PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI KINERJA PERUSAHAAN DAERAH (STUDI PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM) WAY RILAU)

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI KINERJA

PERUSAHAAN DAERAH

(Studi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau) Oleh

Randi Adhiyan

Berdasarkan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 117 Tahun 2002 tentang penerapan praktek Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN/BUMD. Dasar pertimbangannya adalah prinsip GCG merupakan kaidah, norma ataupun pedoman korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN/BUMD yang sehat; dan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Berdasarkan peraturan tersebut maka BUMN/BUMD wajib menerapkan prinsip-prinsip GCG untuk memperbaiki kinerja perusahaan. PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung merupakan salah satu BUMD yang telah berkomitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) pada tata kelola perusahaan. Karena itu menarik untuk diketahui dan dianalisis apakah prinsip-prinsip tersebut sudah mampu diwujudkan. Pendekatan ini bertipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dimana pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, pengamatan dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model interaktif yang terdiri dari tiga hal yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hal-hal yang akan diteliti adalah (1) Kesesuaian Tata Kelola PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dengan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Tata kelola perusahaan yanga akan diidentifikasi dibagi menjadi 3 (tiga) aspek: Aspek Keuangan; Aspek Teknis dan Operasional; dan Aspek Kelembagaan. (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketercapaian prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) pada Tata Kelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau Kota Bandar Lampung. Berdasarkan hasil analisis data terkait dengan tata kelola PDAM Way Rilau yang dilihat dari 3 (tiga) aspek maka dapat disimpulkan bahwa tata kelola PDAM Way Rilau masih jauh kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain: (1)Belum efektifnya struktur organisasi yang ada; (2)Buruknya manajemen perusahaan yang dimiliki oleh PDAM Way Rilau; (3)Kurangnya kompetensi sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan; (4)Kurangnya standar peralatan dan sarana pra sarana perusahaan. Kata kunci: Good Corporate Governance (GCG), Kinerja.


(2)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF THE GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) PRINCIPES AS AN EFFORT TO OPTIMIZE LOCAL STATE

COMPANY PERFORMANCE

(A Research in Local State Drinking Water Company (PDAM) Way Rilau) By

Randi Adhiyan

According to State Company Minister Regulation Number 117, Year 2002 regarding the implementation of Good Corporate Governance (GCG) for State Company/ Local State Company (BUMN/ BUMD). The consideration is that the principles of GCG is the rule, norm, or guide for corporation needed in the management of good BUMN/ BUMD management; and to increase the company performance. Due to this law, BUMN/ BUMD must apply GCG principles to recover company performance. Local State Drinking Company Way Rilau Bandar Lampung is one of BUMD which has made commitment to adjust the GCG principles to corporate management. So, this case is interesting to be known and analyzed, whether the GCG is able to be realized. This approach is a descriptive type, using qualitative approach, where the data collection used a deep interviewing, observation, and documentation. The data analysis uses interactive model consisted of three points: data reduction, data displaying and conclusion withdrawal.

The points that has been researched are: (1) The Meets between PDAM Way Rilau Bandar Lampung management and Good Corporate Governance Principles. Corporate management that has been identified divided into 3 general aspects: Finance Aspect; Technical Aspect and Operational Aspect; and Institutional Aspect. (2) The factors which influenced the implementation of Good Corporate Governance implementation of PDAM Way Rilau Bandar Lampung management. According to the result of data analysis regarding PDAM Way Rilau management system, which can be seen from 3 aspects, so the researcher may include that the managerial aspect of PDAM Way Rilau still far away from the conformity of Good Corporate Governance (GCG). The factors affecting are: (1) She organization structure is still not effective; (2) The human resource management is poor; (3) The lack of human resource competency owned by corporation; (4) The unnecessary of equipment standard and facilities of corporation.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era otonomi daerah ini, pembangunan daerah berperan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumberdaya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan juga kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 bertujuan dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, pemerintah juga telah melakukan revisi beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan ditetapkannya undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Substansi perubahan undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi,


(4)

kebutuhan dan prioritas daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi pada gilirannya nanti akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Ekana, 2009:1).

Dalam suatu pelaksanaan pembangunan daerah, peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan faktor penopang yang memegang peranan penting dalam kesuksesan implementasinya. Pemerintah juga memberikan perhatian yang besar terhadap sumber PAD. Hal ini dimaksudkan agar daerah dapat memungut sumber-sumber pendapatannya secara optimal sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Namun demikian, pelaksanaan pemungutannya tidak boleh menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tetap menciptakan iklim yang kondusif bagi investor.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 158 menyebutkan pos penerimaan APBD salah satunya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari: Hasil pajak daerah; Hasil Retribusi Daerah; Hasil BUMD dan kekayaan lain yang disahkan; Dana perimbangan; Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Penerimaan daerah ini dapat ditingkatkan dengan berbagai usaha, terutama dalam rangka meningkatkan penerimaan yang berasal dari pungutan dan laba perusahaan daerah. Peluang pada bagian ini cukup besar, dengan cara mengoptimalisasikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ada, sehingga BUMD tersebut mampu meningkatkan penghasilannya sehingga dapat menambah sumbangan terhadap daerah selain memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat.


(5)

Tidak berbeda dengan daerah lainnya, daerah Lampung juga memerlukan biaya yang besar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun melanjutkan proses pembangunan. Maka wajar jika Pemerintah Daerah Lampung terus berusaha meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai proses –proses pemerintahan daerah yang ada. Mengoptimalkan perusahaan-perusahaan milik daerah yang ada merupakan salah satu proses yang harus dilaksanakan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah.

PDAM Way Rilau merupakan institusi pemerintah daerah yang bertugas sebagai pengelola penyediaan air bersih untuk kebutuhan masayarakat Kota Bandar Lampung.Penyediaan air bersih Kota Bandar Lampung menggunakan sistem perpipaan dan sudah beroperasi sejak tahun 1976, dengan pendiriannya berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) No. 2 Tahun 1976 tanggal 11 Maret 1976 yang disahkan juga dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/345/B/III/HK/1976 tanggal 26 Juni 1976 dan diundangkan dalam lembaran Daerah seri D No. 22 tanggal 14 Juli 1976. Perusahaan Daerah Air Minum Way Rilau sebagai satu-satunya perusahaan yang dipercaya oleh pemerintah kota Bandar Lampung untuk memberikan pelayanan di bidang air bersih/minum

Sebagai BUMD, maka orientasi dari PDAM Way Rilau adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat akan air minum serta mancari keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam konteks otonomi daerah, maka prinsip-prinsip ekonomis penyelenggaraan PDAM harus lebih berorientasi pada keuntungan


(6)

guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Seiring dengan hal itu fungsi pelayanan publik yang sebaik-baik nya juga menjadi faktor yang perlu dilakukan oleh PDAM. Sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan maka prinsip- prinsip penyelenggaraan perusahaan yang berlandaskan pada efisiensi dan efektivitas merupakan keharusan bagi PDAM. Dengan demikian maka PDAM Way Rilau akan mampu memberikan sumbangan terhadap PAD kepada Kota Bandar Lampung.

Menurut keterangan dari Kepala bagian Keuangan, Bapak Toton Sulistiyono S.E yang peneliti dapat dari hasil pra-riset diketahui bahwa PDAM Way Rilau sebenarnya selalu memberikan sumbangan terhadap pemerintah kota Bandar Lampung setiap tahunnya. Besarnya sumbangan tidak menentu berkisar antara Rp.150.000.000-Rp.200.000.000. Sumbangan ini diberikan bukan karena PDAM terikat peraturan, melainkan hanya inisiatif PDAM untuk memberikan sumbangan terhadap PAD Kota Bandar Lampung. Sumbangan rutin ini berhenti pada tahun 2007, disebabkan PDAM Way Rilau mengalami kebakaran besar dan kerugian ditaksir mencapai Rp. 2 Milyar. Mulai saat itu PDAM berhenti memberikan sumbangan dengan alasan masih membutuhkan dana besar untuk perbaikan fasilitas perusahaan.

Kebijakan ini kembali dipertegas dengan adanya surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 690/477/SJ Tahun 2013 tentang Percepatan terhadap program penambahan 10 juta sambungan Rumah Air minum Tahun 2009/2013. Pada surat edaran tersebut, poin 3a menyebutkan bahwa membebaskan PDAM yang cakupan pelayanannya belum mencapai 80% dari jumlah penduduk


(7)

dalam wilayah administratif daerah kabupaten/kota pemilik PDAM dari kewajiban melakukan setoran laba bersih pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan tujuan digunakannya setoran laba bersih dimaksud secara keseluruhan oleh PDAM untuk keperluan investasi kembali (reinvestment) berupa penambahan, peningkatan, dan perluasan sarana prasarana Sistem Air Minum (SPAM) baik fisik maupun non fisik serta peningkatan kualitas layanan pada masyarakat.

Berdasarkan surat edaran tersebut, PDAM Way Rilau menjadi bebas dari kewajiban untuk memberikan sumbangan terhadap PDAM. Hal ini dijelaskan oleh Bapak Toton Sulistiyono S. E bahwa PDAM Way Rilau masih sangat jauh untuk memenuhi standar perusahaan yang berkewajiban memberikan sumbangan terhadap PAD. PDAM Way Rilau memiliki cakupan pelayanan hanya sebesar 32% saja dari jumlah penduduk Kota Bandar Lampung yang berjumlah kurang lebih Rp.800.000an. Untuk mencapai standar cakupan pelayanan PDAM Way Rilau memerlukan dana yang demikian besar, dana tersebut digunakan untuk memperbaiki, mengganti dan menambah infrastruktur perusahaan, seperti pipa penyalur utama, tempat penampungan air dan lain-lain.

Beberapa permasalahan yang dialami oleh perusahaan berdasarkan laporan dari Business Plan dari PDAM Way Rilau tahun 2007 diantaranya dalam Aspek Teknis, pertama, tingkat kehilangan air (selisih air yang diproduksi dan air yang terjual) masih tinggi yaitu mencapai 48% pada Tahun 2007 dan pengaliran air tidak merata pada daerah layanan. Penyebab dari permasalahan


(8)

ini adalah seringnya kerusakan dan kebocoran pada pipa; banyaknya kerusakan pada meter air pelanggan; pembacaan Meter Air Pelanggan yang tidak akurat; banyaknya kasus pencurian air oleh masyarakat; pengembangan yang kurang terencana; peta Jaringan tidak up to date; dan pembagian air kurang berjalan baik. Sementara untuk mengatasi permasalahan tersebut hal tersebut PDAM tidak bisa mengandalkan dana dari perusahaan itu sendiri. Dari jumlah kas PDAM Way Rilau yang berkisar Rp. 5 milyar hanya digunakan untuk biaya operasional sehari-hari saja, bahkan kerap kali PDAM mengalami kerugian tiap bulan.

Kedua, tingginya biaya produksi air baku dan debit air baku tidak stabil (fluktuasi sangat tajam) seringnya penghentian pengaliran air (distribusi) akibat perbaikan pipa. Penyebab dari permasalahan: tingginya pemakaian biaya listrik untuk memompa air baku dari Intake ke WTP (pengolahan); berkurangnya debit air baku baik dari mata air maupun sungai Kuripan pada musim kemarau; kurangnya sumber air baku di Kota Bandar Lampung; sarana dan prasarana produksi sering mengalami gangguan teknis; seringnya terjadi kebocoran akibat pipa pecah; dan kebocoran distribusi pada pipa yang berusia tua.

Masalah dalam aspek manajemen adalah kinerja karyawan PDAM Way Rilau yang masih rendah. Hal ini disebabkan penghasilan karyawan yang belum memadai; penerimaan pegawai tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan; belum optimalnya kerjasama antar bagian terkait; kurang kompetennya pegawai melaksanakan pekerjaan sesuai tugas dan fungsinya,


(9)

ketidakjelasan penerapan SOP; tidak disiplin kerja karyawan; dan tidak adanya penerapan sistem reward and punishment.

Masalah dalam aspek keuangan yakni rasio laba terhadap aktiva produktif hanya 23.41% dan Rasio Laba terhadap Penjualan hanya sebesar 36.19%; rasio Hutang Jangka Panjang terhadap Equitas minus 0.30 dan piutang pelanggan cukup besar. Penyebab dari permasalahan ini diantaranya penerimaan dari rekening air hanya dapat menutupi biaya operasional; rata – rata tarip dibawah rata-rata biaya produksi; tingginya biaya produksi; besarnya jumlah hutang jangka panjang, kemampuan untuk melunasi hutang sangat rendah; pelanggan yang menunggak tagihan PAM lebih dari 3 bulan tidak diputus; daerah pelayanan yang sulit mendapatkan air mempunyai tunggakan yang besar.

Perhitungan kinerja keberhasilan PDAM Way Rilau berdasarkan pada Permendagri Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum bahwa perhitungan kinerja ditinjau dari aspek keuangan, operasional dan adminsitrasi. Hasil perhitungan laporan keuangan PDAM Way Rilau maka akhir kinerja perusahaan PDAM antara lain :

Tabel 1.1 Hasil Kinerja PDAM

No Uraian Hasil Penilaian

Tahun 2006

Hasil Penilaian Tahun 2007 A.

B. C.

ASPEK KEUANGAN ASPEK OPERASIONAL ASPEK ADMINISTRASI

14.25 17.02 10.00

14.25 18.72 10.00

TOTAL NILAI 41.27 42.97


(10)

Secara umum, dari hasil penilaian Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa kinerja PDAM tidak meningkat dalam kategori kurang sehat tetapi dari jika dibandingkan nilai perolehan tahun 2006 dan 2007 sudah ada penambahan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka PDAM Way Rilau perlu untuk melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan agar mampu memenuhi kewajibannya sebagai BUMD, dimana disatu sisi harus mampu melayani kebutuhan publik akan air bersih namun disisi lain sebagai perusahaan harus mampu menghasilkan keuntungan bagi daerah berupa sumbangan terhadap PAD. Kedua fungsi tersebut tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik jika perusahaan tidak mau melakukan perbaikan diberbagai bidang dan masih melakukan cara-cara konvensional dalam menjalankan perusahaan daerah. Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) merupakan solusi yang bisa diambil oleh perusahaan.

Menurut Akadun (2007: 131), berbagai permasalahan yang menggelayuti BUMN/BUMD, termasuk masih banyaknya perusahaan yang tidak sehat dan kurang sehat; multiperan yang harus dimainkan BUMN/BUMD; masalah admnistratif subtantif dan teknis penunjang; dan kinerja keuangan yang masih rendah; serta laporan manajemen yang sering mengalami keterlambatan menjadi alasan faktual untuk menggulirkan Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaan perusahaan. Selain itu juga landasan yuridis berdasarkan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 117 Tahun 2002 tentang penerapan praktek Good Corporate Governance (GCG)


(11)

pada BUMN/BUMD. Dasar pertimbangannya adalah prinsip GCG merupakan kaidah, norma ataupun pedoman korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN/BUMD yang sehat; dan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Berdasarkan peraturan tersebut maka BUMN/BUMD wajib menerapkan prinsip-prinsip GCG untuk memperbaiki kinerja perusahaan.

Berdasarkan uraian diatas peneliti hendak mengetahui bagaimana praktek penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) di dalam PDAM Way Rilau. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa perusahaan masih mengalami masalah berbagai bidang dari tahun 2007, bahkan berdasarkan hasil pra-riset peneliti perusahaan belum mampu untuk memberikan kontribusi terhadap PAD Kota Bandar Lampung dikarenakan cakupan layanan masih sangat jauh dibawah standar dan perusahaan masih mengalami kerugian. Maka dari itu penting untuk diteliti apakah prinsip-prinsip GCG telah dilaksanakan dengan baik atau tidak oleh perusahaan, sehingga PDAM Way Rilau tidak kunjung mampu untuk memenuhi kewajibannya sebagai BUMD. Melalui penelitian ini akan mengungkap faktor-faktor yang menghambat perusahaan dalam penerapan prinsip-prinsip GCG itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

Atas dasar uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Apakah tata kelola PDAM Way Rilau sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) ?


(12)

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketercapaian prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam tata kelola PDAM Way Rilau?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah tata kelola PDAM Way Rilau sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).

b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketercapaian prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam tata kelola PDAM Way Rilau.

2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Kegunaan penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan teori, asas, konsep dan landasan tentang manajemen Badan Usaha Milik Daerah.

b. Secara Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan yang berkaitan dengan optimalisasi Perusahaan Daerah dalam peningkatan kontribusi pendapatan asli daerah. Sehingga, ke depannya dapat dimanfaatkan bagi masyarakat akademisi dan masyararakat luas, khususnya bagi PDAM Way Rilau dalam pengembangan perusahaan dan pengambilan kebijakan.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

1. Pengertian BUMD

Disamping Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dikenal juga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 dikenal dengan nama Perusahaan Daerah. Perusahaan Daerah didirikan berdasarkan peraturan daerah, dan merupakan badan hukum, serta kedudukannya diperoleh dengan berlakunya peraturan daerah tersebut. Badan usaha milik daerah (BUMD) adalah suatu badan yang dikelola oleh daerah untuk menggali potensi daerah, yang bertujuan untuk menambah pendapatan asli daerah yang berguna untuk pembangunan daerah tersebut.

Perusahaan daerah adalah suatu produksi yang bersifat memberi jasa, menyelenggaraan kemanfaatan umum dan memupuk pendapatan. Perusahaan Daerah bergerak dalam lapangan yang sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut peraturan perundangan tentang pemerintahan daerah.Undang-undang Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah Pasal 177 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah dapat memiliki BUMD yang


(14)

pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Modal perusahaan daerah terdiri dari seluruh atau sebagian dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Modal perusahaan daerah yang untuk seluruhnya terdiri atas kekayaan suatu daerah dipisahkan tidak terdiri atas saham. Sebaliknya modal perusahaan daerah yang sebagian terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan, modal itu terdiri atas saham. Saham perusahaan daerah terdiri atas saham prioritas hanya dapat dimiliki oleh daerah, sedangkan saham biasa dapat dimiliki oleh daerah, warga negara Indonesia dan/atau badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia dan pesertanya terdiri dari warga Indonesia. Besarnya jumlah nominal saham prioritas dan saham biasa ditetapkan dalam peraturan pendirian perusahaan daerah.

2. Tujuan Badan Usaha Milik Daerah

Badan usaha milik daerah (BUMD) bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan seluas-luasnya demi meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah, yang nantinya akan digunakan untuk pembangunan daerah itu sendiri.

3. Fungsi Badan Usaha Milik Daerah

Fungsi badan usaha milik daerah (BUMD) adalah sebagai fasilitator dalam menjalankan otonomi daerah, yang berfungsi membantu pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahannya yang


(15)

berlandaskan pada otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah harus dapat membiayai rumah tangganya sendiri dengan mengandalakan pendapatan asli daerah, salah satu aset daerah adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mempunyai tujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya yang nantinya akan diberikan sebagian kepada pemerintah dalam hal peningkatan pendapatan asli daerah.

B. Tinjauan Tentang Kinerja

1. Definisi Kinerja

Bernardin dan Russel dalam Ruky (2002:15) memberikan pengertian atau kinerja sebagai berikut :

performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during time period”. Prestasi atau kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu.

Menurut Gibson, dkk (2003: 355), job performance adalah hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja kefektifan kinerja lainnya. Sementara menurut Ilyas dalam Ruky (2002: 16) kinerja adalah penampilan hasil kerja personil maupun dalam suatu organisasi. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi.


(16)

Pengertian kinerja lainnya dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak dalam Ruky (2002: 16) yang mengemukakan kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut.

Menurut Irawan dalam Ruky (2002:16), bahwa kinerja (performance) adalah hasil kerja yang bersifat konkret, dapat diamati, dan dapat diukur. Jika kita mengenal tiga macam tujuan, yaitu tujuan organisasi, tujuan unit, dan tujuan pegawai, maka kita juga mengenal tiga macam kinerja, yaitu kinerja organisasi, kinerja unit, dan kinerja pegawai.

Dessler dalam Ruky (2002: 16) berpendapat : Kinerja (prestasi kerja) karyawan adalah prestasi aktual karyawan dibandingkan dengan prestasi yang diharapkan dari karyawan. Prestasi kerja yang diharapkan adalah prestasi standar yang disusun sebagai acuan sehingga dapat melihat kinerja karyawan sesuai dengan posisinya dibandingkan dengan standar yang dibuat. Selain itu dapat juga dilihat kinerja dari karyawan tersebut terhadap karyawan lainnya.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang kinerja dan prestasi kerja dapat disimpulkan bahwa pengertian kinerja maupun prestasi kerja mengandung substansi pencapaian hasil kerja oleh seseorang. Dengan


(17)

demikian bahwa kinerja maupun prestasi kerja merupakan cerminan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate performance) terdapat hubungan yang erat. Dengan perkataan lain bila kinerja karyawan (individual performance) baik maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga baik.

2. Manajemen Kinerja

Menurut Ibrahim (2008: 77) beberapa pengertian mengenai Manajemen Kinerja adalah:

a. Usaha kegiatan dan program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi (perusahaan) untuk mengarahkan dan mengendalikan prestasi karyawan (Ruky, 2001: 6). Kegiatannya meliputi seluruh proses manajemen, mulai menetapkan tujuan dan sasaran, perencanaan, pengorganisasian, pengerakan/pengerahan serta evaluasi dan hasilnya. Karena harus jelas tujuan sistem kerjanya (apa yang dinilai) dan mestinya berlaku untuk seluruh karyawan (pimpinan dan karyawan). Penilaian harus bersifat timbal balik dan mengikutsertakan pihak-pihak yang ada hubungannya dengan penilaian kinerja tersebut (misalnya pelanggan, masyarakat, mitra dan lainnya) (Ruky, 2001: 1-8).

b. Manajemen Kinerja (performance managemen) pada prinsipnya meliputi seluruh aspek yang menghasilkan prestasi kerja suatu organisasi. Mestinya meliputi seluruh upaya meningkatkan


(18)

sarana-prasarana-proses atau metode kerja-kemampuan sumberdaya manusianya berikut gairah dan motivasi kerjanya-kualitas bahan baku dan unsur-unsur pendukung lainnya. Dalam praktiknya, karena begitu kompleksnya, biasanya lebih ditekankan pada upaya peningkatan prestasi kerja karyawan (Ruky, 2001: 7-12).

c. Roger Below (1961: 370) dalam Ibrahim (2008: 78) mengatakan manajemen kinerja sebagai : “A periodical evaluation on the value of an individual employee for his/her organization, conducted by his/her superior or by some one in a position to evaluate his/her performance”.

Dari berbagai pengertian di atas, dapat dipahami bahwa secara utuh sebenarnya manajemen kinerja adalah upaya untuk meningkatkan prestasi suatu organisasi secara keseluruhan dengan titik tumpu pada peningkatan prestasi dari manusianya. Fokus perhatian pada upaya meningkatkan prestasi anggota suatu organisasi, sehingga dapat mengahasilkan produk yang berkualits dalam bentuk barang dan jasa.

Pendekatan dalam manajemen kinerja telah berkembang dari berpusat pada individu-berpusat pada pekerjaan hingga berpusat pada hasil. Dalam pernyataannya, manajemen yang baik, hendaknya menganut pendekatan kesisteman dengan model masukan-proses-keluaran; sehingga ketiga pendekatan tersebut di atas dengan berbagai interaksinya dengan lingkungan dapat dikelola secara terintegrasi dan bersifat holistic, karena itu sebaiknya disebut Sistem Manajemen Kinerja.


(19)

Manfaat Sistem Manajemen Kinerja antara lain:

a. Meningkatkan prestasi karyawan baik secara perseorangan maupun kelompok, dan akhirnya dapat meningkatkan prestasi organisasi secara keseluruhan.

b. Menunjang minat dan prestasi, apalagi kalau diikuti perangkat reward and punishment system yang tepat (misalnya merit system sebagai standar).

c. Membantu menyusun program pendidikan dan latihan (program pemberdayaan) yang sesuai.

d. Memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memberikan umpan balik yang bermanfaat, sehingga sitem kinerja akan bekerja dengan baik, tidak mengalami stagnansi.

Sistem Manajemen Kinerja akan berjalan efektif jika terpenuhi berbagai syarat, antara lain:

a. Ada relevansi antara faktor-faktor yang diukur dengan objek (pekerjaannya) atau instrumen pengukurannya valid and reliable. b. Sensitif terhadap perbedaan-perbedaan kinerja karyawan, sehingga

penilaian tidak bersifat pukul rata (artinya ada penilaian pribadi dan kelompok).

c. Model dan operasionalisasi sistem dapat dipahami dengan baik oleh semua pihak yang terlibat didalamnya.

d. Sistem Manajemen Kinerja kurang berhasil, bila standar /tolok ukurnya tidak objektif, penilaian yang berpihak (subjektif), sistem saran dan umpan balik yang kurang baik, dan komunikasi yang


(20)

kurang baik antara pihak-pihak yang terlibat di dalam system manajemen kinerja tersebut (Oliver, 1985; Desller, 1994, dalam Ruky, 2001: 28-32).

e. Dari kajian singkat mengenai sistem Manajemen Kinerja sebagai upaya pemberdayaan organisasi, pada dasarnya bersifat sistematik, meliputi upaya pengikatan kinerja manusia dan sarana pendukungnya. Dengan fokus peningkatan kinerja personil sekalipun, sifat kesisteman ini tidak boleh diabaikan, terutama menyatukan pendekatn manusia-pekerjaan-hasil yang ingin dicapai, haruslah terprogram dengan baik, sesuai dengan model kesisteman serta perangkat teknis yang sesuai pula.

f. Peningkatan kinerja sumber daya manusia (SDM) akan lebih maksimal hasilnya dengan menganut prinsip pemberdayaan kelompok/ unit sehingga dapat cepat dimanfaatkan bagi peningkatan kinerja organisasi/ admnistrasi publik.

C. Tinjauan Tentang Good Corporate Governance (GCG)

1. Pengertian dan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Menurut Ibrahim (2008: 144) perkembangan definisi tentang corporate governance sendiri jika diruntu berdasarkan tahunnya akan memperlihatkan dinamika pengertiannya. Bahkan unsur-unsur yang membantu berfungsinya GCG sendiri tidaak lagi berasal dari teori agensi (yaitu pengelola perusahaan; dewan komisaris; pemegang saham; pemberi pinjaman; remunisasi; dividen; berjalannya pasar modal;


(21)

berjalannya pasar tenaga kerja manjerial; serta market for corporate control) melainkan bertambah dengan informasi; transparansi; akuntabilitas; keterbukaan dan kerahasiaan; code of conduct dan aturan; jaminan hukum dan masih bertambah dengan investors (individu, institusi); hak (hak bagi pemegang saham; hak bagi pemberi pinjaman; perangkat hukum dan jaminan hukum).

Pengertian corporate governance telah dirumuskan oleh beberapa orang,

diantaranya:

a) William (1985) dalam Ibrahim (2008: 145) mengemukakan,

corporate governance adalah himpunan kompleks kendala bentuk

yang tawar-menawar di atas-kuasa sewa yang dihasilkan oleh

perusahaan.

b) La Porta; Lopez de Silaens; Schleifer and Vishny (1997-1999) dalam

Ibrahim (2008: 145) menyatakan, corporate governance adalah

seperangkat mekanisme melalui mana investor luar melindungi diri

terhadap pengambilalihan oleh orang dalam.

c) Alexander Dyck (2000) dalam Ibrahim (2008: 145) mengemukakan, tata kelola perusahaan adalah himpunan kompleks kendala sosial didefinisikan yang mempengaruhi kesediaan untuk melakukan investasi dalam perusahaan dalam pertukaran perjanjian.

d) Moeljono (2005: 27) mengatakan, “ GCG merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai


(22)

tambah (value added) untuk semua stakeholder. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya, dan kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.

Corporate Governance diperlukan agar seluruh pihak memperoleh manfaat dari investasi. Hal ini seperti diungkapkan Porter (1996:6), yaitu “Meskipun kritikus sering menyalahkan kekurangan industri Amerika di cakrawala waktu singkat, tata kelola perusahaan tidak efektif, atau tingginya biaya modal, masalah ini hanya gejala dari masalah yang lebih besar. apa yang menjadi masalah di sini adalah efektivitas sistem seluruh AS yang mencakup pemegang saham, kreditur, manajer investasi, direktur perusahaan, manajer dan karyawan. Sistem alokasi modal AS menciptakan sebuah perbedaan kepentingan antara pemilik dan perusahaan yang mengganggu aliran modal investasi-investasi perusahaan yang menawarkan hadiah

berjangka panjang “.

Dari tulisan Porter tergambarkan tambahan unsur-unsur yang membangun corporate governance yaitu: Pemasok; Karyawan; Manajer Investasi dan Lembaga Pendidikan. Untuk membuat corporate governance berfungsi sebagai mana mestinya maka dibutuhkan 5 kelompok yang salin berinteraksi yaitu tersedianya landasan hukum/jaminan hukum; ditegakkanya akuntabilitas;


(23)

terdapatnya fungsi supervisi kinerja direksi; direksi yang mengelola perusahaan-perusahaan; dan manajer beserta karyawan lainnya yang ikut membantu direksi.

Sedangkan menurut Asia Development Bank (ADB) dalam Ibrahim (2008: 145) dalam corporate governance harus ada unsur-unsur shareholders right; equal treatment of shareholders; the role of

shareholders dan adanya disclosure (keterbukaan) dan transparency

(tranparansi). Disini tampak ada unsur tambahan yaitu equal treatment atau keadilan (fairness) dan right (hak).

Selanjutnya dalam Ibrahim (2008: 146) YPPMI dan SC dalam Moeljono (2005: 27), ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep GCG ini, yaitu fairness, transparency, accountability dan responbility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dari kajian terhadap pengertian corporate governance maka segera tampak terdapatnya unsur-unsur corporate governance yang bersl dari dalam perusahaan (dan selalu diperlukan di dalam perusahaan) serta unsur-unsur yang ada diluar perusahaan (dan yang selalu diperlukan diluar perusahaan) yang bisa menjamin berfungsinya GCG.

Adapun unsur yang berasal dari dalam dan unsur dan unsur yang selalu diperlukan didalam perusahaan menurut Hariyoto dkk. (2000) adalah pemegang saham, direksi, dewan komisaris, manajer,


(24)

karyawan, sistem remunerasi berdasarkan kinerja, komite audit; sedangkan unsur-unsur yang selalu diperlukan didalam perusahaan: keterbukaan dan kerahasiaan, transparansi, akuntabilitas, fairness dan aturan-aturan dari code of conduct.

Unsur yang berasal dari luar perusahaan dan unsur yang selalu diperlukan diluar perusahaan, disebut coporate governance eksternal perusahaan. Corporate governance eksternal perusahaan menurut Hariyoto dkk (2000) dalam Ibrahim (2008: 147) meliputi unsur yang berasal dari luar perusahaan adalah: kecukuan undang-undang dan perangkat hukum, investor, institusi penyedia informasi, akuntan publik; institusi yang memihak kepentingan publik bukan golongan; pemberi pinjaman dan pengesah legalitas; sedangkan unsur-unsur yang selalu diperlukan diluar perusahaan adalah : aturan dari code of conduct, fairness, akuntabilitas dan jaminan hukum. Perilaku partisipasi pelaku corporate governance yang berada didalam rangkaian unsur-unsur tersebut (eksternal dan internal) menentukn kualitas corporate governance.

Ada tiga model corporate governance. Pertama, principal agent model atau dikenal dengan agency, dimana korporasi dikelola untuk memberikan win-win solution bagi pemegang saham sebagaib pemilik disatu pihak dan manager sebagai agen dipihak lain. Dalam model ini, diasumsikan bahwa kondisi corporate governance suatu perusahaan akan direfleksikan secara baik dalam bentuk sentiment pasar (seperti pasar modal, pasar produk dan pasar input).


(25)

Kedua, the myopic market model, masih memfokuskan perhatian pada kepentingan-kepentingan pemegang saham dan manager, dimana sentimen pasar lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar corporate governance. Oleh karena itu, principals dan agent lebih berorientasi pada keuntungan-keuntungan jangka pendek yang akan terjadi di periode waktu mendatang.

Ketiga, stakeholder model, yang memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan korporasi secara luas. Artinya dalam mencapai tingkat pengembalian yang menguntungkan bagi pemegang saham, manajer harus memperhatikan adanya batasan-batasan yang timbul dalam lingkungan dimana mereka beroperasi, diantaranya: masalah etika dan moral, hukum, kebijakan pemerintah, lingkungan hidup, sosial, budaya, politik dan ekonomi.

Fokus perhatian dalam corporate governance adalah hubungan diantara stakeholders. Keadilan (fairness) adalah salah satu ukuran normatif yang sering dikaitkan dengan GCG. Untuk dapat menciptakan keadilan diperlukan beberapa prasyarat yang saling terkait dan satu sama lain saling mempengaruhi, di antaranya adalah: transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), kepastian (predictability) dan partisipasi (participation). Bila keempat karakteristik tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka dampak selanjutnya dari corporate governance yang akan dirasakan oleh para stakeholders yang mempunyai berbagai kepentingan, adalah


(26)

terciptanya keadilan (fairness) dalam supra-sistem dimana mereka berinteraksi satu sama lain. Secara diagramatis, hubungan antara GCG, keadilan serta prasyarat-prasyaratnya adalah sebagai berikut.

Gambar1.1 Hubungan antara Good Corporate Governance, keadilan serta Prasyarat-prasyaratnya

Sumber: Hariyoto dkk. (2000) dalam Ibrahim (2008: 149).

Namun Zarkasyi (2008) mengungkapkan hal berbeda dengan Hariyoto dkk (2000) walaupun ada beberapa poin yang sama antara kedua ahli tersebut. Zarkasyi (2008: 38) mengemukakan bahwa setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip GCG diterapkan disetiap aspek bisnis dan disemua jajaran perusahaan. Prinsip GCG yang dimaksud yaitu transparansi, akuntabilitas, responbilitas , indepedensi serta kewajaran,

Good Corporate Governance

Transparancy

Accountability

Predictability

Participation Fairness


(27)

yang mana prinsip-prinsip itu diperluka untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan memperhatian pemangku kepentingan. Berikut penjelasan dari masing-masing asas tersebut di atas.

a) Transparansi

Merupakan salah satu prinsip yang perlu dikembangkan dalam penerapan GCG. Transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan dan dapat diwujudkan antara lain: (1) mengembangkan sistem akutansi yang berbasis standar akuntasi dan penerapan terbaik yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas; (2) pengembangan Teknologi Informasi (TI) dan Sistem Informasi Manajemen (SIM) untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan Kominaris dan Direksi; (3) mengembangkan Manajemen Resiko Perusahaan yang memastikan bahwa semua resiko signifikan telah diidentifikasi, diukur, dan dapat dikelola pada tihgkat toleransi yang jelas; (4) mengumumkan jabatan yang kosong secara terbuka. Sehingga berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa transparansi adalah keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan dan informasi yang relevan mengenai perusahaan.

Menurut Sedarmayanti, (2009: 289) transparansi dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek: (1) Adanya kebijakan terbuka terhadap pengawasan, (2) Adanya akses informasi sehingga masyarakat dapat menjangkau setiap segi kebijakan, (3) Berlakunya prinsip check


(28)

and balance. Tujuan transparansi membangun rasa saling percaya antara perusahaan dengan publik dimana perusahaan harus memberi informasi akurat bagi publik yang membutuhkan.

b) Akuntabilitas

Menurut Dwiyanto, dkk (2008: 57) akuntabilitas merujuk pada suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian tingkat penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada dimasyarakat atau yang dimiliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang berkembang dalam masyarakat tersebut diantaranya prinsip keadilan, penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orientasi pelayanan yang dikembangkan terhadap masyarakat penggunan jasa.

Melalui penerapan prinsip akuntabilas, suatu proses pengambilan keputusan dan kinerja perusahaan dapat dimonitor, dinilai, dan dikritisi. Pada dasarnya prinsip akuntabilitas merupakan tanggungjawab manajemen melalui pengawasan yang efektif berdasarkan keseimbangan manajer dan para pemegang saham. Sehingga akuntabilitas dapat diartikan sebagai kejelasan struktur, pelaksana dan pertanggungjawaban sehingga pengelolaan perusahaan dapat terlaksana secara efektif.

c) Responsibilitas

Definisi responsibilitas menurut Organization for Economic Corporation Development (OECD) yaitu kesesuaian didalam


(29)

pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi. Prinsip ini diwujudkann dengan kesadaran bahwa responbilitas merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggungjawab sosial, menghindari penyalahgunaan kekuasaan menjadi profesional dan menjunjung etika, memelihara bisnis yang sehat demi terciptanya suatu kenyamanan dan pelayanan yang baik sebagai implikasinya.

d) Independensi

Penerapan prinsip ini supaya tidak ada intervensi dari pihak-pihak yang terkait yang dapat mengganggu kemampuannya secara mandiri dan kritis. Penerapan prinsip indepedensi dapat diwujudkan antara lain: (1) tidak adanya intervensi yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik dari pemegang saham, birokrat dan politisasi terhadap pengelolaan perusahaan; (2) bebas dari pengaruh kepentingan pribadi seluruh pegawai perusahaan; (3) tidak ada benturan kepentingandalam perusahaan.

e) Kewajaran

Pengertian fairness atau kewajaran menurut Keputusan Menteri BUMN No. 117/2002 adalah keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(30)

Prinsip kewajaran dapat diwujudkan dengan adanya setiap kebijakan dari perusahaan yang memberi kesempatan yang sama bagi semua pegawai dan adanya sistem pengelolaan karyawan yang berbasis kompetensi. Dengan adanya prinsip kewajaran seluruh aset perusahaan dapat dikelola dengan baik dan hati-hati, yang memberi perlindungan terhadap praktik korupsi yang merugikan perusahaan, memonitar dan menjamin perlakuan yang adil terhadap beragam kepentingan dalam perusahaan yang selalu membayangi dinamika perjalanan perusahaan tersebut.

Menurut sistem legal governance Indonesia, yang bertanggung jawab, berfungsi sebagai jenderal-leader dalam organisasi, untuk terciptanya stakeholders satisfaction adalah dewan komisaris dan direksi. Dewan komisaris dan direksi secara bersama-sama dan berkesinambungan harus membina hubungan dengan stakeholders dalam rangka mencapai tujuan akhir perusahaan yaitu stakeholders satisfaction. Kenyataan ini menunjukkan bahwa titik lemah telah terjadi dalam mewujudkan corporate governance yaitu peran dan tanggung jawab para komisaris perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak menguasai informasi mengenai kinerja operasional perusahaan secara menyeluruh dengan berbagai alasan sebagai berikut: (1) tidak mempunyai latar belakang pengetahuan, keahlian dan informasi yang memadai atas kinerja operasional, (2) tidak mempunyai wewenang cukup (bisa juga kurang jelas) untuk melakukan pengendalian strategis dan operasional, (3) masih


(31)

terbatasnya sarana komunikasi antara dewan komisaris dan direksi dimana pada saat ini cenderung hanya berdasarkan pada aspek keuangan seperti laporan keuangan dan anggaran, (4) alokasi waktu yang terbatas untuk kepentingan perusahaan, dan (5) kompensasi yang belum setara dengan tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya (Ibrahim, 2008: 150).

Oleh karena itu, GCG akan dapat dicapai apabila perusahaan memiliki structural governance yang jelas dengan manajemen yang transparan dan akuntabel dalam mengelola perusahaannya. Adanya aturan main yang jelas dan laporan-laporan yang dapat dipertanggungjawabkan akan mempermudah stakeholder melakukan pemantauan dan pengendalian terhadap para direksi dan jajarannya.

2. Permasalahan Pada Perusahaan Daerah

Untuk menjelaskan permasalahan atau faktor yang menjadi penyebab berbagai permasalahan organisasim publik termasuk didalamnya instansi pemerintah,BUMN maupun BUMD. Peneliti akan memaparkan beberapa konsep dari ahli yang dapat menjelaskan berbagai permasalahan yang menjadi kelemahan dari perusahaan daerah. Menurut Atmosoeparto (Tangkilisan, 2005: 181) mengemukakan bahwa kinerja suatu organisasi akan dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal sebagai berikut:


(32)

a) Faktor eksternal yang terdiri dari:

1) Faktor Politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuasaan negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal.

2) Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar.

3) Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang ditengah masyarakat, yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.

b) Faktor internal terdiri dari:

1) Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi suatu organisasi.

2) Suatu organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada. 3) Sumberdaya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota

organisasi sebagai penggerak jalannya organisasi secara keseluruhan.

4) Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.


(33)

Menurut Akadun (2007: 110), lebih menjelaskan secara spesifik faktor yang menjadi penentu buruknya kinerja BUMN dan dapat juga terjadi pada BUMD/perusahaan daerah yang memiliki kesamaan sebagai perusahaan milik pemerintah. Adapun faktor yang menjadi penentu buruknya kinerja perusahaan daerah dan secara otomatis menyebabkan buruknya kinerja keuangan perusahaan daerah yaitu;

1. Permasalahan Administrasi Teknis Penunjang a. Masalah Struktur organisasi

Masalah struktur organisasi yang kebanyakan terjadi pada perusahaan daerah adalah daerah tersebut belum mengadakan penerbitan organisasi serta belum melakukan penyusunan secara sehat dan efisien. Kesulitan yang timbul didalam penyusunan organisasi yang sehat dann efisien disebabkan oleh banyaknya personel yang ada, melebihi kebutuhan yang riil, juga keseganan untuk mengadakan penyempurnaan struktur organisasi. Implikasi ketidak tepatan stuktur adalah sulitnya pimpinan mengadakan pengawasan, penyaluran tanggungjawab, timbulnya duplikasi dan vakum pekerjaan, memudahkan timbulnya penyelewengan juga dapat menimbulkan pemborosan yang sebenarnya ha-hal tersebut dapat dicegah agar tidak terjadi dalam peaksanaan jalannya suatu institusi atau organisasi.

b. Masalah Manajemen

Manajemen perusahaan daerah sudah terbiasa dengan subsidi dan captive market (pasar domestik) yang ditetapkan oleh


(34)

regulasi pemerintah. Kelemahann mendasar dari manajemen perusahaan daerah yaitu pada umumnya kurang memiliki visi bisnis intinya. Hal ini dapt dipahami karena direksi dari perusahaan daerah diambil bukan dari kalangan profesional yang memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi, lebih mengedepankan mentalitas birokrat.

Dalam kaitan manajemen daerah, Hamid dan Ato (2000) mengatakan bahwa manajemen BUMN/BUMD di indonesia selama ini masih terbawa mental birokrat. Padahal gaya dan cara berfikir birokratik jelas tidak akan cocok lagi untuk mengelola unit usaha bisnis yang sekarang semakin ketat persaingannya dan semakin canggih pula pola manajemennya. Management planning, organizing, leading and controling adalah fungsi manajemen yang harus dihayati dan dipraktekkan oleh perusahaan daerah sebagai sebuah organisasi. Namun demikian realitas menunjukkan terjadi management gap dimana terdapat kesenjangan diantara yang seharusnya dilaksanakan dengam sebenarnya dipraktekkan. Hal ini terjadi karena direksi perusahaan daerah lebih banyak mengikuti acara seremonial dibandingkan memikirkan aspek strategis dan juga karena ketidakmampuan membuat komitmen berdasarkan profesioanl kriteria dan bukan atas hubungan istimewa atau kepentengina tertentu.


(35)

c. Masalah Administrasi Personalia

Ada beberapa persoalan administrasi personalia dalam penatausahaan perusahaan daerah. Pertama, kemurnian pelaksanaan sistem kecakapan pada penerimaan pegawai. Perusahaan daerah pada umumnya belum melaksanakan merrit system secara murni dalam penerimaan pegawai baru. Kedua, ketepatan dalam penempatan pegawai (the right man of the righ place). Menurut Westra (Akadun, 2007: 113), sedikit sekali perusahaan daerah yang mempunyai tenaga ahli yang tepat dan sesuai dengan kebutuhannya baik dari kualitas dan kuantitas. Ketiga, pendidikan dan pelatihan belum menjadi bagian integral pengembang perusahaan. Menurut Wenstra pendidikan dan pelatihan tersebut dilingkungan perusahaan daerah, kebanyakan dilaksanakan untuk pegawai-pegawai tertentu (golongan atas) sehingga golongan bawah kurang mendapat kesempatan. Keempat, sulitnya melaksanakan mutasi pegawai. Padahal mutasi pegawai dirasakan penting untuk meningkatkan kegairahan pegawai dan kesegaran kerja. Kelima, penilaian kecakapan sulit dilaksanakan secara objektif. Penilaian kecakapan biasanya dilaksanakan oleh atasan masing-masing dengan berdasarkan pedoman tertentu namun demikian pertimbangan dan perkiraan atasan sendiri masih dominan dan hal tersebut dapat menimbulkan ketidakadilan dalam pelaksanaannya secara penilaian berdasarkan like or dislike. Keenam, standar ganda dalam status kepegawaian dan penggajian dibeberapa perusahaan daerah.


(36)

Ketujuh, perbedaan peraturan gaji dan jaminan sosial diantara perusahaan daerah. Perbedaan ini terlihat dikalangan pegawai rendah yang bekerja pada perusahaan daerah berkinerja buruk dalam hal keuangan. Kedelapan, sulitnya pemberhentian pegawai. Pada umumnya perusahaan daerah mempunyai persamalahan yang sama yaitu kelebihan tenaga kerja. Meskipun kelebihan pegawai perusahaan daerah sangat sulit melakukan rasionalisasi. Kesembilan, ketertiban presensi. Menurut Wenstra (2002), pada umumnya perusahaan daerah berusaha menertibkan presensi untuk mencegah absentism dengan suatu cara atau sistem tertentu sehingga diharapkan kemungkinan membolos bagi para pegawai dapat dibatasi sekecil mungkin.


(37)

d. Masalah Administrasi Keuangan

Masalah penyusunan dan pelaporan anggaran perusahaan merupakan persoalan krusial dalam administrasi perusahaan daerah, terutama menyangkut penyimpanan usul anggaran yang terlambat, ketertiban dalam pembukuan, pembukuan ganda, standar laporan keuangan, kurangnya tenaga ahli keuangan yang berlatar belakang pendidikan keuangan. Permasalahan-permasalahn ini memicu lemahnya transparansi pengelolaan perusahaan daerah terutama dalam pengelolaan keuangan dan manajemen. Apabila kondisi ini terus berlanjut maka secara perlahan tetapi pasti akan terjadi pembusukan perusahaan dari dalam.

e. Masalah Administrasi Peralatan dan Pembekalan

Menurut Wenstra (2002) ada beberapa permasalahan mengenai administrasi peralatan dan pembekalan. Pertama, ketepatan penyediaan pembekalan. Kedua, standarisasi alat-alat perlengkapan. Penggunaan sarana dan prasarana serta alat produksi perusahaan yang satu dengan yang lain memiliki kriteria dan spesifikasi sendiri. Tidak ada sarana dan prasarana serta alat produksi perusahaan diakibatkan lemahnya koordinasi antara perusahaan-perusahaan tersebut. Ketiga, pemakaian peralatan yang sudah tua. Perusahaan menggunakan peralatan, perlengkapan dan mesin-mesin yang sudah tua sehingga biaya


(38)

perawatannya menjadi tinggi, mengakibatkan kecelakaan kerja, menimbulkan stagnasi serta mengurangi kegairahan kerja. Keempat, tata penyimpanan barang yang kurang tepat.

2. Permasalahan Administrasi Substantif a. Masalah Administrasi Produksi

Menurut Westra (2002) ada beberapa permasalahan administrasi produksi yang berkaitan dengan administrasi perusahaan daerah. Pertama, perencanaan produksi yang kurang lancar. Hambatan proses perencanaan produksi ini mengakibatkan hasil produksi tidak sesuai dengan arah tujuan yang ditetapkan. Kedua, efisiensi kata kerja. Berhubungan dengan pegawai yang kurang memahami benar atau lalai, prosedur atau metode kerja setiapa unit kerja. Ketiga, pengendalian terhadap mutu barang. Meskipun tidak semua mutu hasil perusahaan daerah rendah, namun tidak sedikit perusahaan daerah yang bermutu produksi atau pelayanan masih rendah.

b. Masalah Administrasi Pemasaran

Salah satu proses administrasi perusahaan yang memiliki arti strategis bagi keberlanjutan hidup perusahaan adalah marketting (pemasaran) karena aktifitas ini bersangkutan dengan distribusi barang atau jasa dari produsen kekonsumen. Menurut Westra ada beberapa permasalahan disekitar pemasaran. Pertama, penentunan harga yang tepat. Pada umumnya perusahaan daerah


(39)

kurang memiliki peranan dalam penentuan harga pasar untuk hasil-hasil produksinya dikarenakan adanya intervensi pemerintah dalam penentuan harga didasarkan pada kepentingan pemerintah (harga politis). Kedua, ketepatan samapi barang/jasa kepada konsumen. Terlambatnya distribusi barang/jasa ketangan konsumen akan mengurangi kepuasan konsumen dan sering berlanjut ke beralihnya konsumen tersebut untuk mengkonsumsi barang dan jasa perusahaan lain. Ketiga, belum menjadikan periklanan sebagai strategi pemasaran. Permasalahan promosi dan periklanan pada perusahaan daerah dipicu oleh dua kondisi, yaitu karena monopoli dalam produk dan asumsi kurang tepat dari kalangan manajemen perusahaan daerah.

Sedangkan menurut Joedo dan Nugroho (2006: 49), yang menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan perusahaan daerah, yaitu manajemen yang tidak cukup propesional, budaya perusahaan yang tidak sesuai, dan lingkungan strategis yang seringkali menjadi tambahan beban bagi perusahaan daerah, berikut penjelasannya.

c. Masalah Manajemen

Menurut Joedo dan Nugroho (2006: 50), manajemen perusahaan daerah masih dalam tahap melaksanakan tugas, dan belum sampaikan pada mengontribusikan nilai kepada costumer.


(40)

Kelemahan ini diperkiraan timbul dari kegagalan memahami manajemen secara hakiki dan melakuka pemecahan yang sifatnya manajerial. Sisi pandang ini diangkat dengan melihat manajemen perusahaan daerah saat ini, yang dapat dilihat dari empat sisi: paradigma, struktur organisasi, nilai manajemen, dan dampak yang terjadi.

3. Masalah Budaya Korporat

Sebagaimana diungkapkan oleh Djokosantoso (Joedo dan Nugroho, 2006: 50) bahwa budaya korporat adaalh sistem-sistem nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, ditetapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berprilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Budaya-budaya korporat yang terjadi pada perusahaan daerah adalah:

a. Orientasi kerja

Baik disadari maupun tidak, terdapat kecenderungan dalam perusahaan daerah bahwa nilai orientasi kerja adalah prosedur. Dalam dunia manajemen modern, orientasi kerja seharusnya didasarkan pada dua hal, yaitu kepuasan pelanggan dan produktivitas. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dalam mencapai kinerja yang optima dari sebuah institusi birokrasi.


(41)

b. Cara mengahadapi masalah

Pada perusahaan daerah, budaya yang berkembang adalah mengedepankan proses dari penyelesaian masalah dari pada permasalahan sendiri. Konsekuensinya, keputusan bisnis menjadi lebih lambat, karena setiap isu dibahas lebih pada prosesnya a daripada substansi.

c. Pola pemberian ganjaran

Budaya perusahaan pada perusahaan swasta cenderung memberikan reward sesuai dengan kinerja yang dicapai. Sedangkan pada perusahaan daerah, reward cenderung diberikan dengan lebih mempertimbangan unsur senioritas.

d. Komunikasi

Pola komunikasi dari sebagian perusahaan daerah yang masih banyak dicirikan oleh rasa keraguan dikalangan karyawan untuk

saling menyampaikan gagasan, baik karena adanya rasa “was-was” apakah gagasannya bersifat kritis dan dapat mendatangkan punishment dari organisasi, maupun karena saluran komunikasi ada yang sangat bersifat berjenjang, sehingga selain panjang, juga sangat

mudah terjadi “pencurian gagasan”. Untuk itu, perlu diterapkan alur komunikasi yang efektif tanpa harus melalui rantai komando yang berbeit-belit.


(42)

e. Kesetaraan

Sebagian besar perusahaan daerah sudah mempunyai struktur organisasi dengan wewenang yang didesentralisasikan. Namun, demikian dalam prakteknya, pendelegasian wewenang tersebut kurang berjalan efektif karena budaya yang berkembang adalah budaya paternalisme daripada kesetaraan.

4. Lingkungan Strategis

Dalam teori PETS (Teori Lingkungan Strategis Politics, Economic, Technology, and Social), lingkungan strategis dikelompok menjadi, yaitu politik, ekonomi, teknologi, dan sosial masyarakat.

a. Lingkungan Politik

Lingkungan politik dari perusahaan daerah adalah elit politik didaerah ( termasuk diantaranya pemimpin daerah), birokrasi daerah dan lembaga DPRD. Intervensi politik dalam bentuk interaksi adalah wajar bagi setiap perusahaan, namun demikian jika intervensi tersebut berlebihan tentu akan mengganggu perusahaan daerah.

b. Lingkungan Ekonomi

Kondisi ekonomi makro nasional dan mikro regional sangat mempengaruhi kinerja perusahaan daerah. Kemunduran ekonomi makro akan merugikan ekonomi ditingkat regional. Dalam kondisi seperti ini, dapat dikatakan bahwa kondisi


(43)

lingkungan ekonomi perusahaan daerah tidak cukup menguntungkan.

c. Lingkungan Teknologi

Dengan kondisi keterbatasan kekuatan financial dan kecakapan sumber daya manusia yang menguasai perkembangan teknologi, khususnya teknologi informatika, perusahaan daerah berada dalam posisi yang berat untuk menjadi perusahaan yang information-based. Pada saat ini, salah satu kelemahan perusahaan daerah adalah data. Pengelolaan data pada sebagian perusahaan daerah masih manual, atau jika menggunakan komputer, pengelolaan datanya masih belum IT-Based.

d. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial berkenaan dengan persepsi masyarakat kepada perusahaan daerah. Hingga saat ini belum pernah dilakukan pengukuran persepsi masyarakat tentang perusahaan daerah. Namun, beberapa informasi dari pengamat ekonomi dan pemuka masyarakat mengatakan bahwa secara rata-rata citra perusahaan daerah masih perlu diperbaiki. Bahkan ada perusahaan daerah yang tidak pernah diketahui keberadaannya oleh masyarakat.


(44)

C. Tinjauan Tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD)

1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pembiayaan keuangan Daerah salah satunya didukung oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang merupakan sebagian kecil dari total APBD. Di mana APBD sebagaimana diketahui memuat pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah. PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan yang sah (Mardiasmo, 2004: 133)

2. Jenis-jenis Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari :

a. Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) b. Dana Perimbangan

c. Pinjaman Daerah

d. Lain-lain penerimaan yang sah

Sedangkan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat diperoleh dari :

a. Hasil Pajak Daerah

Hasil pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,


(45)

dan hasilnya dipergunakan bagi pembiayaan pengeluaran umum pemerintah daerah, imbalan jasanya tidak langsung diberikan pada pembayar pajak dan pelaksanaanya dimana perlu dipaksakan, sehingga bersifat mengikat bagu warga negara.

b. Hasil Retribusi Daerah

Hasil Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran/ pemakaian atau memperoleh pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah, dengan kata lain retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sumberjasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah daerah secara langsung dan nyata kepada pembayar.

c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang dipisahkan

Perusahaan daerah adalah perusahaan yang modal usahanya seluruh atau sebagian berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan dan diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penerimaan berupa bagian laba dari Badan Usaha Mlik Daerah (BUMD) yang terdiri dari bagian laba Bank Pembangunan Daerah dan dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) lainnya. Perusahaan daerah ini diwajibkan untuk menyetor seluruh atau sebagian labanya untuk dana pembangunan daerah.


(46)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (2006:67), menjelaskan bahwa metode deskriptif merupakan prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) sebagaimana yang adanya, berdasarkan fakta-fakta aktual pada saat sekarang. Dimana tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999:63).

Selanjutnya, penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2005:4), diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Aktivitas dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam latar alamiah, hal ini dingkapkan oleh Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2005:5) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Melengkapi pendapat yang dikemukakan oleh ahli diatas, Sugiyono (2005:1) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif


(47)

adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, tekhik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Dalam penelitian kualitatif, data yang pasti adalah data yang sebenarnya terjadi sebagaimana adanya, bukan data yang sekedar terlihat, terucap, tetapi data yang mengandung makna dibalik yang terlihat dan terucap tersebut.

B. Fokus Penelitian

Pada dasarnya penelitian kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong, tetapi dilakukan berdasarkan persepsi seseorang terhadap adanya masalah. Masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara, tentatif, dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada di lapangan (Sugiyono, 2005:30). Walaupun demikian perlu dibuat suatu batasan agar penelitian akan lebih terarah. Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum. Adapun maksud dalam merumuskan masalah penelitian dengan jalan memanfaatkan fokus yaitu pertama, penetapan fokus dapat membatasi studi; kedua, penetapan fokus itu berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau kriteria masuk-keluar (inclusion-exlusion criteria) suatu informasi yang baru diperoleh di lapangan (Moleong, 2005).

Pada dasarnya fokus permasalahan ditentukan berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan, meskipun fokus dapat berkurang/bertambah sesuai kondisi yang ditemui dilapangan. Spradley dalam Sugiyono (2005:34)


(48)

mengemukakan 4 alternatif untuk menetapkan fokus yaitu (1) menetapkan fokus pada permasalahan yang disarankan oleh informan, (2) menetapkan fokus berdasarkan domain-domain tertentu, (3) menetapkan fokus yang memiliki nilai temuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait dengan teori-teori yang telah ada. Adapun Fokus penelitian yang dikhususkan dalam skripsi ini adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Kesesuaian Tata Kelola PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dengan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Tata kelola perusahaan yanga akan diidentifikasi dibagi menjadi 3 (tiga) aspek: a. Aspek Keuangan

b. Aspek Teknis dan Operasional c. Aspek Kelembagaan

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketercapaian prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) pada Tata Kelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau Kota Bandar Lampung.

Good Corporate Governance (GCG) akan tercipta apabila terjadi keseimbangan kepentingan antara semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders) dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Perancangan perangkat, seperti struktur, kebijakan, peraturan, pengawas dan imbalan akan tidak berarti bila tidak diikuti oleh tersedianya sistem pengendalian yang jelas. Untuk mengetahui apakah keseimbangan kepentingan telah tercipta maka sistem pengendalian harus dirancang


(49)

sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya apa yang diinginkan bersama. Oleh karena itu dibutuhkan sistem pengukuran yang mampu menyerap semua dimensi strategis dan operasional perusahaan dan juga dibentuknya pusat informasi (Akadun, 2007: 158).

Tabel 3.1. Indikator Pengukuran Kinerja GCG

Parameter Contoh

1. Internal

Operating Activties

Efisiensi operasi dan pelayanan, jumlah produk rusak, sklus waktu, tingkat pemakaian kapasitas, ketepatan pemakaian tenaga kerja dan vahan baku, ketepatan persediaan, jumlah persediaan yang dikembalikan, jumlah tagihan yang diragukan.

2. Intelectual capital dan corporate learning

Proses pengembangan pegawai seperti pelatihan pegawai, proses pembelajaran pegawai, produktivitas dan

pemberdayaan pegawai. 3. Corporate capacity

to innóvate dan responds to market

Perubahan manajemen, fleksibilitas struktur organisasi, incubator produk-produk baru, ketepatan pemakaian teknologi.

4. Product/service quality dan market acceptance

Ketepatan manajemen pemasaran , kualitas produk/jasa, ketepatan delivery

5. Customer relation Kepuasan pelanggan

6. Investors relations Harmonisasi hubungan dengan pemegang saham, bank, pemasok dana lainnya, ketepatan penyampaian laporan keuangan.

7. Relationship with partners and other stakeholders

Harmonisasi hubungan dengan pemasok

8. Public relations Harmonisasi hubungan dengan public service 9. Environment ,

health, and safety practice

Sistem manajemen internal, tingkat pencemaran limbah, tingkat kecelakaan kerja

10. Keuangan Profit margin, pertumbuhan penjualan, laba dan asset


(50)

C. Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau Kota Bandar Lampung. Alasan dipilihnya lokasi penelitian ini adalah karena PDAM Way Rilau merupakan salah satu dari beberapa BUMD yang dimiliki oleh pemerintah daerah. PDAM Way Rilau merupakan satu-satunya perusahaan yang dipercaya oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk memberikan pelayanan air bersih/minum. Perusahaan ini merupakan bagian penting milik pemerintah kota dalam upaya peningkatan PAD yang berdampak pada keberlangsungan proses pembangunan di Kota Bandar Lampung.

D. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong (2005) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan yang didapat dari informan melalui wawancara, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Untuk mendapatkan data dan informasi maka informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive atau sengaja dimana informan telah ditetapkan sebelumnya. Sumber-sumber data dalam penelitian ini adalah:

1. Informan

Sumber prinsip Good Corporate Governance (GCG) pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau Kota Bandar Lampung. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Adapun informan kunci (key informan) yang sudah peneliti temui adalah:


(51)

Tabel 3.2 Nama-Nama Informan

No Nama Informan Jabatan Tanggal

Wawancara 1 Rifandi Irawan,A.Md Kepala Seksi Pengairan 20 Desember

2011 2 Dolly Sandra,S.P Anggota Komisi B DPRD

Kota Bandar Lampung

20 Desember 2011

3 Benny Hendry,S.E.,M.M Badan Pengawas Kinerja Perusahaan

22 Desember 2011

4 Hi. M.Ali HS.,S.E Direktur Bidang Umum PDAM Way Rilau

22 Desember 2011

5 Ir. Hj. Herrie Widayati Direktur Bidang Teknik PDAM Way Rilau

26 Desember 2011

6 Toton S.,S.E Kepala Bagian Keuangan

PDAM Way Rilau

26 Desember 2011

7 Septi Triana,S.E Kepala Sub Bagian Penagihan dan Rekening,

26 Desember 2011

8 Harun Al Rasyid Kepala Sub bagian Sumber Air dan Transmisi

14 Desember 2011

9 Adnan Heri,S.T Kepala Bagian Produksi 14 Desember

2011

10 Ahmad Bahrun Warga Perumnas Way

Halim

27 Desember 2011

11 Siti Oktami Warga Bukit Kemiling

Permai

27 Desember 2011

12 Bapak Ahmad Suhadi Warga Gedong Air 28 Desember

2011

13 A.A Juniadi S.E Kepala Bagian Umum

PDAM Way Rilau

28 Desember 2011

2. Dokumen-dokumen

Sumber data ini merupakan berbagai dokumen yang ada hubungannya dengan upaya optimalisasi PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung. Berikut merupakan daftar dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian:


(52)

Tabel 3.3. Daftar Dokumen-Dokumen yang Berkaitan Dengan Penelitian No Dokumen

1 Corporate Plan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung Periode 2008-2012

2 Pola Dasar dan Rencana Strategis Daerah

3 Visi dan Misi PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung

4 Inpres No.7 Tahun 1999 mengenai Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)

5 Laporan Kinerja Perusahaan BUMD 4 Laporan Pertanggung Jawaban Direksi

E. Proses dan Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Proses Memasuki Lokasi Penelitian

Sebelum memasuki lokasi penelitian untuk memperoleh berbagai data, maka pada tahap ini terlebih dahulu peneliti meminta izin dan memperkenalkan diri kepada pejabat yang berwenang pada Kantor PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung. engan membawa surat izin formal penelitian dari Pembantu Dekan 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung serta surat pengantar dari KESBANG Provinsi Lampung. Setelah itu peneliti mengutarakan maksud dan tujuan penelitian untuk menciptakan kepercayaan kepada masing-masing pihak, kemudian menentukan waktu dalam hal melakukan wawancara.

2. Ketika Berada di Lokasi Penelitian (Getting Along)

Dalam tahap ini, peneliti berusaha melakukan hubungan secara pribadi yang akrab dengan subjek penelitian, mencari informasi dan berbagai sumber data yang lengkap dan berusaha menangkap makna inti dari


(53)

berbagai informasi yang diterima serta fenomena yang diamati. Oleh karena itu, peneliti berusaha sebijak mungkin sehingga tidak menyinggung informan baik secara formal maupun informal.

3. Pengumpulan Data (Logging Data)

Pada tahap ini, peneliti melakukan proses pengumpulan data yang telah ditetapkan berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Observasi

Observasi merupakan teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data primer yang diperlukan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian. Menurut Nasution (1988) dalam Sugiyono (2005) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.

Teknik ini digunakan untuk mengamati hasil dari pelaksanaan program-program PDAM Way Rilau sejak tahun 2008 dimana dimulainya Corporate Plan yang baru. Dalam teknik ini dilakukan serangkaian kegiatan pencatatan berbagai hasil pengamatan, gejala-gejala ataupun gambaran-gambaran yang berkaitan erat dengan masalah yang diteliti. Kegiatan observasi dalam penelitian ini ditujukan pada optimalisasi BUMD dalam menjalankan kinerjanya.


(54)

b. Mendalam (in-depth interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. (Moleong: 2006). Wawancara yaitu mengumpulkan data primer dengan jalan mewawancarai sumber-sumber data dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan Upaya-upaya pemaksimalan kinerja PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung.

c. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono: 2005).Dokumen berguna karena dapat memberikan latar belakang yang lebih luas mengenai pokok penelitian, dapat dijadikan bahan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data, dan merupakan bahan utama dalam penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Setelah data, serta mengambil kesimpulan. Untuk menganalisis data ini menggunakan teknik analisis data kualitatif, karena data-data yang diperoleh merupakan keterangan-keterangan. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.


(55)

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data seperti dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam menganalisis data kualitatif yaitu:

1. Reduksi Data (reduction data).

Data yang diperoleh dilokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya. Selanjutnya pada saat pengumpulan data berlangsung diadakan tahap reduksi data, kemudian membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus dan menulis memo.

2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data berguna untuk memudahkan peneliti melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian. Batasan yang diberikan dalam penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penelitian ini, penyajian data diwujudkan dalam bentuk uraian, dan foto atau gambar sejenisnya. Dalam penelitian ini, penyajian data yang sering digunakan untuk menyajikan data adalah dengan teks naratif yang mendeskripsikan langsung mengenai hasil temuan yang didapat peneliti melalui teknik wawancara.


(56)

3. Penarikan Kesimpulan (concluting drawing).

Yaitu melakukan verifikasi secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. yaitu sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama proses pengumpulan data. Peneliti menganalisis dan mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, yang dituangkan dalam kesimpulan. Dalam penelitian ini penarikan kesimpulan dilakukan dengan pengambilan intisari dari rangkaian kategori hasil penelitian berdasarkan observasi, wawancara serta dokumentasi hasil penelitian.

Berikut ini adalah gambar dari analisis data model interaktif menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2005: 92). Gambar tersebut akan memberikan gambaran bahwa dalam melakukan analisis data kualitatif dapat dilakukan bersamaan dengan pengambilan data, proses tersebut akan berlangsung secara terus menerus sampai data yang ditemukan sudah jenuh.

Gambar 3.1. Analisis Data Model Interaktif

Sumber: Miles & Huberman (1992). Pengumpulan data

Reduksi data

(Data Reduction)

Penyajian Data

(Data Display)

Penarikan Kesimpulan


(1)

mahasiswa dan tidak lupa pula haturkan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya untuk setiap salah dan khilaf penulis selama ini.

3. Bapak Dr. Bambang Utoyo S. M.Si Selaku Pembimbing Utama, atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis haturkan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya untuk setiap salah dan khilaf penulis selama ini.

4. Bapak Fery Triatmojo S.AN. M.PA selaku dosen Pembimbing Pembantu yang dengan kesabarannya telah membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semua gagasan dan ide yang diberikan, Pak. 5. Dosen penguji skripsi penulis, Bapak Syamsul Ma’arif, S.IP, M.Si, atas

kesediaannya meluangkan waktu dan pemikirannya untuk memberikan kritik dan saran produktif terhadap skripsi ini.

6. Seluruh Dosen di Jurusan Ilmu Administrasi Negara, yang telah memberikan wawasan dan pengetahuan yang tak ternilai bagi kemajuan penulis selama menempuh proses perkuliahan di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

7. Izzul factu reza, fajrin bin mustofa , maksih bro untuk semua nya,gak ada lorang, ga ada tempat buat sharing…hee

8. Kawan-kawan Seperjuangan DULU ”2005”, acong, Deni, Arwin, katro, , Gerry, Syamsi, , Izzul, Trie, Pepel, serta lainnya yang tidak dipersebutkan satu persatu atas semua kebaikan, keramahan, bantuannya selama ini. 9. Wareq eva tibonk , henong, aprina sari KS, ogan dan wareq yang lain yang


(2)

beg yang selalu nurut kalo dimintain tolong,ruli,maang, agus nyom, dedek adi,Chandra,cindang, guruh adek-adek 2011 serta lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

11. Kawan-kawan administrasi niaga 05, buat dega sory ya bro gw duluan, semangat ga skripsi itu sebenernya gampang kalo kita kerjain, rajin-rajin aja kekampus temuin terus aja dosennya, buat eka pacul, ewa, andi dan anak-anak niaga yang lain makasih bro untuk dukungannya….

Akhirnya, penulis sekali lagi mengucapkan banyak terima kasih atas semuanya, semoga karya ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. amin

Bandar Lampung, 16 Mei 2012 Penulis


(3)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman 1. Gambar 1.1 Hubungan antara Good Corporate Governance,

keadilan serta Prasyarat-prasyaratnya ... 24

2. Gambar 3.1 Analisis data model interaktif ... 54

3. Gambar 4.1 Struktur Organisasi PDAM Way Rilau ... 64

4. Gambar 5.1 Skematik Sistem dari Sumber Mata Air ... 96

5. Gambar 5.2 Diagram Posisi PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung Hasil Analisis SWOT ... 109


(4)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN .. ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Tinjauan Badan Usaha Milik Negara ... 11

1. Pengertian BUMD ... 11

2. Tujuan BUMD ... 12

3. Fungsi BUMD ... 12

B. Tinjauan Tentang Kinerja ... 13

1. Definisi Kinerja ... 13

2. Manajemen Kinerja ... 15

C. Tinjauan Good Corporate Governance (GCG) ... 18

1. Pengertian dan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) ... 18

2. Permasalahan Pada Perusahaan Daerah ... 29

D. Tinjauan Tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 42

1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 42

2. Jenis-jenis Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 42

III. METODE PENELITIAN ... 44

A. Tipe Penelitian ... 44

B. Fokus Penelitian ... 45

C. Lokasi Penelitian ... 48

D. Sumber Data ... 48

E. Proses dan Teknik Pengumpulan Data ... 50

F. Teknik Analisis Data ... 52


(5)

ii

IV. GAMBARAN UMUM ... 59

A. Sejarah Perusahaan ... 59

B. Dasar Hukum ... 60

C. Visi dan Misi Perusahaan ... 61

D. Struktur Organisasi ... 62

E. Sumber Daya Manusia ... 64

F. Geografis Wilayah Pelayanan ... 66

G. Para Stakeholders ... 70

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74

A. Hasil Penelitian ... 74

1. Tata Kelola PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung ... 74

2. Posisi PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung berdasarkan Hasil Audit Badan Pengawas Kinerja Perusahaan ... 108

B. Pembahasan ... 109

1. Kesesuaian Tata Kelola PDAM Way Rilau dengan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance ... 109

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tata Kelola PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung ... 140

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 151

A. Kesimpulan ... 151

B. Saran ... 152

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Tabel 1.1 Laporan Keuangan PDAM Way Rilau Tahun 2006-2007 ... 7

2. Tabel 3.1 Indikator Pengukuran Kinerja GCG ... 47

3. Tabel 3.2 Nama-nama Informan ... 49

4. Tabel 3.3 Daftar Dokumen-Dokumen yang Berkaitan Dengan Penelitian . 50 5. Tabel 4.1 Pegawai PDAM Way Rilau berdasarkan Jabatan ... 64

6. Tabel 4.2 Pegawai PDAM Way Rilau berdasarkan Status ... 65

7. Tabel 4.3 Pegawai PDAM Way Rilau berdasarkan Pendidikan ... 65

8. Tabel 4.4 Cakupan Layanan PDAM Way Rilau ... 65

9. Tabel 4.5 Kapasitas Instalasi Pengolahan Air...66

10.Tabel 4.6 Data Luas Wilayah Berdasarkan Kecamatan ... 67

11.Tabel 4.7 Ketinggian wilayah kecamatan di Bandar Lampung ... 69

12.Tabel 4.8 Stakeholders dan Kepentingan Mereka Terhadap Perusahaan Daerah Air Minum Way Rilau Kota Bandar Lampung ... 71

13.Tabel 5.1 Laporan Neraca Perusahaan PDAM Way Rilau ... 78

14.Tabel 5.2 Kondisi Aktiva Tetap PDAM Way Rilau ... 80

15.Tabel 5.3 Jenis Hutang Jangka Pendek ... 83

16.Tabel 5.4 Jumlah Pinjaman dan Bunga Periode 2008 ... 84

17.Tabel 5.5 Pendapatan Dan Biaya Produksi PDAM Way Rilau (Tahun 2007-2008).. ... 85

18.Tabel 5.6 Kapasitas Sumber Air Baku PDAM Way Rilau ... 92

19.Tabel 5.7 Reservoir Distribusi PDAM Way Rilau ... 99


Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Penerapan Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba : Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdapat Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Pada Tahun 2012

2 87 89

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance terhadap Profitabilitas Perusahaan dengan Komisaris Independen sebagai Variabel Moderating (Studi pada Perusahaan Perkebunan yang Ada di Indonesia)

5 95 103

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance terhadap Kinerja Keuangan dengan mengunakan Manajemen Laba sebagai variabel intervening , Studi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

6 170 122

Penerapan Prinsip Product Liability oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum yang Didistribusikan Kepada Konsumen

1 44 114

Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Sektor Publik (Studi Kasus pada PT.PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara

12 131 128

Analisis Penerapan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Kinerja Karyawan Di Bagian Administrasi Umum Rumah Sakit Umum Daerah DR. Zainoel Abidin Banda Aceh

11 96 111

Pengaruh Penerapan Corporate Governance Terhadap Kinerja Perusahaan

1 25 1

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Perusahaan Perbankan Yang Tedaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 29 121

Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance terhadap Kinerja Keuangan Dengan Menggunakan Manajemen Laba Sebagai Variabel Intervening
( Studi Pada Perusahaan Perbankan Yang terdaftar di Bursa efek Indonesia)

1 33 101

Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Moderasi : Studi Empiris pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Tahun 2011-2013

0 78 98