Dama Bekerja Sebagai Pemulunng “Karena Ajakan Dari Orang Tua”

136 lubuk hati Aditya sangat tidak menginginkan pekerjaan menjadi seorang pengemis ini. Namun, ia tidak dapat melakukan apapun untuk melawan kehendak dari ibunya. Aditya dan Santika harus dengan terpaksa menjalani kehidupan menjadi seorang pengemis, rasa lelah yang mereka rasakan pun harus mereka tahan dan hilangkan. Sebagai seorang ibu, Dewi juga tidak menginginkan kedua anaknya tetap menjadi seorang pengemis. Kondisi keuangan dan perekonomian keluarganya yang membuat ia dan kedua anak-anaknya tidak dapat terlepas dari pekerjaan yang sedang mereka lakoni saat ini. Dewi sangat menyadari tidak selamanya mereka dapat menjalankan pekerjaan sebagai seorang pengemis, untuk saat ini biarkan mereka tetap bekerja sebagai pengemis. Rahasia pekerjaan mereka pun tidak selamanya dapat mereka tutupi kepada Yesi sang suaminya dan juga ayah dari kedua anak-anaknya. Sebelum Yesi mengetahuinya, Dewi berharap bahwa ia dan kedua anak- anaknya sudah berhenti menjadi seorang pengemis. Meskipun mereka tidak mengetahui kapan mereka dapat berhenti.

4.4.5 Dama Bekerja Sebagai Pemulunng “Karena Ajakan Dari Orang Tua”

Tahenesi berusia 49 tahun dan berprofesi sebagai tukang becak sudah lebih dari 20 tahun ini tinggal bersama isterinya bernama Lusi berusia 40 tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan keenam anakanya. Dimana anaknya terdiri dari empat anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak yang pertama laki-laki bernama Fa’anoseki berusia 20 tahun yang sedang mengecam pendidikan di suatu perguruan tinggi Swasta di Universitas Nomensen jurusan Teknik Sipil, anak kedua perempuan bernama Deminan berusia 18 tahun sudah menyesaikan pendidikan sampai pada tingkat sekolah menengah akhir. Anak ketiga juga perempuan bernama Maidaleha berusia 17 tahun yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, anak Universitas Sumatera Utara 137 keempat bernama Budirman berusia 15 tahun telah menyesesaikan pendidikan sampai pada tingkat sekolah menengah pertama saja dan berprofesi sebagai tukang becak. Anak kelima bernama Aporinus berusia 13 tahun yang sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan berprofesi sebagai pengamen. Anak Terakhir dari pasangan Tahenesi dan Lusi adalah Dama berusia 12 tahun duduk di bangku sekolah dasar yang berprofesi sebagai pemulung yang mencari botol-botol bekas air mineral. Keluarga Tahehesi tinggal di jalan Karya Jaya gang Eka Warni , kecamatan Medan Johor. Dengan menyewa rumah seharga Rp. 5.500.000.-tahun. Rumah keluarga Tahenesi bersama isterinya beserta anak-anaknya adalah rumah yang begitu sederhana,. Pemandangan di halaman rumahnya terlihat bahwa rumah ini masih dikatakan rumah papan yang berlantaikan semen. Sudah lebih dari 20 tahun keluarga ini tinggal di rumah ini. Rumah yang memiliki dua kamar, ruang tengah atau ruang tamu, dapur, dan sebuah kamar mandi kecil. Rumah dengan dua kamar tidur tentu saja tidak cukup untuk keenam anaknya. Tahenesi bersama isterinya tidur dalam satu kamar, dan untuk anak perempuan juga memiliki kamar tidur, sementara untuk anak laki-laki tidur di ruangan tengah rumah mereka, peraturan ini sudah lama Tehenesi tetapkan untuk anak-anaknya. Universitas Sumatera Utara 138 Gambar 10: Pemandangan di halaman rumah keluarga Tahenesi. Pemandangan di halaman rumah keluarga Tahenesi terlihat beberapa botol-botol bekas minuman yang mereka cari setiap harinya berserakan begitu saja. Karung-karung bekas yang berada di halaman rumah mereka juga berisikan botol-botol bekas tersebut. Keluarga Tahenesi bertempat tinggal di sebuah lingkungan yang dapat dikatakan sedikit kumuh. Dengan rumah satu dinding dengan rumah yang ada di sebelah kiri dan kanannya. Sudah lebih dari dua tahun keluarga Tahenesi bertempat tinggal di rumah yang sedang mereka tempati saat ini. Rumah ini sudah menjadi kenangan bagi keluarga Tahenesi semenjak menikah dengan isterinya sampai pada mereka mempunyai enam orange anak. Pekerjaan Tehenesi pada saat ini adalah sebagai tukang becak, dimana becak yang dia gunakan dalam mencari sesuap nasi adalah becak miliknya sendiri. Sebelum menjadi tukang becak, Tehenesi bekerja sebagai buruh bangunan, dengan pekerjaan yang tidak menentu dan Universitas Sumatera Utara 139 penghasilan yang rendah membuat dirinya merasa tidak mampu untuk mengcukupi dan membiayai kebutuhan keluarganya. Sebelum mampu membeli becak miliknya sendiri, Tahenesi menyewa becak kepada salah satu temannya, setiap hari pendapatan yang didapatkan oleh dirinya harus di bagi dua dengan pemilik becak tersebut. Setelah sekian lamanya menjadi tukang becak yang menyewa becak Tahenesi merasa dirugikan. Sehingga muncul dalam pikirannya untuk membeli becak agar pendapatannya tidak di bagi-bagi dengan yang lain. Tentu saja sangat sulit bagi Tehenesi untuk membeli sebuah becak, dengan kondisi perekonomian keluarganya membuat dirinya tidak mempunyai banyak uang untuk membelinya. Untuk biaya makan saja yang terpenuhi sudah sangat bahagia bagi keluarganya. Tehenesi tidak menyerah pada saat itu, dia terus berusaha dan bekerja untuk dapat membeli becak yang dinginkan oleh dirinya. Hingga pada suatu hari, Tehenesi berhasil mengumpulakan uang untuk dapat membeli becak dengan cara mengkredit atau mencicil becak itu kepada seorang rekanya. Hanya butuh sekitar enam tahun untuk mencicil becak tersebut. Hingga pada saat ini becak yang digunakan Tehenesi untuk mencari nafkah bagi keluarganya adalah becak miliknya sendiri, ia tidak perlu lagi membagi hasil pendapatannya kepada orang lain, kini ia bebas untuk mempergunakan hasil jerih payahnya untuk keluarganya sendiri. Tahenesi mempunyai isteri yang bernama Lusi, dimana isterinya bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga, yang tidak jauh dari rumah tepat mereka tinggal, Lusi bekerja sebagai pembantu sudah lebih dari lima belas tahun. Setelah beberapa tahun menikah dengan Tehenesi, keluarga ini memiliki masalah perekonomian, dimana Lusi sebagai ibu rumah tangga harus ikut serta bekerja untuk membantu suaminya dalam memenuhui kebutuhan-kebutuhan untuk anak- anaknya. Jika harus mengandalkan pendapatan hasil menarik becak tentu saja tidak cukup untuk memenuhui kebutuhan keluarganya. Pada akhirnya Lusi memutuskan untuk mencari pekerjaan, Universitas Sumatera Utara 140 untuk mencari pekerjaan tentu saja tidak mudah bagi Lusi, sebagai seorang ibu Lusi harus tetap menjaga dan merawat anak-anaknya yang pada saat itu masih tiga orang, Tahenesi sangat tidak menginginkan isterinya bekerja, tetapi keadaan keluarganya yang membuat ia tidak dapat menghalangi niat baik isterinya untuk mencari pekerjaan. Sebelum menjadi pembantu rumah tangga, Lusi ditawarkan oleh tetangganya untuk menjadi buruh cuci harian. Dimana jika ada panggilan mencuci, Lusi akan di panggil untuk mencuci di rumah seseorang yang ingin mencucikan pakaiannya kepada Lusi. Tetapi pekerjaan seperti ini jarang sekali ada, terkadang Lusi hanya di panggil mencuci hanya satu kali dalam seminggu bahkan dalam seminggu pun Lusi tidak mendapat pelanggan. Penghasilan yang didapatkan biasanya sekitar Rp 15.000 untuk sekali mencuci. Tentu saja dengan penghasilan seperti itu membuat Lusi tidak dapat membantu suaminya. Tetapi Lusi tetap berusaha untuk mendapatkan panggilan untuk mencuci. Katika Lusi mendapat panggilan mencuci, sang pelanggan bertanya kepadanya, apakah dia mempunyai seorang kerabat yang dapat bekerja sebagai pembantu di rumahnya. Hingga muncul dalam benak Lusi bagaimana jika dirinya saja yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Lusi tetap harus berdiskusi dengan suaminya Tehenesi mengenai pekerjaan yang ingin di lakoni olehnya. Karena masih mempunyai seorang bayi Tehenesi mencemaskan anak-anaknya, jika isterinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga siapa yang menjaga anak-anaknya. Menjadi suatu pertimbangan bagi Lusi untuk memilih anatara anak dan pekerjaan. Lusi terus berpikir bagaimana caranya agar dia tetap dapat menjaga anak-anaknya ketika harus bekerja. Akhirnya Lusi bertanya kepada Anni apakah sudah menemukan seorang pembantu rumah tangga yang akan bekerja di rumahnya. Sangat sulit mencari seorang pembantu rumah tangga yang jujur dan terpecaya. Karena hal ini , membuat Anni sangat kesulitan menemukan seorang pembantu Universitas Sumatera Utara 141 yang cocok dengan pilihanya. Anni juga menginginkan orang yang bekerja di rumahnya adalah orang yang ia kenal tetapi ia belum juga mendapatkannya. Dengan berani Lusi mempromosikan dirinya untuk dapat bekerja di rumah Anni, tanpa berpikir panjang akhirnya Anni mengizinkan Lusi untuk bekerja di rumahnya. Tetapi dengan persyaratan yang diberikan oleh Lusi, dia mengatakan bahwa jika dia bekerja di rumah Anni maka dia harus kembali kerumahnya dengan begitu Lusi tidak perlu tinggal rumah majikannya. Dengan persayaratan yang diberikan oleh Lusi akhirnya majikannya dengan senang hati menyetujuinya. Pada akhirnya Lusi mulai bekerja dari Pukul 08.00 wib – pukul 17.00 wib, jika pekerjaannya dapat diselesai dengan cepat maka Lusi dapat pulang kerumahnya lebih awal. Dengan bekerjanya Lusi menjadi seorang pembantu rumah tangga membuat dirinya tidak perlu merasa cemas kepada anak-anaknya, Lusi dapat membawa anak-anaknya kerumah majikannya. Terkadang anak-anaknya juga ia tinggalkan di rumahnya karena jarak rumahnya dari rumah majikanya tidak terlalu jauh sehingga Lusi dapat terus mengawasi dan menjaga anak-anaknya. Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan pokok keluarga Tehenesi semakin meningkat, dan harga sembako semakin hari semakin mahal. Fenomena ini membuat Tehenesi dan Lusi mengalami kesulitan untuk memenuhui kebutuhan primer dan skunder untuk anak- anaknya. Bertambah juga biaya pendidikan untuk anak-anak mereka sudah mulai memasuki dunia pendidikan. Dimana akan membutuhkan banyak uang untuk membeli peralatan sekolah yang berupa sepatu, tas, seragam, alat tulis, dan serta uang jajan setiap harinya untuk anak- anaknya. Tentu saja hal ini membuat Tehenesi dan Lusi mengalami kesulitan dengan perekonoman keluarganya. Hal ini akan membuat Tahenesi dan Lusi harus benar-benar bekerja keras untuk mendapatkan uang yang lebih banyak untuk anak-anaknya. Penghasilan sebagai tukang becak hanyak cukup untuk biaya makan isteri dan anak-anaknya untuk sehari-hari, dan Universitas Sumatera Utara 142 untuk gaji Lusi yang menjadi pembantu rumah tangga hanya mereka gunakan untuk membayar sewa rumah yang sedang mereka tempati saat ini. Tehenesi sudah mencoba mencari pekerjaan yang lain dan lebih banyak menghasilkan uang , namun dikarenakan Tahenesi adalah seorang tamatan sekolah dasar yang tidak mempunyai keterampilan dan keahlian dalam bidang apapun. Hal ini akan membuatnya kesulitan dalam mencari pekerjaan lain. Hingga pada suatu hari Tahensi dan Lusi berpikir untuk mencari pekerjaan tambahan sebagai pemulung yang mencari botol-botol bekas air mineral, dimana pada saat itu banyak rekan-rekanya bekerja seperti itu. Sehingga membuat kedua orang tua ini mencoba pekerjaan yang begitu mudah di lakukan oleh siapa saja tanpa harus memiliki keterampilan dan keahlian yang khusus. Pada akhrinya Tahenesi bekerja sebagai pemulung yang mencari botol-botol bekas air mineral dan tanpa meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang becak. Bekerja sebagai tukang becak hanya dikerjakan oleh Tehenesi pada pagi hari sampai siang hari , dan waktu selebihnya digunakan olehnya untuk mengumpulkan botol-botol bekas tersebut. Lusi juga diajak oleh suaminya untuk bekerja sebagai pemulung, dimana setiap hari Lusi ketika selesai mengerjakan pekerjaan di rumah majikannya, akan menyusul suaminya di tempat yang sudah mereka tentukan. Dengan pendapatan yang mereka dapatkan dapat memenuhui kebutuhan keluarga kembali. Penghasilan yang didapatkan dalam sebulan dapat mencapai Rp. 500.000, Tahenesi biasanya menggumpulkan hasil memulungnya dalam seminggu atau sebulan baru ia menjualnya kepada agen-agen yang menerima botol-botol bekas tersebut dengan harga jualnya Rp.1000kg. Dengan harga jual yang rendah membuat Tahenesi dan Lusi harus dapat mencari botol-botol bekas yang lebih banyak setiap harinya. Universitas Sumatera Utara 143 Gambar 11 : Becak Milik Tehenesi. Pada suatu hari, Tehenesi berpikir untuk mengajak anak-anaknya mencari botol-botol bekas, walaupun bersama isterinya sudah dapat memenuhui kebutuhan keluarganya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dimana anak-anaknya mulai tumbuh dan mulai memasuki pendidikan ke jenjang yang selanjutnya, biaya yang dibutuhkan pun akan semakin bertambah dan semakin tinggi. Meskipun awalnya Lusi menolak, jika anak-anaknya ikut serta dalam mencari botol-botol bekas. Tehenesi memberikan beberapa pandangan kepada isterinya, karena Lusi hanya mempunyai waktu sedikit untuk mencari botol-botol bekas tersebut, sementara jika anaknya ikut serta mencari maka waktu yang dimiliki akan lebih lama dan hasil botol-botol bekas tersebut pun akan banyak mereka dapatkan, karena anak-anak hanya akan mencari botol- botol bekas ketika pulang dari sekolah. Akhirnya Lusi juga menyetujui permintaan suaminya, tetapi dengan alasan anak perempuan tidak perlu ikut serta, karena anak perempuan akan rentan berada di jalan, apalagi tidak ada pengawasan dari kedua orang tua. Universitas Sumatera Utara 144 Pada akhirnya hanya anak laki-laki saja yang ikut turun ke jalan, Fa’anoseki sangat tidak menginginkan pekerjaan yang dilakoninya karena merasa lelah berjalan sekitar lima jam sehari untuk mencari botol-botol bekas, tetapi dengan bujukan dari kedua orang tua dia menjadi sedikit semangat dalam manjalani pekerjaannya.Fa’anoseki sangat mengingankan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sampai pada perguruan tinggi. Kedua orangtuanya berjanji bahwa akan melanjutkan pendidikan bagi dirinya asalkan dia giat dalam mencari botol- botol bekas, karena uang yang dia dapatkan akan di tabung untuk biaya pendidikannya kelak. Setelah sekian lama dan pada akhirnya Fa’anoseki menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah atas, dan sesuai dengan janji kedua orangtuanya kini dia sudah duduk di bangku kuliah jurusan Teknik Sipil di Universitas Nomensen. Karena ingin fokus dalam kuliahnya dia tidak lagi ikut serta mencari botol-botol bekas. Anak kempat dari pasangan Tehenesi dan Lusi, yaitu Budirman ketika diajak ikut serta dalam mencari botol-botol bekas dia sangat keras menolak, karena dia merasa akan lelah ketika berjalan dan memunguti botol-botol bekas di jalanan. Budirman termasuk anak yang pemalas dan tidak suka membantu kedua orang tuanya. Dari kelima saudaranya Budirman anak yang paling malas berangkat ke sekolah, dan sering membuat onar dan bolos selolah, anak ini tipe anak yang tidak suka dengan dunia pendidikan, yang dia inginkan hanya bermain-main di luar setiap hari tapi ketika diajak orangtuanya ke jalan menjadi seorang pemulung dia selalu menolak. Setelah dia tamat dari sekolah menengah pertama, dia tidak ingin melanjutkan pendidikannya lagi. Ketika dia memberitahukan kepada orang tuanya, Thahenesi dan Lusi sangat marah besar kepadanya. Karena setiap orang tua pasti menginginkan anaknya mendapat pendidikan yang lebih tinggi. Walaupun begitu Budirman tetap pada pendiriannya dan tidak mau melanjutkan pendidikannya. Orangtuanya pun tidak dapat melarang keinginan dari anak keempat mereka Universitas Sumatera Utara 145 tersebut. Pada akhirnya Budirman memilih menjadi seorang tukang becak, dimana becak yang dipakainya ia sewa dari tetangganya. Penghasilan yang didapatkan setiap harinya sekitar Rp.80.000.-harinya. Terkadang Budirman memberikan penghasilan yang didapatkanya kepada ibunya. Aporinus ketika diajak oleh kedua orangtuanya mencari botol-botol bekas, dia dengan senang hati mengikuti kemauan dari orang tuanya, setiap pulang sekolah Aporinus selalu di jemput oleh ayahnya dengan becak milik mereka, setelah selesai makan siang Aporinus langsung turun ke jalan untuk mencari botol-botol bekas yang akan mereka jual nantinya. Setiap hari Aporinus mendapatkan sekitar 3 – 4 karung botol-bolot bekas tersebut. Pada suatu hari Aporinus merasa lelah dalam mencari botol-botol bekas, dan hal ini disampaikannya pada kedua orangtuanya. Kemudian orangtuannya memberikan beberapa nasehat dan bujukan-bujukan agar dia tetap mau melakukan pekerjaan yang sedang mereka lakoni itu. Bujukan kedua orang tuanya berhasil membuat Aporinus tetap memulung. Ketika dia sedang mencari botot-botot bekas seperti biasanya dia melihat beberapa pengamen yang bekerja, dan akhirnya timbul dalam benaknya untuk berahli profesi dari pencari botol-botol bekas atau pemulung menjadi seorang pengamen. Dia menceritakan kepada kedua orang tuanya terhadap apa yang ia lihat dan juga dia mengatakan bahwa dia ingin berhenti jadi pemulung dan dia ingin menjadi pengamen saja. Kemudian ayahnya membelikan Gitar untuk Aporinus, yang digunakan untuk alat mengamen. Sampai saat ini Aporinus masih tetap menjalani Profesinya sebagai pengamen. Dimana dia mengamen dari lampu merah Simpang Rumah Sakit Siti Hajar, di jalan Dr.Masyur, dan juga sekitaran Universitas Sumatera Utara USU. Penghasilan yang didapatkankannya sekitar Rp. 80.000’-hari. Universitas Sumatera Utara 146 Aporinus sudah memasuki dunia remaja, memiliki kehidupan yang unik dan khas, dimana pola pengasuhan antara kedua orang tuanya yang mengajarkan kepadanya dan kepada lima saudaranya untuk dapat hidup secara mandiri dan dapat bekerja membantu perekonomian keluarganya, meski ada perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak perempuan biasanya selalu berada di rumah untuk membersikan dan menjaga rumah, memasak dan juga mencuci pakaian kotor, mereka sudah diajarkan untuk saling bekerja sama dan saling membantu satu sama lain. Anak laki-laki dari pasanagan Tahenesi dan Lusi selalu diajak untuk turun langsung ke jalan, berbeda dengan anak perempuan mereka selalu di rumah, dengan alasan bahwa anak perempuan sangat rentan berada di jalan, kerap kali anak perempuan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, untuk menghindari hal tersebut kedua orang tua Aporinus hanya mengizinkan anak-anak laki-laki saja yang bekerja di jalan. Ketika memasuki usia 7 tahun, dimana pada saat itu Aporinus baru saja duduk di bangku sekolah dasar, dirinya sudah mulai turun ke jalan bersama ayahnya untuk mencari botol-botol bekas, Aporinus harus merelakan masa bermainnya di sekolah ataupun di lingkungan tempat tinggalnya. Hampir setiap hari Aporinus bersama ayah dan ibunya menghabiskan waktu di jalanan untuk mencari botol-botol bekas, sepulang dari sekolah ayahnya sudah menjemput dirinya dan setelah selesai makan siang ia harus bergegas ke tempat pencarian botol-botol bekas tersebut. Sekitar lima jama dalam sehari Aporinus harus menghabiskan waktu hanya untuk mencari dan menggumpulkan botol-botol bekas. Aporinus kurang dalam berinteraksi di lingkungan sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya. ia bekerja mulai dari hari senin sampai hari jumat, sementara untuk hari sabtu mereka gunakan untuk membersikan botol-botol bekas yang mereka dapatkan sebelum di jualkan kepada agen-agen atau yang biasa di sebut toke. Sementara untuk hari minggu mereka gunakan untuk Universitas Sumatera Utara 147 waktu beribadah di gereja dan sesekali keluarga ini pergi untuk berlibur, seperti jalan-jalan ke kebun binatang, dan berenang. Hampir setiap hari rutinitas ini dilalui oleh Aporinus dan keluarganya. Tidak ada waktu untuk pergi bermain atau sekedar berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Aporinus di sekolah tidak memiliki prestasi yang dapat membanggakan kedua orang tuanya, dia tidak pernah mendapat rangking di kelas, ia terkadang sering tidak mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahnya,karena Aporinus tidak mempunyai waktu untuk mengerjakannya, ia sering di hukum oleh gurunya di sekolah. Aporinus termasuk anak yang jarang mendapatkan kasih sayang oleh kedua orang tuanya, semenjak dia kecil hanya di rawat dan di asuh oleh saudara perempuannya, karena pekerjaan ibunya sebagai pembantu rumah tangga dan juga sebagai pemulung membuatnya harus kehilangan sosok seorang ibu, karena ibunya terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga malam. Ketika ibunya kembali ke rumah Aporinus sudah terlelap dalam tidurnya, hal ini terus berlanjut hingga pada saat Aporinus harus ikut serta dalam bekerja di jalanan. Sosok seorang ayah juga sangat tidak pernah dirasakan oleh Aporinus, keluarganya seolah-olah hanya menghabiskan waktu di jalan demi mendapatkan uang untuk memenuhui kebutuhan – kebutuhan yang mereka butuhkan setiap harinya, demi untuk bertahan hidup keluarga ini harus bekerja keras, walaupun sudah menjadi hak dan kewajiban oleh kedua orang tua untuk memberikan segala kebutuhan anak-ankanya. Sepertinya hal ini tidak berarti bagi keluarganya, tidak perduli berada usia tetap saja seorang anak harus juga ikut membantu perekonomian keluarga. Setiap hari Aporinus harus mendapatkan sekitar 3 – 4 karung botol-bolot bekas tersebut, tentu saja untuk mendapatkan sebanyak itu tidak mudah bagi seorang anak seperti Aporinus yang berusia sekitar 7 tahun pada saat itu, dia merasa sangat lelah berjalan dari satu tempat ke tempat lain, hal ini membuatnya ingin berhenti dari pekerjaan seperti itu, tetapi dia hanya seorang anak Universitas Sumatera Utara 148 kecil yang taat kepada kedua orangtuanya. Meskipun ia sering mengeluh dan mengatakan kepada orangtuanya bahwa dia tidak ingin lagi bekerja seorang pemulung. Sering sekali Aporinus menyampaikan keluh kesahnya kepada orangtuanya, namun yang terjadi orang tuanya selalu membujuk dirinya untuk tetap bekerja sebagai sebagai pemulung botol-botol bekas. Sekitar tiga tahun Aporinus mencari dan mengumpulkan botol-botol bekas di jalanan, sudah banyak rintangan dan hambatan yang di lalui dan dihadapinya setiap hari. Setiap berada di jalanan Aporinus kelap kali mendapat bahaya dan ancaman dari orang yang sesama pencari botol-botol bekas yang mengancam dirinya agar tidak mencari botol-botol bekas di lokasi yang sama, walaupun hanya sebatas ancaman tetapi bagi seorang anak itu akan menjadi hal yang paling menakutkan dan bisa saja akan menganggu jiwa dan mental seorang anak, ketika Aporinus mengadu kepada orang tuanya. Aporinus bukanya mendapat belas kasihan tetapi orangtuanya selalu menyuruh agar dirinya tidak melawan dan pergi saja dari hadapan orang yang mengancam dirinya. Hal ini membuat Aporinus harus menuruti perkataan oleh kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya kerap tidak memperhatikan keselamatan bagi anak-anaknya, menurut orangtuanya anak merupakan aset yang paling berharga atau “mesin uang”. Memperkerjakan Aporinus di jalan tujuannya adalah untuk mendapatkan uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga untuk tetap dapat untuk bertahan hidup. Alasan orang tua Aporinus selalu karena merasa tidak berdaya untuk dapat memenuhui segala kebutuhan untuk anak- anaknya. Karena keterbatasan orangtuanya, seorang anak harus dapat membantu dengan suka rela. Aporinus tidak pernah menerima uang yang didapatkannya dari mencari botol-botol bekas tersebut, hanya ayah dan ibunya yang tau dimana tempat penjualan yang sudah menjadi Universitas Sumatera Utara 149 langganan keluarganya. Aporinus juga tidak pernah mengetahui berapa uang yang ia hasilakannya dari mencari botol-botol bekas tersebut. Selama tiga tahun Aporinus sudah menghabiskan waktu di jalanan, dia sudah dapat menyesuaikan dirinya bahkan melindungi dirinya agar tetap dapat bertahan di jalanan, sehingga membuatnya tidak perlu merasa takut akan bahaya dan ancaman yang akan di terimanya. Aporinus merasa bahwa dirinya sendiri yang mampu untuk menyematkannya dari segala ancama dan bahaya. Selama beberapa tahun ini Aporinus sudah mendapatkan temannya di jalanan, dimana temannya adalah bernama Wawan yang bekerja sebagai seorang pengamen. Mereka sering bertemu pada saat Aporinus mencari botol-botol bekas. Wawan sering bertanya kepada Aporinus kenapa tidak menjadi seorang pengamen saja, hanya dengan bernyanyi dengan gitar kecil saja dapat menghasikan uang yang lebih banyak. Daripada harus mencari dan mengkais tempat sampah untuk mendapakan botol-botol bekas. Aporinus terus memikirkan ajakan dari temannya itu, tetapi ia takut jika kedua orang tuanya tidak memberikan izin kepadanya untuk menjadi pengamen, karena selama ini ornag tua tidak pernah mendengarkan perkataan ataupun mengabulkan permintaannya. Aporinus harus tetap memikirkan bagaimana cara mengatakan kepada uang tuanya , dan juga harus mencari alasan yang tepat untuk menjadi seorang pengamen. Waktu terus berjalan dan pada akhirnya Aporinus memberanikan diri untuk mengatakan kepada orang tuanya, bahwa dirinya sudah merasa lelah untuk bekerja menjadi seorang pemulung yang mencari botol-botol bekas tersebut, dia juga mengatakan tidak akan mau lagi bekerja seperti itu. Orangtuanya terus membujuknya untuk tetap bekerja sebagai pencari botol-botol bekas. Aporinus tidak ingin kembali bekerja seperti itu, dan langsung mengatakan kepada orang tua bahwa dia ingin menjadi seorang pengamen. Aporinus mengatakan bahwa dia bertemu dengan seorang temannya yang bernama Universitas Sumatera Utara 150 Wawan yang bekerja sebagai pengamen dan lebih banyak mendapatkan uang dari hasil mengamennya. Ibu dan ayah Aporinus merasa cemas jika anak keempat mereka ini berhenti mencari botol-botol bekas penghasilan yang mereka dapatkan otomatis akan berkurang drastis. Karena Aporinus dalam sehari sering membawa pulang sekitar tiga karung besar botol-botol bekas. Tetapi kali ini Aporinus benar-benar tidak mau lagi bekerja sebagai pemulung, dan akhirnya kedua orangtuanya mengizinkannya untuk menjadi pengamen walaupun sebenarnya berat rasa orang tua memberikan izin kepada Aporinus. Tetapi karena tidak mempunyai pilihan lain akhirnya mereka memberikan izin. Kemudian ayahnya membelikan Gitar untuk Aporinus, alat yang digunakan untuk mengamen. Sampai saat ini Aporinus masih tetap menjalani Profesinya sebagai pengamen. Dimana dia mengamen dari lampu merah Simpang Rumah Sakit Siti Hajar, dijalan Dr.Masyur, dan juga sekitan Universitas Sumatera Utara USU. Penghasilan yang didapatkankannya sekitar Rp. 80.000’-hari. Bukan hanya Aporinus yang bekerja di jalan, adiknya bungsunya yang bernama Dama juga bekerja di jalanan. Dama pada saat ini berusia 12 tahun duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, sama seperti halnya dengan abangnya Dama juga mulai turun ke jalan pada usia 7 tahun, dengan pekerjaan yang berbeda-beda. Ketika pertama kali Dama turun ke jalan bekerja sebagai penyemir sepatu, Dama mendapatkan ide-ide untuk menyemir sepatu dari teman sekelasnya yang bernama Yogi. Dimana Yogi adalah teman sebangkunya mulai sejak pertama kali memasuki sekolah dasar, dan jarak antara rumah Dama dan Yogi tidak terlalu berjauh sehingga mereka selalu bersama ke sekolah dan juga bersama-sama bermain, mereka sudah dapat dikatakan sebagai seorang sahabat baik dan dekat. Universitas Sumatera Utara 151 Ketika Dama dilahirkan oleh Lusi, pada saat itu ibunya sudah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sehingga membuat Lusi hanya sekitar satu bulan untuk meminta cuti melahirkan kepada majikannya, setalah itu Lusi menyuruh kedua anak perempuanya untuk mengurus Dama. Karena rumah majikan dengan rumah mereka berdekatan. Sewaktu Dama bayi, Lusi sering membawa Dama ke rumah majikannya, dan setelah Dama sudah berumur satu tahun,Dama sering di tinggalkan di rumahnya dan di rawat oleh kedua saudara perempuannya. Ketika anak- anak perempuannya pergi ke sekolah Dama bersama Lusi, dan jika kedua kakak perempuan Dama sudah pulang dari sekolah maka akan di jemput oleh kakaknya untuk di bawa kerumah mereka, dan terkadang Lusi dapat pulang kerumahnya untuk sesaat saja melihat Dama. Seperti saudaranya Aporinus, Dama juga sering tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang sewajarnya dari orangtuanya, tumbuh kembang Dama tidak dalam asuhan ibunya Lusi. Pekerjaan double kedua orang tuanya membuatnya harus rela kehilangan dekapan seorang ibu. Namun itu semua tidak menghambat perkembangan Dama, semakin hari usia Dama pun bertambah, setelah Dama dapat berjalan dan berbicara, Lusi sering membawa Dama ke rumah majikannya, disana Dama juga dapat bermain-main. Tetapi hal itu membuat Dama merasa bosan kadang dia hanya tinggal di rumahnya sendirian sebelum kakaknya pulang dari sekolah, dan terkadang Dama datang sendirian ke tempat ibunya bekerja. Dama sudah dapat pergi sendiri kerumah majikan ibunya. Jika Dama bosan di rumah majikan ibunya dia biasnya pulang sendiri dan bermain dengan anak-anak seusianya yang berada di lingkungan tempat tinggalnya, Dama dan Yogi sudah lama berteman. Mereka kadang sering bermain bersama, hingga mereka memasuki masa sekolah, mereka selalu bersma pergi dan pulang ke sekolah Di sekolah Dama merupakan siswa yang pandai dan cerdas, hal terbukti dari dari kelas 1 sampai saat ini Dama selalu mendapat rangking di sekolahnya. Setiap kembali ke rumah dari Universitas Sumatera Utara 152 jalanan Dama tidak pernah lupa untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah PR yang diberikan oleh gurunya. Rasa lelahnya setelah selesai bekerja di jalanan tidak menghalanginya untuk tetap belajar. Kedua orang tuanya tidak pernah mempunyai waktu untuk belajar bersama Dama, di tambah lagi dengan keadaan orang tua yang hanya tamatan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, sehingga membuat orangtuanya tidak mengerti apa yang harus diajarkan kepada Dama. Hal ini membuat Dama harus belajar sendirian, ketika Dama tidak mengerti dengan pelajarannya terkadang dia bertanya dan meminta untuk diajarkan oleh kedua kakak perempuannya. Pertama kali Dama bekerja di jalanan, adalah menjadi seorang penyemir sepatu, dimana ia mendapat ajakan dari temannya yang bernama Yogi, hanya dengan bermodalkan sikat semir, dan cream untuk menyemir mereka mampu mendapatkan uang sebesar Rp.20.000harinya. Dama nyermir sepatu tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, agar ia tidak tersesat ketika pulang kerumahnya. Kedua orangtuanya mengetahui dan memberikan izin kepada Dama, uang yang di hasilkan Dama dari menyemir sepatu selalu ia berikan kepada ibunya. Dama bekerja sebagai penyemir sepatu tidak menentu, terkadang tiga atau empat kali dalam seminggu. Dia pergi menyemir sesuka hatinya saja. Pekerjaannya sebagai penyemir sepatu tidak bertahan lama, karena menurut Dama jarang ada orang yang ingin menyemirkan sepatu kepadanya,dalam sehari terkadang Dama tidak mendapatkan pelanggan dan keadaan ini membuatnya menjadi malas untuk bekerja sebagai peyemir sepatu. Semenjak Dama berhenti bekerja sebagai penyemir sepatu, orangtuanya menyuruhnya untuk ikut serta dengan abangnya dalam mencari botol-botol bekas. Ia kerap kali menolak permintaan orangtuanya tersebut, karena abangnya Aporinus selalu mengatakan kepadanya bahwa mencari botol-botol bekas itu sangat melelahkan, dan juga sering mendapatkan ancaman Universitas Sumatera Utara 153 ketika berada di jalan. Hal ini membuat Dama sangat ketakutan untuk turun ke jalan. Setelah beberapa tahun kemudian, setelah abangnya Aporinus bekerja sebagai pengemen, dan mendapatkan uang dari hasil mengemaen mencapai Rp.50.000 hari. Dama sangat tertarik dan ingin ikut serta dengan abangnya untuk bekerja sebagai pengamen. Hal ini langsung ia katakan kepada kedua orangtuanya, dan langsung memenuhui permintaan Dama untuk menjadi seorang pengamen. Esok harinya, ayahnya Tahenesi memberikan gitar kecil yang akan digunakan alat untuk mengamen yang sama seperti gitar milik Aporinus. Pada akhirnya Dama menjadi seorang pengamen, ia dan bersama abangnya Aporinus selalu bersama-sama untuk mengamen, dalam sehari masing-masing dari mereka dapat menghasilkan uang sebesar Rp. 50.000. Uang yang didapatkan Dama selalu ia berikan kepada ibunya, dan terkadang Dama mengunakan uang yang ia hasilkan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri. Walaupun Dama bekerja sebagai pengamen tetapi tidak merubah dirinya menjadi seorang anak yang pemalas untuk pergi ke sekolah, ia tetap mendapat rangking di sekolah dan selalu belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah PR setiap pulang dari pengemen. Hanya sekitar dua tahunan Dama melakoni pekerjaan sebagai pengemen. Selama menjadi pengamen Dama sering mendapatkan kekerasan atau ancaman dari sesama anak jalanan yang juga berprofesi sebagai pengamen. Hal ini membuat Dama merasa tidak nyaman dan aman ketika menjadi seorang pengemen dan akhirnya ia memutuskan untuk berhenti menjadi pengamen. Dama merupakan anak mudah merasa bosan dengan pekerjaannya. Ketika ia memberitahukan kepada orangtuanya ia tidak ingin lagi menjadi seorang pengamen karena ia sering mendapat perlakuan yang tidak baik ketika sedang mengamen, dan terkadang juga ia dipalak oleh orang yang lebih tua darinya. Universitas Sumatera Utara 154 Orangtuanya tidak dapat memaksakan kehendak mereka terhadap Dama, karena alasan Dama untuk berhenti karena ia merasa takut kepada orang-orang yang sering mengancam jiwa dan keselamatannya. Orang tua pasti tidak menginginkan hal-hal buruk menimpa anak-anaknya. Dama masih butuh proses untuk dapat menghilangkan pikiran buruknya terhadap jalanan, karena tidak selamanya berada jalanan itu dapat membahayakan, jalanan juga terkadang banyak memberikan keuntungan bagi siapa pun yang ingin bekerja. Sudah beberapa bulan Dama meninggalakan kehidupan jalanan, ia hanya banyak menghabiskan waktu di rumahnya dan di sekolah. Keadaan ekonomi keluarganya pada saat itu pun semakin sulit, dikarenakan Aporinus sudah tidak ikut serta lagi dalam mencari botol-botol bekas, sehingga berdampak terhadap penghasilan orangtuanya. Karena semakin sedikit botol-botol bekas yang mereka dapatkan maka akan sedikit pula penghasilan yang akan mereka dapatkan. Hal ini sangat dikhawatirkan oleh kedua orang tua Dama, keadaan seperti ini akan membuat orangtuanya menjadi sulit untuk memenuhi segala kebutuhan – kebutuhan yang diperlukan oleh anak-anak mereka. Meskipun penghasilan yang didapatkan Aporinus selalu diberikan kepada ibunya, pendapatan dari menarik becak juga tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Gaji dari pekerjaan Lusi sebagai pembantu rumah tangga juga tidak pernah mereka gunakan untuk membiayai kebutuhan- kebutuhan keluarganya. Dari awal Lusi dan Tahenesi sudah bersepakat untuk menabung gaji Lusi yang digunakan untuk biaya kontrak rumah yang sedang mereka tempati saat ini. Untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi keluarganya Tahenesi mengusulkan agar Dama ikut serta dalam mencari botol-botol bekas, karena penghasilan yang mereka dapatkan dari memulung botol-botol bekas tersebut cukup tinggi. Universitas Sumatera Utara 155 Dengan bujukan dan rayuan kedua orangtuanya akhirnya Dama menyetujui permintaan oleh kedua orangtuanya untuk bekerja sebagai pemulung botol-botol bekas. Dama bekerja dari hari Senin hingga hari Jumat, mereka tidak memulung di hari Sabtu, dikarenakan anak-anak dari Tahenesi harus membersikan botol-botol bekas tersebut sebelum di jual kepada toke yang sudah menjadi langgan keluarga Tehenesi. Sementara untuk hari Minggu keluarga Tehenesi beribadah di gereja mereka. Setiap pulang dari sekolah Dama selalu di jemput oleh ayahnya di sekolah agar mereka sama-sama menuju tempat pencarian botol-botol bekas tersebut. Sebelum terjun ke jalanan Dama biasanya makan siang terlebih dahulu, dan setelah selesai ia pun bergegas mencari botol-botol bekas tersebut. Biasanya Dama memakai celana sekolah dan membawa baju ganti, Dama tidak sempat pulang kerumahnya untuk mengganti pakainnya karena akan memakan waktu yang lama untuk sampai pada lokasi pencarian botol-botol bekas tersebut. Gambar 12 : Dama yang merupakan pemulung botol-botol minuman bekas. Universitas Sumatera Utara 156 Dari pukul 13.30 sampai pukul 17.00 waktu yang Dama gunakan untuk mencari botol- botol bekas tersebut, lebih dari lima jam waktu Dama berada di jalanan, dan setiap hari Dama harus mendapatkan tiga sampai empat karung botol-botol bekas tersebut. Lokasi tempat Dama memulung berada di Universitas Sumatera Utara. Dama dalam sehari harus mejelajah Fakultas- fakultas yang ada di USU, alasan Dama memilih lokasi ini dikarenakan karena akan banyak botol-botol bekas yang berada disana, banyaknya mahasiswa yang ada di USU membuat akan banyak botol-botol bekas minuman yang dibuang. Dama harus mengkais tempat – tempat sampah dan mengambil botol-botol bekas yang ada di hadapannya. Setiap berada di jalan Dama selalu merasa keselamatannya terancam, dimana banyak teguran dari sesama pemulung yang melarang dirinya agar tidak memulung di tempat yang biasa ia datangi. Setiap kejadian yang dialami oleh Dama selalu ia ceritakan kepada orangtuanya, Dama selalu di suruh oleh orangtuanya agar sama sekali tidak melawan, jika ada yang menganggu keselamatanya di jalan Dama selalu pergi tanpa melawan. Dama juga tidak akan kembali lagi ketempat yang sama. Setelah berbulan-bulan Dama menjalani hidup sebagai pemulung, ia terkadang merasa lelah jika harus berjalan sambil memunguti botol-botol bekas tersebut. kedua orangtuanya selalu memberikan dukungan dan semangat untuk Dama agar tetap bertahan dalam melakukan pekerjaannya. Kedua orangtuanya, mengatakan kepada Dama tentang kondisi perekonomian keluarganya, jika Dama tidak ikut serta dalam mencari botol-botol bekas, maka keluarganya tidak akan dapat makan dan minun, untuk menyekolahkan dirinya pun orang tua tidak akan mampu. Jika Dama berhenti menjadi pemulung akan membuat kedua orang tuanya tidak mampu membiayai sewa rumah yang sedang mereka tempati saat ini, jika orangtuanya tidak dapat membayar sewa rumah yang mereka tempati saat ini dan bisa saja keluarganya akan tinggal di Universitas Sumatera Utara 157 kolong jembatan. Tentu saja sebagai seorang anak Dama benar-benar takut jika ia tidak dapat bersekolah lagi, dan tidak mempunyai rumah untuk tepat tinggal keluarganya. Hal ini membuat Dama menjadi semakin semangat untuk bekerja menjadi pemulung botol-botol bekas tesebut, karena ia tidak ingin berhenti sekolah, dan juga ingin membantu kedua orang tua agar tetap dapat bertahan hidup. Penghasilan dari botol-botol bekas ini lumayan tinggi sehingga membuat perekonomian keluarga Tahenesi semakin membaik. Setiap hari Dama harus mencari dan mengumpulkan botol-botol bekas lebih banyak lagi agar pendapatan yang ia hasilanya semakin tinggi dan dapat untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dama tampak semangat dalam dalam mencari dan mengumpulakan botol-botol bekas yang biasa ia cari, belakangan ini Dama hanya menghabiskan waktu di jalanan hampir setengah waktu yang di milikinya hanya berada di jalanan. Tidak ada lagi masa-masa bermain yang dimiliki oleh Dama yang ia punya hanya waktu untuk bekerja, ia harus tetap berjuang dengan seluruh tenaganya untuk mendapatkan botol-botol bekas. Di dalam pikiran Dama apapun yang terjadi ia harus tetap berusaha agar keluarganya tidak merasa kekurangan sedikit pun, dan agar saudara-saudaranya dapat melanjutkan pendidikan. Tidak perduli panas terik matahari, dan hujan yang membasahi bumi, ia akan tetap bekerja mencari botol-botol bekas sebanyak-banyaknya agar mendapatkan uang yang lebih banyak yang digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan untuk keluarganya. Dama tidak pernah menikmati hasil dari jerih payahnya dalam mencari botol-botol bekas tersebut. Ia hanya ditugaskan oleh orangtuanya untuk mencari dan mengumpulkan. Sampai saat ini Dama juga tidak mengatahui dimana kedua orang tuanya menjual botol-botol bekas yang ia dapatkan itu. Bukan hanya Dama yang mencari dan mengumpulkan botol-botol bekas tersebut tetapi juga kedua orangtuanya, Dama yang lebih banyak menghabiskan waktu mencari dan Universitas Sumatera Utara 158 mengumpulkan daripada kedua orangtuanya. Ayahnya hanya mengantarkan Dama di lokasi tempat ia memulung setelah itu ayahnya pergi untuk mencari sewa dengan becak milik Tahenesi, dan setelah sekitar dua jam kemudian ayahnya kembali ketempat Dama memulung. Tidak setiap hari ayahnya mencari dan mengumpulkan botol-botol bekas tersebut, terkadang ayahnya hanya menjaga botol-botol bekas yang sudah didapatkan Damat karena merasa takut jika ada orang lain yang mencurinya. Begitu juga dengan Lusi, ia hanya datang ketika pekerjaannya di rumah majikan sudah selesai, biasanya Lusi datang pada pukul 16.00 Wib. Terkadang Lusi juga mencari dan mengumpulkan botol-botol bekas tersebut dalam dua jam saja, Lusi mengunakan waktu yang ia miliki dengan sebaik-baiknya. Walaupun hanya dua jam saja, Lusi terkadang dapat menghasilkan dua karung besar botol-botol bekas tersebut. Dalam sehari mereka dapat membawa sekitar lima sampai tujuh kalung besar. Penjualan botol-botol bekas tersebut hanya dalam sebulan sekali dan penghasilan yang keluarga Tahenesi dapatkan mencapai Rp.600.000 – Rp.800.000bulan. Penghasilan dari penjualan botol-botol bekas ini tergantung berapa banyak yang dapat mereka dapatkan dan kumpulkan. Seperti itu kegiatan yang dilakukan oleh keluarga Tahenesi setiap harinya. Mereka tidak pernah mengenal lelah untuk tetap bekerja. Apupun rintang dan hambatan yang dialami oleh Dama ia hanya akan tetap bekerja semampunya. Semakin hari Dama merasa bahwa pekerjaannya sangat menyenangkan, dia lebih banyak mengenal dan belajar bagaimana kehidupan jalanan yang sebenarnya. Ia pun tidak pernah merasa takut lagi jika harus bekerja di jalanan. Sudah hampir lima tahun Dama berada di jalanan, mulai dari menjadi penyemir sepatu, pengamen, dan sekarang menjadi seorang pemulung botol-botol bekas . Ia tetap merasa bangga Universitas Sumatera Utara 159 kepada orangtuanya walaupun hanya memiliki pekerjaan sebagai tukang becak dan pembantu rumah tangga, dan juga sebagai pemulung seperti dirinya. Kini alasan utama Dama bekerja sebagai pemulung semata-mata hanya untuk membantu perekonomian keluarga. Dama juga ingin tetap melanjutkan pendidikannya, karena ia mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang TNI. Ia harus dapat mencapai cita-cita walaupun harus bekerja sebagai pemulung botol-botol bekas. Dengan bekerja sebagai seorang pemulung yang dapat menghantar Dama untuk dapat meraih cita-citanya. Kedua orangtuanya sudah memberikan janji kepadanya untuk berusaha agar dapat mewujudkan cita-cita. Namun, untuk keluarga Tahenesi harus saling membantu dan bekerja sama dalam bekerja agar dapat menghasilkan uang yang cukup untuk biaya hidup dan biaya pendidikan untuk anak-anaknya. Keluarga Tahenesi hanya mampu bekerja di jalanan, mereka tidak mempunyai pekerjaan lain yang harus mereka kerjakan. Meskipun pekerjaan keluarganya hanya sebagai pemulung, mereka tetap dapat untuk bertahan hidup sampai saat ini. Oleh karena itu, Tahenesi mengharapkan keluarganya tetap mencintai apapun pekerjaan yang mereka lakoni. Universitas Sumatera Utara 160 BAB V PENUTUP

5.1 KESIMPULAN