Hubungan Neutrophil-Lymphocyte Ratio Dengan Derajat Stenosis Arteri Koroner Pada Pasien Sindroma Koroner Akut

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Penyakit jantung koroner (PJK) saat ini merupakan salah satu masalah

kesehatan utama di dunia. Sejak tahun 1990, prevalensi PJK terus meningkat,
pada tahun 2004 American Heart Association memperkirakan prevalensi PJK di
Amerika Serikat mencapai 13 juta jiwa. Menurut data WHO pada tahun 2013,
PJK menjadi penyebab kematian terbanyak dengan mencapai jumlah 7 juta jiwa
kematian setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama terjadi di negara
berkembang.1
Di Indonesia, menurut hasil RISKESDAS tahun 2007, prevalensi PJK
mencapai 9,3% dan menempati peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian
terbanyak setelah stroke dan hipertensi.2
PJK didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal yang disebabkan oleh
disfungsi jantung dan pembuluh darah koroner. PJK bermakna didefinisikan
sebagai adanya stenosis yang lebih dari 50% diameter arteri koroner. Stenosis
arteri koroner ini dapat terjadi sebagian maupun total dari satu atau lebih arteri

koroner dan atau cabang-cabangnya. Stenosis arteri koroner dapat dinilai dengan
tindakan angiografi koroner dan biasanya diukur dengan evaluasi visual dari
persentasi pengurangan diameter relatif terhadap segmen normal yang
berdekatan.3,4
Sindroma koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinik PJK yang
paling utama dan paling sering menyebabkan kematian. Manifestasi klinis SKA
antara lain dapat berupa angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard akut
(IMA) tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) serta IMA dengan segmen ST
elevasi (IMA STE). SKA merupakan kasus gawat darurat yang harus didiagnosis
dan ditatalaksana segera untuk menghindari morbiditas dan mortalitas.5
Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK dan
manifestasinya yaitu SKA. Aterosklerosis merupakan suatu proses multifaktorial
dengan mekanisme yang saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai

Universitas Sumatera Utara

dengan adanya kerusakan pada lapisan endotel, diikuti pembentukan foam cell
dan fatty streaks, kemudian terbentuklah fibrous plaque yang dapat diikuti proses
ruptur plak yang tidak stabil yang kemudian menyebabkan SKA. Pada dasarnya,
aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi kronis dimana inflamasi

memainkan peranan penting dalam setiap tahapan aterosklerosis mulai dari awal
pembentukan plak sampai terjadinya ruptur plak. Penelitian oleh Qiao dkk.
menunjukkan bahwa kejadian ruptur plak pada IMA lebih sering terjadi pada
pembuluh darah koroner dengan derajat stenosis yang berat sehingga
penatalaksanaan yang segera sangat diperlukan.6,7
Penelitian-penelitian telah mendapatkan adanya hubungan antara beberapa
penanda inflamasi dengan penyakit kardiovaskular. Penanda inflamasi yang
paling banyak diteliti hubungannya dengan penyakit kardiovaskular adalah CReactive protein (CRP). Akan tetapi, pada dekade terakhir ini para peneliti juga
mempelajari penanda inflamasi lain yang lebih mudah dan murah seperti leukosit
dan subtipenya. Penelitian Lee dkk. mendapatkan bahwa peningkatan pada pasien
PJK, jumlah leukosit berhubungan dengan meningkatnya insidensi dan prognosis
yang lebih buruk.8-10
Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa pemeriksaan subtipe
leukosit dapat menjadi faktor prediktor dan prognostik penyakit kardiovaskular.
Penelitian oleh Olivares dkk. mendapatkan bahwa peningkatan nilai monosit
absolut berhubungan dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular. Guasti
dkk juga mendapatkan bahwa nilai neutrofil absolut dapat menjadi faktor
prognostik independent penyakit kardiovaskular.11,12
Penelitian terbaru mendapatkan ada penanda inflamasi baru yang apabila
dibandingkan dengan nilai total leukosit atau nilai neutrofil absolut memiliki nilai

prediktor dan prognostik penyakit kardiovaskular yang lebih baik. Penanda
inflamasi tersebut ialah pemeriksaan nilai neutrophil-lymphocyte ratio (NLR).
Horne dkk. mendapatkan bahwa dibandingkan dengan total leukosit dan
subtipenya, nilai NLR memberikan kemampuan prediksi yang lebih baik terhadap
prognosis yang buruk pada pasien PJK. Zazula dkk. mendapatkan bahwa nilai
NLR yang tinggi dapat menjadi prediktor untuk diagnosis SKA pada pasien

Universitas Sumatera Utara

dengan nyeri dada. Beberapa penelitian lain juga mendapatkan hubungan NLR
dengan peningkatan risiko maupun mortalitas SKA.13-17
Keunggulan nilai prediktif NLR sebagai penanda inflamasi dalam
memprediksi risiko kardiovaskular ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu,
faktor pertama, bahwa NLR tidak dipengaruhi oleh kondisi seperti aktivitas dan
penanganan invitro dari spesimen darah yang dapat mempengaruhi nilai absolut
dari subtipe leukosit. Faktor kedua dan yang paling penting ialah bahwa NLR
merupakan penanda inflamasi yang menggambarkan penggabungan dua proses
imunitas yang berbeda kedalam satu pemeriksaan. Dimana NLR menggambarkan
efek detrimental dari neutrofil yang berperan dalam inflamasi nonspesifik yang
akan mensekresikan mediator inflamasi seperti elastase, myeloperoksidase dan

radikal bebas oksigen yang berperan dalam proses atherosklerosis dan dapat
menyebabkan ruptur plak. Sebaliknya, limfosit menggambarkan jalur regulatori
dari sistem imun dimana nilai limfosit yang rendah merupakan indikator adanya
stress fisiologis yang berat dan efek modulasi otot polos dari limfosit T pada
proses aterosklerosis. Oleh karena itulah, NLR bersifat lebih prediktif
dibandingkan tiap subtipe leukosit itu sendiri.15,17
Hubungan nilai NLR dengan derajat keparahan stenosis arteri koroner
yang dievaluasi dari pemeriksaan angiografi belum banyak dipublikasi. Penelitian
terakhir oleh Kaya dkk. yang dilakukan pada pasien yang diduga atau didiagnosa
menderita PJK mendapatkan nilai cutoff NLR sebesar 2.5 dapat digunakan untuk
memprediksi adanya atherosklerosis berat dengan sensitivitas 62% dan spesifisitas
69%.18
Sedangkan penelitian hubungan nilai NLR ini pada penderita SKA belum
pernah dilakukan. Sehingga, berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas,
peneliti mencoba untuk membuktikan, apakah terdapat hubungan antara nilai
NLR dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien sindroma koroner akut
(SKA) yang dinilai melalui angiografi.

Universitas Sumatera Utara


1.2

Perumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara nilai Neutrophil-Lymphocyte Ratio dengan
derajat stenosis arteri koroner pada pasien sindroma koroner akut ?

1.3

Hipotesis
Ada hubungan antara nilai Neutrophil-Lymphocyte Ratio dengan derajat
stenosis arteri koroner pada pasien sindroma koroner akut

1.4

Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara nilai Neutrophil-Lymphocyte Ratio
dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien sindroma koroner akut

1.5


Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui adanya hubungan nilai Neutrophil-Lymphocyte Ratio
dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien sindroma koroner akut,
maka:
- Nilai

Neutrophil-Lymphocyte

Ratio

dapat

digunakan

untuk

memprediksi derajat stenosis arteri koroner yang terjadi pada pasien
sindroma koroner akut
-


Neutrophil-Lymphocyte Ratio dapat menjadi pemeriksaan alternatif non

invasif dan murah dalam skrining terhadap derajat stenosis arteri
koroner pada pasien sindroma koroner akut
-

Dapat menjadi pedoman bagi klinisi dalam mempertimbangkan
dilakukannya tindakan primary percutaneus intervention yang cepat
pada pasien sindroma koroner akut

-

Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

1.6 Kerangka Konsepsional

Gambar 1. Kerangka Konsepsional


Universitas Sumatera Utara