Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu Dan Ekonomis.

(1)

A. Judul Penelitian : SISTEM PENGENDALIAN HAMA TIKUS SECARA KONTINU DAN EKONOMIS B. Ketua Peneliti

a. Nama lengkap & Gelar : Dr.H. W.Daradjat Natawigena,Ir.,MSi. b.Jenis Kelamin : Laki-laki

c.Pangkat/ Golongan/NIP : Lektor Kepala/ IVa/ 131 653 088 d. Bidang Keahlian : Pengendalian Vertebrata Hama

e Fakultas/Jurusan : Pertanian/Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan f.Bidang ilmu yang diteliti : Pengendalian hama tikus

C. Tim Peneliti

N a m a Bidang Keahlian Fakultas/Jur Perguruan Tinggi Dr.H.W.Daradjat

Natawigena,Ir.MSi

Ahli Pengendalian Vertebrata Hama

Pertanian/JHPT UNPAD

Ichsan Nurulbari,SP Ahli Tikus Pertanian/JHPT UNPAD

D. Pendanaan dan jangka waktu penelitian

Jangka waktu penelitian yang diusulkan : Satu (1) Tahun Biaya total yang diusulkan : Rp. 38.250.000,- Jangka waktu penelitian yang disetujui : Delapan (8) Bulan Biaya yang disetujui tahun 2006 : Rp. 21.000.000,-

Bandung, 15 November 2006 Mengetahui :

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Prof.Dr.Hj.Yuyun Yuwariah AS,Ir.MS NIP. 130 524 003

Ketua Peneliti

Dr.H. W.Daradjat Natawigena,Ir.,MSi. NIP. 131 653 088

Menyetujui

Ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran

Prof.Dr.Johan S.Masjhur,dr,SpPD-KE.,SpKN. NIP. 130 256 894


(2)

To overcome rat pest problem in rat pest endemic areas, There have been some research activities to find new concept in controlling rat pest. This new concept is called “continually and economically rat pest controlling”. This system is environmentally friendly by integrating several compatible activities and these activities are harmony each other. The system refers to the development of a plaited rattan rat trap type which is combined with rat attractive substance and the use of rat body as economical things which could encourage people to catch rat on and on.

The research is begun by choosing rat endemic area, identification of rat species both morphology and non-morphology, and rat behavior. In addition, it is designed new model of rat trap which could catch rat at once time. There are some steps in choosing and implementing new design of rat trap, namely: information, creative, analytical, development, and recommendation. This new development of rat trap is also supported by the introduction of new rat attractive substance.

This research also goes further to the use of rat body as economical things, for instance through skin tanning process and arts touch, rat skin could be made for handy crafts such as key ring, mobile phone bag, and other crafts made from skin. The rat body could provide benefit as protein sources in fish food process. The fish food is made in long life pellet type. Rat bones, oxtail, and intestines could be processed to be fertilizer by natural degradation process and packed for sale.

The final activity of the research is the implementation in the field which covers: building of work planning system and organization, training on the use of rat body and rat trap design as well as rat trap installing in the field.


(3)

decrease the population of rat endemic (save rice plant from rat), give opportunities for entrepreneurship, develop science and technology in the efforts to maximize the use of natural sources, increase community income, decrease rodentisida import, and nationally save food sources.


(4)

Untuk menanggulangi masalah hama tikus di daerah endemik hama tikus, telah dilakukan serangkaian kegiatan penelitian untuk menemukan konsep baru cara mengendalikan hama tikus. Cara baru pengendalian hama tikus tersebut adalah: ”Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis” Sistem ini adalah sistem pengendalian hama tikus yang ramah lingkungan dengan memadukan beberapa kegiatan yang kompetibel dan serasi satu dengan lainnya yaitu : pengembangan suatu tipe perangkap bubu tikus yang dipadukan dengan zat atraktan tikus serta pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomis, sehingga dapat merangsang orang untuk menangkapi tikus secara terus menerus/kontinu (catch a rat a day).

Penelitian dimulai dengan pemilihan kawasan daerah endemik tikus. kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tikus yang ada meliputi pendekatan karakter morfologis dan non morfologis, juga meneliti kajian perilaku tikus yang ada di kawasan tersebut. Untuk selanjutnya dibuat rancang bangun perangkap tikus model baru yang dapat menangkap beberapa tikus sekaligus (pengembangan dari perangkap sistem bubu yang ada sekarang). Dalam pembuatan perangkap ini dilengkapi dengan kegiatan studi pembuatan zat atraktan untuk menarik datangnya tikus ke perangkap bubu. Beberapa tahapan kegiatan yang telah dilakukan dalam memilih dan mengembangkan desain alat perangkap bubu tikus tersebut adalah melalui : Tahap Informasi, tahap kreatif, tahap analisis, tahap pengembangan dan tahap rekomendasi.

Penelitian dilanjutkan terhadap pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomi tertentu. Kulitnya dimanfaatkan sebagai bahan yang mempunyai nilai ekonomis, seperti : sarung HP, hiasan kulit, gantungan kunci dll. melalui proses penyamakan kulit dengan sentuhan seni sehingga dapat dijual. Tubuhnya dimanfaatkan sebagai sumber protein dalam pembuatan pakan ikan hias Pakan ikan dibuat dalam bentuk pellet sehingga dapat tahan lama Tulang, ekor dan sisa-sisa usus lainnya dimanfaatkan sebagai pupuk yang bermanfaat melalui proses degradasi alamiah serta dikemas dalam wadah tertentu sehingga dapat dijual.


(5)

sistem rencana kerja, pelatihan dalam pemanfaatan tubuh tikus dan pembuatan rancang bangun perangkap bubu tikus, serta strategi pemasangan perangkap bubu tikus di lapangan.

Hasil kegiatan penelitian selain dapat menurunkan populasi hama tikus (menyelamatkan padi dari kerusakan oleh tikus) juga membuka peluang wirausaha baru, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber alami, sehingga memperluas kesempatan kerja, menambah penghasilan masyarakat, menambah pendapatan daerah dan mengurangi import rodentisida, yang pada akhirnya turut menyelamatkan sumber pangan secara nasional.


(6)

Dalam rangka mencari pengendalian hama tikus yang ramah lingkungan, ekonomis dan dapat dilakukan secara terus menerus, maka perlu dicari suatu terobosan baru dalam cara mengendalikan hama tikus. Cara baru pengendalian hama tikus tersebut adalah dengan cara: ”Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis”

Penelitian ini diharapkan dapat mengemukakan informasi baru mengenai konsep cara pembuatan perangkap bubu yang dipadukan dengan atractan tikus serta cara pemanfaatan tikus agar bernilai ekonomi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pihak-pihak tertentu dalam pengembangan strategi baru dalam pengendalian hama tikus secara kontinu.

Biaya penelitian ini diperoleh dari Bantuan Biaya Penelitian Unpad Tahun Anggaran 2006 No. Kontrak : 389.E4/J06.14/LP/PL/2006 Tanggal 6 Mei 2006 Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi mereka yang ingin mengendalikan hama tikus di lapangan.

Pada kesempatan ini kami sampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada : yang terhormat Bapak Rektor Unpad dan Ketua Lembaga Penelitian UNPAD. Terima kasih disampaikan pula kepada Dekan Fakultas Pertanian UNPAD dan Ketua Jurusan Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UNPAD, khususnya Lab. Vertebrata Hama, yang telah memberikan fasilitas yang tidak terbatas kepada kami untuk melakukan penelitian sampai selesainya laporan ini.


(7)

Bab Halaman

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ... i

SUMMARY ... ii

RINGKASAN ... iv

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 3

2.1 Tujuan Penelitian ... 3

2.2. Manfaat Penelitian ... 3

III. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 4

IV. METODE PENELITIAN ... 11

4.1. Identifikasi Jenis Tikus dan Studi Perilaku Tikus pada Areal Persawahan... 11

4.2. Pembuatan Zat Atractan Tikus... 11

4.3. Rancang Bangun Alat Perangkap Bubu Tikus ... 12

4.4. Pemanfaatan Kulit Tikus Sebagai Bahan yang Mempunyai Arti Ekomomi ... 13

4.5. Pemanfaatan Tubuh Tikus Sebagai Pakan Ikan Buatan dalam Bentuk Pellet ... 13

4.6. Pemanfaatan Tulang, Ekor dan Usus Tikus Sebagai Pupuk Organik ... 14

4.7. Penerapan Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis di Lapangan ... 14

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

5.1. Identifikasi Jenis Tikus dan Studi Perilaku Tikus ... 15

5.1.1. Identifikasi Jenis Tikus ... 15


(8)

terhadap Tikus ………. 19

5.2.2. Kondisi Suhu dan Kelembaban Udara Saat Penelitian ………. 23

5.2.3 Analisis Ekonomi ………. 23

5.2.4 Daya Tahan Umpan terhadap Jamur dan Bakteri dan Daya Tahan Aroma Umpan ……….. 24

5.2.5 Daya Tahan Umpan Terhadap Cuaca Panas dan Kondisi Hujan ... 25

5.3. Rancang Bangun Alat Perangkap Bubu Tikus ... 27

5.3.1. Perangkap Dengan Pintu Sistem Gravitasi A... 27

5.3.2. Perangkap Dengan Pintu Sistem Gravitasi B... 28

5.3.3. Perangkap Dengan Pintu Sistem Jungkat-Jungkit. ... 29

5.3.4. Perangkap Bubu kontrol dengan Pintu mirif bubu untuk Ikan ... 30

5.3.5 Jumlah Tikus yang Tertangkap dari setiap jenis Perangkap Bubu ... 31

5.4. Pemanfaatan Kulit Tikus sebagai Bahan yang Mempunyai Arti Ekonomi ………. 33

5.5.Pemanfaatan Tepung daging Tikus untuk pakan Ikan Hias ... 35

5.6. Pemanfaatan Ekor,Tulang dan Usus Tikus Sebagai Pupuk Bokashi Plus ... 39

5.7. Penerapan Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis di Lapangan ... 40

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1. Kesimpulan ... 41

6.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(9)

No. Judul Halaman 1 Urutan tikus yang paling sering dijumpai

sampai yang paling jarang ditemukan

di sekitar persawahan dan pemukiman penduduk ……… 18

2 Rata-rata jumlah umpan yang dimakan

tikus sawah (g/hari) ……….. 20

3 Persentase umpan yang dimakan tikus dan daya

pikat umpan dari masing-masing perlakuan ……… 22

4 Biaya pembuatan umpan ... 23

5 Daya tahan umpan terhadap jamur ... 24

6 Daya tahan umpan terhadap cuaca panas

dan kondisi hujan ... 25

7 Jumlah tikus tertangkap dari setiap


(10)

No. Judul Halaman

1 Jamur Aspergillus sp. ... 25

2 Atractan Tikus Formulasi Keju ... 26

3 Bentuk perangkap Gravitasi A dilihat dari samping ... 27

4 Bentuk perangkap Gravitasi A dilihat dari atas ... 28

5 Bentuk perangkap Gravitasi B dilihat dari samping... 29

6 Bentuk perangkap Gravitasi B dilihat dari atas ... 29

7 Bentuk perangkap Gravitasi C dilihat dari samping ... 30

8 Bentuk perangkap Gravitasi C dilihat dari atas ... 30

9 Perangkap Bubu konvensional dilihat dari samping (sebagai kontrol)... 31

10 Perangkap Bubu Tipe B, yang direkomendasikan sebagai perangkap Bubu tikus ... 32

11 Sarung Hp terbuat dari kulit tikus ... 34

12 Hiasan dari Kulit Tikus untuk pembatas buku ... 34

13 Asesoris Gantungan Kunci dari Kulit Tikus ... 35

14 Beberapa formula pakan ikan hias dari tepung daging tikus... 37

15 Pengujian Preferensi Pelet Ikan dari tepung daging tikus ... 38

16 Pengujian beberapa formulasi pelet ikan dari tepung daging tikus ... 38 14 Pupuk Bokashi plus yang memanfaatkan ekor, jeroan dan usus tikus ... 39


(11)

No Judul Halaman

1 Tata Letak Percobaan ...48

2 Skema Pembuatan Atractan ...49

3 Data Analisis Ekonomi Pembuatan Atractan ...50

4 Data Jumlah Umpan (g) yang Dimakan Tikus ...54

5 Data Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan Tikus Rumah dari Semua Perlakuan (g) ...55

6 Dokumentasi Pengujian Atractan ...55

7 Analisis Jumlah Tikus yang Tertangkap dari Setiap Tipe Perangkap Bubu ...56


(12)

SECARA KONTINU DAN EKONOMIS

LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006

Pelaksana :

Dr.H.Wahyu Daradjat Natawigena, Ir.MSi Ichsan Nurul Bari, SP

DIBIAYAI BANTUAN DANA UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2006 DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN

NOMOR : 389.E4/J06.14/LP/PL/2006 TANGGAL 16 MEI 2006

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERTANIAN

2006


(13)

SECARA KONTINU DAN EKONOMIS

LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006

Pelaksana :

Dr.H.Wahyu Daradjat Natawigena, Ir.MSi Ichsan Nurul Bari, SP

DIBIAYAI BANTUAN DANA UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2006 DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN

NOMOR : 389.E4/J06.14/LP/PL/2006 TANGGAL 16 MEI 2006

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERTANIAN

2006


(14)

1.1. Latar Belakang

Untuk menanggulangi masalah hama tikus di daerah endemik tikus, berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, tetapi sampai sekarang upaya tersebut belum mampu mengendalikan tikus secara tuntas dan permanen. Hasil permanen, dalam arti penurunan tingkat populasi yang lama, hanya mungkin dapat dicapai dengan menerapkan suatu konsep cara pengendalian tikus yang terus menerus (kontinu).

Konsep tersebut dapat terwujud dengan jalan : pengembangan suatu tipe perangkap bubu tikus yang dipadukan dengan zat atraktan tikus serta pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomis, sehingga akan merangsang orang untuk menangkapi tikus secara terus menerus (catch a rat a day).

Penelitian dimulai dengan pemilihan kawasan daerah endemik tikus, kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tikus yang ada meliputi pendekatan karakter morfologis dan non morfologis, juga meneliti kajian perilaku tikus yang ada di kawasan tersebut. Untuk selanjutnya dibuat rancang bangun perangkap tikus model baru yang dapat menangkap beberapa tikus sekaligus (pengembangan dari perangkap sistem bubu yang ada sekarang). Dalam pembuatan perangkap ini juga dilengkapi dengan kegiatan studi pembuatan zat atraktan untuk menarik datangnya tikus ke perangkap bubu. Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan dalam memilih dan mengembangkan desain alat perangkap tikus tersebut adalah melalui : Tahap Informasi, tahap kreatif, tahap analisis, tahap pengembangan dan tahap rekomendasi.

Penelitian lanjutan diarahkan terhadap pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomi tertentu. Kulitnya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan barang dari kulit dan tubuhnya dimanfaatkan sebagai sumber protein dalam pembuatan pakan binatang peliharaan atau pakan binatang ternak Tulang dan sisa-sisa usus lainnya dimanfaatkan sebagai pupuk yang bermanfaat melalui


(15)

proses degradasi alamiah dengan melibatkan teknologi biokimia, serta dikemas dalam wadah tertentu sehingga dapat dijual.

Sebagai akhir dari serangkaian penelitian ini adalah mengimplementasikan strategi penerapannya di lapangan meliputi : studi kelayakannya di lapangan, pencarian metode terbaik agar penerapan sistem ini dapat direalisasikan di lapangan, pembentukan organisasi dan sistem rencana kerja, pelatihan dalam pemanfaatan tubuh tikus dan pembuatan rancang bangun perangkap tikus, strategi pemasangan perangkap di lapangan dan strategi pemasaran produk hasil olahan bahan dasar dari tubuh tikus.

Penelitian ini sangat penting dan mendesak untuk dilakukan karena penelitian ini merupakan salah satu konsep system engendalian yang sangat ramah lingkungan, selain akan menurunkan populasi hama tikus (menyelamatkan padi dari kerusakan oleh tikus) juga membuka peluang wirausaha baru, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber alami, memperluas kesempatan kerja, menambah penghasilan masyarakat, menambah pendapatan daerah dan mengurangi import rodentisida yang sangat mahal harganya, yang pada akhirnya turut menyelamatkan sumber pangan secara nasional.

Dalam rangka penerapan sistem pengendalian hama tikus secara kontinu dan ekonomis, ada beberapa permasalahan pokok yang perlu dipecahkan antara lain :

1. Tipe perangkap bubu yang bagaimanakah yang dapat menangkap tikus secara efektif dan dapat menangkap beberapa tikus sekaligus dalam jumlah banyak pada areal persawahan.

2. Zat penarik (atraktan) yang bagaimanakah yang memiliki freferensi tingi terhadap tikus yang dapat dipadukan dengan tipe perangkap sistem bubu, sehingga alat perangkap tersebut lebih efektif.

3. Bagaimanakah cara memanfaatkan tubuh tikus agar supaya bernilai ekonomi tinggi

4. Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatian agar sistem pengendalian hama tikus dapat dilakukan secara kontinu (terus menerus) dan ekonomis, dapat diterapkan di daerah-daerah endemik tikus.


(16)

BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

2.1 Tujuan Penelitian

1. Kegiatan ini dapat menurunkan populasi hama tikus secara drastis sehingga kerusakan padi akibat gangguan hama tikus dapat teratasi.

2. Kegiatan ini dapat membuka wirausaha baru, mengurangi pengangguran, menambah income perkapita, menambah pendapatan daerah dan mengurangi pemakaian rodentisida yang sangat mahal harganya.

2.2. Manfaat Penelitian

1. Rancang bangun perangkap tikus sistem bubu yang dipadukan dengan penggunaan zat atraktan tikus, merupakan alat perangkap tikus paling canggih yang dapat menangkap tikus secara kontinu dalam jumlah yang banyak. 2. Pemanfaatan tubuh tikus menjadi bahan yang memiliki arti ekonomis tertentu

merupakan terobosan baru untuk merangsang orang untuk menangkap tikus secara terus menerus dalam waktu yang lama dan permanen.


(17)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Tikus merupakan hewan liar yang sering kali berasosiasi dengan kehidupan manusia. Asosiasi tikus dengan manusia sering kali bersifat parasitisme, dimana tikus mendapatkan keuntungan sedangkan manusia dirugikan. Tikus telah lama dikenal sebagai hama penting di Indonesia, karena tingkat kerusakan yang diakibatkannya cukup tinggi dan hampir terjadi pada setiap musim.

Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat, luas serangan tikus di lahan persawahan pada musim tanam tahun 2001 mencapai 44.729 ha dengan intensitas serangan 22,8%. Pada musim tanam 2004 kerusakan pertanaman di lahan petani rata-rata 15-30% per tahun, bahkan kadang-kadang terjadi kerusakan yang parah antara 50-100% (Anonim, 2004), sedangkan menurut Departemen Pertanian, kerugian akibat serangan Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT) dalam 10 tahun terakhir, selama periode Januari - Juli mencapai 130.349 ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara 225,2 miliar rupiah, yang sebagian besar diakibatkan oleh serangan tikus. Luas serangan tikus secara nasional selama periode Januari - Juli 2005 mencapai 60.196 ha, diantaranya 1.371 ha terjadi dibeberapa wilayah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Lampung (Anonim, 2005)

Tikus saat ini masih merupakan hama utama tanaman pangan di Indonesia khususnya padi. Luas serangan tikus pada tanaman padi rata-rata setiap tahunnya mencapai 141.743 ha dengan intensitas serangan rata-rata 16,7 % (Direktorat Perlintan 1999). Bahkan di beberapa daerah terjadi kekurangan pangan karena sawahnya gagal total akibat serangan tikus (Lei, TJ.L. at al., 1998).

Tikus merupakan salah satu binatang hama yang sulit dikendalikan dibandingkan dengan hama lainnya. Daya adaptasi hama ini terhadap lingkungannya sangat baik, yaitu dapat memanfaatkan sumber makanan dari berbagai jenis (omnivora). Hewan inipun berperilaku cerdik. Segala aktivitas dilakukan malam hari dengan dukungan indera terlatih sehingga mobilitasnya


(18)

tinggi dan dalam habitat yang memadai cepat berkembang biak dengan daya reproduksi tinggi dan berumur panjang dibandingkan hama lainnya. Tikus betina sudah memasuki umur dewasa seksual pada usia 3 bulan dan dapat beranak 4 kali dalam satu tahun. Masa kehamilannya hanya sekitar 21 hari, denganrata-rata kelahiran anak sebanyak 6 ekor ( 2 s/d 18 ekor). Sehingga secara teoretis, sepasang tikus dewasa seksual apabila dapat melahirkan anak rata-rata 6 ekor/kelahiran (3 jantan dan 3 betina) maka pada bulan ke 13 akan menghasilkan sejumlah 2046 tikus (Natawigena H., 1993). Oleh sebab itu dalam cara pengendaliannya harus mengacu pada konsep meminimalkan populasi awal tikus.

Beberapa cara pengendalian yang dapat diterapkan dalam mengendalikan hama tikus adalah : (a). Penanaman/mengusahakan agar panen serentak dalam areal yang seluas-luasnya yang dimaksudkan untuk menciptakan periode bera/fase vegetatif yang seragam sehingga tikus tidak mendapatkan kesempatan berkembang biak secara sempurna, karena terbatasnya sumber makanan dan kualitas makanan. Disamping itu, karena pertumbuhan tanaman yang seragam, maka pola pertumbuhan populasi tikus juga relatif seragam dan mudah dideteksi. (b). Gropyokan atau perburuan tikus dilakukan dengan cara pemukulan terhadap individu-individu tikus secara langsung, membongkar lubang aktif dengan bantuan anjing maupun dipukul langsung, berburu dengan alat jala kremat dan cara-cara setempat lainnya. Kadang-kadang gropyokan dilaksanakan juga pada saat fase persemaian dengan cara pemukulan tikus pada malam hari dengan alat penerang patromaks. (c). Sanitasi lingkungan dengan membuang semak-semak atau rerumputan, akan mengurangi kesempatan hidup dan berkembang biak tikus. (d). Pemanfaatan musuh alami tikus yang ada di alam, seperti kucing, anjing, burung hantu, ular dan lain-lain. Pemanfaatan musuh alami burung hantu cukup berhasil dalam menekan populasi hama tikus pada perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Namun penggunaan predator tersebut pada tanaman pangan masih perlu dikaji operasionalnya. (e). Pemasangan umpan yang hanya efektif dilakukan pada saat pratanam dan pada saat fase vegetatif. (f). Pengemposan (penggunaan emposan tikus dengan belerang, Kalusa) dilakukan pada liang liang tikus pada saat tanaman memasuki fase generatif . (g) Pengendalian hama tikus dengan tanaman perangkap, pagar plastik, dan bubu perangkap (Liem, 1991).


(19)

Dari sekian banyak alternatif cara pengendalian tikus yang dapat dilakukan, ternyata Pengendalian Hama Tikus dengan Tanaman Perangkap, Pagar Plastik, dan Bubu Perangkap, merupakan cara pengendalian yang paling murah dan paling ramah lingkungan. Pengendalian tikus dengan tanaman perangkap yaitu melakukan penanaman padi lebih awal atau menanam varietas yang berumur pendek dan paling disukai sehingga tanaman tersebut mencapai stadium generatif pada saat tanaman disekitarnya stadium vegetatif. Populasi tikus akan berkunjung dan terakumulasi pada tanaman perangkap tersebut sehingga pengendaliannya dapat difokuskan di lokasi tersebut. Penggunaan tanaman perangkap atau persemaian perangkap (tikus sangat tertarik pada persemaian yang baru disebar) juga dapat dikombinasikan dengan pemagaran plastik dan pemasangan bubu perangkap. Penggunaan bubu perangkap tikus dengan kombinasi pagar plastik pada saat persemaian akan lebih efisien apabila dilaksanakan pada persemaian berkelompok. Pada saat lahan masih bera/belum ada pertanaman selain persemaian (sumber makanan masih terbatas). Maka tikus akan terpancing untuk mendatangi areal persemaian dan tikus terperangkap dalam bubu.

Perangkap bubu tikus merupakan alat bantu untuk memudahkan dalam usaha pemerangkapan tikus pada areal persawahan yang sangat luas, juga sebagai penentu keberhasilan dalam meminimumkan populasi awal tikus. Teknologi perangkap bubu yang beredar dan dikenal saat ini masih sangat sederhana yaitu menggunakan sistem seperti bubu untuk ikan. Penggunaan perangkap bubu khususnya pada persemaian dapat menekan atau menghindari peningkatanm populasi/kerusakan oleh tikus pada fase pertanaman. Dalam uji pendahuluan yang pernah dilakukan, penggunaan perangkap bubu tikus dan tanaman perangkap dinilai cukup efektif dan tampaknya berpotensi besar dalam penekanan populasi tikus namun perlu dikaji kembali aplikasinya dalam skala luas, efektifitas maupun efisiensinya.

Berbagai cara pengendalian tikus telah dilakukan oleh petani baik secara swadaya dan / atau dengan bantuan pemerintah, namun hasilnya masih belum memuaskan, karena pengendalian tikus umumnya dilakukan setelah terjadi kerusakan pada pertanaman yang cukup serius, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa hasilnya tidak memuaskan karena sudah terlambat. Pengendalian hama


(20)

tikus yang benar seyogyanya dilakukan secara terus menerus, dan tidak hanya pada saat-saat terjadi eksplosi saja (Liem J.S., 1991).

Agar pengendalian dapat dilakukan secara terus menerus maka perlu dicari suatu terobosan dalam cara mengendalikan tikus. Salah satu konsep cara pengendalian tikus yang mempunyai prospek baik adalah dengan jalan mengkombinasikan alat perangkap bubu tikus dan menaikkan nilai ekonomi tikus. Apabila tikus bernilai ekomomi maka diharapkan banyak orang akan berebut mencari dan menangkap tikus. KUD Tani Mukti di daerah Cirebon telah merintis pemanfaatan kulit tikus (pengembangan secara kecil-kecilan) : Kulit tikus telah dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan jaket kulit dan tas (Kantor Departemen Perdagangan Cirebon, 1989). Meskipun kecil, manfat/sumbangsih dari usaha ini sangatlah berarti bagi semua pihak khususnya para petani. Karena nilai guna (utility) dari pemanfaatan tikus yang semula merupakan musuh petani pada umumnya, sekarang dijadikan ajang penghasilan bagi petani itu sendiri, yang pada akhirnya berkaitan dengan pengupayaan swasembada pangan yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Disamping itu kulit tikus dapat dimanfaatkan sebagai usaha terobosan baru untuk komoditas ekspor dari kulit hewan, dalam rangka penganeka ragaman penyediaan komoditas kulit. Mengingat penyediaan kulit untuk kebutuhan dalam dan luar negeri masih kurang karena penyediaannya masih terbatas pada kulit sapi, kambing, domba dan kerbau yang untuk mendapatkannya memerlukn waktu yang cukup lama karena tergantung jumlah ternak yang dipotong.

Beberapa tipe perangkap yang banyak beredar di pasaran yaitu berupa perangkap hidup (live trap), perangkap mati (snap trap) dan perangkap berperekat (sticky-board trap) (Priyambodo, 2003). Perangkap yang banyak digunakan oleh petani yaitu tipe perangkap hidup yang sering disebut dengan perangkap bubu. Perangkap bubu biasanya terbuat dari bahan ram kawat dengan pintu berbentuk kerucut. Kelebihan perangkap bubu yaitu dapat menangkap tikus dalam jumlah yang banyak dalam satu kali pemerangkapan serta dapat digunakan berkali-kali dalam waktu yang cukup lama dengan pemeliharaan yang relatif sederhana. Tetapi berdasarkan pengalaman para petani, perangkap bubu memiliki kelemahan dimana tikus lebih banyak tertangkap pada awal pemerangkapan sedangkan pada


(21)

pemerangkapan berikutnya tikus yang tertangkap lebih sedikit dan bahkan tidak ada yang tertangkap.

Dalam usaha mengembangkan potensi perangkap tikus, kendala yang dihadapi yaitu masih sedikitnya sumber daya manusia yang mengeksplorasi potensi perangkap tikus, sehingga perangkap yang saat ini digunakan masih bersifat tradisional dengan daya tangkap yang kurang baik dan dapat menimbulkan jera terhadap tikus. Di samping itu nilai estetika perangkap yang masih rendah membuat lingkungan terlihat kumuh dan kotor apabila digunakan di rumah ataupun di gudang penyimpanan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka perlu dilakukan uji coba berbagai modifikasi tipe perangkap agar dihasilkan tipe perangkap yang memiliki daya tangkap tinggi, tidak menimbulkan jera terhadap tikus serta tidak menguranagi nilai estetika perangkap.

Dalam usaha mengendaliakan hama tikus, konsep yang menjadi acuan adalah konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam suatu kesatuan kordinasi pengelolaan. Teknik pengendalian yang merupakan bagian dari PHT yaitu teknik pengendalian secara mekanik. Pengendalian secara mekanik bertujuan untuk mematikan atau memindahkan hama secara langsung baik dengan tangan atau dengan bantuan alat dan bahan lain. Untuk meningkatkan efektivitas pengendalian secara mekanik perlu dipelajari mengenai fenologi hama, perilaku dan penyebaran hama. Dengan demikian dapat ditetapkan waktu pengendalian secara mekanik yang tepat dan fase hidup yang menjadi sasaran (Untung, 1993).

Teknik pengendalian secara mekanik untuk tikus gudang dapat dilakukan dengan pemerangkapan yaitu dengan menggunakan perangkap hidup. Menurut Priyambodo (2003), di dalam melakukan pemerangkapan tikus, yang perlu diperhatikan yaitu sifat trap-shynessnya yaitu kejadian dimana tikus tidak mau masuk ke dalam perangkap yang disediakan. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pemerangkapan yaitu tipe pintu perangakap yang digunakan, baik dari segi ukuran maupun cara kerja dari pintu tersebut. Untuk dapat menangkap beberapa jenis tikus maka ukuran pintu perangkap dibuat


(22)

dengan menyesuaikan ukuran tubuh tikus yang paling besar. Dari beberapa jenis tikus yang ditemui tersebut, tikus yang memiliki ukuran tubuh paling besar yaitu tikus dari jenis B. indica dengan panjang tubuh rata-rata 360 - 510 mm dan bobot tubuh 200 - 800 mm. Sedangkan untuk menentukan cara kerja pintu perangkap yang akan digunakan, dapat dilihat dari perilaku tikus yang memiliki sifat neo fobia (takut pada hal-hal yang baru). Dengan sifat neo fobia yang dimilikinya, membuat tikus lebih berhati-hati dalam melakukan segala aktivitasnya sehingga tidak menyukai situasi mencurigakan yang dapat mengancam dirinya. Untuk mensiasati agar sifat neo fobia dan situasi yang mencurigakan tidak terjadi pada saat pemerangkapan, maka tipe pintu yang digunakan yaitu pintu dengan sistem gravitasi dan sistem jungkat-jungkit.

Pintu dengan sistem gravitasi merupakan pintu masuk pada perangkap yang dipasang secara horizontal atau vertikal sehingga berada pada titik keseimbangan. Cara kerja pintu ini yaitu pintu akan membuka ketika tikus mendorongnya dan akan menutup setelah tikus melewatinya, sehingga pintu kembali pada titik keseimbangannya. Sedangkan pintu dengan sistem jungkat-jungkit merupakan pintu masuk perangkap yang dipasang secara horizontal dibagian atas perangkap dan berada pada keadaan seimbang. Cara kerja pintu ini yaitu dengan memanfaatkan berat badan tikus pada saat berada pada pintu masuk, sehingga pintu akan mendapat tekanan dan akan terbuka. Selanjutnya pintu akan menutup kembali ketika tikus tidak membebani pintu tersebut.

Selain tipe pintu, faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan pemerangkapan adalah jumlah pintu perangkap dan penempatan perangkap. Semakin banyak jumlah pintu yang terdapat pada perangkap, maka akan semakin besar kesempatan perangkap untuk dapat dimasuki oleh tikus. Sedangkan untuk penempatan perangkap, sedapat mungkin diletakan di jalur-jalur yang sering dilalui oleh tikus, karena pada umumnya pergerakan tikus selalu mengikuti jejak yang pernah dilaluinya dengan menggunakan alat penciumannya yang berkembang baik. Menurut Priyambodo, (2003), penciuman tikus yang baik digunakan untuk mencium urine dan sekresi genitalia sehingga dapat mengenali wilayah pergerakan tikus lainnya, mengenali jejak tikus yang masih tergolong


(23)

sekelompoknya serta mendeteksi tikus betina yang sedang estrus. Selain itu penciuman tikus dapat digunakan untuk mencari menemukan makanannya.

Untuk meningkatkan keberhasilan pada saat melakukan pemerangkapan, penggunaan atraktan dalam bentuk umpan yang disimpan dalam perangkap merupakan langkah sederhana agar tikus mau masuk ke dalam perangkap. Secara umum tikus merupakan binatang yang tidak tahan terhadap lapar, sehingga akan mencari makanan ke berbagai tempat yang terdapat makanannya baik dengan cara sendiri-sendiri maupun berkelompok (Anonim, 1995). Menurut Rochman dkk (1999), semua jenis tikus pada umumnya dapat memakan berbagai jenis pakan, dari yang bergizi tinggi sampai yang bergizi rendah untuk bertahan hidup. Tetapi jika ketersediaan makanan disekitarnya berlimpah, maka tikus akan memilih jenis makanan yang paling baik dari yang lainnya. Dengan demikian atraktan yang disimpan dalam perangkap harus memiliki daya tarik yang tinggi dibandingkan dengan jenis bahan makanan disekitarnya.


(24)

BAB IV.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada skala laboratorium dan skala lapangan. Beberapa Laboratorium yang terlibat dalam penelitian ini adalah : Lab. Vertebrata Hama Jurusam Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan, Fak. Pertanian UNPAD; Lab. Alat mesin dan Tenaga Pertanian, Fakultas Teknik Industri dan Alat Mesin Pertanian UNPAD. Lab. Produksi Ternak Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan UNPAD. Lab. Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan UNPAD. Serta pada lahan persawahan milik petani di Sumedang., Tasik dan Banjaran. Kegiatan penelitian meliputi limat kajian pokok yaitu : Identifikasi jenis tikus dan studi perilakunya, Pembuatan atractan bagi tikus, Pembuatan rancang bangun perangkap bubu tikus, Pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang memiliki arti ekonomi dan penerapannya di lapangan.

4.1. Identifikasi jenis tikus dan studi perilaku tikus pada areal persawahan Penelitian diawali dengan penentuan daerah endemik tikus pada areal persawahan di beberapa lokasi di wilayah Sumedang, Tasik dan Banjaran.. Pada lokasi terpilih diadakan penangkapan tikus dengan menggunakan perangkap (life trap) untuk mengetahui jenis tikus yang dominan pada areal persawahan tersebut. Identifikasi jenis tikus dilakukan secara sederhana dengan menggunakan metode karakter morfologi dan non morfologi. Baik spesies tikus yang dominan maupun yang tidak, dilakukan studi perilaku tikus terutama : daya loncat horizontal dan vertikal, kelincahan, daya cengkram, daya ingat, kemampuan memanjat pada bidang datar dengan kemiringan tertentu, dll. Identifikasi jenis tikus dan kajian perilaku tikus dilakukan sebagai penelitian penunjang untuk keberhasilan alat perangkap bubu model baru yang telah dibuat.

4.2. Pembuatan Zat Atractan Tikus

Zat atractan tikus adalah suatu zat yang mempunyai aroma tertentu yang sangat disukai oleh tikus, sehingga mengundang datangnya tikus ke tempat tertentu. Untuk memperoleh zat atractan tersebut, pertama-tama dilakukan analisa


(25)

lambung tikus dari sejumlah tikus secara random untuk menentukan jenis makanan yang disukai oleh tikus. Jenis makanan yang teridentifikasi dikelompok-kelompokkan antara jenis makanan yang dapat menimbulkan aroma dan tidak. Jenis makanan yang menimbulkan aroma tertentu diuji preferensinya terhadap tikus di laporatorium dengan menggunakan rancangan acak kelompok dan diuji secara statistik. Jenis makanan yang menimbulkan aroma tertentu sebagai zat atractan tikus dapat digunakan sebagai umpan untuk menarik tikus datang ke perangkap bubu tikus.

4.3. Rancang bangun alat perangkap bubu tikus

Pada penelitian ini telah dirancang suatu model alat perangkap bubu tikus yang lebih canggih dari yang pernah ada. Perangkap bubu ini memanfaatkan sistem grafitasi bumi dengan per harus automatis tanpa penggunaan listrik. Penelitian pendahuluan menggunakan metode analisis survey deskriptif dengan tujuan untuk mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan alat perangkap tikus dan kemungkinan model alat yang dapat dikembangkan. Dalam kegiatan ini juga mencangkup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan alat perangkap hewan vertebrata yang sudah pernah dikembangkan. Pada gilirannya desain yang ada tersebut turut pula dianalisis tingkat keberhasilannya dan tingkat efisiensi biaya penggunaannya. Analisis didasarkan atas : (a). Faktor penentu pemilihan alternatif alat yang diperlukan pemakai secara umum. (b). Peningkatan fungsi kegunaan alat dan struktur desain perangkap tikus yang dapat dikembangkan dan memiliki nilai fungsi yang tinggi dengan biaya pembuatan yang serendah mungkin.

Tahap selanjutnya adalah membuat dan menganalisis alat perangkap tikus dengan skala pilot plan yang efektif, praktis dan ergonomis dengan biaya pembuatan yang seefisien mungkin. Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan dalam memilih dan mengembangkan desain model alat perangkap bubu tikus adalah sebagai berikut :

Tahap informasi, yaitu mengumpulkan informasi sebanyak mungkin berkaitan dengan produk yang dipilih dan dikembangkan atau yang dibuat.


(26)

Tahap kreatif, yaitu tahap pengembangan alternatif desain yang dapat dibuat dan dikembangkan.

Tahap Analisis, yaitu mengembangkan ide-ide kreatif untuk melihat kelebihan dan kekurangan disain yang ada yang dibuat. Dengan demikian pada tahapan ini dapat dibangkitkan serangkaian alternatif disain yang mungkin diwujudkan.

Tahap Pengembangan, yaitu memilih dan mengembangkan alternatif disain yang paling baik ditinjau dari beberapa faktor, seperti : teknis, ergonomi, lingkungan, sosial dan ekonomi serta berbagai faktor lainnya.

Tahap Presentasi dan Rekomendasi, yaitu mengimplementasikan disain yang dihasilkan serta merekomendasikan penggunaannya dengan mengacu pada standarisasi pemakaian yang ada.

4.4. Pemanfaatan kulit tikus sebagai bahan yang mempunyai arti ekomomi Kulit tikus dimanfaatkan menjadi bahan yang bernilai ekonomi. Bagian-bagian yang diambil hanya kulit Bagian-bagian badannya saja (kepala ekor, dan Bagian-bagian kaki dipisahkan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ikan, pakan hewan dan pupuk). Setelah dipotong lalu dikuliti, dengan membelah dari tengah di bagian dadanya (perut). Potongan-potongan kulit yang masih berbulu kemudian direntangkan supaya lurus ditempat yang teduh Selanjutnya dapat diberi warna sesuai dengan rencana produksi. Potongan-potongan kulit tikus tadi kemudian dijahit satu dengan yang lainnya Untuk selanjutnya dapat dibuat barang produk yang dikehendaki.

4.5. Pemanfaatan tubuh tikus sebagai pakan ikan buatan dalam bentuk pellet Dalam proses pembuatan pellet ikan, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : Tubuh tikus sebagai sumber protein dihancurkan dengan alat penggiling daging dan diproses melalui proses dehidrasi sehingga berbentuk tepung. Tepung tikus dicampur dengan dedak halus, tapioka/cmc serta beberapa mineral dan vitamin. Pellet dibuat dalam beberapa jenis formulasi dengan perbandingan persentase yang berbeda, dengan batasan : Protein 30%, Serat kasar 5%, lemak 5% dan energi 3000 kkal. Penelitian di lakukan di


(27)

laboratorium. Pengamatan dilihat dari pengaruh perbedaan imbangan prosentase jenis formulasi pellet terhadap pertumbuhan dan kesehatan ikan mas kecil. Ikan mas yang digunakan pada penelitian ini pada stadia 'fingerling'. Formulasi pellet ikan yang terbaik kemudian disempurnakan pembuatannya dengan memperhatikan beberapa aspek tertentu seperti : Kehalusan bahan bakunya, kekerasannya, daya tahannya dalam air, daya mengapungnya, kandungan zat gizi, dan preferensinya terhadap hewan pengonsumsi, cara pengemasan, cara pemasaran, sehingga mempunyai prospek untuk dijual.

4.6. Pemanfaatan tulang, ekor dan usus tikus sebagai pupuk organik

Tulang dan sisa-sisa lainnya dari tikus dihancurkan dengan alat penggiling, kemudian dicampur dengan bahan organik dan limbah serbuk gergaji untuk selanjutnya diberi beberapa perlakuan bakteri dan mikroba yang efektif dalam mempercepat proses degradasi alamiah. Perlakuan terdiri dari, jenis bakteri, mikroba yang digunakan serta pengaruh sinergisme dan antagonisme. Setelah melaui proses degradasi secara sempurna, bahan tersebut di keringkan untuk selanjutnya diuji dalam pemanfaatannya sebagai pupuk. Tepung kering berupa pupuk alamiah diuji efektifitasnya sebagai penyubur tanaman. Formulasi pupuk terbaik kemudian dikemas dalam wadah tertentu sehingga dapat dijual.

4.7. Penerapan sistem pengendalian hama tikus secara kontinu dan ekonomis di lapangan

Penerapan sistem pengendalian hama tikus secara kontinu dan ekonomis di lapangan melalui rancang bangun perangkap bubu tikus (plus atractan) dan pemanfaatan tubuh tikus sebagai bahan yang mempunyai arti ekonomi tertentu, perlu diuji keberhasilannya di lapangan. Penerapan sistem pengendalian hama tikus ini dilakukan di tiga lokasi daerah endemik tikus (Sumedang, Tasik dan Banjaran).


(28)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Identifikasi Jenis Tikus dan Studi Perilaku Tikus 5.1.1. Identifikasi Jenis Tikus

Dari daerah endemik tikus di wilayah Sumedang, Tasik dan Banjaran dapat diketahui jenis tikus dominan yang merupakan hama di wilayah tersebut. Identifikasi dapat dilakukan dengan pendekatan karakter morfologi dan non morfologi. Pendekatan karakter morfologi dengan jalan mengukur karakter fisik dari tikus mencangkup : Panjang tubuh dan kepala;Panjang telinga ;Panjang telapak kaki belakang ;Bobot badan (gram) ;Perbandingan ekor dan kepala ;Lebar gigi pengerat ;Rumus puting susu dan Tekstur rambutnya sedang karakter nonmorfologi dengan mengetahui habitat tempat tikus tersebut ditemukan. Identifikasi tikus dominan berdasarkan urutannya adalah sebagai berikut :

A. Hasil identifikasi pada tikus dominan yang mewakili didapat data sebagai berikut :

1. Habitat tempat tikus ditemukan : persawahan 2. Panjang kepala + badan (mm) : 389

3. Panjang telinga (mm) : 13 4. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 29

5. Bobot tubuh (gram) : 155

6. Lebar gigi pengerat (mm) : 1 7. Jumlah puting susu (pasang) : -

8. Perbandingan ekor/tubuh : 168 : 121

9. Tekstur rambut : Agak halu

10. Warna rambut : Coklat kelabu

Tikus yang teridentifikasi tersebut diduga adalah Rattus argentiventer Rob. & Kloss. (Tikus Sawah)


(29)

B. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Habitat tempat tikus ditemukan : persawahan dekat perumahan 2. Panjang kepala + badan (mm) : 522

3. Panjang telinga (mm) : 26

4. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 48

5. Bobot tubuh (gram) : -

6. Lebar gigi pengerat (mm) : 3 7. Jumlah puting susu (pasang) : -

8. Perbandingan ekor/tubuh : 239 : 283 9. Tekstur rambut : Lurus dan kasar

10.Warna rambut : coklat keabu-abuan

Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Bandicota indica (Tikus wirok)

C. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Tekstur rambut : Lembut

2. Warna rambut : Coklat kelabu

3. Habitat : persawahan

4. Panjang kepala + badan (mm) : 55-85 5. Panjang telinga (mm) : 9-12 6. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 12-18

7. Bobot tubuh (gram) : 20

8. Lebar gigi pengerat (mm) : < 1,5 9. Jumlah puting susu (pasang) : 3 + 2 10. Perbandingan ekor/tubuh : <

Tikus yang teridentifikasi tersebut diduga adalah Mus caroli Kloss (Mencit Sawah)

D. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Habitat tempat tikus ditemukan : persawahan dekat rumah penduduk 2. Panjang tubuh dan kepala : 205 mm


(30)

4. Panjang telapak kaki belakang : 40 mm

5. Bobot badan (gram) : 219 gr

6. Perbandingan ekor dan kepala : lebih pendek ekor

7. Lebar gigi pengerat : 3 mm

8. Rumus puting susu : 2+3

9. Tekstur rambutnya : Kasar

10.Warna rambutnya :Hitam

Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Rattus-rattus diardii

Linn (Tikus Rumah)

E. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Tekstur rambut : Halus

2. Warna rambut : Coklat

3. Habitat : rumah dekat sawah

4. Panjang kepala + badan (mm) : 195 5. Panjang telinga (mm) : 1 6. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 17

7. Bobot tubuh (gram) : -

8. Lebar gigi pengerat (mm) : 1 9. Jumlah puting susu (pasang) : - 10. Perbandingan ekor/tubuh : 86 : 109

Tikus yang teridentifikasi tersebut diduga adalah Mus musculus Waterhouse (Mencit Rumah)

F. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut :

1. Tekstur rambut : Panjang dan Halus

2. Warna rambut : Coklat

3. Habitat : Sawah

4. Panjang kepala + badan (mm) : 224

5. Panjang telinga (mm) : 14


(31)

7. Bobot tubuh (gram) : 47 8. Lebar gigi pengerat (mm) : 1.6 9. Jumlah puting susu (pasang) : 2 + 2 10.Perbandingan ekor/tubuh : 96 :128

Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Rattus exulans Peale (Tikus Ladang)

G. Hasil identifikasi pada tikus didapat data sebagai berikut : 1. Tekstur rambut : Panjang dan halus

2. Warna rambut : Coklat kelabu

3. Habitat : kebun bambu dekat pemukiman

4. Panjang kepala + badan (mm) : 294 5. Panjang telinga (mm) : 21 6. Panjang telapak kaki belakang (mm) : 36

7. Bobot tubuh (gram) : 162

8. Lebar gigi pengerat (mm) : 2.8 9. Jumlah puting susu (pasang) : -

10. Perbandingan ekor/tubuh : 186 :206

Setelah di identifikasi, diduga jenis tikus ini adalah Rattus tiomanicus Miller (Tikus Belukar)

Berdasarkan hasil identifikasi tikus tersebut urutan tikus dari yang paling dominan sampai yang paling jarang ditemukan di sekitar persawahan dan pemukiman adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Urutan Tikus yang Paling Sering Dijumpai Sampai yang Paling Jarana Ditemukan Disekitar Persawahan dan Pemukiman Penduduk

Urutan Jenis Tikus

1 Rattus argentiventer Rob. & Kloss. (Tikus Sawah) 2 Bandicota indica (Tikus wirok)

3 Mus caroli Kloss (Mencit Sawah)

4 Rattus-rattus diardii Linn (Tikus Rumah) 5 Mus musculus Waterhouse (Mencit Rumah) 6 Rattus exulans Peale (Tikus Ladang) 7 Rattus tiomanicus Miller (Tikus Belukar)


(32)

4.1.2. Studi Perilaku Tikus

Baik spesies tikus yang dominan maupun yang tidak, dilakukan studi perilaku tikus. Hasil uji perilaku tikus terhadap kemampuan fisik terungkap bahwa tikus sangat terampil mendaki atau memanjati dinding berpermukaan kasar yang berdiri tegak. berjalan pada seutas kawat. Tikus juga dapat meloncat vertikal setinggi 60-100 cm dan untuk mencit 25 cm. Tikus dapat meloncat sejauh 120-240 cm. Tikus merupakan binatang yang dapat berenang dengan baik dan dapat menembus pipa paralon yang berair. Tikus mempunyai kekerasan enamel pada ujung gigi seri sebelah luar pada 5,5 (kekerasan geologi). Bahan-bahan yang mempunyai skala kekerasan geologi lebih dari 5,5 tidak dapat dirusak oleh tikus. Disamping kemampuan fisik yang baik panca indera tikus juga memiliki kemampuan yang baik pula, Indera sentuhnya sangat baik. Tikus memiliki rambut syaraf (Vibrissae) berupa rambut peraba yang panjang dan tumbuh di depan matanya, kumis, alis dan rambut panjang di antara bulu-bulunya.

Indera penglihatannya kurang baik. Tikus buta warna terhadap warna merah. Indera penciumannya tajam. Hingga tikus dapat membedakan antara lawan dengan kawan.. bagi tikus yang birahi dapat dengan mudah mencari tikus pasangannya. Indera pendengarannya tajam. Dapat menangkap getaran suara ultrasonik, tikus (10-100kHz), mencit (10-90 kHz). Respon yang paling baik pada tikus (40 kHz), mencit (20 kHz). Indera perasanya sangat baik. Mampu membedakan rasa pahit, rasa tidak enakdan rasa manis.. Tikus memiliki sifat neofobi : tikus takut pada segala yang baru baginya (asing). Kejeraan ini biasanya berlangsung kura-kira 3 hari.Tikus memiliki sifat thigmotaxis : yaitu orientasi gerakan yang diakibatkan oleh rangsangan indera peraba. Tikus biasanya memiliki jalur-jalur tertantu untuk gerak-geriknya (run way). Tikus sebagai hewan omnivora (pemakan segala). Makanan utamanya adalah zat pati (karbohidrat). Kebutuhan pakan tikus (10-15% dari BB tikus/hari) dan untuk mencit (20% dari BB mencit/hari). Kebutuhan minum tikus (15-30 cc air/hari) dan untuk mencit 3 cc air/hari). Home range / daya jelajah harian tikus pada saat cukup pakan


(33)

adalah 30-200 m. Pada saat kurang pakan akan terjadi migrasi (perpindahan) yang dapat mencapai 700 m atau lebih.

5.2. Pembuatan Zat Attractant Tikus

5.2.1. Pengujian Daya Pikat Beberapa Formulasi Umpan terhadap Tikus Pengamatan terhadap daya pikat beberapa formulasi umpan dilakukan dengan cara menimbang umpan yang tersisa berikut dengan serpihan-serpihan umpan sisa yang dikumpulkan dalam wadah plastik yang kemudian ditimbang dan diganti setiap 24 jam sekali. Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari 8 perlakuan dan 4 ulangan. Masing-masing formulasi perlakuan tersebut adalah 51% beras + 0,5% vetsin + 3% minyak sawit + 0,5% asam benzoat + 30% parafin padat yang ditambahkan dengan : A = 15% keju; B = 15% cokelat; C = 15% ikan asin; D = 15% tepung kulit udang; E = 15% kelapa bakar; F = 15% telur burung puyuh; G = Pembanding, digunakan umpan beras. H = Kontrol, yang hanya terdiri dari 66% beras + 0,5% vetsin + 3% minyak sawit + 0,5% asam benzoat + 30% parafin padat.

Menurut Emiati (1990), tikus sangat tanggap terhadap setiap perubahan lingkungan, sumber makanan atau benda-benda yang baru dijumpainya. Jika ada perubahan maka tikus akan langsung curiga sambil mengamati perubahan tersebut selama beberapa waktu. Hasil pengamatan hari pertama diketahui bahwa umumnya tikus sawah tidak langsung mengonsumsi umpan yang diberikan. Sebelum dikonsumsi, umpan tersebut dikenali terlebih dahulu dengan cara umpan tersebut didekati, dikelilingi dan dicicipi terlebih dahulu sebelum umpan tersebut dirasa sesuai untuk dikonsumsi. Menurut Du (2002) tikus sawah mempunyai sifat hati-hati terhadap sesuatu yang baru ditemukannya (neofobi), walaupun jenis umpan yang diberikan dirasa cukup enak untuk dikonsumsi namun karena kondisi lingkungan dalam kurungan berbeda dengan seperti biasanya maka tikus sawah cenderung memiliki sifat waspada dan curiga dengan benda asing yang ada dihadapannya. Selama perlakuan, aktivitas makan tikus terjadi menjelang malam hari (± pukul 18.00 WIB). Hal ini menunjukkan bahwa tikus sawah termasuk


(34)

hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal), sehingga mencari makanpun dilakukan menjelang malam hari sampai menjelang subuh (Rochman, 1992).

Daya pikat salah satu jenis formulasi umpan sudah dapat diketahui pada hari ke dua sampai hari ke delapan setelah umpan diberikan, umpan dengan formulasi telur burung puyuh merupakan umpan yang paling disukai tikus sawah dengan rata-rata umpan yang dimakan mencapai 2,4486 g per hari.

Pengujian daya pikat beberapa formulasi umpan terhadap tikus sawah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan Tikus Sawah (g/hari)

Perlakuan Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan (g/hari)

Formulasi keju 1,7359 ab

Formulasi cokelat 1,2546 abc

Formulasi ikan asin 0,8191 bcd

Formulasi tepung kulit udang 0,3753 d

Formulasi kelapa bakar 0,6606 cd

Formulasi telur burung puyuh 2,4486 a

Umpan pembanding 0,3793 d

Umpan kontrol 0,5182 cd

Keterangan :

Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.

Umpan dengan formulasi telur burung puyuh merupakan umpan yang paling banyak dimakan oleh tikus sawah dengan rata-rata jumlah umpan yang di makan sebanyak 2.4486 g per hari. Hal ini diduga karena umpan dengan formulasi telur burung puyuh merupakan bahan penyedap yang paling tepat dicampurkan dengan komposisi bahan-bahan pembuatan umpan. Menurut Suparman (1993) tikus mempunyai indera perasa yang mampu membedakan makanan yang enak dan tidak enak, pahit dan tidak pahit, mengandung racun dan tidak mengandung racun, oleh sebab itu umpan dengan formulasi telur burung puyuh adalah umpan yang cenderung dipilih tikus karena umpan ini diduga memiliki rasa yang lebih enak jika dibandingkan dengan formulasi umpan lainnya.

Telur burung puyuh mengandung protein, lemak, vitamin, mineral (besi, fosfor, kalsium), asam amino, dan karbohidrat (IPTEKnet, 2002). Telur burung


(35)

puyuh memiliki kandungan gizi paling lengkap jika dibandingkan dengan kandungan gizi yang terdapat pada bahan penyedap lainnya. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa tikus lebih memilih umpan dengan formulasi telur burung puyuh, karena tikus memerlukan kandungan gizi yang lengkap dan seimbang untuk kelangsungan hidupnya.

Lain halnya dengan umpan formulasi tepung kulit udang, umpan ini lebih sedikit dimakan oleh tikus sawah jika dibandingkan dengan umpan formulasi telur burung puyuh, keju, cokelat, ikan asin, dan kelapa bakar. Tepung kulit udang merupakan limbah yang berasal dari industri pengolahan udang dan biasanya digunakan untuk pakan ternak (Anonim, 2005c),. Karena tepung kulit udang merupakan limbah, maka kandungan gizi yang terdapat didalamnya lebih sedikit dibandingkan dengan kandungan gizi yang terdapat pada telur burung, puyuh, keju, cokelat, ikan asin, dan kelapa bakar.

Hasil perhitungan persentase umpan yang dimakan dan nilai daya pikat masing-masing umpan yang dimakan tikus rumah, menunjukkan bahwa umpan dengan formulasi telur burung puyuh memiliki nilai persentase dan nilai daya pikat yang paling tinggi dibandingkan dengan nilai persentase dan nilai daya pikat formulasi umpan lainnya. Nilai persentase umpan yang dimakan tikus dari semua formulasi dari yang paling besar hingga yang paling kecil secara berturut-turut adalah formulasi telur burung puyuh, formulasi keju, formulasi cokelat, formulasi ikan asin, formulasi kelapa bakar, umpan kontrol, formulasi tepung kulit udang, dan umpan pembanding (Tabel 3).

Sedangkan nilai daya pikat umpan dari semua perlakuan (Tabel 3), umpan dengan formulasi telur burung puyuh memiliki nilai daya pikat yang paling tinggi yakni 5 kali lipat dibanding kontrol. Perlakuan umpan yang memiliki nilai daya pikat lebih besar dari 1 merupakan umpan yang paling disukai tikus, dengan demikian umpan dengan formulasi telur burung puyuh, keju, cokelat, ikan asin, dan kelapa bakar merupakan umpan yang paling disukai oleh tikus


(36)

Tabel 3. Persentase Umpan yang Dimakan Tikus dan Daya Pikat Umpan dari Masing-masing Perlakuan

No. Urut

Perlakuan Persentase Umpan yang Dimakan (%)

Daya Pikat

1 Formulasi telur burung puyuh 30 5

2 Formulasi keju 21 3,3

3 Formulasi cokelat 15,3 2,4

4 Formulasi ikan asin 10 1,6

5 Formulasi kelapa bakar 8,1 1,3

6 Umpan kontrol 6,4 1

7 Formulasi tepung kulit udang 4,7 0,7

8 Umpan pembanding 4,5 0,7

Dari data hasil pengamatan diketahui bahwa semua perlakuan umpan yang diberikan setiap harinya dimakan oleh tikus dengan jumlah yang berbeda-beda Hal ini terjadi karena tikus adalah binatang yang selalu curiga terhadap segala sesuatu yang baru, tetapi juga memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, karenanya tikus akan mencoba atau mencicipi umpan yang diganti setiap hari walaupun umpan itu sudah dikenalnya. Tikus memiliki indera pengecap yang sangat sensitif dan dapat mengetahui zat-zat yang terkandung dalam suatu bahan makanan melalui indera pengecapnya itu. Oleh karena itu untuk menentukan zat-zat yang dibutuhkannya, tikus mencicipi makanan yang tersedia terlebih dahulu. Tikus dapat menentukan jumlah zat-zat yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Zat-zat pada setiap jenis umpan yang tersedia berbeda-beda sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, tikus setiap hari mengonsumsi semua jenis umpan yang tersedia dalam jumlah yang sesuai dengan yang dibutuhkan.


(37)

5.2.2. Kondisi Suhu dan Kelembaban Udara Saat Penelitian

Berdasarkan pencatatan suhu dan kelembaban udara dengan menggunakan termohigrometer selama percobaan berlangsung, diketahui bahwa suhu maksimum adalah 30,5°C, suhu minimum adalah 27°C dan suhu rata-rata 28°C. Kelembaban maksimum adalah 76%, kelembaban minimum adalah 60% dan kelembaban rata-rata 73%. Kisaran suhu dan kelembaban tersebut termasuk dalam kisaran suhu dan kelembaban yang normal bagi kehidupan tikus (Satriadi, 1994).

5.2.3. Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi pembuatan umpan dihitung untuk mengetahui berapa biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan umpan dari masing-masing formulasi umpan. Berdasarkan penghitungan diketahui bahwa biaya yang paling banyak dikeluarkan adalah untuk pembuatan umpan dengan bahan penyedap keju, dan biaya yang paling sedikit dikeluarkan adalah untuk pembuatan umpan kontrol. Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan umpan dari mulai yang paling tinggi hingga yang paling rendah secara berturut-turut adalah umpan dengan formulasi keju, cokelat, telur burung puyuh, ikan asin, tepung kulit udang, kelapa bakar, dan umpan kontrol (Tabel 4).

Tabel 4 Biaya Pembuatan Umpan

Perlakuan Biaya Pembuatan Umpan Sebanyak 1 Kg (Rp)

Formulasi keju 29.986

Formulasi cokelat 29.062

Formulasi ikan asin 14.856

Formulasi tepung kulit udang 14.031

Formulasi kelapa bakar 13.205

Formulasi telur burung puyuh 15.021


(38)

5.2.4. Daya Tahan Umpan terhadap Jamur dan Bakteri dan Daya Tahan Aroma Umpan

Daya tahan umpan terhadap jamur di udara terbuka dan tertutup plastik di dalam kemasan disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Daya Tahan Umpan Terhadap Jamur

Perlakuan Udara Terbuka

(Hari)

Tetutup (Hari)

Formulasi keju 34 93

Formulasi cokelat 34 93

Formulasi ikan asin 34 93

Formulasi tepung kulit udang 34 93

Formulasi kelapa bakar 34 93

Formulasi telur burung puyuh 12 65

Umpan pembanding 34 93

Umpan kontrol 34 93

Pada hari ke-12 setelah umpan dikeluarkan dari kemasan, umpan dengan bahan penyedap telur burung puyuh mulai ditumbuhi jamur, setelah diidentifikasi ternyata jamur tersebut adalah jamur Aspergillus sp. (Gambar 1). Jamur ini berasal pada beras yang tersimpan (Joedo, 2005). Telur burung puyuh yang mengandung banyak air tercampur dengan beras yang terkontaminasi jamur Aspergillus sp. Menyebabkan perkembangan jamur menjadi lebih cepat. Sedangkan pada umpan berbahan penyedap ikan asin, tepung kulit udang, keju, cokelat, kelapa bakar, umpan pembanding dan umpan kontrol di udara terbuka mulai muncul jamur

Aspergillus sp. Pada hari ke 34 setelah umpan dikeluarkan dari kemasan. Hal ini diduga karena udara lembab yang membawa butiran-butiran air terserap oleh umpan, sehingga lama kelamaan umpan tersebut mengandung lebih banyak air yang menyebabkan jamur yang terdapat pada beras menjadi berkembang.


(39)

Pengujian daya tahan umpan terhadap jamur pada udara tertutup, pada umpan dengan bahan penyedap telur burung puyuh terdapat jamur yang mulai muncul pada hari ke 65 setelah umpan dibuat. Daya tahan umpan berbahan penyedap ikan asin, tepung kulit udang, keju, cokelat, kelapa bakar, umpan pembanding dan umpan kontrol terhadap jamur di udara tertutup adalah 93 hari setelah umpan dibuat.

Penggunaan asam benzoate pada pembuatan umpan ini dapat mencegah munculnya bakteri, selama pengamatan umpan pada udara tertutup dan udara terbuka tidak terdapat bakteri yang menyerang umpan, karena asam benzoate berfungsi sebagai bahan pengawet yang mencegah munculnya bakteri (Departemen Kesehatan, 2005).

Daya tahan aroma umpan berbahan penyedap keju, cokelat, ikan asin, tepung kulit udang, dan kelapa bakar adalah 93 hari setelah umpan di buat..

Gambar 1. Jamur Aspergillus sp.

5.2.5. Daya Tahan Umpan Terhadap Cuaca Panas dan Kondisi Hujan Daya tahan umpan terhadap cuaca panas dan kondisi hujan disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Daya Tahan umpan terhadap Cuaca Panas dan Kondisi Hujan

Perlakuan Cuaca Panas

(Hari)

Kondisi Hujan (Hari)

Formulasi keju 83 19

Formulasi cokelat 83 19

Formulasi ikan asin 83 19

Formulasi tepung kulit udang 83 19


(40)

Formulasi telur burung puyuh 83 19

Umpan pembanding 83 4

Umpan kontrol 83 19

Berdasarkan hasil pengamatan, semua umpan perlakuan yang dijemur di bawah terik matahari tidak mengalami kerusakan (umpan tidak berubah bentuk), bahkan aroma umpan tidak hilang. Hal ini di duga karena suhu pada saat penjemuran umpan berlangsung tidak terlalu panas, sehingga tidak cukup untuk melelehkan parafin padat yang merupakan bahan yang dapat memberi bentuk dari umpan. Umpan tahan terhadap cuaca panas selama 83 hari setelah di jemur.

Pada uji daya tahan umpan terhadap kondisi hujan, umpan pembanding mengalami kerusakan lebih cepat yakni dalam waktu 4 hari setelah umpan disiram melalui pancuran air (shower), umpan pembanding tersebut telah hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Umpan berbahan penyedap keju, cokelat, ikan asin, telur burung puyuh, tepung kulit udang, kelapa bakar, dan umpan kontrol dapat bertahan lebih lama terhadap kondisi hujan yakni 19 hari. Hal ini diduga karena paraffin padat yang digunakan pada umpan pembanding memiliki kualitas yang lebih rendah dan jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan paraffin padat yang digunakan pada umpan uji lainnya, sehingga dalam kondisi hujan umpan pembanding lebih cepat rusak.


(41)

(42)

5.3. Rancang Bangun Alat Perangkap Bubu Tikus

Beberapa langkah kerja yang dilakukan dalam pembuatan perangkap ini disebut Eight-Step Job Plan yang terdiri dari tahap seleksi, tahap informasi, tahap kreativitas, tahap analisis, tahap pengembangan, tahap rekomendasi, tahap implementasi dan tahap verifikasi. Pembuatan perangkap yang dilakukan pada tahap implementasi dapat deskripsikan sebagai berikut :

5.3.1. Perangkap Dengan Pintu Sistem Gravitasi A.

Perangkap dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 10 cm dengan menggunakan bahan ram kawat dan plat besi. Perangkap ini memiliki empat buah lubang pintu masuk disetiap sudutnya dan satu buah pintu keluar disalah satu bagian sisi perangkap dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Pintu masuk perangkap terdiri dari beberapa batang besi kecil dengan panjang ± 9 cm yang disusun secara vertikal dengan pusat putaran dibagian atas sehingga berada pada titik keseimbangan. Batang besi tersebut diletakan di tengah-tengah lorong pintu masuk yang berukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm. Agar pintu dapat membuka satu arah (ke arah bagian dalam perangkap), maka dibagian terluar dari titik keseimbangan pintu dipasang pembatas kecil yang terbuat dari plat besi yang berfungsi sebagai kunci. Sedangkan untuk pintu keluar bahan yang digunakan yaitu plat besi dan tidak memiliki lorong pintu. Untuk menyimpan atraktan dibuat kotak dengan bahan ram kawat yang berukuran 10 cm x 10 cm x 10 cm dan diletakan di tengah-tengah perangkap.


(43)

Gambar 4. Bentuk Perangkap dilihat dari atas

5.3.2. Perangkap Dengan Pintu Sistem Gravitasi B.

Perangkap dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 10 cm dengan menggunakan bahan ram kawat dan plat besi. Perangkap ini memiliki empat buah pintu masuk dan satu pintu keluar dengan menggunakan bahan yang berbeda. Pintu yang terbuat dari bahan ram kawat dan plat besi dengan ukuran 9 cm x 10 cm, sedangkan lorong pintunya berukuran 10 cm x 10 cm. Seperti halnya pada perangkap dengan pintu sistem gravitasi A, pintu inipun diletakan secara vertikal dengan pusat putaran dibagian atas dan hanya dapat membuka pada satu arah yaitu ke bagain dalam perangkap. Perangkap tipe ini memiliki dua buah ruangan di bagian dalam sehingga pintu masuk terbagi menjadi dua bagian. Dua buah pintu yang diletakan di sisi perangkap dipasang dengan posisi agak menjorok ke bagian dalam perangkap sepanjang 3 cm, sedangkan dua buah pintu dibagian dalam perangkap dipasang secara berurutan dengan jarak 10 cm. Untuk menyimpan atraktan dibuat ruangan berbentuk setengah tabung dengan ukuran sisi-sisinya 10 cm dan jari-jarinya 5 cm. Ruangan ini terbuat dari bahan ram kawat dan diletakan di tengah bagian depan perangkap.


(44)

Gambar 5. Perangkap Tikus Bubu dilihat dari samping

Gambar 6. Perangkap tikus bubu dilihat dari atas

5.3.3. Perangkap Dengan Pintu Sistem Jungkat-Jungkit.

Perangkap dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 10 cm dengan menggunakan bahan dari plat besi. Perangkap ini memiliki tiga buah pintu masuk yang diletakan dibagian atas perangkap dan satu pintu keluar yang diletakan di pinggir perangkap. Pintu masuk perangkap ini berbentuk balok yang terbuat dari bahan plat besi dengan ukuran 30 cm x 10 cm x 10 cm. Pintu ini diletakan secara horizontal dengan titik tumpu dibagian tengah dan hanya dapat membuka pada satu arah yaitu ke bagain dalam perangkap (ke bawah). Sedangkan untuk pintu keluar terbuat dari plat besi dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Atraktan disimpan


(45)

dalam ruangan pintu masuk perangkap yang dibatasi oleh ram kawat, sehingga terdapat dua ruangan dalam pintu masuk perangkap.

Gambar 7. Dilihat dari samping

Gambar 8. Dilihat dari atas

5.3.4. Perangkap Bubu kontrol dengan Pintu mirif bubu untuk Ikan.

Perangkap ini adalah perangkap bubu tikus yang sudah biasa digunakan oleh petani, bentuknya sangat sederhana. Perangkap dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 10 cm dengan menggunakan bahan dari ram kawat. Perangkap ini memiliki satu buah pintu masuk yang diletakan di bagian samping perangkap. Pintu masuk perangkap ini berbentuk bulatan yang terbuat dari bahan kawat dengan diameter 10 cm. Perangkap bubu ini dijadikan perangkap bubu kontroltempat menyimpan atraktan yang dibatasi oleh ram kawat.


(46)

Gambar 9. Perangkap Bubu konvensional dilihat dari samping (sebagai kontrol)

5.3.5. Jumlah Tikus yang Tertangkap dari setiap jenis Perangkap Bubu Pengamatan dilakukan setiap tiga hari sekali (dua kali berturut-turut) pada enam lokasi yang berbeda (sebagai ulangan). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 8 di bawah ini.

Tabel 7. Jumlah tikus tertangkap dari setiap tipe Perangkap bubu Lokasi Penangkapan (sebagai ulangan)

Tipe

Perangkap I II III IV V VI

Total tangkapan

Rata-rata

A 3 1 2 2 3 1 12 2,00

B 5 3 1 2 4 2 17 2,83

C 3 1 2 1 1 - 8 1,33

Kontrol 1 1 - 1 2 - 4 0,67

Jumlah tangkapan tikus dengan menggunakan perangkap bubu tikus yang dikembangkan memiliki perbedaaan yang nyata dibandingkan dengan tipe perangkap bubu biasa (kontrol.). Tipe perangkap A rata-rata memiliki jumlah tangkapan tikus sebesar1,83 ekor, Tipe perangkap B rata-rata memiliki jumlah tangkapan tikus sebesar 2,17 ekor, Tipe perangkap C rata-rata memiliki jumlah tangkapan tikus sebesar1,33 ekor, Tipe perangkap D (kontrol) rata-rata memiliki jumlah tangkapan tikus sebesar 0,67 ekor. Jumlah tangkapan tikus oleh perangkap


(47)

bubu ini tergolong sedikit, hal ini berkaitan dengan kemarau yang sangat panjang yang menyebabkan populasi tikus di beberapa wilayah tertentu turun cukup tajam.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui jenis perangkap tipe B memiliki jumlah tangkapan yang paling banyak dibandingkan dengan tipe perangkap yang lainnya. Tipe perangkap B lebih baik dibandingkan dengan perangkap lainnya hal ini diduga kuat karena pada tipe perangkap B memiliki desain yang baik sebagai perangkap bubu, pada desain perangkap B, apabila ada tikus yang masuk maka tikus tersebut akan terpaksa tergiring pada tempat tertentu yang lebih tersembunyi, tempat tersebut cukup menjorok ke belakang dan terhalang oleh sekat dari plat baja sehingga tidak dimungkinkan ada komunikasi antar tikus. Sehingga tikus yang belakangan akan masuk peramngkap tidak melihat adanya tanda bahaya. Berbeda dengan perangkap tipe lainnya yang tetap memungkinkan adanya komunikasi antar tikus, sehingga tikus yang sudah tertangkap akan memperlihatkan kegelisahan dan menjadikan tikus yang baru datang akan takut dan mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam perangkap bubu tersebut. Sehingga untuk selanjutnya perangkap bubu tipe B dapat direkomendasikan sebagai tipe perangkap bubu masa depan.

Gambar 10. Perangkap Bubu Tipe B, yang ditrekomendasikan sebagai perangkap Bubu tikus


(48)

5.4. Pemanfaatan Kulit Tikus sebagai Bahan yang Mempunyai Arti Ekonomi.

Saat ini gaya hidup semakin berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi. Hand phone adalah suatu alat yang saat ini berkembang dengan pesat dimasyarakat dikarenakan fungsinya yang sangat penting. Untuk mengamanakan alat yang sangat penting tersebut dari ganguan seperti terjatuh, terkena air hujan, atau sebagainya dan untuk mempermudah dalam bepergian maka diciptakan pelindung/ bungkus HP, tapi sekarang ini fungsinya tidak hanya untuk pelindung tetapi juga sebagai asesoris untuk menarik perhaitan orang.

Tikus memiliki struktur bulu yang halus sama seperti bulu kelinci. Dari alasan tersebut maka tikus dapat dimanfaatkan sebagai asesoris tempat HP, atau produk lainnya seperti asesoris gantungan kunci, taplak meja, taplak gelas, gelang, ikat ramput, bondu dan lain-lain. Oleh karena itu ini merupakan prospek yang sangat bangus untuk dkembangkan.

Prosedur cara Pemanfaatan Kulit Tikus sebagai Sarung HP adalah sebagai berikut : Matikan tikus dengan cara di bius menggunakan chloroform 90 %. Diamkan sampai jantungnya berhenti berdenyut.Pembedahan dimulai dengan menggunting pada bagian bawah perutnya ± 1,5 cm lalu mengelupaskan kulit sampai pada bagian kaki, selanjutnya potong bagian-bagian kakinya dan ekor . Kuliti terus sampai pada bagian mata dan telinga, hati-hati jangan sampai robek. Kulit yang sudah terpisah dari badannya selanjutnya direntangkan pada sereform dengan menggunakan jarum pentul. Selanjutnya membuat larutan garam-tawas yaitu dengan memasukan tawas pada larutan air, kemudian air dipanaskan sampai mendidih selanjutnya masukan sedikit garam. Diamkan larutan tawas tersebut sampai tidak terlalu panas, masukan kulit tersebut dengan merendam selama 30 detik. Keringkan dan rentangkan sehingga menghasilkan bulu yang halus dan kuat. Kulit yang sudah jadi dijahit dan dibentuk seperti bungkus HP yang pada akhirnya akan menjadi bungkus HP yang cantik dan indah dan tidak menyangka bahwa itu terbuat dari kulit tikus. Sedangkan untuk membuat asesoris dan hiasan kulit lainnya tinggal dibentuk sekehendak kita berdasarkan keingan produk yang dibuat serta sentuhan seni.


(49)

Gambar 6. Sarung Hp terbuat dari kulit tikus


(50)

Gambar 8. Asesoris Gantungan Kunci dari Kulit Tikus

5.5. Pemanfaatan Tepung daging Tikus untuk Pakan Ikan Hias

Kandungan protein tikus sekitar 60-62% atau lebih tinggi 30% dibandingkan tepung ikan memungkinkan tepung daging tikus dapat dijadikan sebagai alternatif sumber protein yang berpotensi tinggi. Daging tikus mempunyai kandungan nutrisi yang sangat tinggi diantaranya dari daging tikus per 100 gram berat basah yaitu Protein = 62,2 gram; Lemak = 24 gram; Karbohidrat = 6,6 gram; Fosfor = 61 mg; Sodium = 40 mg; Potassium = 17 mg; Riboflavin = 12 mg; Niacin = 1,8 mg. Kandungan nutrisi lainnya adalah Vitamin C, Zinc, Cu, Mn, dan Yodium. Sehingga tepung daging tikus dapat dimanfaatkan sebagai pelet ikan hias.ataupun binatang peliharaan lainnya seperti kucing, kura-kura, ular dll.

A. Pembuatan Pelet Ikan hias (Formula I)

Pisahkan daging tikus dari kulit, tulang dan jeroan tikus selanjutnya daging tikus dioven salama 24 jam pada suhun 70º C , yang pada akhirnya daging tikus akan menjadi keras dan rapuh. Daging yang telah matang tadi selanjutnya ditumbuk dengan menggunakan mortil sampai menjadi tepung. Tepung yang sudah jadi selanjutnya dicampur dengan tepung tapioka dan kuning telur sehingga menjadi adonan. Adonan selanjutnya dibentuk menjadi bulat-bulat kecil dan dioven selama 20 menit. Pada suhu 100º C. Hasil akahirnya adonan yang sudah


(51)

dibentuk tadi akan menjadi matang dan keras yang selanjutnya dapat diberikan sebagai pakan ikan hias.

B. Pembuatan Pelet Ikan hias (Formula II)

Dalam proses pembuatan pelet, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: Daging tikus sebagai sumber protein dihancurkan dengan alat penggiling daging, dan diproses dengan melalui proses dehidrasi ( dimasukan kedalam oven 70ºC selama 2 hari), kemudian dihancurkan, sehingga berbentuk tepung. 5 gram tepung tikus dicampur dengan 15 gram tepung terigu aduk sampai rata, tambahkan tiga butir telur (diambil kuningnya saja) dan air secukupnya hingga adonan menjadi kalis. Cetak menjadi bentuk pelet yang di inginkan kemudian dipanaskan dalam oven dengan suhu 100º C selama 20 menit.Dalam pembuatan pelet ikan perlu diperhatikan beberapa aspek tertentu seperti: kehalusan bahan bakunya, kekerasannya, daya tahan dalam air, daya mengapungnya, kandungan zat gizi, dan preferensinya terhadap hewan pengkonsumsi, cara pengemasan, cara pemasaran, sehingga mempunyai prospek untuk dijual.

C. Pembuatan Pelet Ikan hias (Formula III)

Daging tikus dioven salama 24 jam pada suhu 70ºC, Daging yang telah matang tadi selanjutnya ditumbuk dengan menggunakan mortal sampai menjadi tepung.. Tepung tikus yang sudah jadi selanjutnya dicampur dengan tepung cacing merah (sebagai atractan), terigu, tapioka,dan kuning telur sehingga merata. Tambahkan sedikit air hingga menjadi adonan yang mudah dibentuk Adonan selanjutnya dibentuk menjadi bulat-bulat kecil dan dioven selama 20 menit pada suhu 100º C. Hasil akahirnya adonan yang sudah debentuk tadi akan menjadi matang dan keras yang selanjutnya siap digunakan sebagai pakan ikan hias.

Produk yang dibuat merupakan hasil olahan yang bahan baku utama adalah daging tikus dari berat produk yang diperkirakan saat sebelum dioven menyusut hingga 50%. Produk ini dikemas dalam kemasan tertentu agar tahan lama.

Pengujian preferensi terhadap ikan dilakukan dalam beberapa Aquarium, dan hasil produk ini telah mengapung selama 2 jam. Namun bagi ikan akan cepat


(52)

peka tercium karena aroma amis yang sangat pekat jika dimasukan pada air. Hasil terbaik dalam hal preferensi ikan terhadap umpan diperlihatkan oleh formulasi III. Produk yang dibuat memiliki kualitas yang cukup baik terbukti dengan keberhasilan dari beberapa faktor yang merupakan stndarisasi pakan ikan Dengan komposisi seperti yang tertera pada Tabel 5.

Tabel 8. Komposisi bahan pakan ikan formulasi III

Bahan Jumlah bahan per 100 (g) umpan

Tepung terigu 30

Kuning Telur 30

Daging tikus 25

Cacing merah kecil 5

Tapioka 10


(53)

5.6. Pemanfaatan Ekor,Tulang dan Usus Tikus Sebagai Pupuk Bokashi Plus

Dalam usus tikus terdapat asam dan enzim yang dapat menyebabkan tikus menjadi cepat terurai oleh bakteri, karena kandungan zat dalam tubuh tikus. Dengan inovasi lain tubuh tikus dijadikan sebagai nutrisi tambahan untuk mempercepat penguraian sekaligus sebagai pemicu perkembangan bakteri dalam tanah yang diakibatkan oleh beberapa kandungan enzim, protein dan bakteri dalam tubuh tikus. Hal ini akan meningkatkan kualitas pupuk bokashi dengan bertambahnya sumber carbon dan kalsium yang berasal dari ekor, jeroan usus dan tulang tikus. Tulang, usus, dan sisa-sisa yang lainnya dari tikus dihancurkan dengan alat penggiling, kemudian dicampur dengan limbah organik dan serbuk gergaji untuk selanjutnya diberi beberapa perlakuan bakteri dan mikroba yang efektif( EM4) yaitu actinomyces, lactobacillus strain bakteri fermentasi, strain jamur fermentasi untuk mempercepat proses degradasi alamiah. Setelah melalui proses degradasi secara sempurna , bahan tersebut dikeringkan untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagi pupuk. Tepung kering berupa pupuk alamiah akan bermanfaat sebagi penyubur tanaman . Formulasi bokashi plus ini dikemas dalam wadah tertentu sehingga layak untuk dijual.


(54)

Prosedur cara pembuatan Bokashi Pluss adalah sebagai berikut : dua liter air bersih ditambah satu sendok makan gula pasir dua sendok makan Larutan EM4 (aduk sampai gula larut, dan eramkan 24 jam), Siapkan lubang di tanah sedalam 50 cm lahan dipilih ditempat yang teduh. Campurkan sampah organik, dedak, sekam, tambah dengan : jeroan, ekor dan tulang tikus yang telah hancur kemudian aduk sampai merata. Siramkan larutan EM4 ke dalam campuran tadi sambil diaduk-aduk sampai bila dikepal dengan tangan tidak megar. ketebalan adonan tidak sampai lebih dari 25 cm, selanjutnya ditutup dengan karung goni. Aduklah setiap 6 jam sekali atau 3 kali sehari selama 4 hari, kemudian biarkan sampai hari ke-28. pupuk siap digunakan untuk kesuburan tanaman

5.7. Penerapan Sistem Pengendalian Hama Tikus Secara Kontinu dan Ekonomis di Lapangan

Sosialisasi Penerapan sistem pengendalian hama tikus ini dilakukan di tiga lokasi daerah endemik tikus (Sumedang, Tasik, Banjaran). Sosialisasi dihadiri oleh : kelompok petani dan pemuka masyarakat, Kelompok tani dan pemuka masyarakat cukup antusias dalam kegiatan ini. Sosialisasi meliputi : Pengenalan perangkat bubu tikus sistem gravitasi, cara kerja alat bubu tikus dan cara pemasangan perangkap bubu tikusdi lapangan.; Pembuatan atractan tikus yang dapat menarik tikus datang ke perangkap; Sosialisasi dan pelatihan pemanfaatan tubuh tikus menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi tertentu.

Selanjutnya telah ditemukan cara pemasangan perangkap bubu ini dilapangan, cara yang dinilai berhasil adalah dengan cara pemasangan perangkap bubu tikus ini di petak benih padi yang dipagari dengan tirai plastik. Aroma benih padi yang sedang tumbuh di tengah persawahan akan menjadi atractan untuk datangnya tikus ke tempat tersebut. Perangkap dipasang sebanyak empat perangkap untuk setiap petak pembenihan padi yang di letakkan disetiap sudut petak pembenihan padi.

Team dari Perguruan tinggi UNPAD akan terus mendampingi kelompok organisasi pengendalian hama tikus yang baru dibentuk ini sampai dapat mandiri dan menjadi contoh nyata bagi kelompok-kelompok petani lainnya.


(55)

namun dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya pelaksanaan, maka terpaksa kegiatannya untuk sementara waktu ditunda dulu.

Kelompok tani dan pemuka masyarakat cukup antusias dalam kegiatan ini namun ada beberapa kendala dalam penerapannya yaitu, besarnya dana pembuatan perangkap bubu tikus yang perlu dipersiapkan, dan dinilai terlalu ekslusif sehingga ada anggapan masyarakat bahwa alat perangkap ini akan hilang tatkala di pasang dilapangan, sehubungan perangkap ini terbuat dari plat besi dan baja yang saat ini banyak dicari oleh tukang pengumpul rongsokan untuk dijual..


(1)

4. Formulasi Telur Burung Puyuh (untuk pembuatan Atractan sebanyak 1 kg)

Beras 460 g = Rp 1.840

Telur burung puyuh 150 g = Rp 2.400

Vetsin 5 g = Rp 115

Minyak sawit 30 cc = Rp 300 Asam benzoat 5 g = Rp 250 Parafin padat 300 g = Rp 3.750 Jumlah = Rp 13.655 Biaya tak terduga 10% = Rp 1.366 Subtotal = Rp 10.021

5. Formulasi Tepung Kulit Udang (untuk pembuatan Atractan sebanyak 1 kg)

Beras 460 g = Rp 1.840

Tepung kulit udang 150 g = Rp 1.500

Vetsin 5 g = Rp 115

Minyak sawit 30 cc = Rp 300 Asam benzoat 5 g = Rp 250 Parafin padat 300 g = Rp 3.750 Jumlah = Rp 12.755 Biaya tak terduga 10% = Rp 1.276 Subtotal = Rp 9.031


(2)

6. Formulasi Kelapa (untuk pembuatan Atractan sebanyak 1 kg)

Beras 460 g = Rp 1.840

Kelapa 150 g = Rp 750

Vetsin 5 g = Rp 115

Minyak sawit 30 cc = Rp 300 Asam benzoat 5 g = Rp 250 Parafin padat 300 g = Rp 3.750 Jumlah = Rp 12.005 Biaya tak terduga 10% = Rp 1.200 Subtotal = Rp 8.205

7. Umpan kontrol (untuk pembuatan umpan sebanyak 1 kg)

Beras 460 g = Rp 1.840

Vetsin 5 g = Rp 115

Minyak sawit 30 cc = Rp 300 Asam benzoat 5 g = Rp 250 Parafin padat 300 g = Rp 3.750

Jumlah = Rp 11.855 Biaya tak terduga 10% = Rp 1.186 Subtotal = Rp 8.041


(3)

Lampiran 4. Data Jumlah Umpan (g) yang Dimakan Tikus

Hari I

Ulangan (g) Perlakuan

U I U II U III U IV

Total Rata-rata

A 4,2283 2,9845 0.9633 0,9022 9,0783 2,2696 B 0,0715 1,3879 1,0562 0,7355 3,2511 0,8128 C 0,4537 0,4155 0.9853 0,4222 2,2767 0,5692 D 0,1759 0,1591 0,0688 0,1973 0,6011 0,1503 E 0,0247 0,3965 1,4994 0,5325 2,4531 0,6133 F 0,4918 1,7100 4,2804 1,9251 8,4073 2,1018 G 3,1380 0,0122 0,1577 0,1893 3,4972 0,8743 H 0,0492 0,9993 2,2086 0,0938 3,3509 0,8377

Total 8,6331 8,0650 11,2197 4,9979 32,9157 8,2290

Keterangan :

A = Formulasi keju, B = Formulasi cokelat, C = Formulasi ikan asin, D = Formulasi tepung kulit udang, E = Formulasi kelapa bakar, F = Formulasi telur burung puyuh, G = Pembanding, H = Kontrol.

Hari II

Ulangan (g) Perlakuan

U I U II U III U IV

Total Rata-rata

A 0,1818 0,0960 3,7525 1,2873 5,3176 1,3294 B 1,2883 1,1199 1,6898 0,9866 5,0846 1,2711 C 0,0533 2,0129 0,0739 1,5255 3,6656 0,9164 D 0,0632 1,0759 0,1424 0,0779 1,3594 0,3398 E 0,1348 3,7099 0,0582 1,0813 4,9842 1,2460 F 1,7014 1,2592 7,4175 2,1029 12,4810 3,1202 G 0,0164 0,0476 0,0029 0,0179 0,0848 0,0212 H 0,1187 1,9106 0,1586 1,1781 2,3660 0,5915 Total 3,5579 11,2320 13,2958 7,2575 35,3432 8,8356 Keterangan :

A = Formulasi keju, B = Formulasi cokelat, C = Formulasi ikan asin, D = Formulasi tepung kulit udang, E = Formulasi kelapa bakar, F = Formulasi telur burung puyuh, G = Pembanding, H = Kontrol.


(4)

Lampiran 5. Data Rata-rata Jumlah Umpan yang Dimakan Tikus Rumah dari Semua Perlakuan (g)

Hari Rata-rata Umpan yang Dimakan (g)

I 8,2290

II 8,8356

III 7,5096

IV 7,6698

V 2,8408

VI 2,8556

VII 1,5411

VIII 1,4601

Lampiran 6. Dokumentasi Pengujian Atractan

a b


(5)

Lampiran 7. Analisis Jumlah Tikus yang Tertangkap dari Setiap Tipe Perangkap Bubu

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors 4 4 4 4 4 4 6 6 6 6 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 Lokasi 1.00 2.00 3.00 4.00 Perangkap N

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Tikus

27.500a 8 3.438 5.729 .002

73.500 1 73.500 122.500 .000

14.000 5 2.800 4.667 .009

13.500 3 4.500 7.500 .003

9.000 15 .600

110.000 24 36.500 23 Source Corrected Model Intercept Lokasi Perangkap Error Total Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .753 (Adjusted R Squared = .622) a.

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Tikus

Duncana,b

6 .8333

6 1.3333 1.3333

6 2.0000 2.0000

6 2.8333

.281 .157 .082

Perangkap 4.00 3.00 1.00 2.00 Sig.

N 1 2 3

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .600. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. a.

Alpha = .05. b.


(6)