bersuhu 121ºC selama 10-15 menit. Kuman ini banyak tersebar dalam kotoran dan debu jalanan, usus dan tinja kuda, domba, anjing, kucing, tikus, dan lainnya.
Kuman ini masuk melalui luka dan dalam suasana anaerobik, kemudian terjadi produksi toksin tetanospasmin dan menyebar melalui darah dan limfe.
Toksin ini kemudian menempel pada reseptor sistem saraf. Gejala utama penyakit ini timbul akibat toksin tetanus mempengaruhi pelepasan neurotransmitter, yang
berakibat penghambatan impuls inhibisi. Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tidak terkontrol, kejang dan gangguan sistem saraf autonom.
2.2.2.1. Jadwal Pemberian
1. Menurut ADAI 2008, dTTT diberikan sebanyak 1 dosis pada remaja
usia 12 tahun yang sudah melengkapi vaksinasi DTPDTaP. Dosis dT atau TT adalah 0,5 ml, diberikan secara intramuskular, pada daerah
deltoid Hadinegoro, 2005. 2.
Remaja yang memerlukan vaksin tetanus toksoid dalam manajemen luka harus diberikan dT jika remaja tersebut belum pernah mendapat dT. Jika
Td tidak tersedia berikan TT tetanus toksoid ACIP, 2009.
2.2.2.2. Reaksi KIPI
Menurut CDC 2006 terdapat 3 jenis reaksi yang dapat dijumpai setelah vaksinasi pada remaja:
1. Reaksi ringan berupa sakit, merah dan bengkak, demam ringan paling
tidak 37ºC, sakit kepala, lelah, mual, muntah, diare, sakit perut, menggigil, sakit sendi, ruam, pembengkakan kelenjar getah bening
regional. 2.
Reaksi sedang berupa demam lebih dari 38,8ºC, mual, muntah, diare, sakit perut, sakit kepala.
3. Reaksi berat belum pernah dilaporkan terjadi pada remaja, tetapi pernah
ditemukan pada orang dewasa. Reaksi ini berupa gangguan sistem saraf pusat.
4. Selain reaksi lokal yang dijumpai pada tempat suntikan bisa juga
dijumpai pembengkakan lengan yang ektensif dan reaksi Arthus. Reaksi Arthus adalah vaskulitis lokal yang terjadi karena adanya deposit
komples antigen-antibodi. Kompleks antigen-antibodi ini terjadi jika terdapat titer vaksin yang tinggi serta titer antibodi yang tinggi. Tanda-
tanda reaksi Arthus adalah sakit, bengkak, indurasi, edema, perdarahan, dan nekrosis pada tempat suntikan. Gejala timbul 4-12 jam setelah
vaksinasi AAP, 2006.
2.2.2.3. Kontraindikasi CDC, 2006
1. Reaksi anafilaksis pada pemberian sebelumnya, baik terhadap vaksin
maupun komponennya. 2.
Alergi berat terhadap latex. 3.
Ensefalopati koma atau kejang dalam waktu 7 hari setelah vaksinasi. 4.
Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus precaution, sebelum pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian
pertama dijumpai, hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, kejang dalam 3 hari sesudahnya, reaksi Arthus, dan Guillain-
Barre Syndrome Hadinegoro Tumbelaka, 2005. 5.
Reaksi tipikal lokal yang sering dijumpai adalah sakit pada daerah injeksi, merah, indurasi, demam dan sakit kepala.
2.2.3. Demam Tifoid