RESPONS MASYARAKAT KAMPUNG NAGA TERHADAP PEMBANGUNAN PARIWISATA DI DESA NEGLASARI, KECAMATAN SALAWU, KABUPATEN TASIKMALAYA (1975-2010)

RESPONS MASYARAKAT KAMPUNG NAGA TERHADAP PEMBANGUNAN PARIWISATA DI DESA NEGLASARI, KECAMATAN SALAWU, KABUPATEN TASIKMALAYA (1975-2010) THE RESPONSE OF THE KAMPUNG NAGA COMMUNITY TO TOURISM DEVELOPMENT IN NEGLASARI VILLAGE, SALAWU SUBDISTRICT, TASIKMALAYA REGENCY (1975-2010)

Awaludin Nugraha, M. Baiquni, Heddy Shri Ahimsa-Putra, Tri Kuntoro Priyambodo

Program Studi Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta e-mail: awaludin.nugraha@unpad.ac.id, mbaiquni@ugm.ac.id, heddy.shry@ugm.ac.id, mastri@ugm.ac.id

Naskah Diterima: 5 Mei 2018

Naskah Direvisi: 30 Juli 2018

Naskah Disetujui: 10 September 2018

Abstrak

Pada kurun 1975-2010 Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya telah melakukan pembangunan pariwisata di Kampung Naga dengan tujuan meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Namun, masyarakat Kampung Naga melakukan respons negatif terhadap pembangunan tersebut. Mengapa masyarakat Kampung Naga melakukan respons negatif terhadap pembangunan pariwisata, padahal pembangunan tersebut dapat meningkatkan kehidupan ekonominya? Tujuan studi ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk respons masyarakat Kampung Naga terhadap pembangunan pariwisata dan memahami penyebab munculnya respons itu. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang terdiri atas heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan dan wawancara sejarah lisan. Teknik analisis datanya menggunakan model interaktif. Hasilnya menunjukkan bahwa bentuk respons negatif masyarakat Kampung Naga terhadap pembangunan pariwisata terjadi secara bertahap dari skala lokal sampai skala nasional. Respons negatif tersebut disebabkan adanya perbedaan pemaknaan terhadap konsep pariwisata. Bagi masyarakat Kampung Naga, pariwisata bermakna silaturahmi yang bertujuan mempererat persaudaraan, sedangkan bagi pemerintah adalah aset untuk mendapatkan keuntungan finansial.

Kata kunci: pembangunan pariwisata, respons, makna pariwisata, Kampung naga.

Abstract

In the period 1975-2010 Tasikmalaya Regency Government has made tourism development in Kampung Naga. The purpose was to improve the economic life of Kampung Naga community. However, the Kampung Naga community responded negatively to that development. Why did the Kampung Naga community respond negatively to the development of tourism, whereas that development could improve the life of its economist? The purpose of this study is to describe the response form of Kampung Naga community to the tourism development and to understand the cause of the response. The research method used is a historical method, namely heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Collecting data are using literature studiies and oral history interviews. Interactive model is used to analyze data. The result of this study shows that the negative response form of Kampung Naga community toward tourism development happened

204 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 203 -218 meaning to the concept of tourism. For the community of Kampung Naga, tourism means a

relationship that aims to strengthen the brotherhood, while for the government assets to improve financial benefit.

Keywords: tourism development, response, meaning of tourism, Kampung naga. A. PENDAHULUAN

Oleh karena itu, mempelajari sikap Pembangunan

pada masyarakat lokal dan reaksinya terhadap hakikatnya

pariwisata

bertujuan untuk fenomena kepariwisataan akan membantu mensejahterakan masyarakat. Oleh karena pula

melakukan proses itu, hasil pembangunannya harus dapat pembangunan pariwisata. dimanfaatkan oleh masyarakat, terutama di

dalam

Implementasi nilai-nilai budaya tempat dilakukannya pembangunan. Untuk masyarakat lokal pada pembangunan itu, masyarakat harus dilibatkan dalam pariwisata tidak bisa bersifat top-down, pembangunan itu. Masyarakat harus yaitu dilakukan oleh pemerintah tanpa menjadi subjek pembangunan, bukan objek melibatkan masyarakat lokal, karena akan pembangunan. Dalam konteks pariwisata, menghasilkan kegagalan. Jupir (2013) hal tersebut selaras dengan asas membuktikan hal tersebut di Kabupaten pembangunan pariwisata seperti yang Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara

tercantum dalam Undang-Undang Nomor Timur. Ia juga menyatakan bahwa

10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. pembangunan pariwisata yang bersifat top- Dalam undang-undang tersebut juga down dapat menimbulkan ego sektoral. dinyatakan

bahwa penyelenggaraan Pembangunan pariwisata yang bersifat top- kepariwisataan, harus menjunjung tinggi down juga dilakukan oleh Pemerintah prinsip norma agama dan nilai budaya. Kabupaten Tasikmalaya di Kampung Naga Menurut Goeldner dan Ritchie (2012), yang terletak di Desa Neglasari , penyelenggaraan kepariwisataan dengan Kecamatan

Salawu, Kabupaten memperhatikan

nilai-nilai budaya Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. masyarakat lokal di destinasi akan menjadi Kampung Naga merupakan objek wisata dasar

keberlanjutan pembangunan yang banyak dikunjungi oleh wisatawan, pariwisata di suatu destinasi. Nilai budaya baik mancanegara maupun Nusantara, terdapat dalam adat istiadat yang diusung karena keunikan budaya dan kemudahan oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, adat aksesibilitasnya. Kedatangan wisatawan ke istiadat menjadi kata kunci untuk Kampung Naga setidaknya sudah berjalan terlaksananya pembangunan pariwisata.

sejak empat dasawarsa yang lalu dan dari Jiaying dkk. (2006) mengemukakan waktu ke waktu jumlahnya semakin bahwa

keberhasilan pembangunan banyak. Banyaknya kunjungan wisatawan pariwisata membutuhkan hubungan yang itu dilihat oleh Pemerintah Kabupaten harmonis antara masyarakat

lokal, Tasikmalaya sebagai potensi besar untuk wisatawan, dan industri pariwisata. mendapatkan pemasukan finansial. Seiring Sehubungan dengan itu, pemahaman dengan kedatangan wisatawan tersebut, terhadap nilai-nilai budaya dan adat Pemerintah

Kabupaten Tasikmalaya istiadat masyarakat lokal menjadi suatu hal melakukan

pembangunan pariwisata yang perlu diperhatikan. Jiaying dkk. dengan maksud untuk membuat nyaman (2006) juga menyatakan bahwa sikap wisatawan dan semakin meningkatkan masyarakat lokal terhadap pembangunan jumlah kedatangannya. pariwisata tidak semuanya mendukung.

Namun, seperti fenomena yang Ada pula yang menolaknya. Di wilayah- dinyatakan

Jiaying dkk. (2006), wilayah yang mayoritas penduduknya masyarakat Kampung Naga merespons bersifat negatif ketika berinteraksi dengan negatif terhadap pembangunan pariwisata wisatawan, akan mengalami kesulitan tersebut. Masyarakat Kampung Naga untuk melakukan pembangunan pariwisata. memiliki

pandangan lain terhadap

Respons Masyarakat Kampung Naga..... (Awaludin N., M. Baiquni, Heddy Shri, Tri Kuntoro) 205 pembangunan pariwisata itu. Mereka para peneliti. Mayoritasnya menggunakan

merasa tidak nyaman dan terganggu yang pendekatan kuantitatif, tidak banyak yang akhirnya melakukan respons negatif. menggunakan

pendekatan kualitatif. Namun begitu, masyarakat Kampung Naga Respons yang dikemukakannya lebih tidak menolak kehadiran wisatawan di banyak respons positif, ketimbang respons kampungnya. Hal tersebut menunjukkan negatif. bahwa mereka sebenarnya tidak menolak

Nunkoo dkk. (2013) melakukan aktivitas pariwisata di kampungnya. studi longitudinal terhadap 140 artikel Namun, mengapa mereka merespons yang terbit dalam tiga jurnal pariwisata negatif pembangunan pariwisata yang ternama sejak tahun 1984-2010. Tujuannya dilakukan

pemerintah kabupaten? adalah untuk melihat perkembangan sifat bagaimana bentuk responsnya? dan dari artikel dan pendekatan yang bagaimana masyarakat Kampung Naga digunakan. Oleh karena tujuan tersebut, memaknai pariwisata?

maka tidak dikemukakan lokasinya. Dalam studi ini respons diartikan Sebagian besar dari artikel-artikel itu sebagai reaksi, tanggapan, dan jawaban bersifat deskriptif dan sisanya menguji (Poerwadarminta, 1999). Respons akan teori tertentu. Mayoritas penelitian itu timbul setelah seseorang atau sekelompok menggunakan metode kuantitatif. Tidak orang terlebih dahulu merasakan kehadiran banyak yang menggunakan metode suatu

kemudian kualitatif dan metode campuran. Kajian- menginterpretasikan objek yang dirasakan kajian tentang topik tersebut dalam tahun- itu. Respons yang diberikan masyarakat tahun terakhir dilakukan pada beberapa dapat berupa respons positif dan respons lokasi di dunia, seperti di Spanyol (Vargas- negatif. Respons positif muncul bila Sanchez dkk., 2011), Taiwan (Lee, 2013), masyarakat mempunyai tanggapan atau Cina (Cornet, 2015; Lai dan Hitchcock, reaksi

objek

dan

2016), Malaysia program/kegiatan, yaitu dengan antusias (Rasoolimanesh dkk., 2016), Vietnam ikut

berpartisipasi menjalankan (Adongo dkk, 2017), Dubai (Zaidan dan program/kegiatan itu. Sebaliknya, respons Kovacs, 2017), Kanada (Rockett dan negatif

masyarakat Ramsey, 2016), Andalusia (Almeida- mempunyai tanggapan atau reaksi negatif Garcia dkk., 2016), Amerika Serikat terhadap suatu program/kegiatan, yaitu (Franzidis dan Yau, 2017), dan Mexico kurang atau tidak ikut berpartisipasi dalam (Monterrubio, 2017). Dalam kajian-kajian suatu program/kegiatan atau bahkan tersebut, masyarakat lokal merespons menolaknya.

muncul

bila

positif pembangunan pariwisata dengan Menurut Doxey (1975, dalam berbagai tingkatan.

Latar belakang Mowforth dan Munt, 2016), respons pendidikan, tempat lahir, waktu tinggal masyarakat lokal terhadap pembangunan dengan komunitasnya, mata pencaharian pariwisata dan kegiatan pariwisata akan dan etnisitas, akan mempengaruhi respons mengikuti empat tahapan, yaitu euphoria, itu (Cornet, 2015). Demikian juga dengan apathy , annoyance, dan antagonism. Arah kuatnya persepsi terhadap budayanya dan tahapan tersebut adalah dari menerima kuatnya keterikatan dengan tempat dengan senang menuju penentangan. tinggalnya (Dai dkk., 2017). Namun begitu, Doxey pun menyadari

bahwa respons tersebut dapat berbeda pada B. METODE PENELITIAN

suatu masyarakat karena perbedaan Studi ini adalah studi sejarah yang pandangan hidup.

bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk Kajian berkaitan dengan respons respons negatif masyarakat Kampung masyarakat lokal terhadap pembangunan Naga terhadap pembangunan pariwisata di pariwisata sudah banyak dilakukan oleh kampungnya yang dilakukan Pemerintah

206 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 203 -218 Kabupaten Tasikmalaya pada kurun 1975- Kesepuluh hektar itu terdiri atas tiga

2010, serta untuk memahami munculnya wilayah, yaitu: (1) Leuweung Karamat, respons itu. Untuk itu, dipergunakan yaitu tempat nenek moyang mereka metode sejarah yang terdiri atas empat dimakamkan yang berada di bagian barat; tahapan kerja, yaitu heuristik, kritik, (2) Perkampungan tempat mereka hidup interpretasi, dan historiografi (Garraghan dan bercocok tanam, di bagian tengah; (3) S.J., 1957).

Larangan yang konon Jenis data yang digunakan adalah merupakan tempat para dedemit, di bagian data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan timur. Ketiga wilayah tersebut merupakan dalam bentuk kata-kata, kalimat, narasi, representasi kawasan suci, kawasan bersih, uraian, visual, dan artefak. Sumber datanya dan kawasan kotor (Suganda, 2006). berasal dari para pengkisah dan surat-surat

Leuweung

Di areal pemukiman yang berada di kabar sezaman sebagai sumber primernya, kawasan bersih berdiri 113 bangunan yang sedangkan sumber sekundernya dari terdiri dari 109 imah (rumah), bumi laporan penelitian, buku-buku, dan kajian- ageung , masigit, bale patemon, dan leuit kajian relevan lainnya yang tersimpan di (lumbung padi). Jumlah bangunan tersebut perpustakaan-perpustakaan.

tidak boleh ditambah. Tata letak imah di Data itu dikumpulkan dengan Kampung

mempertimbangkan metode lapangan dan pustaka. Metode peredaran matahari yang dibangun lapangan

Naga

dilakukan dengan teknik memanjang dari timur ke barat. Bagian wawancara sejarah lisan pada beberapa depan setiap imah berhadap-hadapan, pengkisah yang tinggal di Kampung Naga untuk

komunikasi dalam dan Desa Neglasari (Dienaputra, 2006; hubungan sosial. Bentuk bangunan dan Thompson dan Bornat, 2017). Penelitian bahan imah sama semuanya dan dicat lapangan dilakukan pada Agustus 2016- dengan menggunakan kapur berwarna Februari 2017. Metode pustaka dilakukan putih. Perbedaan hanya terletak pada dengan teknik membaca dan mencatat di ukurannya. Bangunan imah berbentuk perpustakaan-perpustakaan (Zed, 2008).

menjaga

panggung dengan bahan terbuat dari kayu, Analisis datanya menggunakan metode bambu, dan ijuk. kualitatif interpretatif, yaitu metode

dengan asal usul kualitatif dengan menekankan pada aspek masyarakat Kampung Naga, terdapat tiga hermeneutika dan verstehen (Ratna, 2010). versi yang berbeda. Pertama, berasal dari Hermeneutika berarti menafsirkan dan keturunan Sembah Dalem Singaparna yang Verstehen berarti memahami. Teknik merupakan putra bungsu Raja Galunggung analisis datanya menggunakan model

Berkaitan

VII, Prabu Rajadipuntang, yang ditugaskan interaktif seperti yang dikemukakan Miles untuk menyelamatkan hegemoni Kerajaan dkk. (2014). Model ini terdiri dari tiga alur Galunggung dari serangan Kerajaan Sunda kegiatan, yaitu (1) mengkondensasi data; Pajajaran. Kedua, berasal dari keturunan (2) menyajikan data; dan (3) menarik Sembah Dalem Singaparna, seseorang kesimpulan dan verifikasi.

yang ditugaskan oleh Raja Mataram untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda.

C. HASIL DAN BAHASAN

Ketiga, berasal dari keturunan prajurit

1. Kampung Naga dan Profil Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Secara administratif pemerintahan, Singaparna yang menyerang VOC di Kampung Naga termasuk kedalam wilayah Batavia pada abad XVII (Saringendyanti Dusun Naga, Desa Neglasari, Kecamatan dkk., 2008; Sulistiono, 1997; Haditomo, Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi 1989). Dalam hal asal-usul tersebut, Jawa Barat. Luas seluruh areal Kampung masyarakat Kampung

Naga hanya Naga sekitar 10 ha, sedangkan areal mengakui bahwa leluhur mereka adalah pemukimannya hanya sekitar 1,5 ha. Sembah Dalem Singaparna. Sejarah dan

Respons Masyarakat Kampung Naga..... (Awaludin N., M. Baiquni, Heddy Shri, Tri Kuntoro) 207 riwayat

Naga serta dari pengalaman di kehidupan sehari- disampaikan kuncén secara lisan kepada hari. Daluang adalah mendapatkan ilmu sesepuh Kampung Naga pada upacara pengetahuan dengan cara membaca buku,

leluhur

Kampung

pedharan yang dilaksanakan setiap kitab suci, atau bacaan lainnya. Uang delapan tahun sekali pada saat tengah adalah mendapatkan ilmu pengetahuan malam di bulan Mulud.

melalui penggunaan uang, yaitu dengan Dewasa ini keturunan Sembah menempuh pendidikan formal untuk Dalem Singaparna telah bertambah mendapatkan ilmu pengetahuannya dan banyak. Mereka bermukim di dalam untuk itu harus membayar dengan Kampung Naga dan di luar Kampung menggunakan uang atau materi lainnya. Naga. Keturunan yang tinggal di luar

Masyarakat Kampung Naga diatur Kampung Naga, terutama tersebar di dengan suatu sistem pemerintahan sendiri Kecamatan Salawu dan Kecamatan yang khas. Untuk yang berhubungan Cigalontang. Jumlah mereka diperkirakan dengan kenegaraan, mereka akan tunduk sembilan kali dari jumlah yang bermukim dan taat pada RT, RW, Kepala Dusun, dan di dalam Kampung Naga. Mereka yang Kepala Desa. Namun untuk yang tinggal di luar Kampung Naga dianggap berhubungan dengan adat istiadat, mereka sebagai seuweu-siwi (keturunan) Naga akan tunduk dan taat pada Kuncén, dalam kesatuan masyarakat Sanaga . Punduh , dan Lebé. Kuncén yang pada saat Mereka juga menjalankan “talari paranti ini dijabat oleh Bapak Ade Suherlin, para karuhun ” (adat istiadat para leluhur). merupakan orang yang dituakan dan Umumnya mereka bermatapencaharian merupakan pemangku adat yang menjaga, utama di sektor pertanian. Selain itu, melaksanakan, dan memimpin acara-acara mereka juga bekerja sampingan sebagai adat yang berjalan secara turun temurun, pengerajin, pemandu wisata, pedagang, sekaligus

sebagai pemimpin pegawai, buruh, dan peternak.

juga

masyarakat. Lebé yang dijabat oleh Bapak Tingkat pendidikan kepala keluarga Henhen, bertugas mengurusi hal-hal yang di Kampung Naga hanya mengenyam berkaitan dengan keagamaan, yaitu, pendidikan formal sampai tamat sekolah “ngurus mayit ti awal dugi ka ngurebkeun” dasar. Namun kesadaran masyarakat (mengurusi

jenazah dari mulai Kampung

menyolatkan, dan pendidikan sangat tinggi. Akan tetapi, memakamkannya). Selain itu, ia juga karena sarana dan prasarananya tidak bertugas menjadi pemimpin doa dalam tersedia, maka mereka harus bersekolah di setiap acara ritual di Kampung Naga. luar kampungnya atau menjadi Sanaga. Punduh yang dijabat oleh Bapak Maun, Tingginya kesadaran untuk menempuh bertugas sebagai penghubung antara pendidikan tersebut nampak dari pikukuh kuncén dengan masyarakat dan pemerintah “bodo alewoh”, yang bermakna bahwa desa. Ia juga sebagai penggerak aktivitas mereka merasa bodoh, karena itu selalu masyarakat

Naga

untuk

menempuh memandikan,

dalam kegiatan di bertanya dan selalu ingin tahu akan ilmu kampungnya, seperti gotong royong pengetahuan. Bagi masyarakat Kampung membangun dan memelihara prasarana.

Naga dan Sanaga mencari ilmu Selain itu, ia juga bertugas untuk “ngurus pengetahuan tidak hanya dari pendidikan laku mérés

gawé ”, yang berarti formal. Pikukuh mereka mengajarkan mengayomi warga dan mencermati tingkah bahwa

untuk mendapatkan ilmu laku masyarakat agar selalu taat pengetahuan dapat melalui tiga hal, yaitu menjalankan ketentuan adat

dalam Luang , Daluang, dan Uang. Luang adalah kehidupan sehari-harinya. ilmu pengetahuan yang diperoleh dari

Dalam menjalankan kehidupan petuah dan ucapan lisan yang pernah sehari-harinya, masyarakat Kampung Naga didapatkan dari orang tua atau sesepuh mendasarkan pada tiga tuntunan hidup

208 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 203 -218 yang diajarkan dan diwariskan oleh Hindia Belanda, Kampung Naga belum

leluhurnya. Ketiga tuntunan hidup itu menjadi objek wisata, atau paling tidak, adalah Papagon Hirup, Pamali, dan belum menjadi objek wisata yang Patilasan . Untuk menjaga dan memelihara ditawarkan. Kampung Naga hanya keberlangsungan tuntunan hidup tersebut merupakan kampung biasa dengan jumlah dilakukan upacara-upacara ritual.

penduduk yang sedikit, tidak bergejolak, Upacara ritual yang sangat penting dan tidak melakukan kegiatan-kegiatan adalah berpantang memperbincangkan yang menarik perhatian Pemerintah Hindia mengenai adat istiadat dan asal usul Belanda, sehingga tidak ada catatan pada masyarakat Kampung Naga, baik antar Pemerintah Hindia Belanda. sesama anggota masyarakatnya, apalagi

Sementara menurut salah satu dengan wisatawan. Ritual ini dilaksanakan pengkisah, Kampung Naga mulai banyak setiap hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Ritual dikunjungi wisatawan sejak tahun 1970-an. tersebut sangat dihormati, sehingga Pada tahun 1976 pemerintah daerah upacara atau kegiatan apapun tidak boleh merencanakan

untuk membangun dilaksanakan ketika ritual tersebut sedang penginapan di Kampung Naga, tetapi berlangsung.

rencana tersebut ditolak masyarakat Ritual penting lainnya yang dengan Kampung Naga. Dalam perkembangan taat dijalankan masyarakat Kampung Naga selanjutnya, jumlah wisatawan yang adalah hajat sasih dan pedharan. Hajat mengunjungi Kampung Naga semakin sasih dilaksanakan enam kali dalam meningkat. Pada tahun 2014 wisatawan setahun, yaitu pada bulan Muharam, yang mengunjungi Kampung Naga telah Mulud, Jumadil Akhir, Rewah, Sawal, dan berjumlah 91.982 orang, dengan perincian Rayagung. Upacara tersebut dilakukan satu 3.404 wisatawan mancanegara dan 88.578 hari pada bulan-bulan itu. Upacara hajat wisatawan Nusantara (Dinas Pariwisata sasih diikuti oleh semua keturunan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, Kampung Naga, baik yang tinggal di 2016). dalam maupun di luar Kampung Naga.

kabupaten melihat Salah satu tujuannya adalah untuk bahwa besarnya potensi wisata yang menghormati karuhun dengan melakukan dimiliki Kampung Naga merupakan aset ziarah serta membersihkan makam dan potensial untuk dikembangkan yang dapat peninggalannya.

Pemerintah

Upacara pedharan mendatangkan pendapatan asli daerah dan dilaksanakan setiap satu windu pada saat juga peningkatan kemampuan ekonomi bulan purnama.

masyarakatnya. Pemerintah kabupaten lalu mempromosikannya dan bekerja sama

2. Pembangunan Pariwisata dan

dengan pemerintah desa melakukan

penyuluhan kepada masyarakat Kampung Kampung Naga dengan keunikan Naga akan manfaat positif adanya aktivitas dan kemudahan aksesibilitasnya banyak pariwisata di

Respons Masyarakat Kampung Naga

kampungnya. Dalam dikunjungi wisatawan Nusantara dan penyuluhan itu masyarakat diberikan mancanegara. Namun, belum diketahui pengertian bahwa kedatangan wisatawan dengan pasti sejak kapan Kampung Naga itu akan meningkatkan penghasilan mereka mulai dikunjungi wisatawan. Sejauh melalui penjualan kerajinan tangan, penelusuran terhadap majalah pariwisata, membuka warung makanan, dan menjadi buku petunjuk perjalanan wisata, dan pemandu wisatawan. laporan pemerintah yang terbit pada masa

Untuk mendukung kenyamanan Pemerintahan Hindia Belanda, tidak wisatawan ketika berkunjung ke Kampung ditemukan informasi tentang Kampung Naga, pemerintah kabupaten membangun Naga. Dengan demikian, maka patut prasarana dan sarana perparkiran serta toko diduga bahwa pada masa Pemerintahan cinderamata di dekat Kampung Naga.

Respons Masyarakat Kampung Naga..... (Awaludin N., M. Baiquni, Heddy Shri, Tri Kuntoro) 209 Tanahnya dibeli dari penduduk setempat dicemarkan nama baiknya oleh kebijakan

bernama H. Syarif seluas 2.520 m 2 pada itu. Pengunjung tidak akan melihat bahwa tahun 1992 (Mudzakkir, 2012). Pemerintah pungutan itu merupakan kebijakan

kabupaten kemudian memungut retribusi pemerintah kabupaten, tetapi akan parkir dari kendaraan wisatawan yang menuding kepada masyarakat Kampung masuk dengan besaran yang tidak Naga

mereka telah ditentukan.

bahwa

mengkomersialisasikan kampung dan adat Pembangunan lahan parkir dan istiadatnya. pungutan retribusi parkir tersebut tidak

Insiden penolakan tersebut tidak disukai oleh masyarakat Kampung Naga. menyurutkan pemerintah kabupaten untuk Namun ketidaksukaan tersebut tidak melakukan pembangunan pariwisata di diungkapkan dalam bentuk perlawanan. Kampung Naga. Pada tahun 2003 Hal itu disebabkan pungutan retribusi pemerintah

kabupaten melakukan parkir itu tidak ditentukan besarannya, penembokan

anak tangga menuju sehingga dipandang sebagai bentuk saling Kampung Naga. Kemudian tahun 2005 menguntungkan dan saling memahami keluar Perda No. 2 tahun 2005 tentang karena tidak ada unsur paksaan.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pada tahun 2002, pemerintah Tasikmalaya. Dalam perda tersebut kabupaten membangun sebuah bangunan Kampung Naga dimasukkan sebagai pos untuk menarik retribusi dari wisatawan kawasan wisata budaya. Perda itu disusul yang berkunjung ke Kampung Naga. dengan Perda No.4 tahun 2005 tentang Selain itu dibangun pula papan petunjuk Retribusi Lahan Parkir di Kampung Naga. yang bertuliskan “Objek Wisata Kampung Mengacu pada perda tersebut pemerintah Naga” dan “Selamat Datang di Kampung kabupaten memungut retribusi parkir dari Naga, Welcome to Kampung Naga ”. kendaraan wisatawan dengan menentukan Pungutan retribusi tersebut dianggap oleh besarannya, yaitu bus Rp 45.000; mikrobus masyarakat Kampung Naga sebagai Rp 30.000; minibus (sekelas Toyota komersialisasi

kampungnya oleh Kijang), Rp 18.000; minibus (sekelas pemerintah kabupaten. Dengan dipimpin Suzuki Carry) Rp 12.000; jip Rp 6.000; oleh kuncen barunya yang dipilih tahun dan sepeda motor Rp 2.400 (Kompas, 1 2001, Ade Suherlin, masyarakat Kampung Februari 2006; Suganda, 2009). Besaran Naga melakukan penolakan dengan retribusi parkir tersebut banyak diprotes melakukan aksi pembakaran pos retribusi oleh

pengunjung, karena sangat dan penghancuran papan petunjuk yang memberatkan mereka. Para pengunjung

bertuliskan “Objek Wisata Kampung ada yang menganggap bahwa masyarakat Naga”. Akibat dari aksi tersebut, pungutan Kampung Naga telah mengkomersialkan

retribusi kepada wisatawan dihapuskan adatnya. Anggapan tersebut dibantah oleh oleh pemerintah kabupaten.

masyarakat Kampung Naga, karena Penolakan masyarakat Kampung mereka tidak pernah dilibatkan dalam Naga terhadap pungutan retribusi itu perencanaan

dan tidak pernah disebabkan kebijakan itu bertentangan mendapatkan bagian dari retribusi tersebut. dengan pikukuh-nya. Pikukuh masyarakat Oleh karena itu, masyarakat Kampung Kampung Naga mewajibkan semua Naga

dipermalukan oleh anggotanya untuk menghormati tamu, pemerintah kabupaten. sehingga ketika tamunya harus membayar

merasa

gejala yang tidak melalui retribusi untuk dapat berkunjung menguntungkan

Melihat

bagi masyarakat ke kampungnya, maka hal tersebut sama Kampung Naga, otoritas adat dan sesepuh dengan tidak menghormati tamu itu. Selain Kampung Naga kemudian menutup bertentangan

dengan pikukuh -nya, Kampung Naga dari kedatangan semua masyarakat Kampung Naga juga merasa pengunjung pada 6 Februari 2006.

210 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 203 -218 Penutupan tersebut diumumkan oleh masyarakat Kampung

Naga untuk kuncén ke media massa dengan alasan membentuk Saung Budaya (Koran Tempo, Kampung Naga telah dijadikan objek oleh

28 Maret 2006). Perda itu kemudian Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya untuk direvisi menjadi Perda No.16 tahun 2006 mendapatkan

kas tentang Retribusi Lahan Parkir. pemerintah kabupaten melalui pungutan

pemasukan

bagi

Pada tahun 2009, konflik antara retribusi parkir (Kompas, 1 Februari 2006). masyarakat Kampung Naga dengan Mereka merasa telah dikomersialkan oleh pemerintah kabupaten kembali terjadi. pemerintah kabupaten, padahal mereka Pemicunya adalah kenaikan harga minyak bukan aset pemerintah kabupaten. Mereka tanah akibat diberlakukannya kebijakan merasa dirugikan dan dicemarkan nama peralihan minyak tanah ke gas. Kebijakan baiknya oleh pemerintah kabupaten. tersebut mengakibatkan harga minyak Bahkan, mereka merasa seperti penghuni tanah menjadi mahal, sampai mencapai Rp kebun binatang yang ditonton oleh 10.000,00 per liter di Kampung Naga. pengunjung (Kompas, 1 Februari 2006; Oleh masyarakat Kampung Naga, minyak Pikiran Rakyat , 6 Februari 2006).

tanah dipergunakan untuk penerangan, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tidak untuk memasak. Untuk memasak membenarkan penutupan Kampung Naga mereka menggunakan kayu

bakar. tersebut, tetapi hanya ditujukan bagi Masyarakat Kampung Naga tidak dapat mereka yang akan melakukan penelitian menerima peralihan minyak tanah ke gas (Kompas, 1 Februari 2006; Koran Tempo, itu,

karena

mereka tidak dapat

3 Februari 2006). Akan tetapi, beberapa menggunakan gas untuk penerangan. hari sejak Kampung Naga ditutup bagi Akibatnya penerangan di rumah-rumah pengunjung, sebuah media menyatakan sangat terganggu. Ketika itu di Kampung bahwa sudah 16 wisatawan ditolak masuk Naga poek mongkleng (gelap gulita), Kampung Naga (Liputan 6.com, 10 begitu penuturan pengkisah. Februari 2006). Hal tersebut menunjukkan

Harga minyak tanah yang semakin bahwa Kampung Naga tidak menerima tidak terjangkau dan pengelolaan parkir kunjungan untuk semua pengunjung, tidak yang tidak melibatkan masyarakat, telah hanya para peneliti seperti yang dikatakan melukai masyarakat Kampung Naga. pihak pemerintah kabupaten.

Mereka merasa bahwa pemerintah telah Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya bersikap

adil dan tidak menganggap bahwa upaya pembangunan memperhatikan mereka, padahal mereka pariwisata di Kampung Naga telah selalu patuh pada pemerintah. Selain itu, dihambat oleh aturan adatnya. Bagi mereka juga merasa bahwa pemerintah pemerintah kabupaten, Kampung Naga tidak mendukung apa yang sudah mereka adalah aset wisata yang menjadi unggulan lakukan, yaitu menjaga dan melestarikan di Kabupaten Tasikmalaya yang dapat adat leluhur, tetapi pemerintah justru mendatangkan pendapatan asli daerah, memaksa untuk menggunakan bahan bakar terutama dari wisatawan mancanegara gas. Menurut Kuncén, bahan bakar gas dan (Kompas, 13 Maret 2006). Oleh karena itu, kompor gas merupakan benda modernisasi penutupan tersebut cepat direspons oleh yang dikhwatirkan dapat mengganggu DPRD Kabupaten Tasikmalaya dan pelestarian budaya dan adat Kampung pemerintah kabupaten dengan melakukan Naga. Oleh karena itu, pada 14 Mei 2009 pertemuan dengan masyarakat Kampung masyarakat Kampung Naga menutup Naga pada 9 Februari 2006. Pada Maret kembali kampungnya dari kedatangan 2006 pembicaraan tersebut berhasil pengunjung (Pikiran Rakyat, 18 Mei mencapai kata sepakat dengan akan 2009). diubahnya Perda No.4 tahun 2005 dan

tidak

Penutupan tersebut mengundang pemerintah kabupaten merespons usul reaksi, baik dari pemerintah kabupaten,

Respons Masyarakat Kampung Naga..... (Awaludin N., M. Baiquni, Heddy Shri, Tri Kuntoro) 211 pemerintah provinsi, apalagi wisatawan. bersinergi dengan HIPANA (Himpunan

Barat Pramuwisata Kampung Naga), yang telah menyesalkan penutupan tersebut. Ia lebih dulu berdiri. HIPANA didirikan menganggap bahwa penutupan tersebut untuk melayani pengunjung, menjaga hal- akan mengganggu dunia pariwisata Jawa hal yang tidak diinginkan dari kehadiran Barat dan juga akan memberikan citra pengunjung, serta menjaga etika, adat, dan negatif terhadap pariwisata di Jawa Barat. budaya Kampung Naga dari pelanggaran Padahal Kampung Naga mempunyai yang dilakukan pengunjung. potensi menarik sebagai objek wisata dan mampu menarik wisatawan, karena itu

Pemerintah Provinsi

Jawa

3. Makna Pariwisata Menurut

harus terus dilestarikan (Pikiran Rakyat, 18

Masyarakat Kampung Naga

Mei 2009).

pariwisata yang Oleh karena Kampung Naga dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten merupakan aset bagi pemerintah, maka Tasikmalaya sejak tahun 1970-an sampai pemerintah kabupaten dan provinsi dasawarsa pertama abad ke-21 ternyata berusaha menyelesaikan masalah mahal tidak direspons positif oleh masyarakat dan langkanya minyak tanah yang dialami Kampung Naga. Hal tersebut nampak dari masyarakat Kampung Naga. Pemerintah empat kejadian konflik antara pemerintah Provinsi Jawa Barat menawarkan teknologi kabupaten dan masyarakat Kampung Naga solarcell untuk memenuhi kebutuhan yang muncul ke permukaan pada kurun energi bagi penerangan, tetapi ditolak waktu tersebut (1976, 2002, 2006, 2009). masyarakat Kampung Naga (Pikiran Pembangunan pariwisata yang dijalankan Rakyat , 18 Mei 2009). Bupati Kabupaten lebih bersifat perintah (top-down) dan Tasikmalaya akhirnya memberikan subsidi sesuai dengan persepsi pemerintah minyak tanah bagi masyarakat Kampung kabupaten (Scott, 1998). Masyarakat Naga sebesar Rp 2.900,00/liter, dengan Kampung Naga sebagai “pemilik” lokasi jumlah

Pembangunan

dan tidak dilibatkan sejak perencanaan sampai distribusinya dilakukan oleh koperasi. pelaksanaannya. Dalam pembangunan Namun karena masyarakat Kampung Naga pariwisata di Kampung Naga, Pemerintah belum mempunyai koperasi, maka untuk Kabupaten Tasikmalaya menggunakan sementara Kapolwil Priangan Timur pendekatan ekonomi. Pendekatan ini lebih mengkoordinasikan distribusi tersebut. menekankan

5.000 liter/3

bulan

pada upaya untuk Setelah

keuntungan finansial diperjuangkannya, maka pada sekitar sebanyak mungkin dari wisatawan. Agar pertengahan September 2009 Kampung kedatangan wisatawan semakin banyak Naga dibuka kembali bagi wisatawan.

mendapatkan

apa

yang mendapatkan

jumlahnya dan mau berkunjung kembali, Pada awal tahun 2010 berdiri maka

harus diberikan koperasi

wisatawan

yang disyaratkan untuk kemudahan dan kenyamanan, sehingga mendistribusikan minyak tanah dengan wisatawan senang mengunjunginya dan nama Koperasi Warga Sauyunan. Fungsi mau mengeluarkan uang yang banyak. koperasi tersebut adalah mendistribusikan Melalui uang yang masuk dari wisatawan minyak tanah subsidi dan mengelola lahan itu, masyarakat lokal akan dapat parkir.

harus meningkatkan pendapatannya. Demikian menyetorkan uang kontrak lahan parkir juga bagi pemerintah lokal dapat sebesar Rp 12 juta kepada Dinas meningkatkan

Koperasi

tersebut

pendapatan daerahnya Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten (Telfer dan Sharpley). Tasikmalaya dan Rp 3 juta kepada Desa

Masyarakat Kampung Naga tidak Neglasari (Mudzakkir, 2010) Selain itu, menolak

peningkatan kesejahteraan koperasi tersebut juga berfungsi untuk ekonomi melalui pembangunan pariwisata. mengelola

sektor

pariwisata

yang Mereka melakukan respons negatif

212 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 203 -218 terhadap pembangunan pariwisata itu pariwisata itu dilakukan masyarakat

karena menginginkan dilibatkan dalam Kampung Naga selama empat kali, seperti proses pembangunan tersebut. Mereka yang telah diuraikan pada bagian menginginkan pembangunan itu selaras sebelumnya, dengan kualitas

yang dengan kebiasaan, adat istiadat, dan meningkat

semakin efisien. normanya, supaya mereka dapat hidup Perlawanan yang paling berpengaruh nyaman di kampungnya. Keinginan terhadap kegiatan pariwisata adalah menjadi

dan

subjek pembangunan itu ditutupnya Kampung Naga dari kunjungan dikemukakan oleh Kuncén Kampung wisatawan tahun 2006 dan 2009. Naga, Ade Suherlin, kepada wartawan Penutupan pada tahun 2006 masih Kompas bahwa seharusnya pemerintah memberi

bagi wisatawan mengerti adat istiadat itu bukan milik perorangan, tetapi pada tahun 2009 semua pemerintah, tetapi

peluang

milik keturunan pengunjung dengan kepentingan apapun masyarakat Kampung Naga. Hal tersebut tidak dizinkan berkunjung. sama dengan prinsip agama bahwa agama

Penutupan Kampung Naga dari merupakan milik umat yang tidak bisa kedatangan wisatawan tidak berarti bahwa diganggu gugat oleh siapapun (Kompas, 13 masyarakatnya anti terhadap wisatawan. Maret 2006). Pernyataan Kuncén tersebut Bagi mereka, wisatawan adalah tamu yang dapat dimaknai bahwa adat istiadat dapat menurut adat istiadatnya wajib dihormati. disamakan dengan agama yang harus Tamu harus ditata dan dijamu, artinya dipegang teguh, dibela, dan dilaksanakan tamu harus diperlakukan dengan baik dan oleh penganutnya, serta tidak boleh disenangkan hatinya. Dengan demikian, diganggu oleh siapa pun juga.

tamu akan selalu ingat kepada budi baik Dalam hal pembangunan pariwisata tuan rumah, sehingga ada kesan indah yang dilakukan pemerintah kabupaten, yang tidak bisa dilupakan oleh sang tamu. seharusnya pembangunan itu selaras Kewajiban masyarakat Kampung Naga dengan adat istiadat masyarakat Kampung untuk menghormati tamunya nampak Naga. Apabila pembangunan pariwisata itu dalam perumpamaan yang menjadi tidak sesuai dengan adat istiadatnya, maka pikukuh - nya, “upami téa mah katamuan, pemerintah

telah mengganggu hég urang keur digawé boh di sawah boh kehidupannya dan tidak menghormatinya. di kebon , upami kantun sapacokeun deui, Dengan begitu, maka pemerintah bukan aya nu nyusulan wiréh aya tamu , tibatan lagi sebagai pelindung dan pengayom ngaanggeuskeun anu sapacokeun deui masyarakat Kampung Naga yang harus kajeun tinggalkeun pacul mah di dinya , dihormati dan diikuti, seperti yang tersirat tuturkeun anu néang bilih aya kapentingan dalam pikukuh- nya, “pamaréntah lain nanaon , ulah rék aral ulah rék subaha lawaneun tapi kawulaaneun ”, yang artinya ulah rék melang kana paculeun ”, yang bahwa pemerintah itu bukan untuk dilawan artinya, bila sedang mengerjakan sesuatu, tetapi untuk diabdi, sehingga masyarakat baik di sawah atau di kebun, lalu ada harus patuh kepada pemerintah. Pikukuh seseorang yang memberitahukan bahwa itu tidak berlaku manakala pemerintah ada tamu yang berkunjung, maka harus sudah bertindak sewenang-wenang dan segera meninggalkan pekerjaan itu, jangan mengganggu

serta menyelesaikan pekerjaan itu meskipun kehidupannya. Masyarakat Kampung Naga pekerjaan itu tinggal sedikit lagi tuntas, akan membela diri dari pihak-pihak yang lalu segera menemui tamu itu, dan jangan mengganggu dan mencampuri adat istiadat menyesali serta jangan khawatir dengan dan kehidupannya, termasuk pemerintah.

adat

istiadat

pekerjaan yang belum dituntaskan itu. Pembelaan

Dalam pikukuh tersebut terkandung kesewenangan yang dilakukan pemerintah pesan bahwa meskipun tamu itu wajib kabupaten

diri

terhadap

melalui pembangunan dihormati, tetapi tamu juga harus ingat

Respons Masyarakat Kampung Naga..... (Awaludin N., M. Baiquni, Heddy Shri, Tri Kuntoro) 213 bahwa ia (mereka) sedang berkunjung ke mengingatkan, saling membantu, dan

orang lain yang memiliki kebiasaan, adat saling memaafkan. istiadat, dan norma sendiri, yang mungkin

Kata saba, dalam bahasa Sunda berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, diartikan

perjalanan yang tamu juga harus menghormati tuan rumah dilakukan seseorang atau sekelompok dengan mengikuti kebiasaan, adat istiadat, orang dari tempat tinggalnya sehari-hari ke dan normanya. Tamu tidak sepantasnya suatu tempat tertentu yang dianggap mengobral kemauannya sendiri di tempat menyenangkan atau ke tempat yang yang dikunjunginya. Tamu berkewajiban dianggap

sebagai

Tempat yang juga untuk menyenangkan tuan rumah dikunjunginya itu cukup jauh dari tempat melalui penghormatan terhadap kebiasaan, tinggal sehari-harinya, sehingga untuk adat istiadat, dan normanya. Penghormatan mencapai

perlu.

itu ia harus terhadap tuan rumah itu dilakukan melalui mengorbankan

tempat

materi, waktu, dan tutur kata, bahasa tubuh, dan tingkah laku tenaganya. Setelah selesai dengan urusan yang dapat menyenangkan tuan rumah. Hal di tempat yang dikunjunginya, ia akan tersebut harus dilakukan oleh tamu untuk kembali ke tempat tinggal sehari-harinya. mengimbangi tuan rumah yang telah Jadi ia tidak menetap di tempat yang mengorbankan

segalanya untuk dikunjunginya. Dengan begitu, maka menghormati tamunya.

makna kata saba adalah suatu perjalanan Jadi berdasarkan pikukuh tersebut yang dimulai dan kembali pada titik yang faktor keseimbangan dalam hubungan sama. Makna tersebut selaras dengan antara tamu dengan tuan rumah sangat makna kata tour yang dikemukakan dikedepankan. Di satu pihak tuan rumah McCabe (2009). tidak boleh memperlakukan tamunya

Berdasarkan hal tersebut, maka saba dengan semena-mena, tetapi juga tidak budaya dimaknai sebagai perjalanan yang perlu menghormatinya dengan berlebihan. dilakukan oleh seseorang atau sekelompok Tuan rumah menghormati tamu sesuai orang dari tempat tinggalnya sehari-hari dengan kemampuannya, tetapi kemampuan untuk mengunjungi keluarga dalam rangka terbaiknya. Di lain pihak, tamu yang memperkuat hubungan kasih sayang, lalu berkunjung tidak boleh

mengobral setelah menyelesaikan urusannya akan kemauannya dan tidak perlu melakukan kembali ke tempat tinggal sehari-harinya. penghormatan yang berlebihan pula. Tamu Berdasarkan makna tersebut, masyarakat juga tidak sepantasnya menunjukkan Kampung Naga menempatkan wisatawan kelebihan akan penguasaan materi serta yang berkunjung ke kampungnya sebagai kedudukan sosialnya kepada tuan rumah, keluarganya, bukan orang asing. Hubungan serta tidak sepantasnya juga menunjukkan sosial yang dijalinnya adalah hubungan ego

Wisatawan yang melakukan pemaksaan supaya tuan rumah mengunjunginya dianggap sebagai saudara menghormati dirinya.

kulturalnya.

Apalagi

dengan kekeluargaan.

kandungnya yang sedang pulang kampung. Berdasarkan pikukuh terhadap tamu Sebagaimana layaknya saudara kandung tersebut, masyarakat Kampung Naga yang sedang pulang kampung, wisatawan memaknai kunjungan wisatawan ke diperlakukan dengan baik sebagai saudara daerahnya, sebagai orang atau sekelompok kandung.

Interaksi sosial yang orang yang sedang melakukan saba dibangunnya berlandaskan kasih sayang budaya . Saba budaya dimaknainya sebagai sebagai saudara kandung. Begitu juga kunjungan untuk ber-silaturahmi ke penghormatan yang dilakukan seperti Kampung Naga. Silaturahmi dimaknai layaknya penghormatan kepada saudara sebagai saling berkasih sayang berdasar kandung yang dilandasi oleh rasa kasih hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. sayang. Konsekuensi dari silaturahmi adalah saling

Dengan landasan kasih sayang

214 Patanjala Vol. 10 No. 2 Juni 2018: 203 -218 dalam proses sosialnya itu, masyarakat telah dijadikan objek wisata oleh

Kampung Naga menginginkan adanya pemerintah kabupaten. Masyarakat hubungan timbal balik yang sama dari Kampung Naga menolak kampungnya wisatawan

ke dijadikan objek wisata, karena menurut kampungnya. Wisatawan diharapkan untuk pemahamannya objek wisata adalah tempat menghormati masyarakat Kampung Naga untuk melakukan aktivitas piknik dan dengan landasan kasih sayang. Oleh karena bersenang-senang sesuka hati. Padahal itu, ketika wisatawan berkunjung ke mereka menganggap bahwa kampungnya Kampung Naga, mereka tidak mengobral adalah tanah yang suci, sehingga orang- kemauannya serta menjaga tata laku dan orang yang tinggal dan ada di dalamnya bahasanya supaya tidak menyinggung harus menjaga kesuciannya. Masyarakat saudaranya, yaitu masyarakat Kampung Kampung Naga meyakini bahwa bila Naga. Apalagi mereka akan mengunjungi kampungnya dijadikan objek wisata, maka sesepuh yang menurut adat orang Timur kesuciannya akan ternoda dan mereka akan harus dihormati.

yang

berkunjung

menerima akibat buruk yang tidak Oleh karena wisatawan dianggap diinginkannya. Selain itu, bila menjadi sebagai keluarganya, maka masyarakat objek wisata, kampungnya seolah-olah Kampung Naga menjadi marah ketika seperti kebun binatang atau museum yang pemerintah

kabupaten menerapkan ditonton oleh pengunjung. Mereka tidak kebijakan retribusi masuk ke Kampung menginginkan dijadikan sebagai objek Naga. Hal tersebut sama halnya dengan tontonan. saudara kandung yang akan pulang ke

Kampung Naga rumah orang tuanya sendiri dihalangi dan menjaga kesucian kampungnya dengan harus membayar. Begitu juga ketika ada tiga tuntunan hidup yang diajarkan dan keluhan dari pengunjung karena mahalnya diwariskan oleh leluhurnya, yaitu papagon retribusi parkir, masyarakat Kampung hirup , pamali, dan patilasan. Pertama, Naga menjadi marah juga. Alasan papagon hirup , yaitu ajaran berupa kemarahannya tidak berbeda dengan pegangan hidup yang harus dijalankan dan argumen retribusi masuk.

Masyarakat

bersifat perintah. Papagon hirup yang Pada penyelesaian perlawanan tahun sangat dipegang teguh oleh masyarakat 2006, sesepuh masyarakat Kampung Naga Kampung Naga adalah wasiat, amanat, menyampaikan

keinginan untuk dan akibat. Wasiat adalah warisan berupa menjadikan kampungnya sebagai saung pesan-pesan yang menjadi rujukan dalam budaya kepada

DPRD Kabupaten menjalani kehidupan. Pesan-pesan itu Tasikmalaya dan Pemerintah Kabupaten merupakan

pandangan dunia yang Tasikmalaya (Koran Tempo, 28 Maret merefleksikan akan tujuan terbentuknya 2006). Saung budaya diartikan sebagai tata kehidupan di masa kini dan masa rumah atau tempat pelestarian budaya. depan yang selaras dengan lingkungan Pelestarian berasal dari kata dasar “lestari”, alam, karena di dalamnya terkandung

yang menurut Kamus Besar Bahasa hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan, Indonesia berarti keadaan yang semula makhluk sosial, dan makhluk yang atau tidak berubah atau kekal, sedangkan merupakan bagian dari alam semesta. kata “pelestarian” berarti perlindungan dari Amanat mengemukakan tentang pitutur kemusnahan atau kerusakan; pengawetan; atau wejangan dari karuhun yang pada konservasi. Sebagai tempat pelestarian intinya berupa hidup sederhana, menjaga budaya berarti Kampung Naga merupakan kebersamaan, kerukunan, dan kedamaian,

tempat untuk melindungi budaya dari serta upacara ritual. Akibat adalah kemusnahan atau kerusakan.

konsekuensi yang akan diterima bila Konsep saung budaya tersebut melanggar dan tidak menjaga wasiat dan disampaikannya karena Kampung Naga amanat . Akibat memiliki nilai spiritual

Respons Masyarakat Kampung Naga..... (Awaludin N., M. Baiquni, Heddy Shri, Tri Kuntoro) 215 tinggi yang sama dengan larangan agama, pariwisata di Kampung Naga dengan

meskipun sangsinya tidak nampak tetapi pendekatan ekonomi, yaitu sebagai aset dirasakan oleh pelakunya sebagai beban untuk mendapatkan keuntungan finansial. yang menyiksa batin.

Dengan pendekatan tersebut, interaksi Kedua, pamali, yaitu bentuk ajaran sosial yang dibangunnya pun adalah untuk untuk meninggalkan sesuatu, baik yang mendapatkan

keuntungan finansial. bersifat ucapan maupun tindakan. Pamali Sementara masyarakat Kampung Naga biasa juga disebut tabu. Pamali selalu memaknai pariwisata dengan pendekatan ditanamkan dalam hati dan pikiran silaturahmi ,

yaitu untuk menjalin masyarakat Kampung Naga, sehingga persaudaraan dan kekeluargaan, sehingga menjadi penjaga dalam bertutur dan interaksi sosial yang dibangunnya pun berperilaku. Melalui pamali itu, mereka adalah

menjalin hubungan memiliki kontrol terhadap perilaku kekeluargaan. bermasyarakat beserta ekosistemnya.

untuk

pariwisata di Ketiga, patilasan, yaitu sarana untuk Kampung Naga seyogyanya menggunakan mengingat jasa para leluhurnya. Patilasan pendekatan

Pembangunan

silaturahmi . Dengan adalah ruang suci untuk menunjukkan pendekatan tersebut, masyarakat Kampung bukti bahwa karuhun mereka memang Naga dapat tetap menjalankan adat benar-benar ada. Patilasan sangat dijaga istiadatnya dan dapat meneruskannya pada keberadaannya oleh masyarakat Kampung generasi penerusnya, tanpa ada gangguan Naga, terutama dari sentuhan wisatawan dari pihak luar. Dengan pendekatan itu yang datang ke kampungnya, serta dirawat pula wisatawan dapat lebih menikmati melalui upacara pedharan dan hajat sasih.

keunikan Kampung Naga dan dapat mempelajari kearifan lokalnya yang

berguna bagi Pembangunan pariwisata yang pada kehidupannya. Pendekatan silaturahmi dasarnya bertujuan untuk meningkatkan juga dapat mewujudkan pariwisata yang penghidupan ekonomi masyarakat harus berkelanjutan. diselaraskan dengan adat istiadat dan

D. PENUTUP

mungkin

dapat

Berdasarkan simpulan di atas, ada norma yang berlaku di masyarakatnya. beberapa saran yang diajukan, yaitu: (1) Apabila tidak, maka tujuan tersebut tidak masyarakat yang tetap mempertahankan akan tercapai dan bahkan memunculkan adat istiadatnya seyogyanya tidak dilihat respons negatif. Pembangunan pariwisata sebagai hambatan untuk melakukan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten pembangunan, tetapi dilihat sebagai Tasikmalaya di Kampung Naga direspons potensi untuk merancang pembangunan negatif oleh masyarakatnya dalam bentuk yang

dengan karakteristik perlawanan terbuka. Skala perlawanannya masyarakatnya;

sesuai

(2) pembangunan dimulai dari yang berdampak lokal sampai pariwisata

dilakukan pihak yang berdampak nasional. Respons negatif berwenang seyogyanya beralih dari itu

yang

muncul karena pembangunan pendekatan pertumbuhan ekonomi ke pariwisata yang dilakukan di Kampung pendekatan pariwisata berkelanjutan yang Naga tidak berdasarkan pada adat istiadat ditunjang oleh sistem sosial-budaya dan

pada masyarakatnya, karena pada hakikatnya masyarakatnya.

norma yang

berlaku