MODAL SOSIAL DAN REFLEKSIVITAS DALAM MASYRAKAT RISIKO ( Suatu Kajian terhadap Anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) )

SKRIPSI Disusun guna Melengkapi Tugas Akhir

dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : MAYA ATRI KOMALASARI D0308043 JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

MOTTO

“Hidup bukanlah sekedar berusaha mempertahankan kehidupan, tetapi berusaha menghidupi kehidupan”

( Anonimus )

“Tiga jalan untuk mencapai kesuksesan : percaya pada diri sendiri , selalu jujur, bekerja keras dan tekun “

(A. Aziz Salim Basyariahil )

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada :

1. Bapakku Purnomo dan Ibuku Sri Suyati tercinta

2. Kakakku Beny Ery Cahyono tercinta

3. Alm. Nenek tercinta

4. Teman-teman Sosiologi angkatan 2008

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Tiada lagi kata yang pantas terucap selain rasa syukur yang selalu saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, anugerah serta karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Modal Sosial dan Refleksivitas dalam Masyarakat Risiko (Suatu Kajian terhadap Anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC))”. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini :

1. Bapak Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Dr. Bagus Haryono, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Dra. Rahesli Humsona, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang bersedia memberikan bimbingan dan pengarahan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan segenap karyawan/wati Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, atas segala ilmu dan pengalaman belajar yang baik.

5. Ketua Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) Bapak Anang Mardiyanto yang telah memberikan izin penelitian pada penulis dan membantu memberikan data sekunder terkait WKC .

Beny, Mas dondon, Mas Susilo, Mas Anthon, Mas Prasetyo, Mas Agus, Mas Deva dan Mas Anang, yang telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.

7. Bapak dan Ibu yang telah memberikan dukungan materiil dan spiritual

8. Kakakku yang telah memberi dukungan, dan bantuan mengantarkan ke berbagai tempat dalam rangka mencari data penelitian ini.

9. Mas Arif, Mas Tarjo dan Alif atas kesediaan menjadi informan dalam penelitian ini.

10. Fitta, Dian Asri, Mas Khelmy yang telah membantu dalam pencarian berbagai referensi yang sangat berguna bagi skripsi ini.

11. Teman-temanku tercinta Ifah, Susi, Prima, Hasih, Renvi dan Lia yang telah memberikan dukungan dan semangat bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Teman-teman Sosiologi, terutama angkatan 2008, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas berbagai masukan dan kebersamaanya selama ini.

13. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun atas segala bentuk bantuan baik moril atau materiil telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca untuk hasil yang lebih baik. Besar harapan dengan adanya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Sosiologi.

Surakarta, Januari 2012

Penulis

3. Tindakan........................................................................................

E. Keterkaitan Modal Sosial dan Refleksivitas Anggota Klub Motor WKC.....................................................................................................

BAB VI PENUTUP...............................................................................................

A. Kesimpulan.......................................................................................

B. Implikasi...........................................................................................

C. Saran..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................

183

LAMPIRAN

Halaman Bagan 1 Kerangka Pemikiran ..............................................................................37 Bagan 2 Skema Model Analisis Interaktif..............................................................46 Bagan 3 Struktur Organisasi Wonogiri King Club (WKC).....................................64

Halaman Gambar 1 Touring WKC ke Ponorogo dalam rangka HUT PRKC .......................81 Gambar 2 Bakti Sosial WKC ke Pondok Pesantren Mamba’ul Hikmah Selogiri......83 Gambar 3 Bakti Sosial Donor Darah WKC di PMI Cabang Wonogiri.....................84 Gambar 4 Acara HUT WKC Kedua di Obyek Wisata Waduk Gajah

Mungkur Wonogiri ............................................................................85 Gambar 5 Acara Senam Pagi Massal dalam rangka HUT Kedua WKC......................................................................................86 Gambar 6 Pertemuan Rutin Tiap Minggu Anggota WKC di depan

Dealer AHAS Wonogiri .......................................................................87

Gambar 7 Acara Syawalan Halal bi halal Kingers seJawa Tengah

Di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri...................................................115

Gambar 8 Stiker Bima Fitness Center Melekat pada Salah Satu Motor Anggota WKC .................................................................................125 Gambar 9 Pengamanan Acara Syawalan Halal bi halal Kingers

se Jawa Tengah oleh Polres Wonogiri ...............................................129

Gambar 10 Perlengkapan Safety Riding Anggota WKC saat Touring ke Pacitan............................................................................................149

Maya Atri Komalasari, D0308043, MODAL SOSIAL DAN REFLEKSIVITAS DALAM MASYARAKAT RISIKO ( Suatu Kajian terhadap Anggota Klub Motor Wonogiri King Club

(WKC) ), skripsi (S-1) Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012.

Penelitian ini bertujuan menggambarkan modal sosial dan refleksivitas anggota Klub Motor WKC, motivasi menjadi anggota dan keterkaitan antara modal sosial dan reflektivitas tersebut. Beberapa teori digunakan dalam penelitian ini, teori modal sosial dari Robert Putnam, teori masyarakat risiko dari Ulrich Beck dan teori motivasi ERG dari Clayton Adelfer serta teori tindakan sosial Tallcott Parsons.

Penelitian ini merupakan jenis deskriptif kualitatif, dengan menggunakan studi kasus sebagai strateginya. Data primer diperoleh dari informan yang merupakan anggota Klub Motor WKC dan warga masyarakat Wonogiri, sedangkan data sekunder merupakan data Wonogiri dalam Angka, dan data-data yang diperoleh dari blog dan sekretariat Klub Motor WKC dan pihak lain seperti Satuan Lalu Lintas Unit Lalu Lintas Kecelakaan Polres Wonogiri. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan maximum variety sampling. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Validitas data menggunakan triangulasi sumber dan metodologis. Analisis data menggunakan model interaktif.

Motivasi seseorang menjadi anggota WKC cukup beragam. Motivasi tersebut, diantaranya, menjalin dan memperluas hubungan pertemanan maupun persaudaraan, menyalurkan hobi otomotif, menambah atau memperluas wawasan dan pengalaman mengenai kehidupan berorganisasi dan seluk beluk motor RX King, dan memperbaiki citra atau image motor RX King dan pengendaranya.

Modal sosial anggota Klub Motor WKC terlihat dengan adanya kepercayaan, norma dan jaringan. Kepercayaan antar anggota dapat ditemukan baik dalam kegiatan atau acara dalam klub maupun di luar klub. Diberlakukannya norma-norma, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dan mengandung nilai-nilai mengenai kebersamaan atau solidaritas, resiprositas, harmoni dan kerukunan, saling menghormati dan agama. Adanya berbagai jenis jaringan yang terjalin , jaringan antar individu (anggota WKC), jaringan antara individu (luar WKC) dengan institusi (WKC), dan jaringan antar institusi (WKC dengan institusi lain).

Refleksivitas anggota Klub Motor WKC diwujudkan dalam bentuk pemikiran, sikap dan tindakan. Pemikiran ditunjukkan dari kemampuan mengidentifikasi risiko yang mengancam, yaitu risiko fisik dan risiko sosial. Sikap ditunjukkan dengan adanya sikap untuk dapat mengatasi risiko fisik dan risiko sosial. Tindakan mencakup berbagai tindakan yang dilakukan untuk mengatasi risiko fisik dan sosial tersebut.

Terdapat keterkaitan antara modal sosial dan refleksivitas anggota Klub Motor WKC. Keterkaitan tersebut ditunjukkan dengan adanya kontribusi modal sosial dalam menciptakan kesadaran dan upaya penanganan terhadap risiko fisik dan sosial.

Maya Atri Komalasari, D0308043, SOCIAL CAPITAL AND REFLEXIVITY IN RISKY

SOCIETY (A Study on the Member of Wonogiri King Club (WKC) Motorcycle Club ), thesis (S-1) Sociology Department, Social and Political Sciences Faculty, Surakarta Sebelas Maret University, 2012.

This research aims to describe the social capital and reflexivity of WKC motorcycle club’s members, motivation to be the member and interrelationship between social capital and reflexivity. Several theories were used in this study including Robert Putnam’s social capital theory, Ulrich Beck’s risky society theory and Clayton Aldelfer’s ERG motivation theory, and also action theory from Talcott Parsons.

This study belongs to a descriptive qualitative research using case study as its strategy. The primary data was obtained from the informant constituting the member of WKC motorcycle club and Wonogiri people, while the secondary data was Wonogiri data in statistical form, and the data obtained from blog and secretariat of WKC motorcycle club and from other parties such as Accident Unit of Traffic Division of Polres Wonogiri (Wonogiri Resort Police). The sampling technique used was purposive sampling with maximum variety sampling. Techniques of collecting data used were observation, interview, and documentation. Data validation was done using source and methodological triangulation. Technique of analyzing data used was an interactive model.

The motivations of individuals to be the member of WKC were varied enough. These included to establish and to expand the friendship and fraternity relationship, to channel the automotive hobby, to increase or to expand insight and experience about organizational life and RX King motor details, and to improve the image of RX King motorcycle and its riders.

The social capital of WKC motorcycle club’s members could be seen from the presence of trust (belief), norm, and network. The inter-member trust could be found in activity and program both inside and outside club. The norms were enacted, both written and spoken and containing the commonality or solidarity, reciprocity, harmony and concordance, respect and religious values. There are a variety of network established: inter-individual network (member of WKC), relationship between individual (out of WKC) and the institution (WKC), and inter-institutional network (WKC and other institutions).

Reflexivity of WKC motorcycle club members is manifested in the form of thought, attitude, and action. The thought was indicated by the capability of identify the threatening risks, both physical and social. The attitude was indicated by the attitude to cope with physical and social risks. The action included a variety of actions taken to cope with physical and social risks.

There was an interrelationship between social capital and reflexivity of the WKC motorcycle club’s members. It was indicated by the presence of contribution of social capital to create the awareness of and attempt of coping with physical and social risks.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan memang akan selalu menghiasi kehidupan setiap masyarakat, yang menjadikannya berbeda hanyalah pada proses perubahan tersebut, intensitas dan pengaruhnya. Apakah suatu perubahan tersebut berlangsung secara cepat atau memerlukan waktu sehingga tergolong lambat dan bertahap, dan ataukah perubahan tersebut sifatnya berpengaruh besar pada segi-segi kehidupan masyarakat ataupun hanya memiliki pengaruh yang kecil saja pada kehidupan masyarakat.

Salah satu perubahan yang terjadi dan perlu mendapat perhatian karena cukup berpengaruh yaitu perubahan yang terjadi pada masyarakat kontenporer, yang juga masih menjadi suatu perdebatan. Serangkaian perdebatan dalam sosiologi masih terjadi antara pakar yang masih melihat masyarakat kontenporer sebagai kehidupan modern dan yang menyatakan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi perubahan dan telah memasuki kehidupan baru, kehidupan masyarakat postmodern (Ritzer dan Goodman, 2005 : 558). Oleh karena itu muncul beberapa istilah seperti modernitas akhir dari Anthony Giddens (Jones, 2009 : 239) atau modernitas baru dari Ulrich Beck, serta istilah lain yaitu postmodern. Postmodern sendiri meliputi suatu epos historis baru Salah satu perubahan yang terjadi dan perlu mendapat perhatian karena cukup berpengaruh yaitu perubahan yang terjadi pada masyarakat kontenporer, yang juga masih menjadi suatu perdebatan. Serangkaian perdebatan dalam sosiologi masih terjadi antara pakar yang masih melihat masyarakat kontenporer sebagai kehidupan modern dan yang menyatakan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi perubahan dan telah memasuki kehidupan baru, kehidupan masyarakat postmodern (Ritzer dan Goodman, 2005 : 558). Oleh karena itu muncul beberapa istilah seperti modernitas akhir dari Anthony Giddens (Jones, 2009 : 239) atau modernitas baru dari Ulrich Beck, serta istilah lain yaitu postmodern. Postmodern sendiri meliputi suatu epos historis baru

Terlepas dari polemik perdebatan tersebut, diakui bahwa telah terjadi suatu perubahan dalam kehidupan masyarakat kontenporer di masa kini , baik yang menganggap perubahan dari modernitas lama ke modernitas baru atau lanjut, maupun perubahan dari modern menuju postmodern. Sementara itu, karakteristik penting yang sekaligus menandai perubahan tersebut dengan mulai menyinggung isu-isu yang sebelumnya belum tersentuh yaitu risiko-risiko dan ketidakmenentuan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perubahan yang dialami oleh masyarakat kontenporer ini ditandai dengan semakin akrabnya kehidupan mereka dengan risiko. Risiko yang secara sederhana seringkali diartikan sebagai dampak atau efek yang menimpa manusia akibat terjadinya aktivitas tertentu yang membawa marabahaya (Hanif, 2008 : 76). Sementara itu, Giddens (dalam Jones, 2009: 243) bahkan telah membedakan dua jenis risiko yaitu risiko eksternal dan risiko yang dibuat. Risiko eksternal adalah risiko yang dialami dan datang dari luar karena mantap atau kuatnya tradisi atau alam, sedangkan risiko yang dibuat adalah risiko yang diciptakan oleh dampak besar berkembangnya pengetahuan. Contoh yang sekaligus membedakan kedua jenis risiko tersebut misalnya risiko banjir dan kelaparan merupakan risiko eksternal sedangkan contoh risiko yang dibuat seperti pemanasan global (global warming). Pemanasan global menjadi jenis Perubahan yang dialami oleh masyarakat kontenporer ini ditandai dengan semakin akrabnya kehidupan mereka dengan risiko. Risiko yang secara sederhana seringkali diartikan sebagai dampak atau efek yang menimpa manusia akibat terjadinya aktivitas tertentu yang membawa marabahaya (Hanif, 2008 : 76). Sementara itu, Giddens (dalam Jones, 2009: 243) bahkan telah membedakan dua jenis risiko yaitu risiko eksternal dan risiko yang dibuat. Risiko eksternal adalah risiko yang dialami dan datang dari luar karena mantap atau kuatnya tradisi atau alam, sedangkan risiko yang dibuat adalah risiko yang diciptakan oleh dampak besar berkembangnya pengetahuan. Contoh yang sekaligus membedakan kedua jenis risiko tersebut misalnya risiko banjir dan kelaparan merupakan risiko eksternal sedangkan contoh risiko yang dibuat seperti pemanasan global (global warming). Pemanasan global menjadi jenis

Terkait mengenai risiko, Sosiolog kenamaan Jerman, Ulrich Beck bahkan telah menggunakan istilah masyarakat berisiko (risk society) dalam salah satu karyanya yang berjudul Risk Society : Toward a New Modernity. Menurut Beck, kehidupan masyarakat di era ini, ia asosiasikan sebagai masyarakat risiko yang mendorong lahirnya perubahan dari isu sentral masyarakat sebelumnya atau masyarakat industri yang berfokus pada kesejahteraan dan bagaimana mendistribusikannya dengan adil, dan beralih pada risiko yang dihadapi dan bagaimana risiko tersebut dapat dipantau, diatur,dikontrol atau diminimalkan (Ritzer dan Goodman, 2005:562). Meskipun begitu, tidak dapat dilupakan bahwa kehidupan masyarakat yang akrab dengan risiko-risiko juga akan menghasilkan, refleksivitas yang memungkinkan untuk mempertanyakan pada diri sendiri dan risiko yang dihasilkan. Hal tersebut mungkin terjadi karena refleksivitas sendiri merupakan pemantauan rutin pada diri seseorang (anda sendiri) dan perilakunya agar dapat memutuskan siapa anda dan bagaimana anda hidup (Jones,2009 :216).

berbagai risiko baik dalam kehidupannya. Tidak berlebihan jika risiko menjelma menjadi bagian keseharian manusia yang tidak dapat dihindari bahkan dalam berbagai proses-proses sosial ia menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Setidaknya menurut Beck terdapat tiga ekologi risiko (risk ecologies) yaitu : risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), risiko mental (psyche risk) , dan risiko sosial (social risk) (Piliang, 2009, http://rumahwacana.wordpress.com/category/humanity). Risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk) , yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya. Risiko fisik yang tergolong mudah terlihat, dengan rusaknya ekologi atau lingkungan seperti rusak dan menyusutnya kawasan hutan, tercemarnya sungai atau laut, dan sebagainya. Risiko mental (psyche risk), yaitu aneka risiko kerusakan mental akibat perlakuan buruk pada tatanan psikis. Sementara itu, risiko sosial (social risk) yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial yang akan dihadapi, seperti kerusakan atau lunturnya ikatan-ikatan sosial yang dulu erat dan di pegang teguh oleh masyarakat. Bahasan mengenai risiko ini menjadi penting, karena harapan umat manusia terhadap kemajuan dan perkembangan yang telah dicapai tidak selalu berujung pada akibat yang baik, dan justru menghadirkan konsekuensi seperti timbulnya berbagai risiko.

Risiko sosial menjadi salah satu risiko yang nyata dihadapi masyarakat kini. Mulai lunturnya nilai-nilai kebersamaan yang dahulu

dilakukan masyarakat makin hilang, seperti kebiasaan gotong- royong dalam membangun rumah seperti tradisi sambatan yang begitu umum di desa-desa di Jawa kini mulai luntur, dalam menjaga keamanan lingkungan. Kebiasaan gotong royong (sambatan) saat ini masih ada meskipun dalam intensitas yang sangat kecil karena mulai ditinggalkan oleh sebagain besar warga desa di Jawa. Sementara itu, kebiasaan masyarakat dalam menjaga lingkungan melalui kegiatan ronda bersama warga, mulai luntur khususnya di perkotaan yaitu perumahan orang-orang elite dan apartemen yang beralih menggunakan jasa satpam (satuan pengamanan) dan dilengkapi dengan teknologi canggih seperti kamera pengintai atau CCTV. Sayangnya, realitas di masyarakat menunjukan bahwa hal tersebut justru akan makin menyuburkan individualisme yang sebelumnya telah berkembang dengan cukup pesat di era masyarakat industri.

Individualisme menjelma menjadi suatu bentuk risiko sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Meskipun sering dianggap sebagai hal yang wajar atau normal namun dibalik itu semua individualisme juga memiliki potensi melahirkan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Individualisme dapat menjadi semacam pupuk yang dapat menyuburkan penyakit sosial seperti ketidakpedulian. Hal tersebut bukanlah sekedar isapan jempol, terutama umum terjadi di kehidupan perkotaan. Disana kepedulian seseorang terhadap orang lain telah makin berkurang dan bahkan perlahan mulai hilang. Kehidupan perkotaan yang minim rasa kepedulian terhadap orang lain terlihat jelas dalam Individualisme menjelma menjadi suatu bentuk risiko sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Meskipun sering dianggap sebagai hal yang wajar atau normal namun dibalik itu semua individualisme juga memiliki potensi melahirkan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Individualisme dapat menjadi semacam pupuk yang dapat menyuburkan penyakit sosial seperti ketidakpedulian. Hal tersebut bukanlah sekedar isapan jempol, terutama umum terjadi di kehidupan perkotaan. Disana kepedulian seseorang terhadap orang lain telah makin berkurang dan bahkan perlahan mulai hilang. Kehidupan perkotaan yang minim rasa kepedulian terhadap orang lain terlihat jelas dalam

Berbagai kasus pembunuhan yang marak saat ini dilakukan di lingkungan apartemen. Salah satu contoh kasus pembunuhan yang menimpa seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Jakarta, Novita Purnamasari di Apartemen Mediterania Jakarta Barat di tahun 2009 (Wsn, 2009, http://megapolitan.kompas.com/read/2009/10/08/08580642%20/artis.bunuh.ma hasiswi). Keprihatinan makin dirasakan mengingat jenazah Novita baru ditemukan empat hari setelah terjadinya peristiwa pembunuhan terjadi. Keterlambatan diketahuinya kasus tersebut tidak akan terjadi jika kepedulian antar sesama penghuni terbina dengan baik. Fakta ini sekaligus menunjukan bahwa individualisme jelas menjadi ancaman dengan hadir sebagai risiko sosial yang dapat membahayakan.

Kekhawatiran terhadap risiko yang dihadapi masyarakat, seperti risiko sosial, yang ditandai dengan makin renggangnya hubungan antar manusia

dirasakan oleh Francis Fukuyama melalui dua karyanya, yang pertama Trust : The Social Virtues and The Creation of Prosperity tahun 1993 dan tahun 1999 dengan judul The Great Depression: Human Nature and The Reconstitution of Social Order . Dalam kedua karya tersebut Fukuyama membahas konsep modal sosial. Menurutnya, modal sosial murujuk pada kapabilitas yang muncul dari kepercayaaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dalam masyarakat (Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity , terjemahan :37) dan serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara mereka (The Great Depression: Human Nature and The Reconstitution of Social Order , terjemahan : 22 , dalam Lawang, 2003 : 213). Modal sosial ini dapat kita temui keberadaanya di berbagai tempat , baik dalam suatu kelompok formal seperti organisasi maupun kelompok yang tidak formal sekalipun seperti komunitas, atau klub-klub tertentu.

Modal sosial menjadi begitu penting terkait risiko-risiko sosial yang makin mengarahkan kehidupan pada individualisme. Hal tersebut disebabkan modal sosial merupakan konsep yang sering digunakan ilmu sosial untuk menggambarkan kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial (Pratikno dan Tim, 2001 : 5) yang notabene dekat dengan konsep solidaritas sosial dan berlawanan dengan individualisme. Oleh Modal sosial menjadi begitu penting terkait risiko-risiko sosial yang makin mengarahkan kehidupan pada individualisme. Hal tersebut disebabkan modal sosial merupakan konsep yang sering digunakan ilmu sosial untuk menggambarkan kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial (Pratikno dan Tim, 2001 : 5) yang notabene dekat dengan konsep solidaritas sosial dan berlawanan dengan individualisme. Oleh

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thilo Boeck, Jennie Fleming dan Kemshall Hazel mengenai “Anak Muda, Modal Sosial dan Negoisasi Risiko” (Young People, Social Capital and Negoitation of Risk) dalam hal “jalur atau saluran-saluran bagi anak muda untuk dapat masuk (terjerumus) dan keluar (terhindar) dari kejahatan” (Pathways into and out of Crime for Young People) (Boeck, (dkk), 2006), menunjukan keterkaitan modal sosial dengan risiko karena modal sosial berperan dalam menjadi navigasi risiko serta membantu mengatasinya. Hasil penelitian tersebut sekaligus menunjukan bahwa modal sosial ternyata turut berperan dalam mendorong lahirnya refleksivitas anak muda yang terwujud dengan kemampuannya melakukan navigasi atas risiko yang mengancam dalam kehidupannya. Dilatarbelakangi oleh hasil penelitian tersebut maka penelitian ini akan mencoba meneliti modal sosial dalam masyarakat risiko, yang difokuskan pada modal sosial dan refleksivitas dalam suatu klub motor.

Klub motor menjadi penting diangkat dalam penelitian ini karena beberapa alasan. Pertama, para pengendara motor yang cenderung lekat akan

individulisme, ketidakpedulian dan egoisme. Hal itu sangat terlihat dalam pemandangan saat mereka berkendara di jalan, dimana mereka berkendara dengan kecepatan tinggi atau “ngebut” sesuka hati bahkan hingga melanggar rambu-rambu lalulintas, atau mencoba mendahului kendaraan di depannya dengan menggunakan jalan yang bukan jalurnya hingga dapat membuat pengguna jalan lainnya celaka. Perilaku pengendara motor yang seperti itulah yang menunjukan bahwa mereka tidak lagi peduli dengan kebutuhan dan keselamatan orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. Padahal perilaku tersebut juga akan menjadi faktor pendorong munculnya risiko lain seperti risiko fisik yaitu kecelakaan.

Alasan kedua, karena dalam hubungan-hubungan yang terjalin oleh anggotanya mengindikasikan tumbuh dan berkembangnya modal sosial. Interaksi yang dilakukan oleh anggota klub motor melalui berbagai kegiatan- kegiatan cenderung menjadi potensi yang menghasilkan lahirnya modal sosial. Bukan lagi menjadi rahasia umum jika seorang anggota klub motor memperoleh berbagai keuntungan yang sifatnya materiil maupun nonmateriil. Sebagai contoh, berkat modal sosial, misalnya anggota yang memiliki suatu usaha maka usahanya dapat berkembang lebih maju dan terjaga keberlangsungannya berkat bertambahnya konsumen baik dari anggota klub motor tersebut maupun orang lain yang diperkenalkan oleh anggota klub motor.

menjadi subyek penelitian ini. Pemilihan anggota Klub Motor WKC bukan tanpa alasan. Pertama, karena klub ini tergolong sebagai klub motor RX-King yang notabene tergolong berusia muda (3 tahun) namun telah memiliki jaringan yang cukup luas, terbukti dengan terbaginya klub ini dalam beberapa koordinator wilayah. Kedua, para anggota Klub Motor motor Wonogiri King Club (WKC) tergolong rentan terhadap ancaman berbagai risiko, seperti yang bersifat sosial, fisik-ekologis, dan bahkan psikis. Risiko sosial yang dihadapi adalah ancaman penyakit sosial seperti individualisme,egoisme dan lainnya. Sementara itu risiko fisik-ekologis yang mengancam mereka, layaknya pengendara sepeda motor yang lain akan menghadapi risiko kecelakaan.

Pengendara motor RX-King pada umumnya, termasuk para anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) pun harus menghadapi risiko sosial lainnya yang mungkin dapat berkembang menjadi risiko yang bersifat psikis, dengan munculnya kesan negatif yang berkembang di masyarakat bahwa mereka sering dianggap “ugal-ugalan” atau bahkan “brandalan”. Terbukti dengan motivasi pendirian salah satu pionir komunitas motor Rx King di Indonesia yaitu King’s Club Djakarta (KCDj) . Motivasi pendirian KCDj King’s Club Djakarta yaitu untuk mencoba menghapuskan stigma yang sangat kental dalam masyarakat bahwa komunitas pengguna motor RX-King merupakan kawanan brandalan yang hanya membuat onar dan kriminalitas, bahkan sampai ada segelintir masyarakat yang membuat plesetan untuk Pengendara motor RX-King pada umumnya, termasuk para anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) pun harus menghadapi risiko sosial lainnya yang mungkin dapat berkembang menjadi risiko yang bersifat psikis, dengan munculnya kesan negatif yang berkembang di masyarakat bahwa mereka sering dianggap “ugal-ugalan” atau bahkan “brandalan”. Terbukti dengan motivasi pendirian salah satu pionir komunitas motor Rx King di Indonesia yaitu King’s Club Djakarta (KCDj) . Motivasi pendirian KCDj King’s Club Djakarta yaitu untuk mencoba menghapuskan stigma yang sangat kental dalam masyarakat bahwa komunitas pengguna motor RX-King merupakan kawanan brandalan yang hanya membuat onar dan kriminalitas, bahkan sampai ada segelintir masyarakat yang membuat plesetan untuk

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana modal sosial (kepercayaan, norma dan jaringan) dan refleksivitas (pemikiran, sikap, dan tindakan) anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui modal sosial (kepercayaan, norma dan jaringan) anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC).

2. Untuk mengetahui refleksivitas (pemikiran, sikap, dan tindakan) anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC).

3. Untuk mengetahui motivasi seseorang menjadi anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC).

4. Untuk mengetahui keterkaitan modal sosial dan refleksivitas anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan agar lebih memperhatikan pembangunan modal sosial dalam lingkungan kehidupan masyarakat kini.

2. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan referensi atau kajian bagi penelitian-penelitian berikutnya sehingga mampu memperbaiki dan menyempurnakan kelemahan dalam penelitian ini

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Modal Sosial

Pengertian modal sosial yang berkembang saat ini cenderung didasarkan pada pandangan tiga tokoh ilmuwan sosial,yakni Pierre Bourdieu, James Coleman dan Robert Putnam. Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai “sejumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seseorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan” (Bourdieu dan Wacquant,dalam Field, 2010 :23). Dalam hal ini, Bourdieu menambahkan bahwa untuk dapat mempertahankan nilai modal sosial maka individu harus mengupayakannya.

James Coleman memberikan pengertian konsep modal sosial sebagai “seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka” (Coleman, 1994 : 300, dalam Field ,2010 : 38). Coleman juga melihat modal sosial sebagai “bagian yang terpisahkan dari barang umum yang James Coleman memberikan pengertian konsep modal sosial sebagai “seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka” (Coleman, 1994 : 300, dalam Field ,2010 : 38). Coleman juga melihat modal sosial sebagai “bagian yang terpisahkan dari barang umum yang

Definisi lain modal sosial berasal dari Robert Putnam (1955) yang mengartikan modal sosial sebagai features of social organization that can improve the efficiency of society (bagian-bagian dalam organisasi sosial yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat). Menurutnya terdapat tiga bentuk atau unsur modal sosial yaitu : trust (kepercayaan), norms (norma) dan networks atau jaringan-jaringan horizontal civic engagement (Wijaya, 2007: 76-77). Menurut Putnam, “asosiasi dalam masyarakat terutama yang melibatkan hubungan face to face, serta hubungan diantara individu akan menghasilkan trust, norma pertukaran, dan kapasitas untuk civic engagement yang merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat demokratis” (Pratikno dan Tim, 2001: 7) .

Selain tiga tokoh tersebut, Francis Fukuyama (1999 :16 ,dalam Leksono, 2009 : 40) pun memberikan pengertian pada modal sosial, yaitu “sekumpulan nilai informal atau norma yang menyebar diantara anggota kelompok yang memungkinkan kerja sama terjadi diantara mereka”. Kerjasama tersebut terjadi apabila antar anggota kelompok masyarakat tersebut Selain tiga tokoh tersebut, Francis Fukuyama (1999 :16 ,dalam Leksono, 2009 : 40) pun memberikan pengertian pada modal sosial, yaitu “sekumpulan nilai informal atau norma yang menyebar diantara anggota kelompok yang memungkinkan kerja sama terjadi diantara mereka”. Kerjasama tersebut terjadi apabila antar anggota kelompok masyarakat tersebut

Dari sekian definisi mengenai modal sosial dari berbagai ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya modal sosial merupakan suatu hubungan- hubungan yang tercipta karena adanya norma-norma tertentu dan keadaan tertentu. Dalam prosesnya modal sosial tersebut juga akan menghasilkan kepercayaan, jaringan, dan nilai-nilai (norma) tertentu yang mempermudah terjalinya kerjasama antara orang yang terlibat dalam suatu hubungan, baik dalam kelompok kecil, asosiasi atau masyarakat sekalipun.

2. Refleksivitas

Refleksivitas adalah istilah yang digunakan dalam berbagai macam pengertian. Dua kecenderungan utama pengertian tersebut sebagai berikut. Pertama, refleksivitas digunakan secara lebih spesifik untuk menandai ciri-ciri umum kehidupan sosial ( modern ). Kedua, refleksivitas digunakan secara lebih spesifik untuk menunjukkan ciri-ciri tertentu dari berbagai upaya para ilmuwan sosial untuk menjelaskan kehidupan sosial, atau mengkonotasikan bahwa gagasan, pertanyaan-pertanyaan dan argumen-argumen yang dibuat oleh Refleksivitas adalah istilah yang digunakan dalam berbagai macam pengertian. Dua kecenderungan utama pengertian tersebut sebagai berikut. Pertama, refleksivitas digunakan secara lebih spesifik untuk menandai ciri-ciri umum kehidupan sosial ( modern ). Kedua, refleksivitas digunakan secara lebih spesifik untuk menunjukkan ciri-ciri tertentu dari berbagai upaya para ilmuwan sosial untuk menjelaskan kehidupan sosial, atau mengkonotasikan bahwa gagasan, pertanyaan-pertanyaan dan argumen-argumen yang dibuat oleh

Modernitas refleksif (reflexive modernity) merupakan proses individualisasi yang kini terjadi di Barat. Di dalamnya agen-agen semakin bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat dimana mereka hidup (Ritzer dan Goodman, 2005 : 562). Dalam hal ini, terkait dengan pengertian pertama ,refleksivitas merujuk pada fakta bahwa masyarakat modern di masa kini tengah menuai hasil-hasil negatif dari kesalahan-kesalahan dalam dalam mengelola lingkungan mereka, dan merujuk pada semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap konsekuensi-konsekuensi negatif ini. Beck juga menyatakan bahwa hal ini menjurus kepada semacam refleksivitas personal dimana para anggota masyarakat modern yang sudah matang mempertanyakan pola-pola kehidupan dan nilai-nilai (moral) sosial (Kuper dan Kuper, 2008 : 905).

Refleksivitas memungkinkan seseorang untuk mempertanyakan pada dirinya sendiri dan risiko yang dihasilkannya. Terkait dengan hal tersebut adalah pendapat Giddens mengenai proses refleksivitas yang ia artikan sebagai arah tindakan yang secara konstan memantau kondisi-kondisi kita dan membentuk diri kita sendiri sesuai kondisi tersebut. Ini berarti bahwa kita Refleksivitas memungkinkan seseorang untuk mempertanyakan pada dirinya sendiri dan risiko yang dihasilkannya. Terkait dengan hal tersebut adalah pendapat Giddens mengenai proses refleksivitas yang ia artikan sebagai arah tindakan yang secara konstan memantau kondisi-kondisi kita dan membentuk diri kita sendiri sesuai kondisi tersebut. Ini berarti bahwa kita

Salah satu perwujudan dari refleksivitas adalah sikap refleksif. Sikap refleksif adalah sikap yang berupaya mengatasi aneka efek risiko pada tingkat risiko itu sendiri melalui berbagai solusi teknis , bukan mencari akar-akar penyebab yang lebih fundamental, esensial atau subtansial (Piliang, 2009, http://rumahwacana.wordpress.com/category/humanity ). Perlu diketahui bahwa sikap refleksif inilah yang umumnya menjadi sikap dalam modernitas refleksif (reflexive modernity).

Dari berbagai pengertian terhadap refleksivitas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya refleksivitas merupakan suatu bagian yang menyertai dan tidak terpisahkan dari masyarakat risiko. Refleksivitas berarti menunjukkan usaha atau upaya yang dilakukan manusia berkaitan dengan risiko yang mengancamnya, khususnya pada upaya dalam hal mengatasi risiko, baik mengurangi, maupun meminimalisir atau bahkan mencegah.

Istilah masyarakat risiko (risk society) merupakan istilah yang melekat pada sosiolog kenamaan Jerman Ulrich Beck. Istilah tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai sejenis masyarakat industri karena kebanyakan risikonya berasal dari industri. Hal tersebut dapat terjadi sebab menurut Beck kita masih berada dalam era modern, walaupun dalam bentuk modernitas yang baru. Perbedaan tersebut terletak pada tahap ”klasik” modernitas yang sebelumnya berkaitan dengan masyarakat industri, sedangkan modernitas “baru” berkaitan dengan masyarakat risiko (Clark, 1997, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 561).

Berbagai perubahan turut mengiringi pergantian dari modernitas tahap “klasik” menuju modernitas “baru” yang ditandai kemunculan masyarakat risiko. Salah satu perubahan yang dimaksud dalam hal masalah sentral. Jika dalam modernitas “klasik” masalah sentralnya berkisar pada kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya dengan merata. Sementara itu dalam modernitas “baru” masalah sentralnya adalah risiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya.

Dalam masyarakat risiko, keadaan menjadi tidak pasti, karena berbagai kemungkinan buruk dapat terjadi. Hal yang dimaksud seperti kemungkinan peristiwa dimana kecelakaan teknologi tidak bisa diasuransikan karena implikasi-implikasi yang tak terbayangkan (misalnya ledakan reaktor nuklir Chernobyl tahun 1986). Dalam hal tenaga nuklir , Beck mengidentifikasi

psikologi , kebudayaan dan religi. Menurutnya, “masyarakat berisiko residual telah menjadi masyarakat yang tidak dijamin asuransi” atau the residual risk society has become an uninsured society (Beck 1992b : 101, dalam Kuper dan Kuper, 2000 : 933). Jadi masyarakat risiko merupakan suatu masyarakat yang tidak mempercayai kemajuan di masa depan , namun yang berpengalaman dalam kalkulasi jangka pendek atas bahaya. Dengan kata lain, “matematika kalkulus atas risiko menunjukkan model etika tanpa moralitas, etika matematis dalam era teknologi” ( Beck 1992b :99, dalam Kuper dan Kuper,2000 : 933 ).

Tokoh lain yang juga membahas mengenai risiko adalah Anthony Giddens. Hal tersebut diperkuat pernyataanya mengenai modernitas, “modernitas adalah kultur risiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu ; bagi kebanyakan orang itu bukan masalah. Konsep risiko menjadi masalah mendasar baik dalam cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan parameter risiko baru yang sebagaian besar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya” (Giddens, 1991 : 3-4, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 561 ).

Giddens membedakan risiko lingkungan pra modern (tradisional) dan modern. Menurutnya risiko kebudayaan tradisonal didominasi oleh bahaya dunia fisik, sementara risiko lingkungan modern distrukturasi terutama oleh

Kuper,2000 : 933). Selain itu, Giddens juga berpendapat bahwa “risiko bukan semata-mata tindakan individu. Ada risiko lingkungan yang secara kolektif mempengaruhi massa individu yang besar” ( Giddens, 1990 : 35, dalam Kuper dan Kuper,2000 : 933 ).

Masyarakat risiko merupakan suatu istilah yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan ke kondisi-kondisi baru dalam kehidupan manusia saat ini. Terdapat perbedaan pendapat pada hal tersebut, di satu pihak perubahan dimaksud mengarah dari era modernitas menuju modernitas lanjut , sedangkan ada yang menyebut pula perubahan tersebut terjadi dari era modernitas menuju postmodernitas. Walaupun begitu, keduanya sepakat bahwa perubahan tersebut melahirkan konsekuensi penting. Konsekuensi yang dimaksud ialah tuntutan akan kesadaran bahwa dalam kehidupan manusia kini lebih diwarnai ketidakmenentuan dan risiko yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Jadi, karakteristik penting dari masyarakat risiko adalah risiko dan cara untuk mengatasi atau usaha meminimalkan menjadi masalah sentral kehidupan manusia.

4. Klub Motor

Klub dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Tim, 2002 : 576) , diartikan sebagai berikut: Klub dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Tim, 2002 : 576) , diartikan sebagai berikut:

b)

gedung tempat pertemuan suatu anggota perkumpulan Club (klub) juga diartikan sebagai suatu kelompok yang terorganisasikan untuk mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan tertentu (Soekanto, 1993 : 183). Dalam The Contenporary English-Indonesian Dictionary with British and American Pronounciation and Spelling , Club (klub), berarti perkumpulan , contoh ia adalah anggota perkumpulan tennis kami ( Salim, 2006 : 398).

Sementara itu, klub motor diartikan sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi serta keinginan para anggotanya berdasarkan mufakat dan kesepakatan pada awal pembentukan oleh para pendirinya. Atau bisa juga perkumpulan yang melakukan untuk maksud dan tujuan tertentu. Pada dasarnya suatu klub hadir dari habitat atau ketertarikan yang sama. Misalnya, satu merk motor dari satu pabrikan (Wibowo, 2011, http://hcstindonesia.blogspot.com). Dari berbagai definisi tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa klub motor merupakan suatu kelompok atau perkumpulan tertentu (berkaitan dengan sepeda motor), yang memiliki tujuan dan maksud tertentu berkaitan dengan suatu pabrikan motor.

Motivasi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Tim, 2002 : 756), diartikan sebagai berikut : a)

Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.

b) Usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.

Motivation (motivasi) merupakan faktor yang menyebabkan suatu aktivitas tertentu menjadi dominan, apabila dibandingkan dengan aktivitas-aktivitas lainnya (Soekanto, 1993 : 183).

Sementara itu, yang perlu menjadi perhatian bahwa konsep mengenai motivasi adalah konsep yang menunjukkan suatu proses psikologi. Para psikolog sering menjelaskan konsep tersebut sebagai suatu perasaan dari dalam (internal feeling) manusia, sehingga motivasi merupakan kebutuhan internal yang harus dipuaskan oleh ekspresi internal (Liliweri, 1997 :322).

Selain itu, perilaku seseorang yang pada hakikat ditentukan oleh keinginan-keinginan untuk mencapai beberapa tujuan, membuat motivasi juga diartikan sebagai pendorong agar seseorang itu melakukan suatu kegiatan untuk mencapai tujuannya (Thoha, 2004 :253). Senada dengan hal tersebut, motivasi juga merupakan suatu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan Selain itu, perilaku seseorang yang pada hakikat ditentukan oleh keinginan-keinginan untuk mencapai beberapa tujuan, membuat motivasi juga diartikan sebagai pendorong agar seseorang itu melakukan suatu kegiatan untuk mencapai tujuannya (Thoha, 2004 :253). Senada dengan hal tersebut, motivasi juga merupakan suatu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan

B. Definisi Konseptual

Modal sosial menurut Putnam, menunjuk pada bagian-bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan (trust), norma (norms) dan jaringan (network), yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan tindakan- tindakan yang terkoordinasi (Putnam, 1993 : 167, dalam Lawang, 2005 : 212 ). Bagi Putnam, asosiasi dalam masyarakat terutama yang melibatkan hubungan face to face , serta hubungan diantara individu akan menghasilkan kepercayaan, norma pertukaran, dan kapasitas untuk civic engagement yang merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat demokratis (Pratikno dan Tim, 2001: 7) .

Refleksivitas merupakan istilah yang digunakan secara lebih spesifik untuk menandai ciri-ciri umum kehidupan sosial (modern). Refleksivitas merujuk pada fakta bahwa masyarakat modern di masa kini tengah menuai hasil-hasil negatif dari kesalahan-kesalahan dalam dalam mengelola lingkungan mereka, dan merujuk pada semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap konsekuensi-konsekuensi negatif ini. Ulrich Beck juga Refleksivitas merupakan istilah yang digunakan secara lebih spesifik untuk menandai ciri-ciri umum kehidupan sosial (modern). Refleksivitas merujuk pada fakta bahwa masyarakat modern di masa kini tengah menuai hasil-hasil negatif dari kesalahan-kesalahan dalam dalam mengelola lingkungan mereka, dan merujuk pada semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap konsekuensi-konsekuensi negatif ini. Ulrich Beck juga

Motivasi merupakan suatu pendorong agar seseorang itu melakukan suatu kegiatan untuk mencapai tujuannya (Thoha, 2004 :253). Hal ini disebabkan karena, perilaku manusia yang pada hakikatnya ditunjukkan demi mencapai tujuan, kepentingan atau keinginannya.

C. Landasan Teori

1. Modal Sosial

Teori modal sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Robert Putnam. Menurut Putnam, modal sosial menunjuk pada bagian- bagian organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan , yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi (Putnam, 1993 : 167, dalam Lawang, 2004 : 212 ). Penjelasan lebih rinci dari definisi tersebut menunjukkan acuan bahwa seperti modal- modal lainnya, “modal sosial bersifat produktif, dan memungkinkan pencapaian tujuan tertentu yang tanpa kontribusinya tujuan tidak akan tercapai…Sebagai contoh suatu kelompok yang anggotanya memperlihatkan

menyelesaikan (masalah) jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki rasa percaya dan kepercayaan…Dalam suatu komunitas petani…dimana seorang petani sudah memperoleh rumput yang telah diikat oleh orang lain dan dimana alat-alat pertanian dipinjamkan dan disewakan secara meluas, modal sosial memungkinkan setiap petani menyelesaikan pekerjaanya dengan hanya sedikit modal fisik dalam penyediaan alat dan perlengkapan” (Putnam, 1993 : 167, dalam Lawang, 2004 : 212 ). Dari penjelasan mengenai modal sosial oleh Putnam tersebut, dengan memberikan analogi dalam komunitas petani membuat pemahaman pada konsep modal sosial terlihat lebih mudah.

Dalam perkembangan lebih lanjut, definisi modal sosial dari Putnam turut mengalami perubahan. Terbukti dalam buku terkenalnya, Putnam berargumen bahwa, “gagasan inti teori modal sosial adalah bahwa jaringan sosial memiliki nilai…kontak sosial memengaruhi produktivitas individu dan kelompok” (Putnam, 2000 : 18-19, dalam Field,2010 : 51). Istilah itu sendiri ia definisikan dengan merujuk pada “ hubungan antar individu-- jaringan sosial dan norma resiprositas dan keterpercayaan yang tumbuh dari hubungan- hubungan tersebut “ ( Putnam, 2000 : 19, dalam Field, 2010 : 51 ). Dari rumusan baru tersebut terlihat bahwa kepercayaan (resiprositas) menjadi suatu elemen mendasar norma yang muncul dari jaringan sosial.

bentuk dasar modal sosial, yaitu menjembatani (atau inklusif) dan mengikat (atau eksklusif). Perbedaan tersebut bahwa, modal sosial yang mengikat cenderung mendorong identitas eksklusif dan mempertahankan homogenitas. Di lain sisi, modal sosial yang menjembatani cenderung menyatukan orang dari beragam ranah sosial. Sementara itu, kesamaan dari kedua bentuk dasar modal sosial tersebut adalah membantu menyatukan kebutuhan yang berbeda (Field, 2010 : 52). Keduanya juga memiliki keunggulan masing-masing, seperti modal sosial yang mengikat merupakan sesuatu yang baik untuk “menopang resiprositas spesifik dan memobilisasi solidaritas, sekaligus menjadi “semacam perekat terkuat dalam sosiologi”. Kemudian, hubungan-hubungan yang menjembatani “akan lebih baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi persebaran informasi” (Putnam, 2000: 22-23, dalam Field, 2010 : 52).

2. Masyarakat Risiko

Masyarakat Risiko atau risk society merupakan salah satu konsep penting yang diperkenalkan oleh Ulrich Beck. Istilah tersebut ia kemukakan pada tesis karyanya , Risk Society : Toward a New Modernity , tidak heran jika Beck dikenal sebagai pencipta atas gambaran mengenai “dunia masyarakat risiko”. Dalam tesis karyanya, Beck menjelaskan beberapa konsep penting seperti risiko, refleksivitas dan efek boomerang. Beck menjelaskan ”risiko” (risk) sebagai, “kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya,