Penentuan Sebaran Sa (Backscattering Area) di Laut Flores Berdasarkan Metode Progressive Threshold

(1)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Perairan laut merupakan habitat alam yang sangat kaya, di dalamnya terdapat berbagai jenis biota yang mendukung kehidupan manusia. Biota-biota tersebut misalnya adalah plankton, ikan dan lain sebagainya.

Metode hidroakustik dapat digunakan untuk menduga target yang terdapat di perairan laut, misalnya pendugaan sebaran plankton, ikan dan lain sebagainya. Metode hidroakustik dapat menduga sebaran target secara efektif dan real time. Menurut Thorne at al. (1987) in Wijopriono et al. (2001) beberapa keunggulan komparatif pendugaan sebaran ikan dengan metode hidroakustik adalah estimasi stock dapat dilakukan secara langsung, memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi, pendugaan terhadap daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat, pemrosesan data dapat dilakukan secara in-situ dan real time. Selain itu, pada metode ini menggunakan gelombang suara sehigga tidak berbahaya bagi kelestarian sumberdaya dan lingkungan.

Integrasi data hidroakustik saat ini hanya menggunakan suatu metode, yaitu untuk semua wilayah dan waktu studi hanya menggunakan level threshold maksimum dan minimum yang tetap (fixed threshold level) (Hestirianoto 2008). Padahal kita ketahui bahwa pada suatu perairan belum tentu memiliki

karakteristik yang sama. Metode multi target dapat digunakan untuk usaha peningkatan akurasi pendugaan target di suatu perairan. Hal ini diyakini karena target di perairan cenderung akan membentuk kelompok sesuai jenisnya. Integrasi hidroakustik dengan menggunakan progressive threshold mampu


(2)

mengungkapkan kelompok target didalam satu satuan integrasi hidroakustik atau ESDU (Hestirianoto 2008).

Potensi sumberdaya laut di perairan Laut Flores cukup tinggi, terutama ikan pelagis kecil. Menurut Mallawa (2008) potensi ikan pelagis kecil di perairan Selat Makasar dan Laut Flores sekitar 65,12% dari perkiraan potensi yang ada. Pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Laut Flores terutama ikan pelagis belum banyak digali (under exploited), pemanfaatan ikan pelagis kecil masih dibawah 50% (Mallawa 2006). Hal ini diduga karena belum banyaknya informasi terkait sebaran ikan perairan Laut Flores.

Penelitian yang telah dilakukan terkait dengan progressive thresholding adalah membedakanlarva insek (Chaoborus sp.) dengan juvenil ikan (Eckmann 1998), melihat sebaran spasio temporal volumebackscetteing strength (Sv) ikan demersal menggunakan metode progressive thresholding (Prasetyo 2007)dan melihat kelimpahan ikan di pantai sumur Pandeglang dengan metode

progressive thresholding (Hestirianoto 2008).

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian adalah

1) Melihat sebaran Sa di perairan Laut Flores dengan menggunakan metode progressive thresholding.


(3)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Metode Hidroakustik

2.1.1. Prinsip Kerja Metode Hidroakustik

Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini mediumnya adalah air. Data hidroakustik merupakan data hasil estimasi echocounting dan echo integration melalui proses pendeteksian bawah air, sehingga dalam akustik proses

pembentukan gelombang suara dan sifat-sifat perambatannya dibatasi oleh air. Berdasarkan pemancaran gelombang suara, sistem akustik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu echosounder (sistem pancar vertikal) dan sonar (sistem pancar horizontal) (Burczynsky 1982).

Proses pendeteksian bawah air adalah sebagai berikut:

1) Transmitter menghasilkan listrik dengan frekuensi tertentu, kemudian disalurkan ke transduser.

2) Transduser akan mengubah energi listrik menjadi suara, kemudian suara tersebut dalam berbentuk pulsa suara dipancarkan dengan satuan ping. 3) Suara yang dipancarkan tersebut akan mengenai objek, kemudian suara itu

akan dipantulkan kembali oleh obyek dalam bentuk echo dan kemudian diterima kembali oleh tranduser.

4) Echo yang diperoleh tersebut diubah kembali menjadi energi listrik di transduser kemudian diteruskan ke receiver.

5) Pemrosesan sinyal echo dengan menggunakan metode echo integration. Echo yang diperoleh dapat mengestimasi beberapa data antara lain target


(4)

strength, scatteringvolume, densitas ikan, batimetri, panjang ikan, lapisan dasar perairan dan dapat diaplikasikan untuk kegiatan lainnya.

Prinsip kerja metode hidroakustik menggunakan echosounder dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Prinsip kerja metode hidroakustik (MacLennan dan Simmonds 2005).

2.1.2. !

Split Beam System menggunakan receiving transducer yang dibagi dalam empat kuadran, yaitu fore, alf, port dan starboard transducer. Transmisi pulsa dilakukan oleh semua bagian transducer secara bersamaan. Proses penerimaan echo, jika nilai target yang terdeteksi terletak tepat pada pusat dari beam suara maka echo dari target akan dikembalikan dan diterima ke empat transduser secara bersamaan. Proses ini tidak berlaku jika nilai target yang terdeteksi tidak tepat pada pusat beam suara, maka echo yang kembali akan diterima terlebih dahulu oleh bagian transducer yang paling dekat.


(5)

Keempat kuadran transducer diberi label a sampai d. Sudut θ pada satu bidang diperoleh dari penjumlahan sinyal (a+c) dibandingkan dengan jumlah sinyal (b+d). Sedangkan sudut φ diperoleh dari beda fase antara (a+b) dan (c+d). Kedua sudut tersebut dapat membedakan arah target terhadap sumbu pusat dari pusat beam. Ilustrasi ini terlihat pada Gambar 2 (MacLennan dan Simmonds 2005).

Gambar 2. Bentuk split beam dan fullbeam transduser (MacLennan dan Simmonds 2005).

2.2.

Threshold merupakan suatu ambang nilai yang berfungsi untuk membatasi atau menapis pantulan suara yang terekam pada echogram. Progressive threshold mirip dengan proses penyaringan, yaitu menyaring nilai nilai-nilai yang ingin ditampilkan. Penggunaan beberapa threshold juga berfungsi untuk

menghilangkan reverberasi atau unwanted target. Jika ingin melihat ikan, maka yang termasuk reverberasi adalah plankton dan pertikel-partikel yang harus dihilangkan.


(6)

Menurut Ekcmann (1998) thresholding biasanya digunakan untuk menghilangkan kontribusi yang tidak diinginkan seperti noise pada integrator output. Sejak thresholding mendiskriminasikan target kecil, teknik ini tidak dapat digunakan untuk studi kuantitatif dari target kecil dalam cakupan yang lebih besar. Sehingga Ecmann melakukan pengalokasian untuk melihat kelimpahan target yang kecil. Ketika Sa diplotkan terhadap integrator threshold maka akan terlihat sebuah fungsi asymptotic Bertalanffy (Gambar 3). Jika kemiringan dari kurva yang dihasilkan menurun pada beberapa intermediate threshold level dan kemudian naik kembali sebelum dataran tinggi akhir tercapai, maka integrator output dapat dialokasikan untuk dua kelompok target sesuai dengan prinsip linearitas pada akustik. Nilai Sa maksimum untuk target yang lebih besar dan nilai Sa minimum utuk target yang lebih kecil (Ekcmann 1989).

Gambar 3. Fungsi integrator threshold pada tiga ukuran target yang berbeda (Ekcmann 1998).


(7)

2.3. " ## (Sa)

Area Backscattering Coefficients (Sa) adalah ukuran energi yang dikembalikan dari lapisan antara dua kedalaman pada kolom perairan

(MacLennan dan Simmonds 1992). Sa didefinisikan sebagai integral dari Sv yang dihubungkan dengan kedalaman yang melewati lapisan. Sa merupakan parameter penting dalam akustik perikanan karena sebagian besar dari echo-integrators menyediakan data integrasi dengan satu atau lebih lapisan, karena Sa adalah hasil dari Sv dan jarak, maka Sa tidak berdimensi. Hal ini yang membuat Sa sulit untuk memperlihatkan nilai numerik dengan jelas saat faktor skala yang berbeda diterapkan. Satuan Internasional (SI) unit dasar untuk Sa harus ditulis sebagai (m2/m2) yang berarti integrasi σbs per meter kuadrat dari lapisan permukaan. Banyak versi dari Sa yang biasa digunakan, khususnya Nautical Area Scattering Coefficient (NASC) untuk simbol Sa. Walaupun Sa tidak berdimensi, sangat penting sekali untuk menunjukkan skala saat mengutip nilai numeric (McLennan dan Simmonds 2005).

Area Backscattering Coefficient (ABC) dan Nautical Area Scattering Coefficient (NASC) adalah nilai scattering area pada scattering volume. Keduanya dihitung ketika mengintegrasikan suatu region, cell atau selection dan tersedia untuk eksport sebagai variabel analisis ketika diintegrasikan oleh region atau cell. NASC identik dengan sA seperti yang digunakan

oleh Simrad dan Area Backscattering Coefficient (ABC) diskalakan dengan 4π dan 1 mil laut persegi (MacLennan et al. 2002).

ABC (m2/m2) dihitung sebagai berikut:


(8)

- ……….. (1) dimana Sv : Rata-rata volume backscattering strength dari domain

yang terintegrasi (dB re 1 m2/m3).

T : Rata-rata ketebalan dari domain yang terintegrasi (m) NASC (m2/nmi2) dihitung sebagai berikut:

! "#$%

! "#$%

! "#$% ………..…… (2) dimana 4π : Steradians dalam bola mengkonversi backscattering cross-section menjadi scattering cross-section.

1852 : Meter per mil laut (m/nmi)

Sv : Volume hamburan balik kekuatan rata-rata dari domain yang terintegrasi (dB re1 m2/m3).

T : Rata-rata ketebalan dari domain yang terintegrasi. ABC : Luas hamburan balik Koefisien (m2/m2).

2.4. $ % (Sv)

Volume backscattering strength (Sv) dalam bentuk linier diperlihatkan padapersamaan berikut :

Sv = n.Ts ……… (3)

dimana : Sv : Nilai linier dari backscttering volume n : Densitas

Ts : Target strength.


(9)

ping menggambarkan densitas dari kawanan ikan yang sebenarnya. Namun, untuk beberapa kawanan ikan yang berada dalam satu lintasan survei yang di kenai pancaran beam, Svyang diperoleh tidak selalu menggambarkan secara langsung densitas beberapa kawanan ikan tersebut. Hal ini disebabkan karena didalam beam terdapat ruang kosong (tidak terdapat kawanan ikan) untuk menggambarkan kawanan besar ikan. Akibat ketidakmenentuan ini, Svyang diperoleh setiap 1 ping sering disebut juga backscattering volume mentah (raw Sv) (Kang et al. 2002).

Permasalahan ini dapat dikurangi dengan metode integrasi echo dimana setiap Sv beberapa kawanan ikan dirata-ratakan untuk mendapatkan mean volume backscattering strength (MVBS) atau rata-rata Sv. MVBS akan menggambarkan densitas rata-rata kawanan ikan dari beberapa kawanan besar ikan dalam bentuk integrasi sel (Kang et al. 2002).

2.5.

Target strength (TS) merupakan faktor penting dalam pendugaan stok ikan dengan metode akustik. Menurut Kinsler et al. (2000) ketika sebuah

gelombang akustik mengenai sebuah target dengan intensitas I (r), maka akan berhamburan ke segala arah, sebagian akan di kirim ke receiver. Sejauh receiver yang bersangkutan, target yang telah dihasilkan (walaupun oleh refleksi) oleh sinyal akustik dengan sumber kekuatan yang oleh ekstrapolasi sinyal yang tersebar kembali dengan jarak r' = 1 m dari pusat target akustik (Gambar 4).

Target strength suatu objek ditentukan terutama oleh ukuran, bentuk, konstruksi, orientasi yang berkaitan dengan sumber dan penerima, serta frekuensi incident sound (Kinsler et al. 2000).


(10)

Gambar 4. Diagram untuk menurunkan ekspresi untuk target strength

TS didefinisikan sebagai rasio antara intensitas gelombang yang mengenai target (Ii ) dan intensitas gelombang yang dihamburbalikkan (Ir) pada jarak 1 meter (Sawada et al. 1999). TS dapat diformulasikan menjadi persamaan:

Ti = Ir / Ii , r = 1 m ... (4)

dimana TSi : Intensitas target strength (dB)

I r : Intensitas suara yang dipantulkan diukur pada jarak 1 meter dari target.

I i : Intensitas suara yang dipancarkan mengenai target Menurut MacLennan dan Simmonds (2005) TS merupakan backscattering cross-section dari target yang mengembalikan sinyal dan diformulasikan dalam

persamaan:

TS = 10 log10(σbs)

= 10 log ( σps / 4π ) ... ... (5)

Setiap target yang dikenai sinyal akustik akan memberikan hamburan yang berbeda-beda, sehingga nilai TSnya juga berbeda. Menurut Mitson (1983) nilai


(11)

target strength dipengaruhi oleh ukuran, struktur dan anatomi, serta bentuk tubuh. Tabel 1 dan 2 serta Gambar 5 merupakan nilai target strength krill dari

beberapa para penelitian.

Tabel 1. Target strength isada krill berdasarkan beberapa frekuensi.

Frequensi TSmax

(dB)

TShovering (dB)

TStotal (dB)

50 kHz -88,6 -96,4 -93,6

120 kHz -74,7 -89,5 -83,3

200 kHz -68,4 -88,5 -79,2

Sumber: Miyashita et al. (1998).

Tabel 2. Ukuran dan nilai TS beberapa jenis zooplankton berdasarkan pada frekuensi 200 kHz

Spesies name L (mm) TS (dB) Ka

Neocolamus cristatus 7,0 -75,0 0,49

Neomysis kadiakensis 18,5 -77,1 0,61

Heptacarpus stylus 20,2 -80,7 0,96

Cragon alba 15,1 -60,4 0,85

Sumber: Demer dan Martin (1995).


(12)

Berdasarkan penelitian Arnaya (2005) di Samudra Hindia khususnya di perairan Jawa, Bali dan Lombok, nilai target strength ikan pelagis berkisar antara -57 dB sampai -34 dB. Nilai target strength ikan pelagis di perairan Selat Sunda berkisar antara -50 dB sampai -32 dB (Moniharapon 2009).

2.6. Zooplankton

Zooplankton merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan produksi primer yang dihasilkan fitoplankton. Peranan zooplankton sebagai mata rantai antara produsen primer dengan karnivora besar dan kecil dapat mempengaruhi kompleksitas rantai makanan dalam ekosistem perairan. Zooplankton seperti halnya organisme lain hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kondisi perairan yang sesuai seperti perairan laut.

Dominansi zooplankton digolongkan menjadi 2, yaitu mikro zooplankton (40 – 200 µm) dan makro zooplankton (lebih dari 200 µm). Contoh mikro zooplankton adalah naupalus dan rotifer sedangkan contoh makro zooplankton adalah cladocera dan copepod. Cladocera mendominasi hampir 60% dari total zooplankton (Hwang dan Health 1999).

Caleonoid copepod dan euphausid (krill) secara umum mendominasi produksi sekunder perairan laut di dunia (Martin 1998). Menurut Steel (1976) in Lytle dan Maxwell (1983) densitas numerik zooplankton umumnya terdistribusi tidak homogen dalam mediumnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Akibat tidak homogennya distribusi zooplankton inilah secara umum dikatakan sebagai bagian-bagian yang terpisah.

Biomassa krill sebagian besar terkonsentrasi di atas 150 m. Miller dan Hampton (1989) in Hewittdan Demer (1996) memperkirakan bahwa 40%


(13)

mungkin terkonsentrasi di 5 m teratas di malam hari.

2.7. Ikan Pelagis

Ikan pelagis adalah organisme yang mampu berenang melawan arus di perairan terbuka. Pada umumnya ikan ini hidup bergerombol. Densitas ikan pelagis dekat permukaan lebih besar daripada di perairan yang lebih dalam, kecuali pada daerah yang kaya zat hara akibat upwelling (Amin at al 1989).

Sebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh lingkungan, ikan ini suka hidup di daerah yang masih mendapat sinar matahari (daerah eufotik) dengan kisaran suhu antara 28 oC – 30 oC. Jika intensitas cahaya tinggi (siang hari), ikan turun sampai kedalaman 12 – 22 m. Namun pada malam hari ikan menyebar merata di kolom air (Laevastu dan Hayes 1981).

Ikan pelagis dibagi dalam dua kelompok, yaitu ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Jenis ikan pelagis besar yang terdapat di perairan Indonesia antara lain: mandidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), ikan pedang (Xipias gladius), ikan layaran (Istiophorus platyterus), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), dan lain-lain. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya neritik yang penyebarannya terutama di perairan dekat pantai, didaerah terjadinya proses upwelling dan poorly behaved karena makanan utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar sehingga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpa di perairan Indonesia. Penyebaran ikan pelagis kecil meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia, namun dominasi ikan pelagis tertentu pada perairan tertentu


(14)

dapat terjadi (Mallawa 2006).

2.8. Kondisi Umum Laut Flores

Laut Flores adalah laut yang terdapat di sebelah utara Pulau Flores. Laut ini juga menjadi batas alami antara Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelah utara Laut Flores terdapat gugusan pulau-pulau kecil, diantaranya Kepulau-pulauan Bonerate dan Pulau Kalaotoa. Laut Flores memiliki kedalaman hingga 5.123 m. Laut Flores mencakup 93.000 mil persegi (240.000 km²) air di Indonesia. Potensi sumberdaya ikan di perairan Laut Flores cukup tinggi dan didominasi oleh potensi ikan pelagis kecil yaitu sekitar 65,12% dari perkiraan potensi yang ada (Mallawa 2006).

Menurut Ilahude (1996) suhu permukaan Laut Flores saat MT (musim timur) di bawah 28°C, yaitu berkisar antara 26,8 – 27,5°C. Smax Laut Flores berkisar antara 34,6 – 34,66 psu pada kedalaman 80 – 150 m (Ilahude dan Gordon 1996).

2.9. ARLINDO di Laut Flores

ARLINDO telah diketahui mengangkut massa dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati laut dan selat-selat peraira Indonesia (Gambar 6), bersama massa air tersebut terangkut pula massa air bersalinitas maksimum, bahang dan nutrient. Di laut angin musim mempengaruhi muka laut sehingga menghasilkan arus permukaan yang disebut Arus Musom Indonesia

(ARMONDO). Massa air bersalinitas rendah saat musim barat dari Laut Jawa akan merambat ke arah timur sampai Laut Flores, sebaliknya massa air


(15)

1988 in Hadikusumah 2009), Laut Flores merambat sampai ke Laut Jawa. Di Laut Jawa stratifikasi massa air parameter suhu dingin dan salinitas tinggi saat musim peraliha dua (MP-II) di poros tengah Laut Jawa hampir homogen dan ini diduga kuat salinitas besar dari Laut Flores. Dalam musin barat (MB) massa air melewati Laut Flores akan tersebar ke arah timur sampai Laut Banda.

Bulan Mei 2005 di Laut Flores sudah menunjukkan musim peralihan satu (MP-I), yaitu pola angin peralihan dari pola angin musim barat bergerak ke musim timur. Kecepatan arus maksimum 90 cm/det, sedangkan arah arus di bagian permukaan sampai kedalaman 60 m dominan bergerak ke arah barat dan barat laut, antara 60 – 400 m di sebelah utara dominan ke arah barat daya dan sebelah selatan, arus dominan ke arah barat sampai barat laut. Rata-rata lapisan permukaan ~57 m, ketebalan termoklin antara ~57 m sampai 360 m

(Hadikusumah 2009).


(16)

Karakteristik massa air di Laut Flores adalah massa air bersalinitas rendah di bagian permukaan (massa air lokal Laut Flores), massa air bersalinitas

maksimum 34,5636 psu pada lapisan dangkal antara kedalaman 150 – 240 m (North Pasific Subtropical Water), massa air bersalinitas minimum 34, 4692 psu antara kedalaman 225 – 395 m (North Pasific Intermediae Water), massa air bersalinitas maksimum 34,6169 psu pada kedalaman ~430 - 4719 m (Antarctic Intermadiate Water). Rata-rata kedalaman (~60 m) dari nilai klorofil-a


(17)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2011, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada tanggal tanggal 13 sampai 27 Oktober 2005 di perairan Laut Jawa sampai Laut Flores, namun data yang digunakan dalam penelitian ini hanya pada Laut Flores. Lokasi survei data yang digunakan pada penelitian ini berada pada posisi koordinat 7° LS sampai 9° LS dan 117° sampai 122° BT (Gambar 6).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data echogram hasil survei yang dilakukan oleh BRPL. Data yang diolah pada penelitian ini berjumlah 60 file. Lokasi pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik Ilmu dan Teknologi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Akustik BRPL Jakarta Utara.

3.2. Desain Survei

Desain survei yang digunakan pada penelitian ini adalah systematic parallel transect (Gambar 7). Tujuannya adalah agar dapat mencakup daerah yang luas yang mewakili perairan yang disurvei dengan waktu yang terbatas. Kedalaman pada survei ini dari permukaan sampai dengan kolom perairan, yaitu 3 – 150 m. Desain survei dibagi menjadi 7 leg (Gambar 6). Leg 1 terletak pada koordinat 7°59’57,12” sampai 8°0,62’ LS dan 117°39,45’ sampai 117°59’57,48” BT. Leg 2 Leg 1 terletak pada koordinat 7°30’ sampai 8°6’51,48´ LS dan


(18)

Sumber: Peta Dishidros


(19)

7°30,08´ LS dan 118°56’38,76” sampai 118°59’38,4” BT. Leg 4 terletak pada koordinat 7°29’58,67” sampai 7°57´52,24 LS dan 118°59’58,2” sampai 119°0.02’ BT. Leg 5 terletak pada koordinat 7°57’55,22” sampai 8°16,14´ LS dan

118°59’57,84” sampai 119°58.2’ BT. Leg 6 terletak pada koordinat 7°46,59’ sampai 8°16,16´ LS dan 119°59’58,92” sampai 120°0.39’ BT. Leg 7 terletak pada koordinat 7°46’58,51 sampai 7°47,08´ LS dan 120°28’49,44” sampai 120°43.21’ BT.

3.3. Instrumen dan Peralatan Penelitian

Perangkat hidroakustik yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah SIMRAD EK60 Scientific Echosounder System. Selama perekaman data akustik, perangkat SIMRAD EK60 Scientific Echosounder System diset sebagai berikut:

Frekuensi : 120 kHz

TVG : 27 dB

Kecepatan suara : 1546,55 m/s Durasi pulsa : 0,512 ms

3.4. Kapal Survei

Kapal yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah Kapal Riset Bawal Putih 188 GT (Lampiran 1).

3.5. Alat Pemrosesan Data

Alat yang digunakan untuk pengolahan data adalah sebagai berikut: 1) Personal Computer (PC) atau Laptop dan Dongle


(20)

(1) Microsoft Office 2007 (2) Microsoft Excell 2007 (3) Software Echoview 4.0 (4) Golden Software Surfer 8.0 (5) Software Matlab R2008b

3.6. Pengolahan Data

Sebaran Sa diolah menggunakan Echoview 4.0. Pada pengolahannya diperlukan proses perekaman data ulang menggunakan perangkat lunak

BI60/ER60 sehingga didapatkan file dalam bentuk *deg. ESDU yang digunakan pada penelitian ini adalah 100 ping, dengan grid kedalaman 1. Data yang diolah berada pada grid kedalaman 6 - 150 m. Pengolahan data dimulai pada grid kedalaman 6 m karena dianggap data yang berada di atas 6 m masih dipengaruhi oleh noise dari kapal dan noise-noise lainnya.

3.6.1.

Progessive threshold dilakukan dengan mengintegrasi pada setiap ESDU dengan menggunakan level threshold maksimum dan minimum tertentu (dalam penelitian ini: threshold maksimum -30 dB dan minimum -90 dB). Kemudian dilakukan integrasi berikutnya pada ESDU yang sama menggunakan threshold yang ditingkatkan dengan jeda 1,5 dB (misal: threshold maksimum -30 dB dan minimum -88,5 dB). Prasetyo (2007) dan Hestirianoto (2008) melakukan integrasi dengan peningkatan jeda 3 dB. Integrasi dilakukan hingga level

threshold minimum dan level threshold maksimum atau tidak ada lagi target pada echogram (nilai Sa-nya sampai -9999). Hasil integrasi dimasukkan kedalam


(21)

tabulasi (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil integrasi per ESDU untuk beragam level threshold

Threshold -90 88.5 -87 -85.5 -84 … -54 -52.5 -51

Sa 211.5844 211.2723 210.7097 209.7425 208.0766 … 114.8421 53.98427 20.79673

Setelah itu hitung laju perubahan nilai (dalam nilai mutlak) untuk setiap

penambahan batas minimum threshold sehingga diperoleh rangkaian nilai seperti dalam Tabel 4.

Tabel 4. Laju pertambahan nilai

Threshold -90 88.5 -87 -85.5 -84 … -54 -52.5 -51

Sa 0 0.31 0.56 0.97 1.67 … 11.92 60.86 33.19

Jika hasil pengkuran pada Tabel 2 diplotkan dalam bentuk grafik, maka akan terlihat kurva yang memiliki beberapa puncak (Gambar 8). Setiap file data dilakukan pengolahan progressive threshold sebanyak 10 ESDU, dari 10 ESDU tersebut diambil nilai-nilai puncak threshold yang sering muncul. Nilai-nilai puncak threshold pada tiap file dibandingkan dengan file-file yang lainnya. Nilai-nilai puncak dari Nilai-nilai threshold semua file yang diolah, dipilih nilai threshold yang frekuensi kemunculannya paling dominan.

Pada penelitian ini puncak threshold yang digunakan untuk melihat sebaran Sa adalah puncak threshold yang memiliki frekuensi kemunculan lebih dari 15 kali (paling dominan). Puncak threshold yang paling dominan tersebut ditambah batas atas dan bawah masing-masing 3 dB, sehingga diperoleh range threshold untuk melihat sebaran Sa.


(22)

Gambar 8. Contoh kurva laju pertambahan nilai Sa beberapa ESDU 0 5 10 15 20

-90 -85.5 -81 -76.5 -72 -67.5 -63 -58.5 -54

L a ju P e n a m b a h a n N il a i S a Threshold 0 5 10 15 20

-90 -85 -80 -75 -70 -65 -60 -55 -50

L a ju P e n a m b a h a n N il a i S a Threshold 0 5 10 15 20

-90 -85.5 -81 -76.5 -72 -67.5 -63 -58.5 -54

L a ju P e n a m b a h a n N il a i S a Threshold 0 5 10 15 20

-90 -85.5 -81 -76.5 -72 -67.5 -63 -58.5 -54

L a ju P e n a m b a h a n N il a i S a Threshold 0 5 10 15 20

-90 -85.5 -81 -76.5 -72 -67.5 -63 -58.5 -54

L a ju P e n a m b a h a n N il a i S a Threshold


(23)

3.6.2 Pengolahan data dengan $ # dan & %

Sebaran kelompok target dilihat dari sebaran nilai backscaterring area-nya (Sa). Nilai Sa diplotkan terhadap lintang dan bujur untuk melihat sebaran

Sasetiap grid kedalaman 1 m dengan mengunakan Golden Software Surfer 8 dan melihat sebaran target setiap leg dengan menggunakan Matlab R2008b. Sebelum diplotkan nilai Sa dikonversi dari satuan mil kedalam satuan meter. Proses pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir pengolahan data

Difilter dengan -9 dB

Kelompok target

Panjang horizontal dan vertikal kelompok target

Threshold yang

sering muncul

Sa (dB), Lintang dan Bujur

Microsoft Excel

Surfer 8 (2D)dan

Matlab (3D)

Sebaran Sa Echogram Echoview Variable Properties ESDU dan Kalibrasi Progressive Thresholding Sa (dB) Laju penambahan nilai

Puncak – puncak nilai Threshold

Raw Data

ER 60


(24)

Kelompok Sa dilihat dengan memfilter data terlebih dahulu sampai -9 dB. Kemudian kelompok Sa dihitung panjang horiziontal dan vertikalnya. Panjang horizontal dilihat dari lintang dan bujur dimana terdapat kelompok Sa, sedangkan panjang vertikal kelompok target dilihat dari kedalaman kelompok Sa tersebut terdeteksi.


(25)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Integrasi file-file data memperlihatkan jumlah kohort atau kelompok yang beragam (Tabel 5), dalam satu file data ada yang memiliki hingga 3 sampai 4 kohort.

Tabel 5. Hasil integrasi pada 60 file data dengan threshold berjenjang

Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu wilayah perairan memiliki karakteristik akustik yang berbeda. Sehingga dalam menentukkan range threshold untuk melihat sebaran Sa di suatu perairan perlu dilakukan pengintegrasian threshold

' Kohort ' Kohort

1 4 -79.5/-73.5/-67.5/-60 31 2 -67.5/-57

2 2 -73.5/-57 32 2 -70.5/-57

3 3 -75/-61.5/-55.5 33 2 -72/-60

4 3 -75/-61.5/-55.5 34 2 -69/-60

5 2 -73.5/-61,5 35 2 -70.5/-60

6 1 -67.5 36 2 -70.5/-54

7 1 -69 37 2 -70.5/-55.5

8 1 -67.5 38 2 -70.5/57

9 1 -67.5 39 2 -70.5/-60

10 1 -69 40 2 -72/-55.5

11 3 -75/-64.5/-60 41 2 -72/-63

12 2 -73.5/-61.5 42 2 -73.5/-60

13 2 -73.5/-55.5 43 2 -70.5/-55.5

14 2 -76.5/-66 44 2 -70.5/-57

15 2 -73.5/-58.5 45 3 -73.5/-61/-55.5

16 2 -72/-57 46 2 -73.5/-60

17 2 -76.5/-60 47 2 -73.5/57

18 2 -73.5/-58.5 48 2 -72/-66

19 2 -73.5/-60 49 2 -75/-60

20 3 -73.5/-61.5 50 2 -70.5/-60

21 3 -72/-70.5 51 4 -73.5/-64.5/-60/-55.5

22 1 -70.5 52 2 -73.5/-60

23 2 -70.5/-57 53 1 -72

24 2 -69/-55.5 54 2 -70.5/-61.5

25 2 -67.5/-55.5 55 1 -73.5

26 2 -73.5/-60 56 1 -58.5

27 1 -60 57 0 -

28 1 -70.5 58 1 -63

29 1 -72 59 1 -63


(26)

terlebih dahulu. Kohor yang lain) ini yang nan Flores. Frekuensi kem 10.

Gambar 10. Grafik f

Berdasarkan gra yang paling dominan (f yaitu 73,5 dB dan -Setelah dilakukan pena akan diperoleh range th sampai -57 dB. Range sebaran Sa di perairan L

Puncak thresho tercover oleh puncak dan bawah. Puncak-pu kurang dari 15 kali tida Flores. 0 4 8 12 16

-79.5 -76.5 -75

F r e k u e n si K e m u n c u la n

. Kohort-kohort yang dominan (sering muncul pada g nantinya akan digunakan untuk melihat sebaran S i kemunculan kohort yang dominan dapat dilihat p

rafik frekuensi kemunculan puncak threshold sem

an grafik di atas dapat dilihat terdapat dua puncak inan (frekuensi kemunculan >15 kali). Kedua punc

-60 dB yang memiliki frekuensi kemunculan se n penambahan batas atas dan bawah masing-masing nge threshold masing -76,5 dB sampai -70,5 dB, d nge threshold tersebut yang akan digunakan unt airan Laut Flores.

shold -70,5 dB yang memiliki nilai kemunculan cak threshold -73,5 dB setelah dilakukan penamba puncak threshold yang memiliki frekuensi kem ali tidak digunakan untuk melihat sebaran Sa di per

-73.5 -72 -70.5 -69 -67.5 -66 -64.5 -63 -61.5 -60 Threshold

pada file-file data baran Sadi Laut lihat pada Gambar

semua file data

uncak threshold a puncak tersebut ulan sebesar 16 kali. masing 3 dB, maka ,5 dB, dan -63 dB

an untuk melihat

nculan 14 kali akan nambahan batas atas si kemunculan di perairan Laut


(27)

4.2. Sebaran Sa ( )

Sebaran Sa di perairan Laut Flores dilihat berdasarkan leg, dimana terdapat 7 leg. Leg 1 sampai leg 4 terletak di perairan NTB dan leg 6 sampai 7 terletak di perairan NTT, sedangkan leg 5 terletak diperbatasan antara perairan NTB dan NTT (Gambar 6).

4.2.1. Sebaran Sa pada -76,5 dB sampai -70,5 dB

Sebaran Sa pada leg 1 dan leg 2 menyebar secara kontinu. Sa banyak tersebar di permukaan perairan dan bagian dasar kolom, namun Sa yang paling banyak tersebar pada dasar kolom perairan. Sebaran Sa pada kedua leg tersebut membentuk suatu pola, pada pertengahan kolom perairan tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 11 dan Gambar 12). Sa tidak ditemukan pada kolom perairan, diduga pada kolom tersebut terdapat internal wave atau pelapisan massa air. Sebaran Sa pada leg 2, pertengahan kolom perairan yang tidak ditemukan adanya Sa kurang lebih berada pada kedalaman 27 – 73 m.


(28)

Gambar 12. Sebaran Sa pada Leg 2

Gambar 13. Sebaran Sa pada Leg 3

Sebaran Sa pada leg 3 dan leg 4 tidak terlalu banyak, terutama pada leg 4 hampir tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 14). Sebaran Sa pada leg 3

masih terlihat adanya Sa yang bergerombol (Gambar 13).


(29)

Gambar 15. Sebaran Sa pada Leg 5

Sebaran pada leg 5, Sa menyebar hampir diseluruh perairan. Hanya terdapat sedikit celah-celah kosong perairan yang tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 15).

Gambar 16. Sebaran Sa pada Leg 6

Sebaran Sa pada leg 6 hanya terlihat gerombolan-gerombolan kecil, yaitu pada bagian dasar kolom. Sa tidak tersebar merata di perairan, pada bagian permukaan terlihat tidak ditemukan adanya Sa (Gambar 16). Sa yang menyebar pada leg 6 adalah Sa yang memiliki nilai besar. Sedangkan pada leg 7 sebaran Sa lebih banyak dari pada leg 6. Pada leg 7 ukuran gerombolan Sa lebih besar dari


(30)

pada leg 6 (Gambar 17).

Gambar 17. Sebaran Sa pada Leg 7

Berdasarkan gambar sebaran Sa setiap leg di atas, Sa banyak tersebar pada leg 1, 2, 3, 5 dan 7. Sebaran Sa pada leg 4 dan 6 hanya sedikit yang ditemukan. Hal ini diduga karena pengaruh dari ARLINDO. Laut Flores

merupakan salah satu perairan Indonesia yang dilintasi oleh ARLINDO, sehingga sebaran target (ikan, zooplankton, dll) di Laut Flores dipengaruhi oleh massa air yang diangkut dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Bersama massa air tersebut juga terangkut massa air bersalinitas maksimum, bahang dan nutrient. Ketiga unsur ini sangat mempengaruhi kelimpahan suatu target, baik ikan, plankton maupun organisme laut lainnya.

Pengambilan data akustik yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober, pada bulan tersebut merupakan musim peralihan dua (MP-II), yaitu pola angin peralihan dari pola angin musim timur bergerak ke musim barat. Pada MP-II ini diduga salinitas di Laut Flores tinggi (Hadikusumah 2009). Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan Indonesia seperti Selat Makassar, Laut Banda, dan beberapa perairan lainnya mengalami upwelling dan


(31)

percampuran massa air lapisan permukaan terc primer perairan bila dib

4.2.2. Sebaran Sa tiap

Sebaran Sa di p 6 - 150 m. Sebaran Say kelipatan 10 m. Hal in Gambar sebaran Sapad 3.

Sebaran Sa pad leg 5 dan sedikit pada l gerombolan Sa (Gamba

Gamba

Nilai Sa pada g banyak terdapat pada w laut Nusa Tenggara Tim perbatasan antara NTB

ssa air yang mengakibatkan terjadinya pengkayaan n an tercampur dan mengakibatkan tingginya produkt

ila dibandingkan dengan musim barat (Hadikusum

tiap grid kedalaman kelipatan 10 m

a di perairan Laut Flores dilihat mulai dari grid ked ran Sayang dibahas dalam bab ini hanya pada grid k . Hal ini dianggap sudah mewakili grid kedalaman y

Sapada grid kedalaman yang lainnya dapat dilihat p

a pada grid kedalaman 10 m Sa bergerombol pada pada leg 7, sedangkan pada leg yang lainnya tidak d Gambar 18).

ambar 18. Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m

ada grid kedalaman 10 m sedikit beragam. Sebara pada wilayah laut Nusa Tenggara Barat (NTB) dari

ara Timur (NTT). Sa juga banyak terdapat pada wi NTB dan NTT.

ayaan nutrient pada roduktivitas

kusumah 2009).

rid kedalaman grid kedalaman man yang lainnya. ilihat pada Lampiran

l pada leg 1, leg 2, tidak ditemukan

10 m

Sebaran Sa lebih ) dari pada wilayah ada wilayah laut


(32)

Gamba

Sebaran Sa pad dibandingkan dengan s dari jumlah nilai Sa pad Sa pada leg 7 terdapat s sebelumnya. Sebaran S banyak dari pada grid k berubah.

Gamba

Sebaran Sa pad dibandingkan dengan g

ambar 19. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m

a pada grid kedalaman 20 m semakin berkurang jik ngan sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m. Hal in Sa pada leg 1 dan leg 2 yang berkurang (Gambar dapat sedikit penambahan Sa dari pada grid kedalam

aran Sa pada grid kedalaman 20 m pada leg 7 sedi grid kedalaman 10 m. Sebaran Sa pada leg 5 terlih

ambar 20. Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m

a pada grid kedalaman 30 m terlihat semakin sedik ngan grid kedalaman sebelumnya, hal ini dapat dili

20 m

ang jika

. Hal ini dapat dilihat ambar 19). Sebaran

edalaman 7 sedikit lebih 5 terlihat tidak

30 m

sedikit jika at dilihat dari


(33)

banyaknya sebaran Sa sebaran Sa pada grid ke dan leg 7), namun seba

Gamba

Sebaran Sa pad Sapada grid kedalaman ditemukan adanya seba leg 7 (Gambar 21).

Gamba

Sebaran Sa pad kedalaman 40 m. Tida

an Sa yang semakin berkurang (Gambar 20). Menu grid kedalaman ini terjadi pada semua leg (leg 1, le n sebaran Sa paling banyak berada pada leg 5.

ambar 21. Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m

a pada grid kedalaman 40 m jauh lebih sedikit dari laman sebelumnya. Bahkan pada leg 1 dan 2 hamp a sebaran Sa. Gerombolan Sa terlihat pada leg 5 da

ambar 22. Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m

a pada grid kedalaman 50 m sama dengan sebaran S . Tidak ditemukan adanya Sa pada leg 2 dan sediki

. Menurunnya g 1, leg 2, leg 5

40 m

it dari pada sebaran hampir tidak eg 5 dan sedikit pada

50 m

baran Sa pada grid sedikit pada


(34)

leg 1. Gerombolan Sa

Gamba

Sebaran Sa pad pada leg 5. Sebaran Sa sedangkan pada leg-leg

Gamba

Sebaran Sa pad ditemukan pada leg 5 ( sedikit sekali target, tet kedalaman 60 m jumla ditemukan adanya Sa p

lan Sa terlihat pada leg 5 dan leg 7 (Gambar 22).

ambar 23. Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m

a pada grid kedalaman 60 m, gerombolan Sa banya ran Sa pada leg 1 dan leg 3 hanya terlihat sedikit se

leg yang lain tidak ditemukan adanya Sa (Gamb

ambar 24. Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m

a pada grid kedalaman 70 m, gerombolan Sa juga b leg 5 (Gambar 24). Pada leg 1, leg 2 dan leg 3 hany get, tetapi jika dibandingkan dengan sebaran Sa pad jumlah Sa pada leg 1 dan leg 3 lebih banyak. Tida

a Sa pada leg-leg yang lain.

60 m

banyak ditemukan ikit sekali target, (Gambar 23).

70 m

juga banyak 3 hanya terlihat Sa pada grid


(35)

Gamba

Sebaran Sa pad leg 5 dan leg 2 (Gamba sedikit target. jumlah S

Gamba

Sebaran Sa pad kedalaman 80 m. Gero (Gambar 26). Sebaran S jika dibandingkan deng

ambar 25. Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m

a pada grid kedalaman 80 m, Sa ditemukan pada p ambar 25). Sebaran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 mlah Sa pada leg 3 lebih banyak dari pada leg 1 da

ambar 26. Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m

a pada grid kedalaman 90 m sama dengan sebaran S . Gerombolan Sa juga banyak ditemukan pada leg 5

baran Sa pada leg 1, leg 3 dan leg 7 terlihat lebih b n dengan sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m.

80 m

pada pada sepanjang n leg 7 hanya terlihat

g 1 dan leg 7.

90 m

baran Sa pada grid a leg 5 dan leg 2 ebih banyak


(36)

Gamba

Sebaran Sa pad kedalaman 90 meter, ya Sa pada grid kedalaman 90 m.

Gamba

Gamba

ambar 27. Sebaran Sapada grid kedalaman 100 m

a pada grid kedalaman 100 m sama seperti sebaran eter, yang berbeda adalah besarnya nilai Sa (Gamba alaman 100 m lebih kecil dari pada nilai Sa pada gr

ambar 28. Sebaran Sa pada grid kedalaman 110 m

ambar 29. Sebaran Sa pada grid kedalaman 120 m 00 m

ebaran Sa pada grid ambar 27). Nilai ada grid kedalaman

110 m


(37)

Gambar

Sebaran Sa pa jika dibandingkan deng leg 1, leg 2, leg 3, leg 5 Sebaran Sa pada leg 3 h dibandingkan dengan s

Gamba

Pada grid kedal leg 1, leg 5 dan leg 7. N pada leg – leg tersebut (

ambar 30. Sebaran Sa pada grid kedalaman 130 m

a pada grid kedalaman 110, 120 dan 130 m terliha n dengan grid kedalaman yang lainnya. Sebaran Sa

, leg 5 dan leg 7 (Gambar 28, Gambar 29 dan Gam leg 3 hanya sedikit dan sebaran Sa pada leg 7 lebih ngan sebaran pada grid kedalaman sebelunya.

ambar 31. Sebaran Sapada grid kedalaman 140 m

kedalaman 140 m sebaran Sa hanya ditemukan pad eg 7. Namun hanya sedikit sekali ditemukan Sa rsebut (Gambar 31).

30 m

terlihat lebih padat ran Sa terdapat pada n Gambar 30).

lebih banyak jika

40 m


(38)

Gambar

Pada grid kedal Berdasarkan gambar-6 – 30 m dan 70 – 130 m dan 140 m dan pada gr

4.2.3. Sebaran Sa pad

Nilai Sa pada range threshold -76,5 d dikonversi dari satuan m tidak dilakukan pengep

4.3. Kelompok Sa

Kelompok Sa d sampai -57 dB. Pada bersifat kontinu (Gamb kelompok Sa. Kelomp kecuali leg 7. Pada leg kelompok.

ambar 32. Sebaran Sa pada grid kedalaman 150 m

kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa (Gambar 32 -gambar diatas, sebaran Sa banyak menyebar da 130 m. Sebaran Sa berkurang pada grid kedalam ada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sam

Sa pada -63 dB sampai -57

ada range threshold -63 dB sampai -57 dB tidak se 76,5 dB sampai -70,5 dB. Sa pada range threshold atuan mil ke satuan meter hasilnya semua nol. Seh

engeplotan data.

k Sa di perairan Laut Flores terlihat pada range thr . Pada range threshold -76,5 dB samapi -70,5 dB seb

(Gambar 9 – Gambar 15), sehingga tidak ditemukan elompok Sa di perairan Laut Flores ditemukan pad

da leg 7 Sa yang terekam bersifat kontinu dan tidak 50 m

bar 32).

ebar dari kedalaman dalaman 40 – 70 m a sama sekali.

idak sebanyak pada hold ini saat l. Sehingga

threshold -63 dB dB sebaran data

mukan adanya an pada semua leg n tidak membentuk


(39)

Kelompok Sa banyak ditemukan pada leg 1, leg 3, leg 4 dan leg 6, berturut-turut 9, 11, 7, dan 5 kelompok target. Pada leg 2 dan leg 5, hanya ditemukan 1 kelompok target, pada leg tersebut data banyak bersifat kontinu dari pada membentuk kelompok. Pada umumnya panjang horizontal kelompok Sa lebih panjang dari pada panjang vertikalnya. Panjang horizontal kelompok Saberkisar antara 309 - 5243 m, dan panjang vertikal Saberkisar antara 3 – 40 m. Tabel 6. Panjang horizontal dan vertikal kelompok Sa setiap leg

Leg Kelompok Horizontal

(m) Panjang Esdu (m) Persentase (℅) Vertikal (m)

1 1 1349 74 1821 9

2 1373 1854 5

3 1040 1403 6

4 1117 1507 5

5 1057 1427 9

6 762 1029 10

7 668 901 6

8 1255 1695 30

9 866 1169 7

2 1 1890 94 2001 34

3 1 2621 74 3538 9

2 1250 1688 10

3 1414 1909 9

4 4905 6621 13

5 1293 1746 4

6 1874 2530 6

7 220 297 3

8 1678 2265 6

9 2031 2741 18

10 3777 5099 18

11 2927 3951 9

4 1 3033 93 3276 40

2 503 543 7

3 1242 1341 12

4 309 333 23

5 1585 1712 9

6 540 583 4

7 2753 2973 6

5 1 5243 59 8952 17

6 1 2284 76 2991 7

2 2448 3206 6

3 493 646 4

4 1189 1557 13

5 2209 2893 5


(40)

ditemukan pada leg 5, yaitu sebesar 59 m. Jika panjang horizontal Sa

dibandingkan dengan panjang ESDU maka diperoleh kisaran persentase antara 293 – 8952 ℅. Kisaran persentase 293 – 8952 ℅ diartikan bahwa panjang horizontal Sa yang ditemukan pada setiap leg memiliki panjang 293 – 8952 kali lebih besar dari panjang ESDU. Persentase terendah berada pada leg 3,

sedangkan persentase tertinggi berada pada leg 5.

Secara horizontal kelompok Sa terpanjang ditemukan pada leg 5 dan terpendek ditemukan pada leg 4 kelompok ke-4. Secara vertikal kelompok Saterpanjang ditemukan pada leg 4 kelompok ke-1 dan terpendek pada leg 3 kelompok ke-7 (Tabel 6).

Mengutip dari pernyataan Steel (1976) in Lytle dan Maxwell (1983) bahwa densitas zooplankton umumnya terdistribusi tidak homogen atau dikatakan sebagai bagian-bagian yang terpisah, maka Sa yang terdeteksi di perairan Laut Flores diduga sebagai nilai Sa dari zooplankton (krill). Kelompok Sa yang ditemukan di perairan Laut Flores ini dianggap sebagai bagian-bagian dari distribusi zooplankton yang terpisah.

Selain itu jika dilihat dari sebaran nilai Sv(Backscettering volume strength) yang diperoleh yaitu berkisar antara -81 dB sampai -63 dB, namun Sv yang paling banyak berkisar antara -81 dB sampai -71 dB (Gambar 33).

Mengutip dari hasil penelitian Duror (2004) menyebutkan bahwa kisaran nilai backscattering volume zooplankton (krill) pada kedalaman 5 - 200 m untuk frekuensi 120 kHz berkisar antara-92,75 dB sampai -73,49 dB, sementara untuk frekuensi 38 kHz antara-86,75 dB sampai dengan -62,64 dB. Penelitian ini menggunakan frekuensi 120 kHz. Kisaran Svyang diperoleh pada penelitian ini


(41)

masuk dalam kisaran Svkrill pada penelitian Duron (2004), sehingga dapat disimpulkan Sayang terdeteksi pada range threshold -63 dB sampai -57 dB adalah krill.

Gambar 33. Grafik sebaran Sv keseluruhan di perairan Laut Flores (leg 1 – leg 7) depth 6 – 150 m.

0 500 1000 1500 -81 -80 -79 -78 -77 -76 -75 -74 -73 -72 -71 -70 -69 -68 -67 -66 -65 -64 -63 F re k u en si K ej ad ian Sv (dB)


(42)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil integrasi thresholding data akustik di perairan Laut Flores terdapat 3 pucak nilai threshold, yaitu yaitu -73,5 dB dan -60 dB.

Sehingga rangethreshold yang digunakan untuk melihat sebaran Saadalah -76,5 dB sampai -70,5 dB dan -63 dB sampai -57 dB.

Rangethreshold 76,5 dB sampai -70,5 dB hanya digunakan untuk melihat sebaran Sa saja karena pola sebaran dari Sa pada range threshold ini tidak

menggambarkan pola sebaran suatu individu perairan, baik plankton maupun ikan. Sebaran Sa di perairan NTB lebih banyak jika dibandingkan dengan sebaran Sa di perairan NTT. Sebaran Sa banyak menyebar pada leg 1, 2, 3, 5 dan 7. Pada leg 4 dan 6 jarang terlihat sebaran Sa. Berdasarkan grid kedalaman, sebaran Sa banyak menyebar dari kedalaman 6 – 30 m dan 80 – 130 m. Pada grid kedalaman 40 – 70 m dan 140 m sebaran Sa mulai berkurang dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali.

Sebaran Sa pada range threshold -63 dB sampai -57 dB diduga adalah krill. Hal ini dlihat dari distribusinya yang terpisah-pisah dan sebaran nilai volume backscattering strength yang berkisar antara -81 dB sampai -63 dB. Sebaran Sa pada range threshold -63 dB sampai -57 dB membentuk kelompok target. Kelompok Sa paling banyak ditemukan pada leg 1, leg 3, leg 4 dan leg 6, berturut-turut 9, 11, 7, dan 5 kelompok target. Pada leg 2 dan leg 5, hanya

ditemukan 1 kelompok Sa. Pada umumnya panjang horizontal kelompok Sa lebih panjang dari pada panjang vertikalnya. Panjang horizontal kelompok Sa berkisar antara 309 - 5243 m, dan panjang vertikal Saberkisar antara 3 – 40 m. Kisaran


(43)

perbandingan antara panjang horizontal Sa dengan panjang ESDU adalah 293 – 8952 ℅. Artinya bahwa panjang horizontal Sa yang ditemukan pada setiap leg memiliki panjang 293 – 8952 kali lebih besar dari panjang ESDU.

5.2. Saran

1) Melakukan ground check dan sampling biota dengan menangkap Sa(ikan atau palnkton) yang terdeteksi dengan echosounder dan membandingkan dengan data biota secara in situ.

2) Perlu adanya analisis data oseanografi pada lokasi penelitian seperti arus, suhu dan salinitas untuk mendukung hasil penelitian.


(44)

SITI KOMARIYAH

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(45)

Flores Berdasarkan Metode . Dibimbing oleh TOTOK HESTIRIANOTO.

Metode multi target dapat digunakan untuk usaha peningkatan akurasi pendugaan target di suatu perairan. Hal ini diyakini karena target (baik ikan maupun plankton) di perairan cenderung akan membentuk kelompok sesuai jenisnya. Integrasi data hidroakustik dengan menggunakan progressive threshold mampu mengungkapkan kelompok target didalam satu satuan integrasi

hidroakustik atau ESDU (Hestirianoto 2008).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menduga sebaran dan mengetahui kelompok Sa di Laut Flores. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data echogram hasil survei yang dilakukan oleh BRPL (Balai Riset Perikanan Laut). Pengambilan data dilakukan pada tanggal 13 sampai 27 Oktober 2005 di Laut Jawa hingga Laut Flores, sedangkan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2011. Data yang diolah hanya pada wilayah Laut Flores. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan Laboratorium Akustik BRPL, Jakarta Utara. Data diolah menggunakan Echoview 4.0, Matlab dan Golden Software Surfer.

Berdasarkan hasil integrasi threshold data akustik di perairan Laut Flores terdapat 2 pucak nilai threshold yang paling dominan, yaitu yaitu -73,5 dB dan -60 dB. Sehingga rangethreshold yang digunakan untuk melihat sebaran Sa adalah -76,5 dB sampai -70,5 dB dan -63 dB sampai -57 dB. Sebaran Sa dilihat berdasarkan leg, sebaran Sa banyak menyebar pada leg 1, 2, 3, 5 dan 7. Pada leg 4 dan 6 jarang terlihat sebaran Sa. Berdasarkan grid kedalaman, sebaran Sa banyak menyebar dari kedalaman 6 – 30 m dan 80 – 130 m. Pada grid kedalaman 40 – 70 m dan 140 m sebaran Sa mulai berkurang dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali.

Kelompok Sa paling banyak ditemukan pada leg 1, leg 3, leg 4 dan leg 6, berturut-turut 9, 11, 7, dan 5 kelompok Sa. Pada leg 2 dan leg 5, hanya ditemukan 1 kelompok Sa. Pada umumnya panjang horizontal kelompok Sa lebih panjang dari pada panjang vertikalnya. Panjang horizontal kelompok Sa berkisar antara 309 - 5243 m, dan panjang vertikal Sa berkisar antara 3 – 40 m. Kisaran perbandingan antara panjang horizontal Sa dengan panjang ESDU adalah 293 – 8952 ℅. Artinya bahwa panjang horizontal Sa yang ditemukan pada setiap leg memiliki panjang 293 – 8952 kali lebih besar dari panjang ESDU.


(46)

SITI KOMARIYAH

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(47)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PENENTUAN SEBARAN Sa (

) DI LAUT

FLORES BERDASARKAN METODE

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, November 2011

SITI KOMARIYAH C54070003


(48)

© Hak cipta milik Siti Komariyah, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(49)

Judul Skripsi : PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE

PROGRESSIVE THRESHOLD Nama Mahasiswa : Siti Komariyah

Nomor Pokok : C5407003

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc. NIP. 19620324 1986603 1 001

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 2 003


(50)

Skripsi ini berjudul “PenentuanSebaran Sa (Backscatteting Area) di Laut Flores Berdasarkan Metode Progerssive Threshold”. Penulis mengambil judul ini karena ingin mengetahui sebaran Sa yang terdapat di Laut Flores. Data yang Penulis gunakan berupa data sekunder yang diambil pada tahun 2005 oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Data tersebut diolah menggunakan Echoview yang nantinya akan diperoleh informasi berupa sebaran dan kelompok Sa di Laut Flores.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar sarjana bidang kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak dalam

penyusunannya. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada para Dosen, terutama Dosen Pembimbing dan Dosen lainnya yang

bersedia melayani Penulis dalam diskusi. Kepada pihak BRPL yang mengizinkan Penulis menggunakan data serta sarana dan prasarana di BRPL sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada semua teman-teman atas kebersamaanya selama ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi Penulis pribadi dan pembaca.

Bogor, November 2011 Siti Komariyah


(51)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Metode Hidroakustik ... 3 2.1.1. Prinsip kerja metode hidroakustik ... 3 2.1.2 Split beam system ... 4 2.2. Progressive threshold ... 5 2.3. Area Backscattering Coefficients (Sa) ... 7 2.4. Volume Backscattering Strength (Sv) ... 8 2.5. Target Strength ... 9

2.6. Zooplankton ... 12 2.7.Ikan pelagis ... 13 2.8. Kondisi Umum Laut Flores ... 14 2.9. ARLINDO di Laut Flores ... 14

3. BAHAN DAN METODE ... 17

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17 3.2. Desain Survei ... 17 3.3. Instrumen dan Peralatan Penelitian ... 19 3.4. Kapal Survei ... 19 3.5. Alat Pemrosesan Data ... 19 3.6. Pengolahan Data ... 20 3.6.1. Progressive threshold ... 20 3.6.2. Pengolahan data dengan Surfer dan Matlab ... 23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Integrasi Threshold ... 25 4.2. Sebaran Sa (Backscattering Area) ... 27

4.2.1. Sebaran Sa pada range threshold -76,5 dB sampai -70,5

dB ... 27 4.2.2. Sebaran Sa tiap grid kedalaman kelipatan 10 m ... 31 4.2.3. Sebaran Sa pada range threshold -63 dB sampai -57 dB 38 4.3. Kelompok Sa ... 38


(52)

5.1. Kesimpulan ... 42 5.2. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44 LAMPIRAN ... 46


(53)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Target strength isada krill berdasarkan beberapa frekuensi ... 11 2. Ukuran dan nilai TS beberapa jenis zooplankton berdasarkan pada frekuensi

200 kHz ... 11 3. Hasil integrasi per ESDU untuk beragam level threshold ... 21 4. Laju pertambahan nilai ... 21 5. Hasil integrasi pada 50 file data dengan threshold berjenjang ... 25 6. Panjang horizontal dan vertikal kelompok Sa setiap leg ... 39


(54)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Prinsip kerja metode hidroakustik ... 4 2. Bentuk split beam dan fullbeam transduser ... 5 3. Fungsi integrator threshold pada tiga ukuran target yang berbeda ... 6 4. Diagram untuk menurunkan ekspresi untuk target strength ... 10 5. Grafik target strength krill ... 11 6. Arus Lintas Indonesia ... 15 7. Peta lokasi penelitian dan tracksounding ... 18 8. Contoh kurva laju pertambahan nilai Sa beberapa ESDU ... 22 9. Diagram alir pengolahan data ... 23 10. Grafik frekuensi kemunculan puncak threshold semua file data ... 26 11. Sebaran Sa pada Leg 1 ... 27 12. Sebaran Sa pada Leg 2 ... 28 13. Sebaran Sa pada Leg 3 ... 28 14. Sebaran Sa pada Leg 4 ... 28 15. Sebaran Sa pada Leg 5 ... 29 16. Sebaran Sa pada Leg 6 ... 29 17. Sebaran Sa pada Leg 7 ... 30 18. Sebaran Sa pada grid kedalaman 10 m ... 31 19. Sebaran Sa pada grid kedalaman 20 m ... 32 20. Sebaran Sa pada grid kedalaman 30 m ... 32 21. Sebaran Sa pada grid kedalaman 40 m ... 33 22. Sebaran Sa pada grid kedalaman 50 m ... 33


(55)

23. Sebaran Sa pada grid kedalaman 60 m ... 34 24. Sebaran Sa pada grid kedalaman 70 m ... 34 25. Sebaran Sa pada grid kedalaman 80 m ... 35 26. Sebaran Sa pada grid kedalaman 90 m ... 35 27. Sebaran Sa pada grid kedalaman 100 m ... 36 28. Sebaran Sa pada grid kedalaman 110 m ... 36 29. Sebaran Sa pada grid kedalaman 120 m ... 36 30. Sebaran Sa pada grid kedalaman 130 m ... 37 31. Sebaran Sa pada grid kedalaman 140 m ... 37 32. Sebaran Sa pada grid kedalaman 150 m ... 38 33. Grafik sebaran Svkeseluruhan di perairan Laut Flores (leg 1 – leg 7) depth 6 –


(56)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Gambar dan spesifikasi kapal riset Bawal Putih Spesifikasi kapal riset Bawal Putih …. .... ... 47 2. Contoh Data Sa hasil eksport dongle pada grid kedalaman 7 – 20 m ... 48 3. Sebaran Sa setiap 1 grid kedalaman (6 – 150 m) ... 52 4. Contoh perhitungan ... 64


(57)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Perairan laut merupakan habitat alam yang sangat kaya, di dalamnya terdapat berbagai jenis biota yang mendukung kehidupan manusia. Biota-biota tersebut misalnya adalah plankton, ikan dan lain sebagainya.

Metode hidroakustik dapat digunakan untuk menduga target yang terdapat di perairan laut, misalnya pendugaan sebaran plankton, ikan dan lain sebagainya. Metode hidroakustik dapat menduga sebaran target secara efektif dan real time. Menurut Thorne at al. (1987) in Wijopriono et al. (2001) beberapa keunggulan komparatif pendugaan sebaran ikan dengan metode hidroakustik adalah estimasi stock dapat dilakukan secara langsung, memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi, pendugaan terhadap daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat, pemrosesan data dapat dilakukan secara in-situ dan real time. Selain itu, pada metode ini menggunakan gelombang suara sehigga tidak berbahaya bagi kelestarian sumberdaya dan lingkungan.

Integrasi data hidroakustik saat ini hanya menggunakan suatu metode, yaitu untuk semua wilayah dan waktu studi hanya menggunakan level threshold maksimum dan minimum yang tetap (fixed threshold level) (Hestirianoto 2008). Padahal kita ketahui bahwa pada suatu perairan belum tentu memiliki

karakteristik yang sama. Metode multi target dapat digunakan untuk usaha peningkatan akurasi pendugaan target di suatu perairan. Hal ini diyakini karena target di perairan cenderung akan membentuk kelompok sesuai jenisnya. Integrasi hidroakustik dengan menggunakan progressive threshold mampu


(58)

mengungkapkan kelompok target didalam satu satuan integrasi hidroakustik atau ESDU (Hestirianoto 2008).

Potensi sumberdaya laut di perairan Laut Flores cukup tinggi, terutama ikan pelagis kecil. Menurut Mallawa (2008) potensi ikan pelagis kecil di perairan Selat Makasar dan Laut Flores sekitar 65,12% dari perkiraan potensi yang ada. Pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Laut Flores terutama ikan pelagis belum banyak digali (under exploited), pemanfaatan ikan pelagis kecil masih dibawah 50% (Mallawa 2006). Hal ini diduga karena belum banyaknya informasi terkait sebaran ikan perairan Laut Flores.

Penelitian yang telah dilakukan terkait dengan progressive thresholding adalah membedakanlarva insek (Chaoborus sp.) dengan juvenil ikan (Eckmann 1998), melihat sebaran spasio temporal volumebackscetteing strength (Sv) ikan demersal menggunakan metode progressive thresholding (Prasetyo 2007)dan melihat kelimpahan ikan di pantai sumur Pandeglang dengan metode

progressive thresholding (Hestirianoto 2008).

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian adalah

1) Melihat sebaran Sa di perairan Laut Flores dengan menggunakan metode progressive thresholding.


(59)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Metode Hidroakustik

2.1.1. Prinsip Kerja Metode Hidroakustik

Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini mediumnya adalah air. Data hidroakustik merupakan data hasil estimasi echocounting dan echo integration melalui proses pendeteksian bawah air, sehingga dalam akustik proses

pembentukan gelombang suara dan sifat-sifat perambatannya dibatasi oleh air. Berdasarkan pemancaran gelombang suara, sistem akustik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu echosounder (sistem pancar vertikal) dan sonar (sistem pancar horizontal) (Burczynsky 1982).

Proses pendeteksian bawah air adalah sebagai berikut:

1) Transmitter menghasilkan listrik dengan frekuensi tertentu, kemudian disalurkan ke transduser.

2) Transduser akan mengubah energi listrik menjadi suara, kemudian suara tersebut dalam berbentuk pulsa suara dipancarkan dengan satuan ping. 3) Suara yang dipancarkan tersebut akan mengenai objek, kemudian suara itu

akan dipantulkan kembali oleh obyek dalam bentuk echo dan kemudian diterima kembali oleh tranduser.

4) Echo yang diperoleh tersebut diubah kembali menjadi energi listrik di transduser kemudian diteruskan ke receiver.

5) Pemrosesan sinyal echo dengan menggunakan metode echo integration. Echo yang diperoleh dapat mengestimasi beberapa data antara lain target


(60)

strength, scatteringvolume, densitas ikan, batimetri, panjang ikan, lapisan dasar perairan dan dapat diaplikasikan untuk kegiatan lainnya.

Prinsip kerja metode hidroakustik menggunakan echosounder dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Prinsip kerja metode hidroakustik (MacLennan dan Simmonds 2005).

2.1.2. !

Split Beam System menggunakan receiving transducer yang dibagi dalam empat kuadran, yaitu fore, alf, port dan starboard transducer. Transmisi pulsa dilakukan oleh semua bagian transducer secara bersamaan. Proses penerimaan echo, jika nilai target yang terdeteksi terletak tepat pada pusat dari beam suara maka echo dari target akan dikembalikan dan diterima ke empat transduser secara bersamaan. Proses ini tidak berlaku jika nilai target yang terdeteksi tidak tepat pada pusat beam suara, maka echo yang kembali akan diterima terlebih dahulu oleh bagian transducer yang paling dekat.


(61)

Keempat kuadran transducer diberi label a sampai d. Sudut θ pada satu bidang diperoleh dari penjumlahan sinyal (a+c) dibandingkan dengan jumlah sinyal (b+d). Sedangkan sudut φ diperoleh dari beda fase antara (a+b) dan (c+d). Kedua sudut tersebut dapat membedakan arah target terhadap sumbu pusat dari pusat beam. Ilustrasi ini terlihat pada Gambar 2 (MacLennan dan Simmonds 2005).

Gambar 2. Bentuk split beam dan fullbeam transduser (MacLennan dan Simmonds 2005).

2.2.

Threshold merupakan suatu ambang nilai yang berfungsi untuk membatasi atau menapis pantulan suara yang terekam pada echogram. Progressive threshold mirip dengan proses penyaringan, yaitu menyaring nilai nilai-nilai yang ingin ditampilkan. Penggunaan beberapa threshold juga berfungsi untuk

menghilangkan reverberasi atau unwanted target. Jika ingin melihat ikan, maka yang termasuk reverberasi adalah plankton dan pertikel-partikel yang harus dihilangkan.


(62)

Menurut Ekcmann (1998) thresholding biasanya digunakan untuk menghilangkan kontribusi yang tidak diinginkan seperti noise pada integrator output. Sejak thresholding mendiskriminasikan target kecil, teknik ini tidak dapat digunakan untuk studi kuantitatif dari target kecil dalam cakupan yang lebih besar. Sehingga Ecmann melakukan pengalokasian untuk melihat kelimpahan target yang kecil. Ketika Sa diplotkan terhadap integrator threshold maka akan terlihat sebuah fungsi asymptotic Bertalanffy (Gambar 3). Jika kemiringan dari kurva yang dihasilkan menurun pada beberapa intermediate threshold level dan kemudian naik kembali sebelum dataran tinggi akhir tercapai, maka integrator output dapat dialokasikan untuk dua kelompok target sesuai dengan prinsip linearitas pada akustik. Nilai Sa maksimum untuk target yang lebih besar dan nilai Sa minimum utuk target yang lebih kecil (Ekcmann 1989).

Gambar 3. Fungsi integrator threshold pada tiga ukuran target yang berbeda (Ekcmann 1998).


(63)

2.3. " ## (Sa)

Area Backscattering Coefficients (Sa) adalah ukuran energi yang dikembalikan dari lapisan antara dua kedalaman pada kolom perairan

(MacLennan dan Simmonds 1992). Sa didefinisikan sebagai integral dari Sv yang dihubungkan dengan kedalaman yang melewati lapisan. Sa merupakan parameter penting dalam akustik perikanan karena sebagian besar dari echo-integrators menyediakan data integrasi dengan satu atau lebih lapisan, karena Sa adalah hasil dari Sv dan jarak, maka Sa tidak berdimensi. Hal ini yang membuat Sa sulit untuk memperlihatkan nilai numerik dengan jelas saat faktor skala yang berbeda diterapkan. Satuan Internasional (SI) unit dasar untuk Sa harus ditulis sebagai (m2/m2) yang berarti integrasi σbs per meter kuadrat dari lapisan permukaan. Banyak versi dari Sa yang biasa digunakan, khususnya Nautical Area Scattering Coefficient (NASC) untuk simbol Sa. Walaupun Sa tidak berdimensi, sangat penting sekali untuk menunjukkan skala saat mengutip nilai numeric (McLennan dan Simmonds 2005).

Area Backscattering Coefficient (ABC) dan Nautical Area Scattering Coefficient (NASC) adalah nilai scattering area pada scattering volume. Keduanya dihitung ketika mengintegrasikan suatu region, cell atau selection dan tersedia untuk eksport sebagai variabel analisis ketika diintegrasikan oleh region atau cell. NASC identik dengan sA seperti yang digunakan

oleh Simrad dan Area Backscattering Coefficient (ABC) diskalakan dengan 4π dan 1 mil laut persegi (MacLennan et al. 2002).

ABC (m2/m2) dihitung sebagai berikut:


(64)

- ……….. (1) dimana Sv : Rata-rata volume backscattering strength dari domain

yang terintegrasi (dB re 1 m2/m3).

T : Rata-rata ketebalan dari domain yang terintegrasi (m) NASC (m2/nmi2) dihitung sebagai berikut:

! "#$%

! "#$%

! "#$% ………..…… (2) dimana 4π : Steradians dalam bola mengkonversi backscattering cross-section menjadi scattering cross-section.

1852 : Meter per mil laut (m/nmi)

Sv : Volume hamburan balik kekuatan rata-rata dari domain yang terintegrasi (dB re1 m2/m3).

T : Rata-rata ketebalan dari domain yang terintegrasi. ABC : Luas hamburan balik Koefisien (m2/m2).

2.4. $ % (Sv)

Volume backscattering strength (Sv) dalam bentuk linier diperlihatkan padapersamaan berikut :

Sv = n.Ts ……… (3)

dimana : Sv : Nilai linier dari backscttering volume n : Densitas

Ts : Target strength.


(65)

ping menggambarkan densitas dari kawanan ikan yang sebenarnya. Namun, untuk beberapa kawanan ikan yang berada dalam satu lintasan survei yang di kenai pancaran beam, Svyang diperoleh tidak selalu menggambarkan secara langsung densitas beberapa kawanan ikan tersebut. Hal ini disebabkan karena didalam beam terdapat ruang kosong (tidak terdapat kawanan ikan) untuk menggambarkan kawanan besar ikan. Akibat ketidakmenentuan ini, Svyang diperoleh setiap 1 ping sering disebut juga backscattering volume mentah (raw Sv) (Kang et al. 2002).

Permasalahan ini dapat dikurangi dengan metode integrasi echo dimana setiap Sv beberapa kawanan ikan dirata-ratakan untuk mendapatkan mean volume backscattering strength (MVBS) atau rata-rata Sv. MVBS akan menggambarkan densitas rata-rata kawanan ikan dari beberapa kawanan besar ikan dalam bentuk integrasi sel (Kang et al. 2002).

2.5.

Target strength (TS) merupakan faktor penting dalam pendugaan stok ikan dengan metode akustik. Menurut Kinsler et al. (2000) ketika sebuah

gelombang akustik mengenai sebuah target dengan intensitas I (r), maka akan berhamburan ke segala arah, sebagian akan di kirim ke receiver. Sejauh receiver yang bersangkutan, target yang telah dihasilkan (walaupun oleh refleksi) oleh sinyal akustik dengan sumber kekuatan yang oleh ekstrapolasi sinyal yang tersebar kembali dengan jarak r' = 1 m dari pusat target akustik (Gambar 4).

Target strength suatu objek ditentukan terutama oleh ukuran, bentuk, konstruksi, orientasi yang berkaitan dengan sumber dan penerima, serta frekuensi incident sound (Kinsler et al. 2000).


(66)

Gambar 4. Diagram untuk menurunkan ekspresi untuk target strength

TS didefinisikan sebagai rasio antara intensitas gelombang yang mengenai target (Ii ) dan intensitas gelombang yang dihamburbalikkan (Ir) pada jarak 1 meter (Sawada et al. 1999). TS dapat diformulasikan menjadi persamaan:

Ti = Ir / Ii , r = 1 m ... (4)

dimana TSi : Intensitas target strength (dB)

I r : Intensitas suara yang dipantulkan diukur pada jarak 1 meter dari target.

I i : Intensitas suara yang dipancarkan mengenai target Menurut MacLennan dan Simmonds (2005) TS merupakan backscattering cross-section dari target yang mengembalikan sinyal dan diformulasikan dalam

persamaan:

TS = 10 log10(σbs)

= 10 log ( σps / 4π ) ... ... (5)

Setiap target yang dikenai sinyal akustik akan memberikan hamburan yang berbeda-beda, sehingga nilai TSnya juga berbeda. Menurut Mitson (1983) nilai


(67)

target strength dipengaruhi oleh ukuran, struktur dan anatomi, serta bentuk tubuh. Tabel 1 dan 2 serta Gambar 5 merupakan nilai target strength krill dari

beberapa para penelitian.

Tabel 1. Target strength isada krill berdasarkan beberapa frekuensi.

Frequensi TSmax

(dB)

TShovering (dB)

TStotal (dB)

50 kHz -88,6 -96,4 -93,6

120 kHz -74,7 -89,5 -83,3

200 kHz -68,4 -88,5 -79,2

Sumber: Miyashita et al. (1998).

Tabel 2. Ukuran dan nilai TS beberapa jenis zooplankton berdasarkan pada frekuensi 200 kHz

Spesies name L (mm) TS (dB) Ka

Neocolamus cristatus 7,0 -75,0 0,49

Neomysis kadiakensis 18,5 -77,1 0,61

Heptacarpus stylus 20,2 -80,7 0,96

Cragon alba 15,1 -60,4 0,85

Sumber: Demer dan Martin (1995).


(68)

Berdasarkan penelitian Arnaya (2005) di Samudra Hindia khususnya di perairan Jawa, Bali dan Lombok, nilai target strength ikan pelagis berkisar antara -57 dB sampai -34 dB. Nilai target strength ikan pelagis di perairan Selat Sunda berkisar antara -50 dB sampai -32 dB (Moniharapon 2009).

2.6. Zooplankton

Zooplankton merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan produksi primer yang dihasilkan fitoplankton. Peranan zooplankton sebagai mata rantai antara produsen primer dengan karnivora besar dan kecil dapat mempengaruhi kompleksitas rantai makanan dalam ekosistem perairan. Zooplankton seperti halnya organisme lain hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kondisi perairan yang sesuai seperti perairan laut.

Dominansi zooplankton digolongkan menjadi 2, yaitu mikro zooplankton (40 – 200 µm) dan makro zooplankton (lebih dari 200 µm). Contoh mikro zooplankton adalah naupalus dan rotifer sedangkan contoh makro zooplankton adalah cladocera dan copepod. Cladocera mendominasi hampir 60% dari total zooplankton (Hwang dan Health 1999).

Caleonoid copepod dan euphausid (krill) secara umum mendominasi produksi sekunder perairan laut di dunia (Martin 1998). Menurut Steel (1976) in Lytle dan Maxwell (1983) densitas numerik zooplankton umumnya terdistribusi tidak homogen dalam mediumnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Akibat tidak homogennya distribusi zooplankton inilah secara umum dikatakan sebagai bagian-bagian yang terpisah.

Biomassa krill sebagian besar terkonsentrasi di atas 150 m. Miller dan Hampton (1989) in Hewittdan Demer (1996) memperkirakan bahwa 40%


(69)

mungkin terkonsentrasi di 5 m teratas di malam hari.

2.7. Ikan Pelagis

Ikan pelagis adalah organisme yang mampu berenang melawan arus di perairan terbuka. Pada umumnya ikan ini hidup bergerombol. Densitas ikan pelagis dekat permukaan lebih besar daripada di perairan yang lebih dalam, kecuali pada daerah yang kaya zat hara akibat upwelling (Amin at al 1989).

Sebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh lingkungan, ikan ini suka hidup di daerah yang masih mendapat sinar matahari (daerah eufotik) dengan kisaran suhu antara 28 oC – 30 oC. Jika intensitas cahaya tinggi (siang hari), ikan turun sampai kedalaman 12 – 22 m. Namun pada malam hari ikan menyebar merata di kolom air (Laevastu dan Hayes 1981).

Ikan pelagis dibagi dalam dua kelompok, yaitu ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Jenis ikan pelagis besar yang terdapat di perairan Indonesia antara lain: mandidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), ikan pedang (Xipias gladius), ikan layaran (Istiophorus platyterus), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), dan lain-lain. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya neritik yang penyebarannya terutama di perairan dekat pantai, didaerah terjadinya proses upwelling dan poorly behaved karena makanan utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar sehingga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpa di perairan Indonesia. Penyebaran ikan pelagis kecil meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia, namun dominasi ikan pelagis tertentu pada perairan tertentu


(70)

dapat terjadi (Mallawa 2006).

2.8. Kondisi Umum Laut Flores

Laut Flores adalah laut yang terdapat di sebelah utara Pulau Flores. Laut ini juga menjadi batas alami antara Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelah utara Laut Flores terdapat gugusan pulau-pulau kecil, diantaranya Kepulau-pulauan Bonerate dan Pulau Kalaotoa. Laut Flores memiliki kedalaman hingga 5.123 m. Laut Flores mencakup 93.000 mil persegi (240.000 km²) air di Indonesia. Potensi sumberdaya ikan di perairan Laut Flores cukup tinggi dan didominasi oleh potensi ikan pelagis kecil yaitu sekitar 65,12% dari perkiraan potensi yang ada (Mallawa 2006).

Menurut Ilahude (1996) suhu permukaan Laut Flores saat MT (musim timur) di bawah 28°C, yaitu berkisar antara 26,8 – 27,5°C. Smax Laut Flores berkisar antara 34,6 – 34,66 psu pada kedalaman 80 – 150 m (Ilahude dan Gordon 1996).

2.9. ARLINDO di Laut Flores

ARLINDO telah diketahui mengangkut massa dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati laut dan selat-selat peraira Indonesia (Gambar 6), bersama massa air tersebut terangkut pula massa air bersalinitas maksimum, bahang dan nutrient. Di laut angin musim mempengaruhi muka laut sehingga menghasilkan arus permukaan yang disebut Arus Musom Indonesia

(ARMONDO). Massa air bersalinitas rendah saat musim barat dari Laut Jawa akan merambat ke arah timur sampai Laut Flores, sebaliknya massa air


(71)

1988 in Hadikusumah 2009), Laut Flores merambat sampai ke Laut Jawa. Di Laut Jawa stratifikasi massa air parameter suhu dingin dan salinitas tinggi saat musim peraliha dua (MP-II) di poros tengah Laut Jawa hampir homogen dan ini diduga kuat salinitas besar dari Laut Flores. Dalam musin barat (MB) massa air melewati Laut Flores akan tersebar ke arah timur sampai Laut Banda.

Bulan Mei 2005 di Laut Flores sudah menunjukkan musim peralihan satu (MP-I), yaitu pola angin peralihan dari pola angin musim barat bergerak ke musim timur. Kecepatan arus maksimum 90 cm/det, sedangkan arah arus di bagian permukaan sampai kedalaman 60 m dominan bergerak ke arah barat dan barat laut, antara 60 – 400 m di sebelah utara dominan ke arah barat daya dan sebelah selatan, arus dominan ke arah barat sampai barat laut. Rata-rata lapisan permukaan ~57 m, ketebalan termoklin antara ~57 m sampai 360 m

(Hadikusumah 2009).


(72)

Karakteristik massa air di Laut Flores adalah massa air bersalinitas rendah di bagian permukaan (massa air lokal Laut Flores), massa air bersalinitas

maksimum 34,5636 psu pada lapisan dangkal antara kedalaman 150 – 240 m (North Pasific Subtropical Water), massa air bersalinitas minimum 34, 4692 psu antara kedalaman 225 – 395 m (North Pasific Intermediae Water), massa air bersalinitas maksimum 34,6169 psu pada kedalaman ~430 - 4719 m (Antarctic Intermadiate Water). Rata-rata kedalaman (~60 m) dari nilai klorofil-a


(73)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2011, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada tanggal tanggal 13 sampai 27 Oktober 2005 di perairan Laut Jawa sampai Laut Flores, namun data yang digunakan dalam penelitian ini hanya pada Laut Flores. Lokasi survei data yang digunakan pada penelitian ini berada pada posisi koordinat 7° LS sampai 9° LS dan 117° sampai 122° BT (Gambar 6).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data echogram hasil survei yang dilakukan oleh BRPL. Data yang diolah pada penelitian ini berjumlah 60 file. Lokasi pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik Ilmu dan Teknologi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Akustik BRPL Jakarta Utara.

3.2. Desain Survei

Desain survei yang digunakan pada penelitian ini adalah systematic parallel transect (Gambar 7). Tujuannya adalah agar dapat mencakup daerah yang luas yang mewakili perairan yang disurvei dengan waktu yang terbatas. Kedalaman pada survei ini dari permukaan sampai dengan kolom perairan, yaitu 3 – 150 m. Desain survei dibagi menjadi 7 leg (Gambar 6). Leg 1 terletak pada koordinat 7°59’57,12” sampai 8°0,62’ LS dan 117°39,45’ sampai 117°59’57,48” BT. Leg 2 Leg 1 terletak pada koordinat 7°30’ sampai 8°6’51,48´ LS dan


(74)

Sumber: Peta Dishidros


(75)

7°30,08´ LS dan 118°56’38,76” sampai 118°59’38,4” BT. Leg 4 terletak pada koordinat 7°29’58,67” sampai 7°57´52,24 LS dan 118°59’58,2” sampai 119°0.02’ BT. Leg 5 terletak pada koordinat 7°57’55,22” sampai 8°16,14´ LS dan

118°59’57,84” sampai 119°58.2’ BT. Leg 6 terletak pada koordinat 7°46,59’ sampai 8°16,16´ LS dan 119°59’58,92” sampai 120°0.39’ BT. Leg 7 terletak pada koordinat 7°46’58,51 sampai 7°47,08´ LS dan 120°28’49,44” sampai 120°43.21’ BT.

3.3. Instrumen dan Peralatan Penelitian

Perangkat hidroakustik yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah SIMRAD EK60 Scientific Echosounder System. Selama perekaman data akustik, perangkat SIMRAD EK60 Scientific Echosounder System diset sebagai berikut:

Frekuensi : 120 kHz

TVG : 27 dB

Kecepatan suara : 1546,55 m/s Durasi pulsa : 0,512 ms

3.4. Kapal Survei

Kapal yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah Kapal Riset Bawal Putih 188 GT (Lampiran 1).

3.5. Alat Pemrosesan Data

Alat yang digunakan untuk pengolahan data adalah sebagai berikut: 1) Personal Computer (PC) atau Laptop dan Dongle


(76)

(1) Microsoft Office 2007 (2) Microsoft Excell 2007 (3) Software Echoview 4.0 (4) Golden Software Surfer 8.0 (5) Software Matlab R2008b

3.6. Pengolahan Data

Sebaran Sa diolah menggunakan Echoview 4.0. Pada pengolahannya diperlukan proses perekaman data ulang menggunakan perangkat lunak

BI60/ER60 sehingga didapatkan file dalam bentuk *deg. ESDU yang digunakan pada penelitian ini adalah 100 ping, dengan grid kedalaman 1. Data yang diolah berada pada grid kedalaman 6 - 150 m. Pengolahan data dimulai pada grid kedalaman 6 m karena dianggap data yang berada di atas 6 m masih dipengaruhi oleh noise dari kapal dan noise-noise lainnya.

3.6.1.

Progessive threshold dilakukan dengan mengintegrasi pada setiap ESDU dengan menggunakan level threshold maksimum dan minimum tertentu (dalam penelitian ini: threshold maksimum -30 dB dan minimum -90 dB). Kemudian dilakukan integrasi berikutnya pada ESDU yang sama menggunakan threshold yang ditingkatkan dengan jeda 1,5 dB (misal: threshold maksimum -30 dB dan minimum -88,5 dB). Prasetyo (2007) dan Hestirianoto (2008) melakukan integrasi dengan peningkatan jeda 3 dB. Integrasi dilakukan hingga level

threshold minimum dan level threshold maksimum atau tidak ada lagi target pada echogram (nilai Sa-nya sampai -9999). Hasil integrasi dimasukkan kedalam


(1)


(2)

59


(3)

(4)

61

Lampiran 3. Lanjutan


(5)

(6)

RINGKASAN

SITI KOMARIYAH. Penentuan Sebaran Sa ( ) di Laut

Flores Berdasarkan Metode . Dibimbing oleh TOTOK

HESTIRIANOTO.

Metode multi target dapat digunakan untuk usaha peningkatan akurasi pendugaan target di suatu perairan. Hal ini diyakini karena target (baik ikan maupun plankton) di perairan cenderung akan membentuk kelompok sesuai jenisnya. Integrasi data hidroakustik dengan menggunakan progressive threshold mampu mengungkapkan kelompok target didalam satu satuan integrasi

hidroakustik atau ESDU (Hestirianoto 2008).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menduga sebaran dan mengetahui kelompok Sa di Laut Flores. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data echogram hasil survei yang dilakukan oleh BRPL (Balai Riset Perikanan Laut). Pengambilan data dilakukan pada tanggal 13 sampai 27 Oktober 2005 di Laut Jawa hingga Laut Flores, sedangkan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2011. Data yang diolah hanya pada wilayah Laut Flores. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan Laboratorium Akustik BRPL, Jakarta Utara. Data diolah menggunakan Echoview 4.0, Matlab dan Golden Software Surfer.

Berdasarkan hasil integrasi threshold data akustik di perairan Laut Flores terdapat 2 pucak nilai threshold yang paling dominan, yaitu yaitu -73,5 dB dan -60 dB. Sehingga range threshold yang digunakan untuk melihat sebaran Sa adalah -76,5 dB sampai -70,5 dB dan -63 dB sampai -57 dB. Sebaran Sa dilihat berdasarkan leg, sebaran Sa banyak menyebar pada leg 1, 2, 3, 5 dan 7. Pada leg 4 dan 6 jarang terlihat sebaran Sa. Berdasarkan grid kedalaman, sebaran Sa banyak menyebar dari kedalaman 6 – 30 m dan 80 – 130 m. Pada grid kedalaman 40 – 70 m dan 140 m sebaran Sa mulai berkurang dan pada grid kedalaman 150 m tidak ditemukan Sa sama sekali.

Kelompok Sa paling banyak ditemukan pada leg 1, leg 3, leg 4 dan leg 6, berturut-turut 9, 11, 7, dan 5 kelompok Sa. Pada leg 2 dan leg 5, hanya ditemukan 1 kelompok Sa. Pada umumnya panjang horizontal kelompok Sa lebih panjang dari pada panjang vertikalnya. Panjang horizontal kelompok Sa berkisar antara 309 - 5243 m, dan panjang vertikal Sa berkisar antara 3 – 40 m. Kisaran perbandingan antara panjang horizontal Sa dengan panjang ESDU adalah 293 – 8952 ℅. Artinya bahwa panjang horizontal Sa yang ditemukan pada setiap leg memiliki panjang 293 – 8952 kali lebih besar dari panjang ESDU.