Gerakan Petani Melawan PTPN II dalam Memperjuangkan Kepemilikan Tanah Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

(1)

GERAKAN PETANI MELAWAN PTPN II DALAM

MEMPERJUANGKAN KEPEMILIKAN TANAH DESA SEI LITUR TASIK KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Disusun Oleh :

EDI FIRMANTA SARAGIH 090901006

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

ABSTRAK

Sektor pertanian adalah sektor yang mewakili keberadaan rakyat. 46 persen rakyat Indonesia telah terlibat luas dalam berbagai bentuk pertanian meliputi pertanian pangan, pertanian non pangan, peternakan dan perikanan air tawar. Namun, para penguasa modal telah menjadi pihak yang meminggirkan hak-hak rakyat tani tersebut atas nama pembangunan. Ketidakadilan terjadi baik dalam semua aspek sumber agraria, mulai dari tanah, air, bibit tanaman ataupun bibit ternak atau ikan yang hendak dibudidayakan. Ketidakadilan juga terjadi disektor perkebunan. Sejak beberapa tahun terakhir, perkebunan sawit tengah menjadi primadona di sektor perkebunan. Konflik tanah salah satunya terjadi juga di daerah Sumatera Utara tepatnya di kabupaten Langkat, kecamatan sawit sebrang di desa sei litur tasik, dimana lahan-lahan pertanian masyarakat dirusak dan diduduki serta diambil alih oleh pihak PTPN II. Intimidasi berupa pengerusakan lahan petani terjadi. Lahan perjuangan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) Basis Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Sebrang Kabupaten Langkat dirusak oleh PTPN II Kebun Sawit Sebrang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi gerakan petani dalam memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan apa saja upaya-upaya dan aktivitas gerakan petani dalam membantu masyarakat petani agar sengketa tanah bisa terselesaikan di Desa Sei Litur Tasik. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan Gerakan petani Sei Litur Tasik dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani terhadap perampasan tanah oleh PTPN II yang didukung negara melalui pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas petani Sei Litur Tasik, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas toleransi.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena berkat dan rahmatNya sehingga skripsi yang berjudul: “Gerakan Petani Melawan PTPN II Dalam Memperjuangkan Kepemilikan Tanah Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat” dapat terselesaikan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana dari Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Univeritas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan, tata bahasa, struktur maupun isinya. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca terutama dari Bapak/Ibu Pembimbing yang bersifat membangun guna perbaikan Skripsi ini.

Selama penulisan ini penulis tidak terlepas tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepaada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan juga selaku, Dosen Pembimbing penulis yang telah mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide, dan pemikiran dalam mengevaluasi skripsi ini.


(4)

kuliah, terus memberikan pengarahan dan selalu siap membantu saya jika ada masalah dikampus.

4. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Khususnya Departemen Sosiologi yaitu Kak Feni Khairifa, Kak Nurbaity.

Teristimewa untuk kedua orangtua penulis Ayahanda Alm. Adenan Saragih

yang saya selalu rindukandan Ibunda Suang Br Sitepu serta Kakak dan Adik yang sangat penulis sayangi dan cintai. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya atas dukungan material, moril, semangat dan doa yang tulus kepada penulis. Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi menyempurnakan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2014

Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN... ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.4.2 Manfaat Praktis ... 7

1.5 Defenisi Konsep ... 7

BAB IITINJAUAN PUSTAKA... ... 10

2.1 Masyarakat Petani ... 12

2.2 Reformasi Agraria dan Tanah untuk Rakyat ... 15

2.3 Gerakan Petani Indonesia ... 20

2.4Perlawanan Kaum Petani ... 24

BAB IIIMETODE PENELITIAN... ... 33

3.1 Jenis Penelitian ... 33

3.2 Lokasi Penelitian ... 34

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 34


(6)

3.3.2 Informan ... 34

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.5 Interpretasi Data... ... 36

3.6 Jadwal Penelitian... ... 37

BAB IVDESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN.. ... 38

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 38

4.1.1Profil Desa Sei Litur Tasik ... 38

4.1.2 Penduduk... ... 40

4.1.3 Perekonomian... 40

4.1.4 Sarana Ekonomi dan Sosial Budaya di Desa Sei Litur Tasik... ... 41

4.2 Penjelasan Ringkas Mengenai PTP Nusantara II Kebun Sawit Seberang.. ... 43

4.2.1 Profil PTP Nusantara II Kebun Sawit Seberang.... ... 43

4.2.2 Deskripsi Wilayah PTP Nusantara II Kebun Sawit Seberang.... ... 44

4.3 Kronologi Pengrusakan dan Penyerangan Terhadap Petani Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat... ... 46

4.4 Makna Tanah Bagi Petani Sei Litur Tasik... ... 47

4.5 Profil Informan.... ... 49

4.5.1 Informan Kunci... ... 49

4.5.2 Informan Biasa... ... 49

4.6 Gerakan Strategi Petani dalam Memperjuangkan Kepemilikan Tanah.. ... 62

4.6.1 Gerakan Strategi Langsung ( Demo)... ... 63

4.6.2 Gerakan Strategi menggunakan Media Massa... ... 65


(7)

4.6.4 Gerakan Strategi Petani Bergabung Dengan SPI (Serikat Petani Indonesia).. ... 66

4.6.4.1 Sejarah Terbentuknya Gerakan Petani Melawan PTPN II Desa Sei Litur Tasik... ... 66

4.6.4.2 Kegiatan SPI Dalam Membantu Masyarakat Petani.. ... 67

4.6.4.3Program SPI tentang Pertanian Berkelanjutan Berbasis Keluarga Petani... ... 68

4.6.4.4 Peran SPI Dalam Kesejahteraan Rakyat Terutama Kaum Perempuan.. ... 69

4.6.5 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani... ... 71

4.6.5.1 Faktor – faktor Eksternal yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani... ... 72

4.6.5.2 Faktor – faktor Internal yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani.. ... 75

BAB V PENUTUP.... ... 77

5.1 Kesimpulan ... 77

5.2 Saran... 78

DAFTAR PUSTAKA.. ... 80

LAMPIRAN... ... 83

DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Tanah Perkebunan Yang ada di Desa Sei Litur Tasik ... 40

Tabel 4.2 Penduduk Menurut Mata Pencaharian Tahun 2014.. ... 41


(8)

Tabel 4.4 Perincian Luas Areal Kebun Sawit Seberang Tahun 2014 Menurut


(9)

ABSTRAK

Sektor pertanian adalah sektor yang mewakili keberadaan rakyat. 46 persen rakyat Indonesia telah terlibat luas dalam berbagai bentuk pertanian meliputi pertanian pangan, pertanian non pangan, peternakan dan perikanan air tawar. Namun, para penguasa modal telah menjadi pihak yang meminggirkan hak-hak rakyat tani tersebut atas nama pembangunan. Ketidakadilan terjadi baik dalam semua aspek sumber agraria, mulai dari tanah, air, bibit tanaman ataupun bibit ternak atau ikan yang hendak dibudidayakan. Ketidakadilan juga terjadi disektor perkebunan. Sejak beberapa tahun terakhir, perkebunan sawit tengah menjadi primadona di sektor perkebunan. Konflik tanah salah satunya terjadi juga di daerah Sumatera Utara tepatnya di kabupaten Langkat, kecamatan sawit sebrang di desa sei litur tasik, dimana lahan-lahan pertanian masyarakat dirusak dan diduduki serta diambil alih oleh pihak PTPN II. Intimidasi berupa pengerusakan lahan petani terjadi. Lahan perjuangan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) Basis Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Sebrang Kabupaten Langkat dirusak oleh PTPN II Kebun Sawit Sebrang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi gerakan petani dalam memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan apa saja upaya-upaya dan aktivitas gerakan petani dalam membantu masyarakat petani agar sengketa tanah bisa terselesaikan di Desa Sei Litur Tasik. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan Gerakan petani Sei Litur Tasik dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani terhadap perampasan tanah oleh PTPN II yang didukung negara melalui pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas petani Sei Litur Tasik, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas toleransi.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Sektor pertanian merupakan jantung kehidupan pedesaan. Selain berfungsi sebagai penjamin kedaulatan pangan bangsa, sektor ini juga telah menjadi tulang punggung kekuatan ekonomi nasional. Sekitar 46 persen rakyat Indonesia terserap di sektor ini, dan dari sembilan sektor yang ada, sektor pertanian adalah sektor penyumbang upah terbesar dari kontribusinya terhadap PDB yaitu sebesar 47.8 persen. Sementara itu sektor lainnya seperti pertambangan, listrik, gas dan air, serta sektor keuangan dan jasa hanya menyumbangkan pengembalian berupa upah/pendapatan masing-masing sebesar 5.6 persen, 21.67 persen dan 7.55 persen dari GDP yang disumbangkan. Namun sayang, peran pertanian yang sangat vital ini tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk memprioritaskan penguatan dan pembangunan sektor pertanian dan pedesaan. Pembangunan pertanian dan pedesaan ditandai dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemberantasan buta aksara, penyediaan air bersih, penekanan angka kelahiran dan kematian, serta pemenuhan kebutuhan sandang dan papan. (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 1980)

Setelah fase 25 tahun pertama (1983) terjadilah transformasi pedesaan yang ditempuh melalui strategi pembangunan manusia seutuhnya bersama-sama dengan upaya industrialisasi berbasiskan pertanian dalam ideologi developmentalism-modernism. Fase ini bercirikan pada pembangunan yang padat modal, otomatisasi-mekanisasi, ketergantungan pada modal asing, industri substitusi impor, dan produksi massal. Melalui sistem pembangunan ini, struktur-struktur perekonomian desa yang sebelumnya berjalan dalam mode produksi


(11)

tradisional-kolektif dipaksa untuk menyesuaikan dengan mode kapitalis. Strategi industrialisasi dan komersialisasi pertanian dilakukan melalui perkebunan skala besar dan industri pengolahan pangan, PIR (Perkebunan Inti Rakyat), sistem “Bapak-Angkat”, serta sistem kontrak.

Tingginya kapitalisasi desa dan pertanian telah membuat masyarakat desa menjadi semakin kosmopolit (keinginan untuk mencapai suatu tujuan secara mudah dan praktis), komersialis, individualis, dan menghadapi persoalan ketergantungan. Sementara itu, Indonesia menjadi jaringan Negara industri kapitalis yang pada dasarnya hanya menjadi “sapi-perahan” sistem perekonomian dunia. Semua sumberdaya alam yang ada di desa “tersedot” habis, dan mengalir ke pusat-pusat perdagangan internasional dunia. Sementara itu, pembangunan infrastruktur pedesaan seperti irigasi, jalan raya, listrik, fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan justru semakin mandeg. Ditambah lagi privatisasi pendidikan dan kesehatan telah mengamputasi hak masyarakat desa. Akibatnya desa mengalami proses pemiskinan dan juga mengalami kerusakan kekayaan alam dan lingkungan. (Soetomo, 2001)

Sektor pertanian adalah sektor yang mewakili keberadaan rakyat. 46 persen rakyat Indonesia telah terlibat luas dalam berbagai bentuk pertanian meliputi pertanian pangan, pertanian non pangan, peternakan dan perikanan air tawar. Namun, para penguasa modal telah menjadi pihak yang meminggirkan hak-hak rakyat tani tersebut atas nama pembangunan. Ketidakadilan terjadi baik dalam semua aspek sumber agraria, mulai dari tanah, air, bibit tanaman ataupun bibit ternak atau ikan yang hendak dibudidayakan. Dalam penguasaan tanah, terjadi penurunan rata-rata penguasaan tanah per rumah tangga petani dari 0,89 Hektar


(12)

(1983) menjadi 0,83 Hektar (1993) dan kembali menurun menjadi 0.78 Hektar (2003). Sementara itu, 57 persen petani hanya memiliki tanah kurang dari 0.5 hektar. Ketidakadilan ditunjukkan ketika pemerintah justru mengizinkan perusahaan perkebunan sawit untuk memperluas lahannya hingga 100.000 hektar dari yang asalnya 20.000 hektar saja. (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 1980)

Ketidakadilan juga terjadi disektor perkebunan. Sejak beberapa tahun terakhir, perkebunan sawit tengah menjadi primadona di sektor perkebunan. Perkembangan peningkatan luas perkebunan kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir mencapai 218 persen untuk tiap tahunnya. Dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta sementara sisanya dikelola oleh perkebunan-perkebunan kecil berbasis keluarga tani.

Dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, PT Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumatera Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar. Demikian juga kepemilikan lahan perkebunan oleh PTPN yang luasnya mencapai 403.290 ha.


(13)

Sejak lama agribisnis sawit telah menggusur perkebunan-perkebunan rakyat. Dari total perkebunan sawit yang ada sebanyak 83 ribu hektar merupakan lahan sengketa. Misalnya di Sumatera Selatan perkebunan kelapa sawit telah menggusur lahan perkebunan milik 4.101 rumah tangga di delapan kabupaten. Hal terbaru terkait dengan sektor perkebunan adalah dikeluarkannya UU No.25 Tahun 2007 tentang penanaman modal (UUPM) yang menetapkan Hak Guna Usaha (HGU) 95 tahun–waktu yang lebih lama dibandingkan dengan apa yag telah ditentukan oleh hukum agraria Belanda sekalipun—baik untuk investor nasional ataupun investor asing.

Kebijakan pro pasar dan pemodal, telah menggadaikan tanah, air dan kekayaan alam Indonesia melalui kebijakan seperti Land Administration Project (LAP) dan Land Mangement and Policy Development Project (LMPDP) , UU No.7 Tahun 2004 tentang privatisasi air, UU sektoral—UU No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan, UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan UU No.11 Tahun 1967 tentang pertambangan– dan terakhir UU No.25 Tahun 2007 tentang penanaman modal. Berbagai kebijakan negara hanya berpihak pada kepentingan pemodal tanpa melindungi kepentingan rakyat. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan apabila seringkali terjadi sengketa dan konflik dalam lapangan agraria terutama dalam masalah penguasaan tanah. Hal ini maklum karena tanah baik dipermukaan ataupun dibawah permukaannya telah menjadi sumber agraria yang interaksinya paling dekat dan paling banyak bersinggungan dengan aktivitas manusia.


(14)

Sementara data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan, terdapat 2.810 kasus skala besar (nasional). Lebih jauhnya, dari 2.810 kasus (data BPN), FSPI mencatat 40 orang hilang, 76 orang ditangkap, 7.034 orang luka-luka dan mengungsi, serta 11 orang tewas. Secara praktis dapat dilihat bahwa konflik terbesar terjadi di wilayah perkebunan, kehutanan produksi, bendungan/pengairan, pertambangan, sarana militer, kehutanan konservasi/hutan lindung, pertambakan, perairan, dan transmigrasi.

Konflik tanah salah satunya terjadi juga di daerah Sumatera Utara tepatnya di kabupaten Langkat, kecamatan sawit sebrang di desa sei litur tasik, dimana lahan-lahan pertanian masyarakat dirusak dan diduduki serta diambil alih oleh pihak PTPN II. Intimidasi berupa pengerusakan lahan petani terjadi. Lahan perjuangan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) Basis Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Sebrang Kabupaten Langkat dirusak oleh PTPN II Kebun Sawit Sebrang.

Ratusan tanaman coklat, karet dan kelapa sawit dirusak serta posko-posko milik petani anggota SPI Basis Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Sebrang dibakar "Pihak perkebunan dalam kasus bersikap sangat arogan menanggapi permasalahan yang melibatkan petani kecil," bahwa Pihak Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia(TNI) Angkatan Darat (AD) sebagai aparatur negara tidak mengambil peran aktif dalam menjaga situasi kondusif di lokasi sengketa maupun lingkungan tempat tinggal masyarakat bahkan cenderung berpihak kepada kaum pemodal.


(15)

Sejak Oktober 2009, masyarakat menghimpun kekuatan dan bergabung dalam keanggotaan SPI Basis Sei Litur dan berjuang untuk merebut tanah yang dikuasai oleh PTPN. "Oleh karena itu, kami mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kanwil Sumut agar tidak menerbitkan Sertifikat HGU berdasarkan SK kepala BPN RI no. 119/HGU/ BPN RI/2009, karena terdapat silang sengketa diatas areal lahan tersebut," .

1.2. Perumusan Masalah

Rumusan Masalah adalah penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Rumusan masalah biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dan untuk mencari jalan pemecahannya. Berdasarkan latar belakang yang di paparkan, maka peneliti mencoba menarik suatu permasalahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian yang akan dilakukan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana strategi petani dalam mempertahankan kepemilikan tanah bekas perkebunan sengketa tanah tersebut?

2. Mengapa masih terjadi sengketa tanah dan belum bisa terselesaikan dari tahun 1963 sampai dengan sekarang di Desa Sei Litur Tasik? 1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari permasalahan di atas adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana strategi gerakan petani dalam


(16)

2. Untuk mengetahui apa saja upaya-upaya dan aktivitas gerakan petani dalam membantu masyarakat petani agar sengketa tanah bisa terselesaikan di Desa Sei Litur Tasik.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan agar dapat memberi konribusi bagi pengembangan bidang ilmu sosial pedesaan dan kajian tentang konflik sosial.. 1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Petani di Desa Sei Litur Tasik, Aparat di Desa Sei Litur Tasik, Pemerintah Daerah dan Daerah Pemerintah Kabupaten. Dalam memahami persoalan sengketa tanah dan solusi pemecahannya.

1.5. Defenisi Konsep

a. Gerakan sosial adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.

b.Kepemilikan lahan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara ekslusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi.

c. Gerakan Petani: suatu bentuk perlawanan yang sengaja dilakukan oleh sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya


(17)

perubahan dalam pola interaksi keadilan untuk petani di dalam masyarakat. Dalam gerakan tersebut diharapkan mempunyai ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu:

1. Memiliki pengorganisasian internal yang rapi, 2. Berlangsung lebih lama,

3. Gerakan sengaja bertujuan melakukan reorganisasi kehidupan masyarakat internal maupun eksternal.

d.Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain-lain )dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain.

e. Makna Tanah Bagi Petani: intepretasi yang timbul dari ikatan – ikatan yang ada antara petani dengan tanah, dapat bersifat ekonomi, sakral, ataupun kultural.

f. Sejarah Penguasaan Tanah: catatan – catatan histografis atau dokumen sejarah yang berkisah tentang tanah, baik itu pembahasan soal kepemilikan, penyawaan, perebutan, ataupun alih fungsi tanah serta kaitannya dengan orang atau sekolompok orang disekitar tanah. Seringkali catatan histografis berbentuk sejarah lisan (oral history).


(18)

g.Strategi Gerakan: cara atau media yang digunakan gerakan petani guna mencapai suatu tujuan, dapat berupa aksi boikot, pemogokan, demonstrasi atau aksi massa, dsb.

h.Organisasi Gerakan: bentuk formal dari pengorganisiran petani, yang didalamnya terdapat struktur (hierarki) organisasi, memiliki tujuan yang jelas, dan adanya unsur kepemimpinan.

i. Pemimpin Gerakan: orang atau sekelompok orang yang bertugas untuk memimpin suatu gerakan, pemimpin merupakan tokoh sentral atau motor penggerak pada sebuah gerakan petani.

j. Pola Pertanian: tata cara bercocok tanah yang dipergunakan oleh sekelompok orang atau masyarakat didalam suatu luasan lahan. Pola ini dapat berupa system kebun, perkebunan, ataupun persawahan k.Konflik sosial adalah sikap saling mempertahankan diri

sekurang-kurangnya diantara dua kelompok yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi,oposisi, bukan kerjasama.

l. Lembaga sosial adalah salah satu jenis

rangkaian

tujuan mendapatkan keteratura


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan.Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah.Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan.Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal.Ketiga, tanah sebagai kuburan.(Boedi, 1994)

Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik.

Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri.(Boedi, 1994)

Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi


(20)

konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyarakat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik.

Selain itu, memahami karakter konflik agraria di Indonesia, maka proses-proses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya.Dibutuhkan lembaga khusus penyelesaian konflik agraria.Karena pada dasarnya yang disebut dengan penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hukum formal dari tanah yang dikonflikkan.Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria.Selama ini pihak rakyatlah yang selalu jadi korban konflik agraria. Proses penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu.

Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah:

1) Memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas 2) Menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah,

3) Memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan


(21)

4) Memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk mendekontruksi atas sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.

2.1 Masyarakat Petani

Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang seragam dan bersifat umum. Artinya sering tidak disadari adanya diferensiasi atau perbedaan-perbedaan dalam berbagai aspek yang terkandung dalam komunitas petani ini. Sebagai contoh, diferensiasi dalam komunitas petani itu akan terlihat berdasar atas perbedaan dalam tingkat perkembangan masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka pergunakan, sistem pertanian yang mereka pakai, topografi atau kondisi-kondisi fisik-geografik lainnya. Di antara gambaran-gambaran yang bersifat diferensiatif pada kalangan masyarakat petani umumnya, adalah perbedaan antara petani bersahaja, yang juga sering disebut petani tradisional ( termasuk golongan peasant ) dan petani modern (termasuk farmer atau agriculturalentreprenuer )

Kaum tani di Indonesia muncul pertama kali di masa masyarakat feodal, di mana pada waktu itu kaum tani berposisi sebagai tani hamba dari tuan tanah feodal yang menguasai tanah. Tani hamba bekerja menggarap lahan atau tanah milik tuan tanah feodal yang pada waktu itu menyebut dirinya sebagai raja. Seluruh hasil tanah yang digarap oleh tani hamba diserahkan kepada raja dan tani hamba mendapat bagian sesuai dengan kebijakan dari raja. Pada masa itu, yang banyak berlaku adalah aturan kewajiban tani hamba untuk menyerahkan upeti berupa hasil produksinya sebagian besar kepada raja sebagai bukti pengakuan


(22)

raja. Selain keharusan untuk menyerahkan upeti, tani hamba juga harus siap swaktu-waktu untuk menyerahkan tenaga kerjanya tanpa dibayar ketika raja membutuhkan dan memiliki kehendak untuk mewujudkan keinginannya seperti membangun istana, jalan, bahkan berperang melawan kerajaan yang lain.

Belum lagi pajak yang juga dikenakan oleh raja terhadap kaum tani di luar upeti. Dan apabila kaum tani tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka dipastikan mereka akan mendapatkan hukuman. Dapat dibayangkan bagaimana penderitaan tani hamba pada waktu itu dan kondisi hidupnya yang melarat dan miski 10.30 wib)

Masih tak terbantahkan, bahwa kaum tani yang tinggal dan bekerja di wilayah pedesaan merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Mengingat besarnya jumlah petani, setidaknya kaum tani telah turut memberi suara signifikan bagi siapa pun presiden terpilih pada pilpres langsung multi partai di dua periode pemerintahan terakhir ini. Tetapi tak terbantahkan pula, mayoritas kaum tani terus mengalami proses pemiskinan terberat.

Di satu sisi, ini disebabkan tak memadainya akses dan kontrol petani atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Di sisi lain, pemerintah yang memperoleh amanat konstitusi mendistribusikan kesejahteraanandiantaranya kepadakaum tani, sekaligus pemilik otoritas kebijakan, tak pernah serius, bahkan berniat menjungkirbalikkan keadaan yang terus mendera kaum tani. Alih-alih menjungkirbalikkan keadaan, proses pemiskinan terhadap petani pun sepertinya


(23)

terus dimapankan dan dilembagakan. Semua itu menunjukkan, pemerintahan yang telah berjalan, dari jaman Orba hingga saat ini, tak satu pun yang peduli terhadap nasib petani. Orientasi politik, ekonomi dan hukum agraria yg dipraktekkan pemerintah pun tak diarahkan untuk memihak kaum tani.

Tak hanya itu, sektor pertanian, beserta petani dan keluarganya, telah dilemparkan oleh rezim penguasa menuju lembah neoliberalisme yang ganas. Sehingga cabikan-cabikan yang dihadapi kaum tani kita pun semakin membuatnya limbung terhuyung-huyung. Bahkan kini kaum tani sedang berada dalam ambang batas menuju ke arah kematiannya yang tragis. Bobot kemiskinan yang kian bertambah berat, beserta segenap problem struktural yang nyaris abadi yang dihadapi kaum tani, sepertinya menjadi konfirmasi nyata bahwa pemerintah memang tak tergerak mencarikan jalan keluar atas problem itu.

Jika pun ada klaim, bahwa pemerintah peduli atas nasib petani, maka klaim itu adalah klaim palsu, tak berbasis realita, dan cuma sekedar komoditas politik pencitraan yang menyesatkan. Namun di sisi lain, kemiskinan yang terus menggerus kaum tani, serta keberadaannya sebagai kelompok paling rentan menjadi korban konflik agraria, membuat semua itu menjadi sumbu potensial bagi gerakan tani itu sendiri.

Terkait gerakan tani di Indonesia, sejauh ini bisa dibaca dalam dua kerangka yang berbeda. Pertama, gerakan tani di Indonesia sekedar resistensi (perlawanan) terhadap gangguan subsistensi. Artinya, gerakan atau perlawanan petani baru akan muncul ketika terjadi gangguan terhadap batas-batas subsistensi kehidupan mereka. Sebaliknya, tak ada gerakan atau perlawanan jika tak ada


(24)

gangguan atas subsistensi kehidupan mereka. Subsistensi merupakan konsep khas masyarakat pedesaan yang agraris. Konsep ini merujuk pada perilaku ekonomi petani dalam upaya memenuhi kebutuhan jangka pendeknya. Dalam hal ini biasanya terkait pada sekali musim tanam. Kebutuhan ini bisa mencakup satu kelompok petani, maupun seorang individu petani saja. Kedua, gerakan tani merupakan gerakan sistematis untuk mengubah struktur agraria. Gerakan ini memiliki tujuan-tujuan yang lebih jauh, berperspektif transformasi sosial. Bukan sekedar reaksi atas persoalan terlanggarnya batas-batas subsistensi semata.

Kedua kerangka gerakan tani itu, semestinya dipandang bisa saling melengkapi. Dan di sinilah letak arti penting perumusan agenda perjuangan dan aksi bagi kaum tani Indonesia dewasa ini. Namun di tengah kesalingterkaitan dan keterhubungan antara satu sektor dengan sektor lainnya, maka agenda perjuangan petani bukan hanya perjuangan oleh kaum tani semata. Agenda perjuangan petani juga jadi agenda milik elemen di sektor-sektor lainnya. Begitu juga agenda strategis sektor-sektor lain, seperti sektor buruh, nelayan, pedagang, pertambangan, kehutanan, kaum miskin kota, sektor HAM, kesenian, dan sebagainya, perlu didukung oleh gerakan tani. Sehingga sinergitas dan solidaritas antar sektor gerakan itu dapat lebih efektif menggulirkan transformasi sosial sejati seperti yang dicita-citakan.

2.2. Reformasi Agraria dan Tanah Untuk Rakyat

Sejumlah persoalan mendasar dalam bidang agraria (pertanahan) masih terus berkembang dan seolah tak akan berkesudahan dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu fenomena yang muncul adalah sengketa hak atas


(25)

tanah antara petani dengan pihak perusahaan perkebunan baik PTPN maupun perkebunan swasta besar. Sengketa hak yang terus berkepanjangan senantiasa melahirkan konflik sosial, bentrok massa yang kian marak seolah tak ada kepastian bagaimana penyelesaian dan kapan semua itu akan berakhir. Dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat petani menuntut hak ini dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes atas ketidakadilan yang melampaui batas kesabaran mereka.

Di satu sisi masyarakat petani dengan segala keterbatasan kemampuan yang selalu dililit kemiskinan ekonomi, ketiadaan kemampuan hukum dalam memperjuangkan hak, ketiadaan akses untuk mendapat bantuan dukungan dan segudang kelemahan lainnya menjadikan mereka pada posisi yang sangat sulit dan bahkan tak jarang menjadi korban kezaliman dan keserakahan managemen perusahaan perkebunan (PTPN & Perkebunan Swasta) yang dengan kemampuan yang mereka miliki dengan mudah memperalat tangantangan penguasa (Birokrat Pemerintah, Penguasa Keamanan/Polri, TNI, Lembaga Peradilan, bahkan Preman) untuk memukul dan memberangus masyarakat petani miskin papah yang memperjuangkan haknya. Dari luas 1.788.943 Ha lahan perkebunan yang ada di Sumatera Utara lebih dari separuhnya dikuasai oleh Perusahaan-perusahaan Perkebunan Nasional maupun Perkebunan Swasta.

Sebagian besar perusahaan-perusahaan perkebunan ini didirikan dengan cara merampas lahan milik petani melalui tipu daya maupun kekerasaan yang berlangsung selama pemerintahan Rezim Orde Baru.Pratek kebijakan pembangunan perkebunan dengan skala besar yang sejatinya salah satu bertujuan mulia untuk mensejahterakan kehidupan luas termasuk masyarakat petani di


(26)

sekitar areal perkebunan ternyata bertolak belakang dengan yang diharapkan. Malah kehadiran perusahaan perkebunan besar (PTPN & Perkebunan Swasta) tidak jarang menjadi ”monster ganas” yang dengan semena-mena merampas tanah-tanah masyarakat petani, masyarakat hukum adat dengan diback up kekuasaan ”oknum pejabat” sehingga kehadiran mereka tak jarang menjadi malapetaka besar bagi masyarakat petani maupun masyarakat hukum adat yang telah sejak awal mendiami wilayah tersebut secara turun temurun. Kehadiran perusahaan perkebunan dengan sebutan PTP dipelesetkan menjadi “Perampok TanahPetani”. Indonesia adalah negara agraris, tanah merupakan hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat agraris.

Di Indonesia prinsip dan landasan landreform beralasan Prinsip Hak Menguasai dari Negara. Landasan ideal landreform di Indonesia adalah pancasila karena pancasila merupakan ideologi, cara pandang bangsa dan rakyat Indonesia.Land Reform adalah sebuah upaya yang secara sengaja bertujuan untuk merombak dan mengubah system agraria yang ada dengan maksud untuk meningkatkan distribusi pendapatan pertanian dan dengan demikian mendorong pembangunan pedesaan. Diantara berbagai bentuk reformasi tanah / land reform mungkin memerlukan pemberi hak-hak kepemilikan yang dijaminkan kepada petani atau individu-individu msyarakat, land reform dapat juga diartikan sebagai pengalihan kepemilikan tanah yang terkadang dalam penggunaanya untuk perkebunan membangun pertanian kecil pemukiman yang biasanya untuk kepentingan masyarakat.

Karena NKRI sebagian besar rakyatnya menggantungkan kehidupannya pada tanah, dalam hal ini berada pada bidang pertanian. Setelah Indonesia


(27)

merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni menciptakan kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu adalah sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan agraria itu hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

Landasan Konstitusional yang merupakan hukum dasar bangsa Indonesia dalam menjamin dan memberi hak-hak rakyatnya dalam hal ini mengenai agrarian yaitu yang terdapat dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Landasan Operasional pelaksanaan landreform di Indonesia yaitu ; 1. Pasal 7

“ Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.

2. Pasal 10 ayat (1)

“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada dasarnya diwajibkan mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan”.


(28)

3. Pasal 17 ayat (1)

“Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7, maka untuk mencapai tujuan dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan luas minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarag atau badan hukum”. Ayat (2) “ penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat”. Ayat (3) “tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum yang termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah”. Ayat (4) “ tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat 1 yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Dengan landreform diatur siapa-siapa yang berhak mempunyai hak milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah menjadi terlantar dan tanda bukti pemelikan atas tanah ( Fauzi 1999).

Contoh – contoh konflik Antara petani dengan pihak perkebunan di Indonesia:

1. Mafia Tanah Berkedok Hak Ulayat Rambah Lahan PTPN II Kebun Sampali.

2. Konflik Lahan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat.

3. PT. Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Perusahaan membabat Hutan Kemenyan (Tombak Haminjon)


(29)

yang sudah dikuasai turun temurun masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta, mengganti dengan pohon ekaliptus, dsb.

2.3. Gerakan Petani di Indonesia

Pada pertengahan abad ke- 19, kita dapat melihat banyak bermunculan gerakan perlawanan petani di berbagai tempat. Seperti gerakan Haji Rifangi di Pekalongan (1860), gerakan angkuwijoyo di Desa Merbung, Klaten (1886), Gerakan Tirtowiat alias Raden Joko di Desa Bangkalan, Kartosuro (1886), pemberontakan petani Banten (1888), pemberontakan petani candi udik (1892), dan peristiwa Gedangan (1904). Kesemua gerakan yang terjadi pada kurun waktutersebut memiliki beberapa kesamaan, baik itu penyebab terjadinya gerakan ataupun dalam struktur dan pola gerakan.

Gerakan yang ada bersifat sangat lokal, sporadis, dan tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang lain. Perlawanan banyak dipimpin oleh tokoh – tokoh lokal, baik ulama ataupun bangsawan lokal. Bahri (1999) berpendapat bahwa, gerakan petani yang ada abad ke-19 belum menunjukan ciri – ciri modern, dalam artian adanya organisasi dalam lingkup yang luas yang menyatukan gerakan, pandangan dan sikap politik atas struktur kekuasaan, dan instrumen gerakan yang tertata rapih sehingga dapat memberikan seruan keseluruh negeri.

Hal ini begitu berbeda dengan gerakan yang lahir pada awal abad ke – 20.Pada tahun 1912, terjadi pengorganisiran petani secara masif di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera.Sebagai contoh Serikat Islam (SI), salah satu organisasi yang sangat berpengaruh pada waktu itu, berhasil


(30)

mempertemukan gerakan petani di pedesaan dengan gagasan revolusioner kemerdekaan, seperti pembentukan tatanan masyarakat baru pengganti tatanan masyarakat kolonial.Tujuan dari gerakan pun tidak lagi hanya terbatas pada penuntasan masalah di tingkatan lokal, tetapi perubahan system politik, yaitu gugatan dan penggantian sistem pemerintah kolonial. Organisasi – organisasi modern yang lahir pada awal abad ke – 20 berhasil memperkenalkan pola perlawanan yang sama sekali berbeda dengan pola perlawanan petani yang ada sebelumnya, seperti boikot dan pemogokan.

Struktur dan pola gerakan yang ada, terasa lebih tertata dengan adanya pembakuan struktur organisasi, sistem keanggotaan, dan diterapkannya metode pengorganisiran masyarakat.Boikot dan pemogokan merupakan bentuk perlawanan yang diadopsi dari gerakan buruh dan kelas menengah perkotaan untuk menentang kekuasaan pemilik modal dan pemerintah yang saat itu sedang marak terjadi di daratan Eropa. Hal ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu hal yang wajar, karena para motor penggerak organisasi semacam Serikat Islam (SI), Indische Partij (IP), dan Indische Social – Democratische Partij (ISDP) merupakan anak para bangsawan yang mendapatkan keistimewaan untuk dapat bersekolah hingga kejenjang universitas, bahkan banyak diantara mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi Eropa.

Soe Hok Gie (1964) dalam Skripsinya yang berjudul Dibawah Lentera Merah menyatakan bahwa, kehadiran organisasi semacam Sarekat Islam telah merubah kondisi sosial-politik yang ada dimasa kolonial.Petani yang semula hanya paham prihal cangkul dan persoalan desa, bermetamorfasa menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan yang gigih.Orang-orang seperti Tirtoadisuryo,


(31)

Samanhudi, dan Tjokroaminoto, merupakan anak para bangsawan yang telah mengenyam pendidikan kolonial tetapi tidak pernah melupakan akar budaya bangsanya.

Pasca kemerdekaan, khususnya pada periode waktu 1950 – 1965, hamper seluruh organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan dari berbagai partai politik ditingkat nasional. Kehadiran organisasi tani seperti Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang bernaung di bawah Masyumi, Persatuan Tani Nahdatul Ulama (PETANU) yang bernaung di bawah NU, Persatuan Tani Indonesia (PETANI) yang bernaung di bawah PNI, serta Barisan Tani Indonesia (BTI) yang memiliki hubungan yang erat dengan PKI, menjadi peta gerakan petani pasca kemerdekaan hingga tahun 1965.

Perdebatan politis yang sangat tajam terlihat ketika penyusunan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA), di Departemen Agraria dan Dewan Pertimbangan Agung. PNI dan partai – partai islam berkepentingan untuk membela para pendukungnya, yang mayoritas pemilik tanah – tanah luas dan pangreh praja di pedesaan. Dilain pihak, PKI mengklaim dirinya sebagai perwakilan dari para petani tak bertanah. Akan tetapi, hal ini justru mentah dengan sendirinya, karena pada beberapa kasus BTI justru melindungi tuan tanah yang menjadi simpatisan dari PKI.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah melarang seluruh organisasi petani yang ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno.Petani – petani mulai kehilangan patron politik karena banyak dari para pemimpin gerakan dari kelas menengah perkotaan sudah dibunuh dan yang hidup mendapatkan tekanan yang luar biasa dari Rezim Orde Baru.Pada posisi ini petani kembali pada


(32)

tradisi penyesuian diri dan mencari jalan masing – masing untuk mempertahankan hidup.Gerakan petani mulai aktif pada pertengahan tahun 1980-an, sebagai akibat dari intervensi modal yang sangat intensif di wilayah pedesaan.

Bersamaan dengan itu, di wilayah perkotaan juga tumbuh gerakan mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masuk kepedesaan dengan berbagai kegiatan baik itu dalam hal sosial politik, pendidikan, dan advokasi. Pada massa itu mahasiswa yang sebelumnya dibungkam oleh Pemerintahan Soeharto mulai turun ke jalan. LSM yang sudah lebih berpengalaman dalam menangani permasalahan petani lebih banyak mengambil jalan pembelaan litigasi diperadilan atau mengirim surat protes kepemerintah. Petani mulai berkenalan dengan aksi massa dan demontrasi setelah menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok gerakan di perkotaankhususnya mahasiswa. Di dalam tubuh gerakan mahasiswa sendiri sudah terjadi pergeseran orientasi, kritik gerakan mahasiswa pada tahun 1980-an kepada gerakan sebelumnya adalah tidak adanya penyambung antara gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat. Maka pada akhir 80-an dan awal 90-an terjadi aliansi gerakan petani dengan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi ke DPRD dan kantor – kantor Gubernur.

Dilihat dari sisi yang lain, amat jelas terlihat bahwa petani tidak memiliki kemampuan untuk dapat mengorganisir diri mereka sendiri. Petani masih amat bergantung pada kelompok- kelompok gerakan diperkotaan. Apabila pada awal abad ke -19 mereka bersandar pada para bangsawan dan tokoh lokal, pada pertengahan abad ke – 19 mereka bersandar pada organisasi kepartaian seperti SI, IP, dan ISDP, sedang pada awal kemerdekaan hingga 1965 mereka bergantung


(33)

pada partai politik, dan pada massa orde baru mereka bergantung pada gerakan mahasiswa dan LSM. Adapun yang terjadi pada saat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada massa sebelumnya.

Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998, begitu banyak terjadi gerakan perlawanan petani diberbagai daerah.Tetapi apabila dilihat secara lebih mendalam, belum terlihat adanya petani yang dapat mengorganisisr diri mereka sendiri hingga menjadi sebuah gerakan petani.

2.4 Perlawanan Kaum Petani

Abad ke-18 hingga abad ke-19, pemberontakan petani terbukti menjadi faktor yang sangat penting dalam semua revolusi sosial yang pernah terjadi di Perancis, Rusia, dan China. Tanpa adanya pemberontakan petani, radikalisme perkotaan di negara – negara agraris dan semi agraris tidak akan mampu menuntaskan sebuah transformasi sosial.

Revolusi yang terjadi di Inggris dan Jerman pada tahun 1848 pada umumnya dipimpin gerakanrevolusioner perkotaan mengalami kegagalan karena tidak terjadinya pemberontakan pertani terhadap para tuan tanah di pedesaan. Kekhususan kultural yang dimiliki oleh petani baik itu pada perkembangan nilai – nilai, persepsi, dan kebudayaan petani tidak serta merta membuat para ahli dapat mendefnisikan petani secara mudah.

Moore (1966), menyatakan bahwa tidak mungkin mendefinisikan petani dengan ketepatan yang mutlak karena batasannya kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Hanya saja adanya bukti penguasaan tanah secara de facto dan


(34)

cara hidup yang khas dengan mengelola tanah, dapat dijadikan salah satu ciri yang membedakan petani dengan yang lain.

Persoalan tidak berhenti pada apa dan bagaimana mendefinisikan petani, tetapi juga semakin berkembang ketika menganalisa lapisan petani mana yang terlibat aktif dalam pemberontakan. Petani pada dasarnya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perlawanan kecuali ada tekanan atau krisis yang sangat menekan mereka dan adanya pihak luar yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut (Wolf, 1969).

Pandangan perihal ketidakmampuan petani dalam mengoraganisir diri sendiri diperkuat oleh Marx (1850) dalam Peasantry as a Class, bahwa petani tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri.Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain.

Scott (1976) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melihat keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah gerakan atau mobilisasi petani. Pertama, kondisi – kondisi yang mendorong timbulnya pergerakan, kedua, faktor kepemimpinan, dan ketiga, startegi yang digunakan. Tekanan struktural, kultural, hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi, menurut Scott (1976), hal ini sudah cukup untuk menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanansosial yang ada. Petani dianggap selalu bertindak atas nama kelompok, baik dalam berproduksi, berpolitik, maupun melakukan perlawanan. Petani


(35)

cenderung memandang bahwa, petani miskin tidak bisa keluar dari strukturnya atau petani tidak memilliki taktik dalam melakukan perlawanan.

Gerakan-gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merata ketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Lahirnya suatu mitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakan kaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos-mitos seperti ini mempersatuakan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi-koalisi petani,meskipun tidak stabil, sangat rentan, dan hanya dipersatukan untuk sementara waktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966).

Wolf (1969) juga menyatakan bahwa petani kelas menengahlah yang menempati posisi penting dalam mendukung gerakan revolusi petani. Petani kelas menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar, tingginya tingkat bunga, dan perubahan-perubahan lain yang diakibatkan pasar dunia. Akibatnya, petani kelas menengah selain lebih mudah menerima gerakan revolusioner yang menjanjikan restorasi politik dan stabilitas ekonomi, juga mempunyai basis ekonomi yang independen dan sumberdaya politik taktis yang tidak dimiliki oleh petani miskin dan buruh tani untuk mendukung suatu gerakan revolusioner.

Scott (1981), berpendapat bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral sehingga malahirkan moral ekonomi yang lebih mengutamakan “keselamatan” dan menjauhkan iri dari bahaya. Moralitas mendahulukan keselamatan inilah yang kemudian menjadi faktor kunci pendekatan moral ekonomi petani dalam menjelaskan pengorganisiran petani.


(36)

Konsep lain yang dipergunakan Scott (1976) dalam menjelaskan pengorganisiran petani adalah struktur sosial yang terdapat pada masyarakat prakapitalis. Struktur sosial yang terdapat pada masyarakat ini secara horizontal ditandai oleh homogenitas yang tinggi dan secara vertical ditandai oleh struktur yang berbentuk krucut. Pada struktur sosial yang berbentuk kerucut, posisi puncak strata sosial diduduki kaum elite yang berjumlah sedikit, struktur bawah diduduki para petani penggarap dan buruh tani dengan jumlah yang banyak.

Dalam struktur masyarakat seperti ini faktor kepemimpinan memegang peran penting dalam pengorganisiran petani. Pendekatan moral petani, pada dasarnya berasumsi bahwa gerakan perlawanan petani semata – mata didasari oleh moralitas tradisional yang berorientasi ke masa lalu dan masa kini saja, sehingga ketika terjadi perubahan yang tidak sesuai atau dirasakan akan mengancam kelangsungan kehidupan yang telah mereka miliki, para petani kemudian mengandalkan perlawanan terbuka.

Pendekatan moral ini mendapatkan kritikan oleh Popkin (1979) yang mengatakan bahwa petani sesungguhnya tidak terlalu mementingkan kelompok dan mampu melakukan perlawanan atas dasar kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Pengorganisiran atau mobilisasi petani memerlukan lebih dari sekedar konsensus atau intensitas kebutuhan, dan harus ada kepentingan pribadi, sehingga sebuah perjuangan tidak ditunggangi oleh free rider (pemboncengan). Petani dipandang sebagai manusia-manusia rasional, kreatif dan juga ingin menjadi kaya. Namun pada kenyataannya, petani tidak mempunyai kesempatan sehingga tidak dapat menjual hasil pertaniannya sendiri ke pasar.


(37)

Dalam kasus petani di Vietnam, keberhasilan pengorganisiran petani ditingkat desa, menitikberatkan pada keberhasilan penyelesaian atas masalah – masalah lokal. Pertama – tama mereka memberikan bantuan bagi proyek – proyek atau aktivitas yang beresiko dan berskala kecil, dimana keuntungan datang dengan cepat dan bersifat kongkrit. Kemudian mereka mengembangkan diri dengan mengorganisir petani pada proyek – proyek yang lebih menantang (spekulatif) dan berskala lebih besar yang dapat memberikan keuntungan abstrak jangka panjang (Popkin, 1979).

Popkin (1986) menyatakan bahwa, semua perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untuk menentang program negara (Kasus Revolusi Hijau), tetapi lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan para elite desa (Petani Kaya), yang selama ini mengklaim mewakili komunitas tradisional, padahal lebih bertujuan untuk mempertahankan tatanan yang lebih menguntungkan mereka. Terdapat tiga hal penting yang dapat kita garis bawahi pada penelitian yang dilakukan oleh Popkin (1986), antara lain :

i) Gerakan yang dilakukan para petani adalah gerakan anti-feodal, bukan gerakan untuk mengembalikan tradisi lama (restorasi), tetapi untuk membangun tradisi baru; bukan untuk menghancurkan ekonomi pasar tetapi untuk mengontrol kapitalisme.

ii) Tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsitensi dan tindakan kolektif.

iii) Kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas. Dengan kata lain, adanya perbedaan yang jelas


(38)

antara rasionalitas individu dengan resionalitas kelompok. Kapitalisme dan imperialisme (komersialisasi pertanian, eksploitasi, ekonomi pasar, ekonomi uang, strata sosial baru di desa) akan menganggu subsistensi dan tatanan sosial–ekonomi petani sehingga membuat petani bersifat reaktif.

Para petani dalam melakukan gerakan biasanya tidak terlalu meperdulikan tujuan-tujuan umum, ideologi, sistem filosofi, teori-teori politik, dan organisasi-organisasi yang revolusioner. Ketidakpuasan petani bersifat jelas, terbatas, lokal, dan cenderung pragmatis. Aksi-aksi perlawanan petani biasanya untuk memenuhi kepentingan materil. Suatu kelompok akan berpartisipasi dalam suatu gerakan yang bersifat kolektif karena ingin mendapatkan keuntungan tertentu atau mendapat insentif. Hal ini memperlihatkan bahwa keikutsertaan petani dalam gerakan banyak dipengaruhi oleh jenis, bentuk dan isi harapan – harapan yang menurutnya bakal menguntungkan (Mustain, 2007).

Olson (1971) dalam buku yang berjudul The Logic of Collective Action mengkritik argument tersebut dengan menyatakan bahwa pergolakan petani dalam menetang kekuatan pasar tidaklah selalu mendorong terjadinya gerakan petani. Mereka melakukan pemberontakan atas dasar hitungan untung rugi yang ditanggung dari ketidakpuasan atas keadaan status quo. Dari asumsi tersebut, sangat mungkin dikembangakan sifat dan peran psikologis dalam menjelaskan partisipasi petani dalam gerakan petani.

Marx (1895) menyatakan bahwa lapisan buruh tani atau proletariat pedesaan merupakan lapisan yang paling revolusioner. Ia menganggap bahwa sumber radikalisme petani berdasarkan pada pemilikan atau penguasaan alat


(39)

produksi tanah. Meskipun masih didalam tulisan yang sama, Marx (1895) juga menyatakan bahwa sesungguhnya petani dalam melakukan pemberontakan tidak dapat berdiri sendiri. Petani membutuhkan pemimpin yang bertugas mewakili mereka dalam melakukan perlawanan terhadap kelas penindas.

Hal berbeda dapat ditemui pada pandangan Wolf (1966) yang menyatakan bahwa petani menengahlah yang paling dapat diandalkan dalam melakukan pemberontakan. Petani kelas bawah atau buruh tani tanpa tanah yang menggantungkan hidupnya kepada tuan tanah, tidak akan memiliki kekuatan untuk melawan. Petani kelas menengah jelas terganggu dengan keberadaan tuan tanah baik itu dalam akses terhadap pasar ataupun tekanan kultural yang dirasakan oleh mereka, terlebih lagi petani kelas menengah memiliki sumberdaya minimal untuk melakukan perlawanan. Jumlah buruh tani tak bertanah yang besar memang merupakan sumber potensial untuk melakukan pemberontakan atau revolusi tetapi pendapat ini tidak selamanya benar dan berlaku disemua tempat. Gerakan petani dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari gerakan sosial (Handayani, 2004).

Para ahli telah banyak mencoba untuk melakukan pendefinisian prihal gerakan sosial. Herbert Blumer (1939), dalam Sadikin (2005) berpendapat bahwa gerakan sosial merupakan sebagai suatu kegiatan bersama untuk menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan. Kemunculan gerakan sosial ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan dan kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat mendambakan tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir.

Sadikin (2005) mencoba merangkum berbagai definisi gerakan sosial yang diutarakan para ahli, sebagai ciri – ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan


(40)

sosial. Pertama, gerakan sosial merupakan satu bentuk perilaku koletif. Kedua, gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau mempertahankan suatu kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung. Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik secara formal ataupun tidak. Kelima, gerakan sosial merupakan gejala yang lahir dalam kondisi masyarakat yang konfliktual.

Petani pada dasarnya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perlawanan kecuali ada tekanan atau krisis yang sangat menekan mereka dan adanya pihak luar yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut (Wolf, 1969). Pandangan perihal ketidakmampuan petani dalam mengoraganisir diri sendiri diperkuat oleh Marx (1850) dalam Peasantry as a Class, bahwa petani tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri. Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain.

Scott (1976) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melihat keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah gerakan atau mobilisasi petani. Pertama, kondisi-kondisi yang mendorong timbulnya pergerakan, kedua, faktor kepemimpinan, dan ketiga, startegi yang digunakan.

Gaya perlawanan yang dimaksud ini mungkin paling jelas dapat digambarkan dengan cara memperbandingkan dua bentuk perlawanan yang berpasangan, yang masing-masing diarahkan kepada tujuan sama; satu di


(41)

antaranya ialah perlawnan sehari hari, menurut pengertian kami, dan yang kedua konfrontasi yang lebih terbuka dang langsung yang secara tipikal mendominasi studi tentang perlawanan. Pada suasana yang satu, proses diam – diam dan sedikit demi sedikit yang oleh koloni petani dipakai untuk mendesak perkebunan dan tanah-tanah Negara, suasana lainya penyerbuan tanah milik secara umum yang terang-terangan menentang hubungan kepemilikan pada suasana yang satu terjadi proses dedesersi militer secara bertahap. Suasana lainya terjadi pemberontakan terbuka yang mengarah kepada penghapusan atau penggantian personalia.

Teknik-teknik perlawanan seperti itu sesuai benar dengan ciri ciri kusus kau tani. Sebagai kelas bawahan yang berbeda-beda tersebar secara geografis sering kali tanpa disiplin dan kepemimpinan yang dapat mendorong oposisi dari jenis yang teratur. Yang paling cocok untuk kaum tani adalah kampanye perselisihan gaya gerilya jangka panjang yang hanya memerlukan sedikit kordinasi atau tanpa koordinasi sama sekali. (James C.Scott, 1993)


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif.Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditunjukkan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karateristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena yang lainnya. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpentasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.

Furchan (2004:447) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan.Lebih lanjut dijelaskan, dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis sebagaimana yang terdapat pada penelitian eksperimen.

Sedangkan penelitian kualitatif menurut Sugyono (2005:1) adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagaimana lawannya adalah eksperimen), dimana peneliti adalah instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan (trianggulasi), analisa data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Alasannya peneliti melakukan penelitian kualitatif adalah karena penelitian kualitatif dapat memberikan keleluasaan dan kesempatanpeneliti


(43)

untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam terutama permasalahan yang akan diangkat tergolong hal yang sensitif.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di desa Sei Litur Tasik, kecamatan Sawit Sebrang, Kabupaten Langkat. Adapun alasan peneliti di tempat tersebut adalah karena di desa tersebut terjadi konflik perebutan lahan antara masyarakat petani dengan pihak PTPN II, dimana masyarakat berjuang memperebutkan lahan pertanian mereka dengan tergabung dalam organisasi SPI (Serikat Petani Indonesia)

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007:51-52).dalam penelitian yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Petani yang terlibat sengketa lahan desa Sei Litur Tasik, kecamatan Sawit Seberang.

3.3.2.Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan peneliti sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin, 2007:76). Dalam penelitian ini yang menjadi informan penelitian adalah:

1. Informan Kunci: Masyarakat petani yang terlibat sengketa lahan desa Sei Litur Tasik, kecamatan Sawit Sebrang.

2. Informan Biasa: Pemerintah Setempat dan Lembaga swadaya masyarakat Sei Litur Tasik, kecamatan Sawit Sebrang.


(44)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian ,karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang telah ditetapkan (Sugyono,2005:62)

Untuk dapat mengumpulkan data data yang diperlukan sebagai sumber data guna penunjang penelitian ini maka peneliti akan mengumpulkan data melalui:

1. Observasi, merupakan pengamatan yang menyeluruh terhadap gejala-gejala sosial yang terlihat dilapangan. Dalam kegiatan observasi,peneliti melakukan pencatatan terhadap kejadian perilaku,dan berbagai objek lainnya yang digunakan untuk mendukung penelitian. Obsevasi, Nawawi (2005: 100) mengungkapkan bahwa observai merupakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada penelitian.observasi sendiri dibagi menjadi dua yaitu observasi secara langsung dan observasi secara tidak lansung. Peneliti menggunakan observasi secara tidak langsung yang berarti pengamatan yang dilakukan tidak pada berlangsungnya peristiwa yang akan diselidiki.

2. Wawancara mendalam yaitu untuk mendapatkan data secara lengkap sebagaiman yang diinginkan , dibantu oleh instrument penelitian. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak ,yaitu pewawancara


(45)

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

3. Studi kepustakaan ,yaitu data dan informasi yang diperoleh dari studi kepustakaan,hasil penelitian yang sebelumnya,jurnal – jurnal ilmiah ,artikel dokumen dan tulisan – tulisan lain yang menunjang dan berhubungan dengan penelitian ini. Data ini sering juga disebut sebagai data sekunder dimana data tersebut diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari yang kita butuhkan.

3.5. Interpretasi Data

Dalam penelitian kualitatif peneliti dapat mengumpulkan banyak data baik dari hasil wawancara, observasi maupun dari dokumentasi. Data tersebut semua umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan, oleh karena itu perlu diseleksi dan dibuat kategori-kategori. Data yang telah diperoleh dari studi kepustakaan juga terlebih dahulu di evaluasi untuk memastikan relevansinya dengan permasalahan penelitian. Setelah itu data dikelompokkan menjadi satuan yang dapat dikelola, kemudian dilakukan interpretasi data mengacu pada tinjauan pustaka. Sedangkan hasil observasi dinarasikan sebagai pelengkap data penelitian. Akhir dari semua proses ini adalah penggambaran atau penuturan dalam bentuk kalimat-kalimat tentang apa yang telah diteliti sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan-kesimpulan.


(46)

2.4. Jadwal Penelitian

No Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

1 Pra observasi √ √

2 Acc Judul Penelitian √

3 Penyusunan Proposal √ √

4 Bimbingan Proposal √ √

5 Seminar Proposal √

5 Revisi Proposal √ √

6 Penelitian Lapangan √ √ √

7 Pengumpulan dan Interpretasi Data √ √ √ √

8 Penulisan Laporan √ √ √

9 Bimbingan Skripsi √ √ √


(47)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Profil Desa Sei Litur Tasik

Dahulu desa ini adalah salah satu peninggalan dari masa penjajahan Belanda dan Jepang. Desa ini adalah desa yang langsung dibuka oleh kolonial belanda untuk ditanami tanaman-tanaman perkebunan, terutama dulunya tanaman pertama kali yang ditanami adalah tanaman karet. Sehingga banyak masyarakat dulunya yang kerja untuk dijadikan budak oleh kolonial belanda tanpa dikasi upah yang cukup. Setelah tahun 1941 jepang menyerah kepada sekutu, dan jepang pergi dari wilayah Indonesia, termasuk dari daerah Sei Litur tasik tersebut.

Pada tahun 1944 agresi militer belanda 2 terjadi di daerah sei litur tasik,banyak masyarakat yang menjadi korban dan melarikan diri sejauh mungkin dari desa tersebut, namun pada tahun 1945 negara kesatuan Republik Indonesia Merdeka, dan bebas dari penjajahan, sehingga masyarakat yang tadinya meninggalkan kampungnya akhirnya meskipun diselimuti perasaan trauma mereka kembali termasuk ke desa sei litur tasik. Dan semua peninggalan kolonial harus dimusnahkan mulai dari pabrik-pabrik hingga tanaman-tanaman,akhirnya tanaman karet, sawit yang ada di desa ini dimusnahkan dan diganti menjadi tanaman pangan, seperti padi dan daerah ini juga dijadikan menjadi areal persawahan yang luas pada masa itu.

Adapun latar belakang mengapa desa ini diberi nama sei litur Tasik adalah, menurut penuturan salah satu sesepu di Desa yaitu pak suwarno, dulunya penguasa di desa ini, yang memiliki banyak tanah yaitu pak lituk. Dia orang yang paling berpengaruh di desa tersebut sehingga karena peran nya yang begitu besar


(48)

nama dia pun akhirnya di buat menjadi nama desa tersebut menjadi sei lituk. Lama kelamaan karena banyak masyarakat yang susah mengatakan sei lituk akhirnya diganti lagi menjadi Sei litur dan sampai sekarang. Tetapi menurut penuturan kepala desa pak Sawon AR mengapa desa ini diberi nama Sei Litur karena dari kata sei litur artinya susah diatur. Dulunya masyarakat yang tinggal di desa ini susah diatur, itu makanya diberi nama menjadi Sei Litur.

Desa Sei Litur Tasik, kec. Sawit Seberang kabupaten Langkat ini memiliki Luas Wilayah sekitar 7000 ha, yang di dalam nya pertanian seluas 6000 ha dan luas perkebunan PTPN II sekitar 1200 ha. Desa ini merupakan salah satu desa yang mengalami pemekaran yang terdiri dari 8 dusun, yang tiap-tiap dusun dikepalai oleh satu kepala dusun. Desa ini dipimpin oleh satu kepala desa, 5 pembantu Kaur, 8 pembantu kepala dusun, dan ada 3 lembaga di desa ini yaitu LPMD (Lembaga pemberdayaan Masyarakat Desa), PKK, dan BPD (Sebagi perwakilan desa). Adapun batas-batas wilayah desa ini adalah:

- Sebelah Utara : Desa Alur Melati ,Kec.Sawit Seberang - Sebelah Selatan : Desa Sukaramai, Desa Sei Bamban - Sebelah Timur : Desa Mekar Sawit,Kec Sawit Seberang

- Sebelah Barat :Sei Musam,Kec.Batang


(49)

Tabel 4.1 Tanah Perkebunan Yang ada di Desa Sei Litur Tasik

TANAH PERKEBUNAN JUMLAH

Tanah perkebunan rakyat/perseorangan 5950 ha/m2

Tanah perkebunan negara 895 ha/m2

Tanah perkebunan swasta 150 ha/ m2

Total luas 6995 ha/ m2

Sumber: Kantor Kepala Desa Sei Litur Tasik 4.1.2. Penduduk

Jumlah penduduk di desa Sei litur Tasik ini mencapai 4.893 jiwa yang mana laki-laki sebanyak 2.450 jiwa, dan wanita 2.443 jiwa. Hal yang menarik di desa ini adalah jumlah jandanya mencapai 212 orang dan duda nya hanya 44 orang, sungguh hal yang menarik. Penduduk desa ini mayoritas dan mencapai 98% suku jawa, dan 100 % beragama islam.

4.1.3. Perekonomian

Kegiatan yang doninan pada masyarakat Sei Litur Tasik pekebunan dan pertanian .Pada umumnya penduduk desa Sei Litur Tasik mayoritas bermata pencaharian sebagai petani karet, sebagian petani sawit, ubi, jagung. Ada juga penduduknya yang beternak lembu, kambing. Selain menjadi petani, ada juga yang menjadi buruh harian lepas di PTPN 2 sawit seberang. Untuk lebih jelasnya dibawah ini dapat dilihat sumbangan masing – masing sector perekonomian yang dapat dijadikan sumber mata pencarian penduduk yang ada di desa Sei Litur Tasik berikut.


(50)

Tabel 4.2Penduduk Menurut Mata PencaharianTahun 2014

4.1.4. Sarana Ekonomi dan Sosial/ Budaya di Desa Sei Litur Tasik 1. Sarana Ekonomi

Sarana ekonimi yang ada di desa sai litur tasik penduduk atau penunjang prekonomian diantaranya adalah:

a) Terdapat satu koperasi yaitu koperasi konsumsi yang dapat menyedikan barang kebutuhan rumah tangga.

b) Terdapat satu pasar/pusat kegiatan prekonomian tempat menjual produk pertanian seperti sayur mayur.

JENIS PEKERJAAN LAKI-LAKI PEREMPUAN

petani 693 orang 275 orang

Buruh tani 105 orang 165 orang

Buruh mingran perempuan 3 orang 5 orang Buruh mingran laki-laki 4 orang 6 orang

Pegawai negri sipil 5 orang 8 orang

Pengerajin industry rumah tangga 11 orang 5b orang

Pedagang keliling 7 orang 5 orang

Peternak 385 orang 20 orang

Montir 7 orang

Bidan suwasta 1 orang 1 orang

Prawat suwasta 2 orang 1 orang

Pembantu rumah tangga 25 orang

TNI 7 orang

Polri 1 orang

Pengusaha kecik dan menengah 68 orang 37 orang

Dukun kampong terlatih 1 orang

Seniman / artis 25 orang 21 0rang

Karyawan perusahaan swasta 42 orang 25 orang Karyawan perusahaan pemerintah 40 orang 21 orang

Jumlah total penduduk 5157 orang


(51)

2. Sarana Sosial dan Budaya

Sarana sosial yang tersedia di desa Sei Litur Tasik meliputi sarana pendidikan, rumah ibadah dan sarana kesehatan.


(52)

4.2. Penjelasan Ringkas Mengenai PTP Nusantara II Kebun Sawit Seberang.

4.2.1.Profil PTP Nusantara II Kebun Sawit Seberang

Perusahaan Perseroan PT Perkebunan II bergerak dibidang usaha Pertanian dan Perkebunan didirikan dengan Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH No. 12 tanggal 5 April 1976 yang diperbaiki dengan Akte Notaris No. 54 tanggal 21 Desember 1976 dan pengesahan Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A. 5/43/8 tanggal 28 Januari 1977 dan telah diumumkan dalam Lembaran Negara No. 52 tahun 1978 yang telah didaftarkan kepada Pengadilan Negeri Tingkat I Medan tanggal 19 Pebruari 1977 No. 10/1977/PT. Perseroan Terbatas ini bernama Perusahaan Perseroan (Perseroan) PT Perkebunan II disingkat “PT Perkebunan II" merupakan perubahan bentuk dan gabungan dari PN Perkebunan II dengan PN Perkebunan Sawit Seberang.

Kebun sawit sebrang adalah salah satu kebun milik PTPN II yang berlokasi di kecamatan sawit sebrang kabupaten langkat propinsi Sumatra utara, jarak +=78 km dari kota Medan. Dahulunya kebun sawit sebrang berasl dari perusahan belanda dengan nama verenigde deli Mastgchappij (VDM), yang di buka dan di tanami kelapa sawit sejak tahun 1923. Area kebun sawit sebrang adalah konsensi kebun batang serangan (eks perusahaan belanda) tanggal 10 desember 1936 NO .LXV/R atas nama Deli Mastgchappij. Kemudian diberi hak guna usaha (HGU) kepada kebun sawit sebrang berdasarkan SK Menteri Agraria NO.5K/35/HGU-66 tanggal 10 oktober 1966.

Pada tahun 1962 kebun sawitsebrang diambil alih oleh pemerintah Indonesi, yang berada dibawah PPN SUMATRA UTARA II. Sejak mulai berdiri kebun


(53)

sawit sebrang berada dibawah perusahaan yang beberapa kali mengalami perubahan nama, yaitu:

Tahun 1957: ND VDM Tahun 1962: PPN Sawit II Tahun 1963: PPN Antan II

Tahun 1968: PPN Antan II/ PNP II (penggabungan) Tahun 1969: PNP II

Tahun 1976: PTP II

Tahun 1996: PTPN II (penggabungan 11 maret 1996) 4.2.2. Deskripsi Wilayah PTP Nusantara II Kebun Sawit Seberang

Dalam peta Topografi, kebun sawit sebrang terletak pada garis 3’20 lintang utara dan 98’20 bujur timur. Dalam garis besarnya topografis area terdiri dari dua bagian yaitu:

a. Daerah datar : meliputi daratan nrendah yang terletak disebelah timur sepanjang sei batanga serangan , tinggi daeraha bekisar Antara 5-20 meter dari permukaan laut . jenis tanahnya adalah allurial coklat hidromorfik kelabu yangberasa dari bahan alluvium serta bertektur liat sampai liat berpasir.

b. Daerah bergelombangn meliputi daratan yang tertak disebelah barat sei batanag serangan , tinggi daerah bekisaran 20-50 diatas permukaan laut. Jenis tanah di daerah ini pada umumnya adalah potsolik kuning merah kekuningan yang berasar dari batuan liat dan batuan pasir, serta bertekstur liat berpasir.


(54)

Temperatur udara rata rata bekisaran Antara 28’-30’celsius dengan curah hujan rata rata setahun sekitaran 250 mm dan 150 hari hujan. Bulan bulan kering (<100mm/bulan). Pada umumnya berlangsung selama empat bulan yakni bulan januari sampai dengan bulan April.

Perkebunan sawit sebrang mempunyai are Hasil Guna Usaha seluas 3.213,31 Ha. Berikut disediakan tabel perincian luas area kebun sawit seberang tahun 2014.

Tabel 4.3 Perincian Luas Areal Kebun Sawit Seberang Tahun 2014

No Kebun No.Sertifikat Luas (Ha)

1 2 3 4 5 SWS SWS SWS SWS SWS

No.1 Desa Tanjung Putus No. 1 Desa Tanjung Selamat No.1 Desa Simpang Tiga No. 10 Desa Sei Litur Tasik Sk.No.119/HGU/BPN-RI/2009 (Surat Keputusan Menteri Agraria)

696,57 217,32 249,37 895,95 654,1

Jumlah 3.213,31

Sumber: Kantor PTPN II Sawit Seberang

Tabel 4.4 Perincian Luas Areal Kebun Sawit Seberang Tahun 2014 Menurut Sertifikat HGU

No Sertifikat Luas (Ha)

1 2

No.1 Simpang Tiga

SK HGUNo.119/BPN-RI/2009 (Surat Keputusan Menteri Agraria)

2.864,14 1.462,38

Jumlah 4.326,57

Sumber: Kantor PTPN II Sawit Seberang

4.3.Kronologis Pengrusakan dan Penyerangan terhadap petani Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

Selasa, 22 Februari 2011


(55)

Datang sepuluh truk yang berisikan karyawan dari PTPN II Kebun Sawit Sebrang yang langsung dipimpin oleh Purnomo (Manajer PTPN II Kebun Sawit Sebrang), David Ginting (Humas PTPN II Kebun Sawit Sebrang), Malau (Asisten Kebun PTPN II Kebun Sawit Sebrang) serta jajaran staf PTPN II Kebun Sawit Sebrang. Pihak PTPN II Kebun Sawit Sebrang ini juga dibantu oleh aparat TNI AD. Dengan membawa anggota sepuluh orang dengan menggunakan pakaian preman, Salomon Ginting (Intel Kodim Kabupaten Langkat) yang dibantu oleh Suliwijaya (anggota Koramil Kecamatan Padang Tualang Kabupaten Langkat) yang juga merupakan Babinsa Desa Sei Litur Tasik serta pihak kepolisian dengan menggunakan pakaian preman membantu pihak PTPN II Kebun Sawit Sebrang yang merusak dan menyerobot masuk ke lahan perjuangan milik petani Sei Litur Tasik.

Pihak karyawan tanpa melakukan komunikasi dengan petani Sei Litur langsung masuk ke dalam lahan perjuangan milik petani Sei Litur, merusak tanaman berupa coklat, rambung dan kelapa sawit serta membakar posko milik petani Sei Litur. Sempat terjadi perlawanan oleh petani Sei Litur yang ingin mempertahankan lahan perjuangan mereka. Namun karena jumlah massa yang tidak seimbang petani Sei Litur tidak dapat mempertahankan lahan yang mereka perjuangkan untuk kelangsungan hidupnya.

Dalam peristiwa ini, Ibu Erli (46) mengalami tindak kekerasan oleh karyawan PTPN II Kebun Sawit Sebrang. Beliau berusaha untuk mempertahankan tanaman yang ingin dirusak oleh pihak PTPN II Kebun Sawit Sebrang.


(56)

Pukul 09.30 wib

Ratusan tanaman milik petani sudah rusak dan tujuh buah posko milik petani Sei Litur telah dibakar. Ibu Erli yang mengalami tindak kekerasan langsung dibawa ke Puskesmas Desa Sei Litur untuk diperiksa dan diotopsi. Namun pihak Puskesmas menolak untuk menyerahkan hasil visum tersebut dengan alasan pihak dari kepolisian yang akan mengambil hasil dari visum tersebut.

Sampai rilis ini ditulis, pihak PTPN II Kebun Sawit Sebrang masih berada di lahan perjuangan milik petani Sei Litur. Petani Sei Litur juga tetap berada di lahan perjuangan milik mereka untuk mempertahankan dua posko perjuangan yang ingin tetap dibakar oleh pihak PTPN II Kebun Sawit Sebrang.

4.4. Makna Tanah Bagi Petani Sei Litur Tasik

Hubungan-hubungan yang terjadi antara tanah dengan petani Sei Litur Tasik tidak hanya didasarkan pada hubungan ekonomi semata. Tanah boleh jadi merupakan tempat dimana mereka menjalani mata pencaharian sebagai petani. Terlebih lagi, diatas tanah tersebut jugalah petani Sei Litur Tasik menjalin hubungan yang berdasarkan ikatan-ikantan solidaritas sosial. Ketika ada petani yang gagal panen atau mengalami musibah maka beban ini tidak semata-mata di tanggung oleh petani tersebut. Begitu pula ketika terdapat salah saorang anak muda yang baru menikah. Anggota komunitas lainnya secara swadaya akan membantu guna mengurangi beban yang diderita. Bantuan sering kali berupa beras dan hasil bumi lainnya, tetapi tidak jarang bantuan dapat pula berupa pekerjaan seperti menggarap tanah garapan tetangganya.


(57)

“Kalo saya mening punya tanah tapi susah makan daripada bisa makan tapi gak punya tanah. Bingung de, kalo gak punya tanah....” (Ati, petani Sei Litur Tasik)

Bagi petani Sei Litur Tasik tanah erat kaitannya dengan rasa aman, aman dari sisi ekonomi dan aman sisi sosial. Aman dari sisi ekonomi berarti petani tersebut mempunyai jaminan atas penghasilan yang akan didapatnya dari hasil pertanian. Keberadaan tanah sengketa memungkinkan petani untuk dapat memanfaatkan potensi dari tanah tersebut.

“Susah berarti kalo gak punya tanah.. dari dulu juga kan, orang sini tanah jarang yang beli... paling sekarang – sekarang aja ada yang beli, itu juga bukan beli, paling sewa buat ladang... lagian sih... jadi meskipun tanah sengketa tu jadi masalah ya harus di pertahanankan” (petani ,Sei Litur Tasik)

Penduduk Sei Litur Tasik cenderung tidak memiliki banyak pilihan mata pencaharian. Sebagian besar masyarakat merupakan orang yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Hal inilah yang kemudian menciptakan ketergantungan yang tinggi antara penduduk Sei Litur Tasik dengan tanah. Rasa aman yang diberikan dari keberadaan tanah inilah yang kemudian terusik dengan kehadiran PTPN II dilahan eks-perkebunan.

“tanah itu idup mati.. bapak dapetnya susah.. mesti gelut dulu sama orang yang PTPN II itu... jadi gak bakal ditinggal, meskipun mereka ttetap menganggap tanah ini milik pihak PT...” (Oman, petani Sei Litur Tasik)

“mana mau ibu kasih tanah ini sama mereka ... meskipun ibu dah tua, bercocok tanam juga gak kuat... tapi masih ada anak dan cucu ibu yang berhak atas tanah ini...” (Adminah, petani Sei Litur Tasik)

Segala macam kegiatan ekonomi yang terjadi diatas tanah sengketa memang tidak dapat menyingkirkan makna tanah dari unsur ekonomi. Kegiatan – kegiatan seperti “ngaborong” untuk pekerja penggarap tanah, “ijon” tanaman


(58)

kayu rakyat, dan jual beli pohon dibawah tegakan kayu, mudah kita temui di Desa Sei Litur Tasik.

4.5. Profil Informan

Profil informan dalam penelitin ini terdidri dari informan kunci dan informan biasa dimana setiap informan mengetahui banyak hal yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini. Para informan ini mempunyai pengetahuan dan keterlibatan langsung dalam memberi penjelasan tentang gerakan petani melawan PTPN II desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang.

4.5.1. Informan Kunci

1. Nama : Saenan

Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 56 tahun

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SD Status : Menikah

Alamat : Desa Sei Litur Tasik Pekerjaan : Petani

Pak Saenan adalah salah satu warga desa Sei Litur Tasik. Terlepas dari petani Pak Saenan juga menjabat sebagai ketua dari organisasi SPI yang berada di Desa Sei Litur ini. Menurut penuturan pak saenan sejarah berdirinya SPI di desa sei litur Tasik ini adalah karena adanya keinginan masyarakat sei litur tasik untuk merebut lahan yang dulunya milik mereka telah dirampas oleh pihak PTPN 2 dari mereka. Keinginan mereka tersebut di wujudkan mulai tahun 2001 secara diplomat, dari meja ke meja, beliau sudah menjumpai bupati, surat sudah


(59)

dilayangkan ke Gubernur dan bahkan ke Presiden pun sudah tapi hasilnya tidak kunjung ada.

Ada salah satu badan yang membantu sebagai kuasa hukum mereka yaitu kontras. Kontras ini lah yang kemudian mengarahkan masyarakat yang ikut berjuang untuk masuk dan membentuk suatu organisasi supaya perjuangan mereka lebih terorganisir. Menurut pak saenan peran dari SPI sendiri untuk desa sei litur tasik adalah memperjuangkan lahan untuk dikelola oleh petani sebagai alat produksi, menjalankan program petani berkelanjutan, dan meningkatkan martabat petani yang selama ini banyak petani yang tertindas, selain itu SPI juga memberikan penyuluhan-penyuluhan tentang bertani yang baik mulai dari cara bercocok tanam sampai memanen. Anak dari bapak saenan sendiri menjadi salah satu yang dikirim ke bogor untuk mendapat pelatihan-pelatihan tentang petani berkelanjutan.

Saenan menjelaskan PTPN II Kebun Sawit Sebrang menurunkan sekitar 1.500 orang untuk meratakan puluhan ribu tanaman yang terdiri dari Pisang, Karet, Kelapa, Mahoni, Coklat, Nenas, Manggis, Serai, Timun, Rosella, Ubi, serta bunga hias milik petani Sei Litur, Kabupaten Langkat. Selain itu bangunan Posko dan Mushalla yang dibangun di lahan seluas 200 Ha juga turut diratakan dengan tanah.

Pak Saenan menambahkan bahwa tanah perjuangan ini tidak akan ditanam sawit karena itu merugikan, dimana sawit itu memakan air yang sangat banyak. Mereka lebih memilih menanan palawija dan padi, karena ketahanan pangan juga harus difikirkan. Pak Saenan menambahkan kemungkinana besar lahan persawahan akan dibuka kembali karena dulunya memang lahan itu adalah lahan


(60)

persawahan, dapat dilihat dari adanya irigasi yang terdapat di tengah-tengah kebun.

Harapan warga semua sama hanya ingin tanah itu menjadi milik warga agar keadaan ekonomi warga dapat meningkat. Dituturkan Pak Saenan bahwa petani itu harus mempunyai 2ha lahan perladangan dan 0,5ha untuk lahan perumahan. Hal ini belum terpenuhi secara utuh di desa ini, sehingga mereka akan terus berjuang untuk mendapatkan hak mereka. Yang mendapat bagian seandainya tanah tersebut dikuasasi adalah orang-orang yang menjadi anggota SPI sendiri, dan yang bukan anggota dan tidak ikut berjuang tidak mendapatkan bagian apapun dari organisasi tersebut.

2. Nama : Nono

Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 45 tahun

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SMP Status : Menikah

Alamat : Desa Sei Litur Tasik Pekerjaan : Petani

Pak Nono adalah warga Sei Litur Tasik yang bekerja sebagai petani yang juga bekerja sebagai tukang bangunan. Menurut pandangan beliau terhadap tanah perjuangan itu, tanah yang menjadi sengketa yang mereka sering namakan tanah perjuangan dulunya memang tanah milik masyarakat serta dikelola oleh masyarakat, kemudian di ambil alih oleh pihak PTPN 2 pada tahun 1968 yang


(61)

dulunya lahan itu hanya sawah dengan ancaman oleh kepala desa daerah tersebut barang siapa yang tidak mau menjual dianggap sebagai PKI.

Selanjutnya penuturan pak Nono adalah mereka kembali memperjuangkan tanah tersebut dari pihak PTPN itu tahun 2001, perjuangan yang mereka lalu dengan jalur diplomat yaitu meja ke meja, dia juga ikut ke kecamatan, ke pemkab dan bahkan ke kantor Gubernur pun dia ikut berjuang mempertahankan lahan itu, namum tidak ada hasil. Baru di tahun 2005 ada satu badan yang mereka namakan kontras yang menjadi bantuan hukum mereka yang ikut membantu para petani setempat dalam hal penguasaan lahan tersebut. Dengan ada kontras ini pun perjuangan mereka tidak menemui hasil bahkan lahan tersebut pun belum dapat diduduki.

3. Nama : Darman

Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 57 tahun

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SD Status : Menikah

Alamat : Desa Sei Litur Tasik Pekerjaan : Petani

Pak Darman adalah salah satu warga desa Sei Litur Tasik. Pak Darman tinggal di Sei Litur Tasik sejak Pak Darman kecil. Pak Darman juga terlibat di petani yang terlibat konflik, menurut Pak Darman keadaan desa Sei Litur Tasik sejak terjadinya konflik aman meskipun ada konflik antar petani dengan PTPN II. Perekonomian di Sei Litur Tasik juga tidak terlalu menurun karena sebagian besar


(62)

masyarakar Sei Litur Tasik adalah petani, petani karet, petani sawit dan ada juga yang berternak sapi ,kambing. Pak Darman sangat berharap agar pihak PTPN II melepaskan lahan yang sekarang di duduki oleh pihak PTPN II sawit seberang, Pak Darman sangat mengharapan agar pihak PT tidak lagi mengambil lahan mereka agar mereka bisa memajukan perekonomian dengan bercocok tanam seperti saat ini lahan yang sedang bersengketa itu di tanami oleh masyarakat dengan menanam pohon karet dan memanam ubi yang cepat panen.

4. Nama : Gayup

Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 52 tahun

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SD Status : Menikah

Alamat : Desa Sei Litur Tasik Pekerjaan : Petani

Gayup salah satu warga Sei Litur Tasik yang ikut serta dalam memperjuangkan hak kepemilikan tanah, Pak Gayup ini adalah putra daerah Sei Litur Tasik yang dari kecil sudah tinggal di sai litur tasik dan sampai sekarang ini pak gayup masih tinggal di sai litur tasik,pak gayup ini juga terlibat konflik tanah dengan pihak PTPN II. Pak Gayup ikut dalam meperjuangkan hak petani ini tanpa ada dorongan dari pihak mana pun ynag menyuruh pak gayup ikut serta dalam memperjuangkan lahan tersebut , Pak Gayup juga mengatakan ikut serta dalam memperjuangan lahan ini karna dia merasa lahan itu memang hak milik Sei Litur Tasik.


(1)

Marginal, Yayasan Akatiga

Scott, James C. 1976. The Moral Economy Of The Peasent, New Heaven: Yale University Press

---. 1989. Peasant Resistance. New York: Rmunk Me Sharpe ---. 2000. Senjata Orang –Orang Kalah: Bentuk – Bentuk

PerlawananSehari-Sehari Kaum tani, penerjemah: A. Rahman Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar, Jakarta: Yayasan Obor IndonesiaSoekanto, Soejono.2005. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Soetomo, Greg.2001. Kekalahan Manusia Petani. Yogyakarta: Kanisius Sugyono.2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta Sunarto, Kamanto.2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Wolf, Eric R. 1969. Dalam Teodor Shanin (ed), On Peasant Rebellion,

Middlesex: Penguin Books, 1971

Sumber Referensi Jurnal dan Penelusuran On Line

14september 2013, pkl 10.30 wib )

(diakses pada sabtu, 14september 2013, pkl 10.30 wib )


(2)

pkl 10.30 wib )

14september 2013, pkl 10.30 wib )


(3)

Gambar 1. Peta Desa Sei Litur Tasik


(4)

Gambar 3. menunjukkan lahan sengketa yang sudah ditanami petani Sei Litur Tasik

Gambar 4. menunjukan rumah petani yang terletak dilahan sengketa desa Sei Litur Tasik


(5)

Gambar 5. menunjukan Plang pemberitahuan tanah milik masyarakat yang bersengketa

Gambar 6. menunjukkan para petani desa Sei Litur Tasik memanen hasil tanaman yang ditanam di lahan sengketa


(6)

Peneliti berfoto dengan salah satu petani yang sedang memanen hasil lahan sengketa