BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tulang Alveolar
Prosesus alveolaris merupakan bagian dari tulang rahang yang menopang gigi geligi. Tulang dari prosesus alveolaris ini tidak berbeda dengan tulang pada bagian
tubuh lainnya. Tulang ini mempunyai bidang fasial dan lingual dari tulang kompak yang dipisahkan oleh trabekulasi kanselus. Tulang konselus ini terorientasi di sekitar
gigi untuk membentuk dinding soket gigi atau lamina kribosa. Lamina kribosa ini terperforasi seperti saringan sehingga sejumlah besar hubungan pembuluh vaskular
dan saraf dapat terbentuk di antara ligamen periodontal dan ruang trabekula .
.
6
Tulang alveolar terus menerus mengalami remodeling sebagai respons terhadap stress mekanis dan kebutuhan metabolisme terhadap ion fosfor dan kalsium.
Pada keadaan sehat, remodeling prosesus berfungsi untuk mempertahankan volume keseluruhan dari tulang dan anatomi keseluruhan relatif stabil.
6
Gambar 1. Gambaran radiografi normal puncak tulang alveolar.
7
Universitas Sumatera Utara
Tinggi puncak alveolar terbentang kira-kira 0,5-2 mm di bawah CEJ cemento enamel junction
gigi yang bersebelahan.
7,8
Pada gigi posterior letak puncak alveolar sejajar dengan garis yang penghubung CEJ yang berdekatan, sedangkan pada gigi
anterior, puncak alveolar biasanya berupa titik dan memiliki korteks yang baik. Batas kortikal puncak tulang alveolar yang masih memiliki mineralisasi yang baik
mengindikasikan tidak terjadi aktifitas penyakit periodontal. Bagaimanapun, kurangnya mineralisasi puncak alveolar, bisa juga ditemukan pada pasien yang
memiliki periodontitis atau tanpa periodontitis.
7
Gambaran normal puncak tulang alveolar secara radiografi terllihat bagian apikal berada pada cemento enamel junction
dari gigi dengan bentuk membulat kemudian datar pada ujungnya. Pada daerah insisal, puncak tulang alveolar terlihat tajam dan secara keseluruhan bersambung
dengan lamina dura.
9
2.2 Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal yang sering terjadi berupa kondisi inflamasi kronis yang berpengaruh terhadap jaringan pendukung gigi.
10,11
Penyakit periodontal mudah terjadi pada perokok, orang tua, individu dengan tingkat pendidikan yang rendah,
kesehatan gigi yang buruk, destruksi periodontal sebelumnya, dan penyakit sistemik seperti diabetes dan inveksi HIV.
7
Etologi dari penyakit periodontal ini terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor – faktor primer dan faktor – faktor sekunder. Faktor
primer dari penyakit periodontal ini adalah iritasi bakteri, sedangkan faktor sekunder dari penyakit periodontal terbagi lagi menjadi lokal dan sistemik. Pada faktor lokal
yaitu lingkungan gingiva yang merupakan predisposisi dari akumulasi deposit plak dan menghalangi pembersihan plak. Sedangkan pada faktor sistemik berupa hospes
yang dapat memodifikasi respons gingiva terhadap iritasi lokal.
6
Klasifikasi dari penyakit periodontal ini terdiri dari gingivitis yang diinduksi oleh plak dan gingivitis yang tidak diinduksi oleh plak, periodontitis kronis lokalisata
dan periodontitis kronis generalisata, periodontitis agresif lokalisata dan periodontitis agresif generalisata, periodontitis yang dimanifestasikan oleh penyakit sistemik yang
berupa periodontitis nekrosis, abses pada jaringan periontal, periodontitis yang disebabkan oleh lesi endodontik.
11,12
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Rekomendasi Pemeriksaan Radiografi pada Status Periodontal
10
Kasus Rekomendasi
Pasien yang diperiksa secara klinis dengan indikasi yang
memang dibutuhkan untuk pemeriksaan seluruh gigi dan
jaringan pendukung periodontal.
Pemeriksaan seluruh gigi dan status tulang alveolar dapat menggunakan :
• Hanya mengoptimalkan kualitas radiografi
panoramik. •
Mengoptimalkan kualitas radiografi panoramik dengan tambahan radiografi
periapikal melihat keadaan status klinis. •
Menggunakan radiografi periapikal. Menentukan teknik yang digunakan, bergantung
pada situasi klinis, kualitas gambar, dan berlandaskan pada dosis yang akan diterima.
Dicurigai adanya lesi periodontal endodontik.
Indikasi menggunakan radiografi periapikal
Kasus spesifik periodontal : pasien dengan kedalaman saat
probing kurang dari 3-4 mm Kedalaman tingkat probing mengindikasikan bahwa
periodontal dalam keadaan sehat. Penggunaan radiografi tidak dianjurkan untuk melihat status
tulang alveolar pada situasi ini. Kasus spesifik periodontal :
pasien dengan tingkat kedalaman probing 4 – 5 mm.
Pemeriksaan tingkat kerusakan tulang akan lebih akurat dengan radiografi horizontal bitewing untuk
prosedur pemeriksaan karies, ditambah oleh radiografi periapikal pada gigi tertentu yang dilihat
pada situasi klinis. Kasus spesifik periodontal:
pasien dengan tingkat kedalaman probing 6 mm
Menggunakan radiografi vertikal bitewing, ditambah dengan radiografi periapikal untuk gigi anterior.
Penyakit periodontal ini secara radiografi akan terlihat adanya lesi inflamasi pada tulang alveolar. Perubahan yang terjadi ini dapat dibagi menjadi perubahan
Universitas Sumatera Utara
secara morfologi jaringan pendukung tulang alveolar dan kepadatan densitas internal dan bentuk trabekula dari tulang alveolar.
7
Penyakit periodontal ini dapat mengubah gambaran morfologi tulang dengan terjadinya pengurangan ketebalan tulang. Pengurangan ketebalan tulang ini berupa
kerusakan tulang alveolar dan badan tulang dievaluasi melalui besarnya tulang alveolar dan ketebalan tulang yang tersisa.
12
Pengukuran penurunan tulang alveolar ini dimulai dari puncak tulang alveolar atau ABC alveolar bone crest ke cemento
enamel junction kemudian dikurangi 1 – 2 mm untuk menunjukkan adanya
kehilangan tulang. Metode yang digunakan untuk melakukan pengukuran penurunan tulang alveolar adalah metode Proksimal RABL resorbtion of alveolar bone loss
yang didefinisikan sebagai cacat tulang sekurangnya 2 mm dari CEJ dan puncak alveolar.
13
Gambar 2. Diagram dari radiografi kehilangan tulang alveolar.
13
Hasil dari perhitungan jarak antara CEJ dan ABC Alveolar Bone Crest pada radiografi bitewing lebih mendekati perhitungan klinis jika dibandingkan
dengan radiografi periapikal. Pada radiografi periapikal perhitungan jarak antara ABC dan CEJ kekurangannya dari perhitungan kehilangan tulang secara klinis sekitar
10 dan pada radiografi bitewing kekurangannya dari perhitungan kehilangan tulang secara klinis sekitar 6.
14
Penelitian Gedik et al juga memperlihatkan bahwa
A B
C
Universitas Sumatera Utara
radiografi bitewing lebih mendekati perhitungan klinis jika dibandingankan dengan radiografi periapikal.
5
Tingkat kerusakan tulang terbagi menjadi 3 yaitu ringan, sedang dan berat. Untuk kategori ringan kehilangan tulang pendukung terjadi sekitar
1 – 2 mm . kategori sedang terjadi kehilangan lebih dari 2 mm bahkan dapat terjadi kehilangan tulang sebesar setengah dari tulang pendukung normal, dan untuk kategori
berat yang terjadi adalah kehilangan tulang sudah melebihi dari kategori ringan dan sedang.
7
Pada pemeriksaan klinis untuk kehilangan tulang dengan kategori ringan kehilangan tulang yang terjadi 1- 2 mm, sedang 3- 4 mm, dan berat lebih besar dari 5
mm.
12
2.2.1 Pola kerusakan tulang secara horizontal
Pola kerusakan tulang secara horizontal ini merupakan pola yang paling sering muncul pada penyakit periodontal. Pada pola ini mengalami penurunan
terhadap tinggi tulang, namun margin dari tulang tersebut kira – kira tetap tegak lurus pada permukaan gigi.
7,15
Namun, pada tulang bagian interdental, labialfacial, dan lingual derajat kerusakannya tidak sama pada setiap bagian.
7,16
Kehilangan tulang secara horizontal ini dapat diklasifikasikan dengan ringan, sedang, atau berat
tergantung dengan luasnya kerusakan yang terjadi.
7
Pada klasifikasi kehilangan tulang horizontal ringan, kehilangan tulang yang terjadi sekitar 1-2 mm pada tulang pendukung, untuk
klasifikasi sedang kehilangan tulang yang terjadi lebih besar dari 2 mm sampai dengan hilangnya setengah tinggi tulang pendukung, dan untuk klasifikasi berat
kehilangan tulang yang terjadi melebihi dari klasifikasi ringan dan sedang.
7
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Kehilangan tulang secara horizontal pada regio anterior A pada regio posterior B
7
2.2.2 Pola kerusakan tulang secara vertikal
Kehilangan tulang secara vertikal merupakan sebuah lesi tunggal yang terlokalisir pada satu gigi. Bentuk tulang yang tersisa pada pola kerusakan tulang
secara vertikal ini biasanya menampilkan angulasi miring ke garis khayal yang menghubungkan CEJ gigi yang rusak ke gigi tetangganya. Pada awal terbentuknya
pola kerusakan secara vertikal ini, akan terlihat pelebaran abnormal dari ruang ligamen periodontal di puncak tulang alveolar. Seringkali kerusakan vertikal sulit
atau tidak mungkin untuk dikenali pada gambaran radiografi karena satu atau kedua lapisan tulang kortikal superimpose dengan kerusakan.
7
A B
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.A dan B merupakan gambaran
kerusakan tulang alveolar secara vertikal.
7
2.3 Tatalaksana Kerusakan Tulang
Perawatan penyakit periodontal secara tradisional yaitu menjaga oral hygine, scalling, root planing pada permukaan gigi dan menghilangkan faktor – faktor lain
yang dapat mengakibatkan penyakit periodontal secara perlahan.
17
Tujuan dari perawatan kerusakan tulang ini adalah untuk menghilangkan lesi periodontal, untuk mendapat bentuk jaringan yang memungkinkan penderita
melakukan kontrol plak yang efisien, dan untuk mendapat pembentukan tulang, menambah perlekatan gigi dan memperbaiki dukungan terhadap gigi. Terdapat tiga
pilihan perawatan yang dapat dilakukan :
6
1. Membentuk tulang sehingga setelah pemulihan dan remodeliing, bentuk
tulang alveolar yang terjadi memungkinkan dilakukannya tindakan pembersihan mulut yang efektif.
2. Upayakan mengisi daerah tulang yang cacat. Ini dapat diperoleh dengan atau
tanpa bonegraft. 3.
Usahakan agar mendapat perlekatan jaringan ikat yang baru. Namun, upaya ini hanya dapat diperoleh melalui teknik regenerasi jaringan yang terarah.
Osteoplasti merupakan istilah yang digunakan untuk memperbaiki bentuk tulang
yang tidak langsung melekat pada gigi. Osteotomi adalah pemotongan tulang yang langsung berperan sebagai pendukung gigi. Pada banyak kasus, osteoplasti dan
osteotomi ini dilakukan secara bersama – sama. Hal ini dapat dilakukan dengan
A B
Universitas Sumatera Utara
carapemotongan tulang, lalu fragmen tulang tersebut dapat digunakan untuk mengisi cacat tulang.
6
Kuretase untuk mengisi tulang merupakan sebuah langkah berupa pembersihan seluruh jaringan inflamasi dari daerah kerusakan tulang. Prosedur yang
paling sering dilakukan saat kuretase ini adalah penghilangan daerah kerusakan tulang dengan cara memperbaiki bentuknya , oleh karena itu pada situasi dimana ada
keraguan tentang cara perawatan yang cocok untuk cacat tulang, posisi lesi dapat digunakan untuk menentukan cara perawatan yang dilakukan.
6
Bonegraft merupakan usaha untuk mengisi daerah cacat tulang dan
mendapat perlekatan kembali dengan kuretase sederhana dari daerah kerusakan tulang merupakan prosedur yang kurang dapat diandalkan dan sudah cukup banyak
tipe bahan bonegraft. Bahan dari bonegraft dapat dikelompokkan menjadi empat tipe umum yaitu, autograft dimana tulang diambil dari individu yang sama, alograft
dimana tulang diambil dari individu dengan jenis spesies yang sama, xenograft dimana tulang diambil dari spesies yang berbeda, diawetkan dengan etilen diamin
untuk menghilangkan fraksi organik dan antigenetik, lalu graft dari bahan pengganti tulang dan bahan sintesis, bahan yang paling sering digunakan untuk tujuan ini adalah
hidroksiapatit sintesis seperti periograft atau darapatite.
6
2.4 Radiografi Intra Oral