Sumber Bahasa Indonesia BAB 1 Latar belakang bahasa indo

resmi,secara tertulis misalnya surat-menyurat dalam kedinasan,lamaran pekerjaan,undang- undang,dan sebagainya,sedangkan secara lisan seperti pidato kenegaraan,khotbah,dan sebagainya. Anjuran pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus kita lakukan dengan sungguh-sungguh,sebab kelangsungan hidup bahasa indonesia ada ditangan kita.Maka dari itu melalui makalah ini kami ingin menyampaikan sejarah tentang perkembangan bahasa,khususnya bahasa Indonesia dan standarisasinya. B. Perumusan Masalah Untuk memudahkan Pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sesuai dengan latar belakang diatas yakni sebagai berikut: 1. Bahasa apa yang menjadi sumber bahasa Indonesia ? 2. Apa fungsi bahasa ? 3. Bagaimana proses peresmian nama bahasa Indonesia ? 4. Peristiwa-peristiwa penting apakah yang berkaitan dengan bahasa indonesia ? 5. Apa itu bahasa baku ? 6. Apa fungsi pembakuan bahasa ? 7. Apa saja ciri bahasa Indonesia baku ? C. Tujuan 1. Mengetahui bahasa apa yang menjadi sumber bahasa Indonesia 2. Mengetahui fungsi bahasa 3. Mengetahui proses peresmian nama bahasa Indonesia 4. Mengetahui peristiwa penting yang berkaitan dengan bahasa Indonesia 5. Menjelaskan definisi bahasa baku 6. Mengetahui fungsi pembakuan bahasa 7. Mengetahui ciri bahasa Indonesia baku BAB II PEMBAHASAN

A. Sumber Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi , yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern . Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari 2 wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek o sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam. Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu- Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri- negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama. Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu suku Melayu Minangkabau yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna. Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat o seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini. Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia Hujung Medini dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka Semenanjung Malaysia yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat e. Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn Kendayan, dan Dayak Iban yang semuanya berlogat a seperti bahasa Melayu Baku. 3 Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara. Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu Melayu TuaMelayu Polinesia dan Deutero Melayu Melayu Muda. Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius Muslim yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis. M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: Melayu secara puak etnis, suku, bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu. Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu sebagai bahasa Melayu Kuna sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta , suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon . Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi. Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik classical Malay atau medieval Malay. Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka , yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi . Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera , Jawa , dan Semenanjung Malaya . Laporan Portugis , misalnya oleh Tome Pires , menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi , sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi 4 seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang. Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi misalnya dalam upacara dan kemiliteran, dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini. Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong. Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang MelayuMelaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di dunia timur”.Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis , bahasa Tionghoa , maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado , Ambon , dan Kupang . Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia . Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu sejak akhir abad ke-19. ] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa. Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor pecahan Kesultanan Melaka menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas. Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa 5 ini dapat dikatakan sebagai lingua franca , tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman Bahasa Melayu mulai di pakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M Palembang, , Talang Tuwo berangka tahun 684 M Palembang, Kota Kapur berangka tahun 686 M Bangka Barat, dan Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi berangka tahun 688 M Jambi Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah Gandasuli juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa yang digunakan di dalam buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku maupun sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang di gunakan terhadap para pedagang asing. Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen I-Tsing:63,159, Kou-luen I-Tsing:183, K’ouen-louen Ferrand, 1919, Kw’enlun Alisjahbana, 1971:1089. Kun’lun Parnikel, 1977:91, K’un-lun Prentice, 1078:19, berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan di Kepulauan Nusantara. Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil Sastra abad ke-16 dan ke-17, seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Tajussalatin, dan Bustanussalatin. Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur. Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek. 6 Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, jang dinamakan Bahasa Indonesia jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari Melajoe Riaoe, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, ...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia. Sejarah tumbuh dan berkembangnya Bahasa Indonesia tidak lepas dari Bahasa Melayu. Dimana Bahasa melayu sejak dahulu telah digunakan sebagai bahasa perantara lingua franca atau bahasa pergaulan. Bahasa melayu tidak hanya digunakan di Kepulauan Nusantara, tetapi juga digunakan hampir diseluruh Asia Tenggara. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya Prasasti-prasasti kuno dari kerajaan di indonesia yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Melayu. Dan pasca saat itu Bahasa Melayu telah Berfungsi Sebagai : 1. Bahasa Kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan satra 2. Bahasa Perhubungan Lingua Franca antar suku di Indonesia 3. Bahasa Perdagangan baik bagi suku yang ada di indonesia maupun pedagang yang berasal dari luar indonesia. 4. Bahasa resmi kerajaan. Jadi jelaslah bahwa bahasa indonesia sumbernya adalah bahasa melayu.

B. Fungsi Bahasa