Sejarah Konflik Peralihan Fungsi Lahan PTPN II Menjadi Lahan Pertanian Rakyat (Studi Kasus Di Desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Sejarah Konflik Peralihan Fungsi Lahan PTPN II Menjadi

Lahan Pertanian Masyarakat

(Studi Kasus di Desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Diajukan oleh :

FERRY ARDHI NIM : 030901058

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(2)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Sejarah Konflik Peralihan Fungsi Lahan PTPN II Menjadi Lahan Pertanian Rakyat” (Studi kasus di desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang), berawal dari ketertarikan penulis terhadap masalah konflik yang terjadi di desa Marindal I tersebut yang sampai saat ini tidak jelas kemana arahnya meskipun lahan eks perkebunan sebagian besar menjadi lahan pertanai masyarakat atau ditanami dengan jenis tanaman palawija.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah warga desa Marindal yang terlibat dalam konflik (penggarap), pihak pengembang (penggarap kaya), Direksi dan karyawan PTPN II sebagai informan kunci dan warga desa lainnya yang dianggap mengtahui dalam permasalahan ini. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catan-catatan dari setiap kali turun lapangan.

Hasil penelitian dilapangan menunjukan bahwa adanya tumpang tindih tentang kepemilikan tanah. Rakyat yang menganggap sebagian lahan perkebunan adalah milik mereka yang merupakan tanah jaluran yang diberikan pemerintah Belanda kepada rakyat yang bertempat tinggal diatas tanah perkebunan secara turun temurun dan kemudian diambil pemerintah dengan cara intimidasi dan lain sebagainya.. Sementara PTPN II (setelah Nasionalisasi) mengklaim bahwa lahan perkebunan adalah milik perkebunan dengan menunjukkan HGU PTPN. Dengan adanya intimidasi dan bukti yang kuat dari PTPN II tentunya rakyat harus menyingkir dari lahan tersebut, karena mereka tidak berani secara terang-terangan untuk menuntut haknya atas tanah.

Setelah habis masa HGU PTPN II yang bertepatan masuknya masa Reformasi yaitu masa yang memiliki nuansa berbeda dirasakan oleh masyarakat, akhirnya masyarakat yang selama ini memendam rasa takut dan kecewa terhadap pemerintah kini telah berani untuk menuntut kembali lahan yang selama ini dikuasai oleh PTPN II. Tuntutan yang dilakukan masyarakat berawal dengan melakukan Negosiasi ataupun Kompromi, dan kemudian rakyat melakukan pendudukan lahan dengan cara menebangi pohon coklat yang merupakan tanaman perkebunan. Setelah lahan kosong, rakyat menanami lahan tersebut dengan tanaman palawija yang sampai sekarang kegiatan penanaman masih dilakukan rakyat dan membangun pondok/rumah didaerah lahan kosong perkebunan. Kegiatan rakyat sempat mendapatkan penghadangan/perlawanan dari pihak PTPN II yang dibantu oleh hansip, pamswakarsa dan Brimob. Penghadangan yang dilakukan PTPN II sempat menimbulkan bentrok meskipun tidak sampai kearah bentrok yang besar.

Akhirnya penyelesaian konflik tanah antar pihak PTPN II dengan rakyat penggarap ditengahi oleh pemerintah dengan membentuk Tim B Plus. Tim B Plus akan memutuskan penyelesaian akhirnya pada bulan Oktober 2001. Namun hingga sekarang penyelasain akhir dari konflik ini belum juga ada keputusan akhir yang dilakukan Tim B Plus. Pihak yang berkonflik melakukan peredaman dan rakyat penggarap terus menanami lahan eks perkebunan dengan tanaman palawija.


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “SEJARAH KONFLIK PERALIHAN FUNGSI LAHAN PTPN II MENJADI LAHAN PERTANIAN MASYARAKAT” (Studi kasus di Desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang), disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini menceritakan tentang bagaimana sejarah konflik peralihan fungsi lahan PTPN II menjadi lahan pertanian masyarakat yang sampai sekarang lahan tersebut masih ditanami dengan jenis tanaman palawija.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda; Paiman Ardhi dan Ibunda Zairah Siregar yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Akhirnya inilah persembahan yang dapat ananda berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti ananda.


(4)

Izinkan penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

1. Bapak Prof. Dr. M. Arief Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti, MA, Selaku ketua Departemen Sosiologi dan Ibu Dra. Rosmiani,M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi, Universitas Sumatera Utara.

3. Rasa hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan dengan kata-kata kepada Ibu Dra. Hadriana Marheini Munthe, M.Si. selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal kuliah hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

4. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni, dan kak Beti yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan.

5. Saudara-saudara yang sangat penulis sayangi : Bang Jefry, Kak Lia, Bang Irsan, adik-adik penulis Amay/suami, sri, gusti dan keponakan penulis yang ganteng-ganteng Rafy, Dafa dan Fahri jangan bandelya dan jangan melawan sama orangtua, Terimakasih atas doa, dukungan, dan perhatiannya.

6. Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini, Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan para informan.


(5)

7. Keluarga yang ada di Simpang Limun (terimakasih banyak atas perhatian, nasihat, bimbingan dan dukungan serta do’a yang kalian semua berikan, semoga Allah SWT dapat membalas segala kebaikan kalian semua),

8. Sahabat-sahabat baik penulis yang bisa mengerti dan menerima penulis baik dalam keadaan suka maupun duka: Madan, Sidik, Risky (Cecep), Bastian, Alex, Tobing, Hardi, Noel, Hasrad, Mansur, Nahwa, Sarah, Aconk, Grace, dan Tmen-teman satu angkatan di Sosiologi 03 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala support, semangat, bantuan baik moril maupun materil, penulis bangga mempunyai sahabat seperti kalian. 9. Keluarga besar IMASI (Ikatan Mahasiswa Sosiologi) FISIP USU,

Abang/Kakak Senior khususnya angkatan 2001 Mas Ded, Bro Jordan dan Adik-adik Junior.

10.Kawan-kawan di “Senina Twenty One”, Boim, Ipul “Dorman”, dan Haris “Pak Utama”), ucapan terimakasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada kawan-kawan dari “Illusion Community” canda tawa dan kegembiraan bersama kalian membuat aku lebih bersemangat dalam menyelesaikan tugas akhir kuliah ini.

11.Teman-teman seperjuangan di SPKs (Sumatera Peduli Kesehatan) Pak Rahmat, kak Tari, Icay, Hendra, kak Dewi, ade, Pita, Ridwan, Vany, Diky yang telah meminjamkan Laptopnya dalam penyelesaian Skripsi ini. Semoga kita berhasil menghilangkan Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHA.

12.Buat Dia “Nana”, seseorang yang dengan kesabarannya sampai detik ini masih terus bersamaku, memberikan motivasi, dukungan yang tiada henti-


(6)

hentinya, memberikan kasih sayangnya, memberikan kekuatan disaat penulis lemah, memberikan tawanya disaat penulis sedih hingga akhirnya penulis menyelesaikan skripsi ini. “I Believe you are my destiny”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Desember 2009 (Penulis)

NIM : 030901058 FERRY ARDHI


(7)

DAFTAR ISI

halaman

Abstrak ………... i

Kata Pengantar ………... ii

Daftar Isi ………... vi

Daftar Tabel ………... viii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 5

1.3. Tujuan Penelitian ……… 6

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 6

1.4.1. Manfaat Teoritis ………... 6

1.4.2. Manfaat Praktis ………. 6

1.5. Defenisi Konsep ……….. 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………... 9

2.1. Permasalahan Agraria ………. 9

2.2. Perspektif Konflik ……….………. 11

BAB III METODE PENELITIAN ……… 15

3.1. Jenis Penelitian ……… 15

3.2. Lokasi Penelitian ………. 15

3.3. Unit Analisa Data ……… 16

3.3.1. Unit Analisa ……….. 16

3.3.2. Informan ……… 16

1. Informan Kunci ………. 16

2. Informan Biasa ……….. 17

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….. 17

3.4.1. Data Primer ………... 17

3.4.2. Data Sekunder ………... 18

3.5. Interpretasi Data ……….. 18

3.6. Keterbatasan Penelitian ………... 18

3.7. Jadwal Kegiatan ……….. 19

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN ... 21

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……… 21

4.1.1. Sejarah Desa Marindal I……… 22

4.1.2. Sejarah Perkebunan PTPN II……… 23

4.1.3. Monografi Desa Marindal I ………... 25

4.1.4. Komposisi Penduduk………. 28

1. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelmin,... 29

2. Komposisi penduduk berdasarkan Kelompok Usia……… 30


(8)

3. Komposisi penduduk berdasarkan Agama…………. 30

4. Komposisi penduduk berdasarkan Suku …...……… 31

5. Persentase Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan ... 32

6.Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 33

7. Sarana dan Prasarana Desa ……… 34

4.2. Profil Informan ... 37

4.2.1. Informan Kunci (Key Informan) ... 38

4.2.2. Informan Biasa ………. 44

4.3. Interpretasi Data ………. 46

4.3.1. Sejarah Konflik Lahan PTPN II ... 46

4.3.2. Munculnya Paham Kebangsaan ... 48

4.3.3. Masuknya Penggarap Pada Masa Pendudukan Jepang . 49 4.3.4. Memasuki Masa Kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru ... 50

4.3.5. Analisa Konflik ... 54

4.3.6.Potensi Konflik ………. 57

4.3.7.Pola Resistensi ……….. 62

1. Bentuk Perlawanan Rakyat ... 62

4.3.8.Resolusi Konflik ... 63

4.3.9.Penyelesaian Akhir ... 69

BAB V PENUTUP ………. 72

5.1. Kesimpulan ………. 72

5.2. Saran ………... 74

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1. Jadwal Kegiatan ………... 20

Tabel 2. Status Pertanahan .………. 26

Tabel 3. Tata Penggunaan Lahan ... 27

Tabel 4. Nama Dusun, Etnis Mayoritas Dusun, dan Jarak Desa-Kota ... 28

Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29

Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia ...….. 30

Tabel 7. Komposisi penduduk berdasarkan Agama ……… 31

Tabel 8. Komposisi penduduk berdasarkan ………. 31

Tabel 9. Persentase Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Pekerjaan ……... 32


(10)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Sejarah Konflik Peralihan Fungsi Lahan PTPN II Menjadi Lahan Pertanian Rakyat” (Studi kasus di desa Marindal I Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang), berawal dari ketertarikan penulis terhadap masalah konflik yang terjadi di desa Marindal I tersebut yang sampai saat ini tidak jelas kemana arahnya meskipun lahan eks perkebunan sebagian besar menjadi lahan pertanai masyarakat atau ditanami dengan jenis tanaman palawija.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah warga desa Marindal yang terlibat dalam konflik (penggarap), pihak pengembang (penggarap kaya), Direksi dan karyawan PTPN II sebagai informan kunci dan warga desa lainnya yang dianggap mengtahui dalam permasalahan ini. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catan-catatan dari setiap kali turun lapangan.

Hasil penelitian dilapangan menunjukan bahwa adanya tumpang tindih tentang kepemilikan tanah. Rakyat yang menganggap sebagian lahan perkebunan adalah milik mereka yang merupakan tanah jaluran yang diberikan pemerintah Belanda kepada rakyat yang bertempat tinggal diatas tanah perkebunan secara turun temurun dan kemudian diambil pemerintah dengan cara intimidasi dan lain sebagainya.. Sementara PTPN II (setelah Nasionalisasi) mengklaim bahwa lahan perkebunan adalah milik perkebunan dengan menunjukkan HGU PTPN. Dengan adanya intimidasi dan bukti yang kuat dari PTPN II tentunya rakyat harus menyingkir dari lahan tersebut, karena mereka tidak berani secara terang-terangan untuk menuntut haknya atas tanah.

Setelah habis masa HGU PTPN II yang bertepatan masuknya masa Reformasi yaitu masa yang memiliki nuansa berbeda dirasakan oleh masyarakat, akhirnya masyarakat yang selama ini memendam rasa takut dan kecewa terhadap pemerintah kini telah berani untuk menuntut kembali lahan yang selama ini dikuasai oleh PTPN II. Tuntutan yang dilakukan masyarakat berawal dengan melakukan Negosiasi ataupun Kompromi, dan kemudian rakyat melakukan pendudukan lahan dengan cara menebangi pohon coklat yang merupakan tanaman perkebunan. Setelah lahan kosong, rakyat menanami lahan tersebut dengan tanaman palawija yang sampai sekarang kegiatan penanaman masih dilakukan rakyat dan membangun pondok/rumah didaerah lahan kosong perkebunan. Kegiatan rakyat sempat mendapatkan penghadangan/perlawanan dari pihak PTPN II yang dibantu oleh hansip, pamswakarsa dan Brimob. Penghadangan yang dilakukan PTPN II sempat menimbulkan bentrok meskipun tidak sampai kearah bentrok yang besar.

Akhirnya penyelesaian konflik tanah antar pihak PTPN II dengan rakyat penggarap ditengahi oleh pemerintah dengan membentuk Tim B Plus. Tim B Plus akan memutuskan penyelesaian akhirnya pada bulan Oktober 2001. Namun hingga sekarang penyelasain akhir dari konflik ini belum juga ada keputusan akhir yang dilakukan Tim B Plus. Pihak yang berkonflik melakukan peredaman dan rakyat penggarap terus menanami lahan eks perkebunan dengan tanaman palawija.


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang masalah

Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar dan kecil, serta masyarakatnya mempunyai beraneka ragam agama, suku bangsa, dan kebudayaan. Selain itu Indonesia juga terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya yang terdiri dari sumber daya alam migas (minyak dan gas), serta non migas (karet,tembakau, rempah-rempah) dan banyak lagi sumber kekayaan alam Indonesia. Seluruh kekayaan sumber daya alam tersebut menjadi andalan Indonesia untuk memperoleh devisa bagi Negara, baik itu dibidang import maupun eksport. Namun karena sumber daya alam migas adalah sumber daya alam yang terbatas dan tidak bisa diperbaharui, maka adalah suatu hal yang logis jika pemerintah lebih mengutamakan sektor non migas seperti perkebunan-perkebunan.

Perkebunan pertama kali muncul akibat dari perubahan politik kolonial pada pertengahan abad ke-19, dengan munculnya Undang-Undang Pokok Agrarian (UUPA) pada tahun 1870 yang secara resmi berakhirnya tanam paksa di pulau jawa yang mengakibatkan transisi liberalisme yang tak terkendali , orientasi yang menunjukkan kebijaksanaan baru menjadi sumber-sumber alam di nusantara, dan kemudian menarik minat kaum kapitalis Eropa. Selanjutnya perkebunan di pulau jawa berangsur-angsur meluas, akan tetapi karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, sumber-sumber tanah semakin sulit diperoleh, mengakibatkan pembukaan lahan baru perkebunan dialihkan keluar pulau jawa yaitu pulau sumatera; yang masih banyak memiliki lahan kosong dan tersedianya petani sebagai pekerja.


(12)

Lahan perkebunan dipulau sumatera pertama kali dibuka adalah sumatera timur yaitu perkebunan tembakau oleh seorang pengusaha Belanda Jacobus Nienhuys, yang menuai kesuksesan di perkebunan pulau sumatera tersebut. Keberhasilan Jacobus mengundang kehadiran pengusaha swasta asing disertai dengan mengaliarnya modal besar ke Sumatera Timur pekerjaannya berkaitan dengan perkebunan dan jumlah mereka terus membengkak sejalan dengan pertumbuhan perkebunan. Tak ada daerah lain di Indonesia , Jawa Tengah pun tidak, yang pertanian perkebunannya berkembang begitu luas, begitu subur, begitu menguntungkan (Prof.Clifford Greetz). Pertumbuhan perkebunan yang sangat pesat ini terus merambat ke daerah-daerah lain yang berada dipalau sumatera salah satunya sumatera utara yang merupakan areal perkebunan yang dapat memberi investasi bagi orang Belanda atau para kapitalis Eropa.

Perkebunan yang berada di Sumatera terus bertambah dan beraneka ragam salah satunya adalah PTPN II yang memiliki kantor di jalan Tembakau Deli. Perkebunan ini pada awalnya dikelola dan didirikan oleh orang Belanda dengan jenis tanaman tembakau. Setelah diambil alih oleh pemerintah nama perkebunan ini adalah

PPN (1960). Seiring dengan waktu yang terus berputar serta semakin berkurangnya penghasilan tanaman tembakau, pihak-pihak perkebunan mengganti jenis tanaman menjadi coklat pada tahun 1977, dan pada tahun 1985-1989 nama perkebunan berubah menjadi PPN BARU. Tahun 1990 nama perkebunan ini menjadi PTP IX, dan akhirnya pada tahun 2000 areal perkebunan Mariendal I berubah menjadi PTP N II sampai sekarang nama tersebut masih di pakai oleh pihak perkebunan.


(13)

Areal lahan PTPN II sangat luas dan terbagi menjadi beberapa dareah seperti: Marindal, Selambo, Cemara Asri, di Langkat, Batang Kuis, Seintis dan bahkan masih banyak lagi areal HGU PTPN II di Sumatera Utara. Areal lahan perkebunan PTPN II khususnya Marendal I memiliki luas 1710 hektar, sehingga memerlukan banyak tenaga kerja, dimana para pekerja banyak didatangkan dari pulau Jawa dan lain sebagainnya. Para pekerja difasilitasi rumah pondok dan gaji yang bisa dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Namun dengan jaman semakin canggih dan kebutuhan hidup terus bertambah, semakin lemahnya nilai rupiah ( krisis moneter) mengakibatkan kemerosotan hasil perkebunan (1997),serta banyaknya pekerja atau buruh yang di PHK. Sehingga pada tahun 2000 mulai terjadi penggarapan lahan perkebunan yang dilakukan oleh oknum- oknum tertentu yang sebagian besar masyarkat (buruh, pihak pengembang), hingga sekarang masih terjadi sengketa tanah. penyerobotan areal HGU PTPN II semakin marak hingga mengakibatkan produksi PTPN II mengalami kerugian yang cukup besar. Dengan digarapnya lahan seluas 14000 hektar oleh pihak pengembang seperti di kawasan lahan PTPN II. Lahan PTPN II yang ada di Marindal kini sudah dikuasai para penggarap dengan menjadikan lahan PTPN II menjadi lahan pertanian masyarakat, membangun rumah-rumah mewah dimana di areal lahan tersebut juga pemiliknya ada kalangan pejabat Pemprovsu dan Pemko Medan.

Sejarah tanah di Indonesia adalah sejarah konflik yang melibatkan individu, masyarakat, korporasi, dan negara/pemerintah. Sejak masa kolonial Belanda konflik atas tanah sudah mulai terjadi. Di masa kemerdekaan konflik pertanahan di kawasan perkebunan, pertanian, kawasan pertambangan, dan di kota-kota besar mulai


(14)

menunjukkan wajahnya. Bahkan Era Orde Baru boleh dikatakan menjadi lahan subur bagi persemaian konflik atas tanah dan sumber daya alam.

Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat

dualisme, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah di satu pihak dikuasai oleh hukum Eropa, dan dilain pihak dikuasai oleh hukum adat. Untuk menghilangkan dualisme tersebut maka dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan/Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 (Azam, 2003.

Salah satu penyebab maraknya konflik pertanahan akhir-akhir ini adalah tidak jelasnya legalitas dan legitimasi sistem penguasaan tanah (land tenure). Persoalan sistem penguasaan tanah di Indonesia saat ini sarat dengan ambiguitas yang cukup banyak menimbulkan konflik. Ada dua Undang-Undang Pokok di Indonesia yang memiliki wewenang untuk mengatur sistem penguasaan tanah yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang wewenang pelaksanaannya dipegang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK), yang wewenang pelaksanaannya ada ditangan Departemen Kehutanan. Secara sepintas kedua Undang-Undang yang mengatur masalah pertanahan ini berjalan seiring. UUPA mengatur masalah pertanahan di non-kawasan hutan, sedangkan UUPK mengatur masalah pertanahan di kawasan hutan.

Kalau penyerobotan lahan HGU PTPN II tak bisa diselesaikan pemerintah/Gubsu, maka jangan salahkan puluhan ribu buruh yang ada di PTPN II akan mengambil alih lahan tersebut. Sebab, sebagai buruh mereka juga berhak untuk


(15)

menghidupi anak dan isterinya. Pemerintah dinilai plin-plan terhadap HGU PTPN II yang kini digarap “mafia tanah”. Sekar dan FSBSI mendesak agar Gubsu, Badan Pertanahan Nasional, Kapolda dan Direksi PTPN II dapat duduk bersama menyelesaikan HGU PTPN II yang kini diserobot penggarap secara hukum. Pertemuan duduk satu meja ini gunanya untuk menghindari konflik pertumpahan darah antara buruh dan masyarakat.

Dalam setiap sengketa pertanahan selalu ada tiga pihak yang terlibat yaitu kegiatan komersil, kekuatan kelembangaan/ pemerintah, dan kekuatan massa khususnya warga yang secara sosial ekonomi rentan. Masalah tanah merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia. Sengketa atas tanah merupakan salah satu konflik yang sering terjadi, karena keberadaan tanah merupakan sebagai alat produksi. Jadi siapa yang menguasai tanah terutama yang terletak di daerah strategis memiliki kemungkinan untuk memperoleh laba yang melimpah. Oleh karena itu tanah menjadi rebutan berbagai orang dan kelompok ( Budiman, 1996: 11).

1. 2. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis mencoba merumuskan permasalahan untuk mempermudah penulis dalam melakukan penelitian nantinya, yaitu:

1. Bagaimana sejarah konflik peralihan fungsi lahan PTPN II menjadi lahan pertanian masyarakat ?

2. Bagaimana penyelesaian konflik tanah antara PTPN II dengan penggarap di desa Marindal I ?


(16)

1. 3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

- Untuk mengetahui latar belakang terjadinya proses peralihan lahan PTPN II menjadi lahan pertanian masyarakat.

- Untuk mengetahi faktor- faktor apa yang menyebabkan terjadinya proses peralihan.

1. 4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah: 1. 4. 1. Manfaat Teoritis

- Hasil yang diperoleh diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah yang akurat. - Memberi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademis.

1. 4. 2. Manfaat Praktis

- Menigkatkan kemampuan penulis melalaui penelitian ini

- Memberikan wawasan kepada penulis tentang proses peralihan fungsi lahan - Diharapkan menjadi sumbangan kepustakaan.

1. 5. Defenisi Konsep

Defenisi konsep dimaksudkan untuk mempermudah pengertian terhadap fenomena yang ada sehingga dapat dijadikan panduan. Berikut ini adalah beberapa konsep penting dalam penelitian ini:


(17)

- Sejarah, dalam penelitian ini pengertian sejarah yang dipakai adalah runtutan perubahan atau peristiwa dalam perkembangan sesuatu atau rangkaian tindakan yang terjadi di masa lampau.

- Konflik tanah, adalah perbedaan kepentingan antara berbagai pihak, baik individu maupun kelompok yang memiliki tujuan atau maksud yang tidak sejalan terhadap satuan bidang tanah/wilayah daratan tertentu sehingga menimbulkan perselisihan dan benturan-benturan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan konflik tanah adalah perbedaan kepentingan atau perselisihan antara warga desa marindal I dengan pihak pengembang, antar warga marindal I.

- PTPN II merupakan perusahaan perkebunan swasta asing sebagai peninggalan pada masa kolonial yang berangsur-angsur mengalami pengalihan hingga sampai di ambil alih oleh negara sebagai proses nasionalisasi yang di lakukan oleh negara.

- Resolusi konflik, adalah upaya-upaya untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan-hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher, 2001:7-8). Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagai resolusi konflik adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh warga dan pihak pengelola maupun oleh LSM untuk menyelesaikan


(18)

konflik dan mencapai kesepakatan yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

- Sistem penguasaan tanah (land tenure) adalah seperangkat unsur yang terdiri atas berbagai subjek (pelaku) dan objek (benda) yang satu sama lain saling berhubungan dan mempengaruhi berbagai hak-hak kepemilikan, penguasaan, dan akses terhadap tanah/wilayah daratan tertentu (Galudra, 2006.


(19)

BAB II

Kajian Pustaka

2. I. Permasalahan Agraria

Wiradi mengemukakan bahwa permasalahan yang paling vital dewasa ini adalah permasalahan agraria, terutama susunan penguasaan tanah dan kekayaan tanah yang menyertainya. Kunci utama untuk memahami soal agraria ini adalah kesadaran kita sendiri sejauh mana kita menyadari bahwa penguasaan tanah melandasi hampir semua aspek kehidupan ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah akan sangat menentukan corak masyarakatdan mencerminkan dinamika tertentu hubungan antar lapisan masyarakat. Hak seseorang atau kelompok atas suatu luasan tanah akan terjamin kepastiannya jika memperoleh pengakuan secara utuh dari masyarakat atau penguasa diatasnya. Pengakuan, perlindungan, dan pemulihan dari pemegang kekuasaan terutama pemerintah sangat diperlukan agar hak itu dapat ditegakkan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa masalah agraria pada hakikatnya adalah masalah kekuasaan, masalah politik, yang berkaitan dengan kuasa ekonomi dan sosial (Fauzi, 2003: 12). Proses pengelihan akses dan kontrol tanah dari satu pihak ke pihak lain, dipenuhi oleh berbagai metode yang digunakan oleh institusi politik, seperti penggunaan instrument birokrasi dan peraturan pemerintah (government regulation), maupun manipulasi dan kekerasan secara langsung. Semasa rezim Orde Baru, kita menyaksikan banyak sekali kasus konflik agraria. Konflik itu telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah dan pengelolaan kekayaan skala besar untuk proyek


(20)

pembangunan pemerintah maupun proyek- proyek dari perusahann bermodal raksasa ( Fauzi, 2003: 13).

Untuk menjalankan suatu proyek yang berhubungan dengan pemanfaatan suatau bidang tanah/ lahan atau suatu kawasan tertentu menjadi sangat penting untuk menentukan siapakah yang menguasai bidang tanah atau kawasan tersebut untuk menghindari terjadinya konflik atau sengketa klaim antara mereka yang hidup di kawasan tersebut. Dalam hal ini masyarakat Marindal I telah menguasai dan mengerjakan lahan PTPN II yang kini telah dipersengketakan, mereka menanami lahan tersebut dengan tanaman muda seperti ubi, jagung, cabe, pisang, bahkan ada yang menanam padi. Sengketa lahan PTPN II bersumber dari habisnya masa HGU serta bertumbukannya klaim hak atas tanah, dan adanya dominasi suatu sistem penguasaan yang datang atau berasal dari hukum negara terhadap hak-hak masyarakat yang telah hidup dan mengembangkan suatu sistem tersendiri untuk mengelola tanah dan kekayaan alamnya.

Pemecahan masalah-masalah tanah bila ditinjau dari sudut pandang sosiologis berarti pemecahan yang dimulai dengan menganalisa hubungan antar golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai atas tanah dan aset atau model lain, dilanjutkan dengan usaha-usaha untuk mengubah hubungan-hubungan tersebut. Artinya harus dipahami adanya lapisan yang penguasaannya kuat, dan ada pula yang lemah tau sama sekali tidak mempunyai kuasa apapun sehingga menjadi sangat tergantung. Dasar kekuasan tersebut biasanya terjadi atas suatu kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial. Ketiga faktor-faktor tersebut sukar dipisahkan secara sempurna. Keterjalinan kepentingan politik, ekonomi, dan sosial merupakan suatu kenyataan


(21)

yang harus di ungkapkan secara berani dan objektif, tanpa menimbulkan praduga bahwa ungkapan seperti itu akan mengadu domba atau memecah lapisan-lapisan masyarakat. Mirip dengan tinjauan politik, tinjauan sosiologis akan menyoroti situasi-situasi konflik dalam masalah pertanahan, bukan saja yang berdasarkan kepentingan ekonomi (Tjondronegoro, 1999: 5)

2. 2. Perspektif konflik

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Konflik tetap berguna karena itu merupakan bagian dari keberadaan manusia. Kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasan yang tidak seimbang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, penganggura, kemiskinan, penindasan, dan kejahatan (fisher, 2001: 4).

Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau adanya pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sangsi. Dahrendorf menyebutkan masyarakat sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imperatively coordinated


(22)

association). Kekuasaan selalu memisahkan antara penguasa dengan yang dikuasai sehingga dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan (Ritzer, 2002: 26-27).

Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat dalam konflik kedalam dua tipe yaitu: kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group).

Kelompok semu merupakan kumpulan dari pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan, sedangkan kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik di masyarakat (Ritzer, 2002: 27).

Dalam penelitian ini pihak pengembang berperan sebagai penguasa, sedangkan masyarakat dan buruh PTPN II sebagai pihak yang dikuasai, keduanya memiliki perbedaan kepentingan sehingga menimbulkan konflik. Pihak pengembang berkepentingan ingin menjadikan lahan PTPN II daerah kompleks perumahan, masyarakat juga mempunyai kepentingan dalam lahan PTPN II sebagai salah satu sumber penghasilan mereka.

Lewis Coser membagi konflik atas konflik realistis dan non- realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntunan- tuntunan khusus yang terjadi dalam hubungan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan.konflik realistis merupakan konflik yang berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonistis, tetapi dari


(23)

kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak ( Poloma, 2003: 110).

Konflik yang terjadi antara PTPN II dengan penggarap dan sesama penggarap termasuk kedalam konflik yang realistis karena konflik tersebut terjadi akibat adanya kekecewaan warga desa terhadap pihak PTPN II ataupun pihak pengembang.

Aspek terakhir teori konflik Dahfendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat melakukan tindakan- tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif.

Piere Van Den Berghe mengemukakan empat fungsi konflik: - Sebagai alat untuk memlihara solidaritas

- Membantu mencipatakan ikatan aliansi dengan kelompok lain. - Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.

- Fungsi komunikasi.

Sebelum konflik kelompok tertenti tidak mengetahui posisi lawan, tetapi dengan adanya konflik posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas. Indivudu dan kelompok tahu secara pasti dimana mereka berdiri dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih cepat ( Ritzer, 1992: 34)


(24)

Pada hakikatnya masyarakat terbagi kedalam kubu- kubu yang saling berlawan. Sebenarnya konflik sekalipun tersembunyi, tidak terbuka menciri khas kan masyarakat. Apa yang disebut “ kestabilan” merupakan keadaan yang hanya nampak pada permukaan, dan dihasikan oleh pihak berkuasa yang memaksakan kepada rakyat untuk bertindak cepat bila muncul tanda- tanda pergolakan. Teori konflik tidak bertolak dari masalah, “apakah yang mempersatukan masyarakat?” . tetapi dari “apakah yang mendorong dan menggerakkan masyarakat?”. Bukan nilai- nilai bersama yang diutamakan tapi kepentingan- kepentingan, persaingan, pemojokan orang lain, siasat mengadu domba dan sebagainnya.

Teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga seperti kekuasaan dan wewenang, benda material dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak langka, sehingga tidak dapat dibagi sama rata diantara rakyat.maka akan mucul golongan- golongan dan kelompok oposisi, yang merasa dirinya dirugikan dan menginginkan porsi lebih besar bagi dirinya sendiri atau menghalang- halangi pihak lain untuk memperoleh atau menguasai barang itu. Tiap kehidupan bersama memperliahatkan garis pemisah antara pihak yang berkelimpahan dengan pihak yang berkekurangan.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif demgan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik (utuh). Misalnya tentang prilaku, motivasi, tindakan dan sebagainya (Moleong, 2005: 4-6) metod kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena:

- Penelitian ini melihat individu secara holistik (utuh).

- Pendekatan mengutamakan latar alamiah, dengan maksud menggambarkan fenomena yang terjadi dengan melibatkan berbagai metode seperti wawancara, observasi, dan lain-lain.

- Pandekatan ini bersifat emik, peneliti dapat membangun pandangannya sendiri tentang apa yang diteliti secara rinci.

3. 2. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi pada penelitian ini adalah desa Marindal I Kecamatan Patumbak, Deli Serdang. Alasan pemilihan lokasi ini adalah :

- Karena adanya konflik tanah yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pengembang, masyarakat dengan masyaraklat

- Hampir semua lahan atau areal perkebunan menjadi lahan pertanian masyarakat yang menjadi sumber ataupun tambahan penghasilan masyarakat.


(26)

- Adanya akses peneliti untuk mencapai lokasi tersebut.

- Di desa ini terdapat tokoh adat yang banyak mengetahui tentang sejarah kepemilikan dan bagaimana hubungan warga dengan tanah.

3. 3. Unit analisa dan informan a. Unit Analisa

Adapun yang menjadi unit analisa data dalam penelitian ini adalah warga desa Marindal I, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan penyelesaian konflik, serta pihak pengembang PTPN II.

b. Informan 1. Informan Kunci

Informan merupakan informan yang banyak mengetahui informasi yang dibutuhkan tentang penelitian ini. Yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah:

- Tokoh Masyarakat/Tokoh Adat Informasi yang ingin diperoleh dari informan ini adalah berupa informasi tentang sejarah/terbentuknya desa, pola kepemilikan dan penguasaan tanah berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa tersebut.

- Direksi dan pegawai bagian kantor. Adapun informasi yang ingin diperoleh dari informan ini adalah bagaimana tanggapan pihak PTPN II tentang terjadi proses peralihan lahan.

- Warga dan pihak pengembang yang mengambil lahan PTPN II. Informasi yang ingin diproleh dari informan ini adalah bagiamana kekuatan kelompok


(27)

yang dibentuk masyarakat dalam memperoleh lahan,serta ingin mengetahui konflik yang terjadi.

- Korban Kekerasan dan Penangkapan Informasi yang ingin diperoleh dari informan ini adalah berupa informasi tentang latar belakang penangkapan warga serta resolusi konflik yang diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

2.Informan Biasa

1. Warga biasa

Informasi yang ingin diperoleh dari informan ini adalah berupa tanggapan/respon serta informasi tentang konflik yang pernah terjadi di desa Marindal I. Adapun kriteria informan ini adalah: informan merupakan penduduk asli desa Marindal I dan telah dewasa.

3. 4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan, dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode tertentu untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yakni data primer dan data sekunder.

1. Data primer, diperoleh melalui:

Observasi merupakan pengamatan yang menyeluruh terhadap gejala-gejala sosial yang terlihat di lapangan. dimana Peneliti melakukan observasi langsung ke tempat para pedagang informal berjualan. Untuk memperoleh gambaran faktual,


(28)

cermat, dan terperinci mengenai lingkungan berjualan para pedagang informal. Adapun hal-hal yang akan diamati adalah seperti apa tempat berjualan pedagang informal, barang-barang apa saja yang dijual, kategori usia dan jenis kelamin pedagang informal, bagaimana bentuk perlawanan dari pedagang informal, dan sebagainya.

Wawancara Mendalam, yakni melakukan suatu percakapan atau tanya jawab secara mendalam dengan informan. Disini peneliti akan berusaha menggali informasi yang sebanyak-banyaknya dari informan dengan dipandu oleh pedoman wawancara

(Depth Interview).

2. Data Sekunder, diperoleh melalui:

Studi Kepustakaan, Yakni dengan menggunakan buku-buku atau referensi lainnya yang dapat mendukung penelitian ini.

3. 5. Interpretasi Data

Data-data yang diperoleh dari lapangan akan diatur, diurutkan, dikelompokkan kedalam kategori, pola atau uraian tertentu. Disini peneliti akan mengelompokkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan sebagainya, selanjutnya akan dipelajari dan ditelaah secara seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang baik.

3. 6. Keterbatasan Penelitian

Sebagai peneliti yang belum berpengalaman penulis merasakan banyak kendala yang dihadapi, salah satu diantaranya adalah penulis masih belum menguasai


(29)

secara penuh teknik dan metode penelitian, sehingga dapat menjadi keterbatasan dalam mengumpulkan dan menyajikan data. Kendala tersebut dapat diatasi melalui proses bimbingan dengan dosen pembimbing skripsi, selain bimbingan dengan dosen pembimbing, penulis juga berusaha untuk mencari informasi dari berbagai sumber yang dapat mendukung proses penelitian ini. Terbatasnya waktu yang dimiliki informan juga mempengaruhi pengerjaan tulisan ini, Para informan yang bekerja sebagai petani hanya dapat dijumpai pada malam hari karena hampir seharian penuh mereka berada di sawah dan ladang mereka masing-masing. Disamping itu waktu mereka juga terbatas karena mereka harus istirahat, sehingga penulis harus rela melakukan wawancara secara bertahap.

3. 7. Jadwal Kegiatan

Pengajuan judul ini merupakan tahap awal dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilaksanakan. Setelah seminar proposal dilakukan, lalu revisi proposal, pengurusan izin penelitian, dan tahapan selanjutnya adalah persiapan penelitian langsung ke lapangan. Untuk lebih rinci jadwal penelitian dapat dilihat pada Tabel 1:


(30)

Tabel 1. 1 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan

Bulan ke

1 2 3 4 5 6 1 Pengurusan izin penelitian √

2 Persiapan Instrumen penelitian √

3 Pengumpulan data √ √ √ 4 Pengorganisasian data √ 5 Interpretasi data √

6 Pengetikan √


(31)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4. 1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Desa Marindal I adalah desa yang berada di salah satu Kabupaten Deli Serdang, kecamatan Patumbak. Kalau kita ingin pergi ke desa Marindal I, jika berangkat dari Medan atau tepatnya terminal sambu, angkutan yang di tumpangi adalah angkutan umum koperasi trayek Sambu-Marindal dengan nomor lin 05 yang kata penduduk setampat angkutan danga-danga, suka mogok, bisa titanus bila terkena goresan. Waktu yang di tempuh dalam perjalanan ini membutuhkan 30 menit jika jalanan tidak terlalu macet. Kemudian jika ingin mencapai desa Marindal I atau daerah perkebunan, kita harus menumpangi angkutan trayek Marindal-Delitua. Jika kita berangkat dari Amplas, maka trayek yang harus di naiki yaitu trayek yang menuju Medan, kemudian turun di simpang Mariendal, setelah itu naik angkutan lin 05 kemudian nyambung angkutan nitra.

Dalam perjalanan menuju desa Mariendal I, banyak hal yang bisa kita lihat seperti di simpang Marindal terdapat asrama tentara yang bernama asrama Widuri. Di depan asrama ada lapangan sepak bola, mesjid, gereja. Bila terus masuk kedalam kita akan menjumpai perumahan Vila Gading Mas yang berjarak 100 meter dari terminal angkutan 05 dan nitra. Sekarang desa Mariendal terus berkembang, seperti sekarang kita telah di bangun dua duah Indomaret.

Desa Mariendal biasanya di sibukkan dengan berbagai kegiatan yang di antaranya bekerja sebagai karyawan pabrik, petani, tentara,polisi, guru, PNS, supir angkutan, tukang beca, dan banyak lagi aktivitas lainnya. Mayoritas penduduk desa


(32)

Mariendal I adalah suku Jawa yang menyebabkan lebih sering kedengaran komunikasi dengan bahasa daerah Jawa, meskipun terdapat juga suku-suku lain seperti batak, nias, karo, mandailing dan lain sebagainya.

4.1.1. Sejarah Desa Mariendal I

Sejarah mengenai berdirinya desa Marindal I sampai saat ini belum ada secara tertulis, penulis membuat tulisan ini berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyara kat setempat, diperoleh informasi bahwa terbentuknya Desa Marindal I di mulai dari berdirinya Perkebunan Deli Maskapai kira-kira pada tahun 1862. Kata atau asal nama “Mariendal” menurut ceritanya terbagi dalam dua persi :

1. Pendapat pertama mengatakan bahwa nama Mariendal berasal dari nama salah seorang putri petinggi perkebunan Belanda yang bernama “Marry”yang menurut sejarah sangat cantik yang dalam bahasa Belanda adalah “Daahl”. Maka muncullah kata untuk nama kawasan perkebunan yang ada di Patumbak dengan nama Mariendal yang berarti sicantik Marry.

2. Pendapat kedua, pada waktu tanah-tanah yang berada di Patumbak di tanami kopi oleh Belanda yang kemudian di olah menjadi bubuk/butiran kopi yang bermutu dan kualitas yang bagus serta rasa yang begitu enak dan nikmat.sangkin enak dan nikmatnya bubuk/butiran kopi tadi banyak dipasarkan di daerah Delitua tepatnya pajak Delitua dan pasar-pasar lainnya. Karena pasar Delitua dan kehidupannya di dominasi oleh rakyat suku Karo maka untuk membedakan kopi dari daerah lain muncullah kata


(33)

“Merandal”yang dalam bahasa Karo berarti bagus/baik untuk sebutan kopi dari salah satu kawasan Patumbak (Mariendal). Kalau penjual ataupun pembeli menyebut kopi Merandal yang maksud adalah kopi yang di hasilkan oleh perkebunan Belanda yang ada di daerah patumbak (sekarang desa Mariendal). Dengan mutu kopi inilah yang berasal dari satu daerah menjadi trend yang akhirnya di pakai menjadi nama sebuah daerah atau kawasan yaitu Merandal yang lantas lafalnya berubah menjadinMariendal atau Marindal (sumber : Arsip PKTPM).

4.1.2. Sejarah Perkebunan PTP N II

Pemerintah Belanda yang ada di Indonesia menuai kesuksesan dalam dalam sektor perkebunan, sehingga mereka mendirikan/membentuk secara besar-besaran perusahaan perkebunan di daerah Sumatera Timur termasuk juga Marindal. Perkebunan-perkebunan yang di Belanda adalah berupa perkebunan kopi, tembakau, dan rempah-rempah yang lebih di kenal dengan nama Deli May. Nama Deli May dipakai karena pemerintah Belanda memakai lahan Sultan Deli. Tenaga kerja yang di pekerjakan kebanyakan di rekrut dari pulau Jawa yang lebih dikenal dengan Kuli

Kontrak. Inilah yang menjadi awal berkembangnya komunitas jawa di Sumatera,

khususnya Deli Serdang yang di awali dari sentral-sentral perkebunan.

Setelah berakhirnya penjajahan Belanda, awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa kebun Marindal sampai tahun 1958 masih di kendalikan oleh perusahaan Belanda dengan jenis tanaman tembakau. Di awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara kesatuan, daerah Sumatera ingin membentuk Negara Serikat meskipun tidak diakui oleh negara. Pemerintah tetap menjalankan


(34)

kekuasaannya dan menguasai wilayah serta daerah perkebunan, seperti salah satunya yaitu perkebunan Marindal I.

Pada tahun 1949pemerintah negara Sumatera Timur memberikan tanah-tanah bekas perkebunan Belanda kepada masyarakat untuk perluasan kampung dan ladang yang biasa disebut Tanah Suguhan. Tanah yang di suguhkan tersebut yaitu mulai dri pasar 3 sampai pasar 8 sebelah barat. Meskipuan banyak masyarakat yang telah dapat tanah suguhan tersebut, namun banyak juga masyarakat yang menggarap lahan bekas perkebunan lainnya yaitu daerah pasar 1, 2, dan 5 dengan alasan mereka belum mendapatkan tanah suguhan.

Pada tahun 1954 pemerintah Indonesia, telah menerbitkan Undang-Undang No. 8 tahun 1954, tentang pendaftaran pendudukan tanah dan selanjutnya pemerintah membuat Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang lazim di sebut dengan KR.P.T. kartu tersebut di bagikan kepada masyarakat yang menduduki dan menggarap tanah suguhan maupun tidak suguhan. Pada tahun 1961 Pemerintah Republik Indonesia membuat Undang-Undang Pokok Agraria dengan di keluarkannya PP NO 10 tahun 1961 tentang hak-hak dan tata guna tanah. Pada tahun 1965 pemerintah memberikan Hak Guna Usaha kepada PPN. TD. III dengan SK. 24 HGU. 1965, tanggal 10 juni 1965. Inilah awal mulanya nama Perkebunan Marindal dengan nama PPN.

Pada tahun 1977-1982 bapak Bupati Deli Serdang mengeluarka SKT di atas tanah suguhan maupun tanah garapan di perkebunan Marindal tepatnya desa Marindal I Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Penertiban tanah garapan dengan HGU ini kemudian di tindak lanjuti oleh sebuah


(35)

tim yang dibentuk dengan nama Tim Pembebasan Tanah Garapan (TPTGA). Sekitar tahun 1981 dimulai pengukuran inventarisasi dari agraria TK I SUMUT dan kemudian di terbitkan SK Gubsu dan ada penyelesaian sampai sertifikatnya.

Dan selanjutnya pada tahun 1985-1989 nama perkebunan berubah nmenjadi PPN Baru dengan jenis tanaman coklat. Dan pada tahun 1990-1995 nama perkebunan berubah kembali menjadi PTP IX, dan selanjutnya pada tahun 1996 berubah menjadi PTP N II, dan sampai akhirnya terjadi reformasi pemerintahan pada tahun 1997, dimana menjelang berakhirnya HGU perkebunan Marindal, masyarakat berjuang untuk mengambil hak garapannya sendiri maupun bekas ahli warisnya. Sehingga di ketahui bahwa lahan perkebunan yang dulunya di tanami kopi, tembakau, dan coklat, kini berubah fungsi menjadi lahan pertanian masyarakat atau tepatnya tanaman

Palawija.

4.1.3. Monografi Desa Marindal I

-Luas wilayah :

Desa Marindal I kecamatan Patumbak Deli Serdang memiliki luas wilayah 810 ha atau 0,3% dari luas Sumatera Utara, desa Marindal I mempunyai sebelas dusun yang masing-masing dusun di kepalai oleh satu orang kepala dusun. Adapun batas-batas wilayah desa Marindal adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Kelurahan Harjosari II 2. Sebelah Selatan : Desa L Lama

3. Sebelah Timur : Desa Sigara-gara 4. Sebelah Barat : Kelurahan Deli Tua -Kondisi Geografis Desa :


(36)

1. Ketinggian tanah dari permukaan laut : 35m

2. Curah Hujan : -

3. Suhu udara : 35 derajat celsius -Orbitrasi

1. Jarak ke kecamatan : 3km 2. Jarak ke kabupaten : 20km 3. Jarak ke propinsi : 9km 4. jarak ke ibu kota : - -Pertanahan

Tabel 2. Status Pertanahan

No STATUS TOTAL

1 Hak Milik 715 buah 2 Hak Guna Usaha 1 buah 3 Hak Guna Bangunan 6 buah 4 Hak Pakai/Garap 1631 buah

TOTAL 2353 buah

(sumber : hasil inventaris pemerintah desa tahun 2005)

Dari tabel diatas maka dapat di lihat status tanah yang ada di desa Marindal I, maka persentase status tanah yang lebih banyak adalah sebagai hak pakai atau garapan. Tetapi tidak menutup kemungkinan, berkaitan dengan adanya konflik tanah ini semakin banyak status tanah yang berupa garapan.


(37)

1. Status

1. Hak milik : 715 buah 2. Hak Guna Usaha : 1 buah 3. Hak Guna Bangunan : 6 buah 4. Hak pakai/garap : 1631 buah 5. Hak lain-lain : -

2. Tata Penggunaan Tanah

Tabel 3

Tata Penggunaan Lahan

No PENGGUNAAN LUAS/ha

1 Sawah/ladang 69 ha 2 Perkebunan 387,37 ha 3 perumahan 330,8 ha 4 Perkantoran 0,06 ha

5 Perindustrian 14 ha 6 Perikanan/peternakan 5,5 ha 7 Olah Raga 3,08 ha 8 peribadatan 1,5 ha 9 Sosial 30,14 ha 10 Pendidikan 3,2 ha 11 Jalan 11,02 ha 12 Lain-lain - (Sumber : hasil inventaris pemerintahan desa 2005)


(38)

Dari data diatas bahwa luas dari areal perkebunan sekitar 387,37 ha. Tentunya dengan data ini maka berkaitan dengan konflik tanah bisa menjadi dasar peneliti untuk menelusuri tuntutan dari masing-masing pihak.

4.1.4. Komposisi Penduduk

Jumlah penduduk Marindal I sampai sekarang ini sebanyak 21.808 jiwa atau 5035 kepala keluarga.

Tabel 4

Nama Dusun, Etnis Mayoritas Dusun, dan Jarak Desa-Kota

NO NAMA DUSUN ETNIS MAYORITAS JARAK DARI KOTA

1 DUSUN I JAWA 0 - 700 m 2 DUSUN II BATAK 0 - 700 m 3 DUSUN III a JAWA 0 - 1300 m

4 DUSUN III b JAWA 0 - 1300 m 5 DUSUN IV JAWA 0 - 1500 m

6 DUSUN V JAWA 0 - 1700 m

7 DUSUN VI JAWA 0 - 2600 m 8 DUSUN VII JAWA 0 - 1950 m

9 DUSUN VIII JAWA 0 - 2600 m 10 DUSUN IX JAWA 0 - 3400 m 11 DUSUN X JAWA 0 - 4500 m


(39)

Dri sebelas dusun di desa Marindal I kecamatan Patumbak, hanya satu yang etnisnya mayoritas Batak yaitu dusun dua. Selebihnya yaitu sepuluh dusun yang mayoritas penduduknya etnis Jawa.

Untuk memudahkan proses penyusunan datanya, maka komposisi penduduk desa Marindal I akan dibagi kedalam beberapa bagian yaitu :

4.1.4.1. Berdasarkan Jenis Kelamin

Dibawah ini adalah tabel komposisi penduduk desa Marindal I berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 5.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) 1

2

Laki – laki Perempuan

10.780 jiwa 11.028 jiwa

46,45 53,54

Total 21808 jiwa 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Marindal I, 2007

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk desa Marindal I yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki. Jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 11.028 jiwa, sedangkan penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 10.780 jiwa.


(40)

4.1.4.2. Berdasarkan Kelompok Usia

Komposisi penduduk desa Marindal I berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel. 6

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia

Kelompok Usia (Tahun) Jumlah Persentase (%) 0 - 15

16 - 25 26 - 60 > 61

6.506 orang 6.354 orang 7.945 orang 903 orang

30,28 26 38,77

4,95

Total 21.808 orang 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Marindal I, 2007

4.1.4.3. Berdasarkan Agama

Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai dua kebutuhan yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, kebutuhan tersebut saling berhubungan dan harus seimbang. Agama termasuk kebutuhan rohani yang sangat penting karena turut mempengaruhi tata kehidupan sosial. Secara sosiologis agama mempunyai beberapa fungsi diantaranya adalah fungsi edukatif, penyelamat, dan kontrol sosial (social control).


(41)

Tabel 7

Komposisi Berdasarkan Agama

Agama Jumlah Persentase

Islam 16.986 77,74

Kristen 4.761 21,83

Hindu 41 0.28

Budha 20 0,15

Adven - -

Total 21.808 100

Sumber : kantor Kepala Desa Marindal I

Dari tabel diatas dapat di lihat bahwa penduduk desa Marindal I yang menganut agama Islam berjumlah 16.986, tentunya dengan data ini dapat disimpulkan bahwa penduduk desa Marindal I mayoritas beragama Islam.

4.1.4.3. Berdasarkan Suku

Tabel 8.

Kelompok Berdasarkan Suku

NO Wilayah Melayu Karo Batak Jawa Nias Lain-lain

1. Dusun I 60 40 188 1985 50 35 2. Dusun II 10 172 288 40 80 50 3. Dusun IIIa 60 97 914 1460 195 390 4. Dusun IIIb 110 110 430 1249 106 102 5. Dusun IV 100 99 400 1374 107 137 6. Dusun V 169 39 28 1263 29 166 7. Dusun VI 40 25 221 1296 25 151 8. Dusun VII 30 30 80 767 20 40

9 Dusun VIII 65 28 206 1025 22 72 10. Dusun IX 80 25 158 1105 20 150 11. Dusun X 120 196 106 1258 14 20 12. Dusun XI 109 112 236 1615 11 198


(42)

(Sumber : Kantor Kepala Desa Marindal I)

Dari tabel di atas dapat di lihat bahwa dari sebelas dusun di desa Marindal I Kecamatan Patumbak, hanya satu dusun yaitu dusun dua memiliki pendudukl yang etnisnya mayoritas suku Batak. Selebihnya ( 10 dusun ) yang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa.

4.1.4.4. Persentase Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan

Tabel 9

NO Nama Dusun Pertanian/Perkebunan Industri PNS/ABRI

1. I 30% 1% 2%

2. II - - 1%

3. IIIa 10% 1% 4%

4. IIIb 40% 4% 8%

5. IV 16% 4% 20%

6. V 10% - 1%

7. VI 6% 80% 1%

8. VII 60% 30% 5%

9. VIII 30% 25% 2%

10. IX 30% 40% 4%

11. X 55% 6% 2%

12. XI 45% 5% 3%


(43)

Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian/perkebunan sekitar 65%, sektor industri/transportasi 30%, pegawai sipil/ABRI 5%. Dari jumlah tersebut dapat di simpulkan desa Marindal I merupakan daerah perkebunan.

4.1.4.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tabel dibawah ini memperlihatkan pembagian jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 10.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%) 1 2 3 4 5 6 7 Belum sekolah Buta huruf Tidak tamat SD SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi 2396 orang 903 orang 5365 orang 2195 orang 3015 orang 5711 orang 2223 orang 10,98 4,14 24,60 10,06 13,82 26,18 10,19

Total 21808 orang 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Marindal I, 2007

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas jumlah penduduk desa Marindal I hanya berpendidikan sampai tamat SLTA saja, yakni sebanyak 5711 orang. Namun penduduk yang belum sekolah juga cukup besar jumlahnya 2396 orang. Hal ini merupakan hal yang wajar apabila dilihat dari komposisi penduduk


(44)

berdasarkan usia, dimana penduduk yang berusia 16> tahun merupakan kelompok umur yang paling besar jumlahnya (Tabel 6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di desa Marindal I Cukup rendah karena mayoritas penduduk hanya berpendidikan sampai tingkat SLTA saja dan masih terdapat penduduk yang buta huruf.

4.1.4.6. Sarana dan Prasarana Desa

Untuk menunjang aktifitas masyarakat, di desa Marindal I terdapat berbagai sarana dan prasarana yang mendukung berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan adanya sarana dan prasarana tersebut kehidupan sehari-hari masyarakat di desa ini dapat berjalan dengan lebih baik.

Adapun sarana dan prasarana tersebut antara lain:

Sarana Transportasi

Sarana transportasi ke desa dan dari desa Marindal I sudah cukup baik dan lancar. Masyarakat dahulunya berorientasi ke Delitua, kini beralih kepasar simpang limun bahkan ke pusat pasar atau Sentral. Menurut seorang informan (mandor Nitra), saat ini terdapat 40 unit mobil angkotan (minibus Nitra dan Sudek 05) yang melewati jalan desa ini yang menghubungkan antara Kotamadya Medan, dengan waktu tempuh sekitar 20-30 menit.

Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan sudah dapat dinikmati oleh masyarakat desa karena sudah tersedianya sarana transportasi yang cukup memadai, yang menghubungkan desa ini dengan Kotamadya Medan. Di desa Marindal I saat ini terdapat 4 buah Sekolah Dasar (SD), adapun muridnya berasal dari dua desa yaitu Marindal I dan Mekar Sari


(45)

Delitua. Pada Tahun Ajaran 2007/2008 terdapat 2391 siswa yang mengikuti pendidikan di sekolah ini. Saat ini terdapat 48 (Empat puluh delapan) orang tenaga pengajar ditambah seorang kepala sekolah yang memberikan pengajaran di sekolah ini.

Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat di desa Marindal I terdapat 2 buah dan di desa Delitua terdapat 5 buah SMP yang jaraknya mencapai 1-2 Km dari desa Marindal I. Mereka biasanya berjalan kaki untuk mencapai sekolah ini. Sedangkan bagi masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) mereka harus ke kotamadya karena di desa Marindal I hanya terdapat sebuah Sekolah Tehnik Menengah Sawasta (setingkat SMA) dan Sekolah Menengah Atas, sekolah tersebut kurang diminati warga karena fasilitas belajar mengajar yang tersedia masih kurang memadai.

Sarana Kesehatan

Desa Marindal I kini mempunyai 5 buah klinik yang masing-masing dijaga oleh seorang bidan desa dan di bantu oleh beberapa bidan lainnya, berdasarkan pengamatan penulis masyarakat begitu berminat untuk berobat di klinik ini karena menurut mereka biaya berobat disini sangat murah. Seorang informan mengatakan ia tidak menyesal berobat di klinik tersebut karena biaya yang dikenakan oleh bidan tersebut sangat murah, pada saat ia berobat ia dikenakan biaya sebanyak Rp.25.000,-. Saat ini warga desa Marindal I masih ada yang menemui dukun apabila ingin berobat. Namun bila ingin melahirkan, masyarakat lebih memilih berobat ke bidan dari pada ke dukun beranak. Sebagian dari warga yang kurang mampu di desa Marindal I diberikan Kartu Sehat secara gratis oleh Pemerintah Daerah Deli Serdang, kartu


(46)

tersebut dapat digunakan untuk berobat secara gratis di Puskesmas yang ada di Kecamatan. Ketika penulis melakukan observasi di lapangan, penulis melihat petugas dari Dinas Kesehatan Marindal I yang datang memberikan layanan kesehatan gratis bagi warga pemegang kartu sehat, semestinya mereka datang ke desa ini sekali dalam seminggu. Adanya pelayanan kesehatan gratis ini disambut dengan antusias oleh warga karena mereka merasa cukup terbantu.

Di desa Marindal I, sarana air bersih sudah sangat bagus, baik itu untuk masak, cuci, dan kakus (MCK). Karena masyarakat desa masing-masing memiliki sumur yang di bantu dengan mesin ataau sumur bor. Meskipun ada beberapa warga lainnya yang harus ke sungai atau ke Wc Mesjid apabila ingin buang hajat. Sarana air bersih yang ada di desa ini sudah sangat memadai, tanpa harus di bantu oleh sarana air bersih yang berasal dari Pemerintah. Kebersihan air yang terdapat hampir seluruh rumah warga sangat membantu bagi warga karena airnya selalu lancar dan jernih baik siang maupun malam hari sehingga warga bisa mengambil air minum untuk dimasak kapan saja, selain untuk air minum sarana air bersih tersebut digunakan warga untuk mencuci piring dan mengambil wudhu.

Sarana Peribadatan

Di desa ini terdapat 7 buah Mesjid dan 8 buah mussollah yang berdiri kokoh di setiap dusun yang terdapat di desa Marindal I, ada 1 mesjid yang sangat bagus untuk ukuran desa, meskipun pembangunannya belum selesai tapi mesjid tersebut bisa di bilang mesjid terbesar di desa Marindal I. Hampir setiap mesjid dan Mussollah mempunyai petugas adzan sehingga shalat berjamaah dapat dilaksanakan pada setiap waktu shalat..


(47)

Sarana Sosial Kemasyarakatan

Di desa Marindal I terdapat berbagai organisasi kemasyarakatan/lembaga sosial seperti Serikat Tolong Menolong (STM) berupa perkumpulan PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), kelompok pengajian kaum Ibu yang melakukan kegiatan pengajian pada setiap hari kamis sore, dan Perkumpulan muda mudi yang terdiri dari remaja mesjid. Perkumpulan Muda-mudi ini mempunyai kegiatan seperti melakukan pengajian/takdziah jika ada keluarga yang mendapat musibah/kemalangan di desa, membantu pelaksanaan pesta perkawinan di desa, melakukan gotong-royong membersihkan jalan desa atau gotong-royong membersihkan saluran air untuk Mesjid, dan melakukan kegiatan Olahraga seperti Bola kaki.

Sarana Komunikasi

Saat ini desa Marindal I tersedia jaringan telepon rumah, dan sudah beberapa tahun ini warga mulai membeli Handphone sebagai alat komunikasi mereka. Warga lainnya apabila ingin menelepon saudaranya yang berada di perantauan mereka harus ke wartel yang terdapat hampir di setiap dusun.

4. 2. Profil Informan

Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk merangkaikan fenomena yang terjadi, yang sudah tentu tidak terlepas dari sumber – sumber, media yang di gali untuk sebuah pengembangan data. Tentunya lewat informan yang berkompeten terhadap persoalan yang terjadi di desa Marindal I. Para informan ini mempunyai keterlibatan langsung didalam konflik yakni pada saat terjadi konflik maupun pada


(48)

proses penyelesaian/resolusi konflik, namun tidak semua informan bersedia identitasnya dicantumkan dalam tulisan ini, sebagian informan meminta agar identitasnya tidak dicantumkan dengan alasan tertentu. Berikut adalah para informan yang identitasnya dicantumkan adalah:

4. 2. 1. Informan Kunci

1. Kustomo SH (Kepala Desa Marindal I)

Kustomo (56 Tahun) adalah seorang tokoh masyarakat desa Marindal I, beliau juga merupakan seorang yang mempunyai pengaruh besar dan sangat di segani oleh warga desa Marindal I. Beliau lahir dan di besarkan di desa Marindal I, sehingga beliau mengetahui dan hafal dengan baik segala kejadian – kejadian yang pernah terjadi di desa ini. Selain sebagai kepala desa, ia juga mempunyai peranan penting dalam masyarakat seperti sebagai pendamai atau penengah apabila ada konflik di tengah warga desa maupun konflik dengan warga desa lain, beliau telah beberapa kali mendamaikan perselisihan dan permasalahan yang terjadi pada warga.

Dengan tutur katanya yang begitu halus ia menjelaskan banyak hal seputar konflik yang terjadi antara pihak PTPN II dengan penggarap yang jadi meluas penggarap dengan penggarap. Menurutnya konflik peralihan fungsi lahan PTPN II menjadi lahan pertanian masyarakat terjadi karena masyarakat telah memiliki nuansa yang berbeda ketika memasuki masa reformasi. Penggarapan ini terjadi karena rakyat ingin mengambil kembali haknya atas tanah yang selama ini di ambil oleh pihak PTPN II yang mendapat legitimasi dari pemerintah dengan cara menebangi tanaman coklat. Sebagaimana yang diutarakan bapak Kustomo S.H dalam wawancara dengan penulis sebagai berikut :


(49)

”Konflik tanah PTPN II berawal dari masuknya masa reformasi dan berkembangnya isu bahwa masa HGU PTPN II telah habis. Yang kemudian penggarap berangsur – angsur menebangi tanaman perkebunan coklat dan kemudian mereka menancapkan patok ke areal tanah yang mereka garap sebagai tanda bahwa tanah tersebut adalah milik mereka. Hal lain yang menguatkan terjadinya konflik adalah bahwa adanya pemberitaan di koran Waspada (21/5/2001) yang isinya pemerintah akan menerbitkan/perpanjangan HGU PTPN II terhadap tanah yang tidak bermasalah sebelum berakhirnya HGU 9 juni 2000, kata Gubsu. Masalah ini akan di bahas ditingkat nasional dan izin perpanjangan HGU diberikan lagi karena dari sektor perkebunan ini diperoleh devisa negara”. Masyarakat yang merasa memiki hak atas tanah melakukan perlawanan untuk menggagalkan rencana perpanjangan HGU”. Kekuatan perlawanan yang di lakukan masyarakat membuat PTPN II tak mampu mengatasinya. Meskipun pihak kepolisian dan di bantu oleh TNI terjun untuk mengatasi konflik yang terjadi. Tidak adanya kejelasan dalam penyelesaian konflik membuat masyarakat merasa lebih leluasa memacak patok untuk membatasi luas tanah yang mereka garap. Namun karena tidak adanya surat-surat hak kepemilikan atas tanah muncullah konflik baru yang melibatkan mayarakat dengan oknum-oknum pemilik modal atau biasanya masyarakat setempat menyebutnya dengan ”cukong”. Lalu para cukong menyewa orang-orang bayaran untuk mempertahankan tanah garapannya”. (Wawancara, 9 Juni 2009)

Menurut informan bahwa konflik lahan PTPN II ini cukup besar yang mengakibatkan korban yang menderita luka-luka dan kerugian materil lainnya. Mereka saling mengklaim lahan garapannya masing-masing meskipun tidak adanya kordinator yang menggerakkan masyarakat. Para cukong ataupun penggarap yang memiliki modal tak mau kalah demi mendapatkan luas tanah yang digarapnya meskipun memakai kekerasan untuk menyingkirkan pihak lawan dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Pihak-pihak yang berkonflik dikuasai oleh keinginan untuk mencapai suatu hal yang disengketakan. Dengan tujuan ini perhatian masing-masing pihak di arahkan pada dua hal yaitu : lawan yang menghalangi akan nilai yang hendak dicapai. Dalam


(50)

hal ini perang dianggap suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan dan menguasai barang (nilai) yang di persengketakan (Hendro Puspito, 1989:248).

2. Drs. Rasman Purba (Mantan Kepala Urusan Agraria PTPN II)

Pak rasman Purba (61 Tahun) adalah salah satu pegawai PTPN II yang banyak mengetahui tentang sejarah lahan PTPN II . Beliau termasuk salah satu orang yang cukup lama bekerja di PTPN II dalam urusan agraria. Selain pengetahuannya tentang agraria, ia juga memiliki pengetahuan atau ilmu tentang agama. Dalam perkembangan kasus konflik lahan tersebut pak Rasman tidak mampu berbuat banyak untuk mengatasi penggarapan lahan PTPN II, hal ini dikarenakan selain beliau merupakan bagian dari warga dan di sisi lain ia juga bekerja di PTPN II. Beliau juga sering mendengar perkataan masyarakat tentang rencana apa yang harus dilakukan atau rencana mereka tentang penggarapan lahan PTPN II. Banyak hal lain yang diketahuinya tentang konflik lahan PTPN II yaitu siapa-siapa saja yang terlibat dalam penggarapan dan pihak-pihak yang mendalangi aksi penebangan. Menurutnya masyarakat berjuang untuk mengambil hak garapannya maupun bekas ahli warisnya di karenakan pada tahun 1949 Pemerintahan Belanda atau Negara Sumatera Timur pernah memberikan tanah-tanah eks perkebunan Belanda kepada masyarakat untuk perluasan kampung dan ladang yang disebut tanah suguhan. Dimana tanah yang disuguhkan tersebut yaitu dari pasar 3,4,5,6,7 dan 8, sebelah barat pasar. Pada tahun 1954 pemerintah Republik Indonesia, telah menerbitkan Undang-Undang No 8 tahun 1954, tentang Pendaftaran Pendudukan Tanah, selanjutnya pemerintah membuat Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang lazim disebut KR.P.T. kartu tersebut di bagikan kepada masyarakat yang menduduki dan menggarap tanah


(51)

yang berasal dari tanah suguhan. Namun karena sebagian masyarakat tidak mengurus karu tersebut, maka mereka tidak memiliki bukti hak atas tanah tersebut.

Berikut penuturannya seputar konflik dan permasalahan yang pertama kali muncul sebelum peralihan fungsi lahan :

”Menurut saya masyarakat berjuang untuk mengambil hak garapannya maupun bekas ahli warisnya pada tahun 1949 karena pemerintah Belanda pernah memberikan hak atas tanah, meskipun tanah tersebut merupakan tanah eks perkebunan yang berguna untuk perluasan kampung dan ladang yang disebut dengan tanah suguhan yaitu dari pasar 3,4,5,6,7 dan 8, sebelah barat pasar. Setelah tanah dibagikan Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No 8 tahun 1954, tentang Pendaftaran Pendudukan Tanah, selanjutnya Pemerintah membuat Kartu Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang lazim disebut KR.P.T . Namun banyak Masyarakat yang tidak mengurus kartu tersebut, hal ini lah yang membuat masyarakat tidak memiliki bukt i kuat tentang hak kepemilikan tanah. Nah... hal lain yang memicu warga melakukan penggarapan yaitu karena semakin besarnya isu bahwa masa HGU PTPN II telah habis dan adanya pemberitaan dikoran bahwa pemerintah akan menerbitkan/perpanjangan HGU PTPN II terhadap tanah yang tidak bermasalah serta bertepatan pada waktu itu masuknya masa reformasi”.

(Wawancara, Juni 2009)

Besarnya kekuatan masyarakat dalam melakukan penggarapan ini membuat pihak PTPN II hanya bisa berdiam dan menunggu proses, dimana GUBSU mengatakan masalah ini akan dibahas ditingkat nasional. Sementara itu ratusan penggarap yang menguasai lahan perkebunan PTPN II di Marindal I bersiap-siap dan bersiaga.

5. Tonggham (Pihak Pengembang)

Tonggham yang merupakan pihak pengembang yang bersama masyarakat menggarap tanah PTPN II sejak tahun 2000 mengaku bahwa tanah tersebut


(52)

merupakan tanah warisan dari orangtuanya. Hal ini dijelaskannya dengan memperlihatkan bukti Kartu Pendaftaran Pendudukan Tanah. Bapak yang berusia 47 tahun ini memang memiliki status ekonomi yang berada dikelas atas dan juga merupakan orang yang cukup berpengaruh di desa Marindal I. Bang tonggham yang biasa disapa masyarakat memiliki tubuh tinggi dengan kulit agak gelap dan berabut ikal. Selama ini ia bekerja sebagai pengusaha atau penyedia jasa alat berat dan memiliki beberapa toko baju, mas yang berada di simpang limun. Lelaki paruh baya ini menggunakan modal yang dimilikinya untuk menggarap tanah dengan cara menyewa orang-orang bayaran seperti para preman dan beberapa OKP. Oleh karenanya ia sangat disegani oleh masyarakat. Dengan demikian ia lebih leluasa untuk melakukan kegiatan penggarapan.

” sejak tahun 2000 saya sudah menggarap lahan ini, karena saya mempunyai bukti yang cukup bahwa sejak pemerintahan Belanda keluarga saya memiliki Kartu Pendaftaran Pendudukan Tanah. Menurut saya wajar saja saya memperjuangkan hak saya apapun itu caranya, meskipun saya harus mengeluarkan uang yang banyak untuk membayar orang-orang bayaran untuk mempertahankan hak atas tanah tersebut. (Wawancara, Juni 2009)

Sebenarnya konflik yang terrjadi didesa Marindal I yang terkait dengan peralihan fungsi lahan disebabkan karena tidak adanya ketegasan dari pemerintah dalam pemberian hak atas tanah, hal ini dipertegas dengan tidak adanya surat ataupun sertipikat tanah atas lahan eks PTPN II yang digarap oleh masyarakat tersebut. Akibatnya masyarakat saling klaim atas lahan tersebut. Hal ini merupakan pemicu utama penyebab konflik.


(53)

6. Kelana (Korban penangkapan dan pemukulan)

Kelana (38 tahun) adalah seorang warga desa Marindal I, pemilik sekaligus sopir mobil angkutan jenis Nitra yang menjadi korban pemukulan pada saat terjadi konflik masalah penebangan/penggarapan di kawasan lahan PTPN II. Saat ini bapak 3 (tiga) orang anak ini tidak lagi menjadi sopir angkutan, ia kini lebih senang bertani dengan menanam tanaman muda, saat ini ia sedang mengolah lahan untuk dijadikan tempat menanam tanaman cabe. Beliau lebih senang bertani daripada membawa sendiri mobil angkutanya karena hasil dari bertani ini lebih tinggi daripada menjadi sopir angkutan. Saat ini beliau telah memiliki 2 (dua) unit angkot dan keduanya dibawa oleh adik ipar dan keponakannya, ia kini hanya menerima setoran saja dari kedua angkotnya. Berikut penuturannya seputar pemukulan yang dialaminya:

”Saat itu saya sedang menurun ke desa Marindal seperti biasa untuk mengantar sewa, setelah menurunkan sewa seperti biasa saya harus menunggu giliran untuk kembali menarik sewa ke atas (Delitua), saat itu kebetulan ada beberapa mobil yang telah lebih dahulu sampai di Marindal, jadi saya harus menunggu giliran. Karena giliran saya masih agak lama maka saya memarkirkan mobil di depan warung salah seorang warga, tidak berapa lama setelah mobil saya parkirkan, tiba-tiba saya didatangi oleh beberapa orang. Mereka langsung menanyai saya karena ada yang melapor bahwa mobil saya semalamnya dipakai untuk melangsir warga yang akan melakukan perlawanan, disitu terjadi pertengkaran dan saya berusaha mempertahankan diri dengan mengatakan bahwa saya tidak tahu menahu mengenai permasalahan orang yang melakukan perlawanan dan saya hanya mencari duit, saya tidak tahu itu orang mana dan siapa, yang penting saya diminta mengangkut dan dibayar saya kerjakan. Saya lalu menyuruh agar mereka langsung menanyakannya kepada orang yang mereka maksud, lalu saya dipukul oleh seseorang yang kemudian diikuti oleh pemuda lainnya, akibat pemukulan itu saya mengalami luka-luka”.

(Hasil wawancara, bulan Juli 2009).

Setelah dipukuli seorang tokoh desa Marindal I lalu menemaninya berobat ke Puskesmas, berita mengenai adanya pemukulan ini dengan cepat menyebar, hal ini


(54)

diakibatkan karena beberapa hari sebelumnya juga terjadi pemukulan terhadap warga desa lainnya, dan belum mendapat penyelesaian. Belum adanya penyelesaian konflik sebelumnya menyebabkan munculnya kekhawatiran akan terjadi aksi balasan dan konflik yang lebih besar, namun aksi balasan tidak sempat terjadi karena Camat, Kepolisian, dan Tokoh-tokoh masyarakat bergerak dengan cepat.

4. 2. 2. Informan Biasa

1. Joko Susilo (Warga biasa yang tinggal didesa Marindal I)

Joko Susilo (30 tahun) adalah salah seorang warga Marindal I yang ikut melakukan penyerangan ke orang-orang bayaran ketika terjadi konflik pada tahun 2000. Bang Joko ini hanya berpendidikan sampai tamat SMP saja, ia pernah sekolah di SMA namun hanya mampu bertahan beberapa bulan saja, ia lalu berhenti sekolah. Lelaki yang menikah muda ini saat ini bekerja sebagai tukang bangunan, penghasilannya saat ini amat bagus. Ayah 1 (satu) orang anak ini mengatakan bahwa jumlah warga dari desa Marindal I yang ikut melakukan penyerangan pada waktu itu cukup banyak,

Di desa Marindal pemimpin aksi penyerangan tersebut menjelaskan rencana apa saja nantinya yang akan mereka lakukan jika melakukan penyerangan ke orang-orang bayaran. Ia mengaku ikut melakukan penyerangan karena ajakan dari beberapa pemuda dari desa Marindal I meminta dukungan dan keikutsertaan dalam melakukan penyerangan. Setelah berhasil mengumpulkan massa yang kebanyakan adalah anak muda, lalu mereka berangkat melakukan penyerangan. Sesampai dilokasi berkumpulnya orang-orang bayaran mereka langsung mencari tokoh yang ikut melakukan pemukulan terhadap warga beberapa hari sebelumnya. Berikut


(55)

penuturannya ketika diadakan wawancara mengenai situasi pada saat mereka melakukan penyerangan:

”Begitu kami sampai di lokasi orang bayaran yang pertama dicari adalah ”X” (Tokoh kelompok bayaran yang mereka anggap paling lantang dan ikut melakukan pemukulan terhadap warga Marindal beberapa hari sebelumnya). Kami mendatangi gubuk yang mereka bangun diatas tanah yang mereka garap dan menjadi tempat ngumpul orang-orang bayaran, tanpa banyak kata kami langsung serang, beberapa orang berhasil kami pukuli beramai-ramai sebagian dari kami lari mencari bantuan. Dengan cepat warga Marindal I lainnya datang mengusir mereka (orang bayaran), dengan membawa batu dan kayu, disinilah terjadi saling pukul dan hantam, suasana pada saat ini sangat tegang, karena adanya pembakaran yaitu gubuk yang mereka bangun. (Hasil wawancara, bulan Juli 2007).

Di perjalanan pulang menuju rumah Joko dan warga lainnya menebangi kayu yang berada di pinggir jalan dengan parang yang mereka bawa sendiri dan menggeser batu-batu besar yang berada di pinggir jalan sehingga menutupi badan jalan dan tidak bisa lagi dilewati kenderaan. Akibat pemblokiran ini, jalan yang menghubungkan kawasan delitua dengan Marindal I putus total selama beberapa minggu. Putusnya jalur ini sempat membuat repot warga yang ingin keluar dari kawasan desa Marindal.

2. Yono (Pemuda desa Marindal)

Yono atau biasa akrab di panggil Mas Yon adalah seorang pemuda desa Marindal I (35 tahun), ia mengaku terlibat dalam berbagai aksi ketika terjadi konflik peralihan fungsi lahan PTPN II. Keterlibatannya antara lain adalah ketika terjadi pemukulan terhadap warga di desa Marindal I, ia juga ikut mendatangi kantor kepala desa untuk menuntut agar kepala desa ikut berperan dalam menghentikan konflik yang terjadi, selain itu ia juga ikut mengusir orang bayaran yang mendatangi desa Marindal I untuk melakukan penyerangan. Seperti diungkapkannya dalam wawancara dengan penulis:


(56)

”Pada saat warga Marindal I datang melakukan penyerangan, aku dengan kawan-kawan sedang ngumpul di sebuah warung kopi tempat kami biasa ngumpul. Begitu kami tau tentang adanya penyerangan, kami langsung ikut sambil memanggili warga lainnya. Hanya sebentar saja kami langsung dapat dikumpulkan karena sejak terjadi pemukulan terhadap warga kami selalu berjaga-jaga untuk menghadapi apabila mereka melakukan penyerangan lagi. Waktu itu terjadi juga pukul-pukulan, lempar-lemparan batu, tanganku juga sakit kena lempar batu, tetapi tidak berapa lama kami dapat mengusir mereka dari kampung ini”. (Hasil wawancara, bulan Juli 2009).

Mas Yon mengaku ikut terlibat karena ajakan dari rekan-rekannya sesama pemuda Marindal, ia juga mengaku ingin membela desanya, apalagi saat itu usianya masih muda sehingga tanpa pikir panjang ia langsung saja mau ikut-ikutan. Abang tamatan SMA ini mengatakan hingga saat ini hubungan antara penggarap belum pulih seperti sebelum terjadinya konflik.

6.3. Interpretasi Data

6.3.4. Sejarah Konflik Lahan PTPN II

Perkebunan yang berada di Sumatera Utara pertama kali muncul berawal dari seorang pengusaha swasta asing Belanda yaitu Jacobus Nienhuys yang pernah sukses menanamm tembakau melalui kerjasama dengan Sultan Deli pada tahun 1864. Dengan hasil yang begitu memuaskan yang dikapalkan ke pasar Internasional. Menjulangnya mutu tembakau Deli di pasar dunia menarik pengusaha swasta asing di mancanegara berdatangan untuk menanmkan modalnya dalam industri tembakau. Sultan Deli, Serdang, Langkat dan Asahan menerima dan menyambut pengusaha swasta mancanegara penuh kegembiraan tanpa sedikitpun bermaksud mempersulit masuknya modal besar di daerah kekuasaan.

Masuknya ratusan perkebunan yang merentang dari sungai ular sampai sungai wampu, melahirkan perubahan besar, dimana terbangunnya jembatan, jalan,


(57)

pelabuhan dan bermacam fasilitas perkebunan. Terbangunnya fasilitas perkebunan ini membuat kota Medan tidak mau ketinggalan berkembang, dimana kota Medan ditujukan untuk mempercepat dan memperlancar ekstraksi surplus produksi ke negara induk (Agustono, 1997 : 26-29).

Dengan disahkannya akta konsensi pada tahun 1877 merupakan perjanjian yang ditetapkan pemerintah Belanda sebagai jalan keluar, namun akibat dari akta konsensi ini mengubah cara bertani orang Melayu yang menetap menjadi berpindah-pindah sesuai dengan panen tembakau, ketika ditanda tanganinya akta konsensi Sultan tidak memahami persoalan agraria. Dimana yang memahami akta konsensi ini adalah pemerintah Belanda dan Sultan hanya menerima saja. Sultan tidak berwenang dalam mengurusi persoalan agraria di daerah kekuasaannya sendiri. Kalaupun terdapat perselisihan tanah, Sultan tidak dapat memberikan keputusan. Akibat akta konsensi ini, tidak pernah menjelaskan siapa yang berhak mendapat tanah jaluran. Memang dalam akta konsensi (1878) ada disebutkan kata opgezeten yang berarti orang-orang yang mempunyai rumah sendiri diatas tanah yang diserahkan kepada perkebunan. Namun kata opgezeten disalah artikan dan menimbulkan berbagai macam penafsiran. Pihak Perkebunan menyatakan yang berhak memperoleh tanah jaluran hanya orang-orang yang pada saat pemberian konsensi sudah punya rumah dalam persil konsensi.

Pada tahun 1884, pengertian opgezeten dalam akta konsensi berubah menjadi ”semua kepala keluarga baik yang telah tinggal di tanah bersangkutan maupun setelah penyerahan tanah, kedua golongan itu yang menurut adat digolongkan kepada yang berhak atas tanah”. Demikian pula akta 1892 tidak juga merinci secara jelas siapa


(1)

tersebut menemukan titik terang dari penyelesaian konflik. Hasil dari konsiliasi antara Tim B Plus dengan seluruh kelompok yang berkonflik akan diputuskan pada bulan Oktober 2001. Namun hingga sekarang belum jelas juga apa hasil yang dicapai dari kompromi yang dilakukan Tim B Plus dengan pihak yang berkonflik, karena areal lahan eks perkebunan sebagian besar hanya bisa dipergunakan untuk lahan pertanian masyarakat. Kebanyakan para penggarap tidak berani membangun rumah yang permanen tetapi hanya dibangun gubuk-gubuk dan bangunan yang bisa dibilang smi permanen. Hal ini yang menandakan bahwa tidak ada kepastian penyelesaian akhir yang dilakukan Tim B Plus. Meskipu ada beberapa pihak yang tekah mendapatkan surat atau hak atas tanah sepenuhnya.

BAB V PENUTUP 5. 1. Kesimpulan

Keberadaan konflik tanah yanga berada didesa Marindal mengarah kepada kepentingan Pasar (ekonomi). Hal ini diterangkan oleh pendapat Lewis Coser yang menjelaskan bahwa perselisihan yang mengenai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak hanya bermaksud memperoleh


(2)

barang yang inginkan tetapi juga memojokkan, merugikan dan melemahkan setiap lawan-lawan mereka.

Coser juga mengatakan bahwa perselisihan atau konflik dapat berlangsung antar individu, kelompok dengan kelompok dan individu dengan kelompok. Konflik kelompok dapat bersifat vertikal dan horizontal. Sewaktu berlangsungnya konflik tanah didesa Marindal I maka akan menyebabkan perselisihan antar individu maupun kelompok ditandai dengan pihak PTPN II yang mengklaim areal tanahnya dengan menunjukkan bukti adanya sertifikat HGU. Sementara pihak penggarap sendiri tidak terima atas pengklaiman yang dilakukan oleh pihak PTPN II. Maka yang dilakukan pihak penggarap adalah melakukan pendudukan lahan dengan cara berladang, mendirikan gubuk diareal yang masih disengketakan.

Emile Durkheim mengungkapkan bahwa kebanyakan komunitas manusia dibagi menjadi kelmpok teritorial yang memilki ”solidaritas melalui persamaan”. Orang yang dekat satu sama lain biasanya lebih dekat bila dibandingkan dengan orang yang saling berjauhan. Kelompok yang saling tergantung satu sama lain akan berkompetisi dengan kelompok diluar mereka. Ketika berlangsung konflik antara PTPN II dengan penggarap, yang menjadi perasaan senasib adalah adalah dikalangan penggarap setempat. Perasaan senasib ini didasari atas interaksi sehari-hari yang dilalui bersama. Meskipun diantara penggarap muncul konflik baru, namun selama masa ada ancaman dari PTPN II, konflik dalam tubuh masyarakat cendrung akan menurun. Sehingga perasaan senasib itu menjadi dasar bagi penggarap untuk memperjuangkan lahan yang selama ini diambil oleh PTPN II.


(3)

Perdebatan atau konflik sering kali memungkinkan situasi yang berbahaya, ini sempat terjadi pada konflik tanah yang berada didesa Marindal I. Kelompok penggarap yang selama ini merasa dibawah tekanan dari pemerintah, akhirnya memilki persamaan yaitu perasaan senasib sehingga menjadi dasar untuk memperjuangkan haknya dan membentuk suatu kekuatan dengan rasa solidaritas yang tinggi guna mengambil alih lahan (tanah) yang selama ini diambil oleh PTPN II. Maka untuk menyelesaikan konflik lahan antara PTPN II dengan penggarap diperlukan pihak penengah yang benar-benar berada pada posisi netral atau tidak berpihak kepada kelompok yang manapun (Katub Penyelamat). Dalam hal ini yang menjadi katub penyelamat adalah Tim B Plus yang dibuat pemerintah guna menghindari konflik yang berkepanjangan. Meskipun terkadang Tim B Plus mendapat pengaruh dari pihak yang berkonflik terutama yang memiliki kekuasaan, uang, jabatan dan koneksi.

Dalam mengatasi suatu konflik yang terjadi, Simmel menganalisa suatu cara untuk mengakhiri konflik yaitu ”komprommi dan perdamaian”. Meskipun kompromi terkadang tidak mungkin terjadi apabila suatu objek tidak dapat dibagikan terhadap mereka yang berkonflik. Tetapi dalam kasus ini Simmel menunjukan bahwa kompromi dapat tercapai apabila diberikannya suatu hadiah kepada pihak yang kalah/menderita dengan memberikan sesuatu yang berharga sebagai ganti dari apa yang dikonflikan atau dipersengketakan.

Katub penyelamat (Tim B Plus) yang ditugaskan untuk menengahi dari konflik yang terjadi dan mengambil tindakan dalam keputusan akhir. Dimana keputusan akhir tersebut memberikan suatu hadiah kepada mereka (kelompok) yang


(4)

kalah. Misalnya kalau pihak penggarap yang kalah maka mereka berhak mendapat sesuatu yang berharga atas tanah yang dipersengketakan, apakah bentuknya berupa lahan yang berada diluar tanah yang dipersengketakan, uang, dan lain sebagainnya. Begitu juga sebaliknya, misal PTPN II yang mengalami kekalahan maka mereka berhak mendapatkan lahan diluar tanah yang dipersengketakan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Agustono, Budi, dkk, 1997. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia vs PTPN II, Bandung: Wahana Informasi Masyarakat dan AKATIGA. Bachriadi, Dian & Faryadi, Erfan, 1997. Reformasi Agraria, Jakarta: LPFEUI. Fauzi, Noer, 2003. Beraksi Untuk Pembaruan Agraria, Yogyakarta: Insist Press. Fauzi, Noer, 1997. Tanah dan Pembangunan, Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Fauzi, 2000. Otonomi Daerah dan Sengketa Tanah, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Johnson, Paul, Doyle, 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1, Alih Bahasa M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia.

Johnson, Paul, Doyle, 1996. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2, Alih Bahasa M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia.

Malliae, Leo, 2004. Tanah Sebagai Sumber Konflik Sosial, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, II (V): 111-120.

Moleong, Lexy J, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari, 1998. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia.

Pelzer, J, Karl, 1991. Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta: PSH.

Poloma, Margareth M, 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Press. Rajagukguk, Erman, 1995. Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah dan

Kebutuhan Hidup, Jakarta: Chandra Pratama.

Ritzer, George, 2002. Sosiologo Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Press.

Soekanto, Soerjono, 2003. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


(6)

Suni, Herawan, 1998. Hukum Agraria, Medan: USU Press. Veeger, K, J, 1986. Realitas Sosial, Jakarta: Rajawali Press.

Yin, Robert K, 1996. Studi Kasus ; Desain dan Metode, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Situs Internet/Website :

Azam, Syaiful, 2003. Eksistensi Hukum Tanah Dalam Mewujudkan Tertib Hukum Agraria, (online), diakses tanggal 15 Januari 2007).

Susanto, AB, 2004. Resolusi Konflik, (online), (http://suarapembaruan.com/news, diakses tanggal 30 Oktober 2007).

Syahyuti, 2001. Pengaruh Politik Agraria Terhadap Perubahan Pola Penguasaan Tanah dan Struktur Penguasaan Tanah di Indonesia, (online), Vol. 19 No. 1, (http://pse.litbang.deptan.go.id, diakses tanggal 22 Maret 2007).