Namun dari jenis antigen protein ini juga dapat merangsang limfosit sitotoksik menyerang sel-sel lain sehingga menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan. Antigen protein ini juga
diduga sebagai pemicu terjadinya reaksi reversal reaksi kusta tipe 1 akibat matinya kuman M. leprae sehingga terbentuk fragmen-fragmen yang berperan sebagai antigen sehingga
memicu reaksi peradangan akut.
7,15,16
2.7 Imunologi
Dari segi imunogenetik, sistem imunitas merupakan faktor yang diturunkan, sehingga sedikitnya pola kekebalan terhadap M. leprae akan mirip dengan orang tuanya.
Hal ini dipelajari melalui penelitian Human Leuococyte Antigen HLA, dimana ternyata HLA ikut berperan dalam menentukan bentuk respon imun terhadap M. leprae. HLA adalah
suatu antigen yang berada di permukaan sel, yang dihasilkan Major Histocompability Complex MHC. Dikenal MHC kelas I yang menghasilkan HLA-A, HLA-B, HLA-C, dan
MHC kelas II yang menghasilkan HLA-D yang banyak dihubungkan dengan imunitas terhadap bakteri termasuk basil kusta. Antigen HLA ini berperan dalm pengenalan dan
penyajian antigen kepada limfosit T Th yang akan memulai respon imun. Para ahli berpendapat bahwa hingga saat ini tidak ada bukti yang cukup kuat bahwa
adanya faktor genetik HLA yang membuat seseorang mudah terinfeksi kuman M. leprae dibandingkan dengan orang lain. Akan tetapi perbedaannya adalah dalam bentuk respon
imun yang terjadi apabila basil kusta masuk ke dalam tubuh seseorang, dimana HLA akan mengarah kepada respon imun yang sesuai. HLA-DR akan mengarah ke sistem imunitas
selular, sedangkan HLA-DQ akan mengarah ke sistem imunitas humoral.
7,13,14
7,12,14
2.8 Pemeriksaan serologi
Penyakit kusta dapat didiagnosis melalui tanda-tanda utama pada kusta, namun pada stadium awal banyak tanda-tanda utama tidak memberikan hasil yang memuaskan maka
dari itu perlu adanya pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis penyakit kusta.
6
Beberapa pemeriksaan serologi telah dikembangkan untuk mendiagnosis kusta, dengan pembentukan antibodi berdasarkan pengukuran serologi menggunakan M.leprae,
dalam upaya untuk menentukan kegunaannya dalam diagnosis penyakit kusta dan kemungkinannya dalam menentukan infeksi subklinis dengan menekankan deteksi pada
kasus multibasiler di masa mendatang. Dikenal ada beberapa tesserologi kusta, antara lain :
4,6
a. Tes FLA-ABS Flourescent leprosy antibodi-absorption test Menggunakan antigen kuman mycobacterium leprae secara utuh yang telah dilabel
dengan zat floresensi. Hasil tes ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesifitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan dengan antigen dari
mycobacterium lainnya. b. Radio Imunoassay RIA
Menggunakan antigen mycobacterium leprae yang dibiakkan dalam tubuh armadillo yang diberi label radioaktif.
c. Tes MLPA Mycobacterium leprae particle aglutination Tes ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi
dalam serum. Merupakan tes yang praktis untuk dilakukan dilapangan, terutama untuk keperluan kasus seropositif.
d. Tes ELISA Enzyme linked immuno-sorbent assay Prinsip tes ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang terbentuk
dengan memberi label biasanya berupa enzim pada ikatan tersebut, selanjutnya akan
terjadi reaksi warna yang dapat diukur dengan spektofotometer dengan panjang gelombang tertentu, pemeriksaan ini menggunakan mikroplat untuk tempat terjadinya
reaksi. Untuk menentukan nilai ambang batas cut off dari hasil uji ELISA ini biasanya ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta dan yang tidak sakit
kusta, namun untuk daerah endemis kusta banyak orang yang sehat juga menunjukkan titer antibodi anti PGL-1 yang cukup tinggi, sehingga penentuan nilai ambang bervariasi
dari satu tempat dengan tempat lainnya.
18
Di daerah jawa timur nilai ambang batas untuk antibodi anti PGL-1 untuk IgM telah diketahui sekitar 605uml. Tes serologi
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi subklinis pada narakontak kusta, mempelajari fenomena imunologis pada kusta yang manifes, memantau hasil
pengobatan, serta mendeteksi adanya kekambuhan pada penderita yang selesai pengobatannya. Terdapat 3 metode utama ELISA, antara lain: Direct ELISA, Indirect
ELISA dan Sandwich ELISA. Dalam penelitian ini akan menggunakan metode indirect ELSIA, yaitu
antigen yang secara langsung melekat pada fase solid akan bereaksi dengan antibodi primer. Kemudian dilakukan penambahan antibodi skunder yang dilabel dengan enzim,
sehingga akan terjadi reaksi warna yang dapat diukur dengan spectrophotometer.
19,20
21,22,23
Keuntungan menggunakan uji ELISA, antara lain adalah: 1 simpel, menggunakan miroplat berkapasitas besar, cepat dan mudah; 2 sensitif, menggunakan amplifikasi
enzim katalis, sehingga cukup sensitif untuk diagnosis; 3 diukur berdasarkan perubahan warna.
24,25,26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain penelitian