1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja memiliki arti khusus dalam perkembangan kepribadian seseorang. Bukan hanya karena masa remaja memiliki tempat yang tidak jelas
dalam rangkaian proses perkembangan, akan tetapi juga karena remaja belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya Monks dan
Haditono, 2001. Masa remaja ini merupakan masa transisi atau peralihan. Hal ini dikarenakan pada masa remaja ini belum diperoleh status orang
dewasa, tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak. Masa peralihan ini diperlukan untuk mempelajari remaja agar mampu memikul tanggung
jawabnya nanti dalam masa dewasa. Semakin maju masyarakat yang ada, maka semakin sukar tugas remaja dalam mempelajari tanggung jawabnya
tersebut Monks dan Haditono, 2001. Pada masa remaja ini terjadi perubahan besar secara fisik, emosional,
intelektual, akademik, sosial, dan spiritual. Dalam masa ini mulai muncul juga ketertarikan pada lawan jenis sebagai ciri khas kematangan psikologis
yang terjadi pada masa remaja. Ciri khas ini biasanya muncul dalam bentuk ketertarikan untuk bergaul dengan lawan jenis hingga menjalin relasi lebih
intim berupa berpacaran dengan lawan jenis Sofia, 2011. Masa berpacaran menjadi proses positif untuk lebih mengenal
pasangan dan mempersiapkan untuk menuju jenjang pernikahan. Melalui
2
masa berpacaran, remaja dapat belajar untuk melakukan peran sesuai dengan jenis kelaminnya, serta mengolah keterampilan-keterampilan sosial untuk
penyesuaian diri pada fase perkembangan berikutnya Nurhidayah, 2008; Wiendijarti, 2011. Akan tetapi, masa pacaran mulai mengalami pergeseran
makna. Masa berpacaran yang disertai perilaku seksual berisiko menjadi semakin akrab di kalangan remaja Wiendijarti, 2011; Sarwono, 2007.
Perilaku seksual berisiko pada masa berpacaran merupakan aktivitas seksual intercourse pranikah yang berisiko menimbulkan kehamilan di usia
remaja, serta kemungkinan terjangkitnya penyakit menular seksual Santrock, 2002. Perilaku seksual berisiko ini juga berdampak pada meningkatnya
kecenderungan pengguguran kandungan aborsi, pernikahan di usia sangat muda, hingga terhentinya proses pendidikan Elliana, 2012.
Hal ini diperkuat Rose 1987 yang menyatakan bahwa tidak sedikit remaja, khususnya remaja putri, mengalami pertentangan batin setelah
melakukan perilaku seksual berisiko. Banyak remaja putri yang kemudian mengalami kebingungan karena sudah tidak perawan lagi. Kebingungan ini
dipicu oleh kecenderungan masyarakat yang menjadikan keperawanan menjadi dasar dalam hubungan cinta. Kebingungan yang dialami remaja,
khususnya remaja perempuan ini, bahkan seringkali disertai adanya rasa bersalah yang mendalam dan membenci diri sendiri, sehingga banyak remaja
perempuan tidak lagi menghargai dirinya serta cenderung tidak mempedulikan dirinya lagi Rose, 1987; Wiendijarti, 2011; Sarwono, 2007.
3
Dalam penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa UNNES 2009, 31 responden remaja dari 100 orang pernah melakukan hubungan
seksual dengan pasangannya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Keluarga Berencana Nasional BKKN pada tahun 2011
menyebutkan bahwa dari 663 responden laki-laki dan perempuan usia 15-25 tahun di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali, sebanyak
69,6 atau 462 orang mengaku pernah melakukan hubungan seksual dan 6 di antaranya adalah pelajar SMP dan SMA.
Semakin maraknya perilaku seksual berisiko yang dilakukan oleh remaja pada masa berpacaran merupakan dampak dari tidak tercapainya
komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja Prager, 1995. Keluarga sebagai lingkungan primer menjadi tempat paling intensif dan awal bagi
individu untuk mengenal norma-norma dan nilai. Ini merupakan tahapan awal sebelum individu mengenal nilai dan norma dari masyarakat umum Deddy
Mulyana, 2001; Sarwono, 2007. Nilai-nilai yang dianut orang tua akhirnya akan dianut pula oleh
remaja. Bahkan sifat negatif yang ada pada remaja tidak dapat dipungkiri sebenarnya ada pula pada orang tuanya Sarwono, 2007. Deddy Mulyana
2001 dan Sarwono 2007 menambahkan bahwa norma dan nilai dalam keluarga ini diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua
terhadap anak, salah satunya dalam proses komunikasi. Komunikasi yang efektif dalam keluarga ini akan menjadikan seseorang tahu siapa dirinya dan
membentuk kepribadian seseorang. Oleh karenanya, komunikasi yang efektif
4
antara orang tua dan remaja menjadi hal yang perlu diperhatikan Mulyana, 2001.
Tidak terciptanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja akan tampak dari tidak adanya komunikasi yang aktif, yang di dalamnya
terdapat kejujuran, keterbukaan, pengertian, dan saling percaya, sehingga hubungan menjadi dingin, kurang akrab, dan kurang menyenangkan
Wahlroos, 1988; Gunarsa, 2002. Hal-hal yang dibicarakan cenderung tidak jelas dan kurang spesifik, terutama dalam usaha untuk memecahkan masalah
Olson, 1992. Bahkan isi dari pesan tidak mampu ditangkap dan diterima secara cermat oleh orang tua dan remaja, sehingga isi dari komunikasi ini
tidak akan memberikan pengaruh terhadap pendapat, sikap, dan tindakan Gunarsa, 2002; Rakhmat, 2008. Komunikasi yang tidak efektif ini juga
tidak akan mampu menjembatani kesenjangan antargenerasi Setiono, 2011. Dengan adanya komunikasi yang efektif, manusia terbantu dalam
perkembangan intelektual dan sosialnya. Identitas atau jati diri juga terbentuk karena adanya komunikasi dengan orang lain. Manusia dapat menguji
kebenaran kesan-kesan dan pemahaman yang dimiliki tentang dunia sekitar melalui komunikasi Johnson dalam Supratiknya, 1995. Bahkan kualitas
komunikasi yang dijalin akan berpengaruh pada kesehatan mental serta kualitas hidup manusia Johnson dalam Supratiknya, 1995; Rakhmat, 2008.
Efektivitas komunikasi ini tergantung pada pertumbuhan individu ke arah kedewasaan emosional karena bergantung pada kemauan dan kemampuan
untuk berubah ke arah perbaikan Lunandi, 1987.
5
Adanya keterkaitan antara komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja dengan perilaku seksual berisiko yang dilakukan remaja tersebut,
mendorong peneliti untuk meneliti lebih dalam terkait komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja pada remaja yang melakukan perilaku
seksual berisiko dengan subjek remaja perempuan. Peneliti menilai bahwa penelitian ini penting untuk dilakukan karena perlu adanya upaya untuk
mencegah semakin meningkatnya kecenderungan remaja, khususnya remaja perempuan, melakukan perilaku seksual berisiko pada masa berpacaran, yang
tentu akan berdampak pada kehidupan masyarakat dan remaja itu sendiri.
B. Rumusan Masalah