Mempelajari Pemurnian Enzim Kitosanase Termostabil Dari Isolat Bacillus Licheniformis Mb-2 Asal Tompaso, Manado, Sulawesi Utara

(1)

SKRIPSI

MEMPELAJARI PEMURNIAN ENZIM KITOSANASE TERMOSTABIL DARI ISOLAT Bacillus licheniformis MB-2

ASAL TOMPASO, MANADO, SULAWESI UTARA

Oleh :

DIAN RACHMADANI F24103049

2007


(2)

MEMPELAJARI PEMURNIAN ENZIM KITOSANASE TERMOSTABIL DARI ISOLAT Bacillus licheniformis MB-2

ASAL TOMPASO, MANADO, SULAWESI UTARA

Oleh :

DIAN RACHMADANI F24103049

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MEMPELAJARI PEMURNIAN ENZIM KITOSANASE TERMOSTABIL DARI ISOLAT Bacillus licheniformis MB-2

ASAL TOMPASO, MANADO, SULAWESI UTARA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh

DIAN RACHMADANI F24103049

Dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1985 Di Bogor, Jawa Barat

Tanggal lulus : 8 Agustus 2007

Menyetujui Bogor, Agustus 2007

Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Dosen Pembimbing


(4)

Dian Rachmadani. F24103049. Mempelajari Pemurnian Enzim Kitosanase Termostabil Dari Isolat Bacillus licheniformis MB-2 Asal Tompaso, Manado, Sulawesi Utara. Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawijaya Suhartono

ABSTRAK

Enzim kitosanase adalah enzim yang dapat menghidrolisis kitosan menjadi oligomernya. Enzim ini dapat dihasilkan oleh bakteri, fungi, dan tanaman. Kegunaan kitosan dan turunannya dalam berbagai bidang mendorong eksplorasi enzim pendegradasi kitin dan kitosan dalam jumlah besar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produksi dan pemurnian enzim kitosanase menggunakan kromatografi filtrasi gel dari isolat Bacillus licheniformis MB-2 asal Tompaso, Manado, Sulawesi Utara serta melakukan karakterisasi beberapa sifat enzim kitosanase yang dihasilkan.

Isolat Bacillus licheniformis MB-2 diinokulasi ke dalam media thermus padat (1.0% koloidal kitosan, 0.7% K2HPO4, 0.3% KH2PO4, 0.5% MgSO4, 0.25%

ekstrak khamir, 0.25% casiton, 1.5% bacto agar, dan 0.4% gelrite) lalu diinkubasi pada 550C. Setelah 5 hari terbentuk areal bening di sekitar koloni bakteri. Selanjutnya, koloni bakteri tersebut diinokulasi ke dalam media thermus cair (0.4% koloidal kitosan, 0.7% K2HPO4, 0.3% KH2PO4, 0.5% MgSO4, 0.25%

ekstrak khamir, dan 0.25% casiton) lalu diinkubasi pada shaker waterbath suhu 550C selama 24 jam dengan kecepatan agitasi 120 rpm dan digunakan sebagai kultur starter. Enzim kitosanase diproduksi dengan memasukkan kultur starter ke dalam media thermus cair lalu diinkubasi pada shaker waterbath suhu 550C selama 7 hari dengan kecepatan agitasi 120 rpm. Pada akhir inkubasi, sel bakteri dan sisa-sisa media yang tidak larut dipisahkan dengan sentrifugasi (40C, 20 menit, 10000 rpm). Supernatan enzim bebas sel yang diperoleh kemudian diendapkan dengan ammonium sulfat 80%. Endapan protein dipisahkan dengan sentrifugasi (40C, 20 menit, 10000 rpm) lalu dilarutkan dalam 0.05 M buffer fosfat pH 6 sehingga diperoleh enzim kasar (crude enzyme). Dialisis dilakukan terhadap crude enzyme untuk menghilangkan molekul garam. Enzim hasil dialisis kemudian di-freeze dry dan selanjutnya digunakan untuk pemurnian. Pemurnian dilakukan dengan teknik kromatografi filtrasi gel menggunakan matriks Sephadex G-100. Kolom disetimbangkan dan dielusi dengan 0.05 M buffer fosfat pH 6.

Aktivitas enzim kitosanase diuji dengan menentukan jumlah gula pereduksi (D-glukosamin) yang terbentuk karena reaksi hidrolisis substrat soluble chitosan oleh enzim kitosanase. Pengujian dilakukan dengan teknik spektrofotometri pada panjang gelombang 420 nm. Satu unit aktivitas enzim kitosanase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang memproduksi 1 µmol gula pereduksi (glukosamin) per menit pada kondisi tertentu.

Crude enzyme memiliki aktivitas sebesar 1.087 U/ml (1.433 U/mg). Berdasarkan hasil karakterisasi, crude enzyme memiliki suhu optimum pada 60-700C dengan pH optimum 6-7. Buffer Na-fosfat dipilih sebagai buffer optimum. Hasil pemurnian enzim menggunakan kromatografi filtrasi gel menunjukkan bahwa fraksi 44 memiliki aktivitas sebesar 1.089 U/ml (136.125 U/mg) dengan tingkat kemurnian 29.99 kali. Hasil karakterisasi menunjukkan fraksi 44 memiliki suhu optimum 70-800C dan pH optimum 6-7. Konstanta laju deaktivasi (k) pada


(5)

700C adalah 0.0003/menit dan 0.0024/menit pada 900C. Waktu paruh (t1/2) pada

700C adalah 2310.5 menit dan 288.8 menit pada 900C. Energi deaktivasi (Ea) fraksi 44 adalah 25.823 kkal/gmol.0K. Pengujian pengaruh pH terhadap stabilitas enzim menunjukkan bahwa enzim murni fraksi 44 stabil pada pH 6 selama 2 jam dengan suhu inkubasi 700C (98%).

Berdasarkan hasil SDS-PAGE terhadap crude enzyme diketahui ada 5 pita protein dengan berat molekul 61.5, 48.5, 40.6, 28.5, dan 19.9 kDa. Hasil analisis terhadap enzim murni menunjukkan bahwa enzim murni fraksi 44 memiliki berat molekul sebesar 75.4 kDa.


(6)

i KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT karena atas ridho-Nya, penulisan skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul Mempelajari Pemurnian Enzim Kitosanase Termostabil Dari Isolat Bacillus licheniformis MB-2 Asal Tompaso, Manado, Sulawesi Utara disusun berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan November 2006-Juni 2007 di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PAU-IPB.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama melakukan tugas akhir sampai terselesaikannya skripsi ini

2. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji pada sidang sarjana penulis, mengkoreksi, dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini

3. Dr. Sukarno selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji pada sidang sarjana penulis, mengkoreksi, dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini

4. Keluarga tercinta yang telah memberikan keceriaan, dukungan, dan doa pada penulis. Specially for my mother ”thank you very much”

5. My best friend forever, Ira Susanti yang selalu memberikan dukungan dan mendengarkan setiap keluh kesah penulis

6. Evanda Puspita yang selalu ada dalam susah dan senang selama penulis melakukan penelitian

7. Kardita (Rucit, Anis, Oca, Irma, Dini, Iin, Indah, Wati, Abdy, Riska) yang memberikan dukungan kepada penulis

8. Teman-temanku (Rina, Tuti, Jengye, Andiny, Dion) atas dukungan dan keceriaan selama ini

9. Adit, Fajar, Doni, Eka, Rika, Aji atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian

10.Bu Ika, bu Eni, bu Sri, mbak Rika di Lab. MB-PAU yang telah banyak membantu dan menemani hari-hari yang manis tak terlupakan


(7)

11.Teman-teman TPG 40 atas dukungan, kenangan indah, dan keceriaan selama di ITP

12.Ikhsan Novembrianto atas segala bantuan dan dukungannya selama ini kepada penulis

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

Dian Rachmadani


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 18 Juni 1985. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh dari tahun 1991 hingga 1997 di SD Pertiwi Bogor kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bogor hingga tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis tamat dari SMU Negeri 5 Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Selama masa studi, penulis pernah menjadi asisten kimia dan biokimia pangan.


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Kitin ... 3

B. Kitosan ... 3

C. Enzim Kitosanase ... 6

D. Bacillus licheniformis MB-2 ... 7

E. Pemurnian Enzim ... 8

F. Elektroforesis SDS-PAGE ... 13

III.METODOLOGI PENELITIAN ... 17

A. Bahan dan Alat ... 17

B. Metode ... 17

1. Pembuatan Tepung Kitosan ... 17

2. Pembuatan Koloidal Kitosan ... 18

3. Penyegaran Kultur ... 18

4. Pembuatan Kultur Starter ... 18

5. Produksi Enzim Kitosanase... 18

6. Dialisis ... 19

7. Freeze Dry ... 19

8. Pemurnian Enzim Kitosanase ... 20

9. Elektroforesis SDS-PAGE ... 20

10.Karakterisasi Enzim Kitosanase ... 22


(10)

iv

12.Pengukuran Konsentrasi Protein ... 24

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Produksi Enzim Kitosanase... 25

B. Presipitasi Protein... 27

C. Dialisis ... 28

D. Pemurnian Enzim Kitosanase ... 29

E. Karakterisasi Enzim Kitosanase ... 31

F. Penentuan Berat Molekul Enzim Kitosanase ... 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

A. Kesimpulan ... 40

B. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(11)

SKRIPSI

MEMPELAJARI PEMURNIAN ENZIM KITOSANASE TERMOSTABIL DARI ISOLAT Bacillus licheniformis MB-2

ASAL TOMPASO, MANADO, SULAWESI UTARA

Oleh :

DIAN RACHMADANI F24103049

2007


(12)

MEMPELAJARI PEMURNIAN ENZIM KITOSANASE TERMOSTABIL DARI ISOLAT Bacillus licheniformis MB-2

ASAL TOMPASO, MANADO, SULAWESI UTARA

Oleh :

DIAN RACHMADANI F24103049

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MEMPELAJARI PEMURNIAN ENZIM KITOSANASE TERMOSTABIL DARI ISOLAT Bacillus licheniformis MB-2

ASAL TOMPASO, MANADO, SULAWESI UTARA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

oleh

DIAN RACHMADANI F24103049

Dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1985 Di Bogor, Jawa Barat

Tanggal lulus : 8 Agustus 2007

Menyetujui Bogor, Agustus 2007

Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Dosen Pembimbing


(14)

Dian Rachmadani. F24103049. Mempelajari Pemurnian Enzim Kitosanase Termostabil Dari Isolat Bacillus licheniformis MB-2 Asal Tompaso, Manado, Sulawesi Utara. Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawijaya Suhartono

ABSTRAK

Enzim kitosanase adalah enzim yang dapat menghidrolisis kitosan menjadi oligomernya. Enzim ini dapat dihasilkan oleh bakteri, fungi, dan tanaman. Kegunaan kitosan dan turunannya dalam berbagai bidang mendorong eksplorasi enzim pendegradasi kitin dan kitosan dalam jumlah besar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produksi dan pemurnian enzim kitosanase menggunakan kromatografi filtrasi gel dari isolat Bacillus licheniformis MB-2 asal Tompaso, Manado, Sulawesi Utara serta melakukan karakterisasi beberapa sifat enzim kitosanase yang dihasilkan.

Isolat Bacillus licheniformis MB-2 diinokulasi ke dalam media thermus padat (1.0% koloidal kitosan, 0.7% K2HPO4, 0.3% KH2PO4, 0.5% MgSO4, 0.25%

ekstrak khamir, 0.25% casiton, 1.5% bacto agar, dan 0.4% gelrite) lalu diinkubasi pada 550C. Setelah 5 hari terbentuk areal bening di sekitar koloni bakteri. Selanjutnya, koloni bakteri tersebut diinokulasi ke dalam media thermus cair (0.4% koloidal kitosan, 0.7% K2HPO4, 0.3% KH2PO4, 0.5% MgSO4, 0.25%

ekstrak khamir, dan 0.25% casiton) lalu diinkubasi pada shaker waterbath suhu 550C selama 24 jam dengan kecepatan agitasi 120 rpm dan digunakan sebagai kultur starter. Enzim kitosanase diproduksi dengan memasukkan kultur starter ke dalam media thermus cair lalu diinkubasi pada shaker waterbath suhu 550C selama 7 hari dengan kecepatan agitasi 120 rpm. Pada akhir inkubasi, sel bakteri dan sisa-sisa media yang tidak larut dipisahkan dengan sentrifugasi (40C, 20 menit, 10000 rpm). Supernatan enzim bebas sel yang diperoleh kemudian diendapkan dengan ammonium sulfat 80%. Endapan protein dipisahkan dengan sentrifugasi (40C, 20 menit, 10000 rpm) lalu dilarutkan dalam 0.05 M buffer fosfat pH 6 sehingga diperoleh enzim kasar (crude enzyme). Dialisis dilakukan terhadap crude enzyme untuk menghilangkan molekul garam. Enzim hasil dialisis kemudian di-freeze dry dan selanjutnya digunakan untuk pemurnian. Pemurnian dilakukan dengan teknik kromatografi filtrasi gel menggunakan matriks Sephadex G-100. Kolom disetimbangkan dan dielusi dengan 0.05 M buffer fosfat pH 6.

Aktivitas enzim kitosanase diuji dengan menentukan jumlah gula pereduksi (D-glukosamin) yang terbentuk karena reaksi hidrolisis substrat soluble chitosan oleh enzim kitosanase. Pengujian dilakukan dengan teknik spektrofotometri pada panjang gelombang 420 nm. Satu unit aktivitas enzim kitosanase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang memproduksi 1 µmol gula pereduksi (glukosamin) per menit pada kondisi tertentu.

Crude enzyme memiliki aktivitas sebesar 1.087 U/ml (1.433 U/mg). Berdasarkan hasil karakterisasi, crude enzyme memiliki suhu optimum pada 60-700C dengan pH optimum 6-7. Buffer Na-fosfat dipilih sebagai buffer optimum. Hasil pemurnian enzim menggunakan kromatografi filtrasi gel menunjukkan bahwa fraksi 44 memiliki aktivitas sebesar 1.089 U/ml (136.125 U/mg) dengan tingkat kemurnian 29.99 kali. Hasil karakterisasi menunjukkan fraksi 44 memiliki suhu optimum 70-800C dan pH optimum 6-7. Konstanta laju deaktivasi (k) pada


(15)

700C adalah 0.0003/menit dan 0.0024/menit pada 900C. Waktu paruh (t1/2) pada

700C adalah 2310.5 menit dan 288.8 menit pada 900C. Energi deaktivasi (Ea) fraksi 44 adalah 25.823 kkal/gmol.0K. Pengujian pengaruh pH terhadap stabilitas enzim menunjukkan bahwa enzim murni fraksi 44 stabil pada pH 6 selama 2 jam dengan suhu inkubasi 700C (98%).

Berdasarkan hasil SDS-PAGE terhadap crude enzyme diketahui ada 5 pita protein dengan berat molekul 61.5, 48.5, 40.6, 28.5, dan 19.9 kDa. Hasil analisis terhadap enzim murni menunjukkan bahwa enzim murni fraksi 44 memiliki berat molekul sebesar 75.4 kDa.


(16)

i KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT karena atas ridho-Nya, penulisan skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul Mempelajari Pemurnian Enzim Kitosanase Termostabil Dari Isolat Bacillus licheniformis MB-2 Asal Tompaso, Manado, Sulawesi Utara disusun berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan November 2006-Juni 2007 di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PAU-IPB.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis selama melakukan tugas akhir sampai terselesaikannya skripsi ini

2. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji pada sidang sarjana penulis, mengkoreksi, dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini

3. Dr. Sukarno selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji pada sidang sarjana penulis, mengkoreksi, dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini

4. Keluarga tercinta yang telah memberikan keceriaan, dukungan, dan doa pada penulis. Specially for my mother ”thank you very much”

5. My best friend forever, Ira Susanti yang selalu memberikan dukungan dan mendengarkan setiap keluh kesah penulis

6. Evanda Puspita yang selalu ada dalam susah dan senang selama penulis melakukan penelitian

7. Kardita (Rucit, Anis, Oca, Irma, Dini, Iin, Indah, Wati, Abdy, Riska) yang memberikan dukungan kepada penulis

8. Teman-temanku (Rina, Tuti, Jengye, Andiny, Dion) atas dukungan dan keceriaan selama ini

9. Adit, Fajar, Doni, Eka, Rika, Aji atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian

10.Bu Ika, bu Eni, bu Sri, mbak Rika di Lab. MB-PAU yang telah banyak membantu dan menemani hari-hari yang manis tak terlupakan


(17)

11.Teman-teman TPG 40 atas dukungan, kenangan indah, dan keceriaan selama di ITP

12.Ikhsan Novembrianto atas segala bantuan dan dukungannya selama ini kepada penulis

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

Dian Rachmadani


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 18 Juni 1985. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh dari tahun 1991 hingga 1997 di SD Pertiwi Bogor kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bogor hingga tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis tamat dari SMU Negeri 5 Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Selama masa studi, penulis pernah menjadi asisten kimia dan biokimia pangan.


(19)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Kitin ... 3

B. Kitosan ... 3

C. Enzim Kitosanase ... 6

D. Bacillus licheniformis MB-2 ... 7

E. Pemurnian Enzim ... 8

F. Elektroforesis SDS-PAGE ... 13

III.METODOLOGI PENELITIAN ... 17

A. Bahan dan Alat ... 17

B. Metode ... 17

1. Pembuatan Tepung Kitosan ... 17

2. Pembuatan Koloidal Kitosan ... 18

3. Penyegaran Kultur ... 18

4. Pembuatan Kultur Starter ... 18

5. Produksi Enzim Kitosanase... 18

6. Dialisis ... 19

7. Freeze Dry ... 19

8. Pemurnian Enzim Kitosanase ... 20

9. Elektroforesis SDS-PAGE ... 20

10.Karakterisasi Enzim Kitosanase ... 22


(20)

iv

12.Pengukuran Konsentrasi Protein ... 24

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Produksi Enzim Kitosanase... 25

B. Presipitasi Protein... 27

C. Dialisis ... 28

D. Pemurnian Enzim Kitosanase ... 29

E. Karakterisasi Enzim Kitosanase ... 31

F. Penentuan Berat Molekul Enzim Kitosanase ... 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

A. Kesimpulan ... 40

B. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur kitin ... 3

Gambar 2. Struktur kitosan ... 4

Gambar 3. Prinsip pemisahan protein menggunakan filtrasi gel ... 13

Gambar 4. Aktivitas kitosanase MB-2 pada media thermus padat ... 26

Gambar 5. Hasil pemurnian kitosanase menggunakan filtrasi gel ... 30

Gambar 6. Pengaruh suhu terhadap aktivitas crude enzyme ... 31

Gambar 7. Pengaruh pH terhadap aktivitas crude enzyme ... 33

Gambar 8. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim murni ... 34

Gambar 9. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim murni ... 35

Gambar 10. Hubungan ln aktivitas enzim terhadap waktu pemanasan ... 36

Gambar 11. Hubungan ln k terhadap suhu pemanasan ... 37

Gambar 12. Stabilitas enzim murni terhadap panas ... 37

Gambar 13. Stabilitas enzim murni terhadap pH ... 38


(22)

vi DAFTAR TABEL

Tabel 1. Morfologi dan karakteristik biokimia B. licheniformis MB-2 ... 8

Tabel 2. Komposisi gel SDS-PAGE ... 20 Tabel 3. Pengukuran aktivitas enzim kitosanase ... 23


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pembuatan soluble chitosan ... 47

Lampiran 2. Kurva standar glukosamin ... 48 Lampiran 3. Kurva standar BSA ... 49

Lampiran 4. Kurva standar SDS-PAGE... 50 Lampiran 5. Aktivitas kitosanase pada supernatan, crude enzyme, dialisis ... 51 Lampiran 6. Konsentrasi protein pada supernatan, crude enzyme, dialisis ... 52 Lampiran 7. Aktivitas kitosanase hasil pemurnian filtrasi gel ... 53 Lampiran 8. Konsentrasi protein pada enzim hasil pemurnian ... 59 Lampiran 9. Pengaruh suhu terhadap aktivitas crude enzyme ... 61 Lampiran 10. Pengaruh pH terhadap aktivitas crude enzyme ... 62 Lampiran 11. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim murni ... 63 Lampiran 12. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim murni ... 64 Lampiran 13. Stabilitas enzim murni terhadap pemanasan 700C ... 65 Lampiran 14. Stabilitas enzim murni terhadap pemanasan 900C ... 66 Lampiran 15. Stabilitas enzim murni pada pH 6 suhu inkubasi 700C ... 67


(24)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara yang memiliki kekayaan hayati tinggi, Indonesia merupakan salah satu habitat bagi mikroorganisme termofilik penghasil enzim kitosanase. Mikroorganisme termofilik banyak ditemukan di daerah-daerah ekstrim seperti kawasan sumber air panas, daerah geothermal, dan sebagainya. Kawasan-kawasan tersebut merupakan wilayah Indonesia yang belum banyak digali potensinya.

Isolasi oleh Suhartono (2002) dilakukan dengan mengambil sampel yang berasal dari 4 lokasi yang berbeda di Sulawesi Utara terutama dalam hal keasamannya. Tompaso mewakili daerah agak asam (pH 4-7), Lahendong mewakili daerah asam (pH 1-4), Karimenga mewakili daerah netral (pH 7), dan Likupang mewakili daerah agak basa (pH 8). Bakteri termofilik berhasil dikulturkan dari sampel asal Tompaso dan Lahendong. Tompaso merupakan daerah sumber air panas, sedangkan Lahendong merupakan daerah geothermal. Di antara 484 isolat bakteri termofilik asal Tompaso, hanya 41 koloni saja (sekitar 10%) yang menunjukkan aktivitas kitinolitik. Di antara isolat bakteri kitinolitik tersebut, isolat Bacillus licheniformis MB-2 merupakan isolat dengan indeks kitinolitik yang tinggi (lebih dari 1.5), yaitu 2.25 (Welan, 2001). Isolat Bacillus licheniformis MB-2 selanjutnya digunakan untuk memproduksi enzim kitosanase ekstraseluler.

Enzim kitosanase adalah enzim yang dapat menghidrolisis kitosan, yaitu suatu polisakarida rantai lurus yang tersusun atas residu D-glukosamin berikatan β-(1,4). Reaksi ini akan menghasilkan oligomer kitosan (kitooligosakarida). Perkembangan aplikasi komersial kitosan meningkat secara cepat dalam tahun-tahun belakangan ini. Kitosan berguna sebagai

wound healing, surgical suture, contact lenses, penurun kolesterol, fiber dan penurun berat badan, preservative, kosmetik, penghilangan ion metal pada limbah cair, pemurnian air, dan sebagainya. Kitosan memiliki berat molekul yang relatif besar, yaitu 0.1-0.5 x 106 Dalton sehingga aplikasinya terbatas.


(25)

Pengembangan aplikasi oligomer kitosan pada saat ini dikarenakan sifatnya yang dapat larut dalam air dan memiliki sifat fisiologis yang lebih baik dibandingkan kitosan sehingga aplikasinya lebih luas (Goosen, 1997). Manfaat yang diperoleh dari oligomer kitosan antara lain mengikat kelebihan lemak dan menghambat penyerapan lemak, menurunkan LDL dan meningkatkan HDL, anti kanker, anti bakteri, menurunkan gula darah, mengontrol tekanan darah, mencegah konstipasi, meningkatkan penyerapan kalsium, prebiotic health food, dan sebagainya. Wahyuni (2006) melaporkan bahwa enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB-2 dapat digunakan untuk memproduksi oligomer kitosan yang memiliki aktivitas terhadap sel limfosit dan sel kanker. Aktivitas anti mikroba oligomer kitosan telah dilaporkan oleh Meidina (2005) yang dihasilkan dengan mengunakan enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB-2.

Mikroorganisme termofilik berpotensi sebagai penghasil enzim termostabil. Pada beberapa dekade, enzim termostabil telah lama diminati oleh kalangan industri. Kebutuhan akan enzim termostabil didorong karena enzim tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi antara lain reaksi akan berlangsung pada suhu tinggi sehingga mengurangi kontaminasi bakteri mesofilik dan laju reaksi lebih cepat sehingga mengurangi biaya produksi (Suhartono, 1989).

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produksi dan pemurnian enzim kitosanase menggunakan kromatografi filtrasi gel dari isolat Bacillus licheniformis MB-2 asal Tompaso, Manado, Sulawesi Utara serta melakukan beberapa karakterisasi terhadap enzim kitosanase yang dihasilkan.

C. Manfaat Penelitian

Setelah dilakukan penelitian ini diharapkan diperoleh informasi yang cukup mengenai produksi, pemurnian dengan filtrasi gel, dan karakteristik enzim kitosanase guna pemanfaatan enzim untuk memproduksi oligomer kitosan.


(26)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kitin

Kitin merupakan biopolimer rantai lurus yang disusun oleh monomer-monomer N-asetilglukosamin yang dihubungkan oleh ikatan β-(1,4). Kitin merupakan biomassa yang berlimpah di alam, yaitu nomor dua setelah selulosa. Kitin mempunyai struktur kimia yang mirip dengan selulosa, yaitu suatu polisakarida yang disusun oleh molekul-molekul gula sederhana yang identik. Struktur kitin dapat dilihat pada gambar 1. Kitin ditemukan sebagai komponen utama pada kulit kepiting; udang; atau kelompok kerang-kerangan (crustacea), serangga, dan dinding sel beberapa mikroorganisme (Goosen, 1997). Kitin paling banyak terdapat pada kulit golongan crustacea dengan kandungan kitin mencapai 40-60% (Angka dan Suhartono, 2002).

Gambar 1. Struktur kitin

Kitin tidak larut dalam air, asam anorganik encer, asam organik, dan pelarut organik. Namun, kitin dapat larut dalam N,N-dimetilasetamida yang mengandung LiCl2, asam pekat seperti H2SO4, asam fosfat, dan asam format anhidrida (Goosen, 1997). Kitin dapat dimanfaatkan sebagai anti fungi untuk melindungi tanaman dari serangan fungi dan anti bakteri terhadap beberapa patogen (Shahidi et al., 1999).

B. Kitosan

Kitosan merupakan biopolimer yang tersusun atas D-glukosamin dengan ikatan glikosidik 1→4. Struktur kitosan dapat dilihat pada gambar 2. Kitosan untuk penggunaan komersial dan penelitian diperoleh dari proses deasetilasi (penghilangan gugus –COCH3) kitin. Kitosan secara alami dapat diperoleh


(27)

dari fungi golongan Zygomycetes (Miyoshi et al., 1992). Kitin dan kitosan memiliki sifat ramah lingkungan dan tidak beracun.

Gambar 2. Struktur kitosan

Kitosan yang merupakan turunan dari kitin dapat diperoleh dari deasetilasi sempurna atau sebagian. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amin yang bermuatan positif sehingga kitosan bersifat polikationik. Biopolimer ini disusun oleh 2 jenis gula amino, yaitu glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-glukosa, 70-80%) dan N-asetilglukosamin (2-asetamino-2-deoksi-D-glukosa, 20-30%) (Goosen, 1997).

Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatis. Kedua reaksi tersebut bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil yang terdapat pada kitin. Proses deasetilasi secara kimia dilakukan dengan mengkombinasikan perlakuan panas (60-1400C) dan perendaman dalam larutan alkali (NaOH 30-50%). Perendaman dalam larutan alkali dilakukan terhadap kitin dalam bentuk tepung. Penepungan dilakukan agar proses deasetilasi dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna karena semakin luasnya permukaan yang dapat diakses oleh larutan alkali. Konsentrasi NaOH akan mempengaruhi laju deasetilasi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH, laju deasetilasi akan semakin cepat. Menurut Kolodziejska

et al. (2000), kitin yang direndam dalam NaOH 50% lalu dipanaskan pada 1050C selama 1 jam akan menghasilkan derajat deasetilasi sebesar 87%. Pada umumnya, derajat deasetilasi kitosan berkisar antara 70-90% tergantung metode yang digunakan (Goosen, 1997). Derajat deasetilasi akan meningkat dengan meningkatnya suhu atau konsentrasi NaOH. Proses deasetilasi secara kimia dalam banyak hal tidak menguntungkan karena prosesnya tidak mudah dikendalikan, tidak ramah lingkungan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat deasetilasi yang bervariasi (Chang et al., 1997).


(28)

5 Proses deasetilasi secara enzimatis dilakukan dengan menggunakan enzim kitin deasetilase (EC 3.5.1.41). Enzim kitin deasetilase diperoleh dari Mucor rouxii (Kafetzopoulos et al., 1993), Escherichia coli (Tokoyasu et al., 1999), dan Colletotrichum lindemuthianum (Tokuyasu et al., 1996). Berdasarkan hasil isolasi dan karakterisasi oleh Suhartono et al. (2002) diketahui bahwa bakteri termofilik Bacillus sp. K29-14 dari kawah Kamojang mempunyai aktivitas enzim kitin deasetilase. Dari kelompok khamir, ekstrak kasar

Saccharomyces cerevisiae diketahui mempunyai aktivitas enzim kitin deasetilase. Selain itu, enzim kitin deasetilase juga diperoleh dari kapang

Absidia coerula dan Aspergillus nidulans (Tsigos et al., 2000). Proses deasetilasi secara enzimatis yang telah dilakukan hanya memberikan derajat deasetilasi yang rendah di bawah standar yang biasa ditetapkan untuk hasil deasetilasi secara kimia. Proses deasetilasi menggunakan kombinasi perlakuan secara kimia dan enzimatis yang dilaporkan oleh Emmawati (2004) dan Rochima (2005) merupakan alternatif proses deasetilasi yang lebih baik. Proses pembuatan kitosan mempengaruhi kualitas dan sifat dari kitosan. Kualitas dan sifat dari kitosan ditentukan dari derajat deasetilasi, berat molekul, dan viskositas. Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan cara menghitung kandungan amin bebas dari kitosan. Berat molekul kitin umumnya > 106 Dalton, namun berat molekul kitosan komersial berkisar antara 0.1-1.2 x 106 Dalton. Metode viskometri merupakan metode yang sederhana dan cepat untuk menentukan berat molekul kitosan. Viskositas kitosan dalam larutan dipengaruhi oleh derajat polimer deasetilasi, berat molekul, konsentrasi, kekuatan ion, pH, dan suhu. Jika suhu meningkat, maka viskositas kitosan akan menurun. Perubahan pH pada larutan kitosan akan memberikan hasil yang berbeda tergantung dari tipe asam yang digunakan. Jika perubahan pH menggunakan asam asetat, maka viskositas kitosan akan meningkat dengan semakin turunnya pH. Kitosan tidak larut dalam air, alkali, dan pelarut organik, tetapi kitosan larut dalam asam organik ketika pH larutan di bawah 6. Asam asetat dan asam formik merupakan jenis asam yang banyak digunakan untuk melarutkan kitosan (Goosen, 1997).


(29)

Hidrolisis kitosan menjadi oligomer kitosan dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatis. Hidrolisis kitosan melalui proses kimia dilakukan dengan menggunakan larutan asam kuat. Proses ini menghasilkan banyak kerugian seperti pada prosedur kimia lainnya, yaitu sulit dikontrol, membutuhkan proses lebih lanjut, menghasilkan produk samping, dan memiliki derajat polimerisasi yang rendah. Derajat polimerisasi menunjukkan panjang rantai oligomer yang dihasilkan dari proses hidrolisis. Panjang rantai oligomer kitosan menentukan berat molekul oligomer tersebut. Oligomer dengan derajat polimerisasi tinggi (pentamer sampai heptamer) memiliki sifat fungsional yang lebih baik dibandingkan dengan oligomer dengan derajat polimerisasi rendah. Oligomer yang dihasilkan dengan hidrolisis asam adalah monomer sampai trimer dan sebagian kecil tetramer sampai heptamer (Jeon dan Kim, 2000).

Hidrolisis kitosan melalui proses enzimatis merupakan cara yang lebih baik untuk memperoleh oligomer kitosan dengan derajat polimerisasi tinggi. Hal ini dikarenakan proses enzimatis bersifat spesifik. Oligomer yang dihasilkan melalui proses enzimatis memiliki derajat polimerisasi yang tinggi dan sedikit monomer glukosamin (Jeon dan Kim, 2000). Kitosan dapat dihidrolisis oleh berbagai enzim. Enzim komersial seperti lipase, selulase, dan pektinase dapat digunakan untuk menghidrolisis kitosan (Tsai et al., 2000). Pantaleone et al. (1992) dan Brine et al. (1992) melaporkan glikanase, protease, lipase, dan tannase yang diperoleh dari bakteri, fungi, mamalia, dan tanaman dapat digunakan untuk menghidrolisis kitosan. Muzzarelli et al. (1995a, 1995b) menggunakan papain dan lipase untuk menghidrolisis kitosan. Penggunaan enzim-enzim tersebut memerlukan konsentrasi enzim yang relatif tinggi. Enzim lainnya yang dapat digunakan untuk menghidrolisis kitosan adalah enzim kitosanase. Penggunaan enzim kitosanase menunjukkan aktivitas yang cukup baik pada konsentrasi enzim yang kecil (Jeon dan Kim, 2000).

C. Enzim Kitosanase

Enzim kitosanase merupakan enzim yang dapat memotong ikatan β-(1,4) glikosidik kecuali ikatan GlcNAc-GlcNAc. Enzim kitosanase dapat


(30)

7 digolongkan menjadi 3 kelas berdasarkan spesifik pemotongannya, yaitu (1) enzim yang memotong pada ikatan GlcN-GlcN dan GlcNAc-GlcN. Contohnya pada enzim kitosanase dari Streptomyces sp. N174, (2) enzim yang memotong hanya pada ikatan GlcN-GlcN. Contohnya pada enzim kitosanase dari Bacillus sp. no. 7-M, (3) enzim yang memotong pada ikatan GlcN-GlcN dan GlcN-GlcNAc. Contohnya pada enzim kitosanase dari Bacillus circulans

MH-K1 (Saito et al., 1999; Fukamizo dan Brzezinski, 1997).

Enzim kitosanase dapat diperoleh dari bakteri, fungi, dan tanaman. Sebagian besar bakteri dan fungi menghasilkan enzim kitosanase ekstraseluler. Enzim kitosanase dari bakteri dapat diperoleh dari Burkholderia gladioli strain CHB101 (Shimosaka et al., 2000), Matsuebacter chitosanotabidus 3001 (Park et al., 1999), Myxobacter sp. AL-1 (Reyes dan Corona, 1997), Enterobacter sp. G-1 (Yamasaki et al., 1993), Bacillus sp. PI-7S (Seino et al., 1991), Streptomyces sp. N174 (Somashekar dan Joseph, 1996), Acinetobacter sp. strain CHB101 (Shimosaka et al., 1995),

Amycolatopsis sp. CsO-2 (Okajima et al., 1994), Bacillus sp. CK4 (Yoon et al., 2001), Psedomonas sp. H-14 (Yoshihara et al., 1992), Bacillus cereus S1 (Kurakake et al., 2000), dan Actynomycetes (Brzezinski et al., 1997). Enzim kitosanase dari fungi dapat diperoleh dari Fusarium solani f. sp. phaseoli

(Shimosaka et al., 1993), dan Aspergillus sp. Y2K (Cheng dan Li, 2000). Enzim kitosanase dari tanaman dapat diperoleh dari Cucumis sativus, Citrus sinensis, dan barley (Somashekar dan Joseph, 1996).

D. Bacillus licheniformis MB-2

Bacillus licheniformis MB-2 merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, bersifat motil, dan dapat tumbuh pada kondisi aerobik maupun anaerobik. Spora dari bakteri ini berbentuk oval. Bacillus licheniformis MB-2 dapat menggunakan glukosa, maltosa, mannitol, pati, dan gelatin sebagai sumber karbon. Bakteri ini memberikan hasil yang positif pada uji katalase dan oksidase, namun memberikan hasil yang negatif pada uji indol, metyl red,


(31)

Tabel 1. Morfologi dan karakteristik biokimia Bacillus licheniformis MB-2

Uji Reaksi Uji Reaksi Gram Motil Aerobik Anaerobik Glukosa (asam) Glukosa (gas) Maltosa Mannitol Pati Gelatin Katalase + + + + + - + + + + + Oksidase Indol Metyl red Voges-Preuskeur

H2S Urease 7% NaCl Nutrient Agar 370C

pH 5.7 + - - - - - + + + + (Chasanah, 2004)

E. Pemurnian Enzim 1. Presipitasi Protein

Penambahan senyawa yang hanya menggumpalkan protein dan tidak menggumpalkan bahan lain akan memisahkan dan lebih memurnikan protein yang dihasilkan. Tahap ini diistilahkan dengan presipitasi (Suhartono et al., 1992). Menurut Chaplin dan Bucke (1990), presipitasi protein merupakan metode yang berguna untuk pemekatan protein dan sering dilakukan pada tahap awal dari pemurnian enzim.

Presipitasi protein dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain perubahan pH, penambahan garam, dan penambahan pelarut organik. Protein akan mengendap jika pH larutan berada pada pH isoelektrik protein. Garam yang digunakan dalam presipitasi protein dapat berupa ammonium sulfat, sodium sulfat, dan sebagainya tergantung kepada jenis protein. Konsentrasi garam yang ditambahkan adalah konsentrasi jenuhnya (Suhartono et al., 1992). Pemekatan protein dengan menambahkan ammonium sulfat ke dalam larutan enzim merupakan cara yang banyak dilakukan.


(32)

9 Pemekatan protein dengan penambahan ammonium sulfat ke dalam larutan enzim kitosanase dilakukan pada kejenuhan 30-90%. Hasil yang diperoleh adalah tingkat kejenuhan 80% merupakan konsentrasi yang optimum untuk pemekatan protein Bacillus coagulans LH 28.38 (Haliza, 2003). Pemekatan protein Matsuebacter chitosanotabidus 3001 (Park et al., 1999) dan Enterobacter sp. G-1 (Yamasaki et al., 1993) menggunakan ammonium sulfat pada tingkat kejenuhan 70%. Pemekatan protein

Acinetobacter sp. strain CHB101 (Shimosaka et al., 1995), Burkholderia gladioli strain CHB101 (Shimosaka et al., 2000), dan Fusarium solani f. sp. phaseoli (Shimosaka et al., 1993) menggunakan ammonium sulfat pada tingkat kejenuhan 80%. Pemekatan protein Bacillus cereus S1 (Kurakake et al., 2000) dan Psedomonas sp. H-14 (Yoshihara et al., 1992) menggunakan ammonium sulfat pada tingkat kejenuhan 90%. Pemekatan protein Amycolatopsis sp. CsO-2 (Okajima et al., 1994) dan Bacillus sp. strain CK4 (Yoon et al., 2001) menggunakan ammonium sulfat bertingkat dari 30-80%. Menurut Chaplin dan Bucke (1990), beberapa enzim tidak dapat tahan dalam presipitasi dengan ammonium sulfat. Pemekatan protein

Myxobacter sp. AL-1 menggunakan ZnCl2 (Reyes dan Corona, 1997). Pemekatan protein Aspergillus sp. Y2K menggunakan evaporator vakum pada 400C (Cheng dan Li, 2000).

Beberapa keuntungan menggunakan ammonium sulfat antara lain mudah larut, tidak toksik, murah, dan stabilitasnya terhadap enzim karena tidak mempengaruhi struktur protein (Webb dan Dixon, 1979). Selain keuntungan yang diperoleh, penggunaan ammonium sulfat juga menimbulkan kerugian antara lain konsentrasi garam yang tertinggal dalam produk tinggi, kurang efisien dalam menghilangkan impuritis, dan ammonium sulfat tidak bersifat buffer sehingga dapat membebaskan ammonia yang mengakibatkan kemungkinan penambahan nilai pH (Suhartono et al., 1992).

Ion garam yang ditambahkan akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada konsentrasi rendah, ion-ion ini akan melingkungi molekul-molekul protein dan mencegah bersatunya molekul-molekul ini sehingga protein


(33)

melarut. Peristiwa ini disebut salting in. Pada konsentrasi tinggi, terjadi peningkatan muatan listrik di sekitar protein yang akan menarik mantel air dari koloid protein. Interaksi hidrofobik di antara sesama molekul protein pada suasana ionik tinggi akan menurunkan kelarutan protein. Peristiwa ini disebut salting out (Suhartono et al., 1992).

Penambahan pelarut organik akan menurunkan konstanta dielektrik dari medium dan akibatnya akan menurunkan kelarutan protein. Beberapa presipitan yang umum digunakan adalah metanol, etanol, isopropanol, dan aseton. Penambahan pelarut organik dapat memperbesar kemungkinan terjadinya denaturasi protein terutama pada suhu yang tinggi. Oleh karena itu, presipitasi protein menggunakan pelarut organik dilakukan pada suhu yang rendah (di bawah 00C). Kerugian lain dalam penggunaan pelarut organik adalah sifatnya yang mudah terbakar dan harganya mahal (Suhartono et al., 1992).

Etanol merupakan pelarut yang ideal karena adanya keseimbangan antara efek melarutkan dan sifat hidrofilik yang cukup untuk mengurangi denaturasi protein. Isopropanol telah digunakan untuk presipitasi berbagai protein ekstraseluler. Isopropanol memiliki sifat mudah terbakar yang lebih rendah, tetapi cenderung bersifat hidrofobik. Penggunaan aseton telah terbukti dapat mempertahankan stabilitas beberapa protein. Penambahan aseton harus dilakukan secara perlahan-lahan biasanya melalui sisi samping wadah (Suhartono et al., 1992).

Beberapa protein diendapkan dengan menggunakan suatu polimer seperti polietilen glikol (PEG). Polimer ini seperti penambahan garam dan pelarut organik akan menarik molekul air sehingga protein tereksklusi dan bersatu membentuk gumpalan endapan. Keuntungan penggunaan PEG antara lain tidak toksik, tidak mudah terbakar, tidak membutuhkan suhu yang rendah karena polimer ini memberikan efek stabilisasi terhadap protein, dan mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah. Polimer ini dapat ditambahkan sampai konsentrasi 50% (b/v) dan presipitasi protein mulai terjadi pada kisaran 6-12% (b/v) (Suhartono et al., 1992).


(34)

11

2. Kromatografi

Kromatografi menunjukkan proses pemisahan berdasarkan distribusi diferensial dari komponen sampel di antara 2 fase, yaitu fase stasioner dan fase bergerak. Komponen yang memiliki interaksi yang kuat dengan fase stasioner akan bergerak lebih lambat dibandingkan komponen yang memiliki interaksi yang kuat dengan fase bergerak sehingga terjadi resolusi (Harris dan Angal, 1989).

Kromatografi kolom merupakan sistem pengaliran suatu fluida melalui kolom yang mengandung matriks bahan pengisi dan substanta yang ingin dipisahkan menjadi beberapa komponen dengan adanya perbedaan daya ikat terhadap bahan pengisi. Pemurnian enzim dengan kromatografi kolom merupakan cara yang paling efektif dibandingkan cara pemisahan yang lain (Suhartono et al., 1992).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, kromatografi kolom dapat dikelompokkan menjadi 4 metode, yaitu kromatografi pertukaran ion, kromatografi affinitas, kromatografi filtrasi gel, dan kromatografi interaksi hidrofobik (Walsh, 2002). Kromatografi pertukaran ion merupakan metode pemisahan protein di mana pemisahan terjadi secara selektif berdasarkan perbedaan muatan dengan ion yang terikat pada matriks. Pada kromatografi pertukaran ion, larutan enzim diberi muatan tergantung pada pH, struktur, dan titik isoelektrik enzim. Jika pH larutan enzim di bawah titik isoelektrik, maka enzim akan bermuatan positif dan kromatografi yang akan dilakukan adalah kromatografi pertukaran kation. Jika pH larutan enzim di atas titik isoelektrik, maka enzim akan bermuatan negatif dan kromatografi yang akan dilakukan adalah kromatografi pertukaran anion. Contoh bahan pertukaran kation adalah CM selulosa, SE selulosa, FE selulosa, Dowex 50, dan Aberlite IRC 50. Contoh bahan pertukaran anion adalah DEAE selulosa, DEAE sephadex, dan TEAE selulosa (Harris dan Angal, 1989). Kromatografi pertukaran ion paling baik dipergunakan pada tahap awal pemurnian. Kromatografi ini dapat menampung volume yang besar karena kapasitas tinggi. Kecepatan dan pemisahannya pun tinggi apabila digunakan jenis matriks yang tepat (Suhartono et al., 1992).


(35)

Kromatografi affinitas merupakan metode pemisahan protein karena adanya interaksi spesifik antara komponen sampel dengan ligan yang terikat pada matriks. Pada prinsipnya, suatu ligan yang terikat kovalen pada matriks yang tidak larut air akan menyerap salah satu atau beberapa komponen dari campuran. Komponen yang diserap harus memiliki affinitas yang spesifik terhadap ligan tersebut. Komponen yang tidak memiliki affinitas akan melaju terus. Beberapa bahan baik organik maupun anorganik dapat digunakan sebagai matriks. Bahan organik yang sering dipakai antara lain karbohidrat (selulosa, agarose, pati) dan poliakrilamida. Bahan anorganik yang dapat dipakai antara lain gelas (poros dan solid) dan koloid silika. Kromatografi affinitas biasanya dipergunakan pada tahap menjelang akhir pemurnian (Suhartono et al., 1992).

Kromatografi filtrasi gel merupakan metode pemisahan protein berdasarkan perbedaan ukuran molekul. Proses pemisahan menggunakan matriks gel berpori yang dipak di dalam kolom dan dikelilingi oleh solven. Sampel yang mengandung campuran molekul besar dan kecil dilewatkan ke dalam kolom. Molekul protein yang lebih kecil dapat menembus ke dalam pori-pori butiran dan karenanya tertahan selama aliran ke bawah kolom. Molekul protein yang besar tidak dapat menembus ke dalam pori-pori butiran dan melewati kolom lebih cepat. Molekul protein yang berukuran menengah akan mengalir ke bawah pada kecepatan antara tergantung pada tingkat kemampuan menembus butiran. Pemisahan protein menggunakan kromatografi filtrasi gel dapat dilihat pada gambar 3. Kromatografi filtrasi gel disebut juga dengan saringan molekul (Lehninger, 1982).

Salah satu bahan yang penting sebagai gel adalah dekstran (polimer gula yang biasanya larut dalam air) yang telah mengalami reaksi cross linkage dengan bantuan epiklorohidrin. Hasil yang didapat adalah dekstran yang menjadi tidak larut dalam air, tetapi masih dapat menyerap molekul-molekul di dalam molekul-molekulnya sendiri. Gel dekstran disebut juga dengan Sephadex. Sephadex stabil dalam air, garam, pelarut organik, alkali, dan


(36)

13 asam lemah. Selain itu, Sephadex juga stabil pada kisaran pH 1-10 sehingga hal yang paling utama dalam memilih buffer adalah kestabilan molekul yang dikehendaki dalam buffer yang dipilih. Kromatografi filtrasi gel baik dipergunakan pada tahap akhir pemurnian. Kromatografi ini memiliki kapasitas terbatas dan kecepatan fraksinasi rendah (Suhartono et al., 1992). Sebagian besar pemurnian enzim kitosanase menggunakan kromatografi filtrasi gel dan kromatografi pertukaran ion (Haliza, 2003).

Gambar 3. Prinsip pemisahan protein menggunakan filtrasi gel

Kromatografi interaksi hidrofobik merupakan metode pemisahan protein karena perbedaan polaritas antar molekul protein pada kekuatan ion tertentu. Peningkatan kekuatan ionik larutan karena penambahan garam netral seperti ammonium sulfat atau sodium klorida akan meningkatkan interaksi hidrofobik protein. Protein diikat oleh matriks yang bersifat non polar. Protein dibebaskan dari ikatan ini dengan menggunakan eluen yang polaritasnya diturunkan (Walsh, 2002).

F. Elektroforesis SDS-PAGE

Elektroforesis adalah teknik pemisahan fraksi-fraksi zat berdasarkan migrasi partikel bermuatan di bawah pengaruh medan listrik karena adanya


(37)

perbedaan ukuran, bentuk, muatan, atau sifat kimia molekul. Elektroforesis dapat digunakan untuk menentukan berat molekul protein, mendeteksi kemurnian dan kerusakan protein, menetapkan titik isoelektrik protein, dan memisahkan spesies-spesies molekuler yang berbeda secara kuantitatif dan kualitatif (Boyer, 1986).

Protein memiliki gugus-gugus yang dapat terionisasi sehingga membentuk gugus bermuatan pada pH tertentu baik sebagai anion maupun kation sehingga dapat dipisahkan dengan teknik elektoforesis. Protein akan bermuatan tergantung pada pH larutan dan titik isoelektrik. Pada titik isoelektrik, protein tidak akan bergerak di bawah pengaruh medan listrik. Jika pH larutan di bawah pI, protein bergerak sebagai kation dan kecepatannya naik dengan turunnya pH lalu kation ini akan bergerak ke elektroda negatif. Jika pH larutan di atas pI, protein bergerak sebagai anion dan kecepatannya naik dengan meningkatnya pH lalu anion ini akan bergerak ke elektroda positif (Edelstein dan Bollag, 1991).

Media yang digunakan untuk elektroforesis harus dapat mengurangi atau mencegah terjadinya konveksi dan tidak bereaksi dengan sampel atau menghambat pergerakan partikel sebagai akibat adanya ikatan antara sampel dengan matriks. Keberhasilan pemisahan protein dengan elektroforesis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain buffer, suhu, waktu, dan arus listrik yang digunakan. Buffer berfungsi untuk mempertahankan pH baik dalam chamber maupun gel serta pembawa muatan listrik (Nur dan Adijuwana, 1988). Pada umumnya, buffer yang digunakan bersifat sedikit alkalis dengan pH sekitar 8-9. Pada pH tersebut, sebagian besar protein bermuatan negatif dan bergerak ke kutub anoda yang biasanya terletak pada bagian dasar gel. Hal ini mencegah kemungkinan protein untuk bergerak ke atas dari sistem elektroforesis (Scopes, 1987). Elektroforesis dilakukan pada suhu dingin (0-40C) untuk mengurangi kehilangan aktivitas protein akibat denaturasi dan kerusakan akibat proteolisis (Edelstein dan Bollag, 1991). Selain itu, kenaikan suhu yang tinggi selama elektroforesis dapat menyebabkan pemisahan yang kurang baik. Waktu yang diperlukan untuk elektroforesis berkaitan erat dengan arus listrik yang digunakan. Semakin


(38)

15 tinggi arus listrik yang digunakan, maka semakin pendek waktu yang dibutuhkan, tetapi suhu akan meningkat (Nur dan Adijuwana, 1988).

Menurut Harris dan Angal (1989), elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) adalah metode yang paling banyak digunakan karena memiliki kapasitas pemisahan yang tinggi. Salah satu metode PAGE yang umumnya digunakan adalah SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis).

Menurut Nur dan Adijuwana (1988), radikal-radikal bebas yang terbentuk dari ammonium persulfat (APS) akan bereaksi dengan akrilamida di mana terjadi penyimpanan radikal bebas di dalam molekul akrilamida sehingga terbentuk akrilamida aktif. Akrilamida aktif ini akan bereaksi dengan cara yang sama dengan akrilamida yang lain sehingga dihasilkan suatu rantai polimer yang panjang. Gel poliakrilamida terbentuk oleh adanya polimerisasi dari monomer akrilamida dan pembentukan ikatan silang kovalen antar rantai panjang akrilamida. Cross linking agent yang digunakan adalah N,N’-metilen-bis-akrilamida. Kompleks APS-TEMED mengkatalisa pembentukan radikal bebas dari persulfat yang selanjutnya berfungsi sebagai inisiator polimerisasi.

Lembaran elektroforesis gel poliakrilamida terdiri atas 2 bagian, yaitu gel penahan (stacking gel) dan gel pemisah (separating gel). Stacking gel terletak pada bagian atas dari separating gel. Stacking gel berfungsi sebagai tempat dicetaknya sumur untuk memasukkan sampel. Selain itu, stacking gel

berfungsi untuk mengkonsentrasikan sampel membentuk pita yang tajam sebelum memasuki separating gel. Separating gel berfungsi sebagai tempat terjadinya pemisahan protein (Nur dan Adijuwana, 1988).

Penambahan SDS pada gel poliakrilamida menghasilkan SDS-PAGE yang digunakan untuk sampel yang terdenaturasi. SDS adalah detergen anionik yang bersama dengan β-merkaptoetanol dan pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein dengan cara memecah ikatan disulfida yang selanjutnya tereduksi menjadi gugus sulfidril. Protein yang terdenaturasi sempurna akan mengikat SDS dalam jumlah yang setara dengan berat molekul protein tersebut. Setiap 1.4 gram SDS dapat mengikat 1 gram protein (Harris dan Angal, 1989). Pergerakan kompleks SDS-protein yang berukuran besar akan


(39)

mempunyai mobilitas yang lebih kecil. Adanya gliserol dalam buffer sampel berfungsi untuk meningkatkan berat jenis larutan sampel sehingga dapat masuk dengan mudah ketika diinjeksi ke dalam sumur gel. Buffer sampel juga mengandung pewarna bromphenol blue yang berfungsi untuk membantu memonitor jalannya elektroforesis. Jika pewarna telah mencapai bagian bawah gel, maka elektroforesis dihentikan (Wilson dan Walker, 2000).

Sebelum dilakukan prosedur pewarnaan, terlebih dahulu dilakukan proses fiksasi terhadap gel hasil elektroforesis. Proses fiksasi bertujuan untuk mengendapkan dan mengimobilisasi pita-pita protein pada gel dan menghilangkan komponen-komponen non protein yang dapat mengganggu pewarnaan seperti SDS. Proses fiksasi dilakukan dengan menggunakan campuran metanol-asam asetat-air, formaldehid, TCA, atau asam perklorat 5-10% (Scopes, 1987).

Pita-pita protein hasil pemisahan dengan elektoforesis diperjelas dengan teknik pewarnaan. Syarat dari pewarna yang digunakan untuk staining adalah dapat berikatan kuat dengan protein, tetapi tidak bereaksi dengan gel. Ikatan antara pewarna dan gel adalah ikatan non kovalen sehingga mudah dilepaskan dengan pencucian secara intensif (Scopes, 1987). Proses penghilangan warna (destaining) dilakukan dengan merendam gel dalam larutan peluntur sampai diperoleh latar belakang yag relatif jernih sehingga pita-pita protein yang dihasilkan dapat diamati dengan jelas (Nur dan Adijuwana, 1988).

Berat molekul protein dapat diketahui dengan membandingkan mobilitas relatif (Rf) protein dengan protein standar yang berat molekulnya sudah diketahui. Rf protein merupakan perbandingan jarak antara titik awal ke pita protein dengan titik awal ke titik akhir elektroforesis (Wilson dan Walker, 2000).


(40)

17

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Bacillus licheniformis MB-2 yang merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PAU-IPB. Bahan-bahan yang digunakan antara lain tepung kitin rajungan Cirebon, NaOH, HCl pekat, glass wool, akuades, koloidal kitosan, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4, ekstrak khamir, casiton, bacto agar, gelrite, ammonium sulfat teknis, 0.05 M buffer fosfat pH 6, soluble chitosan, glukosamin, pereaksi Schales, air bebas ion, BSA, Bradford reagent, kantung dialisis, EDTA, NaHCO3, Sephadex G-100, buffer elektroforesis, buffer sampel, larutan fiksasi, etanol, larutan enhancer, akuabides, larutan silver

nitrat, larutan destaining, Marker LMW, buffer sitrat, buffer asetat, buffer fosfat-sitrat, buffer Na-fosfat, buffer tris-Cl, dan buffer universal.

Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang terdapat pada Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PAU-IPB antara lain neraca analitik, sudip, penangas air, oven, corong gelas, bunsen, laminar flow, jarum ose, kapas, cawan petri, inkubator suhu 550C, pH meter, pH indikator,

autoclave, shaker waterbath suhu 550C, alat sentrifugasi dingin, magnetic stirrer, eppendorf, tips, pipet mikro, alat vorteks, tabung reaksi, spektrofotometer visible, freeze dryer, kolom kromatografi, alat vakum (Millipore), alat pemampung fraksi (fraction collector), peralatan elektoforesis, dan peralatan gelas lainnya.

B. Metode

1. Pembuatan Tepung Kitosan (Kolodziejska et al., 2000)

Tepung kitin rajungan Cirebon dicampurkan dengan larutan NaOH 50% dengan perbandingan 1:20 lalu dipanaskan pada 1000C selama 1 jam. Setelah itu, dilakukan pencucian dengan air sampai mencapai pH netral. Tepung tersebut kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven suhu 600C selama 2 hari sehingga diperoleh tepung kitosan.


(41)

2. Pembuatan Koloidal Kitosan (Arnold dan Solomon, 1986)

Tepung kitosan dicampurkan dengan HCl pekat dengan perbandingan 1:20 lalu didiamkan selama semalam di cool room. Larutan tersebut difiltrasi dengan glass wool lalu ditambahkan air dingin sebanyak 10 kali berat tepung kitosan. Filtrat yang diperoleh kemudian dinetralkan pH-nya dengan larutan NaOH 12 N. Larutan tersebut disaring di cool room lalu dibilas dengan 50 ml air dingin. Koloidal kitosan yang diperoleh disimpan pada suhu dingin.

3. Penyegaran Kultur

Penyegaran kultur dilakukan dengan mengambil 1-2 ose isolat

Bacillus licheniformis MB-2 dari kultur persediaan gliserol lalu digoreskan pada media thermus padat dan diinkubasi pada inkubator suhu 550C selama 5 hari. Aktivitas enzim kitosanase ditandai dengan adanya areal bening di sekitar koloni bakteri. Media thermus padat yang digunakan adalah 1.0% koloidal kitosan, 0.7% K2HPO4, 0.3% KH2PO4, 0.5% MgSO4, 0.25% ekstrak khamir, 0.25% casiton, 1.5% bacto agar, dan 0.4% gelrite (pH 6) (Chasanah, 2004).

4. Pembuatan Kultur Starter

Pembuatan kultur starter dilakukan dengan menginokulasikan 1-2 ose koloni bakteri yang menunjukkan aktivitas enzim kitosanase ke dalam 150 ml media thermus cair lalu diinkubasi pada shaker waterbath suhu 550C selama 24 jam dengan kecepatan agitasi 120 rpm. Media thermus

cair yang digunakan berdasarkan pada Park et al. (1999), yaitu 0.4% koloidal kitosan, 0.7% K2HPO4, 0.3% KH2PO4, 0.5% MgSO4, 0.25% ekstrak khamir, dan 0.25% casiton (pH 7).

5. Produksi Enzim Kitosanase (Chasanah, 2004)

Kultur starter sebanyak 15 ml dimasukkan ke dalam 85 media

thermus cair lalu diinkubasi pada shaker waterbath suhu 550C selama 7 hari dengan kecepatan 120 rpm. Media yang digunakan untuk produksi


(42)

19 enzim kitosanase sama dengan media yang digunakan untuk pembuatan kultur starter.

Setelah ditumbuhkan dalam media thermus cair selama 7 hari, sel bakteri dan sisa-sisa media yang tidak larut dipisahkan dengan cara sentifugasi pada 40C selama 20 menit dengan kecepatan 10000 rpm. Supernatan bebas sel yang diperoleh kemudian ditambah ammonium sulfat pada tingkat kejenuhan 80%. Penambahan ammonium sulfat dilakukan secara perlahan-lahan pada suhu dingin sambil di-stirrer. Setelah itu, supernatan disimpan selama semalam di cool room. Endapan yang berisi enzim dan beberapa jenis protein lainnya dipisahkan dengan cara sentrifugasi pada 40C selama 20 menit dengan kecepatan 10000 rpm. Endapan tersebut kemudian dilarutkan dalam 0.05 M buffer fosfat pH 6 untuk menjadikan volume larutan sebanyak 8 ml. Larutan enzim yang diperoleh disebut enzim kasar (crude enzyme).

6. Dialisis

Dialisis dilakukan dengan menggunakan kantung selofan yang

merupakan turunan membran selulosa dengan cutoff 12000 Dalton. Kantung dialisis dipotong sesuai kebutuhan kemudian direbus dalam

larutan EDTA dan NaHCO3 selama 10 menit. Setelah dididihkan selama 10 menit, larutan tersebut dibuang dan kantung dialisis direbus kembali dengan air bebas ion selama 10 menit sebanyak 2 kali. Proses dialisis dilakukan dengan memasukkan crude enzyme sebanyak 4 ml terhadap kantung tersebut. Setelah itu, kedua ujung kantung diikat dengan benang kasur. Dengan posisi menggantung, kantung tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berisi 0.025 M buffer fosfat pH 6. Selanjutnya, kantung dialisis di-stirrer selama semalam di cool room.

7. Freeze Dry

Freeze dry bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi protein dan aktivitas enzim. Sebelum freeze dry dilakukan, enzim hasil dialisis sebanyak 3 ml dibekukan terlebih dahulu dalam freezer selama semalam.


(43)

Enzim yang telah beku kemudian dimasukkan ke dalam tabung dan siap untuk di-freeze dry. Freeze dry dilakukan sampai volume larutan enzim yang tersisa ± 2/3 dari volume larutan enzim mula-mula (± 2 ml).

8. Pemurnian Enzim Kitosanase (Haliza, 2003)

Pemurnian enzim kitosanase dilakukan pada suhu dingin. Enzim hasil freeze dry digunakan untuk pemurnian. Enzim ini dimurnikan dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel. Matriks yang digunakan untuk kromatografi filtrasi gel adalah Sephadex G-100. Matriks ini terlebih dahulu harus dikembangkan (swelling) sebelum digunakan. Swelling

dilakukan dengan merendam Sephadex G-100 dalam akuades pada suhu dingin selama 3 hari. Setelah itu, gel tersebut divakum dengan menggunakan Millipore untuk menghilangkan gelembung-gelembung udara yang dapat mengganggu pemurnian. Kolom yang akan digunakan untuk pemurnian harus dibilas terlebih dahulu menggunakan akuades dan air bebas ion. Matriks dimasukkan secara perlahan ke dalam kolom sambil disetimbangkan dengan 0.05 M buffer fosfat pH 6. Matriks tersebut dibiarkan memadat selama semalam. Enzim hasil freeze dry sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam kolom. Elusi dilakukan dengan buffer yang sama. Fraksi dikumpulkan dengan menggunakan fraction collector setiap 100

drop. Setiap fraksi yang ditampung diukur aktivitas enzim kitosanase dan konsentrasi protein.

9. Elektroforesis SDS-PAGE (Edelstein dan Bollag, 1991)

Persiapan awal yang perlu dilakukan dalam elektroforesis adalah pembuatan gel. Metode yang digunakan dalam pembuatan gel adalah metode Edelstein dan Bollag (1991). Komposisi gel SDS-PAGE dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Komposisi gel SDS-PAGE

Bahan Separating gel (8%) Stacking gel (4%) Larutan A

Larutan B

2.7 ml 2.5 ml

0.67 ml -


(44)

21 Larutan C

Akuabides APS 10% TEMED

- 4.8 ml

50 µl 5.0 µl

1.25 ml 3.0 ml

50 µl 5.0 µl

Bahan untuk separating gel dicampur satu persatu dengan memasukkan TEMED pada akhir campuran. Larutan tersebut diaduk dan dipipet perlahan ke dalam plate kaca sampai 1.5 cm dari permukaan kaca lalu didiamkan sekitar 15-20 menit. Dalam proses ini diusahakan agar tidak terbentuk gelembung udara. Setelah gel memadat, campuran stacking gel dipipet perlahan ke dalam plate kaca lalu dengan segera dimasukkan sisir (10 sumur) sebagai tempat memasukkan sampel.

Sampel yang telah dipanaskan pada 1000C selama 3 menit dicampurkan dengan buffer sampel lalu dilakukan loading sampel ke dalam sumur sebanyak 12 µl. Berbeda halnya dengan sampel, Marker

yang di-loading ke dalam sumur sebanyak 10 µl. Sebelum running

dilakukan, buffer elektroforesis dimasukkan ke dalam chamber. Running

elektroforesis dilakukan pada 100 Volt, 50 mA dalam kondisi dingin. Waktu yang diperlukan untuk running elektroforesis sekitar 1.5 jam.

Setelah pemisahan, gel dilepas dari plate kaca lalu direndam dalam larutan fiksasi (25% metanol + 12% asam asetat) selama 1 jam. Selanjutnya, gel tersebut direndam dalam larutan etanol 50% selama 20 menit dan larutan etanol 30% selama 2 x 20 menit. Setelah itu, gel tersebut direndam dalam larutan enhancer (larutan Na2S2O3.5H2O) selama 1 menit. Gel kemudian dicuci dengan akuabides selama 3 x 20 menit. Setelah dicuci dengan akuabides, gel direndam dalam larutan stainingsilver nitrat (larutan AgNO3 + formaldehida 37%) selama 30 menit lalu dibilas cepat dengan akuabides selama 2 x 20 detik. Kelebihan warna dihilangkan dengan larutan destaining (larutan Na2CO3 + formaldehida 37%) sampai diperoleh pita-pita protein yang jelas teramati dengan latar belakang relatif jernih. Reaksi dihentikan dengan menggunakan larutan fiksasi.


(45)

10.Karakterisasi Enzim Kitosanase (Chasanah, 2004) a. Suhu Optimum

Aktivitas enzim dianalisis pada suhu inkubasi 37, 50, 60, 70, 80, dan 900C untuk crude enzyme dan enzim murni.

b. pH Optimum

Aktivitas crude enzyme dianalisis pada 0.05 M buffer sitrat pH 3, 0.05 M buffer asetat pH 4-6, 0.05 M buffer fosfat-sitrat pH 5, 0.05 M buffer Na-fosfat pH 6-8, dan 0.05 M buffer tris-Cl pH 8 pada suhu optimum crude enzyme. Sedangkan, aktivitas enzim murni dianalisis pada buffer universal pH 4-12 pada suhu optimum enzim murni.

c. Pengaruh Panas Terhadap Stabilitas Enzim

Pengujian pengaruh panas terhadap stabilitas enzim murni dilakukan dengan cara memanaskan enzim (tanpa substrat dan buffer enzim) pada 700C selama 0, 0.5, 1, 1.5, dan 2 jam serta pada 900C selama 0, 1, dan 2 jam. Pengukuran pengaruh panas terhadap stabilitas enzim dinyatakan dalam nilai k, t1/2, Ea (Toledo, 1991). Nilai k suatu enzim adalah konstanta laju deaktivasi enzim.

ln C = -k (t) + ln C0 ... (1) C0 = aktivitas enzim pada awal inkubasi (U/L) t = waktu inkubasi (menit)

Nilai t1/2 suatu enzim adalah waktu inkubasi pada suhu tertentu yang menyebabkan aktivitas enzim tinggal 50% dari aktivitas enzim semula. t1/2 = -ln (0.5) ...(2)

k

Energi aktivasi (Ea) dapat ditetapkan secara grafik berdasarkan persamaan Arrhenius. Persamaan ini merupakan hubungan konstanta laju deaktivasi terhadap suhu absolut. Ea merupakan slope dari ln k terhadap 1/T.

k = A0 (e) –Ea/RT (persamaan Arrhenius) ln k = -Ea . 1 + ln A0 ...(3) R T

k = konstanta laju deaktivasi T = suhu absolut (0K)


(46)

23 Ea = energi aktivasi (kkal/gmol.0K)

R = tetapan gas (1.987 kal/gmol.0K) A0 = faktor frekuensi

d. Pengaruh pH Terhadap Stabilitas Enzim

Pengujian pengaruh pH terhadap stabilitas enzim murni dilakukan dengan cara memanaskan enzim dalam buffer universal pH 6 tanpa substrat pada 700C selama 0, 0.5, 1, 1.5, dan 2 jam.

11.Pengukuran Aktivitas Enzim Kitosanase (Yoon et al., 2000)

Prinsip pengukuran aktivitas enzim kitosanase didasarkan pada perhitungan gula pereduksi yang diproduksi dalam hidrolisis soluble chitosan dengan metode Schales modifikasi dan glukosamin digunakan sebagai standar (Imoto dan Yagashita, 1971).

Tabel 3. Pengukuran aktivitas enzim kitosanase Bahan Sampel

(µl)

Kontrol (µl)

Blanko (µl)

0.05 M buffer fosfat pH 6 100 100 -

Soluble chitosan 100 100 -

Enzim kitosanase 100 - -

Inkubasi pada 700C selama 30 menit

Freeze selama 15 menit

Campuran 200 133 -

Enzim kitosanase - 67 -

Air bebas ion 800 800 1000

Pereaksi Schales 1000 1000 1000

Didihkan selama 15 menit

Sentrifugasi pada 40C selama 10 menit dengan kecepatan 8000 rpm Ukur absorbansi pada panjang gelombang 420 nm

Nilai absorbansi dari sampel, kontrol, dan blanko dimasukkan ke dalam kurva standar glukosamin sehingga dapat ditentukan jumlah glukosamin yang terkandung di dalam sampel. Selanjutnya, jumlah glukosamin tersebut dimasukkan ke dalam rumus untuk menentukan unit


(47)

aktivitas enzim. Satu unit aktivitas enzim kitosanase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang memproduksi 1 µmol gula pereduksi (glukosamin) per menit pada kondisi tertentu. Aktivitas spesifik enzim ditentukan dengan cara membagi unit aktivitas enzim dengan konsentrasi protein. Tingkat kemurnian diperoleh dengan membagi aktivitas spesifik enzim pada satu tahap dengan aktivitas spesifik enzim pada tahap sebelumnya.

Unit aktivitas enzim = 300 x Glc x 1 x 1000 x 1 ...(4) (U/ml) 200 BM 100 30

Keterangan :

300 = volume sampel hasil reaksi enzimatis (µl) 200 = volume sampel untuk reaksi Schales (µl) Glc = jumlah glukosamin sampel (µg/ml)

BM = berat molekul glukosamin, yaitu 215.6 (gram/mol) 1000= faktor konversi dari µl ke ml

100 = volume larutan enzim atau larutan soluble chitosan (µl) 30 = waktu inkubasi (menit)

12.Pengukuran Konsentrasi Protein (Bradford, 1976)

Sampel protein sebanyak 100 µl ditambah dengan 2 ml Bradford reagent. Campuran tersebut divorteks dan didiamkan pada suhu ruang selama 5 menit. Protein akan diikat oleh Coomassie Briliant Blue G-250 yang terdapat pada Bradford reagent membentuk kompleks berwarna biru. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 595 nm. Konsentrasi protein sampel dihitung berdasarkan kurva standar BSA.


(48)

25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Produksi Enzim Kitosanase

Semua mikroorganisme memerlukan nutrien dasar sebagai sumber karbon, nitrogen, dan faktor esensial pertumbuhan (mineral dan vitamin) untuk menopang pertumbuhannya. Nutrien dasar tersebut di samping menyediakan energi juga digunakan untuk pembentukan konstituen seluler. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang maksimum, media pertumbuhan yang digunakan harus mengandung nutrien dasar tersebut (Wang et al., 1979).

Isolat Bacillus licheniformis MB-2 disegarkan terlebih dahulu agar mencapai kondisi optimalnya. Isolat tersebut ditumbuhkan pada media

thermus padat dan diinkubasi pada inkubator suhu 550C. Inkubasi dalam suhu ruang dilakukan selama ± 30 menit sebelum dimasukkan ke dalam inkubator suhu 550C agar isolat tidak mengalami thermal shock akibat perubahan suhu drastis. Media thermus padat yang digunakan terdiri atas 1.0% koloidal kitosan, 0.7% K2HPO4, 0.3% KH2PO4, 0.5% MgSO4, 0.25% ekstrak khamir, 0.25% casiton, 1.5% bacto agar, dan 0.4% gelrite (Chasanah, 2004). Koloidal kitosan digunakan sebagai substrat induser untuk memproduksi enzim kitosanase. Hal ini karena sebagian besar mikroorganisme memproduksi enzim tersebut secara induktif. K2HPO4 dan KH2PO4 digunakan sebagai sumber fosfor yang diperlukan dalam sintesis asam nukleat, fosfolipid, dan ATP. MgSO4 digunakan sebagai kofaktor enzim dan pertumbuhan. Ekstrak khamir dan casiton digunakan sebagai sumber nitrogen untuk produksi enzim kitosanase (Stanbury dan Whitaker, 1984).

Isolat Bacillus licheniformis MB-2 ditumbuhkan pada waktu optimumnya, yaitu 5 hari. Selama waktu tersebut dihasilkan enzim dengan aktivitas tertinggi. Waktu yang terlalu singkat akan menghasilkan enzim yang tidak optimal akibat mikroba belum beradaptasi dengan lingkungannya. Waktu yang terlalu lama akan menyebabkan enzim mengalami inhibisi akibat menumpuknya produk reaksi enzim dengan substrat. Jumlah mikroba yang semakin meningkat dari hari ke hari akan membutuhkan nutrien yang semakin


(49)

banyak. Nutrien yang berbentuk polimer tidak dapat memasuki sel mikroba karena ukuran fisiknya. Polimer ini biasanya dicerna terlebih dahulu oleh enzim-enzim ekstraseluler yang disekresikan oleh mikroba (Suhartono, 1989). Oleh karena itu, produksi enzim-enzim mikrobial memanfaatkan polimer ini (salah satunya kitosan) sebagai substrat dan induser untuk menghasilkan enzim kitosanase. Penggunaan kitosan sebagai sumber karbon biasanya tidak langsung ditambahkan dalam bentuk serbuk ke dalam media, tetapi dalam bentuk yang lebih memungkinkan dan lebih mudah untuk menerima penetrasi enzim kitinolitik agar dapat diuraikan menjadi monomer-monomer glukosamin yang dapat diangkut melalui membran sel dan dimetabolisme oleh mikroba. Hidrolisis kitosan oleh enzim kitosanase pada media thermus padat akan menghasilkan areal bening di sekitar koloni bakteri (gambar 4).

Gambar 4. Aktivitas kitosanase MB-2 pada media thermus padat

Enzim kitosanase diproduksi menggunakan media thermus cair yang mengandung 0.4% koloidal kitosan. Pembuatan kultur starter sebelum produksi enzim bertujuan untuk memperbanyak sel yang seragam dengan umur fase pertumbuhan yang sama (Kurakake et al., 2000). Kultur starter yang ditambahkan ke dalam media thermus cair diinkubasi pada shaker waterbath suhu 550C selama 7 hari dengan kecepatan agitasi 120 rpm. Dari hasil karakterisasi yang dilakukan oleh Chasanah et al. (2000) diketahui bahwa Bacillus licheniformis MB-2 yang ditumbuhkan pada media thermus


(50)

27 licheniformis MB-2 sama dengan Bacillus coagulans LH 28.38 yang membutuhkan waktu 7 hari pada 550C (Haliza, 2003). Matsuebacter chitosanotabidus 3001 (Park et al., 1999), Amycolatopsis sp. CsO-2 (Okajima

et al., 1994), dan Psedomonas sp. H-14 (Yoshihara et al., 1992) membutuhkan waktu produksi enzim kitosanase sekitar 4 hari pada 28-300C.

Hasil produksi enzim kitosanase selama 7 hari perlu disentrifugasi untuk memisahkan media yang mengandung enzim kitosanase dengan sel bakteri sehingga dihasilkan supernatan enzim yang telah bebas dari sel bakteri dan sisa-sisa media yang tidak larut. Proses sentrifugasi dilakukan pada 40C selama 20 menit dengan kecepatan 10000 rpm. Sentrifugasi pada suhu dingin bertujuan untuk meminimalkan kerusakan enzim. Menurut Clark dan Switzer (1977), sel Bacillus licheniformis MB-2 yang berukuran lebih besar dibandingkan dengan enzim ekstraselulernya akan mengalami gaya sentrifugal yang lebih besar pada kecepatan radian dan jarak putar yang sama. Akibatnya, sel akan mengendap dan enzim akan tetap berada pada bagian supernatannya.

B. Presipitasi Protein

Supernatan enzim bebas sel diendapkan dengan ammonium sulfat 80%. Pengendapan dengan garam menggunakan prinsip salting out di mana kelarutan protein akan menurun pada konsentrasi garam yang tinggi. Ketika garam ditambahkan ke dalam sistem, air melarutkan ion garam. Jika konsentrasi garam meningkat, maka air akan lepas dari sekitar protein yang mengakibatkan terjadinya penempelan ikatan hidrofobik dari satu protein dengan protein yang lain menghasilkan endapan (Harris dan Angal, 1989). Penambahan garam dilakukan secara perlahan-lahan pada suhu dingin sambil di-stirrer karena peningkatan suhu akibat proses pelarutan yang dibantu

magnetic stirrer dapat menyebabkan denaturasi dan perubahan kelarutan. Hal ini dapat dikerjakan dengan mengeliingi wadah pengendapan dengan air yang dicampur es di dalam wadah yang lebih besar.

Pengendapan protein disempurnakan dengan cara supernatan enzim bebas sel yang telah ditambah garam didiamkan selama semalam di cool room. Selama proses ini molekul-molekul protein akan beragregasi, tetapi tidak


(51)

semuanya akan langsung mengendap. Sebagian agregat akan melayang atau terkumpul di permukaan membentuk suatu lapisan. Pemisahan supernatan dan endapan protein dilakukan dengan sentrifugasi. Endapan tersebut dilarutkan dalam 0.05 M buffer fosfat pH 6 dan disebut sebagai crude enzyme.

Pengendapan protein dengan ammonium sulfat 80% menunjukkan peningkatan aktivitas enzim dan konsentrasi protein. Supernatan enzim bebas sel memiliki aktivitas sebesar 1.076 U/ml dengan konsentrasi protein 0.237 mg/ml. Sedangkan, crude enzyme memiliki aktivitas sebesar 1.087 U/ml dengan konsentrasi protein 0.759 mg/ml. Penambahan ammonium sulfat akan mengendapkan enzim dan protein-protein lain sehingga terjadi peningkatan aktivitas dan konsentrasi protein pada crude enzyme.

Peningkatan yang tidak terlalu besar dalam aktivitas katalitik enzim diikuti dengan peningkatan yang tajam dalam jumlah protein mengakibatkan terjadinya penurunan yang cukup tajam dari aktivitas spesifik enzim, yaitu dari 4.539 U/mg menjadi 1.433 U/mg. Penurunan aktivitas spesifik crude enzyme diduga karena proteolisis oleh protease endogenous. Sekresi protease mungkin terjadi karena diinduksi oleh adanya protein dalam media pertumbuhan. Selain itu, penurunan aktivitas spesifik crude enzyme

kemungkinan dikarenakan adanya bagian sisi aktif enzim yang terdenaturasi. Seperti telah diketahui sebelumnya, penggunaan ammonium sulfat kurang efisien dalam menghilangkan impuritis. Adanya impuritis berupa senyawa-senyawa lain non protein dalam larutan enzim dapat menghalangi kontak antara enzim dengan substrat sehingga mengurangi efektivitas kerja enzim. Hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan aktivitas spesifik crude enzyme. Kemungkinan lain yang menyebabkan penurunan aktivitas spesifik

crude enzyme adalah penggunaan ammonium sulfat teknis. Adanya logam-logam dalam ammonium sulfat teknis dapat mengganggu kerja enzim.

C. Dialisis

Proses dialisis dilakukan terhadap crude enzyme untuk menghilangkan molekul garam dan ion pengganggu lainnya yang mempengaruhi kestabilan enzim. Dialisis dilakukan dengan menggunakan kantung selofan. Kantung ini


(52)

29 akan melewatkan zat terlarut dengan berat molekul di bawah 10000 Dalton (Morris dan Morris, 1976). Buffer yang digunakan di luar kantung memiliki konsentrasi lebih rendah daripada konsentrasi buffer yang ada di dalam kantung. Molekul berukuran kecil seperti garam ataupun ion pengganggu lainnya akan melewati pori-pori membran sampai konsentrasi di dalam dan di luar kantung mencapai nilai yang sama dan larutan buffer masuk ke dalam kantung menggantikan molekul kecil yang keluar (Boyer, 1986).

Menurut Harris dan Angal (1989), untuk menghindari kontaminasi dari bahan kimia, maka kantung dialisis terlebih dahulu direbus selama 10 menit dalam NaHCO3 dan EDTA lalu dicuci dan direbus kembali dengan air bebas ion selama 10 menit sebanyak 2 kali. Dialisis dilakukan di cool room untuk mengurangi terjadinya penurunan aktivitas enzim. Pengadukan dengan kecepatan rendah bertujuan untuk mempermudah keluarnya molekul berukuran kecil dari kantung dialisis dan mencegah molekul tersebut terkonsentrasi di sekitar kantung.

Enzim hasil dialisis menunjukkan adanya penurunan aktivitas enzim, meskipun penurunan aktivitas enzimnya sangat kecil, yaitu menjadi 1.086 U/ml. Konsentrasi protein pun mengalami penurunan menjadi 0.531 mg/ml. Kemungkinan protein non enzim yang berukuran kecil (BM < 10000) ikut keluar dari kantung dialisis sehingga larutan enzim cukup murni. Hal ini terlihat dari aktivitas spesifik pada enzim hasil dialisis meningkat dibandingkan aktivitas spesifik pada crude enzyme, yaitu 2.045 U/mg.

D. Pemurnian Enzim Kitosanase

Enzim hasil dialisis yang telah di-freeze dry digunakan untuk pemurnian. Enzim ini dimurnikan dengan kromatografi filtrasi gel. Matriks yang digunakan adalah Sephadex G-100. Sephadex G-100 memiliki kisaran fraksinasi protein sebesar 4000-150000 yang berarti gel tersebut dapat digunakan untuk memisahkan protein-protein yang memiliki berat molekul antara 4000-150000 Dalton (Walsh, 2002). Oleh karena itu, Sephadex G-100 cukup baik digunakan karena berat molekul dari enzim kitosanase ini belum diketahui.


(53)

Kromatografi filtrasi gel menggunakan bahan pengisi yang merupakan gel yang berpori-pori. Ukuran partikel gel dinyatakan dalam diameter partikel dalam kondisi kering dan Sephadex G-100 memiliki diameter sebesar 40-120 µm (Walsh, 2002). Pori-pori pada permukaan gel ini cukup kecil sehingga mencegah molekul-molekul yang besar masuk ke dalamnya, tetapi dapat menampung molekul-molekul yang lebih kecil. Selain untuk pemurnian enzim, kromatografi filtasi gel dapat juga digunakan untuk penghilangan garam (desalting) (Suhartono et al., 1992).

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

0 10 20 30 40 50 60

Fraksi A k ti v ita s (U /m l) 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 A ( 5 9 5 n m )

A (595 nm) Aktivitas (U/ml)

Gambar 5. Hasil pemurnian kitosanase menggunakan filtrasi gel

Pemurnian enzim dilakukan dengan memasukkan enzim hasil freeze dry

ke dalam kolom dan dilakukan elusi menggunakan 0.05 M buffer fosfat pH 6. Fraksi-fraksi hasil pemurnian ditampung masing-masing sebanyak 100 drop

(± 3 ml) lalu setiap fraksi diukur aktivitas enzim kitosanase dan konsentrasi proteinnya. Hasil pemurnian enzim menggunakan kromatografi filtasi gel dapat dilihat pada gambar 5. Hasil pemurnian menunjukkan bahwa fraksi 44 memiliki aktivitas spesifik dan tingkat kemurnian yang tinggi sehingga selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap enzim murni tersebut. Tahapan pemurnian enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB-2 dapat dilihat pada tabel 4.


(1)

dapat pula dilakukan analisis zimogram terhadap crude enzyme dan enzim murni tersebut untuk mengetahui pita protein yang menunjukkan aktivitas kitosanase. Karakterisasi lebih lanjut terhadap enzim sebaiknya dilakukan untuk mengetahui lebih detail karakteristik kitosanase yang dihasilkan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil laut. PSKL IPB, Bogor.

Arnold LD, Solomon NA. 1986. Manual of Industrial Microbiology and Biotechnology. American Society for Microbiology, Washington.

Boyer RF. 1986. Modern Experimental Biochemistry. The Benjamin/Cummings Pub. Co. Inc., Canada.

Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantification of microgram quantities of protein dye binding. Anal. Biochem. 72 : 248-254.

Brine CJ, Sandford PA, Zikakis JP. 1992. Advanced chitin and chitosan. Elsevier : 292-303.

Brzezinski R, Boucher I, Dupuy A, Plouffe B. 1997. Actynomycetes as model organisms for the study of chitosanase. Chitin Handbook. European Chitin Soc. pp. 291-295.

Chang KLB, Tsai G, Lee J, Fu WR. 1997. Heterogenous N-deacetylation of chitin in alkalin solution. Carbohydrate Res. 303 : 327-332.

Chaplin MF, Bucke C. 1990. Enzyme Technology. Cambridge Univ. Pr., New York.

Chasanah E, Suhartono MT, Hwang JK, Pyun YR. 2002. Characterization of Chitosanase Enzyme from Thermophile Bacteria Bacillus licheniformis MB-2. The fifth JSPS International Seminar Marine Products Processing Technology, Bogor Agriculture University.

Chasanah E. 2004. Characterization of chitosanase of Bacillus licheniformis MB-2 from Manado hot spring water [disertasi]. Bogor : Pascasarjana, IPB.

Cheng YC, Li KY. 2000. An Aspergillus chitosanase with potential for large scale preparation of chitosan oligosaccarides. Biotech. Appl. Biochem. 32 197-203.

Clark JM, Switzer RL. 1977. Experimental Biochemistry. W.H. Freeman and Company, San Fransisco.

Edelstein SJ, Bollag DM. 1991. Protein Methods. Wiley-Liss, USA.

Emmawati A. 2004. Produksi kitosan dengan perlakuan kimiawi dan enzimatis menggunakan NaOH dan kitin deasetilase [tesis]. Bogor : Pascasarjana, IPB.


(3)

Goosen, MFA. 1997. Applications of Chitin and Chitosan. Technomic, USA.

Haliza W. 2003. Karakteristik kitosanase unik dari Bacillus coagulans LH 28.38 asal Lahendong-Sulawesi Utara [tesis]. Bogor : Pascasarjana, IPB.

Harris ELV, Angal S. 1989. Protein Purification Methods a Practical Approach. Oxford Univ. Pr., UK.

Imoto T, Yagashita K. 1971. A simple activity measurement of lisozyme. Agric. Biol. Chem. 35 : 1154-1156.

Jeon YJ, Kim SK. 2000. Production of chitooligosaccarides using an ultrafiltration membrane reactor and their antibacterial activity. Carb. Polymer 41 : 133-141.

Kafetzopoulos D, Martinou A, Bouriotis V. 1993. Bioconversion of chitin to chitosan : Purification and characterization of chitin deacetylase from Mucor rouxii. Appl. Biol. Sci. 90 : 2564-2568.

Kolodziejska I, Pajak AW, Ogonowska G, Sikorski ZE. 2000. Deacetylation of chitin in a two-Stage. Chem. Enzyme Process. 2 (150) : 15-24.

Kurakake M, Shou Y, Nakagawa K, Sugihara M, Komaki T. 2000. Properties of chitosanase from Bacillus cereus S1. Curr. Microbiol. 40 : 6-9.

Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Diterjemahkan oleh M. Thenawijaya. Erlangga, Jakarta.

Meidina. 2005. Aktivitas antibakteri oligomer kitosan hasil degradasi oleh kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 [tesis]. Bogor : Pascasarjana, IPB.

Miyoshi H, Shimura K, Watanabe K, Onodera K. 1992. Characterization of some fungal chitosans. Biosci. Biotech. Biochem. 56 (12) : 1901-1905.

Morris CJOR, Morris P. 1976. Separation Methods in Biochemistry. Pitman Publishing Co., London.

Muzzarelli RAA, Tomasetti M, Ilari P. 1995a. Depolymerization of chitosan with the aid of papain. Enz. and Microbial Technol. 16 : 110-114.

Muzzarelli RAA, Xia W, Tomasetti M, Ilari P. 1995b. Depolymerization of chitosan and substituted chitosans with the aid of a wheat germ lipase preparation. Enz. and Microbial Technol. 17 : 541-545.

Nur MA, Adijuwana H. 1988. Teknik Separasi Dalam Analisis Pangan. PAU-LSI IPB, Bogor.


(4)

Okajima S, Ando A, Shinoyama H, Fujii T. 1994. Purification and characterization of a extracellular chitosanase produced by Amycolatopsis CsO-2. J. Ferment Bioeng. 77 (6) : 617-620.

Pantaleone D, Yalpani M, Scollar M. 1992. Unusual susceptibility of chitosan to enzymic hydrolysis. Carb. Res 237 : 325-332.

Park JK, Shimono K, Ochiai N, Shigeru K, Kurita M, Ohta Y, Tanaka K, Matsuda H, Kawamukai M. 1999. Purification, characterization, and gene analysis of a chitosanase (ChoA) from Matsuebacter chitosanotabidus 3001 : J. Bacteriol. 181 (21) : 6642-6649.

Reyes MP, Corona FG. 1997. The bifunctional enzyme chitosanase-cellulase produced by the Gram-negative microorganism Myxobacter sp. AL-1 is highly similiar to Bacillus subtilis endoglucanases. Arch. Microbiol. 168 : 321-327.

Rochima E. 2005. Aplikasi kitin deasetilase termostabil dari Bacillus papandayan K29-14 asal kawah Kamojang-Jawa Barat pada pembuatan kitosan [tesis]. Bogor : Pascasarjana, IPB.

Saito J, Kita A, Higuchi Y, Nagata Y, Ando A, Miki K. 1999. Crystal structure of chitosanase from Bacillus circulans MH-K1 at 1.6-Å resolution and its substrate recognition mechanism. J. Biol. Chem. 272 (34) : 30818-30825.

Scopes RK. 1987. Protein Purification. Springer-Verlag, New York.

Seino H, Tsukuda K, Shimasue Y. 1991. Properties and pattern of a chitosanase from Bacillus sp. PI-7S. Agric. Biol. Chem. 55 (9) : 2421-2423.

Shahidi F, Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food application of chitin and chitosan. Trends in Food Sci. Technol. 10 : 37-51.

Shimosaka M, Nogawa M, Ohno Y, Okazaki M. 1993. Chitosanase from the plant pathogenic fungus, Fusarium solani f. sp. phaseoli - purification and some properties. Biosci. Biotech. Biochem. 57 (2) : 231-235.

Shimosaka M, Nogawa M, Wang YX, Kumehara M, Okazaki M. 1995. Production of two chitosanase from a chitosan-assimilating bacterium, Acinetobacter sp. strain CHB101. Appl. Environ. Microbiol. p. 438-442. Shimosaka M, Fukumori Y, Zhang YX, He NJ, Kodaira R, Okazaki M. 2000.

Molecular cloning and characterization of a chitosanase from the chitosanolytic bacterium Burkholderia gladioli strain CHB101. Appl. Microbiol. Biotechnol. 54 : 354-360.


(5)

Stanbury PF, Whitaker A. 1984. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press, New York.

Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. PAU IPB, Bogor.

Suhartono MT, Suwanto A, Widjaja H. 1992. Diktat Stuktur dan Biokimiawi Protein. PAU IPB, Bogor.

Suhartono MT. 2002. Exploration of Indonesian Thermophiles Producing Thermostable Chitinolytic Enzymes. Report. Biochemistry and Microbiology Laboratory Research Center for Biotechnology, IPB, Bogor.

Suhartono MT, Natsir H, Chandra D, Rukayadi Y, Hwang JK, Pyun YR. 2002. Biochemical characteristics of chitinase enzyme from Bacillus sp. of Kamojang Crater-Indonesia. J. Biochem., Molecular Biol., and Biophys pp. 279-282.

Tokoyasu T, Kaneko A, Hayashi K, Mori Y. 1999. Production of a recombinant chitin deacetylase in the culture medium of Escherichia coli cells. FEBS Lett. 458 : 23-26.

Tokuyasu K, Kameyama MO, Hayash K. 1996. Purification and characterization of extracellular chitin deacetylase from Colletotrichum lindemuthianum. Biosci. Biotech. Biochem. 60 (10) : 1598-1603.

Toledo RT. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering. Chapman & Hall, New York.

Tsai GJ, Wu ZY, Su WH. 2000. Antibacterial activity of chitooligosaccharide mixture prepared by cellulose digestion of shrimp chitosan and its application to milk preservation. J. Food Prot. 63 : 747-752.

Tsigos I, Martinou A, Kafetzopoulos D, Bouriotis V. 2000. Chitin deacetylase : New, versatile tools in biotechnology. TIBTECH. 18 : 305-312.

Wahyuni, S. 2006. Aktivitas kitooligomer hasil reaksi enzimatik terhadap proliferasi sel limfosit dan sel kanker [disertasi]. Bogor : Pascasarjana, IPB.

Walsh G. 2002. Protein Biochemistry and Biotechnology. John Wiley and Sons, New York.

Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunhill P, Humphrey AE, Lilli MD. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Willey and Sons, New York.


(6)

Welan V. 2001. Karakteristik enzim kitinase dan kitin deasetilase isolat 13.26 asal Manado yang diproduksi menggunakan matriks imobilisasi sel [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Wilson K, Walker J. 2000. Principles and Techniques of Practical Biochemistry 5th Edition. Cambridge University Press, Cambridge.

Yamasaki Y, Hayashi I, Ohta Y, Nakagawa T, Kawamukai M, Matsuda H. 1993. Purification and mode of action of chitosanolytic enzyme from Enterobacter sp. G-1. Biosci. Biotech. Biochem. 57 (3) : 444-449.

Yoon HG, Kim HY, Lim YH, Kim HK, Shin DH, Hong BS, Cho HY. 2000. Thermostable chitosanase from Bacillus sp. strain CK4 : Cloning and expression of the gene and characterization of the enzyme. Appl. and Env. Microbiol. pp. 3727-3734.

Yoon HG, Kim HY, Kim HK, Hong BS, Shin DH, Cho HY. 2001. Thermostable chitosanase from Bacillus sp. strain CK4 : Its purification, characterization, and reaction patterns. Biosci. Biotech. Biochem. 65 (4) : 802-809.

Yoshihara K, Hosokawa J, Kubo T, Nishiyama M, Koba Y. 1992. Purification and properties of a chitosanase from Psedomonas sp. H-14. Biosci. Biotech. Biochem. 56 (6) : 972-973.