Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Asam Jeruk Terhadap Mutu Fisik, Kimia, dan Organoleptik Ikan Mas Naniura

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Mas
Ikan mas atau ikan karper (Cyprinus carpio Linn) adalah jenis ikan air
tawar yang bernilai ekonomis tinggi dan sudah banyak dibudidayakan serta
dikembangkan untuk kegiatan bisnis pondok-pondok pemancingan di lokasi
wisata. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150-600 m di atas
permukaan laut dan pada suhu antara 25-30 oC. Ikan mas menyukai tempat hidup
(habitat) di perairan tawar yang airnya tidak terlalu dalam dengan aliran air yang
tidak terlalu deras, seperti di pinggiran-pinggiran sungai atau danau. Oleh sebab
itu ikan mas banyak diusahakan oleh para petani sebagai usaha sampingannya
(Khairuman, 2013).
Penggolongan ikan mas berdasarkan taksonomi hewan (Khairuman, 2013)
adalah sebagai berikut:
Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata


Superkelas

: Pisces

Kelas

: Actinopterygii

Subkelas

: Actinopterygii

Ordo

: Cypriniformes

Subordo

: Cyprinoidea


Famili

: Cyprinidae

Genus

: Cyprinus

Spesies

: Cyprinus carpio L

4
Universitas Sumatera Utara

5

Ikan merupakan sumber protein yang sangat potensial, protein ikan sangat
diperlukan oleh manusia. Ikan mas secara umum dapat digolongkan menjadi 2

(dua) kelompok yaitu ikan mas hias dan ikan mas konsumsi. Ikan mas konsumsi
adalah ikan mas yang dikonsumsi atau dimakan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan gizi manusia. Kandungan gizi ikan mas dalam 100 g bahan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan mas dalam 100 g bahan
Jenis Zat Gizi
Energi (kkal)
Air (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Kalsium (Ca) (mg)
Zat Besi (Fe) (mg)
Fosfor (P) (mg)

Jumlah
85,00
80,00
16,00
2,00
20,00

2,00
150,00

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1981).

Ikan sebagai hasil perikanan lainnya bersifat cepat busuk (perishable
food). Penurunan mutu pada hasil perikanan terjadi dengan mudah disebabkan
tingginya kadar air dan protein serta rendahnya jaringan pengikat (tendon) dalam
daging ikan, sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk (Afrianto dan Liviawati,1989).

Pengaruh Pengolahan terhadap Mutu Ikan
Ikan merupakan bahan makanan yang mudah busuk, sehingga diperlukan
pengolahan agar tetap berada pada kondisi layak konsumsi bagi konsumen.
Berbagai prinsip dalam pengolah/pengawetkan ikan, diantaranya adalah
pendinginan (chilling) dengan es, es kering, air dingin, air laut dingin, atau alat
pendingin mekanis, pembekuan (freezing), pengalengan (canning), penggaraman
(salting), termasuk pemindangan, pengeringan (drying) secara mekanis dan secara

Universitas Sumatera Utara


6

alami, pengasaman (pickling atau marinading), pengasapan (smoking), pembuatan
hasil olahan khusus, misalnya bakso ikan, abon ikan, sashimi dan lain-lain, serta
pembuatan hasil sampingan, yaitu tepung ikan, minyak ikan, kecap ikan, petis,
kerupuk dan lain-lain (Mareta dan Awami, 2011).
Ada dua jenis masakan ikan yaitu pemasakan kering dan pemasakan
basah. Pemasakan kering (dry heat) adalah hidangan yang dimasak tanpa air
misalnya, penggorengan, pemanggangan, dan pembakaran. Pemasakan basah
(moist heat) yaitu dengan perebusan atau pengukusan. Umumnya pemasakan
basah dimasak dengan penambahan macam-macam bumbu sehingga mengubah
rasa asli pada ikan (Tarwotjo 1989).
Teknologi pengolahan ikan baik dengan penggunaan suhu tinggi maupun
dengan penggunaan suhu rendah, pada umumnya memberikan pengaruh pada
setiap hasil pengolahan ikan. Hal ini disebabkan karena berubahnya sifat-sifat,
bau, flavour, wujud atau rupa, dan tekstur dari daging ikan itu sendiri
(Moeljanto, 1992).
Penggunaan suhu tinggi (180-300 oC) seperti pada penggorengan dan
pemanggangan ikan, akan menyebabkan terjadinya kerusakan terhadap protein

ikan atau rasemisasi. Protein yang mengalami rasemisasi akan kehilangan fungsi
biologisnya atau mutu cerna proteinnya menurun dan juga mempunyai flavour
yang berbeda (Mudjajanto, 1991).
Proses pengolahan bahan pangan akan mengakibatkan kerusakan lemak
yang terkandung di dalam bahan pangan. Tingkat kerusakan bahan pangan sangat
bervariasi tergantung pada penggunaan suhu

serta lamanya waktu proses

Universitas Sumatera Utara

7

pengolahan. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan
semakin besar (Palupi, dkk., 2007).
Secara umum penampakan fisik dari ikan yang diolah dengan suhu tinggi
(penggorengan) memiliki bagian luar yang berwarna coklat keemasan karena
adanya penggorengan dengan minyak goreng. Penampakan fisik tersebut diduga
akibat adanya transmisi panas melalui minyak penggorengan yang mempengaruhi
penampakan dan tekstur dari bahan pangan (Layly, 2002).

Pengolahan

ikan

lainnya

adalah

penggaraman

dan

pengeringan.

Pengolahan ikan dengan cara penggaraman dilakukan pada dua tahapan yaitu
penggaraman dan pengeringan. Tujuan dilakukannya penggaraman adalah
memperpanjang daya tahan dan daya simpan dari ikan. Penambahan garam dapat
menghambat

ataupun membunuh mikroba patogen penyebab pembusukan pada


ikan (Reo, 2013).
Pada pengeringan terjadi pengurangan kadar air bahan. Semakin tinggi
suhu pengeringan, maka kadar air bahan yang dihasilkan semakin rendah.
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan,
maka semakin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan semakin cepat pula
penghilangan air dari bahan (Yanti dan Rochima, 2009). Penggunaan suhu
pengeringan yang tinggi juga akan menghambat pertumbuhan mikroba sehingga
akan menghambat berlangsungnya proses penurunan mutu yang akan berpengaruh
terhadap

daya

tahan

suatu

produk

pangan


yang

dihasilkan

(Rumahrupute, dkk., 2000).
Pengolahan ikan dengan cara pengeringan dan penambahan garam akan
menyebabkan penurunan kadar air, sedangkan kadar protein pada ikan akan

Universitas Sumatera Utara

8

meningkat. Hal ini disebabkan garam yang terserap pada daging akan
mendenaturasi protein sehingga terjadi koagulasi yang membebaskan air dari ikan
tersebut (Reo, 2013). Berkurangnya kadar air pada bahan pangan dapat
menyebabkan bahan pangan mengandung senyawa-senyawa seperti protein,
karbohidrat, lemak, dan mineral dengan konsentrasi yang lebih tinggi
(Winarno, 1997).
Proses perebusan merupakan salah satu cara pemasakan dimana bahan

yang akan dimasak menerima panas melalui media air. Sedangkan pengukusan
merupakan proses pemasakan dimana panas yang diterima bahan dari uap air.
Perebusan dapat menyebabkan kehilangan zat gizi lebih besar pada bahan pangan
dibandingkan dengan cara pengukusan. Hal ini dapat terjadi karena selama proses
perebusan ikan terendam dalam air sehingga beberapa zat gizi larut air seperti
protein ikut terlarut dalam air perebusan. Faktor yang mempengaruhi kehilangan
zat gizi selama proses perebusan adalah luas permukaan bahan, konsentrasi zat
terlarut dalam air perebusan dan adanya pengadukan air. Proses pengukusan dapat
memperkecil kehilangan zat gizi (Harris dan Karmas, 1989).

Pengaruh Pengasaman terhadap Mutu Ikan
Teknologi

pengasaman

pada

produk

hasil


perikanan

merupakan

penggunan asam dan bumbu-bumbu lainnya pada pengolahan ikan. Asam yang
digunakan dapat berupa asam organik seperti asam asetat (asam cuka) atau asam
yang berasal dari buah-buahan dari genus citrus. Asam organik utama dari buahbuahan genus citrus adalah asam sitrat dan asam malat dengan sedikit
mengandung asam tartarat, asam benzoat, asam askorbat, dan asam laktat
(Karadeniz, 2004). Asam berpengaruh terhadap penurunan pH, rasa, tekstur, serta

Universitas Sumatera Utara

9

kontaminasi mikroba pada bahan dasar. Penggunaan asam lebih dari 15% dapat
menghentikan pertumbuhan mikroba, namun pada umumnya asam yang
digunakan untuk pengasaman produk hasil perikanan adalah 6%. Pada umumnya
hasil pengasaman ikan sebaiknya disimpan pada suhu rendah. Bahan-bahan
lainnya yang digunakan pada pengasaman ikan adalah air, garam, gula, cabai,
bahan bercitarasa pedas, dan tanaman herbal (Martin, dkk., 2000).
Proses pengolahan dengan penggunaan asam dapat menyebabkan
terjadinya denaturasi protein sehingga terjadi penurunan kandungan dan daya
cerna protein. Menurut Ophart (2003) dalam Nurjanah (2008), semakin lama
protein bereaksi dengan asam, kemungkinan besar ikatan peptida terhidrolisis
sehingga struktur primer protein rusak.
Denaturasi protein oleh asam dapat menyebabkan peningkatan kandungan
air pada ikan. Penelitian Sumiati (2008) menunjukkan kadar air pada ikan mujair
segar dengan penambahan bumbu (82,25%) lebih tinggi dibandingkan dengan
ikan mujair segar tanpa penambahan bumbu (80,12%). Denaturasi protein oleh
larutan asam cuka dan garam menyebabkan air yang terdapat pada jaringan ikan
akan terperangkap didalamnya (Afrianto dan Liviawaty, 1989).
Penelitian Sumiati (2008) juga menunjukkan kadar lemak ikan mujair
segar tanpa penambahan bumbu (11,27%) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan
mujair segar dengan perlakuan penambahan bumbu (6,13%). Hal ini diduga
karena lemak terhidrolisis di dalam larutan asam cuka dan garam yang
mengakibatkan kadar lemak dalam ikan menurun. Winarno (1997) menyatakan
bahwa dengan adanya air, maka lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan

Universitas Sumatera Utara

10

asam lemak. Reaksi ini dapat dipercepat dengan penambahan asam dan basa.
Reaksi hidrolisis lemak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Reaksi hidrolisis lemak (Budimarwanti, 2008)
Naniura
Naniura atau dengke naniura merupakan salah satu jenis makanan
tradisional Batak Toba, Sumatera Utara. Naniura atau ikan yang diasamkan secara
tradisional ini dibuat dengan menggunakan ikan mas segar sebagai bahan baku
utamanya. Naniura diolah dengan perendaman ikan di dalam larutan sari jeruk
sunde atau unte jungga hingga ikan menjadi lunak dan siap dikonsumsi tanpa
pemasakan. Bumbu naniura terdiri dari andaliman, bawang merah, bawang putih,
kunyit, jahe, kencur, cabai rawit, kemiri, dan batang kecombrang, yang digunakan
untuk menambah rasa dan memperbaiki penampakan (Manik, dkk., 2015).
Bahan mentah yang umumnya digunakan untuk pengolahan naniura
adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Silalahi (1994) menggunakan ikan gabus
(Chana striatus) sebagai bahan mentah dalam pengolahan naniura yang secara
organoleptik dapat diterima oleh konsumen.
Naniura (masak dengan asam) adalah ikan yang tidak dimasak, namun
dengan adanya perendaman asam secara kimiawi akan mengubah ikan mentah
menjadi tidak terasa amis. Selain itu asam dapat membuat duri-duri halus pada

Universitas Sumatera Utara

11

ikan menjadi lembut. Pada roses pembuatan naniura tidak ada penambahan
bumbu-bumbu masakan modern yang mengandung bahan pengawet, melainkan
menggunakan bahan-bahan yang alami (Manalu, 2009). Hasil analisis proksimat
ikan mas segar dan dengke naniura (Manik, dkk., 2015) dapat dilihat seperti pada
Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis proksimat ikan mas segar dan dengke naniura
Komposisi
Ikan mas segar (%)
Dengke naniura (%)
Kadar air
74,05±2,12
69,00±0,71
Kadar lemak
6,07±0,13
6,39±0,04
Kadar protein
16,16±0,07
13,38±0,10
Kadar abu
0,80±0,01
1,83±0,03
Keterangan : Hasil yang disajikan adalah rata-rata dan standar deviasinya.
Sumber: Manik, dkk. (2015)

Proses pembuatan naniura adalah sebagai berikut: ikan mas dibersihkan
dari sisik dan bagian dalam ikan, kemudian ikan dibelah dua dari punggung
sampai ekor ikan. Kemudian ikan disayat-sayat untuk mempercepat penetrasi
asam, lalu ikan dicuci hingga bersih dan ditiriskan. Asam dibelah dua melintang,
diperas untuk mendapatkan sarinya dan selanjutnya ikan direndam dengan jeruk
jungga selama 3 jam. Bumbu yang terdiri dari kemiri, bawang merah dan bawang
putih yang telah dikupas, disangrai sampai baunya harum, masing-masing
dihaluskan, andaliman, kunyit dan cabai merah dihaluskan, kecombrang direbus
lalu dihaluskan. Semua bumbu dicampur sampai rata. Ikan yang telah direndam
akan ditambahkan bumbu-bumbu yang sudah disiapkan terlebih dahulu.
Kemudian bumbu-bumbu tersebut dicampurkan ke dalam ikan sampai merata dan
didiamkan selama 1 jam (Pasaribu, dkk., 2015).
Pembuatan ikan gabus naniura dilakukan dengan cara ikan terlebih dahulu
dibersihkan dan disiangi dari tulang, kemudian dicuci. Bumbu yang telah
dihaluskan dicampurkan dengan jeruk nipis, kemudian ikan gabus direndam

Universitas Sumatera Utara

12

didalam ekstrak jeruk nipis dan bumbu yang sudah dicampurkan selama 3 jam
kemudian dilakukan fermentasi (Irianto, 2013).
Sashimi merupakan salah satu produk olahan hasil perikanan yang proses
pembuatannya hampir sama dengan proses pembuatan naniura, yaitu berupa
makanan laut dengan kesegaran prima yang langsung dimakan dalam keadaan
mentah bersama penyedap. Menurut BPOM (2009), jenis dan cemaran mikroba
dalam ikan olahan fermentasi dengan atau tanpa penambahan garam yaitu dengan
APM Escherichia coli < 3/g, Salmonella sp negatif/ 25 g, Staphylococcus aureus
1x103 koloni/g, dan Vibrio cholerae negatif/ 25 g.

Jenis Asam Jeruk
Jeruk jungga (Citrus jambhiri L)
Jeruk jungga atau ada yang menyebutnya untte jungga memiliki bentuk
mirip jeruk purut dan memiliki rasa yang lebih asam apabila dibandingkan dengan
jeruk lain, contohnya jeruk nipis. Aroma dari jeruk jungga lebih harum apabila
dibandingkan jeruk nipis. Jeruk jungga memiliki tingkat keasaman yang tinggi,
sehingga suku Batak seringkali menggunakan jeruk jungga dalam pembuatan
naniura (Femina, 2013). Dari hasil penelitian Mohammed, dkk. (2013) diketahui
bahwa asam jeruk jungga mempunyai kandungan vitamin C lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan jeruk lainnya yaitu 70 mg/100 g bahan, dengan kadar air
23,75% dan kadar abu sebesar 2,04%.
Proses pematangan yang terjadi pada daging ikan dikarenakan asam yang
dihasilkan dari air perasan jeruk jungga. Selain untuk mematangkan ikan, asam
jeruk jungga juga berfungsi untuk menghilangkan aroma amis pada ikan serta

Universitas Sumatera Utara

13

membuat duri yang terdapat pada daging ikan menjadi lembut sehingga mudah
dimakan (Manalu, 2009). Gambar jeruk jungga dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Jeruk jungga
Penggolongan jeruk jungga berdasarkan taksonomi tumbuh-tumbuhan
(Sanabam, dkk., 2012) adalah sebagai berikut:
Filum

: Tracheophyta

Subfillum

: Euphyllophytina

Kelas

: Spermatopsida

Subkelas

: Rosidae

Ordo

: Sapindales

Family

: Aurantioideae

Genus

: Citrus

Spesies

: Citrus jambhiri

Jeruk purut (Citrus hystrix)
Tanaman jeruk purut dapat tumbuh di lahan dengan ketinggian 1.400 m di
atas permukaan laut. Tinggi pohonnya mencapai 12 m, buahnya berukuran kecil,
bulat berwarna hijau dan kulitnya memiliki banyak tonjolan. Daging buahnya
berwarna hijau kekuningan, sangat asam dan agak pahit (Rusli, 2010).

Universitas Sumatera Utara

14

Buah jeruk purut memiliki aroma wangi yang agak keras. Ukuran buahnya
lebih kecil dari kepalan tangan, bentuknya bulat tetapi banyak tonjolan dan
berbintil. Kulit buahnya tebal dan berwarna hijau tua polos atau berbintik-bintik.
Kulit buah jeruk purut tebal dan berwarna hijau, pada buah jeruk purut yang
matang memiliki warna sedikit kuning. Daging dari buah jeruk purut mempunyai
warna hijau kekuningan, rasanya sangat masam dan kadang pahit. Kulit buah
diparut dan dicampur air dapat digunakan sebagai bahan pencuci rambut, selain
itu juga digunakan dalam masakan dan pembuatan kue, serta dibuat manisan
(Yuliani dan Satuhu, 2012).
Penggolongan jeruk purut secara taksonomi tumbuh-tumbuhan (Sarwono,
1986) adalah sebagai berikut:
Suku

: Jeruk-jerukan (Rutaceae)

Sub Famili

: Amantioidae

Genus

: Citrus

Sub genus

: Papeda

Spesies

: Citrus hystrix
Jeruk purut terkenal sebagai salah satu bahan sumber aroma dan rasa

untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan baku kosmetika dan sebagai
penambah citarasa (flavour) untuk mengharumkan sambal, sate, ataupun aneka
masakan lainnya. Selain itu buah jeruk purut umumnya digunakan untuk bumbu
ikan, obat tradisional, dan kulit jeruk purut dapat digunakan sebagai bahan baku
pencuci rambut (Rukmana, 2003). Gambar jeruk purut dapat dilihat pada
Gambar 3.

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 3. Jeruk purut
Di dunia kuliner, jeruk purut sering digunakan, karena rasa sari buahnya
yang sangat asam bisa digunakan sebagai penetral bau amis daging ataupun ikan
agar konsumen yang memakannya tidak merasa mual. Penggunaan jeruk purut
pada produk hewani sangat mudah, yaitu dengan meneteskan sari buah jeruk pada
ikan atau daging yang akan digunakan. Selain dari buah, daunnya juga bisa
digunakan sebagai penambah aroma dalam masakan Indonesia (Manalu, 2009).
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle)
Jeruk nipis merupakan buah-buahan yang banyak digemari oleh
masyarakat di Indonesia. Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) adalah sejenis
tanaman perdu yang banyak tumbuh dan dikembangkan di Indonesia. Selain
daerah penyebaranya yang sangat luas, jeruk nipis berbuah terus-menerus
sepanjang tahun. Jeruk nipis sering diolah oleh masyarakat sebagai minuman
segar, seperti jus jeruk nipis, sirup jeruk nipis, limun powder jeruk nipis, air jeruk
nipis dingin dan air jeruk nipis hangat (Sarwono, 1994). Struktur dan komposisi
jeruk nipis hampir sama dengan lemon. Buah berbentuk bola, kulit buah berwarna
hijau kekuningan saat tua (matang) serta mempunyai ketebalan 0,2-0,5 cm,
sedangkan daging buahnya berwarna kekuningan. Jeruk nipis memiliki aroma
yang khas serta rasa yang masam yang jauh lebih kuat dibanding dengan jeruk

Universitas Sumatera Utara

16

yang lain (Tessler dan Nelson, 1949). Gambar jeruk nipis dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4. Jeruk nipis
Jeruk nipis sebagai salah satu jeruk yang banyak digunakan sebagai salah
satu bumbu masakan memiliki banyak kandungan gizi. Kandungan gizi jeruk
nipis dalam 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan gizi jeruk nipis dalam 100 g bahan
Jenis Zat Gizi
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
Bdd* (%)

Jumlah
37,00
0,80
0,10
12,30
40,00
22,00
1,00
0,00
0,04
27,00
86,00
76,00

Keterangan: Bdd* = Bagian yang dapat dimakan
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1981)

Buah jeruk nipis mengandung bahan kimia diantaranya asam sitrat
sebanyak 7-7,6%, damar, lemak, mineral, vitamin B1, minyak atsiri atau essensial
oil (Hariana, 2008). Minyak atsiri mempunyai fungsi sebagai antibakteri terhadap

Universitas Sumatera Utara

17

beberapa bakteri yaitu Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Salmonella typhi
dan golongan Candida albicans (Chanthaphon, dkk., 2008)
Bau amis pada ikan oleh kandungan protein ikan yang tinggi.
Berkurangnya

kesegaran

ikan

terutama

berasal

dari

senyawa

amonia,

trimetilamin, asam lemak yang mudah menguap dan hasil-hasil dari oksidasi asam
lemak. Air jeruk nipis cukup efektif mengurangi bau amis ikan dikarenakan
mengandung asam sitrat dan asam askorbat, kedua asam tersebut dapat bereaksi
dengan trimetilamin membentuk trimetil ammonium yang selanjutnya diubah
menjadi

bimetal

amonium,

sehingga

bau

amis

ikan

berkurang

(Poernomo, dkk., 2004).
Jeruk kasturi (Citrus microcarpa)
Jeruk kasturi adalah tanaman dalam famili rutaceae, yang telah
dikembangkan dan populer di seluruh Asia Tenggara, terutama Filipina.
Kandungan gizi yang terdapat di dalam 100 g jeruk kasturi atau juga dikenal
sebagai limau kasturi adalah 173 kalori, 87% air, 0,86% protein, 2,41% lemak,
3,27% karbohidrat, 0,54% abu, 0,14% kalsium, 0,07% fosfor, 0,003% zat besi,
2,81% asam sitrat (Desa, 2008). Gambar jeruk kasturi dapat dilihat pada
Gambar 5.

Gambar 5. Jeruk kasturi

Universitas Sumatera Utara

18

Jeruk kasturi dapat digunakan sebagai pengawet, penambah citarasa, dan
penghilangkan bau anyir daging. Jeruk kasturi dapat digunakan sebagai bahan
pengawet karena mengandung asam organik. Jeruk kasturi atau yang lebih dikenal
di Sulawesi Utara dengan sebutan lemon cui dapat digunakan sebagai bahan
pengawet pada ayam broiler. Penambahan bahan pengawet diharapkan dapat
memperpanjang lama penyimpanan dan mencegah kerusakan pada bahan pangan
(Andriani, dkk., 2007).

Bahan-bahan Tambahan pada Pembuatan Naniura
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC)
Di Indonesia, andaliman umumnya ditemukan di daerah Sumatera Utara
dan belum dimanfaatkan sebagai tanaman obat-obatan seperti halnya di negaranegara lain. Andaliman adalah salah satu tanaman yang khas ditemukan di daerah
Sumatera Utara, terutama di Parbuluan, Kabupaten Dairi, Siborong-borong, dan
Kabupaten Tapanuli Utara. Tanaman ini mempunyai biji yang sering
dimanfaatkan sebagai bumbu masak terutama untuk masakan tradisional suku
Batak (Sabri, 2007).
Tanaman andaliman termasuk dalam famili rutacea (keluarga jerukjerukan), ditemukan tumbuh liar di daerah Tapanuli yang tumbuh di tanah kering
di dataran rendah dan dataran tinggi. Andaliman adalah bumbu masakan khas
Batak Angkola dan Batak Mandailing. Andaliman sebagai rempah-rempah
merupakan komoditi pelengkap masakan khas suku Batak. Berbagai jenis
masakan khas Batak seperti saksang, naniura, natinombur, atau arsik,
menggunakan andaliman sebagai ciri khas. Buah andaliman berbentuk kecil-kecil,
berwarna hijau pada saat mentah, dan buah yang matang akan berwarna merah,

Universitas Sumatera Utara

19

sedangkan jika buah mengering akan menjadi warna hitam. Rasa yang dihasilkan
dari buah andaliman adalah pedas, namun berbeda dengan pedas yang dihasilkan
cabai (Manalu, 2009).
Tanaman andaliman juga mengandung senyawa terpenoid yang memiliki
aktivitas antioksidan yang sangat baik bagi kesehatan dan berperan dalam
mempertahankan mutu produk pangan dari berbagai kerusakan seperti ketengikan,
perubahan nilai gizi serta perubahan warna dan aroma makanan. Senyawa
terpenoid juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba, sehingga andaliman
dapat dijadikan bahan baku senyawa antioksidan dan antimikroba bagi industri
(Wijaya, 1999).
Cabai merah (Capsicum annuum)
Cabai merah adalah buah dan tumbuhan anggota genus capsicum yang
termasuk dalam suku terong-terongan (solanaceae). Sebagai bumbu, buah cabai
merah yang pedas sangat populer sebagai penguat rasa makanan, yang
menimbulkan rasa pedas dan memberikan kehangatan bila digunakan sebagai
rempah-rempah. Selain untuk menghasilkan rasa pedas, cabai merah juga
digunakan

untuk

menambah

intensitas

warna

dalam

suatu

masakan

(Manalu, 2009).
Cabai merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan dalam bentuk
segar maupun dalam bentuk kering. Kandungan kapsaisin pada cabai membuat
cabai terasa pedas. Kapsaisin merupakan senyawa yang berfungsi sebagai
antioksidan sehingga dapat menghambat perkembangan sel kanker dan sebagai
senyawa antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Secara

umum

kandungan

dari

cabai

adalah

karotenoid,

lemak

Universitas Sumatera Utara

20

(9–17%), protein (12–15%), vitamin A dan C, serta sejumlah kecil senyawa
volatil (Sartika, 1999). Cabai merah mengandung air 90 %, energi 32 kal, protein
0,5 g, lemak 0,3 g, karbohidrat 7,8 g, serat 1,6 g, abu 0,5 g, kalsium 29,0 mg,
fosfor 45 mg, zat besi 0,5 mg, vitamin A 470 IU, vitamin C 18 mg/100 g, tiamin
0,05 mg, riboflavin 0,06 mg, dan niasin 0,9 mg (Ashari, 2006). Cabai juga
mengandung senyawa antioksidan antara lain vitamin C, vitamin E, vitamin K,
fitosterol, betakaroten dan betacryptoxanchin (Alex, 2011).
Bawang merah (Allium cepa)
Bawang merah adalah tamanan dari famili alliaceae. Bawang merah
merupakan salah satu tanaman sayuran yang menjadi bumbu pokok pada hampir
semua jenis masakan sebagai penyedap masakan, baik daunnya maupun umbinya
(Manalu, 2009).
Bau dan citarasa yang khas dari bawang merah disebabkan adanya
senyawa-senyawa volatil yang terkandung didalamnya. Bawang merah memiliki
aktivitas antimikroba. Bawang merah yang digunakan sebagai bumbu dalam
bentuk

pasta

dipilih

yang

segar,

tidak

busuk,

dan

tidak

layu

(Hambali, dkk., 2005b).
Bawang merah dapat disajikan mentah atau dimasak dan digunakan
sebagai pemberi citarasa pada berbagai jenis makanan. Pemasakan dengan panas
yang terlalu tinggi dan terlalu lama dapat menghilangkan citarasa dari bawang,
maka dalam pemasakan bawang merah sebaiknya dilakukan pemanasan sedang.
Bawang merah dapat dimasak dengan pengukusan, perebusan, penggorengan,
ataupun penyangraian. Bawang merah memiliki kandungan air yang tinggi yaitu
90 % (Riza, dkk., 2002).

Universitas Sumatera Utara

21

Bawang merah mengandung senyawa aktif flavonoid bersifat antiinflamasi
atau antiradang. Bawang merah berfungsi sebagai antioksidan alami yang dapat
menekan efek karsinogenik dari senyawa radikal bebas. Kandungan senyawa
dalam bawang merah juga turut berperan dalam menetralkan zat-zat toksin
berbahaya dan membantu membuangnya dari dalam tubuh (Kurniawati, 2010).
Selain itu, bawang merah juga mempunyai efek antiseptik dari senyawa alliin
atau allisin. Senyawa allisin oleh enzim allisin liase diubah menjadi asam piruvat,
ammonia dan allisin antimikroba yang bersifat bakterisida (Rukmana, 1994a).
Adapun komposisi kimia bawang merah per 100 g terdapat air sekitar 80-85%,
protein 1,5 %, lemak 0,3 %, karbohidrat 9,2 %, vitamin B1 0,03 mg, vitamin C
2,0 mg, kalsium (Ca) 36 mg, besi (Fe) 0,8 mg, fosfor (P) 40,0 mg, dan energi
39,0 kalori (Rahayu dan Nur, 1999).
Bawang putih (Allium sativum)
Bawang putih yang berasal dari genus allium termasuk bumbu dapur yang
sangat populer di Asia, karena memberikan aroma harum yang khas pada
masakan, sekaligus dapat menurunkan kadar kolesterol yang terkandung dalam
bahan makanan yang mengandung lemak. Bawang putih sangat sering digunakan
pada jenis masakan Indonesia, Jepang, Cina, dan Korea (Manalu, 2009).
Bawang putih yang digunakan sebagai bumbu dalam pengolahan daging
atau ikan dapat mengurangi bau dari daging dan ikan. Pemakaian atau
pencampuran bawang putih sebagai bumbu dapat dilakukan dalam bentuk irisan
tipis ataupun dalam bentuk halus (Purwaningsih, 2007). Komposisi kimia bawang
putih per 100 g terdiri dari 6,5 g air, protein 16,8 g, lemak 0,4 g, abu 3,3 g dan
karbohidrat 77,6 g (Farrell, 1990).

Universitas Sumatera Utara

22

Kunyit (Curcuma domestica val)
Kunyit merupakan tanaman yang dibudidayakan sebagai tanaman
pelengkap bumbu dan sebagai obat-obatan tradisional. Kunyit merupakan bumbu
dapur yang mempunyai rasa agak pahit, agak pedas, baunya khas aromatik,
rimpang berwarna kuning kejingga-jinggaan (Pangkalan Ide, 2011). Kandungan
nutrisi rimpang kunyit per 100 g adalah air 11,4 g, kalori 1480 Kal, karbohidrat
64,9 g, protein 7,8 g, lemak 9,9 g, serat 6,7 g, abu 6,0 g, kalsium 0,182 g, fosfor
0,268 g, zat besi 4 g, vitamin B 0,005 g, vitamin C 0,026 g, minyak atsiri 3% dan
kurkumin 3% (Said, 2003).
Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan
(perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Kulit luar rimpang berwarna
jingga kecokelatan dengan daging buah berwarna merah jingga kekuningan.
Manfaat utama tanaman kunyit yaitu sebagai obat tradisional, bahan baku industri
jamu, dan kosmetik, serta sebagai bumbu masak (Hambali, dkk., 2005b).
Kunyit banyak digunakan sebagai zat pewarna alami pada makanan,
antikoagulan, bakterisida, fungisida, stimulan, dan dapat menurunkan tekanan
darah, serta dapat dijadikan obat malaria, obat cacing, dan obat sakit perut.
Kurkumin pada kunyit memiliki spektrum yang luas terhadap aktivitas antibakteri
(Syukur dan Hernani, 2001). Kurkumin tergolong senyawa polifenol yang
mempunyai dua bentuk tautomer yaitu bentuk keto pada fase padat dan bentuk
enol pada fase cair (larutan).
Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
Jahe merupakan salah satu tanaman herbal yang banyak ditemukan di Asia
yang mempunyai aroma yang tajam dan pedas. Jahe segar umumnya ditambahkan

Universitas Sumatera Utara

23

ke dalam makanan dengan cara diparut, dicincang, ataupun diiris halus. Jahe segar
memiliki kandungan air yang tinggi yaitu 82% (Riza, dkk., 2002).
Jahe dapat digolongkan sesuai dengan warna dan ukuran rimpang.
Berdasarkan warna rimpang, jahe terdiri dari jahe putih, jahe kuning, dan jahe
merah. Jahe mengandung sekitar 40-60% pati, 9% protein, beberapa jenis mineral
dan vitamin, khususnya niasin dan vitamin A (Hambali, dkk., 2005a).
Lengkuas (Alpinia galanga L) Willd
Lengkuas merupakan salah satu bumbu dapur yang digunakan untuk
pengobatan tradisional serta mempunyai aktivitas antimikroba untuk menghambat
pertumbuhan bakteri. Rimpang lengkuas mengandung senyawa fenolik sebagai
antimikroba. Peranan lengkuas sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari
kemampuan lengkuas yang memiliki aktivitas antimikroba, kandungan zat kimia
yang terdapat dalam lengkuas adalah fenol, flavonoida dan minyak atsiri
(Gunawan, dkk., 1989). Rimpang lengkuas segar mengandung air sebesar 75 %,
dalam bentuk kering mengandung 22,44 % karbohidrat, 3,07 % protein dan
sekitar 0,07 % senyawa kamferid (Darwis, dkk., 1991).
Lengkuas dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu lengkuas putih
dan lengkuas merah. Lengkuas putih umumnya digunakan sebagai penyedap
masakan, sedangkan lengkuas merah umumnya digunakan sebagai obat-obatan
tradisional. Lengkuas yang digunakan sebagai bumbu dalam bentuk pasta adalah
lengkuas putih (Hambali, dkk., 2005a).
Kemiri (Aleurites moluccana L) Willd
Kemiri merupakan salah satu pohon serbaguna yang sudah dibudidayakan
secara luas di dunia. Pohon kemiri dapat digunakan untuk berbagai tujuan yaitu

Universitas Sumatera Utara

24

bijinya dapat digunakan sebagai bahan media penerangan, masakan dan obatobatan, sedangkan batangnya dapat digunakan untuk kayu. Indonesia dan
Malaysia umumnya menggunakan biji kemiri kering sebagai bumbu untuk
makanan (Krisnawati, dkk., 2011). Kemiri mengandung senyawa saponin dan
alkaloid. Saponin merupakan salah satu metabolit sekunder yang mempunyai
aktivitas biologi, diantaranya bersifat sebagai antimikroba (Prihatman, 2001).
Di Indonesia, kemiri dipanggang kemudian dihaluskan dan dicampurkan
dengan cabai dan garam sebagai bumbu. Di dalam 100 g kemiri mengandung
62,6 kkal, 19 g protein, 63 g lemak, 8 g karbohidrat, 3 g abu, 80 mg kalium,
200 mg fosfor, 2 mg zat besi, dan 0,06 mg tiamin. Kemiri mengandung 16%
minyak, sebagian besar merupakan linoleat dan oleat (Janick dan Robert, 2008).
Kecombrang (Etlingera elatior)
Kecombrang adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan tumbuhan
tahunan berbentuk terna yang bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan sebagai
bahan sayuran. Kecombrang umumnya digunakan sebagai bahan campuran atau
bumbu penyedap berbagai macam masakan di Nusantara. Di Tanah Karo, buah
kecombrang disebut asam cekala. Kuncup bunga dan polong menjadi bagian
pokok dari sayur asam Karo, juga dapat digunakan sebagai penghilang bau amis
sewaktu memasak ikan (Wikipedia, 2013).
Kecombrang mengandung senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik,
flavonoid, triterpenoid, steroid, vitamin, mineral, dan glikosida yang berperan
sebagai antimikroba dan antioksidan (Nuraini, 2014). Kandungan gizi
kecombrang dalam 100 g bahan adalah energi 34 kkal, protein 0,9 g, lemak 1 g,

Universitas Sumatera Utara

25

karbohidrat 6,7 g, serat 2,6 g, kalsium 60 mg, fosfor 16 mg, zat besi 1 mg, vit A
73 µg, dan air 90 g (Persagi, 2009).
Garam dapur
Garam dapur (NaCl) umumnya ditambahkan ke dalam bahan makanan
untuk menghasilkan rasa asin dan sekaligus menjadi bahan pengawet. Garam
dapur dapat berperan untuk menaikkan tekanan osmotik, sehingga dapat terjadi
plasmolisis sel. Disamping itu, garam dapur juga dapat menyeimbangkan kadar
air, menimbulkan ion Cl- yang bersifat toksin terhadap mikroorganisme dan
mengurangi kelarutan oksigen di dalam air (Hastari dan Rusnawati, 2011).
Garam merupakan salah satu bumbu yang paling penting dalam
pembuatan berbagai jenis produk pangan baik fermentasi maupun non fermentasi.
Garam juga berperan penting dalam pelarutan protein dan daya ikat air.
Konsentrasi garam yang ditambahkan biasanya 2,4-3% dari jumlah total bahan.
(Hutkins, 2006).
Keamanan Produk Ikan Mentah
Pada ikan segar bakteri patogen indigenous biasanya terdapat dalam
jumlah yang rendah. Sehingga potensi bahaya keamanan pangan dari bakteri
patogen ini biasanya tidak signifikan untuk ikan dan hasil budidaya yang dimasak
terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Untuk ikan yang akan dikonsumsi mentah,
pembekuan pada -20 °C selama tujuh hari atau -35 °C selama 20 jam, akan
membunuh parasit dan pada umumnya bakteri tidak berkembang dengan baik,
pada pH di bawah 4,6. Proses seperti perendaman dalam air garam atau
pengawetan dapat mengurangi bahaya parasit, jika produk disimpan dalam air

Universitas Sumatera Utara

26

garam dalam waktu yang cukup, namun perlakuan ini tidak dapat membasmi
seluruh parasit (APEC FSCF, 2013).
Asam berpengaruh terhadap penurunan pH, rasa, tekstur, serta
kontaminasi mikroba pada bahan dasar. Penggunaan asam lebih dari 15% dapat
menghentikan pertumbuhan mikroba, namun pada umumnya asam yang
digunakan untuk pengasaman produk hasil perikanan adalah 6%. Pada umumnya
hasil pengasaman ikan sebaiknya disimpan pada suhu rendah. Bahan-bahan
lainnya yang digunakan pada pengasaman ikan adalah air, garam, gula, cabai
(bahan bercitarasa pedas), dan tanaman herbal (Martin, dkk., 2000).

Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian Pasaribu, dkk. (2015) menunjukkan semakin banyak jeruk
jungga yang ditambahkan

ke dalam ikan mas maka terjadi penurunan nilai

kesukaan panelis yang meliputi rasa, aroma, penampakan, dan tekstur. Purba
(2011) menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan asam yang diberikan dan
semakin lama dilakukan waktu pendiaman maka jumlah koloni bakteri yang
tumbuh juga semakin berkurang.
Penelitian Sumiati (2008) menunjukkan ikan mujair yang direndam
dengan garam dan asam cuka mengalami peningkatan kadar air dan penurunan
kadar lemak, dan kadar protein. Kadar protein dan lemak mengalami penurunan
akibat terjadinya hidrolisis oleh larutan asam cuka dan garam.

Universitas Sumatera Utara