Penentuan Kandungan Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan Zink (Zn) di Dalam Produk Ikan Tuna Kemasan Kaleng Berdasarkan Waktu Penyimpanan Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Kandungan Logam Pada Produk Makanan Kaleng

Menurut Vina (2007), telah melakukan penelitian terhadap kandungan logam
timah, seng, dan timbal pada sampel susu kental manis kemasan kaleng. Hasil
penelitian menunjukkan konsentrasi logam timah pada semua sampel tidak
terdeteksi. Logam seng untuk sampel KA 2,132 mg/kg; KB 2,371 mg/kg; KC
2,812 mg/kg; SD 2,304 mg/kg; SE 2,648 mg/kg; SF 3,507 mg/kg. Konsentrasi
logam timbal untuk sampel KA 0,174 mg/kg; KB 2,156 mg/kg; KC 0,174 mg/kg;
SD 0,398 mg/kg; SE 0,174 mg/kg; dan SF 0,174 mg/kg.

Menurut Hellna (2013), melakukan penelitian terhadap kandungan logam
kadmium dan tembaga dalam produk ikan kemasan kaleng dari tiga merek yang
beredar di pasaran, diperoleh konsentrasi logam kadmium pada RS adalah 0,1969
mg/kg, NF adalah 0,0448 mg/kg dan CP tidak terdeteksi. Sementara konsentrasi
logam tembaga pada RS adalah 3303 mg/kg, NF adalah 4,6130 mg/kg, dan CP

adalah 3,3047 mg/kg. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampel ikan kaleng
telah tercemar oleh logam kadmium dan tembaga, namun sampel tidak melampaui
batas maksimum yang ditetapkan oleh Dirjen BPOM No. 03725/B/SK/VII/89.

2.2.

Ikan Tuna

Ikan tuna adalah ikan laut yang terdiri atas beberapa spesies dari famili
Scombridae, terutama genus Thunnus. Ikan tuna memiliki badan yang tertutupi
oleh sisik- sisik kecil memanjang berbentuk cerutu serta mempunyai dua sirip
punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang,
serta mempunyai jari-jari sirip tambahan di belakang sirip punggung dan sirip
dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut berukuran kecil, sirip ekor

Universitas Sumatera Utara

berbentuk bulan sabit (Saanin, 1968). Bentuk siripnya melekat dekat dengan
tulang belakang, yang merupakan suatu bagian seutuhnya dari badan ikan tersebut
(Redaksi Ensiklopedia Indonesia, 1989). Menurut Saanin (1968), taksonomi ikan

tuna dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum

:Chordata

Subfilum

:Vertebrata

Kelas

:Teleostei

Subkelas

: Actinopterygi

Ordo

: Perciformes


Subordo

: Scombroidae

FamilI

: Scombridae

Genus

: Thunnus

Spesies

: Thunnus sp.

Berikut merupakan ikan tuna seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 di bawah
ini :


Gambar 2.1. Ikan Tuna (Rahajeng, 2012)

Ikan tuna merupakan ikan karnivor yang hidup dari makanan organisme
pelagik, khususnya cumi – cumi ( Redaksi Ensiklopedi Indonesia, 1989). Ikan
tuna yang hidup di perairan laut Indonesia dikelompokkan menjadi dua jenis,
yakni ikan tuna besar dan ikan tuna kecil. Ikan tuna besar meliputi madidihang
(yellowfin tuna), albakora (albacore), tuna mata besar (big eye tuna), dan tuna

Universitas Sumatera Utara

sirip biru selatan (southern bluefin tuna). Ikan madidihang dan mata besar
terdapat di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Sedangkan, albakora hidup di
perairan sebelah Barat Sumatera, Selatan Bali sampai dengan Nusa Tenggara
Timur. Ikan tuna sirip biru selatan hanya hidup di perairan sebelah Selatan Jawa
sampai ke perairan Samudra Hindia bagian Selatan yang bersuhu rendah
(dingin).Sementara itu, ikan tuna kecil terdiri dari cakalang (skipjack tuna),
tongkol (eutynnus affinis), tongkol kecil (auxis thazard) dan ikan abu-abu
(thunnus tonggol). Ikan cakalang dapat dijumpai di seluruh perairan laut
Indonesia, kecuali di Paparan Sunda bagian Selatan, Selat Malaka, Selat
Karimata, dan Laut Jawa. Tuna mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas

atau hampir di semua daerah tropis maupun subtropis (Rahajeng, 2012).

Sentra utama produksi tuna di Indonesia terdapat provinsi di wilayah
Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Spesies ikan tuna yang
biasanya diolah menjadi tuna kalengan adalah cakalang (skipjack tuna),
madidihang (yellowfin tuna), dan albacore. Berdasarkan warna dagingnya,
cakalang dan sirip kuning dikenal dengan “light-meat tuna”, sedangkan
albacoredisebut dengan “white meat”. Tuna kaleng dengan bahan baku tuna
albacore dikategorikan mewah karena rasa dagingnya yang khas, sedangkan
kualitas “light-meat” terbaik ada pada tuna sirip kuning. Hal ini karena dagingnya
lebih padat dan sampah yang dibuang (less waste) saat diolah lebih sedikit
dibanding cakalang (Salim, dkk , 2014).

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Komposisi Ikan Tuna

Ikan tuna memiliki kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Selain

itu, ikan tuna juga mengandung kalsium, besi, magnesium, dan beberapa
komposisi lainnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2..1. Komposisi Ikan Tuna tiap 100 g
Komponen

Satuan

Komposisi Kimia

kkal

109

Protein

G

24,40


Lemak

G

0,49

Kadar Air

G

74,03

Kalsium

mg

4

Besi


mg

0,77

Magnesium

mg

35

Fosfor

mg

278

Vitamin B 6

mg


0,933

Vitamin B 12

µg

2,08

Vitamin A

IU

60

Vitamin E

mg

0,24


Vitamin D

IU

69

Vitamin K

µg

0,1

Karbohidrat

(Sumber :http://fnic.nal.usda.gov/food-composition)

Universitas Sumatera Utara

2.4.


Pengolahan Ikan Kaleng

Bahan baku ikan segar diproses dengan beberapa tahap dari proses pengalengan,
yaitu :

1. Persiapan Wadah
Wadah yang digunakan dibersihkan dan diperiksa secara teliti sebelum
digunakan untuk pengalengan. Cara tersebut untuk menghindari terjadinya
pembusukan.

2. Pengisian (Filling)
Pengisian wadah dengan bahan yang telah disiapkan hendaknya dilakukan
secara teratur dan seragam. Produk diisikan sampai permukaan yang diinginkan
dalam wadah dengan memperhatikan adanya head space, kemudian medium
pengalengan diisi menyusul. Head space adalah ruang kosong antara permukaan
produk dengan tutup.

3. Penghampaan (Exhausting)
Sebagian besar oksigen dan gas lain harus dihilangkan dari bahan di dalam
wadah sebelum operasi penutupan. Tujuan penghampaan adalah memberikan
ruangan bagi perkembangan produk selama sterilisasi sehingga kerusakan wadah
akibat tekanan produk dari dalam dapat dihindarkan.

4. Penutupan Wadah
Suatu penutupan

yang baik diperlukan untuk mencegah terjadinya

pembusukan dan kebocoran dari satu kaleng/wadah yang dapat menimbulkan
pengkaratan pada kaleng lainnya.Sebelum wadah ditutup diperiksa dahulu apakah
head space tersebut. Setelah ditutup sempurna, kaleng/wadah perlu dibersihkan
jika ada sisa-sisa bahan yang menempel pada dinding kaleng / wadah.

Universitas Sumatera Utara

5. Sterilisasi (Processing)
Tujuan sterilisasi adalah untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan
membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilan, tekstur, dan
cita rasanya sesuai dengan yang diinginkan, sehingga dilakukan pemanasan pada
suhu 1210C dengan waktu tergantung pada cepat lambatnya proses perambatan
panas dan daya tahan mikroba yang mengkontaminasi makanan.

6. Pendinginan
Pendinginan harus cepat dilakukan untuk memperoleh keseragaman (waktu
dan suhu) dan mempertahankan mutu produk akhir. Apabila pendinginan terlalu
lambat dilakukan maka produk cenderung terlalu masak sehingga akan merusak
tekstur dan cita rasanya.

7. Pemberian Label dan Penyimpanan
Pemberian label pada kaleng bertujuan untuk mengetahui bahan yang
digunakan dan untuk mengetahui waktu produksinya sehingga dapat menentukan
masa kadaluwarsanya. Kemudian dikemas dalam karton atau kotak kayu dalam
jumlah tertentu. Selain itu, dilakukan penyimpanan sementara, misalnya karena
besarnya jumlah produksi sehingga diperlukan ruang penyimpanan yang baik
(Adawyah, 2008).

2.5.

Ciri – Ciri Kerusakan Pengalengan Makanan
Kerusakan makanan kaleng biasanya disebabkan oleh proses atau tahap

pengolahan yang tidak baik, seperti kebocoran penutupan kaleng yang tidak
sempurna selama proses pengalengan. Adapun ciri – ciri kerusakan makanan
kaleng, yakni :

1.

Flat Sour
Tidak ada petunjuk bahwa kerusakan kaleng tersebut sebelum kaleng dibuka.

Bila kaleng dibuka kerusakan ditunjukkan oleh isi kaleng yang sangat asam. Hal
ini disebabkan karena sanitasi yang buruk dan proses yang tidak baik.

Universitas Sumatera Utara

2.

Swells
Terjadi penggelembungan kaleng akibat terbentuknya gas dalam kemasan.

Tekanan dalam kaleng mampu mendesak tutup kaleng. Kondisi tersebut
menunjukkan terjadinya springers atau kaleng pecah dan hydrogen swell atau
penggelembungan kaleng oleh gas hidrogen.

3.

Hydrogen Swells dan Springers
Penggelembungan disebabkan oleh gas hidrogen karena adanya korosi. Isi

kaleng tampak normal atau agak pucat tetapi menunjukkan kerusakan lebih lanjut.

4.

Stack burn
Kerusakan kaleng akibat penempatan dan penumpukan kaleng yang

pendinginannya tidak sempurna. Isi kaleng menjadi lunak, kenampakan makanan
menjadi gelap dan tidak layak dimakan. Pemanasan juga dapat menyebabkan
penggelembungan tetap pada kaleng yang diisi berlebihan, sehingga terjadi
pengembangan bahan padat dan cairan dalam kemasan. Jika dilakukan
pembekuan bahan makanan yang dikalengkan akan terjadi kerusakan fisik pada isi
kaleng, yaitu merusak tekstur, dan kenampakan makanan kaleng.

5.

Botulinum
Bakteri pembentuk spora akan tumbuh pada makanan. Suhu pertumbuhan

bakteri tersebut adalah 50-1000F. Salah satu bakteri tersebut adalah Clostridium
botulinum yang menghasilkan toksin. Pemanasan pada titik didih air selama 10
menit akan dapat merusak dan menghancurkan toksin bakteri tersebut
(Afrianti, 2013).

Universitas Sumatera Utara

2.6.

Korosi

Korosi atau pengkaratan adalah pembentukan lapisan longgar dari peroksida yang
berwarna merah coklat sebagai hasil proses korosi produk dalam kaleng. Proses
korosi jika terus berlangsung dapat menyebabkan terbentuknya lubang dan
kebocoran pada kaleng. Beberapa faktor yang menentukan terbentuknya karat
pada kemasan kaleng adalah:
-

Sifat bahan pangan, terutama pH.

-

Adanya faktor-faktor pemicu, misalnya nitrat, belerang, dan zat warna
antosianin.

-

Banyaknya sisa oksigen dalam bahan pangan khususnya pada bagian atas
kaleng (head space), yang sangat ditentukan pada saat proses blanching,
pengisian, dan exhausting.

-

Faktor yang berasal dari bahan kemasan, misalnya berat lapisan timah, jenis
dan komposisi lapisan baja dasar, efektivitas perlakuan permukaan, jenis
lapisan dan lain-lain.

-

Suhu dan waktu penyimpanan, serta kebersihan ruang penyimpanan
(Julianti, dkk, 2006).

2.7.

Logam Berat

Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik dan
anorganik. Logam berat ialah logam yang mempunyai bobot jenis 5 gram atau
lebih untuk setiap cm3, dan bobot ini beratnya lima kali dari berat air. Logam
berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan
logam-logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila
logam berat ini berikatan atau masuk ke dalam tubuh organisme hidup. Sebagai
contoh, logam berat seperti tembaga bila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah
berlebihan akan menimbulkan pengaruh-pengaruh buruk terhadap fungsi
fisiologis tubuh (Palar, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Logam yang dapat menyebabkan keracunan biasanya jenis logam berat
saja. Logam ini termasuk logam yang esensial seperti Cu, Zn, Se dan yang non
esensial seperti Hg, Pb, Cd, dan As. Terjadinya keracunan logam paling sering
disebabkan pengaruh pencemaran lingkungan oleh logam berat, seperti
penggunaan logam sebagai pembasmi hama (pestisida), pemupukan maupun
karena pembuangan limbah pabrik yang menggunakan logam. Logam juga dapat
menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada makhluk hidup. Hal ini terjadi jika
sejumlah logam mencemari lingkungan. Logam-logam tertentu sangat berbahaya
bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada lingkungan (dalam air, tanah, dan
udara), karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh
makhluk hidup (Darmono, 1995).

2.8.

Karakteristik Logam Berat

2.8.1. Logam Kadmium (Cd)

Kadmium adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam
basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadmium oksida bila dipanaskan. Cd
umumya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau belerang (Cd
sulfit). Kadmium memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4 g/mol, titik leleh
3210C, dan titik didih 7670C (Widowati, 2008).

Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari
manusia. Prinsip utama atau dasar dalam penggunaan kadmium adalah sebagai
bahan ‘stabilisasi’, sebagai bahan pewarna dalam industi plastik dan pada
elektroplating. Selain itu banyak digunakan dalam industri – industri ringan,
seperti pada proses pengolahan roti, pengolahan ikan, pengolahan minuman,
industri tekstil dan lain- lain, banyak dilibatkan senyawa – senyawa yang dibentuk
logam Cd, mesksipun penggunaannya hanyalah dengan konsentrasi yang sangat
rendah (Palar, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.8.1.1. Toksisitas Logam Kadmium

Keracunan akut Cd terjadi jika ternak termakan/terminum bahan yang tercemar
Cd dengan dosis 350 mg Cd dengan gejala : mual, muntah, diare, kejang perut,
pusing dan hipersalivasi. Sedangkan keracunan Cd melalui inhalasi sering
ditemukan dalam industri metalurgi seperti pemurnian dan pengelasan logam,
dengan gejala sesak nafas dan radang paru-paru. Keracunan kronis Cd lebih sering
dijumpai di lapangan hanya manusia pada manusia ini erat hubungannya dengan
kualitas lingkungan yang menurun. Gejala yang timbul terlihat setelah keracunan
sedikit tetapi dalam waktu yang lama. Pada manusia terjadi setelah Cd
terakumulasi dalam ginjal sampai dalam jumlah 50 µg/g berat basah dan terlihat
pada umur sekitar 50 tahun (Darmono, 1995).

2.8.2. Logam Tembaga (Cu)

Tembaga adalah logam merah – muda, yang lunak, dapat ditempa, dan liat. Ia
melebur pada 10380C (Ar: 63,546), tak larut dalam asam klorida dan asam sulfat
encer, meskipun dengan adanya oksigen ia bisa larut sedikit (Svehla, 1985).
Logam Cu di alam bisa ditemukan dalam bentuk logam bebas, akan tetapi lebih
banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan, seperti CuOH, CuCO3 dan lainlain atau sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral, seperti Cu2S dan CuS
(Palar, 2004).
Logam Cu dapat ditemukan pada berbagai jenis makanan, air, dan udara
sehingga manusia terpapar Cu melalui jalur makanan, minuman, dan saat
bernafas. Logam Cu merupakan unsur yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil.
Apabila melampaui batas aman, akan muncul toksisitas (Widowati, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.8.2.1.

Toksisitas Logam Tembaga

Kekurangan tembaga banyak terjadi pada bayi usia 6 - 9 bulan. Khususnya bayi
yang mengalami KKP. Bayi tersebut akan mengalami leucopenia (kurang sel
darah putih) serta demineralisasi tulang. Hal ini dapat disembuhkan dengan
pemberian tembaga. Orang dewasa jarang sekali menderita kekurangan tembaga,
meskipun lama menderita KKP. Orang dewasa akan mampu menjaga
keseimbangan normal dengan mengkonsumsi 2 mg per hari. Sedangkan anak –
anak gadis cukup mengkonsumsi 1,55 mg sampai 1,70 mg per hari.
(Winarno, 1992).
Keracunan tembaga disebabkan oleh adanya tembaga yang berlebihan
dalam tubuh manusia. Ekposur terhadap tembaga dalam jangka waktu panjang
dapat mengakibatkan sakit kepala, sakit perut, muntah - muntah, dan diare.
Mengkonsumsi tembaga dalam jumlah yang besar dapat merusak ginjal dan hati
serta mematikan (Sembel, 2015).

2.8.3. Logam Zink (Zn)
Zink adalah logam putih – kebiruan, mudah ditempa dan liat pada 110 – 1500C.
Logam Zn melebur pada suhu 4100C dan mendidih pada 9060C (Svehla, 1985).
Zn dapat bereaksi dengan asam, basa, dan senyawa nonlogam. Zink (Zn) di alam
tidak berada dalam keadaan bebas, tetapi dalam bentuk terikat dengan unsur lain
berupa mineral, cat, produk karet, obat-obatan, dan sebagainya (Widowati, 2008).

Pada manusia zink merupakan unsur yang terlibat dalam sejumlah besar
enzim yang mengkatalisis reaksi metabolik yang vital. Karena fasilitasnya yang
digunakan dalam sintesis DNA dan RNA dan dalam metabolisme protein, Zn juga
esensial untuk pertumbuhan anak (Darmono, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.8.3.1.

Toksisitas Logam Zink

Administrasi Makanan dan Obat (Food and Drug Administration) (FDA)
menyatakan bahwa zink dapat merusak saraf dalam hidung dan menyebabkan
terjadinya anosmia atau kehilangan kemampuan membau, baik secara permanen
atau temporer dan hal ini dapat membahayakan karena penderita anosmia tidak
dapat membedakan makanan yang masih segar dengan makanan yang sudah
membusuk (Sembel, 2015).
Toksisitas akut Zn biasanya terjadi sebagai akibat dari tindakan
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh peralatan yang
dilapisi Zn (Widowati, 2008). Dosis konsumsi zink sebanyak 2 g/kg atau lebih
dapat menyebabkan muntah, diare, demam, kelebihan anemia, dan gangguan
reproduksi. Suplemen logam zink yang berlebihan biasanya akan menyebabkan
keracunan, begitu juga makanan yang asam dan disimpan di dalam kaleng yang
dilapisi zink (Almatsier, 1987).

2.9.

Metode Destruksi

Destruksi merupakan suatu cara perlakuan perombakan senyawa menjadi unsurunsurnya sehingga dapat dianalisis. Metode destruksi materi organik

dapat

dilakukan dengan dua cara yang selama ini dikenal, yaitu:
a. Metode destruksi kering
b. Metode destruksi basah

Berdasarkan kedua metode destruksi ini sudah tentu memiliki teknik
pengerjaan yang berbeda pula. Penguraian sampel dengan asam-asam kuat baik
tunggal maupun campuran dikenal dengan metode destruksi basah sedangkan
penguraian sampel dengan cara pengabuan sampel dalam tanur dikenal sebagai
metode destruksi kering (Apriyanto, 1989).

Universitas Sumatera Utara

2.9.1. Metode Destruksi Basah

Pengabuan basah terutama digunakan untuk digesti sampel dalam usaha
penentuan trace elemen dan logam beracun. Berbagai cara yang ditempuh untuk
memperbaiki cara kering yang biasanya memerlukan waktu yang lama serta
adanya kehilangan karena pemakaian suhu tinggi yaitu antara lain dengan
pengabuan cara basah ini. Pengabuan basah ini prinsipnya adalah memberikan
reagen kimia tertentu ke dalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Berbagai
bahan kimia yang sering digunakan untuk pengabuan basah ini dapat disebutkan
sebagai berikut:
1. H2SO4 sering ditambahkan ke dalam sampel untuk mempercepat terjadinya
reaksi oksidasi. H2SO4 merupakan bahan pengoksidasi yang kuat, meskipun
demikian waktu yang diperlukan untuk pengabuan masih cukup lama.
2. Campuran H2SO4 dan K2SO4 dapat dipergunakan untuk mempercepat
dekomposisi sampel. K2SO4akan menaikkan titik didih H2SO4 sehingga suhu
pengabuan dapat dipertinggi dan pengabuan lebih cepat.
3. Campuran H2SO4, HNO3 banyak digunakan untuk mempercepat proses
pengabuan. Kedua asam ini merupakan oksidator yang kuat. Dengan
penambahan oksidator ini akan menurunkan suhu digesti bahan yaitu pada
suhu 3500C, dengan demikian komponen yang dapat menguap atau
terdekomposisi pada suhu tinggi dapat tetap dipertahankan dalam abu yang
berarti penentuan kadar abu lebih baik.

Penggunaan HClO dan HNO3 dapat digunakan untuk sampel yang sulit
mengalami oksidasi. Dengan HClO yang merupakan oksidator yang sangat baik
memungkinkan pengabuan dapat dipercepat. Kelemahan HClO ini adalah mudah
meledak sehungga cukup berbahaya. Pengabuan dengan menggunakan HClO dan
HNO3 dapat berlangsung sangat cepat yaitu dalam 10 menit sudah dapat
diselesaikan (Sudarmadji,dkk, 1989).

Universitas Sumatera Utara

2.9.2. Metode Destruksi Kering

Penentuan kadar abu adalah dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu
yang tinggi, yaitu sekitar 500 - 6000C dan kemudian dilakukan penimbangan zat
yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut.

Bahan yang mempunyai kadar air tinggi sebelum pengabuan harus
dikeringkan lebih dahulu. Bahan yang mempunyai kandungan zat yang mudah
menguap dan berlemak banyak pengabuan dilakukan dengan suhu mula-mula
rendah sanpai asap hilang, baru kemudian dinaikkan suhunya sesuai dengan yang
dikehendaki. Sedangkan untuk bahan yang membentuk buih waktu dipanaskan
harus dikeringkan dahulu dalam oven dan ditambahkan zat anti buih misalnya,
olive atau parafin.Bahan yang akan diabukan ditempatkan dalam wadah khusus
yang disebut krus yang dapat terbuat dari porselin, silika, quartz, nikel, atau
platina dengan berbagai kapasitas (25 - 100 mL). Pemilihan wadah ini disesuaikan
dengan bahan yang akan diabukan.

Temperatur pengabuan harus diperhatikan sungguh-sungguh karena
banyak elemen abu yang dapat menguap pada suhu yang tinggi misalnya unsur K,
Na, S, Ca, Cl, P. Kadang kala pada proses pengabuan terlihat bahwa hasil
pengabuan berwarna putih abu-abu dengan bagian tengah terdapat noda hitam, ini
menunjukkan pengabuan belum sempurna maka perlu diabukan lagi sampai noda
hitam hilang dan diperoleh yang berwarna putih keabu-abuan (warna abu ini tidak
selalu abu atau putih tetapi ada juga yang berwarna kehijauan, kemerahan).

Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2 - 8 jam.
Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pengabuan yang umumnya
berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu pengabuan 30
menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu
maka krus yang berisi abu yang diambil dari dalam muffle harus lebih dahulu
dimasukkan ke dalam oven bersuhu 1050C agar suhunya turun, baru kemudian
dimasukkan ke dalam eksikator sampai dingin.

Universitas Sumatera Utara

Eksikator yang digunakan harus dilengkapi dengan zat penyerap uap air
misalnya silika gel atau kapur aktif atau kalsium klorida, natrium hidroksida. Agar
eksikator dapat dengan mudah digeser tutupnya maka permukaan gelas diolesi
dengan vaselin (Sudarmadji, dkk, 1989).

2.10.

Spektrofotometri Serapan Atom

Peristiwa serapan atom pertama kali diamati oleh Fraunhofer, ketika mengamati
garis-garis hitam pada spektrum matahari. Spektroskopi serapan atom pertama
kali digunakan pada tahun 1955 oleh Walsh. Sesudah itu tidak kurang dari 65
unsur diteliti dan dapat dianalisis dengan cara tersebut. Spektroskopi serapan atom
digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit
(trace) dan sangat sekelumit (ultratrace). Spektroskopi ini didasarkan pada
penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dan sinar yang diserap biasanya
sinar tampak atau ultraviolet (Rohman, 2008).

2.10.1. Prinsip Kerja Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada atom – atom pada suatu unsur
mengabsorpsi energi sinar pada panjang gelombang tertentu. Banyaknya energi
sinar yang diabsorpsi berbanding lurus dengan jumlah atom-atom unsur yang
mengabsorpsi. Atom terdiri dari inti atom yang mengandung proton yang
bermuatan positif dan neutron bermuatan netral, dimana inti atom dikelilingi oleh
elektron-elektron bermuatan negatif pada tingkat energi yang berbeda-beda. Jika
energi diabsorpsi oleh atom, maka elektron yang berada di kulit terluar (elektron
valensi) akan tereksitasi dan bergerak dari keadaan dasar atau tingkat energi yang
terendah (ground state) ke keadaan tereksitasi dengan tingkat energi yang lebih
tinggi (excited state). Jumlah energi yang dibutuhkan untuk memindahkan
elektron ke tingkat energi tertentu dikenal sebagai potensial eksitasi untuk tingkat
energi tersebut. Pada saat kembali ke keadaan dasar, elektron melepaskan energi
sebagai energi panas ataupun energi sinar (Clark, 1979).

Universitas Sumatera Utara

Berikut merupakan instrumentasi spektroskopi serapan atom seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.2 di bawah ini :

Gambar 2.2. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Rohman, 2008).

Keterangan :

1. Sumber Sinar
Sumber sinar yang lazim digunakan adalah lampu katoda berongga. Lampu ini
terdiri dari tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda.
Katoda berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam tertentu. Tabung
logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15
torr).

2. Tempat Sampel
Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan
dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan
asas. Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu
sampel menjadi uap atom-atom, yaitu : dengan nyala (flame) dan dengan tanpa
nyala (flameless).

Universitas Sumatera Utara

Nyala yang digunakan berfungsi untuk mengubah sampel yang berupa padatan
atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi.
Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen sebagai
bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi. Propana-udara untuk logamlogam alkali karena suhu nyala yang lebih rendah akan mengurangi banyaknya
ionisasi.

3. Monokromator
Monokromator berguna untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang
yang digunakan dalam analisis. Disamping sistem optik, dalam monokromator
juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan
kontinu yang disebut dengan chopper.

4. Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat
pengatoman. Ada dua cara yang dapat digunakan dalam sistem deteksi, yaitu : (a)
yang memberikan respon terhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinu dan (b)
yang hanya memberikan respon terhadap radiasi resonansi (Rohman, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Penentuan Kadar Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu ), Besi (Fe) Dan Seng (Zn) Pada Air Minum Yang Berasal Dari Sumur Bor Desa Surbakti Gunung Sinabung Kabupaten Karo Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (Ssa)

7 136 74

Penentuan Kadar Logam Cadmium(Cd), Tembaga (Cu), Crom (Cr), Besi (Fe), Nikel (Ni), dan Zinkum (Zn) dari beberapa Jenis Kerang Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA)

5 52 92

Penentuan Kadar LogamKadmium (Cd) dan Timah (Sn)Berdasarkan Waktu Penyimpanan dalam Produk Ikan Sarden Kemasan Kaleng secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

3 27 70

Penentuan Kadar LogamKadmium (Cd) dan Timah (Sn)Berdasarkan Waktu Penyimpanan dalam Produk Ikan Sarden Kemasan Kaleng secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

0 0 13

Penentuan Kadar LogamKadmium (Cd) dan Timah (Sn)Berdasarkan Waktu Penyimpanan dalam Produk Ikan Sarden Kemasan Kaleng secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

0 0 2

Penentuan Kandungan Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan Zink (Zn) di Dalam Produk Ikan Tuna Kemasan Kaleng Berdasarkan Waktu Penyimpanan Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

0 1 13

Penentuan Kandungan Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan Zink (Zn) di Dalam Produk Ikan Tuna Kemasan Kaleng Berdasarkan Waktu Penyimpanan Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

0 0 2

Penentuan Kandungan Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan Zink (Zn) di Dalam Produk Ikan Tuna Kemasan Kaleng Berdasarkan Waktu Penyimpanan Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

0 0 5

Penentuan Kandungan Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan Zink (Zn) di Dalam Produk Ikan Tuna Kemasan Kaleng Berdasarkan Waktu Penyimpanan Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

1 2 3

Penentuan Kandungan Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan Zink (Zn) di Dalam Produk Ikan Tuna Kemasan Kaleng Berdasarkan Waktu Penyimpanan Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

0 0 8