Bagaimana situasinya secara keseluruhan?

75 Kondisi yang juga cukup mengejutkan ditemui di Yogyakarta sebagai wilayah yang selama ini dikenal sebagai salah satu benteng kebebasan berekspresi di republik ini, karena kekuatan kultur serta kebebasan akademik yang dibangun. Kenyataanya, dalam ekspresi sosial politik, skornya sama buruknya dengan Jakarta, yakni 43,75. Akan tetapi secara umum, kondisi Yogyakarta masih baik dalam perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di ketiga dimensi, yakni dengan skor 62,50. Skor ini lebih tinggi sedikit di atas skor Jakarta, namun tak lebih baik dari Papua. Sama dengan yang terjadi Kalimantan Barat dan Jakarta, menguatnya kelompok intoleran di Yogyakarta memberikan kontribusi besar bagi banyaknya praktik pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Sedangkan Papua, praktik pelanggaran yang terjadi benar-benar mencerminkan situasi daerahnya sebagai wilayah konlik. Meski secara umum situasinya baik, karena ditopang oleh baiknya praktik ekspresi agama dan budaya, ekspresi sosial politik di Papua menempati posisi paling buruk dibandingkan daerah lainnya, dengan skor 31,25. Namun, penilaian terhadap keseluruhan dimensi menunjukkan bahwa skor kebebasan berekspresi di Papua lebih baik daripada Jakarta dan Yogyakarta, dengan skor akumulatif 66,67. Pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi di Papua hanya terkonsentrasi pada dimensi sosial politik, sementara dimensi lainnya relatif tidak banyak menampilkan masalah. Lain Papua, lain pula dengan Sumatera Barat. Dalam periode 2011- 2012, wilayah ini terpuruk dalam perlindungan ekspresi pada dimensi agama. Entah mempengaruhi atau tidak, daerah dengan agama penduduknya yang cenderung homogen ini, praktik kebebasan ekspresi pada dimensi agama adalah yang paling buruk dibanding wilayah lainnya. Buruknya situasi ekspresi agama tercermin dari skor terhadap dimensi ini yang hanya 37,50, masih kurang dari angka 51 untuk dapat dikatakan baik. Secara keseluruhan Sumatera Barat mendapatkan skor yang sama dengan Papua, yakni 66,67. Baiknya situasi ekspresi sosial politik dan ekspresi budaya memiliki peran signiikan terhadap masih baiknya kondisi kebebasan berekspresi secara umum di Sumatera Barat. 76 Tabel 11: Status kebebasan berekspresi di lima propinsi Dimensi Propinsi DKI Jakarta Sumbar Kalbar DI Yogyakarta Papua Sosial Politik Buruk Sangat Baik Baik Buruk Buruk Agama Baik Buruk Sangat Baik Baik Sangat Baik Budaya Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Seluruh Dimensi Baik Baik Sangat Baik Baik Baik Telah disinggung di atas, dan juga nampak dalam tabel 7, lima propinsi yang menjadi wilayah penelitian berada dalam situasi praktik kebebasan berekspresi yang baik, bahkan salah satunya, Kalimantan Barat, sangat baik. Akan tetapi dari lima propinsi, dalam ekspresi sosial politik, tiga propinsi diantaranya situasinya buruk, Jakarta, Yogyakarta dan Papua. Sedangkan dua yang lain, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat, dalam situasi yang baik dan sangat baik. Dalam ekspresi agama, hanya Sumatera Barat yang situasinya buruk, sementara empat daerah lainnya baik. Kalimantan Barat dan Papua malah sangat baik. Kondisi yang sangat menggembirakan terekam dalam ekspresi budaya. Semua daerah dalam situasi yang baik, bahkan mayoritas, empat diantaranya peringkatnya sangat baik, hanya Jakarta yang statusnya sebatas level baik.

B. Situasi kebebasan berekspresi pada dimensi sosial politik

Kondisi tidak menggembirakan terjadi pada dimensi sosial politik di Jakarta. Situasi ini tentu sedikit mengejutkan, mengingat begitu bebas dan terbukanya Jakarta dalam segala aspeknya. Kenyataanya di tengah haru-biru kebebasan Jakarta, ekspresi sosial politik situasinya masih ‘buruk’, nilainya 43,75, belum ≥ 51 untuk dapat dikatakan ‘baik’. Mengapa situasi kebebasan berekspresi sosial politik di Jakarta buruk selama 2011-2012? Sejumlah praktik pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi masih terjadi dalam kurun waktu tersebut. Dari aspek regulasi misalnya, kendati tidak berlaku efektif, keberadaan Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, tetap dianggap menjadi ancaman terhadap kebebasan berekspresi, karena materinya yang banyak bersebarangan dengan hak asasi manusia 77 dan tidak mendukung perlindungan kebebasan berekspresi. Muatan Perda ini telah memberikan kewenangan terlalu besar bagi pemerintah daerah, khususnya Gubernur DKI Jakarta, untuk terlibat terlalu eksesif dalam praktik yang membatasi kebebasan berekspresi warganya. Implementasi beberapa bentuk ekspresi, dalam aturannya menyiratkan keharusan adanya ijin dari gubernur, yang semestinya itu tidak perlu. 46 Pelanggaran yang mewarnai praktik kebebasan berekspresi di Jakarta ialah masih adanya ancaman non-isik secara langsung terhadap ekspresi sosial politik. Bentuknya tak lagi konvensional, yakni dengan secara langsung meminta perubahan isi pemberitaan suatu media, melainkan dengan cara menghambat akses atas pemberitaan. Ancaman seperti ini cenderung makin marak terjadi seiring dengan semakin tumbuhnya media digital, yang memanfaatkan teknologi internet sebagai wadah publikasi mereka. Serangan layanan server secara berantai distributed denial of service mulai muncul di Jakarta, yang diarahkan kepada situs-situs berita. Serangan ini dilakukan dengan cara membanjiri sebuah server jaringan di mana laman yang ditargetkan ditempati dengan permintaan, hasilnya laman rusak dan tidak bisa diakses dalam waktu tertentu. Tak hanya serangan non-isik secara langsung, kekerasan isik terhadap praktik kebebasan berekspresi sosial politik juga terekam selama periode 2011-2012. Para jurnalis di Jakarta belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari intaian kekerasan, kendati pemberitaan begitu massif dan terbuka. Dalam periode tersebut beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi, 4 kasus terjadi di 2011 dan 2 kasus dalam bulan Januari-Agustus 2012. Pelakunya pun beragam, tak hanya alat represif dan opresif negara, polisi dan tentara, tetapi juga kelompok masyarakat sipil yang intoleran. Parahnya, apartat penegak hukum lebih banyak mendiamkan kasus-kasus kekerasan tersebut, tidak memproses secara hukum para pelaku kekerasan. Praktik pelarangan dan pembubaran terhadap manifestasi kebebasan berekspresi juga kebetulan terjadi dalam periode ini. Irshad Manji dilarang kelompok massa intoleran mendiskusikan bukunya di Jakarta. Kelompok intoleran menuduh Manji hendak menyebarkan virus LGBT. Tak hanya 46 Uraian lebih lanjut mengenai situasi kebebasan berekspresi sosial politik di Jakarat, lihat Bab IV bagian A.1. Ekspresi sosial politik: Tekanan isik dan non-isik. 78 penyelenggaraan diskusi, buku Irshad Manji juga disesatkan dan dilarang edar oleh mereka. Sayangya negara tak bersikap tegas, bahkan cenderung sepaham dengan pendapat dan tindakan massa intoleran. Proses hukum pun tak jalan terhadap aksi-aksi pelarangan tersebut. Pelaporan pidana atas ekspresi sosial politik terus berlanjut. Keberadaan Jakarta sebagai pusat isu, menjadikan simpang siurnya isu yang diperdebatkan di sini; karena tak hanya isu seputar Jakarta, tetapi isu itu bercampur-baur dengan isu-isu nasional. Penggunaan pasal pidana untuk melaporkan seseorang yang tengah menggunakan kebebasan berekspresinya untuk melakukan kritik atas isu tertentu, pun tidak sebatas isu yang terkait dengan sosial politik Jakarta, tetapi banyak yang berkaitan dengan urusan pemerintah pusat. Aktivis anti-korupsi masih menjadi target utama pelaporan pidana dengan menggunakan pasal-pasal penceramaran nama baik, karena temuan dan komentarnya atas dugaan suatu praktik korupsi, dianggap menciderai reputasi pihak tertentu. Temuan lain yang juga cukup mengagetkan adalah temuan di wilayah DI Yogyakarta. Wilayah yang selama ini dikenal tenang dan memiliki kultur yang mendukung bagi praktik kebebasan berekspresi, ternyata buruk dalam situasi kebebasan berekspresi yang berdimensi sosial politik. Nilainya sama dengan Jakarta, pada skor 43,75, yang berarti kutang ambang angka 51 untuk bisa dikatakan ‘baik’. Paradoks dalam perlindungan kebebasan berekspresi di Yogayakarta, terjadi baik dalam sisi regulasi maupun dalam praktik ekspresi. Dalam aspek regulasi, meski Kota Yogyakarta dikenal sebagai salah satu kota terbaik dalam hal memberikan pelayanan hak atas informasi warganya, khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Namun hal itu tidak terjadi merata di seluruh wilayah Yogyakarta sebagaimana diraih oleh Kota Yogyakarta. Kabupaten Bantul memiliki aturan di tingkat lokal yang justru materinya membatasi hak warga atas informasi. Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan meski menggunakan judul transparansi, namun materinya malah tak sejalan dengan prinsip-prinsip keterbukaan publik sebagaimana diatur UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 47 47 Ibid., bagian D.1. Ekspresi sosial politik: Kebebasan informasi.