Pendekatan Kerangka Teori Ruang Lingkup Penelitian

5

1.4.3 Pendekatan Kerangka Teori

Pemerintahan pada hakikatnya dibentuk untuk menjamin terwujudnya tertib sosial social order dalam hubungan antar manusia, baik sebagai individu, kelompok, maupun masyarakat. Dalam interaksi sosial, potensi munculnya konflik sangat besar karena setiap orang cenderung untuk mempertahankan kepentingan dirinya. Untuk mencegah agar upaya pemenuhan kebutuhan tersebut tidak mengarah pada eksploitasi manusia atas manusia lainnya, maka dibentuklah hukum atau peraturan-peraturan sebagai aturan main yang menjadi pedoman bagi manusia dalam bertingkah laku. Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia tidak terlepas dari adanya asumsi bahwa akan terjadi atau akan ada pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena ada kekhawatiran terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, maka harus diupayakan agar hal itu tidak terjadi. Seandainya terlanjur terjadi pelanggaran HAM, maka harus dihentikan agar tidak berlangsung lama atau tidak terulang lagi. Salah satu upayanya adalah dengan melakukan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Menurut Richard Bennet 1 , ada tiga faktor penyebab utama terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, yakni pembagian kekuasaan yang tidak seimbang, masyarakat warga yang belum berdaya, serta masih kuatnya budaya feodal dan paternalistik dalam masyarakat. Ketiga faktor tersebut, pada gilirannya, memunculkan praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian, terjadinya pelanggaran hak asasi manusia bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya tetapi karena adanya faktor-faktor tersebut di atas. Pada berbagai tingkat dan lingkungan kehidupan dapat saja terjadi pelanggaran hak asasi manusia sesuai dengan tingkatan atau lingkungannya. Semakin tinggi kedudukan salah satu pihak semakin besar peluang untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap pihak lainnya. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa yang dapat melakukan pelanggaran HAM adalah mereka yang memiliki kekuasaan tertentu. Rakyat biasa pun dapat saja melakukan pelanggaran HAM jika tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan harkat kemanusiaan. Memang diakui semakin luas kekuasaan yang dimiliki salah satu pihak akan cenderung semakin terbuka lebar yang bersangkutan melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Terlebih lagi jika pihak yang dilanggar tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pihak yang melakukan pelanggaran, sehingga pada akhirnya kekuasaan yang dimiliki 1 Richard Bennet. “Organisasi-organisasi yang Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia di Selandia Baru”. Dalam Candra Gautama dan B.N. Marbun eds. 2000. Hak Asasi Manusia, Penyelenggaraan Negara yang Baik dan Masyarakat Warga. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hal. 75. 6 tadi semakin membuka peluang untuk terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Bennet 2 , kekuasaan di sini tidak semata-mata menunjuk pada kekuasaan pemerintah, tetapi juga bentuk-bentuk kekuasaan lain yang ada di dalam masyarakat, termasuk di dalam perusahaan. Dengan kata lain, setiap elemen di dalam masyarakat kita, bila memiliki kekuasaan, cenderung untuk menyalahgunakannya. Inilah yang menurut Bennet sebagai pelanggaran hak asasi manusia secara vertikal dan horisontal di mana pelakunya mencakup militer, pemerintah, pengusaha, majikan dan masyarakat umum. Pelanggaran itu tidak hanya terjadi di wilayah publik, tetapi di wilayah privat seperti keluarga 3 . Dengan demikian tidaklah benar seluruhnya jika hanya pemerintah atau penguasa saja yang dapat melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Pada dasarnya setiap orang, pihak atau kelompok dapat saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan sesuai dengan kesempatan yang dimilikinya. Tidak kalah menarik dari apa yang dikemukakan oleh Bennet, adalah bahwa dalam berbagai kajian tentang HAM, berbagai pelanggaran ataupun kegagalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan HAM adalah atas dasar perencanaan commission atau pembiaran ommission. Pelanggaran dengan perencanaan commission kurang lebih dapat dikatakan bahwa pemerintah, baik di tingkat pusat ataupun daerah, secara terencana dan sistematis, sengaja bertindak untuk melakukan suatu pelanggaran HAM, melalui aparatnya. Sementara itu, pembiaran ommission kira-kira adalah tidak bertindaknya negara terhadap terjadinya suatu pelanggaran HAM, atau dari pembiaran tersebut mengakibatkan gagalnya negara dalam pemenuhan kebutuhan HAM. Untuk itulah perlu adanya upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia agar pelanggaran HAM dapat ditekan seminimal mungkin bahkan kalau mungkin dihilangkan sama sekali. Upaya untuk meminimalisasi adanya pelanggaran HAM merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak. Keterlibatan semua pihak dalam masalah ini akan memberikan sumbangan dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM. Tidaklah mungkin jika salah satu pihak melakukan perlindungan dan penegakan HAM tetapi di lain pihak ada pihak-pihak tertentu yang melakukan pelanggaran HAM. Jika hal itu terjadi, maka upaya perlindungan dan penegakan HAM akan menjadi sia-sia dan tidak menemukan hasil yang memuaskan. Hak Asasi Manusia HAM pada awalnya hanya berkenaan dengan bidang sipil dan politik Covenant on Civil and Political Rights yang menitikberatkan pada prinsip 2 Bennet, op.cit., hal. 91. 3 Bennet, op.cit., hal. 91. 7 kebebasan, sehingga sering disebut sebagai HAM negatif freedom from. Kemudian berkembang ke generasi kedua, yaitu HAM di bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang bertumpu pada aspek HAM positif freedom for.HAM generasi kedua ini dilandasi oleh prinsip persamaan. Sejalan dengan perkembangan konsep negara hukum, dimana negara tidak lagi hanya sebagai penjaga ketertiban melainkan bertanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum public services. Kemudian muncul HAM generasi ketiga yang berupa hak solidaritas kelompok, termasuk di dalamnya adalah hak atas pembangunan dan hak atas lingkungan yang baik. Konsekuensi dari HAM generasi ketiga ini adalah munculnya asas tanggung jawab negara state responsibility principles, yang melahirkan kewajiban bagi pemerintah, termasuk di dalamnya Pemerintah Daerah, untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat. Dalam upaya tersebut tersirat adanya kewajiban pemerintah untuk melakukan perlindungan dan penegakan HAM serta penegakan hukum. Keterkaitan antara HAM di satu pihak dengan hukum di lain pihak sangat erat. Di satu sisi penegakan hukum merupakan sarana penegakan HAM dan di lain pihak penegakan HAM harus dilakukan melalui penegakan hukum. HAM yang digolongkan ke dalam ketiga generasi ini menurut Roy Gregory dan Philips Giddings, adalah merupakan hak substantif substantive rights. Penamaan ini diberikan sejalan dengan penggolongan hak lain, yaitu hak prosedural procedural rights. Hak yang disebut terakhir ini dapat dikatakan sebagai cara seseorang untuk mencapai hak subtantif. 4 Lebih lengkap dikatakan bahwa hak prosedural ini dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, hak warga atas administrasi yang baik rights to good administration, yaitu hak menerima perlakuan adil, pantas, fair, dan penuh perhatian dari pejabat publik dalam kaitan dengan hak substantif. Kedua, hak untuk menyampaikan keluhankeberatan the right to complain, didengar the right to be heard, dan mendapat tindakan perbaikan apabila seseorang mendapat kerugian akibat tindakan pejabat publik the right to have corrective action. Pelaksanaan HAM, terutama yang terkait dengan hak prosedural tersebut menuntut adanya hak untuk dilayani oleh pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab good governance. Berbicara mengenai penegakan hukum berarti berbicara mengenai suatu proses. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain 4 dikemukakan dalam makalah pada acara Pengukuhan Panitia RANHAM Kota Cirebon dan sosialisasi HAM, Susi Dwi Harijanti, 26 Juli 2007. 8 adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan hukum itu. Lebih lanjut menurut Satjipto Rahardjo, hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum itulah terkandung tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan, yang tidak lain berupa penegakan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dalam kenyataan, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dengan kata lain, terdapat keterkaitan antara penegakan hukum dengan implementasi kebijakan publik, karena pada dasarnya kebijakan publik adalah produk hukum. Hukum atau peraturan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif sebagai badan perwakilan politik diwujudkan dalam bentuk undang-undang dalam arti luas. Oleh ilmu hukum undang-undang dalam arti luas ini dipandang sebagai “produk hukum”, sedangkan oleh ilmu administrasi publik dipandang sebagai kebijakan-kebijakan negara policies, rencana-rencana negara plans, keputusan-keputusan negara decisions, dan perintah- perintah negara orders yang harus dilaksanakan oleh administrasi publik sebagai institusi. 5 Bentuk kebijakan publik tersebut di atas, dalam strata kebijakan publik diposisikan sebagai kebijakan politik political policy 6 atau policy level 7 Kebijakan ini memuat tujuan dan sasaran yang masih umum dan dasar-dasarnya saja, jadi tidak bisa langsung diimplementasikan. Sehubungan dengan hal ini, unit-unit administratif sebagai pelaksana, berdasarkan otoritas dan kapasitas administratif yang dimiliki harus melakukan berbagai tindakan dan perbuatan, mulai dari pengambilan kebijakankeputusan administratif, pelaksanaan kebijakankeputusan, pengawasan dan penilaian hasil pelaksanaan kebijakankeputusan. Implementasi kebijakan merupakan suatu proses dalam kebijakan publik yang mengarah pada pelaksanaan kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis karena adanya intervensi dari berbagai kepentingan. I mplementasi kebijakan menyangkut minimal tiga hal, yaitu: 1 adanya tujuan atau sasaran kebijakan; 2 adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan 3 adanya hasil kegiatan. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan 5 Atmosudirdjo, 1976. hlm. 284 6 Gladden dalam Tjokroamidjojo, 1974; Abdulrachman, 1979 7 Broomley, 1989 hlm.32 9 dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir output, yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Dalam model implementasi kebijakan yang dikemukakan Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu: 8 1 komunikasi; 2 sumberdaya; 3 disposisi; dan 4 struktur birokrasi. Gambar 1.1 Model Direct and Indirect Impact on Implementation Sumber: dalam Agustino, 2006 Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi dari suatu kebijakan, adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya, sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat keputusan decision-makers sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan baru dapat berjalan manakala komunikasi berlangsung dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan atau dikomunikasikan kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi atau pentransmisian informasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai atau digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut, yaitu: 8 Agustino, 2006 10 a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian miskomunikasi, hal tersebut disebabkan komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan. b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan street-level- bureuacrats harus jelas dan tidak membingungkan tidak ambigumendua. Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, tetapi pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Pada tataran yang lain, hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan hal penting lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan dengan baik. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumberdaya dapat berjalan dengan rapi dan baik, yaitu: a. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah stafpegawai atau lebih tepatnya street-level bureaucrats. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah satunya disebabkan oleh stafpegawai yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten di bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan ketidakberhasilan implementasi kebijakan, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan kompeten dan kapabel dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri. b. Informasi; dalam implementasi kebijakan informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. 11 Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan di saat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum. c. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses impelementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya. d. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung sarana dan prasarana maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik, bagi George C. Edward III, adalah disposisi. Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III 9 , adalah: 9 Dalam Leo Agustino. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung dan Puslit KP2W Lemlit Unpad, hal. 157 12 a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat- pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga. b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Pada umumnya, orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi self interest atau organisasi. Variabel keempat, menurut Edward III, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan impelementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, tetapi kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi masih tetap ada karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. Dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasiorganisasi ke arah yang lebih baik, adalah melakukan Standard Operating Prosedures SOPs dan melaksanakan fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakanadministraturbirokrat untuk melaksanakan kegiatan- kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan warga. Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya penyebaran 13 tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pegawai di antara beberapa unit kerja. Penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum itu. Janji dan kehendak seperti itu, misalnya adalah, untuk memberikan hak kepada seseorang, untuk mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya. Penegakan hukum dengan demikian merupakan fungsi dari bekerjanya pengaruh- pengaruh tersebut. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan, bahwa para penegak hukum pada praktiknya bertindak dalam kategori manusia dan bukan sebagai jabatan. Para individu yang saat itu berada dalam posisi jabatannya akan cenderung untuk memberikan penafsirannya sendiri terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakannya sesuai dengan tingkat dan jenis pendidikannya, kepribadiannya dan masih banyak faktor pengaruh yang lain lagi. Oleh karena itu menjadi tidak aneh apabila orang mengatakan, bahwa bagaimana hukum itu dijalankan sehari-harinya merupakan satu mitos dan mitos itu setiap hari dibuktikan kebohongannya 10 . Yang dimaksud dengan mitos di sini adalah pendapat orang, bahwa hukum itu dijalankan persis sama dengan apa yang tercantum dalam peraturannya; padahal dalam kenyataannya, antara ketentuan yang tercantum dengan pelaksanaannya terlalu sering terdapat perbedaan. Kita tidak akan dapat mengkaji masalah itu dengan seksama apabila pembicaraan kita tidak menukik sampai kepada unsur manusia yang menjalankan penegakan hukum itu. Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep dan dengan demikian boleh digolongkan kepada sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak ini termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial 11 . Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyal hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam membicarakan masalahnya kita sebaiknya tidak mengabaikan pembicaraan mengenai struktur masyarakat yang ada di belakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat ini merupakan kendala, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan 10 ChamblissSeidman, 1971 : 3. 11 Radbruch, 1961:36 dan seterusnya. 14 penegakan hukum itu dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak dapat dijalankan atau kurang dapat dijalankan dengan seksama. Dengan demikian, apabila kita berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsep-konsep, maka dapat dirumuskan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide yang dituangkan dalam peraturan hukum menjadi kenyataan, dalam arti hukum atau peraturan itu ditaati oleh masyarakat. Proses perwujudan ide-ide ini, dalam pelaksanaannya dapat juga mengalami hambatan karena terjadi pelanggaran atau ketidakpatuhan, sehingga terjadi proses penegakan melalui jalur pengadilan. Perubahan paradigma dalam pemerintahan, dari yang semula bersifat sentralistik ke pemerintahan yang bersifat desentralistik dengan otonomi daerah yang luas, berakibat bergesernya bobot tanggung jawab pelayanan publik dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Artinya dalam konteks penegakan HAM generasi ketiga sebagaimana telah dijelaskan di atas, Pemerintah Daerah mempunyai peran yang dominan. Dengan kata lain, ujung tombak saat ini, pelayanan publik berada pada Pemerintah Daerah. Akan tetapi, karena dimensi pelayanan publik tersebut sedemikian luasnya, maka penting untuk diteliti aspek atau jenis pelayanan publik mana saja yang dianggap oleh masyarakat sebagai HAM. Apakah anggapan masyarakat itu sama atau berbeda dengan anggapan aparatur Pemerintah Daerah yang memberikan jasa pelayanan tersebut. Di dalam banyak kasus di daerah, kerapkali upaya penegakan hukum menjadi tidak efektif karena dihadapkan kepada persoalan HAM, sebagai contoh, berjualan di tempat yang bukan pemiliknya misal pedagang kaki lima yang menggejala di wilayah perkotaan yang jelas-jelas melanggar aturan berupa Perda pada kenyataannya sulit ditindak aparat karena alasan bahwa mencari penghasilanpekerjaan apalagi di masa sulit adalah merupakan HAM. Dalam kasus ini, aparat Pemerintah Daerah melihat, dari konteks penegakan hukum sementara pedagang kaki lima PKL melihat dari konteks HAM. Aparat Pemerintah Daerah menjadi ragu-ragu untuk bertindak karena tidak yakin kalau penertiban PKL itu bukan persoalan HAM. Hal di atas menguatkan argumen Lawrence M. Friedman 12 , yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan “kepastian hukum” dalam suatu sistem pemerintahan yang berlandaskan hukum, paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yakni: 1 substansi hukum, 2 aparatur hukum, dan 3 budaya hukum. Friedman mengatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum akan sangat bergantung kepada “budaya hukum” masyarakatnya. 12 Lawrence M. Friedman, 1984 ?? 15 Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam mengkaji pembentukan dan penegakan hukum HAM, variabel dan indikator yang akan digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 1.1 Variabel dan Indikator No. Variabel Indikator Penjelasan 1 Pembentukan Hukum HAM Materi hukum HAM a. apakah substansi memenuhi persyaratan yuridis, filosofis, sosiologis b. kepentingan siapakah yang dilindungi dengan pembentukan hukum HAM tersebut Strukturlembaga pembentuk hukum HAM a. bagaimanakah kompetensi dan profesionalisme lembaga yang membentuk hukum HAM b. apakah pembentuk hukum HAM dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu Partisipasi masyarakat Partisipasi atau dukungan masyarakat dalam pembentukan Hukum HAM 2 Penegakan hukum HAM Materi Hukum HAM Bagaimanakah materi hukum HAM itu disosialisasikan atau dikomunikasikan kepada publik Transmisi, kejelasan, konsistensi Strukturlembaga penegak hukum HAM Bagaimanakah struktur penegak hukum HAM, baik secara personal maupun kelembagaan, menyangkut hal-hal sebagai berikut: a. Wewenang; b. saranafasilitas; c. Ketanggapan; d. Etos kerja; e. Profesionalisme; f. Integritas; g. Koordinasi; h. Standar operasional prosedur; i. Fragmentasi. Kesadaran masyarakat Pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan kepatuhan masyarakat Jawa Barat tentang konsep hukum HAM 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembentukan Hukum

Pembentukan hukum merupakan suatu upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan. Salah satu contoh konkrit pembentukan hukum adalah pembentukan atau penyusunan peraturan perundang-undangan. Menurut teori perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah pokok, yaitu : 13 1. Aspek MateriilSubstansial, berkenaan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah-kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan hukum. Pada bagian lain, aspek materiil ini berkenaan dengan masalah pembentukan struktur, sifat, dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. 2. Aspek FormalProsedural, berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung dalam suatu negara tertentu. Pembahasan dalam aspek formal terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metode, proses, dan teknik perundang-undangan. Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan secara dinamis. Aspek materiil yang memuat kaidah-kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak direalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dan sekaligus memiliki legitimasi dan daya berlaku yang efektif dalam kehidupan kemasyarakatan. Demikian pula sebaliknya, sebuah produk perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek formalprosedural yang terdiri dari metode, proses, dan teknik perundang-undangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna dan mendapat respek serta pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiilsubstansial. Dengan 13 Laboratorium Hukum FH Universitas Katolik Parahyangan, Keterampilan Perancangan Hukum, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1997.