BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Tikus merupakan hewan liar yang sering kali berasosiasi dengan kehidupan manusia. Asosiasi tikus dengan manusia sering kali bersifat
parasitisme, dimana tikus mendapatkan keuntungan sedangkan manusia dirugikan. Tikus telah lama dikenal sebagai hama penting di Indonesia, karena tingkat
kerusakan yang diakibatkannya cukup tinggi dan hampir terjadi pada setiap musim.
Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat, luas serangan tikus di lahan persawahan pada
musim tanam tahun 2001 mencapai 44.729 ha dengan intensitas serangan 22,8. Pada musim tanam 2004 kerusakan pertanaman di lahan petani rata-rata 15-30
per tahun, bahkan kadang-kadang terjadi kerusakan yang parah antara 50-100 Anonim, 2004, sedangkan menurut Departemen Pertanian, kerugian akibat
serangan Organisme Penggangu Tumbuhan OPT dalam 10 tahun terakhir, selama periode Januari - Juli mencapai 130.349 ton Gabah Kering Giling GKG
atau setara 225,2 miliar rupiah, yang sebagian besar diakibatkan oleh serangan tikus. Luas serangan tikus secara nasional selama periode Januari - Juli 2005
mencapai 60.196 ha, diantaranya 1.371 ha terjadi dibeberapa wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Lampung
Anonim, 2005
Tikus saat ini masih merupakan hama utama tanaman pangan di Indonesia khususnya padi. Luas serangan tikus pada tanaman padi rata-rata setiap tahunnya
mencapai 141.743 ha dengan intensitas serangan rata-rata 16,7 Direktorat Perlintan 1999. Bahkan di beberapa daerah terjadi kekurangan pangan karena
sawahnya gagal total akibat serangan tikus Lei, TJ.L. at al., 1998. Tikus merupakan salah satu binatang hama yang sulit dikendalikan
dibandingkan dengan hama lainnya. Daya adaptasi hama ini terhadap lingkungannya sangat baik, yaitu dapat memanfaatkan sumber makanan dari
berbagai jenis omnivora. Hewan inipun berperilaku cerdik. Segala aktivitas dilakukan malam hari dengan dukungan indera terlatih sehingga mobilitasnya
4
tinggi dan dalam habitat yang memadai cepat berkembang biak dengan daya reproduksi tinggi dan berumur panjang dibandingkan hama lainnya. Tikus betina
sudah memasuki umur dewasa seksual pada usia 3 bulan dan dapat beranak 4 kali dalam satu tahun. Masa kehamilannya hanya sekitar 21 hari, denganrata-rata
kelahiran anak sebanyak 6 ekor 2 sd 18 ekor. Sehingga secara teoretis, sepasang tikus dewasa seksual apabila dapat melahirkan anak rata-rata 6
ekorkelahiran 3 jantan dan 3 betina maka pada bulan ke 13 akan menghasilkan sejumlah 2046 tikus Natawigena H., 1993. Oleh sebab itu dalam cara
pengendaliannya harus mengacu pada konsep meminimalkan populasi awal tikus. Beberapa cara pengendalian yang dapat diterapkan dalam mengendalikan
hama tikus adalah : a. Penanamanmengusahakan agar panen serentak dalam areal yang seluas-luasnya yang dimaksudkan untuk menciptakan periode berafase
vegetatif yang seragam sehingga tikus tidak mendapatkan kesempatan berkembang biak secara sempurna, karena terbatasnya sumber makanan dan
kualitas makanan. Disamping itu, karena pertumbuhan tanaman yang seragam, maka pola pertumbuhan populasi tikus juga relatif seragam dan mudah dideteksi.
b. Gropyokan atau perburuan tikus dilakukan dengan cara pemukulan terhadap individu-individu tikus secara langsung, membongkar lubang aktif dengan
bantuan anjing maupun dipukul langsung, berburu dengan alat jala kremat dan cara-cara setempat lainnya. Kadang-kadang gropyokan dilaksanakan juga pada
saat fase persemaian dengan cara pemukulan tikus pada malam hari dengan alat penerang patromaks. c. Sanitasi lingkungan dengan membuang semak-semak
atau rerumputan, akan mengurangi kesempatan hidup dan berkembang biak tikus. d. Pemanfaatan musuh alami tikus yang ada di alam, seperti kucing, anjing,
burung hantu, ular dan lain-lain. Pemanfaatan musuh alami burung hantu cukup berhasil dalam menekan populasi hama tikus pada perkebunan kelapa sawit di
Sumatera Utara. Namun penggunaan predator tersebut pada tanaman pangan masih perlu dikaji operasionalnya. e. Pemasangan umpan yang hanya efektif
dilakukan pada saat pratanam dan pada saat fase vegetatif. f. Pengemposan penggunaan emposan tikus dengan belerang, Kalusa dilakukan pada liang liang
tikus pada saat tanaman memasuki fase generatif . g Pengendalian hama tikus dengan tanaman perangkap, pagar plastik, dan bubu perangkap Liem, 1991.
Dari sekian banyak alternatif cara pengendalian tikus yang dapat dilakukan, ternyata Pengendalian Hama Tikus dengan Tanaman Perangkap, Pagar
Plastik, dan Bubu Perangkap, merupakan cara pengendalian yang paling murah dan paling ramah lingkungan. Pengendalian tikus dengan tanaman perangkap
yaitu melakukan penanaman padi lebih awal atau menanam varietas yang berumur pendek dan paling disukai sehingga tanaman tersebut mencapai stadium generatif
pada saat tanaman disekitarnya stadium vegetatif. Populasi tikus akan berkunjung dan terakumulasi pada tanaman perangkap tersebut sehingga pengendaliannya
dapat difokuskan di lokasi tersebut. Penggunaan tanaman perangkap atau persemaian perangkap tikus sangat tertarik pada persemaian yang baru disebar
juga dapat dikombinasikan dengan pemagaran plastik dan pemasangan bubu perangkap. Penggunaan bubu perangkap tikus dengan kombinasi pagar plastik
pada saat persemaian akan lebih efisien apabila dilaksanakan pada persemaian berkelompok. Pada saat lahan masih berabelum ada pertanaman selain
persemaian sumber makanan masih terbatas. Maka tikus akan terpancing untuk mendatangi areal persemaian dan tikus terperangkap dalam bubu.
Perangkap bubu tikus merupakan alat bantu untuk memudahkan dalam usaha pemerangkapan tikus pada areal persawahan yang sangat luas, juga sebagai
penentu keberhasilan dalam meminimumkan populasi awal tikus. Teknologi perangkap bubu yang beredar dan dikenal saat ini masih sangat sederhana yaitu
menggunakan sistem seperti bubu untuk ikan. Penggunaan perangkap bubu khususnya pada persemaian dapat menekan atau menghindari peningkatanm
populasikerusakan oleh tikus pada fase pertanaman. Dalam uji pendahuluan yang pernah dilakukan, penggunaan perangkap bubu tikus dan tanaman perangkap
dinilai cukup efektif dan tampaknya berpotensi besar dalam penekanan populasi tikus namun perlu dikaji kembali aplikasinya dalam skala luas, efektifitas
maupun efisiensinya. Berbagai cara pengendalian tikus telah dilakukan oleh petani baik secara
swadaya dan atau dengan bantuan pemerintah, namun hasilnya masih belum memuaskan, karena pengendalian tikus umumnya dilakukan setelah terjadi
kerusakan pada pertanaman yang cukup serius, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa hasilnya tidak memuaskan karena sudah terlambat. Pengendalian hama
tikus yang benar seyogyanya dilakukan secara terus menerus, dan tidak hanya pada saat-saat terjadi eksplosi saja Liem J.S., 1991.
Agar pengendalian dapat dilakukan secara terus menerus maka perlu dicari suatu terobosan dalam cara mengendalikan tikus. Salah satu konsep cara
pengendalian tikus yang mempunyai prospek baik adalah dengan jalan mengkombinasikan alat perangkap bubu tikus dan menaikkan nilai ekonomi tikus.
Apabila tikus bernilai ekomomi maka diharapkan banyak orang akan berebut mencari dan menangkap tikus. KUD Tani Mukti di daerah Cirebon telah merintis
pemanfaatan kulit tikus pengembangan secara kecil-kecilan : Kulit tikus telah dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan jaket kulit dan tas Kantor Departemen
Perdagangan Cirebon, 1989. Meskipun kecil, manfatsumbangsih dari usaha ini sangatlah berarti bagi semua pihak khususnya para petani. Karena nilai guna
utility dari pemanfaatan tikus yang semula merupakan musuh petani pada umumnya, sekarang dijadikan ajang penghasilan bagi petani itu sendiri, yang pada
akhirnya berkaitan dengan pengupayaan swasembada pangan yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Disamping itu kulit tikus dapat dimanfaatkan
sebagai usaha terobosan baru untuk komoditas ekspor dari kulit hewan, dalam rangka penganeka ragaman penyediaan komoditas kulit. Mengingat penyediaan
kulit untuk kebutuhan dalam dan luar negeri masih kurang karena penyediaannya masih terbatas pada kulit sapi, kambing, domba dan kerbau yang untuk
mendapatkannya memerlukn waktu yang cukup lama karena tergantung jumlah ternak yang dipotong.
Beberapa tipe perangkap yang banyak beredar di pasaran yaitu berupa perangkap hidup live trap, perangkap mati snap trap dan perangkap berperekat
sticky-board trap Priyambodo, 2003. Perangkap yang banyak digunakan oleh petani yaitu tipe perangkap hidup yang sering disebut dengan perangkap bubu.
Perangkap bubu biasanya terbuat dari bahan ram kawat dengan pintu berbentuk kerucut. Kelebihan perangkap bubu yaitu dapat menangkap tikus dalam jumlah
yang banyak dalam satu kali pemerangkapan serta dapat digunakan berkali-kali dalam waktu yang cukup lama dengan pemeliharaan yang relatif sederhana.
Tetapi berdasarkan pengalaman para petani, perangkap bubu memiliki kelemahan dimana tikus lebih banyak tertangkap pada awal pemerangkapan sedangkan pada
pemerangkapan berikutnya tikus yang tertangkap lebih sedikit dan bahkan tidak ada yang tertangkap.
Dalam usaha mengembangkan potensi perangkap tikus, kendala yang dihadapi yaitu masih sedikitnya sumber daya manusia yang mengeksplorasi
potensi perangkap tikus, sehingga perangkap yang saat ini digunakan masih bersifat tradisional dengan daya tangkap yang kurang baik dan dapat
menimbulkan jera terhadap tikus. Di samping itu nilai estetika perangkap yang masih rendah membuat lingkungan terlihat kumuh dan kotor apabila digunakan di
rumah ataupun di gudang penyimpanan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka perlu dilakukan uji coba berbagai modifikasi tipe perangkap agar dihasilkan
tipe perangkap yang memiliki daya tangkap tinggi, tidak menimbulkan jera terhadap tikus serta tidak menguranagi nilai estetika perangkap.
Dalam usaha mengendaliakan hama tikus, konsep yang menjadi acuan adalah konsep Pengendalian Hama Terpadu PHT. PHT adalah pendekatan
ekologi yang bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam
suatu kesatuan kordinasi pengelolaan. Teknik pengendalian yang merupakan bagian dari PHT yaitu teknik pengendalian secara mekanik. Pengendalian secara
mekanik bertujuan untuk mematikan atau memindahkan hama secara langsung baik dengan tangan atau dengan bantuan alat dan bahan lain. Untuk meningkatkan
efektivitas pengendalian secara mekanik perlu dipelajari mengenai fenologi hama, perilaku dan penyebaran hama. Dengan demikian dapat ditetapkan waktu
pengendalian secara mekanik yang tepat dan fase hidup yang menjadi sasaran Untung, 1993.
Teknik pengendalian secara mekanik untuk tikus gudang dapat dilakukan dengan pemerangkapan yaitu dengan menggunakan perangkap hidup. Menurut
Priyambodo 2003, di dalam melakukan pemerangkapan tikus, yang perlu diperhatikan yaitu sifat trap-shynessnya yaitu kejadian dimana tikus tidak mau
masuk ke dalam perangkap yang disediakan. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pemerangkapan yaitu tipe pintu perangakap yang
digunakan, baik dari segi ukuran maupun cara kerja dari pintu tersebut. Untuk dapat menangkap beberapa jenis tikus maka ukuran pintu perangkap dibuat
dengan menyesuaikan ukuran tubuh tikus yang paling besar. Dari beberapa jenis tikus yang ditemui tersebut, tikus yang memiliki ukuran tubuh paling besar yaitu
tikus dari jenis B. indica dengan panjang tubuh rata-rata 360 - 510 mm dan bobot tubuh 200 - 800 mm. Sedangkan untuk menentukan cara kerja pintu perangkap
yang akan digunakan, dapat dilihat dari perilaku tikus yang memiliki sifat neo fobia
takut pada hal-hal yang baru. Dengan sifat neo fobia yang dimilikinya, membuat tikus lebih berhati-hati dalam melakukan segala aktivitasnya sehingga
tidak menyukai situasi mencurigakan yang dapat mengancam dirinya. Untuk mensiasati agar sifat neo fobia dan situasi yang mencurigakan tidak terjadi pada
saat pemerangkapan, maka tipe pintu yang digunakan yaitu pintu dengan sistem gravitasi dan sistem jungkat-jungkit.
Pintu dengan sistem gravitasi merupakan pintu masuk pada perangkap yang dipasang secara horizontal atau vertikal sehingga berada pada titik
keseimbangan. Cara kerja pintu ini yaitu pintu akan membuka ketika tikus mendorongnya dan akan menutup setelah tikus melewatinya, sehingga pintu
kembali pada titik keseimbangannya. Sedangkan pintu dengan sistem jungkat- jungkit merupakan pintu masuk perangkap yang dipasang secara horizontal
dibagian atas perangkap dan berada pada keadaan seimbang. Cara kerja pintu ini yaitu dengan memanfaatkan berat badan tikus pada saat berada pada pintu masuk,
sehingga pintu akan mendapat tekanan dan akan terbuka. Selanjutnya pintu akan menutup kembali ketika tikus tidak membebani pintu tersebut.
Selain tipe pintu, faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan pemerangkapan adalah jumlah pintu perangkap dan penempatan perangkap.
Semakin banyak jumlah pintu yang terdapat pada perangkap, maka akan semakin besar kesempatan perangkap untuk dapat dimasuki oleh tikus. Sedangkan untuk
penempatan perangkap, sedapat mungkin diletakan di jalur-jalur yang sering dilalui oleh tikus, karena pada umumnya pergerakan tikus selalu mengikuti jejak
yang pernah dilaluinya dengan menggunakan alat penciumannya yang berkembang baik. Menurut Priyambodo, 2003, penciuman tikus yang baik
digunakan untuk mencium urine dan sekresi genitalia sehingga dapat mengenali wilayah pergerakan tikus lainnya, mengenali jejak tikus yang masih tergolong
sekelompoknya serta mendeteksi tikus betina yang sedang estrus. Selain itu penciuman tikus dapat digunakan untuk mencari menemukan makanannya.
Untuk meningkatkan keberhasilan pada saat melakukan pemerangkapan, penggunaan atraktan dalam bentuk umpan yang disimpan dalam perangkap
merupakan langkah sederhana agar tikus mau masuk ke dalam perangkap. Secara umum tikus merupakan binatang yang tidak tahan terhadap lapar, sehingga akan
mencari makanan ke berbagai tempat yang terdapat makanannya baik dengan cara sendiri-sendiri maupun berkelompok Anonim, 1995. Menurut Rochman dkk
1999, semua jenis tikus pada umumnya dapat memakan berbagai jenis pakan, dari yang bergizi tinggi sampai yang bergizi rendah untuk bertahan hidup. Tetapi
jika ketersediaan makanan disekitarnya berlimpah, maka tikus akan memilih jenis makanan yang paling baik dari yang lainnya. Dengan demikian atraktan yang
disimpan dalam perangkap harus memiliki daya tarik yang tinggi dibandingkan dengan jenis bahan makanan disekitarnya.
BAB IV. METODE PENELITIAN