1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang
merata secara materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peran tenaga
kerja sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak
dasar pekerjaburuh dan menjamin kesempatan yang sama serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerjaburuh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan usaha.
1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur dalam salah satu pasalnya yaitu dalam pasal 28D, pada
ayat 1 menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pada ayat 2, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
1
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bagian Menimbang
Perusahaan tempat pekerjaburuh bekerja tidak selamanya mengalami kestabilan dalam operasionalnya, dan hasil produksi tidak selamanya
menghasilkan keuntungan yang meningkat. Banyak risiko yang akan timbul, baik dari segi investasi maupun pembiayaan. Perusahaan tidak akan terlepas
dari utang piutang. Ketika perusahaan mengalami penurunan penghasilan dan keuntungan, perusahaan akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan
kewajiban untuk membayar utang kepada para kreditornya. Disaat utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, kreditor dapat menagih kepada
perusahaan, serta berhak mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan. Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU menyatakan, “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih Kreditornya”. Yang dimaksud dengan
Kreditor dalam ayat ini adalah baik Kreditor Konkuren, Kreditor Separatis, maupun Kreditor Preferen.
2
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau kreditor dengan jaminan, disebut
kreditor separatis. Berdasarkan pasal 55 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
kreditor tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
2
Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU
terjadi kepailitan. Separatis berarti terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki debitor yang dipailitkan. Sehingga,
kreditor separatis mendapatkan posisi paling utama dalam proses kepailitan, sehubungan dengan hak atas kebendaan yang dijaminkan untuk piutangnya.
3
Kreditor preferen berarti kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata. Hak istimewa mengandung arti hak
yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya. Terdapat dua jenis
hak istimewa yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu hak istimewa khusus pasal 1139 KUHPerdata dan hak istimewa umum pasal 1149 KUHPerdata.
Hak istimewa khusus berarti hak istimewa yang menyangkut benda-benda tertentu, sedangkan yang termasuk hak istimewa umum adalah seluruh benda.
Berdasarkan ketentuan KUHPerdata, hak istimewa khusus didahulukan atas hak istimewa umum pasal 1138 KUHPerdata. Meskipun memiliki
keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki orang berpiutang pada umumnya, posisi pemegang hak istimewa pada dasarnya masih berada di
bawah pemegang hak gadai atau hipotek sehubungan dengan benda-benda yang dijaminkan. Ada beberapa perkecualian untuk urutan tersebut, seperti
misalnya, biaya-biaya perkara atau tagihan pajak.
4
3
HukumOnline.com. Pembayaran Upah Buruh dalam Proses Kepailitan. Diakses dari internet http:www.hukumonline.com, pada tanggal 21 Oktober 2014, pukul 21.45 WIB
4
Ibid.
Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa. Berdasarkan KUHPerdata,
kreditor konkuren memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang proporsional atas piutang-piutang mereka. Ketentuan tersebut juga
dinamakan prinsip „paritas creditorium‟.
5
Menurut Rahayu Hartini, terdapat 3 tiga golongan Kreditor, yaitu
6
: a.
Golongan Khusus, yaitu kreditor yang mempunyai hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan pasal 56 UU Kepailitan; Pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat
1 yang melaksanakan haknya tersebut, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil penjualan barang
yang menjadi agunan dan menyerahkannya kepada kurator sisanya setelah dikurangi jumlah utang, bunga dan biaya.
b. Golongan Istimewa previlege, yaitu kreditor yang piutangnya
mempunyai kedudukan istimewa artinya golongan kreditor yang mempunyai hak untuk pelunasan terlebih dahulu atas hasil penjualan
harta pailit pasal 1133, 1134, 1139, 1149 KUHPerdata.
c. Golongan Konkuren, atau kreditor konkuren yaitu kreditor-kreditor
yang tidak termasuk golongan khusus atau golongan istimewa. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil
penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan golongan istimewa, sisa penjualan harta pailit itu dibagi
menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren itu pasal 1132 KUHPerdata.
Ketika perusahaan tempat pekerjaburuh bekerja dinyatakan pailit oleh Pengadilan, maka pekerjaburuh dapat meminta haknya yaitu upah.
Berdasarkan pasal 39 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
“Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan
pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit”. Yang dimaksud
5
Ibid.
6
Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press. hlm. 139
dengan „upah‟ adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.
7
Pekerjaburuh dalam kepailitan termasuk dalam golongan istimewa, yang mana tagihan upahnya dikategorikan sebagai hak istimewa umum, sesuai pasal
1149 angka 4 KUHPerdata. Walaupun memiliki hak untuk pelunasan terlebih dahulu atas penjualan harta pailit, posisi pemegang hak istimewa
masih berada di bawah pemegang hak jaminan. Bahkan diantara kreditor pemegang hak istimewa, pekerjaburuh berada di peringkat kelima setelah
tagihan pajak, biaya perkara, biaya lelang, dan biaya kurator.
8
Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan ketika disandingkan dengan Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit
atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerjaburuh merupakan utang yang
didahulukan pembayarannya ”. Kata „didahulukan pembayarannya‟ dianggap
menjadi bermakna multitafsir. “Didahulukan pembayarannya” dianggap pelunasan
tagihan upah
pekerjaburuh didahulukan
pembayarannya
7
Penjelasan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU
8
Susilo Andi Darma. 2013. Kedudukan PekerjaBuruh dalam Perkara Kepailitan Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan dan Teori Keadilan. hlm. 132. Diakses dari internet
http:www.aifis-digilib.org, pada tanggal 21 Oktober 2014, pukul 21.47 WIB
mendahului Kreditor Separatis maupun hak Negara, tagihan pajak, biaya perkara, biaya lelang, dan biaya kurator.
Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini kemudian diajukan permohonan Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Juni 2013 dengan nomor perkara 67PUU-XI2013 oleh 9 sembilan orang pekerja PT. PERTAMINA sebagai
pemohon. Pemohon masing-masing bernama: Ir. Otto Geo Diwara Purba sebagai Pemohon I; Ir. Syamsul Bahri Hasibuan S.H.,M.H sebagai Pemohon II;
Eiman sebagai Pemohon III; Robby Prijatmodjo sebagai Pemohon IV; Macky Ricky Avianto sebagai Pemohon V; Yuli Santoso sebagai Pemohon VI; Joni
Nazarudin sebagai Pemohon VII; Piere J Wauran sebagai Pemohon VIII; dan Maison Des Arnoldi sebagai Pemohon IX. Para pemohon ini mempunyai
kepedulian perlindungan terhadap para karyawan PT. PERTAMINA khususnya, dan pekerja yang bekerja pada perusahaan lain pada umumnya,
yang akan berpotensi dikenai pemberlakuan Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ketika perusahaan tempat
mereka bekerja mengalami pailit. Kepailitan ini yang dikhawatirkan akan menyulitkan pekerja dalam menuntut hak-hak mereka apabila dihadapkan
dengan kreditor lain. Permohonan ini diajukan dengan tujuan untuk memberikan
perlindungan, pembelaan
hak dan
kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerjaburuh dan keluarganya. Hal inilah yang dianggap oleh para pemohon tidak adanya penafsiran yang
tegas dalam ketentuan Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang
Ketenagakerjaan, sehingga
berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum serta pengingkaran terhadap hak-hak para pemohon selaku pekerja dan pekerja lainnya yang bekerja di perusahaan tempat mereka
bekerja yang sedang mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan. Alasan pengajuan permohonan judicial review Pasal 95 ayat 4 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan oleh para pemohon adalah karena dianggap bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28D
ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang pertama, dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja, yakni dalam praktik dan
mengingat ketentuan hukum yang berlaku, baik itu dalam Pasal 1134 ayat 2 juncto Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 tahun
2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka terdapat urutan peringkat
penyelesaiian tagihan kreditor setelah selesainya kreditor separatis, dimana upah buruh masih harus menunggu urutan setelah tagihan hak negara, kantor
lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan. Selain itu, pemberlakuan Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bahwa Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan
Asuransi Jiwa yang di likuidasi maerupakan hak utama. Baik dalam Undang- Undang
Pajak, Undang-Undang
Asuransi maupun
Undang-Undang Ketenagakerjaan semua menyatakan diutamakandidahulukan. Hal ini
kemudian dalam praktiknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerjaburuh.
Yang kedua, Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap bertentangan dengan pasal 28D ayat 2
karena berpotensi menimbulkan pelanggaran hak pekerja untuk memperoleh perlakuan yang adil dan layak secara hukum, yakni meskipun upah dan hak-
hak buruh dijamin dalam hal terjadinya pailit atau likuidasi perusahaan, namun posisi pekerja selaku kreditor preferen khusus menjadi rentan karena masih
menunggu pembayaran bagi kreditor separatis dalam hal terjadinya kepailitan. Dengan demikian salah satu pihak yang dijaminkan haknya selama proses
pailit yaitu para pekerjaburuh menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan
kerjanya. Atas permohonan ini, Mahkamah dalam amar putusannya mengabulkan
permohonan pemohon untuk sebagian, bahwa 1 Pasal 95 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai : pembayaran upah pekerjaburuh yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak
Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerjaburuh lainnya didahulukan atas semua
tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis. 2 Pasal 95
ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai : pembayaran upah pekerjaburuh yang terutang
didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh
Pemerintah, sedangkan
pembayaran hak-hak
pekerjaburuh lainnya
didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor
separatis. Apabila dilihat dari sejarah, filosofi dan asas-asas hukum kepailitan,
hukum kepailitan itu sendiri ada karena adanya perjanjian utang piutang antara debitor dan kreditor, dimana penyelesaiannya yang sulit mengakibatkan perlu
ada pengaturan penyelesaian pembayaran utang untuk melindungi debitor dan kreditor, oleh karena itu kepailitan menganut beberapa prinsip utama
penyelesaian utang debitor terhadap kreditornya secara merata untuk menciptakan keadilan.
Selain itu, menurut Sutan Remy Sjahdeini
9
, beberapa asas yang seyogyanya termuat dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu: Undang-Undang
Kepailitan harus dapat mendorong kegairahan Investasi Asing, mendorong Pasar Modal, dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar
9
Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. hlm. 42-43.
negeri; Undang-Undang Kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67PUU-XI2013 akan bisa menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pihak kreditor lain terutama kreditor
separatis yang notabene kebanyakan adalah investor. Hal tersebutlah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam terhadap dasar
putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon, serta implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
terhadap hak-hak buruh pada perusahaan pailit pasca judicial review ke dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul :
“IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67PUU-XI2013
TERHADAP HAK-HAK
BURUH PADA
PERUSAHAAN PAILIT PASCA JUDICIAL REVIEW”
B. Rumusan Masalah