21
Subsidiair : Melanggar Pasal 338 KUHP pembunuhan
biasa Lebih Subsidiair
: Melanggar Pasal 355 KUHP penganiayaan berat yang mengakibatkan mati
Lebih Subsidiair lagi : Melanggar
Pasal 353
KUHP penganiayaan berencana yang mengakibatkan
mati Lebih-lebih Subsidiar lagi
: Melanggar Pasal 351 ayat 3
KUHP penganiayaan
biasa yang
mengakibatkan mati.
Sebagai konsekuensi bila dakwaan dibuat secara subsidiair, maka dakwaan primair. Bila tidak terbukti diteruskan dengan dakwaan
penggantinya Subsidiair dan seterusnya. Bila dakwaan utamanya tidak terbukti maka harus dikesampingkan dan dakwaan pengganti dibuktikan.
Begitu pula sebaliknya bila dakwaan utama sudah terbukti maka dakwaan penggantinya harus dikesampingkan. Pada lazimnya ditinjau dari teori dan
praktek bentuk dakwaan subsidiair diajukan apabila peristiwa tindak pidana yang terjadi menimbulkan suatu akibat, dan akibat yang timbul itu meliputi
atau bertitik singgung dengan beberapa ketentuan pasal pidana yang saling berdekatan cara melakukan tindak pidana tersebut M.Yahya Harahap,
2000:391
b. Tinjauan Penuntut Umum
1. Pengertian Penuntut Umum
Pengertian tentang Penuntut Umum tertuang dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP yang dijelaskan sebagai berikut :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
22
Berkaitan dengan hal tersebut menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 1 yang disebut Penuntut Umum adalah jaksa
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
2. Tugas dan Kewenangan Penuntut Umum
Penuntut umum mempunyai tugas dan kewenangan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana, mulai perkara diungkap sampai akhir pemeriksaan
selesai dan demi kepentingan hukum pihak-pihak yang bersangkutan. Di mana tugas dan kewenangannya adalah sebagai berikut:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu. b.
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4 KUHAP, dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. c.
Membuat surat dakwaan. d.
Melimpahkan perkara pidana ke pengadilan. e.
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
f. Melakukan penuntutan.
g. Menutup perkara demi kepentingan hukum. Mengadakan tindakan lain dalam
lingkup dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini.
h. Melaksanakan penetapan hakim Pasal 14 KUHAP.
c. Tindak Pidana Pemerasan
23
1. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Adami Chazawi, 2002:67 Tindak Pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalamperundang-undangan negara kita. Dalam hampir
seluruh perundangundangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskasuatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.
Menurut Wirjono Projodikoro 1986:55 bahwa istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu
strafbaarfeit.
Oleh pakar hukum pidana bahwa tindak pidana dalam penggunanya yaitu delik, sedangkan oleh para pembuat undang-undang
menggunakan istilah perbuatan tindak pidana. Terhadap perbuatan tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 dua
bentuk yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan menunjuk suatu perbuatan yang menurut nilai-nilai kemasyarakat dianggap sebagai perbuatan tercela,
meskipun tidak diatur secara tertulis dalam ketentuan undang-undang sedangkan pelanggaran mengarah pada perbuatan yang oleh masyarakat bukan sebagai
perbuatan tercela dan sifatnya terlarang setelah perbuatan itu dinyatakan dalam undang-undang Moelyatno, 2002: 18
2. Tindak Pidana Pemerasan
Tindak pidana pemerasan biasa pula disebut sebagai tindak pidana pengancaman. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 368 KUHP:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling
lama 9 tahun. Menurut R. Soesilo 1995:256 unsur-unsur yang ada dalam pasal ini
adalah sebagai berikut: a.
Memaksa orang lain;
24
b. Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk
kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;
c. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak; d.
Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan. Memaksa yang dimaksud disini adalah melakukan tekanan kepada
orang, sehingga orang tersebut mellakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri. Memaska disini juga termasuk jika orang yang berada dalam
tekanan menyerahkan barangnya sendiri. Definisi memaksa dapat dilihat dalam Pa
sal 89 yang berbunyi : “ yang disamakan melalui kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak
berdaya lagi lemah ”. Menurut Soesilo 1995;98 yang dimaksud dengan kekerasan disni
adalah menggunakan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani ini penggunaannya tidak kecil. Kekerasan dalam pasal ini termasuk didalamnya adalah memukul
dengan tangan, menendang dan sebagainya. Unsur ini mensyaratkan bahwa dengan adanya kekerasan atau ancaman
kekerasan ini, pemilik barang menyerahkan barang tersebut kepada pelaku. Penggunaan kekerasan ini harus berdasarkan niat agar pemilik barang
menyerahkan barangnya. Menurut Andi Hamzah 2009;89 maksud untuk menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan ini adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain merupakan tujuan terdekat dari penggunaan kekerasan tersebut.
Adapun beberapa pendapat para pakar dalam memberiikan pandangan mengenai pengertian dari melawan hukum itu sendiri sebagaimana yang
dikemukakan oleh Simons dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi 2002:143 bahwa sebagai pengertian dari bersifat melawan
hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya. Pandangan Pompe
25
terkait dengan pengertian melawan hukum dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi 2002:143 mempersamakan “ tindakan yang tidak sesuai dengan hukum ”
d engan “ bersifat melawan hukum “. Pendapat lain dari pakar yakni
sebagaimana yang dikemukakan Moeljatno dan Roeslan Saleh dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi 2002:143 mengemukakan bahwa lebih cenderung
pada pendapat bahwa bersifat melawan hukum harus diartikan dengan bertentangan dengan hukum.
Dari beberbagai pandangan para pakar dalam memberikan pengertian terhadap melawan hukum maka dapat disimpulkan bahwa bersifat melawan
hukum, berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh
hukum hukum positif yang berlaku.
d. Tinjauan Umum Terhadap Penyertaan