Penerapan Prinsip Product Liability oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum yang Didistribusikan Kepada Konsumen

(1)

PENERAPAN PRINSIP PRODUCT LIABILITY OLEH PERUSAHAAN

DAERAH AIR MINUM (PDAM) TIRTANADI DALAM MENINGKATKAN

KUALITAS AIR MINUM YANG DIDISTRIBUSIKAN

KEPADA KONSUMEN

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh : Fenny Uli Ceami

090200311

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PENERAPAN PRINSIP PRODUCT LIABILITY OLEH PERUSAHAAN

DAERAH AIR MINUM (PDAM) TIRTANADI DALAM MENINGKATKAN

KUALITAS AIR MINUM YANG DIDISTRIBUSIKAN

KEPADA KONSUMEN

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh : Fenny Uli Ceami

090200311

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I

Muhammad Husni, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing II

Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

ABSTRAK

Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang

dikenal dalam dunia hukum “Product Liability”.Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK) diharapkan menjadi penegak aturan hukum yang mengatur tanggung jawab produk (product liability).Pelaku usaha sebagai penghasil produk harus menjamin bahwa produk yang dihasilkan cukup aman untuk dikonsumsi. Salah satunya PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan kepada konsumen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap kualitas air yang didistribusikannya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu

bagaimana pengaturan prinsip product liability dalam UUPK dan peraturan

perundang-undangan lainnya mengenai kualiats air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, bagaimana penerapan prinsip product liability PDAM Tirtanadi, dan bagaimana pertanggungjawaban PDAM Tirtanadi apabila air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi tidak memenuhi standar.

Penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif yaitu memperoleh data penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan data sekunder belaka. Penelitian ini juga mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.

Kesimpulan yang dihasilkan antara lain yaitu pengaturan prinsip product liability diatur dalam Pasal 19 UUPK No. 8 Tahun 1999 dan kualitas air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi berpedoman pada PERMENKES No. 429 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Penerapan prinsip product liability PDAM Tirtanadi telah sesuai dengan kewajibannya sebagai pelaku usaha dalam mendistribusikan air minum kepada pelanggannya (konsumen).PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara bertanggung jawab atas standar kualitas air minum yang didistribusikannya kepada pelanggan sesuai dengan prinsip product liability.

Diberlakukannya prinsip product liability ini diharapkan agar PDAM

Tirtanadi memperhatikan hak-hak dan kewajiban konsumen serta tanggung jawab kepada konsumen.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi

denga judul “Penerapan Prinsip Product Liability Oleh Perusahaan Daerah

Air Minum (PDAM) Tirtanadi dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum yang Didistribusikan Kepada Konsumen”.

Adapun penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama penulisan skripsi ini, penulis tidak lepas dari berbagai hambatan namun berkat bantuan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, dengan tulus hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dengan memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis, yaitu kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M. Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M. Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M. Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Muhammad Husni, S.H., M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I 7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH., M.Hum, selaku Dosen pembimbing II

8. Para Dosen Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu

pengetahuan kepada Penulis selama masa perkuliahan

9. Kedua orang tua penulis, Tumbur Aritonang dan Rosmawaty Purba, serta

Saudara Penulis, Frangky Philip Aritonang dan Frans Toga Aritonang atas segala perhatian, kasih sayang, dukungan dan doa-doa yang tidak henti diberikan kepada penulis.

10. Sahabat-sahabat Penulis (Novaliani Munthe, Rina Uli Siburian, Melva

Theresia Simamora, Vonny Hardiyanti, Sri Hartati Nadapdap) yang selalu mendukung segala proses pembelajaraan Penulis baik di kampus maupun di luar kampus, melalui suka dan duka bersama. Ingat nama “NAPI” selalu ya kita sudah seperti satu keluarga. Mudah-mudahan kita bias bertemu lagi di saat kita sudah sukses.

11. Sahabat Penulis yang selalu siap sedia membantu dalam proses penyusunan

skripsi ini Milda Yuni Ardita, penulis mengucapkan terima kasih karena mau ikut dalam kesusahan penulis dan memberi semangat kepada penulis.

12. Buat seseorang yang selalu mnghibur penulis dengan semua lelucon-lelucon

garingnya. Terima kasih karena pernah mengisi hari-hari penulis.

13. Untuk organisasi penulis, Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI)

dengan seluruh anggota-anggotanya, bung dan sarinah sekalian yang sudah menginspirasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini terima kasih banyak. GmnI Jaya!! Marhaen Menang!!


(6)

14. Untuk kakak-kakak stambuk dan adik-adik stambuk yang sudah memberikan semangat dan perhatian kepada penulis, terkhusus untuk seluruh adik stambuk 2010 dan 2011 yang dekat dengan penulis.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah ikut

member bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena keterbatasan penulis dalam pengetahuan. Oleh karena itu penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun guna melengkapi skripsi ini agar menjadi lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, November 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematka Penulisan ... 19

BAB II : TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM RANGKA UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 21

A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen ... 21

1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha ... 21

2. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 26

3. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen ... 31

B. Product Liability sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha ... 38

1. Pengertian Product Liability ... 38


(8)

BAB III : PROFIL PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM

TIRTANADI PROVINSI SUMATERA UTARA ... 49

A. Sejarah PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 49

B. Bentuk dan Kelembagaan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 53

C. Tugas Pokok dan Fungsi PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 54

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Pengaturan Prinsip Product Liability dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya Terkait dengan Kualitas Air Minum yang Dihasilkan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 56

B. Penerapan Prinsip Product Liability Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara ... 67

C. Pertanggungjawaban Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara apabila Air Minum yang Didistribusikan Tidak Memenuhi Standar ... 72

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Parmeter Wajib ... 75 Tabel 2 Parameter Tambahan ... 76 Tabel 3 Laporan Rekapitulasi Pekerjaan PDAM Tirtanadi ... 96


(10)

ABSTRAK

Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang

dikenal dalam dunia hukum “Product Liability”.Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK) diharapkan menjadi penegak aturan hukum yang mengatur tanggung jawab produk (product liability).Pelaku usaha sebagai penghasil produk harus menjamin bahwa produk yang dihasilkan cukup aman untuk dikonsumsi. Salah satunya PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan kepada konsumen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap kualitas air yang didistribusikannya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu

bagaimana pengaturan prinsip product liability dalam UUPK dan peraturan

perundang-undangan lainnya mengenai kualiats air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, bagaimana penerapan prinsip product liability PDAM Tirtanadi, dan bagaimana pertanggungjawaban PDAM Tirtanadi apabila air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi tidak memenuhi standar.

Penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif yaitu memperoleh data penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan data sekunder belaka. Penelitian ini juga mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.

Kesimpulan yang dihasilkan antara lain yaitu pengaturan prinsip product liability diatur dalam Pasal 19 UUPK No. 8 Tahun 1999 dan kualitas air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi berpedoman pada PERMENKES No. 429 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Penerapan prinsip product liability PDAM Tirtanadi telah sesuai dengan kewajibannya sebagai pelaku usaha dalam mendistribusikan air minum kepada pelanggannya (konsumen).PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara bertanggung jawab atas standar kualitas air minum yang didistribusikannya kepada pelanggan sesuai dengan prinsip product liability.

Diberlakukannya prinsip product liability ini diharapkan agar PDAM

Tirtanadi memperhatikan hak-hak dan kewajiban konsumen serta tanggung jawab kepada konsumen.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latarbelakang

Salah satu problematika yang di hadapi oleh pemerintah Indonesia pada saat ini adalah meningkatnya kebutuhan air bersih akibat peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan seperti pertanian dan industri. Air bersih merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan manusia. Terpenuhinya kebutuhan air bersih merupakan kunci utama perkembangan suatu kegiatan. Kebutuhan air bersih setiap tahun akan semakin meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Pada sisi yang lain, ketersediaan air bersih secara kuantitas semakin langka akibat kondisi daerah tangkapan air dan daerah retensi air yang semakin berkurang serta secara kualitas ketersediaan air bersih mengalami pengurangan karena pencemaran air permukaan dan air tanah.1

Air yang berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tidak setiap hari mengalir dan terkadang tidak bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan memasak bahkan untuk minum. Ditambah lagi dengan banyaknya keluhan masyarakat mengenai air yang berasal dari PDAM mulai dari soal kualitas dan kuantitas seperti halnya air yang mengandung timbal atau kasinogenik, air berwarna kecoklat-coklatan atau keruh, air berbau larutan zat kimia atau berasa aneh hingga

1

“Kebutuhan Air bersih”. Melalui 2013


(12)

debit air yang kerap kali tidak mengalir sama sekali atau sangat kecil keluarnya.2 Tantangan lain yang dihadapi adalah masih terbatasnya kemampuan penyedia layanan air bersih untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam hal ini yaitu PDAM. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak dalam bidang penyediaan jasa air minum. Dimana hal ini berasal dari hasil pengkajian yang dilakukan melalui Total Dis of Solide atau Eletrolizer, yang membuktikan bahwa kualitas air Tirtanadi tidak sehat karena mengandung logam, lumpur dan berbagai zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan lainnya sebesar 0,60% (nol koma enam puluh persen). Itu artinya kualitas kesehatan air sudah melampaui ambang batas standarisasi yang sudah ditentukan yakni, 0.12% (nol koma dua belas persen). Kualitas air dan pelayanan yang semakin menurun terutama setelah krisis ekonomi, yang diakibatkan tertundanya perbaikan dan perawatan untuk memotong pengeluaran operasi.3

Oleh karena itu, PDAM dinilai tidak memiliki kapasitas untuk bisa menyediakan air bersih yang cukup bagi masyarakat. Padahal air bersih merupakan salah satu kebutuhan yang sangat vital bagi manusia sehingga air bersih menjadi syarat utama untuk bisa hidup sehat. Rendahnya kualitas dan kuantitas air yang berasal dari PDAM khususnya di Kota Medan diakibatkan karena air yang selama ini dipenuhi dengan sumber air sumur atau sumber air

2

Amstrong Sembiring. “Menyoal Masyarakat Konsumen Air”. melaui

3Parlindungan Purba, “Pelayanan PDAM Tirtanadi Buruk”, Harian Global, tanggal 24 Mei 2008.


(13)

dalam tanah semakin menipis, kerusakan alam dan percemaran serta kepercayaan masyarakat terhadap jumlah dan kualitas air yang baik yang berasal dari PDAM.

Permasalahan mengenai kualitas air bersih yang didistribusikan kepada konsumen ini terkait dengan perlindungan konsumen karena masyarakat sebagai konsumen merupakan elemen yang paling erat dengan konsumsi air bersih yang harus diperhatikan oleh para pihak yang terkait baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah.

Upaya perlindungan konsumen yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan dan menjamin keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi air bersih yang disalurkan oleh PDAM. Hal ini sejalan dengan dimuatnya pengaturan perlindungan konsumen dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Konsumen juga termasuk masyarakat yang tidak terlepas dari hukum dimana kehidupan yang semakin berkembang ini, keterbatasan pengetahuan konsumen mengenai kewajaran mutu dan harga barang atau jasa selama ini telah menempatkan posisi konsumen sebagai mangsa produsen/pelaku usaha. Kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang dimana konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.4

4

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.12


(14)

Hal tersebut menyebabkan hukum perlindungan konsumen dianggap penting keberadaannya.5

Sebagaimana tercatat dalam evaluasi yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan pengaduan sampai tahun 2012, bidang pengaduan YLKI menerima 624 (enam ratus dua puluh empat) pengaduan kasus oleh konsumen (melalui surat dan kontak langsung). Dari banyaknya kasus tersebut, kasus yang diadukan ke YLKI adalah masing-masing bidang perbankan 115 (seratus lima belas) kasus pengaduan 18% (delapan belas persen), perumahan 74 (tujuh puluh empat) pengaduan 12% (dua belas persen), telekomunikasi/multimedia 71 (tujuh puluh satu) pengaduan 17% (tujuh belas persen), Transportasi 50 (lima puluh) pengaduan 8% (delapan persen), ketenaga listrikan 48 (empat puluh delapan) pengaduan 8% (delapan persen), pengaduan lain yang juga cukup signifikan adalah leasing sepeda motor yaitu sebesar 35 (tiga puluh lima) pengaduan 6% (enam persen), pelayanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) 26 (dua puluh enam) pengaduan 4%

Sudah menjadi hal yang umum pada saat sekarang hak-hak konsumen sering kali terabaikan. Banyak orang yang tidak menyadari bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen cenderung mengambil sikap diam. Keadaan ini didukung lagi dengan sikap tak mau tahu pelaku usaha/produsen dalam menanggapi keluhan konsumen terhadap jasa monopoli seperti air minum.

5

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesi, (Jakarta : PT.Grasindo, 2004),


(15)

(empat persen), asuransi 23 (dua puluh tiga) pengaduan 4% (empat persen),

makanan/minuman 24 (dua puluh empat) pengaduan 4% (empat persen).6

Berdasarkan data di atas, dapat terlihat adanya pengaduan masyarakat mengenai pelayanan dan kualitas air minum PDAM sebanyak 26 (dua puluh enam) pengaduan dengan persentase sebesar 4% (empat persen).

Contoh bentuk pengaduan konsumen mengenai kualitas air minum yang buruk pada Harian Medan Bisnis memaparkan bahwa masyarakat terus dibuat kesal dengan sarana dan prasarana yang dimiliki Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi. Belum lagi, pemadaman listrik terselesaikan, kini masyarakat harus menahan "pil pahit" dengan kondisi air PDAM Tirtanadi yang kotor dan berbau. Rizanul, warga Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan, menuturkan air yang diterimanya selalu saja kondisi kotor dan berbau. Warna air kecoklatan hingga tidak bisa digunakan sama sekali, baik mandi atau keperluan lainnya. "Air di sini tidak pernah bersih. Kalau pagi dan sore, pasti air sudah kotor dan berbau," ujarnya. Kondisi ini, lanjutnya semakin parah dengan terhentinya aliran air dimulai dari jam 10.00 wib pagi hingga 15.00 wib sore. Kemudian jam 19.00 wib sampai 05.00 wib pagi kembali tidak mengalir. "Air akan mengalir saat jam 5.30 pagi, tapi itupun keruh serta berbau. Ini bisa sampai setengah jam dan kemudian air kembali normal dengan aliran yang sangat kecil," katanya. Kualitas air Tirtanadi yang jorok ini, diakui Rizanul sudah terjadi lebih dari setahun dan belum ada perbaikan yang dilakukan pihak PDAM Tirtanadi Sumut hingga saat ini, termasuk juga dengan kualitas aliran air ke pelanggan. "Sudah kecil alirannya,

6

“Pengaduan Kasus oleh pada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (16-01/2012)”


(16)

sekali mengalir air nya jorok dan tagihan tetap saja terus naik, tapi kita tidak pernah terpuaskan terhadap pelayanan Tirtanadi," katanya. Rama, warga Medan Sunggal juga mengeluhkan tersendatnya aliran air dan keruh. Setiap pagi atau malam hari air yang mengalir selalu saja dalam keadaan kotor. Kalau air yang dialirkan ke pelanggan selalu jorok, ini artinya manajemen PDAM Tirtanadi semakin buruk. Baru saja tarif air naik, tapi pelayanan tetap saja tidak meningkat."Kenaikan tarif dengan kualitas air yang kita terima tidak sejalan. Kalau air nya sampai hitam dan berbau, kan tidak mungkin kita pakai," tutur Rama. Kepala Divisi Public Relations PDAM Tirtanadi, Amrun, menjelaskan, air yang kotor itu biasanya karena ada kebocoran. Selain itu, akhir-akhir ini pompa air sering mati hidup karena ada pemadaman listrik sehingga pipa terguncang dan air yang mengendap di ujung pipa tercampur dengan air bersih.7

Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalah tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Permasalahan mengenai perlindungan konsumen mengenai hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta jalinan transaksi antara konsumen dan pelaku usaha akan dikaji lebih mendalam terutama kaitannya dengan perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi air bersih dari PDAM.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen diharapkan menjadi penegak

aturan hukum dan upaya perlindungan serta tanggung jawab produk (product

liability) PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan kepada konsumen dapat diberlakukan sama bagi

7

Harian Medan Bisnis. “Kualitas Air Tirtanadi ke Pelanggan Makin Rendah”, diakses pada hari Rabu tanggal 2 Oktober 2013.


(17)

setiap konsumen maupun pelaku usaha. Dimana Undang-Undang ini merupakan payung hukum masyarakat untuk melindungi haknya atau setidak-tidaknya konsumen telah memiliki senjata mempertahankan haknya. Diharapkan pelaku usaha dapat meningkatkan citranya dengan meningkatkan kualitas produk jasanya.

Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang dikenal dalam dunia hukum “Product Liability”.8Product liability adalah “suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut”.9 Dimana pelaku usaha sebagai penghasil produk harus menjamin bahwa produk yang dihasilkan cukup aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, apabila di lain hari muncul keluhan atas kerusakan produk yang mengakibatkan kerugian pada konsumen, maka pelaku usaha harus bertanggung jawab penuh atas beban kerugian yang diderita oleh konsumen.10

8

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. (Malang: Ghalia Indonesia, 2008 ) hal. 32.

Dalam kaitan dengan konsumen ini maka pembahasan

akan dilakukan khususnya dalam bentuk tanggung jawab produk (product

liability) terhadap kualitas air minum yang didistribusikan oleh PDAM Tirtanadi kepada konsumen.

9

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 101

10


(18)

Adapun judul skripsi yang diajukan dalam penelitian ini yaitu “Penerapan Prinsip Product Liability Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum yang Didistribusikan Kepada

Konsumen”(studi di PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang saya buat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaiman pengaturan prinsip product liability dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya dalam kaitannya dengan kualitas air minum yang dihasilkan oleh PDAM Tirtanadi ?

2. Bagaimana PDAM Tirtanadi menerapkan prinsip product liability tersebut dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan kepada konsumen ?

3. Bagaimana pertanggungjawaban PDAM Tirtanadi apabila kualitas air minum

yang didistribusikannya kepada konsumen ternyata tidak memenuhi standar kualitas air minum ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan prinsip product liability dalam


(19)

peraturan perundang-undangan lainnya dalam kaitannya dengan kualitas air minum yang dihasilkan oleh PDAM Tirtanadi.

2. Untuk mengetahui bagaimana PDAM Tirtanadi menerapkan prinsip product

liability tersebut dalam meningkatkan kualitas air minum yang didistribusikan kepada konsumen.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban Perusahaan PDAM Tirtanadi apabila

kualitas air minum yang didistribusikannya kepada konsumen ternyata tidak memenuhi standar kualitas air minum.

Dari pembahasan skripsi ini, diharapkan juga dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan atau tambahan dokumentasi karya tulis dalam bidang hukum perdata pada umumnya. Secara khusus, skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan terutama bagi penyempurnaan perangkat ketentuan perlindungan

konsumen dalam kaitannya dengan tanggung jawab (product liability) dalam

meningkatkan kualitas air yang didistribusikan kepada kosumen. 2. Secara Praktis

Secara praktis skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi kalangan akademisi dalam menambah wawasan sebagai regulator dalam melindungi kepentingan konsumen. Diharapkan dengan adanya pembahasan prinsip product liability dalam skripsi ini, maka konsumen semakin menyadari hak-hak yang dimiliki sebagai pengguna produk


(20)

dan lebih mengetahui bagaimana aspek perlindungan hukum terhadap konsumen dalam kaitannya dengan tanggung jawab pihak PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dalam mendistribusikan air bersih.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa sudah ada yang menulis tentang PDAM. Adapun beberapa penulisan tentang PDAM sebagai berikut:

1. Andry Fahrizal / 010272017 (2005)

“Perlindungan Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Air Minum Ditinjau Dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999” ( Studi Pada PDAM Diski)

Rumusan Masalah:

a. Bagaimana pelaksanaan perlindungan konsumen dalam pelayanan air

bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi.

b. Bagaimana konsumen dapat menuntut rugi terhadap kelalaian yang

dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi.

2. Alfi Najmi / 970200005 (2002)

“Hak Dan Kewajiban Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Dengan Pelanggan Air Minum”.

Rumusan Masalah:

a. Sejauh manakah relevansinya ketentuan hak dan kewajiban yang timbul

antara pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi sebagai pelaku usaha yang merupakan badan hukum dengan pelanggan air


(21)

selaku konsumen sebagai perorangan berdasarkan ketentuan perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada umumnya.

b. Bagaimana kedudukan pihak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

Tirtanadi sebagai pelaku usaha yang merupakan badan hukum dengan pelanggan air selaku konsumen sebagai perorangan dalam hubungan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang berdasarkan perjanjian baku menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

c. Upaya apakah yang akan dilakukan oleh para pihak untuk

mempertahankan haknya apabila salah satu pihak ingkar janji dalam pemenuhan kewajibannya menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

3. Ira Susanti / 940200091 (1999)

“ Hak Dan Kewajiban Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtauli Terhadap Pelanggan di P.Siantar”

Rumusan Masalah:

a. Bagaimanakah bentuk perjanjian antara Perusahaan Daerah Air Minum

(PDAM) Tirtauli dengan seseorang/ badan hukum sebagai pelanggan.

b. Bagaimanakah hak dan kewajiban Perusahaan Daerah Air Minum

(PDAM) Tirtauli sebagai perusahaan negara terhadap pelanggan air serta bagaimana hak dan kewajiban pelanggan sendiri terhadap Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtauli.


(22)

c. Usaha apakah yang akan dilakukan oleh para pihak untuk mempertahankan hak apabila salah satu pihak ingkar janji dalam kewajibannya (wanprestasi).

4. Marisi Sondang Irene / 910200134 (1996)

“Suatu Tinjauan Tentang Hak Dan Kewajiban PDAM Tirtadeli Dengan Pelanggan Air”

Rumusan masalah:

a. Bagaimana kedudukan antara pihak PDAM Tirtadeli sebagai perusahaan

negara dengan pelanggan air sebagai warga negara dalam hubungan hukum keperdataan.

b. Usaha apakah yang akan dilakukan untuk mempertahankan hak apabila

salah satu pihak ingkar janji dalam pemenuhan kewajibannya.

c. Sampai sejauh mana relevansi ketentuan hak dan kewajiban antara PDAM

Tirtadeli dengan pelanggan air (individu/badan hukum) jika dihubungkan denganketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perikatan pada Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain yang diperoleh melalui pemikiran, referensi buku-buku, makalah-makalah, media elektronik yaitu internet serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan


(23)

kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah data adalah merupakan dasar utama, karenanya metode penelitian sangat diperlukan dalam penyusunan skripsi. Oleh karena itu dalam penyusunan skripsi menyusun data dengan menghimpun dari data yang ada relevansinya dengan masalah yang diajukan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian dengan cara:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Adapun jenis dan sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan data sekunder belaka.11

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu pendekatan deskriptif analitis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan

seperangkat data lainnya. Penelitian ini juga menguraikan ataupun

11

Tampil Ansari Siregar. Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), hal. 23


(24)

mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.12

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.13

b. Data Sekunder

Yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara langsung dengan pihak/informan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

Data sekunder adalah data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.14

1)Bahan Hukum primer

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

Yang menjadi bahan hukum primer adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 tahun 2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

12

Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal, 38. 13

Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, , 2012) hal 30

14


(25)

2)Bahan Hukum Sekunder

Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data sekunder bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya.

3)Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Library Research (Penelitian Kepustakaan)

Metode penelitian ini, memperoleh data masukan dari berbagai bahan-bahan bacaan yang bersifat teoritis ilmiah, baik itu dari literatur-literatur, buku-buku, peraturan-peraturan maupun juga dari majalah-majalah dan bahan perkuliahan penulis sendiri.

b. Field Research (Penelitian Lapangan)

Metode pengumpulan data dengan cara penelitian lapangan ini dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap pihak informan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dan pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Penelitian ini akan dilakukan pada PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara


(26)

serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia untuk melengkapi data dan penelitian.

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna suatu aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.15

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dari proses berpikir dianggap valid bila proses berpikir tersebut dilakukan menurut cara tertentu, misalnya cara penarikan kesimpulan secara deduktif. Deduktif ialah cara pengambilan kesimpulan dari umum ke khusus. Di dalam deduktif, kesimpulan harus mengikuti alasan (premis) yang diberikan, alasan yang dikatakan berarti kesimpulan dan merupakan suatu bukti (proof).16 Jadi penarikan kesimpulan secara deduktif dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung terhadap objek penelitian yaitu “Penerapan Prinsip Product Liability Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum yang

Didistribusikan Kepada Konsumen” (studi di PDAM Tirtanadi Provinsi

Sumatera Utara).

15

Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 107

16

J. Supranto. Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 65


(27)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam hal ini penulis bagi dalam bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu:

Bab I. Pendahuluan. Dalam Bab I ini diuraikan tentang diuraikan latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan. Kemudian berdasarkan latarbelakang masalah tersebut dibuat rumusan masalah dan tujuan penulisan. Bab ini juga menjelaskan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Product Liability Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam Meningkatkan Kualitas Air Minum kepada Konsumen.

Bab ini akan membahas pengaturan mengenai Product Liability, kualitas air

minum dan perlindungan konsumen menurut Undang-Undang No. 8 tahun 1999 dalam mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

Bab III. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara yang dibahas dalam bab ketiga ini adalah tentang sejarah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, bentuk dan kelembagaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, Tugas Pokok dan Fungsi PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

Bab IV. Pertanggungjawaban Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi terhadap Kualitas Air Minum yang Didistribusikannya kepada Konsumen. Bab ini akan membahas bentuk tuntutan ganti rugi terhadap kelalaian yang dilakukan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, pelaksanaan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam


(28)

pelayanan air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

Bab V. Kesimpulan dan Saran. Pada bagian akhir ini akan diberikan kesimpulan dan juga saran-saran dari pembahasan terdahulu. Kesimpulan diperoleh berdasarkan uraian dan penjelasan secara keseluruhan dari bab-bab terdahulu. Sedangkan saran-saran merupakan usul dari penulis terhadap topik yang dibahas.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB PRODUK

(PRODUCT LIABILITY) DALAM RANGKA UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) yang

berarti adalah lawan dari produsen yaitu setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.17

Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan “Konsumen sebagai lawan produsen, yakni pemakai barang-barang hasil industri, bahan makanan, dan sebagainya”18. Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut “A person who buys goods or service for personal, family, or household use, with no intention or resale, a natural person who use products for personal rather than bussiness pupose”19

17

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 22

. Textbook on Consumer Law memaparkan “Consumeris one who purchase goods or service”.

18

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal 521

19

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minnesota: West Publishing, 2004), Eight Edition, hal 335


(30)

Definisi tersebut menghendaki bahwa konsumen adalah setiap orang atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak sebagai produsen, pelaku usaha dan/atau pebisnis.20

Hukum positif Indonesia pada tahun 1999, belum mengenal istilah konsumen. Meskipun demikian, hukum positif Indonesia berusaha untuk menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian

hukum tentang hak-hak konsumen.21

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan istilah “setiap orang” untuk pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat jasa kesehatan dalam konteks konsumen, hal ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 3,4,5 dan Pasal 46. Istilah “masyarakat” juga digunakan dalam undang-undang ini dengan asumsi sebagai konsumen, hal ini termaktub dalam Pasal 9,10, dan Pasal 21.22

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 tahun tentang Perlidungan Konsumen yaitu konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan dirisendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”23

20

Zulham. Hukum perlindungan konsumen, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 15

21

Ibid., hal. 14

22

Ibid.,

23


(31)

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ini lebih luas bila di bandingkan dengan 2 (dua) Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen lainnya, yaitu :24

a. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menentukan bahwa “Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali”.

b. Naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan

Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan RI menentukan bahwa “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.

Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda yaitu “Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”. Anderson dan Krumpt menyatakan kesulitannya untuk merumuskan defenisi konsumen namun, para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah “Pemakai terakhir dari benda dan/atau jasa yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha”. 25

Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah dikemukakan di atas, maka Az Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:26

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu.

24

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 5-6

25

Zulham, Op. Cit., hal 16

26


(32)

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen yaitu pembeli, penyewa, penerima hibah, peminjam, dan sebagainya. Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ditemukan istilah tertanggung dan penumpang.27

Selain konsumen, pihak lain yang berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen adalah pelaku usaha dan pemerintah. Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha.

Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan pelaku usaha adalah

“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.28

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku

27

Zulham. Op.Cit., hal 14

28


(33)

usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, karena produsen atau pelaku usaha dapat berupa perorangan atau badan hukum.29

2. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Sebelum membahas hak dan kewajiban para pihak maka terlebih dahulu akan membahas tentang pengertian hak dan kewajiban. Hukum didalamnya mengatur peranan dari para subjek hukum yang berupa hak dan kewajiban. Hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, berbeda dengan kewajiban adalah peran yang bersifat imperative artinya harus dilaksanakan. Hubungan keduanya adalah saling berhadapan dan berdampingan karena didalam hak terdapat kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak menyalahgunakan haknya.30

Hak dan Kewajiban lahir karena adanya hubungan hukum. Setiap hubungan hukum mempunyai dua aspek yaitu kekuasaan disatu pihak dan kewajiban (pilot) dipihak lain. Kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada orang lain (badan hukum) disebut sebagai hak. Menurut Logeman tidak setiap peraturan hukum memberi hak. Ada peraturan hukum yang tidak memberi hak. Tetapi setiap peraturan hukum menimbulkan kewajiban.

Presiden John F. Kennedy mengemukakan empat hak konsumen yang harus dilindungi, yaitu:31

29

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Op.Cit., hal. 8-9

30

Happy Susanto. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal 22

31


(34)

a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety)

Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi ini, intervensi, tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Karena itu pula, pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku produsen yang nantinya dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen.

b. Hak memilih (the right to choose)

Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogratif konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen.

c. Hak mendapat informasi (the right to be informed)

Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai sesuatu barang yang akan diblinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.

d. Hak untuk didengar (the right to be heard)

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan harapanya dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh produsen.

YLKI menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen yang dikemukakan oleh John F. Kennedy yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga keseluruhannya dikenal sebagai

“Panca hak Konsumen”.32

Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 4 terdapat hak-hak konsumen antara lain :33

32

Ibid., hal 50

33


(35)

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan Advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara paksa.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain. Selain kesembilan hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ada dua hak konsumen yang berhubungan dengan product liability, yakni sebagai berikut:34

a. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang

baik serta aman. Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk barang yang dibelinya sering kali diperdayakan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen sering dihadapkan pada kondisi jika setuju beli, jika tidak silahkan cari di tempat yang lain, padahal di tempat lain pasar pun telah dikuasainya.

b. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian. Jika barang yang dibelinya itu

dirasakan cacat, rusak, atau telah membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Namun, jenis ganti kerugian yang dikalimnya untuk barang yang cacat atau rusak, tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka tuntutan konsumen dapat melebihi harga barang yang dibelinya.

34


(36)

Sementara hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian tyang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila:35

a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; b. Cacat timbul di kemudian hari;

c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;

d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi; e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 6 menjelaskan produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut:36

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat pelindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain memperoleh hak-hak tersebut, sebagai balance konsumen juga

mempunyai kewajiban, “ Menurut Pasal 5 Undang-Undang Konsumen No.8 Tahun 1999, kewajiban konsumen itu antara lain:37

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

b. Beritikhad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

35

Ibid.,hal 42

36

Ibid., hal. 43

37


(37)

Selain itu, dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut:38 a. Beritikhad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujure mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pelaku usaha di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikhad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai pada tahap purna penjualan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi oleh produsen (pelaku

38


(38)

usaha). Sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.39

3. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

Secara umum dan mendasar, hubungan antara produsen (pelaku usaha) dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lainnya.40

Produsen sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin produsen (pelaku usaha) dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi produsen (pelaku usaha). Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan suatu hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus.

41

Hubungan antara produsen dan konsumen menimbulkan tahapan transaksi untuk mempermudah dalam memahami akar permasalahan dan mencari jalan penyelesaian. Barang atau jasa yang dialihkan kepada konsumen dalam suatu transaksi dibatasi berupa barang dan jasa yang biasa digunakan untuk keperluan

39

Ibid., hal. 54-55

40

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 9

41


(39)

kehidupan atau rumah tangga dan tidak untuk tujuan komersial. Dalam praktik sehari-hari terjadi beberapa tahap transaksi konsumen tahap tersebut adalah:42

a.Tahap Pra-Transaksi Konsumen

Tahap pra-transaksi konsumen, transaksi (pembelian, penyewaan, peminjaman, pemberian hadiah komersial, dan sebagainya) belum terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa kebutuhannya dapat diperoleh, beberapa hanya dan apapula syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta mempertimbangkan berbagai fasilitas atau kondisi dari transaksi yang diinginkan. Pada tahap ini informasi tentang barang atau jasa konsumen memegang peranan penting. Informasi yang

benar dan bertanggung jawab (informative information) merupakan

kebutuhan pokok konsumen sebelum dapat mengambil suatu keputusan untuk mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi dalam kebutuhan hidupnya. Putusan pilihan konsumen yangn benar mengenai barang dan jasa yang dibutuhkan (informed choice), sangat tergantung pada kebenaran dan bertanggungjawabnya informasi yang disediakan oleh pihak-pihak berkaitan dengan barang atau jasa konsumen. Informasi yang setengah benar, menyesatkan, apalagi informasi yang menipu dengan sendirinya menghasilkan keputusan yang dapat menimbulkan kerugian materil atau bahkan mgkin membahayakan kesehatan tubuh atau jiwa konsumen karena keliru, salah atau disesatkan dalam mempertimbangkannya.

42

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Harapan,1995), hal 39-56


(40)

b.Tahap Transaksi Konsumen

Fase ini transaksi konsumen sudah terjadi. Jual beli atau sewa menyewa barang, setelah terjadi. Berbagai syarat peralihan kepemilikan, penikmatan, cara-cara pembayaran atau hak/kewajiban mengikuti, merupakan hal-hal pokok bagi konsumen. Pada saat ini umumnya suatu perikatan antara pelaku usaha dan konsumen dengan pembayaran atau pelunasan berjangka (antara lain perjanjian beli sewa, kredit, perbankan, kredit perumahan dan sebagainya) tidak jarang memunculkan masalah. Informasi yang benar dan bertanggungjawab dapat membantu konsumen menetapkan pilihan yang tepat, begitu pula cara-cara memasarkan barang atau jasa. Cara-cara pemasaran yang wajar akan sangat mendukung putusan pilihan konsumen yang menguntungkannya. Leluasanya konsumen memilih barang atau jasa kebutuhannya salah satu hak dan juga merupakan kepentingan konsumen.

c.Tahap Purna-Transaksi Konsumen

Tahap ini transaksi konsumen telah terjadi dan pelaksanaan telah diselenggarakan. Keutuhan konsumen akan barang atau jasa, baik kebutuhan produk rohaniah dan jasmaniah maupun kebutuhan yang dirangsang oleh berbagai praktek atau strategi pemasaran dan keberanian pengusaha mengambil resiko dalam menyediakan berbagai kebutuhan konsumen tersebut, sesungguhnya merupakan dua sisi dari satu kehidupan. Tinjauan lain yang dikemukakan diatas dengan sendirinya memperhatikan makin tingginya tingkat ilmu dan teknologi dalam


(41)

memproduksi produk-produk konsumen karena itu anjuran supaya

“konsumen teliti dalam membeli” (caveat emptor) seharusnya

didampingi oleh kewajiban “pengusaha bertanggung jawab” (caveat

venditor). Tanpa tanggung jawa pengusaha, kepentingan ekonomis, keselamatan tubuh dan keamanan jiwa dipertaruhkan dan mengahadapi resiko yang tidak sepatutnya mereka hadapi. Keadaan barang atau jasa setelah mulai digunakan atau mulai dinikmati, kemudian ternyata tidak sesuai dengan deskripsi yang klaim pengusaha, baik tentang asal produk, keadaan, sifat, jumlahnya, atau jaminan/garansi merupakan masalah pada tahap purnal jual. Dengan memperbincangkan asal produk konsumen, mutu, sifat, keadaan, jumlah, garansi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sesungguhnya masalah sudah termasuk pertanggungjawaban pelaku usaha atau tanggung jawab produk.

Hubungan antara produsen dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi pada pemasaran dan penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan rangkaian perbuatan hukum yang tidak mempunyai akibat hukum dan yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua pihak maupun hanya terhadap pihak tertentu saja. Hal tersebut dimanfaatkan secara sistematis oleh produsen dalam suatu sistem distribusi dan pemasaran produk barang guna mencapai tingkat produktivitas dan efektivitas dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dihasilkan hubungan yang sifatnya massal, yakni adanya permintaan meningkat dari masyarakat sehingga produsen dituntut untuk meningkatkan produktivitasnya. Karena sifatnya massal tersebut, maka peran negara sangat


(42)

dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen pada umumnya. Untuk itu perlu diatur perlindungan konsumen berdasarkan undang-undang antara lain menyangkut mutu barang, cara prosedur produksi, syarat kesehatan, syarat pengemasan, syarat lingkungan, dan sebagainya.43

Diawali dengan sistem pengawasan terhadap mutu dan kesehatan serta ketepatan pemanfaatan bahan untuk sasaran produk. Untuk itu aspek hukum publik sangat dominan. Setelah hubungan bersifat personal, hukum perdatalah yang akan lebih dominan dalam rangka meindungi kepentingan masing-masing pihak. Pada era pasar bebas di mana hubungan produsen dan konsumen menjadi makin dekat dan makin terbuka. Campur tangan negara, kerja sama antar negara dan kerja sama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna mengatur pola

hubungan produsen, konsumen dan sistem perlindungan konsumen.44

Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat massal tersebut menciptakan hubungan secara individual/personal sebagai hubungan hukum yang spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain:45

a. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu; b. Penawaran dan syarat perjanjian;

c. Fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya; d. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.

Keadaan-keadaan seperti diatas, pada dasarnya akan sangat mempengaruhi dan menciptakan kondisi perjanjian yang juga sangat bervariasi. Dalam praktiknya hubungan hukum seringkali melemahkan posisi konsumen karena

43

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal. 10

44

Ibid., hal 11

45


(43)

secara sepihak para produsen (pelaku usaha) sedah menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh produsen atau jaringan distributornya.46

Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus disetujui dan diikuti oleh konsumen. Syarat sepihak ini dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”.

Klausula baku dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.47

Memperhatikan rumsan pengertian klausula baku dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini tampak penekanannya lebih tertuju dalam prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan bukan isinya.

48

46

Ibid.

Perjanjian baku juga terkandung klausul eksonerasi, yang dalam pengertiannya tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Dengan demikian, klausula baku menggambarkan tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen dipihak lain dalam perjanjian baku jelas tidak pernah dijumpai asas kebebasan

47

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal 18

48


(44)

berkontrak.49

Selain terdapat perikatan yang dilakukan oleh PDAM dengan calon pelanggan yang ada dalam formulir pendaftaran, calon pelanggan pun harus menandatangani surat pernyataan yang menegaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban pelanggan. Surat pernyataan pelanggan tersebut berisikan yaitu:

Salah satu contoh klausula baku dalam hubungan produsen dan konsumen, misalnya formulir pendaftaran pemasangan air oleh PDAM. Formulir yang ditandatangani oleh calon pelanggan dan PDAM tersebut merupakan klausula baku atau kontrak baku kepada pelanggan. Dimana klausula baku itu ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha yakni PDAM Tirtanadi dan mengandung ketentuan umum dimana klausula baku ini menggambarkan tidak adanya keseimbangan posisi antara pelaku usaha yang menghasilkan produk dan konsumen di sisi lain, sehingga pihak konsumen hanya memiliki dua pilihan, yakni menyetujui atau menolak.

1. Dengan mengajukan permohonan pemasangan baru saluran air minum dan

menandatangani surat pernyataan ini, maka Pemohon akan mematuhi ketentuan yang berlaku di PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

2. Pemohon bersedia memenuhi kewajiban yang timbul dan menjadi tanggung

jawab Pemohon berkaitan dengan pelaksanaan pemasangan baru saluran air minum di alamat Pemohon yaitu:

a.Membayar biaya pemasangan baru sesuai golongan pelanggan berdasarkan

kriteria yang ditetapkan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

49


(45)

b.Membayar biaya tambahan/kelebihan pipa dinas yang jaraknya melebihi dari standar yang ditentukan PDAM Tirtanadi (lebih dari 6 meter), dimana pipa tersebut akan menjadi aset PDAM Tirtanadi dan Pemohon tidak menuntut atas penggunaan pipa tersebut apabila di kemudian hari PDAM Tirtanadi menggunakan pipa tersebut untuk penambahan/ perluasan cakupan pelayanan

c.Menyelesaikan izin/rekomendasi (apabila diperlukan) dengan pihak yang

bersangkutan sehubungan dengan pekerjaan pemasangan pipa.

3. Bersedia menerima kelebihan atas pembayaran biaya pemasangan baru atau

membayar kekurangan biaya pemasangan baru apabila terjadi perubahan golongan pelanggan berdasarkan kriteria PDAM Tirtanadi.

4. Apabila di kemudian hari timbul sengketa mengenai hak milik

tanah/bangunan yang mengakibatkan pipa dinas/pipa persil harus dibongkar, maka hal tersebut diluar tanggung jawab PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dan pemohon tidak dapat menuntut ganti kerugian dalam bentuk apapun kepada PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.

5. Apabila meter air telah terpasang dan pemohon telah menikmati pelayanan

air minum dan pemohon mengundurkan diri sebagai pelanggan, maka segala sesuatu yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan kepada pemohon dan kewajiban yang ditimbulkan dari pemakaian air minum harus diselesaikan oleh Pemohon sesuai ketentuan yang berlaku di PDAM Tirtanadi.


(46)

6. Bersedia untuk diputus sambungan air minum apabila melakukan pelanggaran sesuai ketentuan PDAM Tirtanadi.

Apabila dalam kontrak pelanggan tidak mengatur secara seimbang antara hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak, maka pelanggan mengajukan tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialaminya.

Kenyataannya, campur tangan pemerintah dan pemerintahan daerah dalam perjanjian baku sering kali terjadi, misalnya untuk perjanjian pengadaan barang dan lapangan agraria, seperti dalam hal hak pengelolaan tanah atau pemberian hak pakai. Akan tetapi, untuk perjanjian keperdataan yang dibuat oleh notaris tentu tidak harus distandarkan. Perjanjian-perjanjian yang disebut terakhir tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri. Campur tangan pemerintah lebih diharapkan pada perjanjian yang berskala luas yang dimaksud berkaitan dengan kepentingan massal. Karena itu, jika diserahkan sepenuhnya pembuatannya secara sepihak kepada produsen/pelaku usaha, dikhawatirkan akan dibuat klausul eksonerasi yang merugikan masyarakat banyak.50

B. Product Liability sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha 1. Pengertian Product Liability

Permasalahan yang dihadapi konsumen di Indonesia, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari semua pihak baik pengusaha, pemerintah, maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus

50


(47)

menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang

sesuai (reasonable). Pemerintah menyadari bahwa diperluka Undang-Undang

serta Peratura-Peraturan di segala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jas dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya Peraturan serta Undang-Undang tersebut dengan baik.51

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengakomodasi dua prinsip penting, yakni tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (professional liability). Kedua permasalahan ini sebenarnya termasuk dalam prinsip-prinsip tentang tanggung jawab, tetapi dibahas secara terpisah karena perlu diberikan penguraian sendiri.52

Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 (enam puluh) tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran.

Baik kalangan produsen (producer and manufacture) maupun penjual (seller,

distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.

Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat

dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produk product

liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang

51

Ibid., hal 62-63

52


(48)

bersifat intangible goods seperti listrik, produk alami (misalnya makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (misalnya peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (misalnya rumah). Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.

Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa,

Product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product”.53

Kemudian Agnes M.Toar mendefinisikan product liability sebagai

tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab disini diartikan sebagai tanggung jawab akibat dari adanya hubungan kontraktual (perjanjian) atau tanggung jawab menurut

undang-undang (dengan prinsip perbuatan melawan hukum).54

Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu

produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau

mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan

53

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal 64

54


(49)

yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan.55

Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.56

Product liability ini dapat diklasifikasikan ke dalam hal-hal yang berkaitan dengan berikut ini:57

a. Proses produksi,yaitu yang menyangkut tanggung jawab produsen atas

produk yang dihasilkannya bila menimbulkan kerugian bagi konsumen. Misalnya antara lain menyangkut produk yang cacat, baik cacat desain maupun cacat produk.

b. Promosi niaga/ iklan, yaitu yang menyangkut tanggung jawab produsen atas

promosi niaga/ iklan tentang hal ihwal produk yang dipasarkan bila menimbulkan kerugian bagi konsumen.

c. Praktik perdagangan yang tidak jujur, seperti persaingan curang, pemalsuan, penipuan, dan periklanan yang menyesatkan.

Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya:58

a. Pelanggaran jaminan (breach of warranty) b. Kelalaian (negligence)

c. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Ketentuan tanggung jawab produk ini dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dalam Pasal 1504 yang berbunyi

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak

55

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal 101

56

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal 101 hal 65

57

Ibid., hal 72

58


(50)

akan mebeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang”.

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan,

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.59

Tanggung jawab produk, barang/ jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen) itu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menjadi beban dan tanggung pelaku usaha.

Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan

melanggar hukum, tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict

liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa caveat emptor (konsumen bertanggung jawab) telah ditinggalkan dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab). Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang berakibat menimbulkan kerugian dan/atau membahayakan konsumen diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 , Pasal 7 sampai dengan Pasal 17, Pasal 19 samap dengan Pasal 21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

59


(51)

Seperti dikemukakan di atas, jika dilihat secara sepintas, nampak bahwa apa yang diatur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUH Perdata.60

Hanya saja, jika dilihat dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan, “Segala perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah untuk mengganti kerugian yang di derita orang atau pelaku usaha tersebut. Jadi, persaingan usaha tidak sehat yang di lakukan secara curang harus terbukti secara subjektif dan akibatnya merugikan konsumen secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung”.61

Hal ini berarti, bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor, dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle). Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya adanya unsur kesalahan di pihak produsen.62

60

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal.67

61

Ibid., hal. 36

62


(52)

Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:63

a. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (risiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/ mengeluarkan barang-barang cacat/ berbahaya tersebut di pasaran.

b. Dengan menempatkan/ mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti

produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab.

c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melauli proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen

kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk

menghilangkan proses yang panjang ini.

Hukum tentang product liability, pihak korban/ konsumen yang akan

menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal, yaitu:64

a. Produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen.

b. Cacat tersebut telah cacat telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian/ kecelakaan.

c. Adanya kerugian.

Namun, juga diakui secara umum bahwa pihak korban/ konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya tidak ada modifikasi-modifikasi). Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.

63

Zulham. Op.Cit, hal. 98

64


(53)

Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah sebagai berikut:65

a.Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation)

b.Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk

diedarkan oleh produsen atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian.

c.Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis.

d.Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

e.Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat.

f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut

disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri di mana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut.

g.Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence).

h.Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur. Namun demikian, dengan diterapkannya prinsip strict liability dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Pentingnya

hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang menganut

prinsip tanggung jawab mutlak (strict lliability) adalah dalam mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu

65


(54)

menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.66

2. Prinsip-Prinsip Pertanggungjawaban Pelaku Usaha

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.

Hans W. Micklitz berpendapat bahwa dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan yaitu:67

a. Kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan

pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi).

b. Kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan

terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan). Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:68

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability or

liability based on fault) adalah prinsip yang cukup aman namun berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), khususnya Pasal 1365, Pasal 1366, Pasal 1367, prinsip ini

66 Ibid., 67

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal 92

68


(55)

dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabnya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaaan dalam masyarakat.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption oif liability principle), sampai tergugat dapat membuktikan, sehingga tergugat tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada tergugat.

Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima

dalam prinsip tersebut. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, 23 ( ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum

praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal

dengan hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha digugat tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidaklah berarti dapat sekehendak hati


(1)

ini”, dan Pasal 7 yaitu, “Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada penyelenggara air minum yang tidak memenuhi persyaratan kualitas air minum sebagaimana diatur dalam peraturan ini”.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan prinsip product liability telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19. Selain itu, diatur juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum Pasal 1 dan Pasal 3 serta dikaitkan juga dengan pasal 4 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dimana ketentuan dari prinsip tanggung jawab produk (produk liability) ini berdasarkan kelalaian/kesalahan yang bermula dari asumsi bahwa apabila produsen/pelaku usaha melakukan kesalahan atau, maka konsumen akan mengalami kerugian atau dengan kata lain, apabila konsumen mengalami kerugian, berarti produsen telah melakukan kesalahan dan wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen.

2. PDAM Tirtanadi telah menerapkan prinsip produk liability sesuai kewajibannya sebagai pelaku usaha dalam mendistribusikan air minum kepada pelanggannya dengan memperhatikan kualitas air minum yang didistribusikan ke pelanggan. PDAM Tirtanadi melakukan kontrol di instalasi setiap jam sebelum air didistribusikan kepada konsumen, pencucian reservoir (bak penampungan air), melakukan pembilasan pipa, mencuci pipa air setiap bulan, penyaringan serta pembubuhan zat-zat


(3)

untuk membunuh bakteri dalam air sehingga air aman dikonsumsi oleh pelanggan.

3. Pertanggungjawaban PDAM Tirtanadi selaku pelaku usaha dapat dilihat dalam menjaga kualitas air minum yang didistribusikannya telah memenuhi standar dan aman bagi kesehatan. Selain itu, PDAM Tirtanadi juga bertanggung jawab apabila ada kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat penggunaaan produknya baik yang berupa kerugian materi, fisik, maupun jiwa. Walau sejauh ini, belum ada kerugian fisik yang nyata kepada konsumen, misalnya sakit, cedera, bahkan sampai meninggal.

B. Saran

1. Seharusnya pembinaan tanggung jawab produk (product liability) dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta peraturan perundang-undangan lainnya harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga tercapai keadilan dan kepastian hukum yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai konsumen.

2. Diberlakukannya prinsip product liability ini, diharapkan agar pelaku usaha yaitu PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkannya yakni air bersih karena jika tidak, selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar resiko yang harus ditanggungnya.


(4)

3. Agar pihak PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara benar-benar memperhatikan hak-hak dan kewajiban serta tanggung jawab kepada konsumen/pelanggan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

KELOMPOK BUKU

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2000. Susanto, Happy. Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia, 2008. Siregar, Tampil Ansari. Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2005.

Suggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Supranto, J. Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

Malang: Ghalia Indonesia, 2008.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Widjiantoro, J. Produk Liability dan Perlindungan Konsumen di Indonesia, Justitia Et Pax, Juli-Agustus 1998.

KELOMPOK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 tahun 2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum


(6)

KELOMPOK INTERNET

“Kebutuhan Air bersih”, melalui

13 September 2013

Amstrong Sembiring. “Menyoal Masyarakat Konsumen Air”. melaui Parlindungan Purba, “Pelayanan PDAM Tirtanadi Buruk”, Harian Global, tanggal

24 Mei 2008.

Pengaduan Kasus oleh pada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (16-01/2012)”, melalu

Harian Medan Bisnis. “Kualitas Air Tirtanadi ke Pelanggan Makin Rendah”, diakses pada hari Rabu tanggal 2 Oktober 2013.