Pengaruh stres terhadap daya anti inflamasi kalium diklofenak pada mencit putih betina - USD Repository
PENGARUH STRES TERHADAP DAYA ANTI INFLAMASI KALIUM DIKLOFENAK PADA MENCIT PUTIH BETINA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi Diajukan oleh :
Ines Septi Arsiningtyas NIM : 058114061
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009
PENGARUH STRES TERHADAP DAYA ANTI INFLAMASI KALIUM DIKLOFENAK PADA MENCIT PUTIH BETINA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi Diajukan oleh :
Ines Septi Arsiningtyas NIM : 058114061
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009
” Jiwa Dunia dihidupi oleh kebahagiaan orang-orang.
Juga oleh ketidakbahagiaan, rasa iri, dan cemburu.
Satu-satunya kewajiban sejati manusia adalah mewujudkan
takdirnya.Semuanya satu adanya…
Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya
bersatu padu untuk membantumu meraihnya “Paulo Coelho—sang Alkemis
Skripsi ini kupersembahkan untuk : Tuhan Yesus Gembalaku Keluargaku tercinta Koordinator tim sukses hatiku Almamaterku…
PRAKATA
Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, atas karunia-Nya, skripsi yang berjudul: “Pengaruh Stres terhadap Daya Anti- Inflamasi Kalium Diklofenak pada Mencit Putih Betina” ini telah dapat diselesaikan.
Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi. Keberhasilan dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen pembimbing dan dosen penguji, atas segala bimbingan, bantuan, nasehat dan waktu yang diberikan dalam menyelesaikan naskah ini 2. Bapak.Yosef Wijoyo, M. Si., Apt. selaku dosen penguji atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan
3. Bapak Ipang Djunarko, S. Si., Apt. selaku dosen penguji atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan.
4. Ibu Rita Suhadi selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
5. Direktur PT. Dexa Medica Palembang yang telah bersedia memberikan sumbangan bahan serbuk kalium diklofenak.
6. Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Heru atas bantuannya di laboratorium selama ini.
7. Mama dan Papa, dan adikku Nita, atas doa dan dorongan semangat.
8. Untuk teman-teman dekatku, Rita, Yuan, Kaka, Hesti, dan Rosye, yang membantuku menyemangati menyelesaikan naskah ini.
9. Untuk Widi, Dani, Nixon, Rias, dan Inus, teman-teman seperjuangan dalam bimbingan dan menemani berdiskusi
10. Mas Momon yang bersedia menemani di laboratorium sehingga pengambilan data dapat terselesaikan.
11. Untuk teman-teman yang tidak henti-hentinya memberikanku semangat Mas Agung Budyawan, Mas Wawan, Kak Ucok, Tri, komunitas Wiridan Sarikraman, Kaum Muda Katolik dan MAGiS.
12. Semua teman-teman angkatan 2005, terima kasih atas kebersamaannya.
13. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang juga telah membantu selama penyelesaian skripsi ini.
Semoga Tuhan melimpahkan anugerah-Nya, atas segala kebaikan dan jasa yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis akan menerima dengan senang hati segala masukan, kritikan yang membangun dan saran demi kemajuan di masa datang.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca untuk menambah ilmu pengetahuan dan berperan dalam pengembangan untuk kemajuan masyarakat.
INTISARI
Stres dan kesehatan telah terbukti memiliki keterkaitan. Stres berperan dalam modulasi pelepasan hormon kortisol dan katekolamin oleh sistem saraf pusat yang mempengaruhi fungsi sel termasuk produksi mediator inflamasi. Seiring dengan meningkatnya kejadian stres maka akan berpengaruh juga terhadap respon inflamasi di dalam tubuh. Dengan demikian, daya anti-inflamasi suatu obat anti-inflamasi yang terpengaruhi stres tersebut berpengaruh terhadap progresivitas penyembuhan pasien. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh stres terhadap daya anti inflamasi kalium diklofenak.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola searah. Metode perlakuan stres menggunakan restraint test dan metode uji daya anti-inflamasi menggunakan metode induksi udema pada kaki hewan uji dengan suspensi karagenin 1%. Dua puluh delapan ekor mencit betina, umur 2-3 bulan, berat badan 20-30 g dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok karagenin,kontrol negatif, kontrol positif, kelompok perlakuan masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Data yang diperoleh berupa berat udem kaki mencit yang kemudian dilakukan perhitungan daya anti inflamasi menurut metode Langford dkk., distribusi data diketahui dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan dengan uji homogenitas. Hasilnya dianalisis dengan metode statistik ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres tidak menurunkan secara signifikan daya anti-inflamasi kalium diklofenak. Persen (%) daya anti-inflamasi kelompok aquades, diklofenak dengan perlakuan stres, dan diklofenak tanpa stres berturut-turut sebesar 13,27%, 21,14%, dan 33,60%.
Kata kunci : daya anti-inflamasi, stres, kalium diklofenak
ABSTRACT
Stress and health had proven that had an association. Stress had a role in modulated releaasing cortisol and cathecolamine from the central nervous system that affect the cell function include peroduction of inflammation mediator.As increasing stres there is also increasing in releasing the response of inflammatory in the body so there was a need to increase the dose of anti inflammatory drugs. The aim of research was to know the effect of stress to the diclofenac potassium anti-inflammatory effect.
The experimental study was conducted according to one way statistic of randomized design. The method used for stress was restraint test and for anti- inflammatory effect of sodium diclofenac was performed by inducing oedema on test animal paw with subplantar injection of 1% carageenan suspension. Twenty eight female mice (with) weighing 20-30 g (2-3 months) consists of 4 groups and each of the groups were consist of 7 mice. The result were data at mice paw’s weight that were used to calculate the percentage of anti-inflammatory effect according to the Langford, et al. then using one sample Kolmogorov-Smirnov test for the distribution and continued with homogeneity test. The result would be analyzed with using One Way ANOVA analysis with 95% significance level.
The result showed stress had no decrased the anti-inflammatory effect of diclofenac potassium significantly. The percentage of anti inflammatory effect of aquadest was 13,27%, diclofenac treatment with restraint test was 21,14%, diclofenac treatment without restraint test was 33,60%.
Key words : Anti-inflammatory effect, stress, diclofenac potassium
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ...........................................................................................
i
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................. vii
PRAKATA .............................................................................................................. viiiINTISARI ............................................................................................................... x ABSTRACT ............................................................................................................ xi DAFTAR ISI ...........................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xviii
BAB I PENGANTAR .............................................................................................1 A.
1 Latar Belakang .............................................................................................
B.
Tujuan .......................................................................................................... 3
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ..................................................................... 4
A. Stres ..............................................................................................................23 L. Hipotesis........................................................................................................ 24 BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................
26 E. Tata Cara Penelitian .....................................................................................
26 D. Bahan dan Alat yang Digunakan .................................................................
25 C. Definisi Operasional ....................................................................................
25 2. Variabel pengacau ..................................................................................
Variabel penelitian .................................................................................
25 B. Variabel ........................................................................................................ 25 1.
25 A. Jenis Rancangan Penelitian ..........................................................................
21 K. Landasan Teori .............................................................................................
4 B. Stresor .......................................................................................................... 7 C.
20 J. Metode Uji Daya Anti-Inflamasi .................................................................
19 I. Metode Perilaku Stres ..................................................................................
18 H. Kalium diklofenak ........................................................................................
14 G. Obat Anti-Inflamasi .....................................................................................
12 F. Mediator Inflamasi .......................................................................................
10 E. Inflamasi .......................................................................................................
9 D. Reaksi Stres ..................................................................................................
Keterkaitan Stres dengan Fisiologi Tubuh ...................................................
27
2.
28 Penyiapan bahan uji ...............................................................................
3. Uji pendahuluan rentang waktu pemotongan kaki setelah injeksi karagenin ................................................................................................
29 4.
29 Uji pendahuluan waktu pemberian diklofenak dengan dosis efektif .....
5.
30 Perlakuan hewan uji ...............................................................................
6.
32 Perhitungan daya anti inflamasi .............................................................
F.
32 Analisis Hasil ...............................................................................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
33 A.
33 Uji Pendahuluan ...........................................................................................
1.
33 Orientasi waktu pemotongan kaki mencit ..............................................
2. Orientasi waktu pemberian larutan kalium diklofenak dengan dosis terapi .......................................................................................................
36 B.
39 Hasil Uji Daya Anti-Inflamasi .....................................................................
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
47 A. Kesimpulan .................................................................................................. 47 B.
47 Saran .............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
48 LAMPIRAN .............................................................................................................
52 BIOGRAFI PENULIS .............................................................................................
65
DAFTAR TABEL
Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% Tabel I. data bobot udema kaki mencit pada uji pendahuluan waktu pemotongan kaki setelah diinjeksi karagenin 1%subplantar………………………………………………………….
34 Hasil rata-rata berat udem setelah injeksisuspensi karagenin 1% secara Tabel II. sub plantar pada telapak kaki kiri bagian belakang pada rentang waktu tertentu……………………………………………..
35 Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% Tabel III. data bobot udema kaki mencit pada uji pendahuluan waktu pemberian larutan kalium diklofenak pada dosis
terapi……………………………………………………………….
37 Data rata-rata berat udem kaki mencit pada uji pendahuluan setelah Tabel IV. pemberian dosis terapi kalium diklofenak pada rentang waktu tertentu……………………………….……………………
37 Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% Tabel V. data berat udema kaki mencit pada uji daya anti-
inflamasi…………………………………………………………..
41 Data rata-rata berat udem kaki mencit sesuai dengan kelompok Tabel VI.
perlakuan………………………………………………………......
41 Rangkuman hasil ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95% Tabel VII.
44 data persen (%) daya anti-inflamasi pada setiap masing-masing kelompok perlakuan…………………………………………………...
Tabel VIII. Rangkuman data persen (%) daya anti-inflamasi antarkelompok dan % kenaikan daya anti-inflamasi antarkelompok…………………………
44
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Stres sebagai suatu stimulus..........................................................4 Gambar 2. Stres sebagai suatu respon.............................................................
6 Gambar 3. Diagram Interaksi karakteristik Stresor dengan Internal Proses (Kognitif, Respon Fisiologi, dan Perilaku) Menghadapi Situasi.............................................................................................
8 Gambar 4. Hubungan Stres dengan Sistem Endokrin.............................. .......
10 Gambar 5. Sindrom Gejala Adaptasi menurut Hans Selye..............................
11 Gambar 6. Pathogenesis dan gejala peradangan..............................................
12 Gambar 7. Diagram mediator inflamasi turunan dari fosfolipid dengan aksinya pada tubuh dan sisi aksi obat anti-inflamasi.....................
17 Gambar 8. Struktur kalium diklofenak............................................................
20 Gambar 9. Diagram batang rata-rata berat udem setelah injeksi suspensi karagenin 1% secara sub plantar pada telapak kaki kiri bagian belakang pada rentang waktu tertentu...........................................
36 Gambar 10. Diagram batang rata-rata berat udem kaki mencit pada uji pendahuluan setelah pemberian dosis terapi kalium diklofenak pada
rentang waktu tertentu...........................................................
38 Gambar 11. Diagram batang berat udem rata-rata kaki mencit sesuai dengan kelompok perlakuan.......................................................................
42 Gambar 12. Diagram batang persen (%) daya anti-inflamasi hasil perlakuan kalium diklofenak..........................................................................
45
DAFTAR LAMPIRAN
Certificate of Co-Analysis kalium diklofenak...........................Lampiran 1.
52 Skema kerja uji pendahuluan pemotongan kaki mencit setelah Lampiran 2. diinjeksi karagenin 1% 0,05 ml subplantar pada rentang waktu tertentu.......................................................................................
53 Skema kerja uji pendahuluan penetapan waktu pemberian kalium Lampiran 3. diklofenak dosis 13 mg/kg BB......................................
54 Skema kerja pada kelompok perlakuan setelah perlakuan stres Lampiran 4. beserta kontrol............................................................................
55 Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah Lampiran 5. diinjeksi karagenin 1% pada rentang waktu tertentu.................
56 Data berat udema kaki mencit hasil uji pendahuluan akibat Lampiran 6. pemberian kalium diklofenak 13 mg/kgBB pada rentang waktu tertentu..........................................................................................
57 Data berat udema kaki mencit dan % daya antiinflamasi hasil uji Lampiran 7.
daya antiinflamasi pada kelompok kontrol dan perlakuan...
58 Data rata-rata berat udem masing-masing kelompok Lampiran 8. perlakuan.....................................................................................
59 Data perhitungan persen (%) daya anti-inflamasi........................
Lampiran 9.
60 Hasil analisis statistik data orientasi waktu pemotongan kaki setelah Lampiran 10.
injeksi subplantar karagenin 1%......................................
61 Hasil analisis statistik data orientasi waktu pemberian kalium Lampiran 11.
62
diklofenak pada dosis 13 mg/kg BB............................................ Hasil analisis statistik rata-rata berat udem antara kontrol dengan Lampiran 12. perlakuan.........................................................................
63 Lampiran 13. Hasil analisis statistik persen (%) daya anti-inflamasi dengan kelompok perlakuan......................................................................
64
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Stres dan kesehatan memilliki keterkaitan, dimana stres adalah suatu reaksi
psikofisiologi tubuh terhadap jenis-jenis stimulus emosional ataupun fisik yang dapat mengancam homeostasis (Forsythe, Cory, John, Dean, Harrisios, 2003). Faktor interferensi intrinsik dan ekstrinsik yang mengganggu keseimbangan fisiologis tubuh (homeostasis) ini disebut stresor (Levenstein,dkk., 2004). Hubungan antara stres dan inflamasi ditujukan berdasarkan pada studi manusia yang menunjukkan bahwa stres emosional mengeksaserbasi gejala gangguan inflamasi (Forsythe, dkk., 2003).
Keterkaitan stres dengan kesehatan adalah stres dapat memodulasi respon imun melalui aktivasi sumbu Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dan memicu sistem saraf pusat untuk melepaskan kortisol dan katekolamin yang mempengaruhi transportasi sel, proliferasi, dan fungsi termasuk produksi sitokin dan mediator inflamasi (Forsythe, dkk., 2003) seperti peningkatan interleukin-I beta oleh sel imun (Suwito, 2004).
Besarnya peranan stres dalam memicu berbagai penyakit tanpa disadari oleh penderitanya bahkan tak jarang oleh tenaga medis sendiri, berpengaruh pada progresivitas penyembuhan (Irawan, 2007). Penggunaan obat anti-inflamasi golongan non-steroid seperti diklofenak banyak digunakan di masyarakat. Produk diklofenak
® ®
yang beredar di pasaran antara lain Cataflam , Eflagen (kalium diklofenak),
®
Voltaren (natrium diklofenak) dan tersedia dalam sediaan tablet, sediaan topikal, dan tetes mata (Anonim, 2007). Diklofenak banyak digunakan masyarakat dalam kondisi menderita inflamasi baik pada inflamasi ringan seperti radang gusi, hingga gejala inflamasi yang berat seperti rheumatoid arthritis. Seiring dengan penggunaan diklofenak yang banyak di masyarakat dan banyaknya kejadian stres yang ada di sekitar masyarakat, maka penulis ingin melihat keterkaitan antara stres dengan daya anti-inflamasi diklofenak, khususnya pada penelitian ini menggunakan kalium diklofenak. Hal ini disebabkan durasi dan besarnya peningkatan stres maka akan terdapat perbedaan mekanisme fisiologis yang secara kualitatif dan jelas memberikan respon inflamasi yang berbeda (Forsythe, dkk., 2003). Seiring dengan meningkatnya stres maka terjadi pula peningkatan respon inflamasi di dalam tubuh dengan demikian daya anti-inflamasi suatu obat akan terpengaruh.
1. Perumusan masalah
Dalam penelitian ini akan dilihat apakah stres memiliki pengaruh menurunkan secara signifikan terhadap daya anti-inflamasi kalium diklofenak.
2. Keaslian penelitian
Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian mengenai pengaruh stres terhadap daya anti-inflamasi kalium diklofenak pada mencit putih betina belum pernah dilakukan dan dipublikasikan di Universitas Sanata Dharma.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.
b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis kepada masyarakat sebagai informasi baru tentang pengaruh stres terhadap daya anti- inflamasi kalium diklofenak dan menjadi lebih bijak dalam penggunaan kalium diklofenak c. Manfaat metodologis
Selain itu metode ini diharapkan menjadi metode alternatif yang dapat dilakukan untuk membuktikan pengaruh stres terhadap efek anti-inflamasi suatu obat.
B. Tujuan 1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi baru pengaruh stres terhadap terhadap obat-obat yang memiliki daya anti-inflamasi.
2. Tujuan khusus
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh stres terhadap daya anti-inflamasi kalium diklofenak.
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Stres Stres dapat didefinisikan sebagai ketegangan fisiologis atau psikologis yang
disebabkan oleh rangsangan merugikan fisik, mental atau emosi, internal atau eksternal, yang cenderung menganggu fungsi organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk menghindar (Dorland, 2000).
Dalam perkembangannya terdapat 3 pendekatan mengenai stres, yaitu :
1. Stres sebagai ’stimulus’ Pendekatan yang pertama menitikberatkan pada lingkungan dan menggambarkan stres sebagai suatu stimulus (gambar 1).
LINGKUNGAN stres R s S = stimulus stres stres Ketegangan R = respon stres Gambar 1. Stres sebagai suatu stimulus Menurut model ini, seorang individu bertemu secara terus menerus sumber- sumber stresor yang potensial yang ada di dalam lingkungan. Contoh : kejadian pada orang-orang yang mempunyai pekerjaan dengan tingkat stres yang tinggi. Orang demikian akan merasa tegang dan tidak enak. Kejadian atau lingkungan yang menimbulkan perasaan-perasaan tegang disebut stresor (Smet, 1994).
Oleh Holmes dan Rahe (1967), kemudian disusun social readjustment rating
scale (SRRS) yang meninjau nilai berharga untuk membedakan stresor dan telah
digunakan banyak pada studi mengenai keterkaitan antara stres dan kejadian penyakit (Marks, Murray, Evans, dan Willig, 2000). Kelemahan model ini ditunjukkan oleh perbedaan individual, tingkat toleransi seseorang dan harapan-harapannya. Selain itu tidak ada kriteria yang obyektif yang bisa mengukur situasi yang penuh stres, kecuali ukuran pengalaman individu, sedangkan lingkungan yang memberi tekanan dapat berupa lingkungan kerja, seperti : kondisi kerja yang miskin fasilitas, kondisi pekerjaan yang tidak memuaskan, dll (Smet, 1994).
2. Stres sebagai ’respon’ Pendekatan yang kedua memfokuskan pada reaksi seseorang terhadap stresor dan menggambarkan stres sebagai suatu respon (Smet, 1994). Teori ini menyangkut tentang konsekuensi stres terhadap fisiologi, psikologi dan perilaku, dan terkait dengan perkembangan suatu kejadian penyakit (Marks, dkk., 2000). Skema yang menjelaskan stres sebagai respon tertera pada gambar 2 :
LINGKUNGAN Psikolog i Agen Respon Fisiologi stres stres Tingkah L k Stimulus Æ Respon
Gambar 2. Stres sebagai suatu respon
Dalam konteks ini sering terdapat contoh sebagai berikut : seseorang akan merasa stres bila suruh pidato di depan suatu pertemuan. Respon yang dialami itu mengandung dua komponen yaitu :
a. komponen psikologis yang meliputi : perilaku, pola pikir, emosi dan perasaan stres
b. komponen fisiologis, berupa rangsangan-rangsangan fisik yang meningkat seperti : jantung berdebar-debar, mulut menjadi kering, perut mules, badan berkeringat.
Respon-respon psikologis dan fisiologis terhadap stresor ini disebut juga strain atau ketegangan (Smet, 1994).
3. Stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan Pendekatan ketiga menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan strain, dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Di sini stres bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respon saja tetapi juga suatu proses dimana seseorang adalah pengantara (agen) yang aktif yang dapat mempengaruhi stresor melalui strategi-strategi perilaku, kognitif, dan emosional (Smet, 1994).
Stres terjadi ketika terdapat ketidakcocokan antara ketika merasakan ancaman dan merasakan kemampuan untuk menghadapinya (Marks, dkk., 2000). Stres merupakan transaksi antara manusia dengan lingkungannya yang di dalamnya termasuk penilaian sesorang pada tantangan yang dihadapinya pada situasi tertentu sebaik-baiknya dengan menggunakan sumber-sumber yang ada untuk menghadapinya seiring dengan respon secara psikologi dan respon fisiologi pada saat merasakan tantangan-tantangan tersebut (Bishop, 2004).
B. Stresor
Rangsangan yang dapat memicu stres disebut stresor. Stresor ini bervariasi menurut intensitas dan durasinya (Morris dan Maisto, 2002). Menurut Selye, stresor ini kemudian dibedakan menjadi distress (stres yang merugikan) dan eustress (stres yang positif). Walaupun reaksi stressor terhadap fisik tidaklah jauh berbeda, namun
eustress dianggap menghasilkan kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan
distress (Bishop, 1994).Stresor dapat berupa mikrostresor —seperti percekcokan harian, dan gangguan minor, misal : kemacetan lalu lintas, asisten kerja yang sulit, dan target akademis— hingga pada stresor yang lebih parah. Pendekatan untuk membedakan
1. akut, time-limited stresors : misalnya sesorang ada dalam keadaan terancam di jalan, atau ketika menjalani ujian mengemudi 2. rangkaian stresor (stresor sequences) : misalnya sesorang yang menjual rumah satu-satunya atau kehilangan rumah satu-satunya 3. kronik, intermitten stresors : misalnya akan menghadapi deadline penulisan jurnal bagi jurnalis, atau tegangan saraf yang meningkat pada masa pre-menstrual 4. stresor kronik : misalnya seorang dokter yang menghadapi situasi darurat pada lingkungan yang padat penduduk dan mengekang dirinya (Marks, dkk., 2000)
- Rasa khawatir
- Piker yang sulit terkendali
Dari sumber
(sekunder)
- Kepercayan diri yang rendah
- Konsekuensinya - Arti dari konsekuensi
- Mengharapkan yang terburuk
- Merasakan tidakada harapan Karakteristik stresor
- Hormon stres
Penilaian Kognitif
-Tergantung
permintaan (primer) - Ketegangan otot
Detak jantung
meningkat
Napas pendek
- Respon yang irrelevant >
- Memicu saraf simp
- Perilaku yang rigid atau terjadi disorganisasi
Suseptibilitas
terhadap penyakitmeningkat
Perilaku menghadapiRespon fisiologis
Gambar 3. Diagram Interaksi karakteristik Stresor dengan Internal Proses (Kognitif,
Respon Fisiologi, dan Perilaku) Menghadapi Situasi (Michael, dan
Efek :
Proses internal
Intensitas/ting kat keparahan
kronisitas kontrolabilitas prediktabilitas durasi
Situasi permintaan/ sumber (stresor)
Perilaku self destructive (misal: Stres meliputi interaksi yang kompleks antara karakteristik situasi (stresor), proses penilaian kognitif, respon fisiologi, dan perilaku yang dilakukan untuk mengahadapi situasi tersebut. Karakteristik stresor yang mempengaruhi respon stres dapat dilihat pada gambar 3.
C. Keterkaitan Stres dengan Fisiologi Tubuh
Reaksi stres terjadi karena aktivasi sumbu anterior-kelenjar pituitary-sistem korteks. Stresor akan bekerja pada kontak dengan saraf dan menstimulasi pelepasan hormone adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar pituitary dan akan memicu pelepasan glukokortikoid dari adrenal korteks (Pinel, 2000). Stresor akan menstimulasi otak untuk melepaskan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari kelenjar anterior pitutari untuk memicu pelepasan glukortikoid dari adrenal korteks.
Stresor juga mengaktivasi system saraf simpatik, dimana meningkatkan pelepasan epinefrin dan norepinefrin dari adrenal medulla. Efek stres yang semakin berat disebabkan karena adanya peningkatan sekresi glukokortikoid. Efek ini meliputi peningkatan tekanan darah, kerusakan pada jaringan otot, diabetes steroid, infertilitas, penghambatan pertumbuhan, penghambatan reaksi inflamasi, dan supresi sistem imun. Penghambatan pada respon inflamasi membuat tubuh semakin sulit untuk menyembuhkan diri setelah terkena trauma (Forsythe, dkk., 2003).
Stres
Sistem Sistem Hypothalmic- Sympathoacdreno- pituitary-adrenocortical
Sistem Syaraf Hipotalamus
Simpatik Medula Adrenal menghasilkan Kelenjar Epinefrin dan Norepinefrin : Pituitari meningkatkan
- aktivitas`kardiovaskular meningkatkan respirasi
- meningkatkan perspirasi
- Korteks Adrenal menghasilkan membawa darah menuju otot
- kortikosteroid : menstimulasi aktivitas mental
- meningkatkan pelepasan energi
- meningkatkan metabolisme
- menekan respon inflamasi
- memicu ketegangan otot menekan respon imun
Gambar 4. Hubungan Stres dengan Sistem Endokrin (Bishop, 1994)
D.Reaksi Stres
Menurut ahli fisiologi Hans Selye, terdapat tiga tahap reaksi terhadap stres secara fisik dan psikologi yang disebut general adaptation syndrome (GAS). Seperti yang terlihat pada gambar 5, tahap pertama (I) adalah reaksi alarm, dimana tubuh mengenali bahwa harus ada perlawanan fisik dan psikologis terhadap bahaya yang terjadi (Morris dan Maisto, 2002). Pada tahap ini sistem saraf simpatik diaktifkan, dan hormon stres (kortisol, epinefrin, dan norepinefrin) dilepaskan dalam jumlah yang besar (Stephen, dan Joseph, 1997). Tahap kedua (II) adalah pertahanan
(resistance), selama tahap ini muncul gejala fisik dan rangkaian tanda yang muncul untuk melawan peningkatan disorganisasi psikologi (Morris dan Maisto, 2002), yang telah dibawa pada tahap alarm. Apabila stresor ini berlanjut, tubuh akan memulai pengaturannya pada level sedang tanda-tanda fisiologi. Apabila gagal, maka akan sampai pada tahap ketiga (III) yaitu muncul mekanisme kelelahan (exhaustion), dengan adanya tambahan stresor atau kehilangan kemampuan dalam bertahan, tubuh akan memasuki tahap yang memungkinkan terjadinya bermacam-macam kejadian penyakit atau bahkan kematian (Stephen, dan Joseph, 1997) yang tidak efektif untuk mengatasi stres (Morris dan Maisto, 2002).
R e s i s t e n s
I
i
II
s t
III
r e s
waktu
Gambar 5. Sindrom Gejala Adaptasi menurut Hans Selye
(Michael, dan Ronald, 2007)
E. Inflamasi
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan (Harvey, Mycek, dan Champe, 2001).
Gejala peradangan dimulai dari adanya noksius atau stimulus yang menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Dari kerusakan sel ini akan terjadi emigrasi leukosit dan proliferasi sel. Seiring dengan terjadinya kerusakan sel, maka akan terjadi pembebasan mediator-mediator inflamasi yang menyebabkan terjadinya eksudasi, perangsangan reseptor nyeri, serta gangguan sirkulasi lokal. Dimana gangguan sirkulasi lokal akan menyebabkan terjadinya pemerahan dan rasa panas, dari eksudasi akan menyebabkan pembengkakan yang berpengaruh pada gangguan fungsi, dan adanya perangsangan pada reseptor nyeri akan menyebabkan juga gangguan fungsi serta rasa nyeri, Seperti tertera pada gambar 6 di bawah ini :
Emigrasi leukosit Noksius Kerusakan sel Proliferasi sel Pembebasan bahan mediator
Gangguan eksudasi Perangsangan sirkulasi lokal reseptor nyeri pemerahan panas Dalam reaksi ini ikut berperan pembuluh darah, saraf, dan sel tubuh di tempat jejas. Proses radang memusnahkan, melarutkan atau membatasi agen penyebab jejas dan merintis jalan untuk pemulihan jaringan yang rusak pada tempat itu. Untuk mencapai tujuan tersebut, reaksi radang seringkali menimbulkan gejala- gejala klinik seperti rasa nyeri. Pemulihan ialah proses dimana sel-sel yang hilang atau rusak diganti dengan sel-sel hidup, kadang-kadang melalui regenerasi oleh sel parenkim asal, tetapi lebih sering oleh sel fibroblast jaringan ikat yang membentuk parut.
Radang akut adalah radang yang disebabkan oleh rangsangan yang berlangsung mendadak (akut) (Sander, 2003). Gejala reaksi radang yang dapat diamati berupa kemerahan (rubor), panas meningkat (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (functio laesa) (Price dan Wilson, 1995).
Manifestasi lokal dari radang akut, ada tiga macam yaitu :
1. Perubahan hemodinamik Pertama, didapatkan tekanan hidrostatik yang meningkat dalam pembuluh darah akibat meningkatnya aliran darah di daerah yang terluka, sehingga cairan keluar menuju daerah yang bertekanan lebih rendah yaitu interstitial. Kedua, menurunnya tekanan osmotik dalam tekanan darah, sehingga cairan plasma tertarik keluar pembuluh darah ke jaringan interstitial.
2. Perubahan permeabilitas Perubahan pembuluh darah meningkat, sehingga terjadi banyak kebocoran pembuluh darah, dan akhirnya plasma protein dengan berat molekul yang besar dapat menerobos dinding pembuluh darah ke jaringan interstitial.
3. White cell event Sel-sel leukosit dalam keadaan normal berjalan di tengah-tengah dari pembuluh darah begitu terdapat keradangan di suatu organ, maka pembuluh darah sekitar daerah peradangan akan melebar, dan sel-sel radang PMN akan menepi (margination). Setelah itu, sel-sel radang keluar dari pembuluh darah karena permeabilitas kapiler yang meningkat (emigration). Sel-sel PMN yang berada di luar pembuluh darah, dengan sendirinya akan menuju pusat radang karena pengaruh mediator kimia (prostaglandin, leukotrien, komplemen C5a) disebut kemotaksis. Lalu sel-sel PMN menggerombol pada pusat radang atau mengelilingi pusat radang dengan tujuan melokalisir daerah radang (aggregration). Pada akhirnya sel-sel PMN memakan kuman atau sel-sel mati dan dicernakan oleh enzim katalitik dari lisosom (phagocytosis) (Sander, 2003).
F. Mediator Inflamasi
Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan (tromboksan, leukotrien, asamhidroperoksieikosatetraenoat/HPETE dan asam hidroksi eikosatetraenoat/HETE) diproduksi dalam jumlah kecil oleh semua jaringan. Umumnya bekerja lokal pada produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu, prostaglandin tidak bersikulasi dengan konsentrasi bermakna dalam darah (Harvey, dkk, 2001) Metabolisme asam arakhidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama, yaitu sesuai dengan enzim yang mencetuskan reaksi:
1. Jalur siklooksigenase (COX)
Mula-mula dibentuk suatu endoperiksida siklik prostaglandin G (PGG ), yang
2
2
kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H (PGH ) oleh peroksidase. PGH
2
2
2
sendiri sangat tidak stabil, lalu membentuk prostasiklin (PGI ) dan tromboksan
2 (TXA ), prostaglandin D (PGD ), prostaglandin E (PGE ), prostaglandin F (PGF ).
2
2
2
2
2
2
2 Aspirin dan agen antiinflamasi non steroid (AINS) seperti indometasin menghambat
siklooksigenase dan karena itu menghambat sintesis prostaglandin (Robbin dan Kumar, 1995).
Telah diteliti bahwa ada dua isoenzim siklooksigenase yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Di dalam tubuh COX-1 merupakan bentuk yang lebih dominan. Enzim COX-1 disebut juga sebagai enzim “constitutive” yang mengubah PGH menjadi beberapa jenis prostaglandin (PGE , PGI ) dan tromboksan
2
2
2
(TXA ) yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. Enzim COX-1 terdapat di
2
kebanyakan jaringan, antara lain di ginjal dan saluran cerna. Enzim COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan, tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang dan dalam sel-sel imun, sel endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan mengubah PGH
2
manjadi PGE yang berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh
2
karena itu, COX-2 dikenal sebagai enzim pertahanan. Tapi pada kenyataannya,, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat diinduksi. Menurut perkiraan, penghambatan COX-2 lebih memberikan efek antiinflamasi terhadap obat antinflamasi non steroid (Lelo, 2002).
2. Jalur lipoksigenase
Jalur ini merupakan jalan lain. Reaksi awal pada jalur ini ialah adanya tambahan gugus hdroperoksi pada posisi karbon 5-, 12-, 15- yang oleh enzim masing- masing membentuk lipoksigenase-5, lipoksigenase-12, lipoksigenase-15. Lipoksigenase-5 merupakan enzim utama neutrofil dan metabolit-metabolit hasil kerjanya berciri khas. Derivat 5-hidroperoksi asam arakhidonat yang disebut 5- HPETE, sangat tidak stabil dan direduksi sebagai 5-HETE (yang bekerja kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan dari 5-HPETE disebut leukotrien A (LTA ), kemudian oleh hidrolisis dan
4
4
akhirnya menjadi leukotrien E(LTE). Leukotrien Benzim membentuk leukotrien B
4
(LTB ) atau leukotrien C (LTC ) dengan penambahan glutation. Leukotrien C
4 4 a
4
diubah menjadi leukotrien D (LTD) merupakan agen kemotaksis kuat dan
4
menyebabkan agregasi neutrofil. Leukotrien C dan LTD menyebabkan
4
4 vasokonstriksi, spasmus bronkus dan meningkatkan permeabilitas vaskular (Robbin, dan Kumar, 1995).
Fosfolipid Glukokortikoid (menginduksi Fosfolipase A 2 annexin 1
Liso-gliseril-
Arakhidonat
fosforilkolin
12-Lipoksigenase siklooksigenase
Dihambat 5-lipooksigenase Dihambat agonis PAF NSAID
Siklus
15-Lipoksigenase
endoperoksid 5-HPETE
PAF
Induksi (vasodilator, penghambatan meningkatkan glukokortikoid Penghambat 5- Penghambat permeabilitas lipooksigenase
TXA synthase pembuluh darah, 2 (contoh : bronkokonstriksi,
12-HETE Lipoksin
zileutin) kemotaksin) (Kemotaksin)
A dan B
Dihambat Antagonis TXA 2 PGI TXA
2
2
( vasodilator, (trombotik, hiperalgesik, vasokonstriktor)LTA
4 stops platelet
Dihambat oleh aggregation )
Dihambat agonis reseptor Antagonis
Leukotrien PG
LTB (Contoh :
4 zafirukast, montelukast)
LTC
4 (bronkokonstriktor,
PGF PGD PGE meningkatkan
2 α
2
2 (bronkokonstriktor, (menghambat (vasodilator, LTD
4 permeabilitas kontraksi platelet hiperalgesik) pembuluh darah)
, miometrial) aggregation vasodilator)
LTE
4 Keterangan gambar 7: PG = prostaglandin; PGI = prostasiklin; TX = troboksan; LT = leukotrien; HETE = hydroxyeicosatetraenoic acid; 2 Dari gambar 7 dapat dilihat bahwa mediator PGF
2 memiliki pengaruh α
bronkokonstriktor, kontraksi miometrial, PGD
2 menyebabkan penghambatan agregrsi
pletelet dan vasodilator, sedangkan PGI
2 dan PGE 2 menyebabkan terjadinya
vasodilator dan hiperalgesik. Sedangkan Leukotrien bersifat bronkokonstriktor dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah (Rang, Dale, Ritter, dan Flower, 2007).
G. Obat Anti-inflamasi
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat anti inflamasi terbagi dalam golongan steroid yang terutama bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya, dan golongan obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi siklooksigenase yang berperan pada biosintesis prostaglandin (Anonim, 2000).
Sediaan AINS memiliki struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya. Oleh karena itu berbagai cara telah dilakukan untuk mengelompokkan AINS, apakah menurut struktur kimianya, tingkat keasaman, atau ketersediaan awal (pro-drug atau bukan). Meskipun secara umum, sebagai anti- inflamasi, AINS bekerja dengan menghambat biosintesis prostaglandin, namun sekarang AINS dikelompokkan menurut selektivitasnya dalam menghambat COX-1 dan COX-2, apakah selektif sebagai penghambat COX-2 atau non-selektif (Lelo, 2002).
H. Kalium diklofenak
Kalium diklofenak merupakan obat anti inflamasi non-steroid (AINS) poten dan disertai dengan daya antipiretik dan analgesik. Kalium diklofenak termasuk dalam derivate asam fenilasetat. Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak diakumulasi di cairan sinovia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut (Wilmana, 1995).