Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Penatalaksanaan Demam Pada Anak Di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

(1)

(2)

terhadap demam. sehingga tindakan untuk menangani demam pada anak menjadi kurang tepat ataupun berlebihan.

Tujuan: mengetahui hubungan pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak.

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analitik dan menggunakan desain cross sectional. Populasi penelitian merupakan ibu -ibu yang mempunyai anak dengan riwayat pernah demam > 3 hari di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara. Sa mpel penelitian berjumlah 85 orang dan diambil dengan metode concecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Data yang didapat dianalisis dengan menggunakan aplikasi statistik.

Hasil: Berdasarkan analisis dari 85 orang responden, didapatkan usia responden terbanyak (50,6%) berada di antara 21 -30 tahun, tingkat pendidikan terbayak (47,1%) berada pada kelompok sedang, dan hampir seluruh responden (76,5%) berpenghasilan <UMR. Dijumpai sebanyak 51,8% respond en berpengetahuan sedang dan sebagian besar responden (57,6%) memiliki tingkat penatalaksanaan demam yang baik. Dari hasil uji Chi -Square didapati p<0,001 dengan Convidance Interval 95%.

Kesimpulan: Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak. Kata Kunci: Pengetahuan ibu, penatalaksanaan demam


(3)

mothers, are functioning. However, many studies show that parents tend to have misperception towards fever, and therefore the management of the fever becomes less or over treatment.

Objective: To find out the correlation between mothers’ knowledge and management of fever of the children.

Method: This is an analytical study using cross sectional design. The sample of the study is mothers whose children have experienced fever for more than three days in Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara. The re were 85 subjects chosen by using concecutive method. The data is collected using validated questionnaires, and then analyzed by using statistic application.

Result:Among 85 respondens, 50,6% were between 21-30 years old, the highest education level (47,1%) is around the middle level, and most of the respondent s (76,5%) earned less than the minimum average payment. respondent had middle level of knowledge and most of them (57,6%) had a good knowledge. The Chi-Square testshowed p<0,001 with convidance interval 95%.

Conclusion: It can be concluded from the study that there was a correlation between the level of knowledge of the mothers and the management of fever of the children.


(4)

Segala puji penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan, kesehatan, dan kesempatan serta memberikan rasa sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) dengan judul “Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu terhadap Penatalaksanaan Demam pada Anak di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara”.

Proses penulisan KTI ini tidak terlepas dari dukungan, bimbingan dan bantuan dari beberapa pihak, dalam kesempatan ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar -besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp. PD -KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Hafaz Zakky Abdillah M.Ked(Ped), SpA, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan meluangkan waktu, tenaga serta pikiran selama penyusunan KTI ini.

3. dr. Johny Marpaung, SpOG, selaku dosen pen guji I yang telah memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga KTI ini dapat diselesaikan.

4. dr. Hemma Yulfi,DAP&E.MMEd.Ed selaku dosen penguji II yang telah memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga KTI ini dapat diselesaikan.

5. dr. Yunita Sari Pane, Msi, selaku penasehat akademik yang telah memberi motivasi dan bantuan selama penulis mengikuti pendidikan dokter di Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh dosen dan staf mengajar Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan KTI ini.


(5)

8. Bapak Alpian sebagai kepala desa , para pegawai, dan staf lain di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara, yang telah banyak membantu dan memberikan izin kepada penulis dalam melakukan survey awal serta penelitian di desa tersebu t.

9. Teristimewa untuk orang tuaku tercinta, Ayahanda H. Dtm. Abul Hasan Maturidi dan Ibunda Hj. Dra. Nursayam Marpaung serta abang -abang dan adikku tersayang, Dtm. Mabruri, SH, Dtm. Yasir Luthfi, dan Srikhandi Khairani yang telah memberikan dukungan, baik m oral, material, maupun spiritual selama penyusunan KTI ini.

10. Keluarga Bapak H. Kamuddin Selian S.Pd yang telah banyak membantu penulis baik secara moral maupun material selama melakukan penelitian. 11. Teman-teman sejawat Fakultas Kedokteran USU, serta para sah abat dila,

icha, maya, putri, fia, rahmat, arya, rahma, restu, indah, yang memberikan dukungan dan turut membantu penulis dalam menyelesaikan KTI ini. 12. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu proses pennyusunan KT I ini hingga selesai.

Hanya Allah SWT yang senantiasa dapat memberikan balasan atas kebaikan yang telah diperbuat. Selanjutnya demi kesempurnaan KTI ini, peneliti sangat mengharapkan masukan, saran, dan kritik yang bersifat membangun.

Medan, Desember 2013 Penulis,


(6)

Abstract ………. iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Gambar ... x

Daftar Tabel... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Demam ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Pengaturan Suhu Tubuh ... 5

2.1.3. Tahapan Demam ... 6

2.1.4. Etiologi Demam ... 7

2.1.5. Faktor Resiko Demam ... 7

2.1.6. Patogenesis Demam ... 8

2.1.7. Tipe Demam ... 10


(7)

2.2.1. Definisi Pengetahuan ... 22

2.2.2. Pembagian Tingkatan Pengetahuan ... 22

2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan ... 22

2.2.4. Pengukuran dan Indikator Pengetahuan Kesehatan ... 24

2.3. Tindakan ... 24

2.3.1. Definisi Tindakan ... 24

2.3.2. Tingkatan Tindakan ... 24

2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan ... 25

2.3.4. Pengukuran Tindakan atau Peraktik Kesehatan ... 26

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 27

3.1. Kerangka Konsep ... 27

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 28

3.3. Hipotesis... 30

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 31

4.1. Jenis Penelitian ... 31

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 31

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 31

4.2.2. Waktu Penelitian ... 31

4.3. Populasi dan Sampel ... 31


(8)

4.4.1. Data Primer ... 33

4.4.2. Instrumen Penelitian ... 33

4.5. Pengolahan dan Analisa Data ... 34

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 36

5.1. Hasil Penelitian ……….. . 36

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….. 36

5.1.2. Analisa Univariat ... 36

5.1.2.1. Karakteristik Responden ... 36

5.1.3. Tabulasi Silang ... 38

5.1.3.1. Distribusi gambaran tindakan berdasarkan karakteristik responden ... 38

5.2. Pembahasan ... 40

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 49

6.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(9)

(10)

Tabel 2.2. Rentang Suhu Normal Tubuh ... 14 Tabel 2.3. Teknik Pengukuran Suhu Tubuh yang Dianjurkan ... 14 Tabel 3.1. Tabel Variabel, Definisi Operasional, Cara Ukur, Alat Ukur,


(11)

terhadap demam. sehingga tindakan untuk menangani demam pada anak menjadi kurang tepat ataupun berlebihan.

Tujuan: mengetahui hubungan pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak.

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analitik dan menggunakan desain cross sectional. Populasi penelitian merupakan ibu -ibu yang mempunyai anak dengan riwayat pernah demam > 3 hari di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara. Sa mpel penelitian berjumlah 85 orang dan diambil dengan metode concecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Data yang didapat dianalisis dengan menggunakan aplikasi statistik.

Hasil: Berdasarkan analisis dari 85 orang responden, didapatkan usia responden terbanyak (50,6%) berada di antara 21 -30 tahun, tingkat pendidikan terbayak (47,1%) berada pada kelompok sedang, dan hampir seluruh responden (76,5%) berpenghasilan <UMR. Dijumpai sebanyak 51,8% respond en berpengetahuan sedang dan sebagian besar responden (57,6%) memiliki tingkat penatalaksanaan demam yang baik. Dari hasil uji Chi -Square didapati p<0,001 dengan Convidance Interval 95%.

Kesimpulan: Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak. Kata Kunci: Pengetahuan ibu, penatalaksanaan demam


(12)

mothers, are functioning. However, many studies show that parents tend to have misperception towards fever, and therefore the management of the fever becomes less or over treatment.

Objective: To find out the correlation between mothers’ knowledge and management of fever of the children.

Method: This is an analytical study using cross sectional design. The sample of the study is mothers whose children have experienced fever for more than three days in Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara. The re were 85 subjects chosen by using concecutive method. The data is collected using validated questionnaires, and then analyzed by using statistic application.

Result:Among 85 respondens, 50,6% were between 21-30 years old, the highest education level (47,1%) is around the middle level, and most of the respondent s (76,5%) earned less than the minimum average payment. respondent had middle level of knowledge and most of them (57,6%) had a good knowledge. The Chi-Square testshowed p<0,001 with convidance interval 95%.

Conclusion: It can be concluded from the study that there was a correlation between the level of knowledge of the mothers and the management of fever of the children.


(13)

1.1. Latar Belakang

Demam telah dikenal sebagai salah satu tanda atau gejala dari adanya suatu penyakit (Crocetti et al., 2001). Banyak orang tua yang merasa takut apabila anaknya demam dan merupakan salah satu alasan orang tua untuk membawa anaknya berobat ke rumah sakit. Orang tua telah mempunyai persepsi yang salah terhadap demam, mereka berfikiran bahwa semua demam harus memerlukan intervensi medis, padahal umumnya demam disebabkan oleh infeksi virus yang penanganannya tidak memerlukan intervensi medis. persepsi yang salah ini disebut dengan istilah fobia demam yang pertama kali diperkenalkan oleh Schmitt. Fobia demam ini masih berlanjut sampai sekarang, sehingga banyak penanganan demam yang berlebihan (Soedibyo & Souvriyanti, 2006).

Demam adalah peningka tan suhu tubuh dari batasan normal yang berhubungan dengan peningkatan set point suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Menurut Baxter et al (2000), suhu tubuh yang normal adalah 37oC (98,6oF) dan secara umum dapat dapat diterima bahwa suhu rektal≥38oC (100oF) dapat dikatakan demam. Demam biasanya terjadi sebagai respon terhadap infeksi atau peradangan karena adanya cedera jaringan ataupun penyakit. Namun, ada juga penyebab lain yang memungkinkan terjadinya demam, termasuk obat, racun, kanke r, paparan panas, cedera atau kelainan pada otak, dan penyakit sistem endokrin (hormonal atau glandular) (Davis, 2012).

Demam mempunyai risiko terhadap penyakit -penyakit serius pada anak dan dipengaruhi oleh usia. Pada neonatu s sistem imun belum mampu mengatasi infeksi sehingga apabila terjadi demam, mereka mempunyai risiko yang lebih besar terkena penyakit serius dan infeksi sistemik dibandingkan anak dengan umur yang lebih tua (Tolan, 2013).


(14)

2008 adalah influenza, diare, malaria klinis, tersan gka TBC paru, diare berdarah, tipus, TBC paru BTA (+), pne umonia, campak, dan batuk rejan. Penyakit-penyakit tersebut seluruhnya mempunyai gejala demam (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008).

Penatalaksanaan awal demam dapat dilakukan dengan minum cairan yang banyak. Kompres dingin pada saat demam mung kin tidak bermanfaat karena hanya akan membuat penderita tidak nyaman dan juga akan menyebabkan penderita semakin mengigil (Davis, 2012). Menurut Ismoedijanto (2000), Usaha untuk mendinginkan kulit dengan air es atau alkohol kurang bermanfaat karena pengeluaran panas sulit disalurkan. Penggunaan air es dan alkohol sebagai usaha untuk menurunkan demam merupakan pandangan umum yang salah (Cunha, 2012).

Demam juga dapat dikurangi dengan pemberian acetaminophen dan ibuprofen. Beberapa studi menunjukan acetaminophen dapat mengurangi demam lebih cepat, sementara ibuprofen mungkin memiliki efek yang lebih lama pada pengurangan demam (Ferry, 2010). Aspirin tidak boleh digunakan dalam pengobatan demam pada anak -anak maupun remaja karena penggunaannya telah dihubungkan dengan timbulnya sindrom Reye yang merupakan penyakit berbahaya yang menyebabkan muntah berkepanjangan, kebingungan, koma, dan bahkan gagal hati (Cunha, 2012).

Menurut Soedibyo dan Souvriyanti (2006), masih banyak orang tua dan pengasuh yang salah dalam hal penggunaan antipiretik untuk anak. Penelitian Blumental tahun 1998, di Inggris mendapatkan bahwa 30% orangtua tidak mengetahui suhu tubuh normal, sehingga memberikan antipiretik pada anaknya pada suhu <38oC. Penelitian Schmitt tahun 1980, mendapatkan 56% orang tua memberikan antipiretik pada suhu 37,0 sampai 37,8oC. Bahkan penelitian Crocetti di Baltimore, 20 tahun setelah penelitian Schmitt masih menemukan 25% orangtua memberikan antipiretik pada suhu <37,8o C dan


(15)

tahun 1985, menemukan bahwa 21% orangtua memberikan antipiretik pada suhu <38oC dan 76% memberikan antipiretik pada suhu 38,0 sampai 39,9oC.

Dalam hal kesehatan, wanita terlebih kepada ibu memiliki peranan penting dalam menjaga kesehatan keluarga khususn ya kesehatan anak dan balita (Nurhidayati, 1999). Penanganan demam pada anak sangat tergantung pada peran orang tua, terutama ibu. D ari hasil penelitian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN) di Jawa Timur dan Manado menunjukkan bahwa peran pengasuhan anak lebih condong dilakukan oleh ibu (Megawangi, 1999 dalam Briawan & Herawati, 2008 ).

Berdasarkan hal yang diuraikan diatas, maka peneliti menganggap perlu melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu terhadap tindakan penatalakasanaan demam pada anak.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak?

1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak. di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah:

a. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu mengenai demam pada anak di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara.


(16)

c. Mengetahui gambaran tingkat pendidikan ibu di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

d. Mengetahui gambaran tingkat perekonomian keluarga di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

e. Mengetahui gambaran usia ibu di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1. Bagi peneliti

1. Menjadi kesempatan bagi peneliti untuk mengintegrasikan il mu yang telah didapat di bangku kuliah dalam bentuk melakukan penelitian ilmiah secara mandiri.

2. Sebagai prasyarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran.

3. Menambah pengetahuan serta wawasan mengenai penatalaksanaan awal demam pada anak.

1.4.2. Bagi subyek penelitian

Sebagai informasi atau pengetahuan dalam tindakan penatalaksanaan demam pada anak.

1.4.3. Bagi lembaga pemerintahan s etempat

Sebagai bahan evaluasi mengenai program kesehatan di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam

2.1.1. Definisi Demam

Demam adalah peningkatan suhu tubuh sebagai akibat dari infeksi atau peradangan. Sebagai respon terhadap invasi mikroba, sel -sel darah putih tertentu mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen, yang memiliki banyak efek untuk melawan infeksi dan juga bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat. Demam ringan mungkin bermanfaat, tapi tidak diragukan lagi bahwa de mam yang sangat tinggi dapat mengganggu fungsi tubuh, terutama pengaruhnya pada susunan saraf pusat. Tidak jarang anak -anak yang mekanisme pengontrol suhu tubuhnya belum berkembang sempurna (stabil) seperti orang dewasa, mengalami kejang akibat demam tingg i (Sherwood, 2001). Secara umum suhu tubuh yang dapat dikatakan demam bila suhu rektal >38,0oC, suhu oral >37,8oC, ataupun suhu aksila >37,2oC. Demam tinggi bila suhu tubuh >40,5oC. Demam yang dapat menyebabkan kerusakan otak bila suhu tubuh >41,5oC (Schmitt,1984).

2.1.2. Pengaturan Suhu Tubuh

Suhu tubuh diatur oleh suatu mekanisme yang meliputi susunan saraf, biokimia, dan hormonal. Suhu adalah hasil produksi metabolisme tubuh yang diperlukan untuk kelancaran aliran darah dan menjaga agar reaksi ki mia tubuh dapat berjalan baik (enzim hanya bekerja pada suhu tertentu) (Ismoedijanto, 2000). Suhu tubuh normal umumnya dianggap berada pada 37,0oC (Baxteret al., 2000), Dari sudut pandang termoregulatorik, tubuh dapat dianggap sebagai suatu inti ditengah (central core) dengan lapisan pembungkus disebelah luar (outer shell). Suhu di inti bagian dalam yang terdiri dari organ -organ abdomen, toraks, sistem saraf pusat, dan otot rangka umumnya relative konstan yang dianggap sebagai suhu tubuh dan menjadi subjek pengaturan ketat untuk mempertahankan kestabilannya. Jaringan tubuh dibagian tengah


(18)

ini berfungsi optimum pada suhu relatif konstan sekitar 37,8oC. Kulit dan jaringan subkutis membentuk lapisan disebelah luar dan suhu di dalam lapisan luar umumnya lebih dingin dan pada dasarnya berubah -ubah (Sherwood, 2001).

Hipotalamus menerima informasi suhu tubuh bagian dalam dari suhu darah yang masuk ke otak dan informasi suhu luar tubuh dari reseptor panas dikulit, kemudian suhu dipertahankan dengan menjaga keseimba ngan pembentukan atau pelepasan panas. Hipotalamus posterior merupakan pusat pengatur yang bertugas meningkatkan produksi panas dan mengurangi pengeluaran panas bila suhu luar lebih rendah. Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur pengeluaran panas bi la suhu di luar tubuh lebih tinggi (Ismoedijanto, 2000).

Walaupun suhu inti dipertahankan relative konstan, terdapat beberapa faktor yang sedikit dapat mengubahnya:

a. Dalam keadaan normal sebagian besar suhu inti manusia bervariasi sekitar 1oC selama siang hari, dengan tingkat terendah terjadi di pagi hari (pukul 6 sampai pukul 7 pagi) dan titik tertinggi terjadi di sore hari (pukul 5 sampai 7 sore).

b. Pada wanita suhu inti rata -rata 0,5oC lebih tinggi selama separuh terakhir siklus dari saat ovulasi ke haid. Penyebab peningkatan ringan suhu ini masih belum diketahui.

c. Selama olahraga suhu inti meningkat dikarenakan peningkatan luar biasa produksi panas oleh otot -otot yang berkontraksi.

d. Suhu inti dapat berubah-ubah jika tubuh terpapar ke suhu yang ekstrim. Ini dikarenakan mekanisme pengatur suhu tidak 100% efektif (Sherwood, 2001).

2.1.3. Tahapan Demam

Demam terdiri dari tiga tahapan klinis, yaitu: 1. Tahap dingin


(19)

Suhu inti meningkat mencapai patokan suhu yang baru di set point. Disini akan terjadi vasokonstriksi kulit dan meningkatnya aktivitas otot seperti menggigil yang akan meningkatkan produksi panas.

2. Tahap demam

Terjadinya keseimbangan anta ra produksi dan pembuangan panas pada setpoint yang tinggi.

3. Tahap Flush (muka kembali merah)

Setpoint kembali normal, dan tubuh merasakan bahwa dirinya terlalu hangat. Terjadi peningkatan mekanisme penghilangan panas dengan cara vasodilatasi kulit dan diaphoresis sehingga kulit akan menjadi hangat, memerah, dan kering (Dalal & Zhukovsky, 2006).

2.1.4. Etiologi Demam

Demam biasanya disebabkan oleh infeksi. Infeksi yang paling sering menimbulkan demam adalah pneumonia, infeksi tulang (oste omyelitis), appendisitis, tuberkulosis, infeksi kulit atau sellulitis , meningitis. Infeksi pernapasan (flu, sakit tenggorokan, sinusi tis, dan bronchitis). Infeksi telinga, infeksi saluran kemih (ISK), viral gastroenteritis dan bak terial gastroenteritis. Selain itu anak-anak juga mengalami demam ringan selama 1 -2 hari sebagai akibat efek samping dari imunisasi. Tumbuh gigi juga dapat men ingkatkan suhu tubuh anak, akan tetapi biasanya tidak lebih dari 38oC. Gangguan autoimun atau inflamasi juga dapat menyebabkan demam seperti, rheumatoid arthritisdansystemic lupus erythematosus. Demam juga mungkin timbul pada gejalagejala awal keganasan terutama pada penyakit Hodgkin, limfoma non -Hodgkin, dan leukemia. Penyebab lain yang memungkinkan timbulnya demam meliputi tromboflebitis dan obat-obatan (beberapa antibiotik , antihistamin, dan obat-obatan kejang) (Kaneshiro & Zieve, 2010).

2.1.5. Faktor Risiko Demam

Risiko antara anak dengan terjadinya demam akut terhadap suatu penyakit serius bervariasi tergantung usia anak. Anak dengan usia dibawah tiga bulan


(20)

memiliki risiko tinggi untuk terjadinya infeksi bakteri yang serius. Biasanya anak tersebut hanya memperlihatkan demam dan pola makan yang buruk, tanpa adanya tanda lokasi infeksi. Pada anak usia dibawah tiga tahun ini kebanyakan demam disebakan oleh infeksi virus, akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya infeksi bakteri yang serius yang akan menyebabkan bakteremia, infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, diare, dan osteomyelitis (Smith, 2011).

Anak dengan usia antara dua bulan sampai tiga tahun memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya infeksi yang serius, hal ini dikarena kan kurangnya IgG yang merupakan bahan bagi tubuh untuk membentuk sistem kekebalan tubuh yang berfungsi untuk mengatasi infeksi. Demam yang terjadi pada anak dibawah tiga tahun pada umumnya merupakan demam yang disebabkan oleh infeksi seperti influenza, pn eumonia, dan infeksi saluran kemih. Pada anak -anak dibawah tiga tahun didapati bakteremia dan hanya bersifat sementara tapi tidak menutup kemungkinan bias berkembang menjadi infeksi yang serius (Smith, 2011)

2.1.6. Patogenesis Demam

Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahananm hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan menghilang sesudah masa yang pendek (Arvin, 1999).

Sebagai respon terhadap pirogen eksogen (berbagai macam agen infeksius, imunologis, atau agen yang berkaitan dengan toksin) sel -sel darah putih tertentu mengeluarkan zat kimia yang memiliki banyak efek melawan infeksi yang dikenal sebagai pirogen endogen. Pirogen end ogen ini juga akan bekerja pada pusat regulasi hipotalamus yang akan menyebabkan pengeluaran prostaglandin untuk meningkatkan patokan thermostat hipotalamus yg mengatur suhu tubuh (Sherwood, 2001).


(21)

Pirogen endogen ini adalah sitokin, misalnya interleukin (IL-1,β IL-1,α IL-6), faktor nekrosis tumor (TNF,α TNF-β) dan interferon-α (INF) yang diproduksi oleh sel-sel radang hospes. Sebagai respon terhadap sitokin tersebut maka terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase -2 (COX-2) dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh (Arvin, 1999). Hipotalamus merasa bahwa suhu normal s ebelum demam terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu baru yang telah ditetapkan hipotalamus. Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Pada permulaan demam mekanisme-mekanisme tersebut menyebabkan timbulnya rasa menggigil mendadak (Sherwood, 2001).

Karena merasa kedinginan, orang yang bersangkutan mungkin memakai selimut sebagai mekanisme volunter untuk membantu meningkatkan suhu tubuh dengan mengkonversi panas. Setelah suhu baru tercapai, suhu tubuh kemudian diatur seperti keadaan normal sebagai respon terhadap pejanan dingin atau panas, tetapi dengan patokan yang lebih tinggi (Arvin, 1999).

Pembentukan demam sebagai respon terhadap infeksi adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi. Walaupun makna fisiologis dari demam masih belum jelas, b anyak pakar medis berpendapat bahwa peningk atan suhu tubuh bersifat menguntungkan,

Gambar 2.1. Patogenesis Demam ( Sumber: Arch Intern

Med. 1998;158(17):1870-1881. doi:10.1001/archinte.158.17.1870 )


(22)

suhu yang lebih tinggi meningkatkan proses fagositosis dan meningkatkan kecepatan aktivitas peradangan yang bergantung pada enzim, juga meningkatkan kebutuhan bakteri akan b esi sekaligus menurunkan konsentrasi besi dalam plasma sehingga akan mengganggu multiplikasi bakteri (Sherwood, 2001). Kecuali pada peningkatan suhu tubuh yang terlalu tinggi yang akan menyebabkan demam itu sendiri tidak bermanfaat. Produksi panas pada demam meningkatkan pemakaian oksigen, produksi karbondioksida dan curah jantung. Dengan demikian demam dapat memperburuk insufisiensi jantung pada penderita penyakit jantung atau anemia kronis (misalnya penyakit sel sabit), insufisiensi paru pada mereka yang menderita penyakit paru kronis, dan ketidakstabilan metabolik pada anak yang menderita diabetes mellitus atau kelainan metabolism e bawaan. Lagipula anak-anak yang umurnya antara 6 bulan dan 5 tahun menghadapi peningkatan resiko untuk mengalami kejang demam sederhana, sedangkan mereka yang menderita epilepsi idiopatik dapat mengalami peningkatan frekuensi kejang (Arvin, 1999).

2.1.7. Tipe Demam

Demam Septik : Pada tipe demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat diatas normal pada pagi hari. Biasanya sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat.

Demam Hektik : Pada tipe demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari.

Demam Remiten : Pada tipe demam ini, setiap hari suhu badan dapat turun tetapi tidak pernah mencapai suhu badan yang normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak


(23)

sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.

Demam Intermiten : Pada tipe demam ini, dalam satu hari suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam.

Demam Kontinyu : Pada tipe demam ini, variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat.

Demam Siklik : Pada tipe demam ini, terdapat kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

(Nelwan, 2009)

2.1.8. Penatalaksanaan Demam

Demam sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi. Akan tetapi demam yang terlalu tinggi akan menimbulkan kerusakan pada otak. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam (Kaneshiro & Zieve, 2010).

Menurut Ferry (2010), secara garis besar penatalaksanaan demam dapat dibagi dua yaitu: terapi yang bisa dilakukan dirumah dan terapi yang bisa dilakukan oleh paramedis. Untuk mengetahui seseorang tersebut mend erita demam dapat dilakukan pengukuran suhu menggunakan t ermometer.

 Perawatan dirumah

Ada tiga tujuan perawatan dirumah pada anak yang mengalami demam, yaitu:

a. Mengontrol suhu. b. Mencegah dehidrasi.

c. Memantau penyakit serius atau penyakit yang mengancam jiwa (Ferry, 2010).


(24)

a. Mengontrol suhu

Bertujuan untuk membuat anak nyaman dengan memantau dan mengurangi demam. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan thermometer, obat-obatan, dan menggunakan pakaian yang tepat. mandi air hangat juga dapat membantu tetap i tidak lebih dari 10 menit. - Penggunaan termometer

Untuk mengetahui suhu anak diperlukan thermometer. Berbagai jenis thermometer yang tersedia, termasuk kaca, merkuri, digital, dan timpani. Kebanyakan dokter tidak menyarankan menggunakan thermometer timpani karena penggunaannya diluar klinik tidak dapat diandalkan dan dapat memberikan hasil yang tidak akurat. Thermometer digital hasilnya bisa dibaca dalam hitungan detik. Cara yang terbaik untuk memeriksa bayi maupun balita adalah de ngan menggunakan thermometer rektal, tetapi pemeriksaannya membuat anak merasa tidak nyaman. Suhu oral dapat diperoleh pada anak yang lebih tua dengan tidak bernafas dari mulut dan tidak baru saja meminum air dingin ataupun hangat (Ferry, 2010). Pengukuran suhu mulut aman dan dapat dilakukan pada anak usia di atas 4 tahun karena sudah dapat bekerja sama untuk menahan termometer di mulut. Pengukuran ini juga lebih akurat dibandingkan dengan suhu aksila. Pengukuran suhu aksila mudah dilakukan, tetapi hanya menggambarkan suhu pe rifer tubuh yang sangat dipengaruhi oleh vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat sehingga kurang akurat.


(25)

Tabel 2.1: Tipe termometer, berdasarkan wawancara telepon dengan sampel acak pada komunitas ahli farmasi di Itali pada tahun 2008

Tipe

Termometer

Tempat/Cara

Pengukuran

Keuntungan Kerugian Komentar

Merkuri Aksila, oral, rektal

Mudah dibaca, biaya murah

Rapuh, tidak dapat

dikalibrasi, waktu pengukuran yg lama (5-8 menit)

dengan tipe nonprismatik klasik, berpotensi terhadap keracunan merkuri

Ditarik dari pasaran pada tahun 2010 karena risiko keracunan merkuri


(26)

Digital Aksila, oral, rektal mempunyai alarm akustik yg menandakan akhir pengukuran Butuh penggantian baterai, kalibrasi sulit dilakukan, beberapa model bergantung pada perubahan temperatur/ waktu pengukuran dan dapat berhenti lebih cepat

Model yang fleksibel lebih dipilih karena alasan keamanan, tipe “dummy” (pacifier) mempunyai akurasi yg kurang Cairan Kristal Strip plastik ditempel pada dahi Mudah digunakan, tidak rusak, non toksik

Akurasi dan ketepatan yang kurang

Tipe “mother’s

touch

lebih tepat dibanding model lainnya Inframerah Aurikula Kontak kulit Non kontak Waktu pengukuran yg sangat singkat (beberapa detik)

Tidak ada standarisasi antar model menyebabkan kalibrasi yg tidak tepat, Pengukuran aurikula dapat memberikan hasil akurat ketika dilakukan oleh tenaga


(27)

beberapa model (aurikula) dapat sulit untuk dimasukkan, tipe

kontak-kulit membutuhkan disinfeksi rutin

atau hanya dikhususkan pada 1 pasien

ahli

(Lubis I & Lubis C, 2011)

Rentang suhu tubuh normal bervariasi, tergantung metode apa yang digunakan.

Tabel 2.2: Rentang suhu normal

(Baxteret al., 2000)

Tabel 2.3: Teknik pengukuran suhu yang dianjurkan

Metode Pengukuran Rentang Suhu Normal

Rectum (Anus) Mulut (oral) Axila (ketiak) Telinga

36.6°C - 38°C (97.9°F - 100.4°F) 35.5°C - 37.5°C (95.9°F - 99.5°F) 34.7°C - 37.3°C (94.5°F - 99.1°F) 35.8°C - 38°C (96.4°F - 100.4°F)


(28)

(Baxteret al., 2000)

- Obat-obatan

Antipiretik hanya dapat diberikan apabila demam anak > 39,0oC, demam yang diikuti rasa tidak nyaman, atau demam pada anak yang memiliki riwayat kejang demam atau penyakit jantung (Schmitt,1984). Demam <39oC pada anak yang sebelumnya sehat pada umumnya tidak memerlukan p engobatan. Bila suhu naik >39oC, anak cenderung tidak nyaman dan pemberian obat -obatan penurun panas sering membuat anak merasa lebih baik (Kania,2010). Dosis pemberian antipiretik untuk anak juga perlu diperhatikan sesuai dengan berat badan dan umurnya (Schmit, 1984). Acetaminofen dan ibuprofen digunakan untuk menurunkan demam, petunjuk dosis dan frekuensi pemberian obat biasanya dicantumkan pada label setiap obat. Terus memberi obat setidaknya selama 24 jam, karena biasanya demam akan kembali terjadi (Ferry, 2010). Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan acetaminophen dalam pengurangan demam lebih cepat, sementara ibuprofen Bayi–2 tahun

2 tahun–5 tahun

> 5 tahun

1. Anus (Rectal) 2. Ketiak (Axila)

1. Anus (Rectal) 2. Telinga (Tympanic) 3. Ketiak (Axila)

1. Mulut (Oral) 2. Telinga (Tympanic) 3. Ketiak (Axila)


(29)

memiliki efek yang lebih lama (Graneto, 2013). Penggunaan aspirin sangat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan terjadiny a sindrom Reye pada anak (Davis, 2012).

Acetaminophen (Parasetamol)

Di Indonesia Asetaminofen lebih dikenal dengan nama parasetamol dan tersedia sebagai obat bebas (Wilmana & Gan, 2007). Parasetamol adalah obat yang paling banyak digunakan sebagai analgesik dan antipiret ik (Farrell, 2012).

- Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol menghilangka n atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang, juga menurunkan suhu tubuh yang diduga berdasarkan efek sentral.

- Farmakokinetik

Parasetamol diberikan secara peroral, penyerapa nnya dihubungkan dengan tingkat pengosongan lambung dan konsentrasi darah. Konsentrasi tertinggi di dalam pl asma biasanya tercapai dalam 30 sampai 60 menit (Katzung, 2002). Dalam plasma 25 % parasetamol terika t protein plasma. Diabsorbsi dengan sempurna melalui saluran cerna. Dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati. Diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjungasi. Parasetamo l memiliki waktu paruh plasma 1 sampai 3 jam (Wilmana & Gan, 2000).

- Efek samping

Dalam dosis terapetik bisa terjadi peningkatan enzim hati dan terkadang bisa terjadi tanpa adanya ikterus. Dengan menelan dosis 15 gram (250mg/kgBB) parasetamol bisa


(30)

fatal, kematian dapat terjadi karena hepatotoksisitas yang hebat dengan nekrosis lobules sentral (Katzung, 2000). - Sediaan dan dosis

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5 mL. selain itu terdapat juga sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis yang dianjurkan pada anak < 1 tahun adalah 60 mg/kali. Untuk anak 1 sampai 6 tahun adalah 60 sampai 120 mg/kali. Pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. Untuk an ak 6 sampai 12 tahun dosis yang diberikan adalah 150 sampai 300 mg/kali, dengan maksimum 1,2 g/hari (Wilmana & Gan, 2000). Ibuprofen

Ibuprofen merupakan obat pereda nyeri yang termasuk kedalam golongan obat analgesik anti -inflamasi non steroid (AINS) yang bisa ditemukan di banyak toko obat. Ibuprofen adalah derivate asam propionate. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat (Wilmana & Gan, 2000).

- Farmakodinamik

Ibuprofen digunakan untuk mengurangi nyeri ringan sampai sedang, demam, dan peradangan. Nyeri, demam, dan peradangan tersebut di hasilkan karena adanya senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tubuh yang disebut prostaglandin. Ibuprofen menghambat siklooksigenase, yaitu enzim yang membentuk prostaglandin, sehingga jumlah prostaglandin di dalam tubuh akan menjadi rendah. Akibatnya, peradangan, nyeri dan demam berkurang (Ogbru, 2007).


(31)

- Farmakokinetik

Ibuprofen diabsorbsi cepat melalui lambung dan kadar maksimal dalam plasma dicapai setelah 1 sampai 2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh persen ibuprofen terikat dalam protein plasma(Wilmana and Gan,2000). Metabolisme secara estensif via CYP2C8 dan CYP2C9 di dalam hati (Katzung, 2002). Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap, kira -kira 90 % dari dosis yang diabsorbsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya (Wilmana & Gan, 2000).

- Efek samping

Obat-obatan anti-inflamasi (termasuk ibuprofen) jarang dapat meningkatkan risiko untuk serangan jantung atau stroke. Iritasi gastrointestinal dan perdarahan bias terjadi, walaupun tidak sesering aspirin (Katzung, 2002). Efek lain yang jarang terjadi ialah, eritema kulit, sakit kepala, trombosipenia ,ambilopia toksik yang reversible (Wilmana & Gan, 2007).

- Dosis

Untuk nyeri ringan sampai sedang, kram menstruasi, dan demam, dosis lazim dewasa adalah 200 atau 400 mg setiap 4 sampai 6 jam. Anak-anak 6 bulan sampai 12 tahun biasanya diberikan 5 sampai 10 mg/kgBB ibuprofen setiap 6 sampai 8 jam untuk pengobatan demam dan rasa sakit . Dosis maksimum adalah 40 mg / kg sehari. Tidak harus menggunakan ibuprofen selama lebih dari 10 hari untuk pengobatan nyeri atau lebih dari 3 hari untuk pengobatan demam kecuali, diarahkan oleh dokter (Ogbru, 2007).


(32)

- Penggunaan pakaian dan kompres y ang tepat

Di dalam ruangan, anak- anak tidak boleh memakai pakaian yang berlebihan tebalnya, bahkan ketika musim dingin. Berpakaian terlalu tebal akan sulit mengeluarkan panas melaui proses evaporasi (penguapan), radiasi, konduksi dan konveksi. Solusi yang paling praktis adalah dengan memakaikan anak pakaian satu lapis, lalu selimuti anak dengan selembar selimut tipis (Ferry, 2010). Kompres air hangat akan membantu mengurangi demam (Dalal &Zhukovsky, 2006).

Gunakan kain basah atau spons yang hangat untuk m embasahi kulit tubuh, lengan, dan kaki, tapi jangan menutupi anak dengan handuk basah karena akan mencegah penguapan panas (Ferry, 2010). Pemberian kompres hangat dilakukan apabila suhu diatas 38,5oC dan telah mengkonsumsi antipiretik setengah jam sebelum nya (Newman,1985). Menurut penelitian Setiawati, (2008) dalam Maling

et al, (2012) rata-rata penurunan suhu tubuh pada anak hipertermia yang mendapatkan terapi antipiretik ditambah pengompresan air hangat sebesar 0,53oC dalam waktu 30 menit. Sedangkan yang mendapat terapi pengompresan air hangat saja rata -rata penurunan suhu tubuhnya sebesar 0,97oC dalam waktu 60 menit. Suhu air untuk mengompres antara 30-35oC (Maling et al., 2012). Sebelum tahun 1950, pengompresan dengan isopropil alkohol dan etil alkohol sering dilakukan akan tetapi, hal tersebut tidak dianjurkan lagi setelah jelas bahwa anak-anak bisa menghirup uap alkohol selama pengompresan, dan hal ini akan menimbulkan hipoglike mia, koma, bahkan kematian. Keracunan alkohol juga bisa terjadi pada orang dewasa yang di kompres dengan alkohol (Axelrod, 2000).

b. Mencegah dehidrasi

Tubuh manusia akan kehilangan banyak air melalui kulit dan paru -paru saat demam. Dorong anak untuk minum cairan yang bening tanpa kafein dan tidak mengandung glukosa ataupun elektrolit. Cairan


(33)

bening lainnya yang boleh diberikan adalah sup ayam dan minuman rehidrasi lain yang tersedia di toko maupun apotek. Teh sebaiknya tidak diberikan karena, teh merupakan produk yang mengandung kafein yang akan meningkatkan kehilangan cairan pada anak melalui buang air kecil dan memperberat dehidrasi. Jika terhidrasi dengan baik maka, anak akan buang air kecil empat jam sekali dengan urin bewarna terang (Ferry, 2010).

c. Memantau penyakit yang serius ataupun mengancam jiwa

Memantau anak akan adanya tanda -tanda penyakit serius ataupun yang mengancam jiwa. Strategi yang baik adalah dengan mengurangi suhu anak dibawah 39,0oC. Selain itu, pastikan cairan anak tercukupi dengan meminum banyak air. Jika kedua kondisi ini terpenuhi dan anak masih tampak sakit, mungkin ada masalah yang serius (Ferry, 2010).

 Perawatan Medis

Diperlukan perawatan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan:

- usia < 3 bulan dengan suhu re ctal≥ 38,0oC. - usia 3 sampai 12 bulan dengan suhu≥ 39,0oC.

- usia < 2 bulan dengan demam yang berlangsung > 24 sampai 48 jam.

- demam dengan suhu > 40,5oC, kecuali mudah turun dengan pengobatan dan orang tersebut merasa nyaman.

- mengalami demam yang naik turun selama seminggu atau lebih, bahkan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi.

- memiliki penyakit serius, seperti masalah jantung, sickle cell anemia, diabetes, ataucystic fibrosis.

- demam dengan suhu yang tidak turun selama 48 sampai 72 jam (Kaneshiro & Zieve, 2010).


(34)

 Seorang dokter mungkin saja tidak memberitahu penyebab pasti terjadinya demam. Ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh dokter ketika anak dengan demam dibawa oleh keluarganya untuk berobat.

a. Pada infeksi virus dokter tidak akan memberikan antibiotik karena, pemberian antibiotik tidak akan bermanfaat dan justru akan menyebabkan terjadinya reaksi obat yang akhirnya menimbulkan masalah yang baru.

b. Antibiotik diberikan pada infeksi bakteri.

c. Anak yang memiliki penyakit serius sepe rti meningitis bakteri biasanya akan dirawat di rumah sakit.

d. Acetaminophen dan ibuprofen adalah obat yang biasanya digunakan dokter untuk menurunkan demam.

e. Pemberian cairan oral ataupun intravena dapat dilakukan untuk mengatasi dehidrasi.

f. Jika kondisi anak sudah mulai membaik setelah mengurangi demam, mengatasi dehidrasi, dan memastikan tidak ada infeksi bakteri yang serius, umumnya dokter akan menganjurkan perawatan dirumah dan pemantauan lebih lanjut (Ferry, 2010).

2.1.9 Pencegahan Demam

Pencegahan berbagai macam penyakit penyebab demam dimulai dari kebersihan pribadi dan rumah tangga. Tindakan -tindakan dibawah ini dapat mencegah terjadinya penyebaran bakteri dan virus, yaitu:

1. Mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir 2. Menutup mulut dan hidung saat bersin.

3. Menyentuh makanan dengan tangan yang bersih.

4. Mengimunisasi anak dengan benar sesuai jadwal imunisasi.

5. Memakan makanan yang sehat, termasuk buah -buahan dan sayuran. 6. Tidur yang cukup (Ferry, 2010)


(35)

2.2. Pengetahuan

2.2.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Penginderaan ini juga dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap suatu objek.

2.2.2. Pembagian Tingkat P engetahuan

Secara garis besar tingkat pengetahuan dibagi atas enam hal, yaitu:

1. Tahu (Know), yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (Comprehension), yakni kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Application), yakni kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.

4. Analisis (Analysis), yakni kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitan satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis), yakni kemampuan untuk meletakkan dan menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation), yakni kemampuan melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2005).

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi P engetahuan 1. Pendidikan


(36)

Pendidikan adalah bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap suatu hal agar dapat dipahami. Semakin tinggi pendidikan seseorang maki n mudah mereka menerima informasi, dan semakin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya.

3. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

4. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status social ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

5. Umur

Dengan bertambahnya umur pada seseorang akan terjadi per ubahan pada aspek fisik dan psikologis. Pada aspek psikologis taraf berpikir seseorang akan semakin matang dan dewasa.

6. Minat

Suatu kecendrungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang mendalam.

7. Pengalaman

Pengalaman adalah kejadian yamg pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Seseorang akan berusaha melupakan pengalaman yang tidak baik dan sebaliknya mengingat pengalaman yang menyenangkan.

8. Kebudayaan dan lingkungan sekitar 9. Informasi

Kemudian untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak et al., 2007).


(37)

2.2.4. Pengukuran dan Indikator Pengetahuan Kesehatan

Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara -cara memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang cara-cara memelihara kesehatan ini meliputi:

1. Pengetahuan tentang penyakit menular atau tidak menular (jenis penyakitnya, tanda-tanda atau gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara pencegahannya, dan cara mengatasi atau menangani sementara).

2. Pengetahuan tentang faktor -faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan antara lain: gizi makanan, sarana air bersi h, pembuangan air limbah, pembuangan kotoran manusia, pembuangan sampah, perumahan sehat, polusi udara ,dan sebagainya.

3. Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang professional maupun tradisional.

4. Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan (Notoat modjo, 2005)

2.3. Tindakan

2.3.1. Definisi Tindakan

Tindakan adalah kecenderungan untuk melakukan sesuatu. Untuk mewujudkan tindakan diperlukan faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.

2.3.2. Tingkatan Tindakan

Tindakan dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:

1. Praktik terpimpin(guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. m isalnya, seseorang ibu memeriksaka n kehamilannya tetapi masih menunggu diingatkan oleh bidan atau tetangga -nya.


(38)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. misalnya, seorang ibu selalu membawa anaknya ke Pos yandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu perintah dari kader atau petugas kesehatan.

3. Adopsi(adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak s ekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau prilaku yang berkualitas. Misalnya, menggosok gigi bukan sekedar gosok gigi, melainkan dengan teknik-teknik yang benar (Notoatmodjo, 2005).

2.3.3. Faktor yang Memp engaruhi Perilaku Kesehatan

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi perilaku kesehatan, yaitu 1. Faktor predisoposisi

Faktor ini meliputi pengetahuan dan sikap masyarakat terhdap hal -hal yang berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Diperlukan pengetahuan dan kesadaran tentang manfaat perilaku kesehatan untuk mewujudkan tindakan kesehatan. Namun, kepercayaan akan tradisi masyarakat, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi juga dapat menghambat atau mendorong seseorang untuk berperilaku.

2. Faktor pemungkin

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Untuk dapat berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana mendukung atau fasilitas yang memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau pemudah.

3. Faktor penguat

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas kesehatan, termasuk juga undang-undang, peraturan yang terkait dengan kesehatan. Untuk


(39)

dapat berperilaku sehat positif tidak bisa hanya dengan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas kesehatan.

2.3.4. Pengukuran Tindakan atau Peraktik K esehatan

Adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan. Hal ini meliputi empat faktor, yaitu:

1. Tindakan atau praktik sehubungan dengan penyakit menular atau tidak menular (jenis penyakitnya, tanda-tanda atau gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara pencegahannya, dan cara mengatasi atau menangani sementara).

2. Tindakan atau praktik sehubungan dengan faktor -faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, antara lain: gizi makanan, sar ana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan kotoran manusia, pembuangan sampah, perumahan sehat, polusi udara dan, sebagainya. 3. Tindakan atau praktik sehubungan dengan penggunaan fasilitas

pelayanan kesehatan.


(40)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1.Kerangka Konsep

Variable Independen: Variabel Dependen

Variabel Perancu

Tingkat pengetahuan ibu mengenai demam pada anak

Tindakan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak

Tingkat Ekonomi Tingkat Pendidikan


(41)

3.2.Variabel dan Definisi Operasional

Table 3.1. Variabel, Definisi Operasional, Cara Ukur, Alat Ukur, Kategori, Skala Pengukuran

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur

Cara

Ukur Kategori Skala

1. Pengetahuan ibu tentang demam pada anak

Segala sesuatu yang diketahui ibu mengenai demam pada anak meliputi: pengertian, penyebab, faktor risiko, komplikasi,

pengobatan, dan

pencegahannya

Kuisioner Angket 1. Tinggi: apabila dari jawaban responden memiliki nilai > 75% dari jumlah skor keseluruhan pertanyaan yang diberikan

2. Sedang: apabila jawaban responden memiliki nilai 40-75% dari jumlah skor keseluruhan pertanyaan yang diberikan

3. Rendah: apabila jawaban responden memiliki nilai <40% dari jumlah skor keseluruhan


(42)

pertanyaan yang diberikan. 2. Tindakan ibu

rerhadap penatalaksan aan demam pada anak

Segala sesuatu yang telah dilakukan ibu untuk

menurunkan atau

mengurangi demam pada anak

Kuisioner Angket 4. Sangat Baik: apabila dari jawaban responden memiliki nilai > 75% dari jumlah skor keseluruhan pertanyaan yang diberikan

5. Baik: apabila jawaban responden memiliki nilai 40-75% dari jumlah skor keseluruhan pertanyaan yang diberikan

6. Buruk: apabila jawaban responden memiliki nilai <40% dari jumlah skor keseluruhan pertanyaan yang diberikan.

Ordinal

3. Tingkat Ekonomi

Jumlah penghasilan yang didapat perbulannya

Kuisioner Angket 1. Tinggi:

≥UMR= >Rp.1.375.000


(43)

2. Rendah:

<UMR= <Rp.1.375.000

4. Tingkat Pendidikan

Jenjang pendidikan terakhir yang dicapai responden (ibu) saat dilakukan wawancara

Kuisioner Angket 1. Tinggi: Perguruan tinggi 2. Sedang: SMA-SMP

3. Rendah:SD-Tidak bersekolah

Ordinal

5. Usia Usia responden (ibu) yang dihitung pada saat dilakukan wawancara berdasarkan ulang tahun terakhir ditambah apabila kurang dari 6 bulan dibulatkan ke ulang tahun terakhir sedangkan lebih dari 6 bulan dibulatkan ke ulang tahun berikutnya

Kuisioner Angket 1. ≤20 tahun 2. 21-30 tahun 3. 31-40 tahun 4. ≥41 tahun


(44)

3.3.Hipotesis


(45)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1.Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan desain cross sectional (potong lintang) dan akan dianalisis secara analitik yaitu untuk mencari hubungan tingkat p engetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara karena masih tingginya angka kejadian penyakit -penyakit dengan gejala demam dan belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan ibu tentang demam terhadap penatalaksanaan demam pada anak di desa tersebut sebelumnya, juga minimnya tenaga medis yang bekerja di desa tersebut.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai September 2013.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak sedangkan populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak di Desa Air Hitam Kecamata n Lima Puluh Kabupaten Batubara. Jumlah ibu yang mempunyai anak yang terdaftar berdasarkan kepala keluarga sebanyak 684 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian diambil dengan metode consecutive sampling. Di dalam metode ini, semua suby ek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dal am penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2011).


(46)

Adapun kriteria inklusi sampel penelitian ini adalah:

1. Ibu-ibu yang mempunyai anak dan bersedia mengikuti penelitian 2. Ibu-ibu yang mempunyai anak dengan riwayat demam > 3 hari

Adapun kriteria eksklusi sampel penelitian ini adalah: 1. Kuesioner yang tidak lengkap

4.3.3. Besar Sampel

Besarnya sampel penelitian ini dihitung dengan menggunakan perhitungan dengan rumus menurut Wahyuni (2007).

.

·

·

·

·

Keterangan

n = besar sampel minimal N = jumlah populasi

Z1-a/2 = nilai distribusi normal baku (table Z) pada α tertentu P = proporsi di populasi

d = kesalahan (absolut) yang dapat di toleri r (ditetapkan oleh peneliti)

berdasarkan rumus tersebut maka besar sampel dapat dihitung sebagai berikut:

n = besar sampel minimal

N = 684

Z1-a/2 = 1,96 (95%)

P = 0,5

d = 0,1

684. 1,96 · 0,5 1 0,5 684 1 0,1 1,96 · 0,5 · 1 0,5


(47)

656,9139 7,7904 84,32

Dengan besar sampel minimal tersebut, maka sampel penelitian saya bulatkan menjadi 85 orang.

4.4.Teknik Pengumpulan Data

4.4.1. Data Primer dan Data Sekunder 1. Data Primer

Pada penelitian ini digunakan data primer yang didapat langsung dari responden. Responden dalam hal ini adalah ibu-ibu yang mempunyai anak di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara yang terpilih sebagai sampel. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan pemberian kuesioner dan alat pengumpulan data berupa kuesioner. Ku esioner ini akan diisi oleh setiap responden yang telah menandatangani surat persetujuan bersedia untuk menjadi responden. Peneliti akan melakukan penyuluhan mengenai demam dengan maksud untuk mengumpulkan ibu -ibu di puskesmas dan memberikan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang demam terhadap penatalaksanaan demam pada anak sebelum penyuluhan dimulai.

2. Data Sekunder

Penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang dipero leh dari kantor kepala desa, berupa jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara.

4.4.2. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kue sioner (daftar pertanyaan). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini


(48)

merupakan kuesioner yang akan dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan setelah ujian seminar proposal dan dilakukan pada ibu -ibu sebanyak 20 orang yang mempunyai karakteristik yang sama dengan sampel, namun diambil diluar daerah populasi. Jumlah pertanyaan yang akan di uji validitas dan reliabilitasnya sebanyak 25 pertanyaan yang sesuai dengan variabel -variabel yang akan diukur yang terdapat pada kerangka konsep penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu mengenai demam terhadap penatalaksanaan demam pada anak. Pertanyaan dapat dikatakan valid apabila pada saat uji validitas dilakukan mempunyai nilai r >0,5 dan nilai s <0,05. Pertanyaan -pertanyaan yang valid t ersebut akan dilanjutkan uji realibilitasnya dengan metode cronbach’s alpha. Dikatakan reliabel jika nilai r >0,60.

Informed consent diberi bersamaan dengan kue sioner tersebut yang menjelaskan tujuan dilakukan penelitian. Pe ngisian kuesioner dilakukan secara langsung oleh ibu sambil diamati oleh peneliti untuk memastikan tidak ada terjadi kecurangan dalam pengisian kue sioner. Data yang diperoleh kemudian dianalisis, setelah kue sioner dikembalikan kepada peneliti.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul dari kuisioner di tabulasi untuk diolah lebih lanjut dengan menggunakan program Statistik.

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama editingyaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastika n bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Tahap ketiga entry yaitu memasukkan data d ari kuesioner ke dalam program komputer dengan menggunakan program statistik . Tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang


(49)

telah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. Tahap kelima

saving yaitu menyimpan data yang sudah di cek untuk kemudian dianalisa.

Data selanjutnya dianalisis secara bertahap yaitu: 1) Analisis Univariat

Analisa data dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentasi tiap variabel yang diteliti. Data yang bersifat kategorik dicari frekuensi dan persentasinya.

2) Analisis Bivariat (Uji Hipotesis)

Uji Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Chi Square,

yaitu membandingkan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan (Wahyuni, 2007). Uji Chi Square dipilih karena variabel independen dan dependen bersifat kategorial.

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel pada derajat kemaknaan 95% (α=0.05). Hubungan tersebut akan dinilai bermakna secara statistik apabila ni lai p < 0,05 (Sastroasmoro, 2011 ).


(50)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil penelitian

5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara, kode pos (21255). Desa Air Hitam terdiri dari lima dusun yaitu dusun I-V.

5.1.2. Analisa univariat

Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentasi tiap variabel yang diteliti. Data yang bersifat kategorik dicari frekuensi dan persentasinya. Penelitian dilakukan pada 85 responden yang merupakan ibu yang memiliki anak dengan riwayat demam di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara. Karakteristik yang diamati dari responden adalah usia, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi berdasa rkan UMR, tingkat pengetahuan, dan tingkat penatalaksanaan demam pada anak.

5.1.2.1. Karakteristik responden

Karakteristik usia responden terbagi atas empat yaitu ≤20 tahun, 21 – 30 tahun, 31 – 40 tahun, dan ≥41 tahun. Berdasarkan karakteristik kelompok usia, hasil penelitian mendapatkan kelompok responden paling banyak berada pada kelompok usia 21-30 tahun, yaitu sebanyak 43 orang (50,6%). Sedangkan kelompok responden yang paling sedikit adalah berada pada kelompok usia dibawah 20 tahun yaitu sebanyak 3 o rang (3,5%). Pendidikan responden terdistribusi menjadi tiga kelompok yaitu, tinggi apabila pendidikan terakhir responden adalah Perguruan Tinggi, sedang apabila pendidikan terakhir responde n adalah SMA-SMP, rendah apabila pendidikan terakhir responden ada lah SD-Tidak sekolah. Berdasarkan karakteristik kelompok tingkat pendidikan, hasil penelitian memperoleh kelompok responden terbanyak menurut tingkat pendidikan adalah kelompok sedang sebanyak 40 orang (47,1%). Sedangkan kelompok responden paling sedikit a dalah kelompok tingkat pendidikannya yang tinggi yaitu 8 orang (9,4%). Tingkat ekonomi responden terdistribudi menjadi dua kelompok berdasarkan Upah Minimun Regional (UMR) yaitu, ≥UMR (≥Rp.


(51)

1.375.000) dan <UMR (<Rp. 1.375.000). Hasil penelitian memperoleh kelompok respoden terbanyak berdasarkan tingkat ekonomi yaitu <UMR sebanyak 65 orang (76,5%), dan yang paling sedikit pada kelompok ≥UMR sebanyak 20 orang (23,5%). Pengetahuan responden mengenai demam dan penatalaksanaannya diukur dengan menggunakan kuesio ner yang berisikan 13 (tiga belas) pertanyaan. Gambaran pengetahuan responden diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dari hasil penelitian diperoleh responden yang memiliki tingkat pengetahuan tertinggi berada pada kelompo k sedang sebanyak 44 orang (51,8%) dan kelompok responden terendah berada pada kelompok tingakat pengetahuan tinggi sebanyak 13 orang (15,3%). Tindakan responden terhadap penatalaksanaan demam pada anak diukur dengan menggunakan kesioner yang berisikan 9 ( sembilan) pertanyaan. Tingkat penatalaksanaan responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu baik dan buruk. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat penatalaksanaan responden terhadap demam terbanyak pada kelompok baik sebanyak 49 orang (57,6%) dan tere ndah berada pada kelompok buruk sebanyak 36 orang (42,4%). Hal ini dapat dilihat pada table 5.1.

Table 5.1. Distribusi reponden berdasarkan karakteristik

Karakteristik n (%)

Usia ibu (tahun)

-≤ 20 3 (3,5)

- 21-30 43 (50,6)

- 31-40 32 (37,6)

-≥ 41 7 (8,2)

Tingkat pendidikan


(52)

- Sedang 40 (47,1)

- Rendah 37 (43,5)

Tingkat ekonomi

- Tinggi (≥UMR) 20 (23,5)

- Rendah (<UMR) 65 (76,5)

Tingkat pengetahuan

- Tinggi 13 (15,3)

- Sedang 44 (51,8)

- Rendah 28 (32,9)

Tingkat penatalaksanaan demam

- Baik 52 (61,1%)

- Buruk 33 (38,8%)

5.1.3. Tabulasi silang

5.1.3.1. Distribusi gambaran tindakan berdasarkan karakteristik responden

Gambaran tindakan baik paling banyak dijumpai pada kelompok usia 21 -30 tahun yaitu sebanyak 29 (55,8%) orang. Sedangkan untuk gamba ran tindakan buruk paling banyak dijumpai pada kelompok usia 31 -40 (48,5%) orang. Gambaran tindakan penatalaksanaan demam pada anak baik palin g banyak


(53)

dijumpai pada kelompok tingkat pendidikan sedang (SMP -SMA) yaitu sebanyak 28 (53,8%). Namun, pada kelompok tingkat pendidikan tinggi (Perguruan tinggi) didapatkan seluruhnya yaitu 8 (15,4%) orang berada pada kelompok baik dalam penatalaksanaan demam pada anak. Sedangkan untuk gambaran buruk paling banyak dijumpai pada tingkat pengetahuan rendah 21 (63,6%) orang. Gambaran tindakan penatalaksanaan demam pada anak pada kelompok baik berdasarkan tingkat ekonomi terbanyak pada kelompok tingkat ekonomi r endah yaitu sebanyak 33 (63,5%) orang. Sedangkan yang buruk juga berda pada kelompok tingkat ekonomi rendah sebanyak 31 (93,9%) orang. Hal ini dapat dilihat pada table 5.2.

Tabel 5.2. Distribusi gambaran tindakan berdasarkan karakteristik responden

Karakteristik

Penatalaksanaan demam pada anak

Baik Buruk

N (%) N (%)

Usia

- <20 3 (5,8) 0 (0)

- 21-30 29 (55,8) 14 (42,4)

- 31-40 16 (30,8) 16 (48,5)

- >41 4 (7,7) 3 (9,1)

Pendidikan


(54)

- Sedang 28 (53,8) 12 (36,4)

- Rendah 16 (30,8) 21 (63,6)

Ekonomi

- Tinggi (>UMR) 19 (36,5) 2 (6,1)

- Rendah (<UMR) 33 (63,5) 31 (93,9)

5.1.3.2. Distribusi gambaran pengetahuan berdasarkan karakteristik responden Gambaran pengetahuan tinggi paling banyak dijumpai pada kelompok usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 8 (6,8%) orang. Sedangkan untuk gambaran pengetahuan rendah paling banyak dijumpai pada kelompok usia 31 -40 (17,6%) orang. Gambaran pengetahuan demam pada anak yang tinggi paling banyak dijumpai pada kelompok tingkat pendidikan sedang (SMP -SMA) yaitu sebanyak 6 (7,0%) dan tingkat pengetahuan yang rendah paling banyak juga berada pada kelompok pendidikan yang rendah sebanyak 22 (25,8%) orang. Gambaran pengetahuan demam pada anak pada kelompok tinggi berdasarkan tingkat ekonomi terbanyak pada kelompok tingkat ekonomi rendah yaitu sebanyak 7 (8,5%) orang. Sedangkan yang rendah juga berda pada kelompok tingkat ekonomi rendah sebanyak 27 (31,%) orang. Hal ini dapat dilihat pada table 5.3.

Tabel 5.3. Distribusi gambaran pengetahuan berdasarkan karakteristik responden

Karakteristik

Pengetahuan demam pada anak

Tinggi Sedang Rendah

N (%) N (%) N(%)

Usia


(55)

- 21-30 8 (6,8) 23 (27,0) 12 (14,1)

- 31-40 2 (2,3) 15 (17,6) 15 (17,6)

- >41 3 (3,5) 3 (3,5) 1 (1,1)

Pendidikan

- Tinggi 2 (2,3) 11 (12,9) 0 (0)

- Sedang 6 (7,0) 23 (27,0) 15 (17,6)

- Rendah 0 (0) 6 (7,0) 22 (25,8)

Ekonomi

-Tinggi (>UMR) 6 (7,0) 14 (16,4) 1 (1,1)

-Rendah(<UMR) 7 (8,2) 30 (35,2) 27 (31,7)

5.1.4. Analisa Bivariat.

Uji Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Chi Square, yaitu membandingkan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan (Wahyuni, 2007). Uji Chi Square dipilih karena variabel independen da n dependen bersifat kategorial. Pada penelitian ini akan mencari Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terha dap penatalaksanaan demam pada anak. Kategori tingkat penatalaksanaan ibu terhadap demam sebelumnya dibagi dalam tiga kategori yaitu sangat baik, baik, buruk, namun untuk keperluan analisis data maka kategori diubah menjadi dua kelompok yaitu baik dan buru k.

Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak dapat dilihat pada tabel 5. 3.


(56)

Tabel 5.3. Hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak

Tingkat pengetahuan

Penatalaksanaan demam pada anak

P

Buruk Baik

N (%) N(%)

Rendah 19(57,6) 9 (17,3) <0,001

Sedang 9 (27,3) 35(67,3)

Tinggi 5 (15,2) 8 (15,4)

Dari hasil uji analisis yang terlihat pada tabel (5.6) menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan penatalaksanaan demam pada anak (p<0,001). Sebagian besar (41,2%) ibu dengan tingkat pengetahuan sedang memiliki tingkat penatalaksanaan yang baik untuk demam pada anak, begitu juga dengan ibu yang memiliki tingakat pengetahuan tinggi sebagian besar memiliki tingkat penatalaksanaan demam yang baik, sedangkan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah sebagian besar memiliki tingkat penatalaksanaan demam pada anak yang buruk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan ibu merupakan hal yang sangat mempengaruhi tindakan penatalaksanaan demam pada anak.

5.2. Pembahasan

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pengetahuan ibu adalah pengetahuan ibu mengenai demam serta penatalaksanaannya. Disini dinilai beberapa hal yaitu: a) definisi; b) temp eratur suhu tubuh normal; c) suhu yang dapat dikatakan demam tinggi; d) penyebab demam; e) cara mengukur suhu tubuh yang benar; f) penggunaan kompres; g) obat penurun panas; h) waktu pemberian obat penurun panas; i)kapan anak demam dibawa kedokter; serta j )komplikasi demam.


(57)

Dari hasil penelitian yang diperoleh sebanyak 85 responden secara consecutive, didapatkan bahwa hanya 33,8% responden yang dapat menjawab definisi demam dengan benar suatu gejala yaitu peningkatan suhu tubuh. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya reponden yang beranggapan bahwa demam merupakan suatu penyakit. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Al-Eissa et al (2000) di Saudi Arabia bahwa lebih dari 70% orang tua dari 560 responden memiliki pemahaman tentang definis i demam yang buruk

Pengetahuan responden mengenai temperatur suhu tubuh yang normal secara umum juga terlihat masih buruk, rata rata suhu tubuh normal itu sendiri berbeda -beda tergantung tempat pengukuran. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,3o C-37oC. Dari penelitian yang dilakukan hanya 24 responden (28,2%) yang dapat menjawab suhu tubuh normal berada di 36 -37oC. Secara umum suhu tubuh yang dapat dikatakan demam bila suhu rektal >38,0oC, suhu oral >37,8oC, ataupun suhu aksila >37,2oC. Demam tinggi bila suhu tubuh >40,5oC (Schmitt,1984) dan sebanyak 60 (70,6%) responden menjawab dengan benar bahwa demam tinggi berada pada suhu diatas 40oC.

Berkaitan tentang penyebab demam, demam dapat disebabkan oleh karena infeksi maupun non-infeksi seperti tumbuh gig i, dan paparan panas yang berlebihan. Akan tetapi hal tersering yang dapat menyebabkan demam pada anak adalah karena infeksi. Dalam penelitian ini kebanyakan responden (65,9%) belum cukup menyadari bahwa demam paling sering terjadi karena infeksi, meraka (34,1%) masih beranggapan bahwa demam lebih sering terjadi karena tumbuh gigi ataupun karena terlalu banyak bermain sehingga terpapar panas yang berlebihan. Temuan pada penelitian ini berbanding terbalik dengan temuan pada penelitian yang dilakukan Oshikoya dan Senbanjo pada tahun 2008 di Nigeria, dimana responden menyatakan demam pada anak dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain yang terbanyak oleh karena infeksi (43,7%), tumbuh gigi(33,3%), paparan sinar matahari (27,1%) dan lain -lain.

Pengukuran suhu tubuh yang tepat diperlukan untuk memantau demam pada anak. Untuk mengetahui suhu tubuh anak diperlukan termometer. Pengetahuan responden dalam hal ini sudah terlihat cukup baik, sebanyak 58(68,2%) orang


(58)

responden mengetahui bahwa pengukuran suhu tubuh yang benar itu adalah dengan menggunakan termometer. Termometer dapat diletakan di beberapa tempat di bagian tubuh. Cara yang terbaik untuk memeriksa bayi maupun balita adalah dengan menggunakan termometer rektal, tetapi pemeriksaannya membuat anak merasa tidak nyaman. Suhu oral dapat diperoleh pada anak yang lebih tua dengan tidak bernafas dari mulut dan tidak baru saja meminum air dingin ataupun hangat (Ferry, 2010). Pengukuran di mulut juga lebih akurat dibandingkan dengan suhu aksila. Penguk uran suhu aksila mudah dilakukan, tetapi hanya menggambarkan suhu perifer tubuh yang sangat dipengaruhi oleh vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat sehingga kurang akurat. Pengetahuan responden mengenai hal ini sudah sangat baik, sebanyak 81 (95,2%) re sponden mengetahui lokasi mana saja yang bisa dipakai untuk pengukuran suhu tubuh menggunakan termometer.

Kekhawatiran responden terhadap demam ternyata masih salah, ini terlihat bahwa hampir keseluruhan (98,8%) dari 85 orang responden menjawab demam harus segera diturunkan. Padahal p embentukan demam sebagai respon terhadap infeksi adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi. Walaupun makna fisiologis dari demam masih belum jelas, banyak pakar medis berpendapa t bahwa peningkatan suhu tubuh bersifat menguntungkan, suhu yang lebih tinggi meningkatkan proses fagositosis dan meningkatkan kecepatan aktif itas peradangan yang bergantung pada enzim, juga meningkatkan kebutuhan bakteri akan besi sekaligus menurunkan kon sentrasi besi dalam plasma sehingga akan mengganggu multiplikasi bakteri (Sherwood , 2001). Kecuali pada peningkatan suhu tubuh yang terlalu tinggi yang akan menyebabkan demam itu sendiri tidak bermanfaat (Sherwood, 2001). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Crocetti et al pada tahun 2001 di Maryland bahwa sebanyak 56% dari 340 pengasuh anak yang diwawancarai mengaku sangat khawair tentang potensi bahaya yang dapat ditimbulkan demam pada anak -anak asuh mereka, sehingga terjadi penanganan yang berlebihan terhadap demam.

Pengetahuan responden tentang kebutuhan dan jenis penggunaan kompres ketika anak demam ternyata masih kurang baik, karena terlihat sebagian besar


(59)

(76,5%) responden menggunakan kompres dingin pada saat anak demam. Demam yang umumnya terjadi dapat diturunkan dengan pemberian kompres menggunakan air hangat supaya dapat memberikan sinyal ke hipotalamus dan memicu terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer. Hal ini menyebabkan pembuangan panas melalui kulit meningkat sehingga suhu tubuh bisa kembali normal (Newman, 1985). Menurut Ferry (2010), secara garis besar penatalaksanaan demam dapat dibagi dua yaitu: terapi yang bisa dilakukan dirumah dan terapi yang bisa dilakukan oleh paramedis. Ada tiga tujuan perawatan dirumah pada anak yang mengalami demam, yaitu: a) mengontrol suhu, mencegah dehidrasi, m emantau penyakit serius atau penyakit yang mengancam jiwa (Ferry, 2010). Penggunaan kompres termasuk kepada poin mengontrol suhu. Penggunaan pengompresan air hangat saja rata -rata penurunan suhu tubuhnya sebesar 0,97oC dalam waktu 60 menit. Suhu air untuk mengompres antara 30-35oC (Malinget al., 2012).

Pengontrolan suhu juga dapat dilakukan dengan menggunakan obat -obat penurun demam. Dalam penelitian ini sebagian besar responden (84,7% ) mengetahui nama-nama obat yang mengandung parasetamol yang digunakan sebagai obat penurun demam. Hal ini juga terlihat pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dawood et al pada tahun 2009 di Malaysia mendapatkan 80,7% dari 197 responden mengetahui obat yang tepat diberikan untuk penanganan demam pada anak.

Namun, berbanding terbalik dengan waktu yang tepat pemberian obat penurun demam. Dalam hal ini hanya sebagian kecil (36,5%) responden yang memahami bahwa antipiretik sebaiknya diberikan jika suh u anak >39,0oC. Dalam hal ini, sejalan dengan penelitian yang dilakukan Soedibyo dan Souvriyanti di Jakarta Poliklinik Umum Ilmu Kesehatan Anak, RS.Cipto Mangunkusumo pada desember 2005 bahwa dari 78 responden 57,6% memberikan antipiretik pada suhu masih kurang dari 38oC. penelitian yang dilakukan Al -Eissa et al pada tahun 2000 di Saudi Arabia mendapatkan 62% dari 560 orang tua tidak mengetahui suhu minimum pemberian antipiretik. Antipiretik hanya dapat diberikan apabila demam anak >39,0oC, demam yang diikuti rasa tidak nyaman, atau demam pada anak


(60)

yang memiliki riwayat kejang demam atau penyakit jantung (Schmitt,1984). Demam <39oC pada anak yang sebelumnya sehat pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bila suhu naik >39oC, anak cenderung tidak nyaman dan pemberian obat-obatan penurun panas sering membuat anak merasa lebih baik (Kania,2010).

Pada demam dengan kondisi -kondisi tertentu diperlukan perawatan langsung oleh dokter, diantaranya jika demam dengan suhu yang tidak turun selama 48 sampai 72 jam ( Kaneshiro & Zieve, 2010). Pemahaman ibu mengenai waktu yang pas untuk membawa anak yang demam tanpa penyakit yang serius ke dokter tampaknya masih kurang baik, karena hanya 38 (44,7%) responden yang menjawab jika 2-3 hari panas tidak turun. Sebagian besar (50,6%) menjawab segera setelah demam anak harus dibawa ke dokter walau masih dalam keadaan demam ringan.

Pengetahuan responden terhadap dampak dari demam yang dibiarkan terlalu tinggi dan lama sudah cukup baik, ini terlihat mayoritas (70,6%) responden menjawab akan terjadi kejang dan kerusakan sel -sel otak apabila demam dibiarkan terlalu tinggi dan lama. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Riandita di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan maret 2012 sampai bulan juni 2012 bahwa 79,5% dari 44 responden mengetahui demam pada anak dapat menyebabkan kejang demam sehingga perlu diwaspadai.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden mengenai demam serta penatalaksanaannya masih dalam kategori sed ang. Sebagian besar responden tidak mengetahui bahwa demam merupakan suatu gejala dari suatu penyakit, begitu juga dengan suhu tubuh yang normal. Responden secara umum telah menyadari bahwa suhu 40oC sudah bisa dikatakan demam tinggi, serta dampak kejang y ang dapat ditimbulkan akibat demam dibiarkan terlalu tinggi dan lama. Namun masih banyak responden yang tidak memahami penyebab tersering demam itu sendiri. Mayoritas responden telah memahami dengan baik bahwa pengukuran suhu tubuh yang benar adalah denga n menggunakan termometer begitu juga dengan lokasi -lokasi untuk meletakkan


(61)

termometer tersebut. Akan tetapi, responden perlu memperbaiki pemahaman mengenai demam merupakan keadaan yang pasti bahaya dan harus segera diturunkan, sehingga tidak terjadi pember ian antipiretik yang terlalu cepat, karena hampir sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai nama obat yang dapat digunakan sebagai obat penurun demam. Pengetahuan responden dalam penggunaan kompres hangat pada saat anak demam masih kurang baik sehingga responden lebih cenderung untuk langsung membawa anak kedokter segera setelah demam walau masih terlihat nyaman tanpa melakukan pengompresan air hangat terlebih dahulu dirumah.

Dalam hal penatalaksanaan demam pada anak sebagian besar (68,2%) responden tidak pernah menggunakan termometer untuk pengukuran suhu tubuh pada anak, ini mungkin disebabkan karena responden tidak memiliki termometer dirumah yang dapat digunakan secara rutin sebagai satu alat pengukur suhu tubuh. Sebanyak 36 (42,4%) responden melakukan pengompresan dan menyuruh beristirahat terlebih dahulu pada anak tanpa riwayat kejang ketika mengalami demam daripada harus memberikan obat penurun demam. Antipiretik hanya dapat diberikan apabila demam anak > 39,0oC, demam yang diikuti rasa tidak nyaman, atau demam pada anak yang memiliki riwayat kejang demam atau penyakit jantung (Schmitt,1984). Namun, masih terdapat 32 (37,6%) orang responden langsung memberikan obat penurun demam kepada anak ketika demam meskipun tidak memiliki riwayat kejang. Terlihat bahwa sebenarnya responden masih belum mengetahui saat yang tepat dalam pemberian antipiretik pada anak.

Pentingnya pemilihan jenis kompres yang tepat tampaknya masih kurang dipahami oleh responden, hal ini terlihat kebanyakan (78, 8%) responden dalam hal pemilihan jenis pengompresan yang dilakukan dirumah pada saat demam tidak pernah mengompres anak dengan menggunakan air hangat, juga sebanyak 38 (44,7%) responden memakaikan pakaian atau selimut yang tebal pada saat anak menggigil karena demam. Padahal di dalam ruangan, anak- anak tidak boleh memakai pakaian yang berlebihan tebalnya, bahkan ketika musim dingin. Berpakaian terlalu tebal akan sulit mengeluarkan panas melaui proses evaporasi (penguapan), radiasi, konduksi dan konveksi. Solusi yang paling praktis adalah


(62)

dengan memakaikan anak pakaian satu lapis, lalu selimuti anak dengan selembar selimut tipis (Ferry, 2010).

Pada saat demam, tubuh manusia akan kehilangan banyak air melalu i kulit dan paru-paru, dalam hal ini penting untuk mendorong anak agar banyak mengkonsumsi cairan terutama air putih (Ferr y, 2010). Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan tindakan responden dalam hal ini sudah cukup baik. hampir keseluruhan responden (88,2%) memberikan air minum yang banyak saat anak mengalami demam.

Banyak hal yang harus diperhatikan saat anak mengalami demam, terutama kondisi-kondisi tertentu yang membuat anak harus segera mendapatkan perawatan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan: a) usia < 3 bulan dengan suhu rectal ≥ 38,0oC, b) usia 3 sampai 12 bulan dengan suhu ≥ 39,0oC, c) usia < 2 bulan dengan demam yang berlangsung > 24 sampai 48 jam, d) demam dengan suhu > 40,5oC, kecuali mudah turun dengan pengobatan d an orang tersebut merasa nyaman, e) mengalami demam yang naik turun selama seminggu atau lebih, bahkan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, f) memiliki penyakit serius, seperti masalah jantung, sickle cell anemia, diabetes, ataucystic fibrosis, g) demam dengan suhu yang tidak turun se lama 48 sampai 72 jam (Kaneshiro & Zieve, 2010). Namun, sebanyak 32 (37,6 %) responden memilih untuk langsung membawa anak kedokter tanpa melakukan pengompresan, istirahat yang cukup, dan pemberian antipiretik terlebih dahulu walau keadaannya masih terlih at nyaman. Kebanyakan responden (61,2%) juga tidak pernah tetap merawat anak dirumah hingga 2-3 hari ketika anak mereka demam.

Berkaitan dengan pemberian obat penurun panas, sebanyak 76 (89,4%) responden tetap memberikan obat penurun panas kepada anak hi ngga demamnya turun, dan 65 (76,5%) reponden membaca terlebih dahulu petunjuk pemberian dosis yang ada sebelum memberikan obat penurun demam pada anak.

Dari hasil penelitian ini, diperoleh tingkat penatalaksanaan demam pada anak secara umum dalam kategori baik, yaitu sebanyak 49 (57,6%) orang responden. Namun masih terdapat 36 (42,4%) responden berada dalam kategori buruk. Ini disebabkan karena mayoritas responden masih belum cukup baik dalam


(63)

pengontrolan suhu tubuh anak dengan menggunakan termometer dan a nggapan yang terlalu mengkhawatirkan mengenai demam, sehingga responden tidak mengetahui kapan sebaiknya antipiretik diberikan. Juga dalam hal pemilihan jenis kompres yang tepat digunakan dan hal -hal yang dapat dilakukan dalam membantu proses pembuangan panas dari tubuh.

Dari hasil uji Chi-Square, ditemukan bahwa ada hubungan yang sangat bermakna antar tingkat pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak. Sebanyak 57,6% dari 28 orang ibu yang berpengetahuan rendah memiliki tindakan yang buruk. Hampir dari keseluruhan ibu yang berpengetahuan sedang yaitu sebanyak 44 orang responden, 67,3% berpengetahuan baik. Sedangkan dari 13 ibu yang berpengetahuan tinggi, delapan (15,4%) memiliki tindakan yang baik dalam penatalaksanaan demam pada anak. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak.

Berdasarkan hasil tabulasi silang data, didapatkan distribusi ibu berdasarkan usia yang memiliki tindakan yang ba ik terhadap penatalaksanaan demam pada anak paling banyak berada pada kelompok usia 21 -30 tahun (50,6%). Ini mungkin disebabkan pada usia tersebut, responden lebih memiliki perhatian dan semangat yang begitu tinggi dalam hal memberikan yang terbaik untuk a nak mereka. Distribusi tindakan berdasarkan tingkat pendidikan terlihat bahwa ibu -ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang sedang (53,8%) dan tinggi (15,4%) hampir keseluruhannya memiliki tindakan yang baik dalam hal penatalaksanaan demam, mungkin hal ini disebabkan karena banyaknya pengetahuan yang didapat selama pendidikan dan memiliki akses atau jangkauan yang lebih luas dan aktif dalam mencari segala informasi mengenai demam. Hampir keseluruhan (54 orang) responden memilki tingkat ekonomi yang rendah. Namun, dari 21 orang responden yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi sebanyak 19 (36,5%) responden barada paada kelompok yang baik pada penatalaksanaan demam pada anak. Ekonomi yang tinggi juga memungkinkan responden untuk segera datang ke dokter atau petugas kesehatan untuk berobat dan mendapatkan informasi mengenai penatalaksanaan demam pada anak. Dan juga memenuhi kebutuhan


(64)

anak saat demam serta mampu dengan mudah mendapatkan informasi mengenai hal tersebut.

Tabulasi silang antara tingkat pengetahua n responden dengan karakteristik responden didapatkan, responden yang berpengetahuan tinggi paling banyak berada pada kelompok usia 21 -30 tahun sebanyak 8 (6,8%) orang, hal ini mungkin disebabkan keperdulian dan rasa keingintahuan ibu -ibu lebih tinggi diusia reproduktif seperti ini. Pengetahuan demam yang tinggi juga justru berada pada kelompok pendidikan yang sedang sebanyak 6 (7,0%) orang, hal ini mungkin disebabkan karena jumlah responden terbanyak berkumpul pada kelompok pendidikan yang sedang. Pada tin gkat ekonomi yang rendah juga sama -sama terdapat kelompok pengetahuan yang tinggi (8,2%) dan rendah (31,7%).

Keterbatasan penelitian ini adalah menggunakan metode concecutive sampling. Hal ini menyebabkan pengambilan sampel dari lokasi penelitian tidak merata. Penelitian dengan menggunakan metode random sampling dan jumlah sampel yang lebih besar dibutuhkan agar lebih mengetahui lagi hubungan pengetahuan ibu terhadap penatalaksanaan demam pada anak, serta melakukan penelitian di daearah perkotaan juga dipe rlukan untuk menjadi nilai perbandingan.


(1)

40

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Hasni Hayati

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 10 Oktober 1992

Agama : Islam

Alamat : Jl. Garu IIaGg.Flamboyan No.91d Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri 067691Medan

2. SMP Negeri 2 Medan 3. SMA Negeri 2 Medan

Riwayat Pelatihan : 1. Seminar and Workshop Terapi Cairan & Manajemen Luka

Riwayat Organisasi : 1. Anggota Muda HMI FK USU 2011 -2013

2. Panitia Seminar dan Talk Show ”ISLAMIC MEDICINE” 3. Panitia Seminar dan Talk Show ”ISLAMIC

MEDICINE 2”

4. Panitia Sirkumsisi Massal HMI FK USU 5. Panitia MAPERCA 2011 -2012 HMI FK USU

6. Panitia SRF Score Pema FK USU


(2)

40


(3)

40


(4)

40


(5)

40


(6)

40


Dokumen yang terkait

Perubahan Kadar Al dan Fe pada Tanah Sawah dengan Pola Pertanaman Padi - Semangka Di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

0 29 42

Survei Dan Pemetaan Status Hara P-Tersedia, K-Tukar Dan C-Organik Tanah Sawah Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

2 29 55

Dominasi Dan Dinamika Etnis Melayu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kwala Gunung Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

0 2 88

HUBUNGAN BUDAYA KERJA DAN KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN KERJA GURU SD DI KECAMATAN LIMA PULUH KABUPATEN BATUBARA.

0 1 23

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG KEJANG DEMAM DENGAN FREKUENSI KEJANG ANAK Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Kejang Demam Dengan Frekuensi Kejang Anak Toddler Di Rawat Inap Puskesmas Gatak Sukoharjo.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG KEJANG DEMAM DENGAN FREKUENSI Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Kejang Demam Dengan Frekuensi Kejang Anak Toddler Di Rawat Inap Puskesmas Gatak Sukoharjo.

0 3 16

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP IBU MENGHADAPI DEMAM PADA ANAK BALITA DI DESA NGEMBAT PADAS KECAMATAN GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN.

0 1 10

Dominasi Dan Dinamika Etnis Melayu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kwala Gunung Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

0 0 4

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG DEMAM DENGAN PERILAKU IBU DALAM PENANGANAN DEMAM PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS DEPOK I SLEMAN YOGYAKARTA

0 3 6

Perubahan Kadar Al dan Fe pada Tanah Sawah dengan Pola Pertanaman Padi - Semangka Di Desa Air Hitam Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara

0 0 8