6
B. ENZIM KITOSANASE
Kitosanase merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan GIcN- GIcN, GIcN-GIcNAc dan GIcNAc-GIcN, bukan pada ikatan GIcNAc-
GIcNAc Piza et al., 1999. Beberapa kitosanase diduga bersifat termostabil, yaitu enzim yang masih stabil dan masih dapat aktif pada suhu diatas suhu
pertumbuhan mikroorganisme yang menghasilkannya selama waktu tertentu. Enzim termostabil pada umumnya dihasilkan oleh mikroorganisme termofilik
yang hidup pada lingkungan dengan temperatur lebih besar dari 50°C, misalnya perairan air panas, kawah, dan sedimen geotermal lainnya. Dimana
stabilitas dari enzim termostabil disebabkan oleh interaksi van der wals, ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, interaksi elektrostatik, dan jembatan disulfida
di antara asam amino penyusun protein. Bakteri penghasil kitosanase diantaranya adalah Bacillus circulans
MH-K1 Yabuki, 1989, Bacillus licheniformis UTK Uchida et al., 1992, Bacillus cereus Piza et al., 1999, Bacillus megaterium P1 Pelletier dan
Syugsch, 1992, Bacillus sp. Strain KCTC 0377 BP Choi et al., 2004, Matsuebacter chitosanotabidus 3001 Park et al, 1999, dan genus Aspergillus
Arcidiacono et al., 1989 dilaporkan juga sebagai mikroba penghasil enzim kitosanase. Beberapa enzim termostabil yang telah dimanfaatkan dalam
industri dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Jenis Enzim termostabil lain
Mikroba Enzim Termostabil
Aplikasi
Bacillus subtilis α-amilase
Protease Industri gula cair
Detergen Bacillus
licheniformis Protease Detergen
Bacillus stearothermophilus
Protease Detergen
Suhartono 1989
7 Aktivitas enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan
seperti pH, suhu, pelarut, kekuatan ion dan adanya inhibitor atau aktivator. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui sifat-sifatkarakteristik
enzim yang meliputi pH optimum, suhu optimum, pengaruh penambahan ion logam, dan ketahanan enzim terhadap panas. Namun dalam penelitian ini
hanya ditentukan pH optimum, suhu optimum, dan stabilitas panas hanya pada enzim murni.
Pengaruh suhu pada reaksi enzimatis merupakan suatu fenomena yang kompleks. Pada umumnya semakin tinggu suhu, laju reaksi kimia
semakin naik dan inaktifasi enzim semakin naik pula baik yang dikatalis maupun yang tidak dikatalis oleh enzim Winarno, 1983. Suhu optimum
merupakan suhu dimana enzim menunjukkan aktivitas yang maksimum. Meningkatnya aktivitas enzim sampai pada suhu optimum tertentu disebabkan
oleh bertambahnya energi kinetik yang mempercepat gerak vibrasi, translasi, serta rotasi enzim dan substrat sehingga memperbesar peluang keduanya untuk
saling berinteraksi. Pada suhu yang tinggi protein akan cepat mengalami kerusakan denaturasi Suhartono, 1989.
Pada umumnya enzim bersifat amfolitik, yaitu enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam dan basanya terutama pada residu
terminal karboksil dan gugus terminal aminonya. Tidak semua enzim menunjukkan pH optimum dengan puncak yang tajam. Beberapa enzim
menunjukkan sebuah kisaran pH, dimana kecepatan reaksi tidak berubah. Hal ini disebabkan beberapa asam amino yang merupakan sisi aktif enzim dapat
terionisasi pada kisaran pH tertentu. Menurut Lehninger 1993 enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitasnya
maksimum. Umumnya enzim optimum pada pH 4.5 – 8 Winarno, 1983. Nilai pH optimum enzim tidak selalu sama dengan pH lingkungan normalnya
dapat sedikit berada di atas atau di bawah pH lingkungan normalnya. Kestabilan ketahanan enzim dapat diartikan sebagai kestabilan
aktivitas enzim selama penyimpanan enzim, selama penggunaan enzim tersebut, dan kestabilan terhadap berbagai senyawa yang bersifat merusak
enzim misalnya pelarut-pelarut tertentu asam, basa, oleh pengaruh luar
8 misalnya suhu panas dan pH ekstrim. Penentuan daya tahan enzim terhadap
panas umumnya dilakukan pada suhu optimum dan pH optimum enzim tersebut Suhartono, 1989. Adanya perbedaan sumber atau asal enzim dapat
menyebabkan perbedaan terhadap daya tahan panas enzim tersebut meskipun jenis enzimnya sama Winarno, 1983. Tabel 6 menunjukkan beberapa
karakteristik dari enzim kitosanase.
C. MIKROBA TERMOFILIK