Korelasi Antara Negara dan Konflik Agraria

12

I.7. Kerangka Teori

I.7.1. Korelasi Antara Negara dan Konflik Agraria

Tanah, dalam sistem sosial, ekonomi, politik dianggap sebagai faktor produksi utama. Yang membedakan dari masing-masing unsur tersebut adalah fungsi, mekanisme pengaturan dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri. Pemilikan maupun penguasaan tanah merupakan faktor penting dalam setiap masyarakat, apapun model sistem sosial- ekonomi-politik yang dianut didalamnya. Pentingnya penguasaan tanah bagi masyarakat dengan sendirinya akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar. Hal ini menimbulkan konflik yang terjadi antara pihak-pihak terkait. Dapat dipahami fakta sempitnya skala usaha petani adalah realitas terjadinya proses ketimpangan struktur penguasaan tanah. Ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang bisa diakses petani untuk berproduksi. Kemampuan berproduksi menjadi indikator dari sikap petani yang lebih mengutamakan kebutuhan konsumsinya sendiri agar terpenuhi dahulu daripada mencari keuntungan dan surplus yang dapat dihasilkan dari keterbatasan faktor produksi yang dimilikinya. Negara merupakan salah satu faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya. Teori Marxis menyatakan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya. Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah atau yang tanahnya dirampas oleh kapitalis Negara. Negara Universitas Sumatera Utara 13 ditempatkan sebagai instrument kapitalis 14 . Teori Marxis memberikan perhatian kepada konflik antar dua kelas 15 Gerakan Sosial di Negara Dunia Ketiga, baik perjuangan untuk tujuan peningkatan kondisi hidup maupun terkait pemerataan distribusi sumber daya ekonomi. Khusus untuk gerakan sosial yang ada di Negara Dunia Ketiga, seringkali berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan mainstream approach, yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh Negara, melalui apa yang disebut sebagai Pembangunan Development. Pembangunan seringkali dianggap oleh yaitu, pertama konflik antar kelas pemilik atau pengontrol tanah dengan kelas yang tidak memiliki tanah. Keterlibatan negara dalam konflik Agraria dilihat sebagai konsekuensi dari perkembangan ekonomi kapitalis di suatu masyarakat dimana negara berprilaku sebagai instrument kapitalis. Negara dapat menimbulkan konflik antara negara dengan masyarakat sipil, pertama adalah karena konsekuensi dari peraturan yang dibuat oleh negara untuk membela kepentingannya. Negara membuat aturan–aturan dan memaksakan aturan– aturan tersebut untuk diterima oleh masyarakat sipil dan diberbagai tempat menyingkirkan hukum adat. Penerapan aturan – aturan negara ini ada yang merugikan kepentingan–kepentingan masyarakat sipil tersebut yang mengakibatkan mereka melawan negara untuk membela hak nya. Kedua, konflik antara masyarakat sipil dengan negara akibat cara yang dilakukan oleh aparatur negara dalam mengimplementasikan kebijakan – kebijakannya, program – programnya atau peranan – peranannya.

I.7.1.1. Gerakan Sosial dan Teori Hegemoni

14 Mandel Ernest, Tesis – Tesis Pokok Marxisme, Yogyakarta, Resist Book, Agustus 2006 hal. 11 15 Ibid, Negara : Instrumen Dominasi Kelas, Hal. 12 - 13 Universitas Sumatera Utara 14 masyarakat sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai kesengsaraan masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dan hal tersebut merupakan perlawanan dan kritik terhadap skenario Modernisasi, yang mengasumsikan dan merancang untuk membawa kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu Negara Dunia Ketiga. Menurut pendapat Bonner, dalam konteks Dunia Ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah “Pembangunan” 16 16 . Studi tersebut bermaksud untuk mencari alternatif terhadap gagasan “Pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini telah menjadi suatu “Agama Sekuler Baru” bagi seluruh masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Dalam aplikasinya, pembangunan sering dianggap sebagai satu-satunya tujuan bagi pihak pemerintah di negara tersebut. Pembangunan banyak diterima oleh kalangan birokrat, akademisi maupun aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat tanpa mempertanyakan landasan ideologi dan diskursusnya. Beberapa pertanyaan yang perlu menjadi bahan kajian terhadap ide pembangunan bukanlan semata-mata mengenai soal metodologi, pendekatan dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri, tetapi secara teoritis justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai gagasan kontroversial, yaitu perlu dipertanyakan adalah apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah bagi berjuta- juta masyarakat di Negara Dunia Ketiga atau semata-mata hanya sebagai alat menyembunyikan permasalahan atau penyakit yang sebenarnya lebih mendasar? Banyak pakar ilmu sosial secara kritis telah meneliti dampak pembangunan dan menganggap bahwa justru ide pembangunan telah menciptakan kesengsaraan dari pada memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat di Negara Dunia Ketiga. Studi tentang gerakan sosial dapat dibagi menjadi dua pendekatan yang saling Robert Mirsel, Teori Pergerakan Sosial, Yogyakarta, Resist Book, Januari 2005, hal. 58-60 Universitas Sumatera Utara 15 bertentangan 17 Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, dan dikenal dengan “Teori Konflik”. Teori konflik pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu : 1 Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya, 2 Kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, dan 3 Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahanlan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.Teori konflik berakar dari paham Marxisme tradisional yang menyatakan bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran . Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh sebab itu, gerakan sosial dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat. 18 17 Ibid hal. 62 18 Ibid hal. 74 . Dalam Marxisme tradisional perjuangan Universitas Sumatera Utara 16 kelas ditempatkan pada titik sentral dan faktor esensial dalam menentukan suatu perubahan sosial. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas proletar kelas yang dieksploitasi dan kelas kapitalis kelas yang mengeksploitasi. Oleh karena itu, dalam perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial, yaitu dasar dan superstruktur 19 Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara State dengan Masyarakat Sipil Civil Society. Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideologi dan intektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik . Unsur dasar adalah faktor ekonomi, dianggap sebagai landasan yang secara esensial menentukan dalam perubahan sosial. Sedangkan superstruktur, adalah faktor pendidikan, budaya, dan ideologi yang berada di tempat kedua, karena faktor tersebut ditentukan oleh kondisi perekonomian. Dengan demikian, menurut pendekatan ini, perubahan sosial terkaji dikarenakan adanya perjuangan kelas, yaitu kelas yang dieksploitasi buruh berjuang melawan kelas yang mengeksploitasi kelas kapitalis. Dengan kata lain, aspek esensial perubahan sosial adalah revolusi kelas buruh, dengan determinisme ekonomi sebagai landasan gerakan sosial. 20 19 Mandel Ernest, Tesis – Tesis Pokok Marxisme, Yogyakarta, Resist Book, Agustus 2006 hal. 25 . Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit 20 http:ssantoso.blogspot.com200707gerakan-sosial-dan-perubahan-sosial.html Universitas Sumatera Utara 17 ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah. Menurut pernyataan Gramsci “semua orang adalah intelektual, maka seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat”. Definisi intelektual tersebut adalah orang-orang yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok sosial utama. Intelektual memainkan peran dalam menyebarkan ideologi hegemonik kelas dominan yang dibentuk melalui informasi dan lembaga formal misalnya sekolah dan perguruan tinggi. Selanjutnya Gramsci berpendapat bahwa perjuangan kelas harus dilakukan dengan dua strategi utama, yaitu pertama, apa yang disebut dengan “perang manuver”, yaitu perjuangan mencapai perubahan jangka pendek dalam mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis; kedua, “perang posisi” yang ditandai sebagai perjuangan cultural dan ideologis jangka panjang. Bagi Gramsci, tugas utama pendidikan adalah meyakinkan kelas buruh bahwa “yang dalam kepentingannya bukan tunduk kepada disiplin tetap dari kultur, tetapi mengembangkan konsepsi dunia dan sistem hubungan manusia, ekonomi, dan spiritual yang kompleks yang membentuk kehidupan sosial global” 21 Dengan demikian, peran kependidikan organisasi gerakan sosial, pendidik, dan pemimpin adalah mencakup pencapaian tujuan jangka pendek bersifat praktis dan tujuan jangka panjang bersifat ideologi untuk menghasilkan transformasi sosial. Upaya untuk memunculkan kesadaran dan pendidikan kritis termasuk yang dilakukan oleh organisasi gerakan sosial merupakan bagian terpenting dalam seluruh proses perubahan . 21 http:ssantoso.blogspot.com200707gerakan-sosial-dan-teori-hegemoni.html Universitas Sumatera Utara 18 sosial atau transformasi sosial. Marxisme tradisional tersebut banyak mendapatkan kritik dari generasi Marxisme baru, khususnya terhadap pendekatannya yang bersifat mekanistik. Generasi Marxisme baru dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci: 1891–1937 menyatakan bahwa peran manusia sebagai agen, termasuk ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam mentransformasikan krisis ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak bahwa perekonomian adalah sesuatu yang esensial dan faktor penentu bagi perubahan sosial, serta menolak gagasan determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai faktor penting di antara banyak faktor lainnya yang saling tergantung secara dialektis. Mereka mengajukan argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada tahun 1970an dan 1980an sama sekali tidak menekankan ke arah gerakan perjuangan kelas, seperti yang didefinisikan oleh penganut Marxisme tradisional. Gerakan spiritual, gerakan fenimisme, gerakan hak azasi manusia dan hak-hak sipil, gerakan anti perang dan anti nuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan gerakan pecinta lingkungan, serta gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan gerakan yang tidak berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas dari kelas buruh. Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan kedua ini, yaitu dengan teorinya tentang perubahan sosial yang nonreduksionis dan teorinya mengenai hegemoni. Implikasi teori hegemoni adalah bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolusioner atau bukan lagi titik vokal dan sebagai unsur utama dalam gerakan perubahan sosial. Disamping itu Gramsci juga mengemukakan teorinya tentang kemungkinan menciptakan aliansi antara unsur kelas buruh dan kelompok lainnya, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian proses revolusioner. Universitas Sumatera Utara 19

I.7.1.2. Konflik Tanah

Terkait dengan sengketa tanah, teori Marx masih relevan dalam proses sejarah sengketa tanah di Indonesia. Secara kronologis, tanah mulai menjadi kendali dalam kekuasaan ketika dipegang oleh kalangan adat tuan tanah yang dikemudian dikenal dengan feodalisme. Feodalisme dalam perangkat yang sama diteruskan dalam kendali kolonialisme yang kadangkala keduanya bekerja sama dan kadangkala berkonflik. Periode kemerdekaan, tanah masuk dalam kendali negara. Periode pasar bebas, tanah berada di bawah kendali negara dan pasar kapitalisme. Apabila dibuat periodisasi, sejarah kendali tanah dapat dijelaskan dalam periode kendali tuan tanah, periode kendali kolonial, periode kendali negara dan periode kendali negara dan pasar 22 Sebuah disertasi yang ditulis oleh Mustain menjelaskan tentang sejarah sengketa tanah di Indonesia secara spesifik. Menurut Mustain, konflik berlangsung sejak beroperasinya perkebunan zaman kolonial Belanda, Jepang, agresi Belanda, kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru serta era Reformasi. Konteks konflik di sini menurut penulis Disertasi disebabkan oleh problematika dualisme hukum legal gaps yang dalam prosesnya menyebabkan cultural conflict. Ia menemukan konflik antara rakyat petani dan PTPN XII yang didukung negara bersumber dari persoalan konsep tentang hak kepemilikan atau penguasaan tanah dengan justifikasi yang didasarkan pada . Dalam hal ini, dasar kepemilikan tanah lebih didasarkan atas struktur kekuasaan. 22 Mandel Ernest, Tesis – Tesis Pokok Marxisme, Yogyakarta, Resist Book, Agustus 2006 hal. 15 Universitas Sumatera Utara 20 dasar logika hukumnya sendiri. Hukum negara yang positivistik, Legal formal, prosedural berhadapan dengan hukum rakyat yang lokal dan nonformal. 23 Dilihat dari konflik kelas yang dicetuskan Marx, konflik tanah di Indonesia dapat dijelaskan terjadi antara masyarakat versus negara, masyarakat versus negara dan perusahaan, dan masyarakat versus militer. Teori konflik yang dicetuskan Ralf Dahrendof dapat menjelaskan sengketa tanah dari aspek penggunaan otoritas yang bersifat dikotomis antara otoritas negara berhadapan dengan sub-ordinat masyarakat, otoritas perusahaan berhadapan dengan sub-ordinat masyarakat, kemudian otoritas militer dengan subordinat masyarakat. Apabila dijelaskan secara keseluruhan, ada proses struktur konflik yang begitu kuat di mana negara berada dalam otoritas yang paling kuat, kemudian otoritas tersebut terbagi kepada perusahaan, militer, pemimpin elit lokal, sub-ordinatnya adalah masyarakat yang pada posisi terakhir berada dalam super sub-ordinat 24 . Semua struktur sub-ordinat dan super sub-ordinat diharuskan tunduk secara tegas kepada negara. Gambaran seperti ini membentuk piramida ketundukan secara kaku. Menurut Dahrendof 25 Di Indonesia, menurut undang–undang, negara berkuasa penuh berkenaan dengan pengalokasian tanah. Pasal 18 UUPA 1960 menyatakan: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak – , karena setiap asosiasi pada dasarnya berusaha mempertahankan pada posisi dominan. Maka terjadilah kolusi dalam usaha memperkuat masing-masing otoritas, dan pembagian otoritas yang bersifat saling melindungi. Dengan demikian, teori kolusif inilah yang sebenarnya relevan dengan konflik tanah di Indonesia selama ini. 23 http:iptek.web.id20100217tanah-dalam-konflik 24 http:www.prakarsa-rakyat.orgartikelopiniartikel.php?aid=25556 . 25 Ibid Universitas Sumatera Utara 21 hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti rugi kerugian yang layak dan menuruti cara–cara yang diatur oleh undang–undang“ 26 Sebagai wujud dari peran pengatur tanah seperti yang diamanatkan UUPA 1960 itu, negara di Indonesia menempatkan dirinya sebagai agen pembebasan tanah, sebagai agen untuk merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan tanah. Pemerintah setempat menjadi panitia yang mengorganisasikan penyerahan tanah dari komunitas setempat kepada bisnis atau kepada negara itu sendiri. Kemudian Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan, untuk pembangunan umum . Badan yang hanya boleh mencabut hak–hak atas tanah tersebut adalah negara. Hal ini juga mengandung arti, negara menjadi aktor yang bukan saja mengatur orang, melainkan juga mengatur tanah di Indonesia. Dia bukan mengatur tanah miliknya sendiri, melainkan juga mengatur tanah yang dimiliki oleh rakyatnya. Inilah yang disebut sebagai negara menjadi penguasa tertinggi atas tanah di Indonesia. 27 26 Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, Hak – Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2008 hal. 84. 27 Ibid Hal. 60. menegaskan lagi bahwa panitia pembebasan tanah yang dibentuk pemerintahlah yang mengorganisasi pembebasan tanah milik rakyat untuk kepentingan umum. Panitia tersebut dibentuk ditingkat propinsi dan ditingkat kabupaten kota. Anggota panitia pembebasan tanah tersebut terdiri dari pejabat –pejabat pemerintah setempat yang diketuai oleh kepala daerah. Artinya, komunitas setempat tidak langsung bernegosiasi dengan investor atau dengan sebuah instansi pemerintah yang membutuhkan tanah mereka, melainkan melalui tim pembebasan tanh yang dibentuk oleh pemerintah setempat. Universitas Sumatera Utara 22 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia pemerintahlah yang mengalokasikan tanah untuk diberikan kepada investor sebagai akibatnya, makin luas tanah yang telah diserahkan negara kepada pebisnis dan sebagai konsekuensinya tentunya aktor yang paling bertanggung jawab atas akibat–akibat negatif dari semua itu adalah negara itu sendiri. Terkait dengan mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Pasca lahirnya UUPA, Persoalan land reform adalah persoalan nasional yang bertujuan merombak struktur agraria di Indonesia yang bersifat feodalisme. Land reform merupakan persoalan yang sangat kompleks menyangkut segi-segi sosial, ekonomi dan politik kehidupan dan penghidupan petani. Pelaksanaanya pun banyak berhadapan dengan berbagai persoalan seperti persoalan adat, sisa-sisa kekuasaan feodal, persoalan waris dan persoalan lainnya 28 28 Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja, Hak – Hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2008. hal. 33 . Isu Landreform tahun 1960–an seharusnya dapat mengambil kembali tanah masyarakat adat Melayu. Isu Landreform pada saat itu justru dimanfaatkan dengan baik oleh kekuatan komunis melalui Barisan Tani Indonesia BTI. BTI memanfaatkan momen lahirnya UUPA tahun 1960 guna membagikan tanah kepada para petani pendukungnya atau kepada petani agar menjadi pengikutnya. Begitu juga ditahun–tahun selanjutnya, beberapa peluang akhirnya menjadi bumerang bagi BPRPI untuk pendudukan kembali tanah mereka, dengan pelaku yang berbeda tentunya. Sejauh ini sudah beberapa kali BPRPI mencoba melakukan pendudukan kembali tanah masyarakat adat Melayu. Setelah tahun 1981, BPRPI bangkit namun kenyataannya adalah kekalahan tragis bagi BPRPI dalam perjuangannya mempertahankan tanah mereka yang seharusnya menjadi hak mereka. Berbagai peranan yang terdapat didalamnya termasuk birokrat yang menjadi peran penting didalam membuat kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini Universitas Sumatera Utara 23 tetapi hasil yang diperoleh bahwa tetap saja perjuangan rakyat yang seharusnya menjadi hak milik mereka dirampas oleh kebijakan pemerintah dan perjuangan yang mereka lakukan sia–sia.

I.7.2. Perbedaan Persepsi Tentang Hak Penguasaan Tanah di Sumatera Timur