakat, guna meningkatkan
nilai ekonomi ikan lele dumbo secara
ilmiah.
Hasil penelitian diharapkan dapat
bermanfaat
baik

bagi
peneliti,
mahasiswa, maupun masyarakat luas.
Peneliti akan memperoleh gambaran
profil fenotipe ikan lele dumbo dalam
satu kerabat (keturunan) dan perilaku
genetiknya yang terekspresi pada
fenotipe.
Gambaran tersebut dapat
bermanfaat
sebagai
bahan
ajar,
terutama dalam mata kuliah genetika.
Hasil penelitian juga diharapkan dapat
menemukan
beberapa sifat
yang
berpotensi dikembangkan lebih lanjut,
misalnya

pengembangan
ikan-ikan
abnormal untuk meningkatkan laju
pertumbuhan atau nilai ekonomisnya.
Bagi mahasiswa, penelitian akan
menjadi obyek belajar yang nyata
bagaimana sifat ikan diturunkan dari
induk ke turunannya, sehingga mereka
dapat membayangkan bagaimana upaya
pengembangannya kelak.
Sementara
bagi
masyarakat,
hasil
penelitian
diharapkan menjadi referensi yang baik
serta
media
edukasi
dalam

mengembangkan
induk-induk
tidak
unggul yang mereka miliki.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan selama
enam bulan di Laboratorium Akuakultur
Program Studi Budi Daya Perikanan
Fakultas
Pertanian
Universitas
Muhammadiyah
Gresik.
Penelitian
adalah penelitian deskriptif eksploratif,
karena berusaha menggambarkan suatu
kejadian dan berupaya mengeksplorasi
permasalahn-permasalahan
yang
muncul selama dilakukan penelitian.

Deskripsi dilakukan baik secara kualitatif
maupun kuantitatif agar tercapai tujuan
penelitian yaitu mempelajari generasi

2

pertama (F1) dari sepasang induk ikan
lele yang tidak jelas tetuanya.
Peralatan dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan yaitu
satu unit bak fiberglass ukuran
200*100*60cm3, satu unit kolam beton
ukuran 200*200*120cm3, satu unit
akuarium kaca ukuran 60*40*30cm3,
kolam beton ukuran 100*60*80cm3,
timbangan digital Shimadzu LB2000
series dengan ketelitian 0,1g, jaring
ikan, seperangkat peralatan kualitas air,
Hi Blow LP150 sebagai sumber oksigen
terlarut, mistar besi, dan nampan

plastik.
Bahan-bahan yang dibutuhkan
meliputi sepasang induk ikan lele
berasal dari masyarakat pembudi daya
ikan lele dan kekerabatannya tidak
terekam dengan bobot sekitar 2kg/ekor,
pakan formula 781-2 produksi PT. CPP
Surabaya, telur artemia sebagai pakan
alami larva ikan lele, kristal garam
sebagai bahan pembuat air laut
bersalinitas 28ppt.
Prosedur penelitian
Pada tahap persiapan dilakukan
pembersihan bak, akuarium, dan kolam
menggunakan deterjen dan air bersih.
Setelah itu dikeringkan. Jaring, serok,
dan peralatan-peralatan pendukung juga
dibersihkan dan dikeringkan. Bak fiber
diisi air bersih setinggi 30 cm untuk
media pemijahan induk ikan lele.
Selanjutnya dipasang waring yang
direntangkan dalam air, untuk media
penempelan telur ikan lele yang telah
dilepaskan di perairan.
Aerasi kuat
dipasang pada dua titik dalam bak fiber.
Sepasang induk ikan lele diangkat
dari kolam induk, dipilih dari populasi
induk jantan dan betina koleksi
Laboratorium Akuakultur Universitas
Muhammadiyah Gresik.
Umur induk
berkisar dua tahun. Induk yang dipilih
adalah yang matang gonad. Induk tidak
cacat, bentuk tubuh sempurna.
Ikan dipijahkan pada sore dengan
terlebih
dahulu
mengguyurnya
menggunakan air bersih sebelum
dimasukkan ke dalam bak pemijahan.

Bak ditutup menggunakan tripleks atau
papan kayu untuk mengurangi cahaya
yang masuk dalam bak serta memberi
suasana hangat di dalam bak. Pagi
harinya pemijahan telah selesai. Induk
ikan diangkat dan dikembalikan ke
dalam kolam induk, sedangkan telurtelur ikan lele yang telah terbuahi
dipindahkan ke dalam kolam beton
berukuran 2x2m2 yang telah diisi air
bersih setinggi 15cm.
Telur-telur terbuahi menetas pada
hari kedua pasca fertilisasi, dan disebut
sebagai generasi pertama (F1) dari
induk yang terpilih. Selama tiga hari
pasca menetas, larva hanya diaerasi
sedang, tidak diberi makan tambahan,
karena larva masih memiliki yolk.
Tepat hari kelima pasca fertilisasi,
dilakukan pemberian pakan alami
berupa
Artemia
sp
secukupnya.
Pemberian pakan alami berupa Artemia
dilanjutkan hingga hari ke-10 pasca
fertilisasi. Pada hari ke-11 pakan alami
diganti dengan cacing sutra (Tubifex sp)
dan cacing darah (Chironomus sp)
hingga larva berumur 15 hari. Pada hari
ke-16
pasca
fertilisasi,
dilakukan
pengenalan pakan formula (pelet).
Pelet yang diberikan adalah 781-2
produksi CPP Surabaya, yang telah
diblender halus.
Pada saat larva ikan lele berumur
30 hari dan telah menjadi benih,
dilakukan seleksi.
Benih yang telah
mencapai panjang lebih dari 5 cm
dengan
bobot
minimal
1,2g/ekor
diangkat dari kolam pendederan,
dipindahkan
ke
dalam
akuarium
berukuran 50x30x30 cm3.
Pada umur 45 hari, F1 yang
terseleksi dipindahkan ke kolam beton
berdiameter
1m.
Selama
masa
pemeliharaan, dilakukan pemberian
pakan sebanyak dua kali/hari, dengan
takaran sekenyangnya. Penggantian air
dilakukan setiap 3-4 hari sekali. Pada
saat ikan berumur 120 hari, dilakukan
penghitungan bobot basah ikan dan
panjang standard.
Dilakukan pula
identifikasi fenotipe
berupa karakter
tampak
seperti
bentuk
tubuh,
kelengkapan
sirip-siripnya, karakter
garis horizontal dagu, serta sifat-sifat
lainnya.

3

Parameter Pengamatan
Beberapa parameter yang diukur
dan dihitung ada enam yaitu ukuran
pemusatan sifat kuantitatif populasi F1,
laju pertumbuhan harian (%), Average
Daily Growth (ADG), laju pertumbuhan
spesifik,
deskripsi
kelamin,
dan
persentase cacat pada F1.
Ukuran
pemusatan
dan
penyebaran
sifat-sifat
kuantitatif
populasi F1; dihitung dari bobot basah
(BB) ikan dan panjang standardnya
(PS), kemudian ditentukan ragam
populasi, simpangan baku, korelasi
antara sifat BB dan PS, serta ditentukan
persamaan
regresinya.
Laju
Pertumbuhan harian (%), dihitung dari
perbandingan antara selisih bobot akhir
(wt) dan bobot awal (w0) dibagi dengan
bobot
awalnya,
dikalikan
100%.
Average Daily Growth (ADG)(%),
dihitung dengan membagi selisih bobot
akhir (wt) dengan bobot awal (wo)
dengan periode pemeliharaan ikan yang
diobservasi (hari). Laju pertumbuhan
spesifik (specific growth rate) dihitung
dari logaritma natural (ln) bobot akhir
(wt) dikurangi ln bobot awal (wo) dibagi
periode observasi, dikalikan 100%.
Deskripsi karakter lainnya yaitu
rasio jantan dan betina; diidentifikasi
dari bentuk papilla genitalia. Apabila
terdapat tonjolan di atas lubang anus
maka tergolong jantan, sebaliknya jika
tidak ada tonjolan di atas lubang anus,
hanya tampak lubang saja, maka
tergolong betina.
Persentase cacat
pada
F1;
diidentifikasi
dengan
mengamati morfologis individu F1 satu
per satu. Diobservasi mulai dari cavum
oris hingga cauda. Dilihat jumlah dan
bentuk barbel, keberadaan organ-organ
gerak yaitu sirip pektoral, sirip dorsal,
sirip ventral, sirip anal, dan sirip caudal.
Di amati bentuk tubuh individu, apakah
normal yaitu lurus, seperti ikan lele pda
umumnya, apakah ada pembengkokan
atau mal formasi pada sepanjang tubuh
yang permanen.

Cara menganalisis data

Data dianalisis secara statistik
untuk menemukan deskripsi sifat
kualitatif dan kuantitatif yaitu berupa
ukuran
pemusatan
dan
ukuran
penyebaran data. Angka-angka yang
diperoleh akan digunakan sebagai
pedoman menganalisis populasi F1 lebih
lanjut,
dengan
membandingkannya
pada hasil-hasil pemijahan sebelumnya
dari berbagai sumber.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Terdapat dua parameter yang
dianalisis terkait sifat kuantitatif ikan lele
yaitu bobot basah ikan dan panjang
standard. Kedua sifat tersebut sangat
menentukan laju produksi ikan lele dan
menjadi tolok ukur waktu panen bagi
pembudi daya ikan. Deskripsi benih
ikan lele dumbo dengan tetua tidak
unggul tertera di Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi hasil pemijahan
induk ikan lele tidak unggul
Karakter
Bobot pejantan
Bobot induk
Telur
yang
dihasilkan

Nilai Estimasi
2000g
2500g
50.000 butir

Hatching rate
survival
rate

30%
11%

pada umur 30
hari
Hasil seleksi pada saat larva
berumur 30 hari, diperoleh 43 ekor ikan
yang telah mencapai bobot 1,2g dengan
panjang total 5cm.
Adapun sisanya
sebanyak 1612 ekor bobotnya kurang
dari 1,2g, dengan kisaran panjang total
0,7cm-4cm.
Hasil pemeliharaan lebih
lanjut hingga umur 120 hari diperoleh
F1 sebanyak 33 ekor karena terdapat
kematian
sebesar
23,25%
yang
mayoritas disebabkan oleh pemangsaan
atau predasi. Deskripsi sifat kuantitatif
dan kualitatif F1 terseleksi dipaparkan
sebagai berikut.

4

Sifat kuantitatif:
panjang standard

bobot ikan dan

Berdasarkan ukuran pemusatan
data, pada populasi F1 terseleksi,
diperoleh rerata bobot basah (BB) ikan
lele umur 120 hari adalah 214,8g,
sedangkan panjang standard (PS)
adalah 25,7cm.
Adapun kisaran BB
terkecil sebesar 70,3g sedangkan bobot
terbesar yaitu 382,7g.
Panjang
standard terkecil yaitu 18,9 cm
sedangkan yang terpanjang mencapai
31,9cm.
Tabel 2. Bobot Ikan dan Panjang
Standard Ikan Hasil Seleksi dari
Generasi Pertama (F1)
Nomor
Ikan

BB
(g)

1

Nomor
Ikan

BB (g)

275,4
304,2

28,4

17

218,6

25,2

28,5

18

196,9

25,5

3

227,9

27,3

19

153,8

23,4

4

289,7

28,5

20

219,6

25,6

5

331,6

29,3

21

218,5

27,2

200,0

6

177,2

24,1

22

150,1

23,0

150,0

7

130,1

21,8

23

70,3

18,9

8

331,4

30,6

24

222,4

25,4

9

180,7

24,8

25

176,5

24,0

10

382,7

31,9

26

226,0

27,5

11

248,1

27,4

27

140,7

22,9

12

137,9

23,5

28

129,0

22,8

13

269,8

27,0

29

173,7

24,2

14

132,5

22,0

30

141,9

23,7

700000

15

138,3

23,2

31

229,9

26,2

600000

16

306,3

27,4

32

244,0

26,5

500000

33

311,5

29,5

2

PS
(cm)

PS
(cm)

tinggi antara sifat BB dan PS yang
digambarkan dari nilai korelasi (r)
berkisar 0,96 hingga 0,97.
Artinya,
penambahan nilai pada BB, akan
meningkatkan nilai sifat PS demikian
pula sebaliknya. Jumlah perubahan
dalam sifat BB terkait dengan satu unit
perubahan dalam PS dihitung melalui
nilai
regresi.
Berdasarkan
rumus
perhitungan regresi PS terhadap BB
diperoleh nilai koefisien regresi pada
sebesar
25,26.
Artinya
setiap
penambahan panjang ikan sebesar 1 cm
akan diikuti oleh penambahan bobot
ikan seberat 25,26g.
Persamaan
regresi
dihitung
berdasarkan
rumus
Y=Y+byx(X-µ)
untuk data di Tabel 1 maka diperoleh
persamaan regresi Y=25,26X–433,6
(Gambar 1).
450,0
400,0

y = 25,262x - 433,79
R² = 0,9391

350,0
300,0
250,0

y

Linear (y)

100,0

50,0
0,0
0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

Gambar 1. Garis regresi populasi F1
Bobot Ikan (weight gain)(%)
800000

400000

33
311,5
29,5
Rerata (µ) BB= 214,8 g
Rerata (µ) PS= 25,7cm

300000
200000
100000

Ukuran penyebaran populasi
dideskripsikan
melalui
ragam,
simpangan
baku,
dan
koefisien
keragaman (%).
Bobot basah (BB)
keragamannya
mencapai
5295,97g
dengan
simpangan
baku
72,77g.
Panjang Standard (PS) keragaman
7,97cm
dengan
simpangan
baku
2,79cm.
Koefisien keragaman (KK)
pada sifat BB sebesar 33,89%,
sedangkan pada sifat PS sebesar
10,87%. Ditemukan nilai korelasi yang

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324252627282930313233

Gambar 2. Variasi Weight gain (%)
anggota populasi F1 terseleksi.

Weight gain menggambarkan
persentase peningkatan bobot basah
ikan dari bobot awalnya.
Hasil
penghitungan
weight
gain
pada
Kelompok I diperoleh individu terkecil
mencapai
140.500%+655,31%
sedangkan individu terbesar mencapai
765.300%+655,31%.
Pada kelompok

5

pada kedua sifat tersebut, meskipun
belum terbukti secara pasti, karena
belum dibandingkan secara statistik.
Identifikasi F1 cacat dilakukan
secara morfologis melalui fenotipe yang
dimiliki individu tersebut. Ikan-ikan yang
tidak berhasil membentuk morfologi
yang simetri antara sisi kanan dengan
sisi kirinya dianggap sebagai ikan cacat.
Dari ciri-ciri fisiknya, diperoleh ikan
cacat sebanyak 9 ekor (27,27%). Cacat
yang
dialami
ikan
bervariasi,
diantaranya kelainan bentuk tubuh,
absennya sirip pektoral baik salah satu
ataupun sepasang, serta ukuran sirip
yang sempit.

II individu terkecil meningkat bobotnya
sebesar 35.300%+33.809% sementara
individu yang terbesar bobotnya berlipat
hingga 377.300%+33.809%.
Pertumbuhan harian (average daily
growth)
Pertumbuhan harian atau umum
disebut ADG mendeskripsikan laju
pertumbuhan dalam persentase setiap
harinya.
ADG
hanya
dihitung
berdasarkan penambahan bobot setiap
harinya, dan tidak digunakan panjang
standard dalam aplikasinya. Nilai ADG
pada F1 terseleksi dapat disimpulkan
bahwa penambahan bobot harian ikan
lele sangat bervariasi, baik dalam satu
kelompok maupun antar kelompok.
Hasil perhitungan populasi F1 terseleksi
diperoleh
ADG
tertinggi
sebesar
318,88% dan terkecil 58,54%.

jantan

350,00
300,00

betina

250,00
200,00
150,00

Gambar 4. Jenis kelamin populasi
Generasi F1 terseleksi

ADG

100,00
50,00

0,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12131415 16 1718 1920 2122 2324 25 2627 28 29 303132 33

Gambar 3.
terseleksi

Tabel 3.
Deskripsi cacat
populasi F1 terseleksi

pada

ADG anggota populasi F1

Laju pertumbuhan spesifik (specific
growth rate)
Laju pertumbuhan spesifik F1
terseleksi rerata 6,92%BB/hari. Dalam
populasi berkisar antara 6,04%BB/hari
hingga
7,45%BB/hari
dengan
keragaman 0,09.
Rasio kelamin dan tingkat
kecacatan
Identifikasi jenis kelamin melalui
ciri sekunder ditemukan 16 individu
jantan dan 17 individu berjenis kelamin
betina,
sehingga
diperoleh
rasio
jantan:betina mendekati nilai 1:1.
Kelamin jantan dan betina menunjukkan
perbedaan dalam ekspresi sifat BB dan
PS.
Ditemukan bahwa ikan jantan
relatif dapat mencapai nilai lebih tinggi

No

ikan

kelamin

1

1

betina

2

3

betina

3

6

betina

4

15

jantan

5

16

jantan

6
7
8

17
23
25

betina
betina
jantan

9

26

jantan

Deskripsi kecacatan
sirip pektoral kanan
absen
sirip pektoral kanan
absen
sirip pektoral kanan
absen, sirip pektoral
kiri kerdil
pektoral kiri dan
kanan absen
pektoral kanan absen
pektoral kanan absen
pektoral kanan absen
pektoral kiri absen
pektoral kiri sempit
(hanya tiga jari
lunak)

Berdasarkan Tabel 3 diketahuii
bahwa cacat yang dialami oleh generasi
pertama (F1) dari sepasang induk tidak
unggul hampir seluruh kecacatan berupa

6

ketidaknormalan alat gerak atau sirip.
Dijumpai kondisi sirip kerdil, terlipat,
atau bahkan sirip absen.
Kecacatan
tersebut dialami baik oleh ikan yang
berjenis kelamin jantan maupun betina.
Tidak ada yang hanya dialami jantan
saja ataupun betina saja, sehingga
kecacatan tersebut tidak terangkai
kelamin.
Pembahasan
Sepasang induk ikan lele tidak
unggul mempunyai potensi yang sangat
kecil dalam menghasilkan keturunan
(F1) yang baik. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa hatching rate hasil
perkawinan pada penelitian ini hanya
mencapai 33% dengan survival rate
11%. Nilai tersebut sangat rendah jika
dibandingkan dengan hasil pemijahan
ikan lele pada induk unggul. Sunarma
et al (2004) melaporkan induk ikan lele
dumbo seharusnya dapat mencapai
derajat penetasan >80%, sementara
induk unggul seperti lele sangkuriang
mencapai HR >90%. Survival rate yang
diperoleh juga kecil, yaitu hanya 11%.
Rendahnya HR dan SR dalam
penelitian ini adalah indikasi telah terjadi
inbreeding pada induk. Inbreeding,
sebagai
fenomena
meningkatnya
homozigositas
individu
adalah
konsekuensi dari yang sekerabat yaitu
berasal dari jantan dan betina yang
sama.
Seleksi pada larva berumur 30
hari menemukan fakta bahwa hanya
2.62% yang mampu tumbuh pesat dan
berpotensi mencapai ukuran konsumsi
pada umur 75 hari. sedangkan 97,38%
pertumbuhannya tergolong lambat. Jadi
mayoritas dari keturunan induk tidak
unggul laju pertumbuhannya lambat.
Apabila dijadikan benih untuk usaha
pembesaran maka dibutuhkan waktu
lebih dari 4 bulan untuk mencapai
ukuran konsumsi.
Keragaman individu generasi F1
Sifat kuantitatif yang sangat
penting dan bernilai komersial menurut
para ahli genetika adalah bobot tubuh
(Warwick et al, 1990; Lutz, 2001;

Gjedrem et al, 2007). Bobot tubuh
merupakan hasil kerja dari gen-gen
yang mengatur individu, sebagaimana
sifat-sifat tampak lainnya seperti berat
karkas pada sapi, warna kulit, atau
warna sisik, bentuk tubuh, bentuk sirip,
dan sifat-sifat lainnya (fenotipe) pada
ikan. Bobot tubuh adalah fenotipe yang
dapat dilihat dan diamati, sebagai hasil
kerja dari genotype yang tidak dapat
diindera secara kasat mata oleh
manusia.
Hal tersebut juga berlaku bagi
ikan lele dumbo. Dari sudut pandang
pembudi daya, benih ikan lele dumbo
favorit mereka adalah benih-benih yang
pertumbuhannya paling cepat. Dari sisi
konsumen, maka konsumen ikan lele
saat ini sangat peka dengan ukuran ikan
lele. Konsumen menginginkan ukuran
yang sangat spesifik dan satu syarat
penting yang harus dipenuhi yaitu
ukurannya seragam. Konsumen tidak
menginginkan ikan yang ukurannya
tidak seragam (uniform), dimana ikan
berukuran besar dijual bersamaan ikan
kecil.
Dengan demikian alangkah
pentingnya dipelajari sifat tersebut agar
dapat
meningkatkan
preferensi
masarakat terhadap ikan lele.
Mempelajari bobot ikan lele
merupakan hal yang sulit karena
sebagai sifat kuantitatif, sifat tersebut
dikendalikan oleh beberapa pasangan
gen. Gen-gen tersebut ekspresinya juga
dipengaruhi lingkungan sehingga sulit
dipelajari menggunakan teori genetika
konvensional.
Ikan yang seragam
berarti ikan yang identik bobotnya dan
sama umurnya.
Ikan yang dapat
mencapai bobot sama dalam umur yang
sama berarti mereka memiliki genotype
identik untuk sifat pertumbuhannya
(Warwick et al., 1990).
Perbedaan
pertumbuhan
individu dapat disebabkan oleh banyak
faktor. Umino et al (1997) dan Qian et al
(2002)
dalam
Martins
(2005)
menjelaskan ada dua hal faktor
penyebab yaitu perbedaan kuantitas
asupan pakan atau efisiensi pakan, atau
bahkan bisa juga akibat keduanya. Lebih
lanjut Martins (2005) mengutip bahwa
beberapa peneliti melaporkan, banyak
faktor penyebab keragaman individu,

7

antara lain efek maternal, prosedur
pemberian pakan (Mambrini et al.,
2004), densitas ikan, temperatur, hirarki
social, Kanibalisme, laju metabolic
pemanfaatan
oksigen,
standard,
aktivitas renang, perilaku, respons
stress, dan jender.
Dari sekian faktor penyebab
keragaman individu, nampaknya sangat
sulit untuk dikendalikan semuanya.
Meskipun
keragaman
individu
merugikan, namun tidak berarti harus
dienyahkan secara tuntas. Hal penting
yang
harus
dipenuhi
adalah
mengeliminir keragaman sehingga dapat
diperoleh generasi yang mendekati
ideal, seperti harapan masyarakat.
Penelitian
ini
menemukan
bahwa benih ikan lele yang berasal dari
induk sama, hasil fertilisasi ovum oleh
sperma pada waktu yang sama, dan
mendapat perlakuan sama, tidak dapat
berlaku sama dalam hal tumbuh atau
menambah bobot tubuh. Sejak masa
penetasan (hatched) diamati bahwa
seluruh telur terfertilisasi tidak menetas
serempak, namun pada kurun waktu
yang normal yaitu sekitar 36 jam hingga
48 jam pasca fertilisasi, semua embrio
telah menetas. Hal ini selaras dengan
laporan FAO (1990), embrio ikan lele
dumbo akan menetas pada saat 36
hingga 48 jam pasca fertilisasi. Ada
individu F1 yang telah menetas pada
jam ke-6 ada pula yang lebih dari itu.
Pertumbuhan ikan lele, dalam
hal ini indikatornya dua sifat yaitu bobot
badan (BB) dan panjang standard (PS).
Keduanya dipantau sejak menetas
hingga benih ikan lele dumbo berumur
30 hari.
Berdasarkan pengamatan
visual, benih-benih F1 tersebut tumbuh
tidak serempak. Ada yang telah
mencapai PS 7 cm, namun ada pula
yang sangat kerdil, panjangnya kurang
dari 1 cm. Terdapat 43 individu yang
pertumbuhannya sangat cepat, yaitu
lebih dari 3,8%BB/hari.
Populasi dari induk tidak unggul
yaitu objek penelitian, menunjukkan
bahwa
generasi yang dihasilkan
mengikuti tren populasi yang tidak
normal, bergeser dari ciri-ciri populasi
pada
umumnya.
Ukuran
kerdil
mendominasi dan ukuran sedang sangat

sedikit, sementara ukuran besar kosong.
Ukuran sangat besar juga ditemukan
meski dalam jumlah sangat sedikit pula.
Persentase Koefisien Keragaman (C.V)
pada bobot basah (BB) F1 termasuk
tinggi yaitu 33,98%. Nilai tersebut jauh
lebih tinggi daripada hasil penelitian
Ewa-Oboho and Enyenihi (1999) pada
African catfish diperoleh 9,0-25,5%.
Gjedrem (1997) menyebutkan bahwa
koefisien keragaman pada species ikan
berkisar 20-35% sedangkan pada
binatang darat lebih kecil yakni 7-10%.
Penyebab
ketidaknormalan
populasi F1 berkaitan erat dengan
kualitas induk.
Dalam penelitian ini
induk yang digunakan adalah induk
tidak unggul, yang kemungkinan besar
merupakan hasil dari perkawinan
sedarah
(inbreeding)
atau
hasil
perkawinan yang tidak terprogram.
Apabila
masyarakat
menggunakan
induk-induk dengan kualitas seperti itu,
maka dapat diprediksi benih-benih yang
dihasilkan
mayoritas
laju
pertumbuhannya rendah.
Distribusi
populasi yang tidak normal sangat tidak
menguntungkan
bagi
masyarakat,
terutama para pembenih ikan lele
dumbo. Mereka membutuhkan waktu
lebih lama untuk menghasilkan benih
ikan lele siap jual, yaitu berukuran
sekitar 5 cm. Disamping itu, mereka
juga
akan
mendapati
variasi
pertumbuhan dalam satu generasi, yang
sangat besar.
Ada sebagian kecil benih yang
tumbuh pesat, namun mayoritas benih
tumbuh sangat lambat atau kerdil.
Adanya variasi yang besar antar individu
anggota populasi pada ikan lele dumbo
akan menjadi penyebab terjadinya
predasi atau pemangsaan (Baras and
Fortune d’Almaida, 2001; Baras and
Jobling, 2002). Ikan-ikan yang tumbuh
cepat akan memangsa ikan-ikan kerdil.
Akibatnya persentase kelulushidupan
larva menjadi rendah.
Kondisi tersebut dapat diatasi
dengan dilakukan seleksi atau grading
yaitu memisahkan ikan yang tumbuh
pesat
dari
ikan
yang
lambat
pertumbuhannya.
Dengan demikian
grading dapat menciptakan kondisi
heterogen menjadi lebih homogen.

8

Grading, memberi kesempatan ikan
kerdil dapat tumbuh tanpa tekanan ikan
yang lebih besar (Jobling, 1985, 1997;
Knight, 1987).
Dalam penelitian ini
seleksi dilakukan pada saat benih
berumur 30 hari, dimana ikan yang
tumbuh pesat disendirikan dari ikan
yang tumbuh lambat.
Pasca
dilakukan
seleksi,
populasi F1 dipelihara kembali hingga
mencapai ukuran konsumsi yaitu umur
120 hari.
Warwick et al (1990)
menyelidiki populasi sapi dimana berat
dari setiap anggota populasi tersebut
idealnya mengikuti sebaran normal,
yakni grafik populasi mirip bentuk
lonceng. Dalam sebaran normal maka
nilai-nilai terkumpul di sekitar nilai
tengah, makin menipis secara simetris
menuju kedua ujungnya. Artinya dalam
populasi tersebut ada sekian persen
yang kerdil, ada yang berukuran
sedang, dan ada pula yang berukuran
besar hingga sangat besar.
Sifat kuantitatif: bobot basah (BB)
dan panjang standard (PS)
Dua
sifat
penting
bagi
produktivitas ikan lele dumbo, yaitu
bobot basah (BB) dan panjang standard
(PS) dari generasi pertama (F1) yang
terseleksi dari induk ikan lele dumbo
koleksi
Laboratorium
Akuakultur
menunjukkan hasil yang bervariasi.
Nilai tersebut adalah konsekuensi dari
laju pertumbuhan F1 yang juga sangat
bervariasi. Dari hasil perhitungan bobot
ikan (weight gain), pada penelitian ini
perolehan bobot ikan (weight gain)
terkecil adalah 35.300%+33.809% dan
terbesar
mencapai
765.300%+655,31%. Verreth et al
(2005) memperoleh nilai sebesar
145,38% hingga 272,17%. Namun
SEAFDEC/AQD
(1994)
melaporkan
capaian bobot ikan lele dumbo mencapai
900%. Dari temuan peneliti lain, maka
capaian bobot ikan dari F1 dalam
penelitian ini tergolong rendah.
Pertumbuhan harian atau ADG
F1 yang dihasilkan dari penelitian juga
tergolong sangat rendah dengan nilai
berkisar
14,71%BB/hari
hingga
318,88%BB/hari.
Laporan
Martins

(2005) ikan lele dumbo dapat mencapai
ADG 963,26%BB/hari. Nilai yang sangat
jauh lebih tinggi dari capaian penelitian.
Rendahnya ADG selain disebabkan mutu
genetik induk, juga dapat disebabkan
karena teknis pemeliharaan selama
penelitian yang belum sepenuhnya
optimal.
Adapun SGR menunjukkan
penambahan massa sel per unit waktu.
Nilai SGR tertinggi mencapai 7%/hari.
Tidak terdapat perbedaan besar antara
ikan terkecil dengan yang tebesar,
dalam hal SGR.
Martins
et
al
(2005)
memaparkan, bahwa individu yang laju
pertumbuhannya
cepat
disebabkan
karena cepatnya mereka merespons
pakan yang diberikan. Individu-individu
seperti itu biasanya cepat besar,
melebihi
ukuran
teman-temannya.
Diperkirakan laju penyantapan pakan
dipengaruhi
oleh
faktor
genetik.
Sebagai suatu sifat yang dikendalikan
genetik, maka diperoleh peluang untuk
mengelksplorasi sifat kerakusan atau
laju menyantap makanan dengan
keterkaitan karakter fisik (fenotipe)
lainnya pada ikan lele.
Kembali kepada prinsip bahwa
dalam
kondisi
umum,
individu
mempunyai pasangan gen yang lengkap
dalam kromosomnya. Gen-gen tersebut
adalah warisan dari tetuanya, dimana
induk betina akan menyumbangkan
setengah dari total gennya demikian
pula
pejantan
juga
memberikan
setengah dari total gen miliknya. Jadi
individu secara lengkap akan memiliki
gen identik dengan tetuanya yang
sama-sama species ikan lele dumbo.
Hanya saja, dalam perjalanan hidup
individu, ekspresi gen-gen dipengaruhi
banyak hal, termasuk kerja sama antar
gen dan kondisi lingkungan.
Dugaan
sementara
adanya
keragaman BB dan PS individu adalah
disebabkan karena faktor genetik
memberi
peluang
besar
untuk
mengeksplorasi sifat atau karakter lain
yang belum pernah diselidiki secara
mendalam.
Beberapa karakter yang
dimaksud diantaranya lebar cavum,
karakter sirip-sirip gerak, dan lebar
rahang.
Ketiga
sifat
tersebut
dimungkinkan berkorekasi dengan laju

9

berenang dan bukaan mulut ikan.
Dengan karakter sirip yang kuat, ikan
bisa cepat beranang merebut pakan,
sedangkan dengan bukaan mulut yang
lebar, individu bisa menelan pakan
dalam jumlah banyak dalam satu waktu.
Hasil observasi selama penelitian,
diketahui bahwa lebar cavum individu
beragam juga. Ada yang lebar, ada
yang sempit, dan ada pula yang sangat
lebar. Adapun fenotipe lain yaitu lebar
rahang, dan karakter sirip gerak, belum
diobservasi lebih lanjut.
Fenomena kerdil yang dijumpai
dalam generasi pertama dari induk tidak
unggul
adalah
individu
kerdil.
Mengingat jumlahnya yang banyak,
mencapai
90%
populasi,
maka
diperlukan pendalaman pemahaman
agar dapat ditemukan jalan keluar
mengatasi kekerdilan tersebut.
Seleksi
dapat
menurunkan
heterogenitas populasi. Laju menyantap
makanan juga cepat.
Hasilnya, laju
pertumbuhannya cepat, baik dari
indicator perolehan bobot ikan, ADG,
dan PS individu.
Hasilnya, populasi
dapat mencapai harapan, pada saat
masuk umur 90 hari. Populasi dapat
memenuhi harapan para pembudi daya
ikan lele dumbo, yaitu individu mencapai
ukuran minimal 100g/ekor.
Meski seleksi dapat menciptakan
homogenitas dalam populasi, akan
tetapi seleksi tidak dapat mengatasi
problem kerdil atau lambatnya laju
pertumbuhan ikan lele. Ikan lele akan
tetap lambat pertumbuhannya meskipun
dalam kondisi ketiadaan ikan-ikan yang
besar dalam satu generasi dan dalam
satu bak kultur.
Dengan demikian,
sangat dibutuhkan pengkajian yang
lebih mendalam untuk mengeksplorasi
genotype ikan terkait sifat BB dan PS
melalui eksplorasi karakter tampak atau
fenotipenya.
Fenotipe lainnya pada F1
Jenis
kelamin
pada
F1
ditemukan bahwa perbandingan antara
jantan dan betina adalah 1:1. Kondisi
tersebut sangat sesuai dengan teori
yang ada, dimana kemunculan individu
jantan dan betina, secara teoritis adalah

50%.
Jenis kelamin belum menjadi
preferensi masyarakat pada komoditas
ikan lele dumbo, sehingga baik betina
maupun jantan masih diterima secara
baik oleh masyarakat.
Hasil analisis sifat BB dan PS
berdasarkan kelaminnya, ditemukan
bahwa individu berkelamin jantan lebih
tinggi di kedua sifat tersebut. Hal ini
yang menyebabkan beberapa penelitian
yang lalu, mengupayakan maskulinasi
pada ikan lele.
Rustidja (1998)
melaporkan maskulinasi dengan hormon
metiltestosterone berhasil menjantankan
turunan pada ikan lele lokal (Clarias
jadi
tidak
menutup
bathracus),
kemungkinan
berhasil
pula
jika
dilakukan pada ikan lele dumbo (C.
gariepinus).
Namun
saat
ini
penggunaan hormon penjantanan, yaitu
metiltestosterone
sangat
dibatasi
bahkan dilarang karena dimungkinkan
terjadi deposisi hormon di dalam
jaringan ikan, yang berdampak pada
konsumen akhirnya.
Beberapa kelompok konsumen
menyukai ikan lele dumbo yang sedang
bertelur. Untuk pasar, maka ke depan
bisa diupayakan pencarian induk yang
memiliki
keunggulan
dapat
menghasilkan
generasi
dominansi
berjenis kelamin betina. Dapat pula
dilakukan eksplorasi potensi fenotipe
kematangan gonad pertama kali pada
ikan lele dumbo, untuk mengoptimalkan
potensi ikan lele dumbo ke depan.
Fenotipe lainnya yang muncul
pada generasi pertama induk lele
dumbo yang diteliti yaitu ikan lele cacat.
Menarik sekali bahwa fenomena cacat
pada F1 yang ditemukan, kemungkinan
karena aksi gen-gen yang tidak dimiliki
pada sepasang induk yang dikawinkan.
Sepasang ikan lele dumbo yang
dijadikan sebagai induk, tidak memiliki
cacat fisik apa pun. Jadi fenotipe
sepasang induk adalah normal. Muncul
ekspresi
gen
cacat
pada
F1
dimungkinkan
karena
dampak
inbreeding yang telah dibawa oleh
induk.
Sebanyak hampir 30% ikan
cacat dapat dieksplorasi genotipenya
untuk menghasilkan ikan cacat secara
kontinyu, yang ke depan juga dapat
menjadi
sifat
unggul
bagi

10

pengembangan budi daya ikan lele
dumbo
demi
memuaskan
selera
konsumen.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Generasi pertama (F1) unggul
dari tetua ikan lele dumbo tidak unggul
hanya diperoleh sebanyak 2,67%
sedangkan sisanya 97,33% termasuk
kerdil dan atau tidak unggul dari
karakter produksinya.
Dua sifat yang
menjadi dasar produksi ikan lele dumbo
yaitu bobot basah (BB) dan panjang
standard (PS).
Berdasarkan ukuran
pemusatan dan keragaman populasi,
diperoleh nilai BB pada F1 terseleksi
mencapai
214,76g+72,77
(KK=33,89%).
Sifat
PS
yaitu
25,67cm+2,79 (KK=10,86%).
Terdapat hubungan antara sifat
BB dengan PS dari nilai korelasi (r) yang
tinggi yaitu berkisar 0,96 hingga 0,97.
Artinya, penambahan nilai pada BB,
akan meningkatkan nilai sifat PS
demikian pula sebaliknya. Adapun
persamaan regresinya yaitu Y = 25,26X
–433,6.
Penyebab keragaman individu
yang ditemukan pada F1 disimpulkan
akibat faktor genetik, dimana kedua
sifat yang diteliti yaitu BB dan PS tidak
terangkai dengan kromosom sex. Sifatsifat yang muncul, meski terlihat kurang
menguntungkan,
dimana
laju
pertumbuhan rendah, keragaman tinggi,
tingkat cacat tinggi (30%), masih
dimungkinkan
dioptimalkan
melalui
pendekatan genetik populasi.
Tingkat cacat yang tinggi dapat
dijadikan koleksi plasma nutfah yang
unik dalam usaha budi daya ikan lele.
Pengembangan strain atau varietas baru
yang menguntungkan dari individuindividu cacat ke depan memungkinkan
untuk dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Cholik, F., AG. Jagatraya, RP. Poernomo,
dan A. Fauzi. 2006. Akuakultur
Tumpuan Harapan Masa Depan.
Masyarakat
Perikanan
Nusantara-Taman
Minii
Indonesia Indah. Jakarta
Gjedrem, T and M. Baranski,2005.
Selective
Breeding
in
Aquaculture: An Introduction.
Springer.
United States of
America.
Lutz, CG.2001. Practical Genetics for
Fishing new
Aquaculture.
books.
United States of
America.
Martins, CIM. 2005. Individual variation

in growth of African Catfish: a
search for explanatory factors.
PhD Thesis.
Wageningen
Institues of Animal Sciences.
Netherlands
SEAFDEC/AQD. 1994.
R & D for
Sustainable
Aquaculture.
1992/1994 Report.
Sunarma,A.
2004.
Peningkatan
Produktifitas Usaha Ikan Lele
(Clarias
sp).
Sangkuriang
Makalah
Disampaikan
Pada
Temu Unit Pelaksanaan Teknis
(UPT)
dan
Temu
Usaha
Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya,
Departemen
Kelautan
dan
Perikanan,
Bandung 04-07 Oktober 2004.
Bandung.
Warwick,
EJ.,
JM.
Astuti,
W.
Hardjosubroto.
1990.
Pemuliaan Ternak.
Gadjah
Mada
University
Press.
Yogyakarta

Saran
Disarankan untuk membuat
perkawinan serupa dengan kualitas
tetua yang identik untuk melihat
konsistensi dari hasil deskripsi sifat-sifat
kuantitatif yang telah ditemukan pada
penelitian ini.

11