mempertahankan ie sebagai kehidupan bersama. Dengan demikian sifat keanggotaan ie bukanlah hanya didasarkan pada ikatan hubungan darah. Syarat
untuk menjadi anggota ie adalah kerja sama fungsional dalam berbagai bidang kehidupan ie. Oleh karena itu, kerabat yang tidak memiliki hubungan sedarah
seperti pembantu bisa diangkat menjadi anggota ie.
2.2 Warisan Dan Hubungan Keluarga
Sesuai dengan struktur patrinial keluarga dan garis kekuasaan, warisan adalah masalah pengganti kepala rumah tangga. Pada umumnya, anak tertua
menggantikan kepala keluarga, tetapi kalau tidak ada anak laki-laki, maka suami anak perempuan dikenal dengan nama mukoyooshi dapat diserahi jabatan itu.
Kepala rumah tangga yang menggantikan itu juga akan mengambil alih milik rumah tangga secara keseluruhan, atau sedikitnya memiliki prioritas dalam
menentukan bagiannya. Bagian itu biasanya kecil, tetapi cukup untuk mendirikan cabang keluarga bunkee sedang sisanya juga cukup untuk mempertahankan
keluarga besarnya. Apabila anak-anak laki-laki yang lebih muda mendapat pekerjaan diluar pertanian, keluarganya akan memberikan bantuan awal untuk
hidup selanjutnya, dan anak-anak perempuan mendapat emas kawin sebagai bagiannya dari milik keluarga, apabila menikah dan ikut dengan keluarga lain.
Anak-anak perempuan tersebut kadang-kadang masih mendapat bantuan dari orang tuanya bahkan setelah menikah. Tetapi tak seorangpun diberi kekayaan
terlalu besar sehingga masa depan keluarga besar ie yang asli akan terancam. Kadang-kadang keluarga besar tidak memberikan bantuan atau harta milik kepada
anak-anak yang lebih muda, tetapi malah menerima bantuan dari mereka yang dihasilkan dari pekerjaan lain.
Sistem anak sulung sebagai pewaris sistem primogenitur sebagai ciri pokok ie dibentuk oleh tatanan sosial feodal. Sistem feodal menurut arti istilah itu
secara ketat hanya ada di Eropa dan Jepang, dan sistem feodal di Jepang menumbuhkan sistem warisan yang sangat berlainan dengan di Cina dan India.
Apabila di Cina dan India pembagian warisan bercirikan pembagian yang sama besar kepada semua keturunan dari garis lelaki, di Jepang sistem warisan
primogenitur merata ke bawah dari kelas samurai sampai orang biasa. Pengaruh ini berlanjut sampai akhir zaman feodal, bahkan diperkuat oleh undang-undang
warisan yang diberlakukan menjelang akhir abad ke-19. Dalam hal keluarga petani, ada banyak pengecualian dalam sistem warisan primogenitur, bahkan
larangan dalam zaman tokugawa dalam pembagian pemilikan tidak dapat menghalangi pembentukan bunkee baru dengan lahan yang diberikan dari
kekayaan keluarga besar. Ragam lain tentang pembagian harta ini dapat dilihat misalnya pada wilayah-wilayah dengan produktivitas rendah. Pada wilayah
semacam itu, apabila anak laki-laki tertua masih terlalu muda untuk mewarisi kekayaan keluarga, bisa digantikan oleh suami anak perempuan tertua dengan
segera untuk memperbanyak tenaga kerja keluarga dan kemudian menyerahkan kepadanya pimpinan rumah tangga, kebiasaan yang ada pada wilayah-wilayah
tertentu disebut ane- katoku. Pada daerah lain yang hanya memiliki lahan kecil, dan migrasi ke kota sudah sangat umum, semua anak-anak laki-laki yang lebih tua
meninggalkan keluarga, maka anak laki-laki yang termudalah yang menerima warisan, dan praktek ini disebut ultimogenitur. Undang-undang sipil pada abad
ke-19 dengan memberikan sanksi hukum terhadap bentuk warisan yang dilembagakan dalam keluarga samurai, menjamin bahwa sistem primogenitur
berlaku sebagai patokan pola sistem warisan di seluruh Jepang. Bahkan kemudian hal itu dilembagakan secara lebih ketat di daerah pertanian di mana pemilikan
terlalu kecil untuk dibagi-bagi. Dalam sistem semacam itu dengan sendirinya anak laki-laki tertua akan
menikmati status paling tinggi dalam keluarga. Kedudukan anak-anak dalam keluarga tani dilukiskan dalam pepatah : “ seorang dijual, seorang menjadi
pewaris, dan seorang lagi sebagai cadangan ”. Akhirnya karena tidak ada keluarga yang merasa aman dengan satu anak laki-laki saja, satu anak laki-laki lagi
diperlukan untuk menjaga apabila anak laki-laki yang lebih tua akan mati muda. Anak tertua yang sering di perlakukan berlainan dengan saudara-saudaranya, dan
semua orang diberi tahu bahwa ia lebih penting. Kecenderungan ini lebih menonjol di daerah yang kurang maju, terutama di bagian timur laut, dimana anak
laki-laki tertua disebut ani dan adik-adik laki-lakinya disebut oji. Di daerah- daerah itu anak-anak yang lebih muda kurang diperhatikan. Di daerah yang lebih
maju pun anak laki-laki tertua mungkin disebut oyokata, sedang adik-adiknya disebut hiyameshigui, “ yang makan nasi dingin ”, artinya statusnya yang amat
rendah. Perhatian orang tua terhadap anak laki-laki tidak tergantung pada urutan kelahirannya; tetapi merupakan kewajiban mutlak dalam sistem ie bahwa pewaris
selalu diberi status lebih tinggi dibanding adik-adiknya. Anak tertua ditakdirkan untuk menjadi pengganti kepala rumah tangga tetapi ia juga akan menerima
tanggung jawab untuk merawat orang tuanya kelak. Sebaiknya, anak-anak laki-laki yang lebih muda – kecuali keluarga yang
cukup kaya untuk menyekolahkan mereka ke sekolah menengah – diharapkan akan mengerjakan pertanian keluarga segera setelah lulus sekolah dasar apabila
keluarga memiliki lahan cukup luas. Pekerjaan ini merukan semacam membayar kembali hutang kepada orang tua. Lalu, apabila mereka telah selesai menjalani
dinas militer, biasanya mereka berusaha untuk berdiri sendiri. Pada keluarga tani miskin dengan tanah kecil yang tidak cukup menampung tenaga kerja anak-anak
yang ada, anak-anak itu langsung pergi mencari pekerjaan sebagai pembantu di toko atau pekerja di pabrik atau belajar menukang, dengan harapan bahwa mereka
tidak saja akan berdiri sendiri, tetapi juga dapat menyumbang orang tuanya. Pada keluarga tani dari kelas atas di daerah yang kurang maju dengan lahan yang luas,
seorang dari anak laki-laki yang tinggal dan bekerja untuk kelurga besar sekalipun telah menikah. Adik laki-lakinya yang telah menikah dan masih bekerja dengan
orang tuanya sering disebut “malayani” rumah keluarga yang akan diwarisi kakak laki-lakinya. Adik laki-laki itu dalam kedudukan sama seperti pegawai yang
bekerja untuk keluarga yang digaji tahunan. Sebaliknya, di banyak daerah yang kurang maju, pegawai sering diangkat menjadi kepala cabang keluarga seperti
adik laki-laki. Hubungan antara kepala rumah tangga atau pewaris dengan semua anggota keluarga lainnya adalah hirarkis, suatu ciri umum pada zaman feodal.
Fakta bahwa anak laki-laki yang lebih muda adalah hubungan antara oyakata dan kokata atau antara oyabun dan kobun.
Kata oyako berarti lebih luas daripada arti harfiahnya “ orang tua dan anak ”. oya sering diartikan sama dengan keluarga pokok, dan pada umumnya petani
dengan lahan amat sempit yang hidupnya tidak menentu, mengharapkan jaminan hidupnya bukan kepada “ orang tua ” dalam struktur kekerabatan, tetapi pada oya
dalam kelompok doozoku. Jadi keluarga-keluarga dianggap melayani keluarga
besar menerangkan banyak tentang aspek keluarga Jepang yang pada dasarnya tidak berubah sejak zaman Tokugawa.
Di lain pihak, anak-anak perempuan tidak diminta untuk mempertahankan ie, dan karena banyak biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan
perkawinannya, anak perempuan dianggap beban. Anak sulung perempuan dianggap beruntung karena memang anak perempuan tentu akan lahir, dan kelak
akan dapat membantu pekerjaan rumah tangga dan membantu adik-adiknya. Status anak perempuan pada umunya rendah, mereka adalah calon “ dijual ”, yaitu
untuk menikah dan pergi. Lewat umur dan perkawinannya mereka disebut “sisa”. Dalam sistem dimana laki-laki adalah penting, bila anak perempuan menikah ia
harus diberi mas kawin secukupnya, bahkan setelah menikah, orang tuanya masih harus memberikan sekadar uang saku dan pakaian untuk menaikkan posisi anak
tersebut dalam keluarga suaminya; dari keadaan inilah maka ada pepatah yang mengingat bahwa apabila tiga anak perempuan lahir akan menjadi keruntuhan
keluarga tersebut. Di antara para petani yang paling miskin anak perempuannya tidak mengharapkan pembiayaan apapun baginya.
Untuk keluarga semacam itu anak perempuannya adalah pekerja yang mungkin dapat
menghasilkan upah yang rendah sabagai pekerja pabrik atau pembantu rumah tangga. Bila keadaan buruk menjadi lebih buruk, mereka betul-betul dijual untuk
pelacuran demi orang tuanya.
2.3 Hubungan Sosial Kekeluargaan