Deproitenasi Kulit Udang Secara Fermentasi Menggunakan Isolat Bacillus licheniformis F11 pada Ekstraksi Kitin

(1)

DEPROTEINASI KULIT UDANG SECARA FERMENTASI

MENGGUNAKAN ISOLAT Bacillus licheniformis F11 PADA

EKSTRAKSI KITIN

Oleh

SITI RAHMI FATIHIYAH F34101092

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Siti Rahmi Fatihiyah. F3410192. Deproteinasi Kulit Udang Secara Fermentasi Menggunakan Isolat Bacillus licheniformis F11 Pada Ekstraksi Kitin. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Niknik Nurhayati

RINGKASAN

Udang merupakan komoditas handal perikanan utama Indonesia (Sudibyo, 1991). Komoditas udang pada saat ini mengalami peningkatan produksi, baik diperoleh dari usaha penangkapan di alam maupun dari hasil budidaya dengan menggunakan tambak udang.

Ekspor udang pada tahun 2004 dari bulan Januari sampai dengan November sebesar 130.000 ton atau senilai 810.905.190 US$ (BPS, diolah oleh Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003). Menurut Sudibyo (1991), sekitar 80 hingga 90 peresen udang diekspor dalam bentuk udang beku tanpa kepala dan kulit. Bobot kulit dan kepala ini dapat mencapai 25 hingga 30 persen dari bobot udang utuh, sehingga dapat diperkirakan bahwa kulit dan kepala yang dihasilkan pada tahun 2004 sampai dengan November cukup besar yaitu sebanyak 40.000 ton.

Limbah udang mudah sekali rusak akibat degradasi mikroba, sehingga berpotensi besar mencemarkan lingkungan. Semakin pesatnya perkembangan produksi udang, maka dibutuhkan penanganan terhadap limbah udang secara khusus. Pemanfaatan limbah udang selama ini adalah untuk pencampur ransum pakan ternak, bahan pencampur pembuatan terasi, petis dan kerupuk udang. Untuk meningkatkan nilai tambahnya, limbah udang tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kitin dan kitosan. Kitin dan kitosan bernilai ekonomi tinggi dan telah dimanfaatkan untuk kosmetik, biomedis, farmasi, pertanian, pengolahan air limbah dan bidang bioteknologi (Suhartono, 1989). Kandungan kitin pada limbah cukup besar, yaitu sebesar 23,5 % (No et al. 1989). Kitin adalah polimer alami yang mempunyai banyak kelebihan, seperti mempunyai sifat biokompatibilitas, biodegradabilitas dan tidak beracun. Sifat khas kitin dapat didayagunakan untuk menangani cemaran logam beracun dan zat pewarna tekstil yang terakumulasi dalam perairan dan dapat menyerap bahan berprotein yang terdapat dalam air limbah industri pengolahan pangan. Kitin juga berpotensi sebagai bahan antibiotika dan benang operasi yang aman (Austin et al. 1981). Kegunaan kitin dalam bidang kesehatan antara lain adalah dalam perawatan luka bakar karena sesuai dengan jaringan otot dan dapat menyerap kolesterol dalam tubuh.

Pada ekstraksi kitin, perlu dilakukan penghilangan protein (deproteinasi) dan mineral (demineralisasi), karena selain kitin, dalam limbah kulit udang juga terdapat protein sebesar 16,9% dan mineral (abu) 63,6%, sehingga dalam pemurnian kitin, komponen tersebut perlu dihilangkan.

Proses deproteinasi dapat dilakukan secara fermentasi dengan menggunakan mikroba penghasil protease, contohnya menggunakan bakteri Bacillus licheniformis F11. Fermentasi diharapkan dapat mengurangi dampak pencemaran dan pemborosan energi., karena reaksinya bersifat spesifik, tidak beracun serta tidak membutuhkan energi yang tinggi. Mikroba sebagai sumber enzim lebih menguntungkan karena pertumbuhannya cepat dan dapat tumbuh


(3)

pada substrat yang relatif murah, mudah ditingkatkan hasilnya melalui pengaturan kondisi pertumbuhan serta mampu menghasilkan enzim dengan pH optimum yang lebih tinggi (Crueger dan Crueger, 1984).

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses terbaik untuk penghilangan protein (deproteinasi) limbah kulit udang pada ekstraksi kitin secara fermentasi dengan menggunakan islolat Bacillus licheniformis F11.

Penelitian dilakukan dengan memfermentasikan kulit udang dengan perlakuan variasi cara penambahan substrat kulit udang secara steril dan nonsteril. Penambahan kulit udang sebanyak 30 % (b/v) dilakukan secara langsung dan bertahap. Penelitian selanjutnya adalah dengan variasi persentase inokulum pada inokulum 10 persen, 20 persen dan 30 persen. Kemudian dilanjutkan dengan variasi ukuran serpihan kulit udang pada ukuran 2,1 mesh, 2,5 mesh dan 3,5 mesh. Pengamatan yang dilakukan terhadap media kultur setiap 6 jam sekali selama 48 jam adalah jumlah sel, kadar protein media kultur dan pH, sedangkan pengamatan yang dilakukan terhadap kulit udang setiap 12 jam sekali selama 48 jam adalah kadar protein limbah kulit udang. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian selanjutnya adalah terhadap kulit udang sertiap 12 jam sekali selama 48 jam untuk mengukur kadar protein limbah kulit udang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan terbesar kadar protein kulit udang adalah pada penambahan substrat kulit udang secara bertahap dan kondisi steril, yaitu sebesar 47,34%. Penurunan kadar protein kulit udang pada penambahan substrat kulit udang secara bertahap dan kondisi nonsteril adalah sebesar 45,45%, sedangkan pada penambahan substrat kulit udang secara langsung kondisi steril dan nonsteril berturut-turut sebesar 36,08% dan 40,67%.

Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa penurunan kadar protein terbesar terjadi pada variasi persentase inokulum 20%, yaitu sebesar 51,69%. Penurunan kadar protein kulit udang pada persentase inokulum 10 % dan 30 % berturut-turut adalah 49,64% dan 45,25%. Dengan menggunakan inokulum 20% dan variasi ukuran serpihan kulit udang 2,5 mesh, diperoleh penurunan kadar protein terbesar , yaitu sebesar 75,54%. Pada variasi ukuran serpihan kulit udang 2,1 mesh dan 3,5 mesh dengan menggunakan inokulum 20%, diperoleh penurunan kadar protein sebesar 74,70% dan 73,47%.


(4)

Siti Rahmi Fatihiyah. F3410192. Deproteinization of Shrimp Shell By Fermentation Using Bacillus licheniformis F11 In Chitin Extraction. Supervised by Liesbetini Hartoto and Niknik Nurhayati

SUMMARY

Shrimp is a potential commodity of main fisheries in Indonesia (Sudibyo, 1991). Production of shrimp commodity, from cacther enterprise in nature as well as from production in shrimp pond shows considerable increases.

Amount of shrimp exported since January until November 2004 was 13.000 ton or US$ 810,905.190 (BPS, processed by Oceanic and Fisheries Departement of Indonesia, 2003). Based on Sudibyo (1991), about 80 to 90 percent shrimp is exported in frozen shrimp form without the heads and the shells. The weight of those heads and shells are about 25 to 30 percent from total shrimp weight. From that amount, it could be measured that head and shell production from January to November 2004 was around 40.000 ton.

Shrimp waste is perishable material, helped by microbes degradation, but it is also potential to pollute the environment. It needs special treatment to overcome shrimp wastes problem because of the rapid increase in shrimp production. Nowadays, shrimp waste is used for feed, making of “terasi” and “petis” and shrimp chips. As an effort to increase its added value, shrimp waste can be used as material for making chitin and chitosan. Chitin and chitosan have high economic value and are used for cosmetics, biomedical, pharmacy, agriculture, waste water treatment and biotechnology (Suhartono, 1989). The content of chitin in shrimp wastes is high enough, that is 23,5% (No et al. 1989). Chitin is a natural polymer with a lot of advantages, e.g having biocompatibility, biodegradability and non toxic characteristic. Special characteristic of chitin is the ability to be used to treat toxic and textile colourant accumulated in fisheries and absorb materials rich of protein which are found in industrial waste of food processing. Chitin is also potential as antibiotic material and safe operation yard (Austin et al. 1981). Chitin is also used to recover burnt skin because it is compatible with human muscle and also can absorb cholesterol inside the body.

Deproteinization is needed in chitin extraction because shrimp shell waste also contains 16,9 % of protein and of 63,6% mineral, so that in chitin purification, that components are needed to be removed. Deproteinization could be done by fermentation using microbes which produces protease, such as Bacillus licheniformis F11. Fermentation can reduce pollution and energy inefficiency, because its specific reaction, nontoxic nature and low energy needs. Microbe as enzyme source gives more benefit because it can grow fast and use cheap substrate. Its yield is easy to be increased by optimization of growth condition and microbe also are capable to produce enzyme with higher optimum pH (Crueger and Crueger, 1984).

The objective of this research is to get the best process condition for shrimp shell waste deproteinization in chitin extraction through fermentation by Bacillus licheniformis F11 isolate. This research was done through shrimp shell fermentation by variation of methods to add shrimp shell substrate in sterile and


(5)

nonsterile condition. Additional of 30% shrimp shell is done in one step and in two steps. The next research was done with 10%, 20% and 30% inoculum percentage variation. The research was continued with shrimp shell size variation in 2,1 mesh, 2,5 mesh and 3,5 mesh. Observation of culture media once in every 6 hours was done to measure cells amount, protein content of culture media and pH. Observation of shrimp shell once in every 12 hours for 48 hours was done to evaluate the protein content of shrimp shell waste. Observation of shrimp shell in the next research was done once in every 12 hours for 48 hours to evaluate the protein content of shrimp shell waste.

Result of this research showed that highest decrease of shrimp shell protein (47,34 %) exist in shrimp shell with additional two steps process and in sterile condition. Decrease of shrimp shell protein with amount 45,45 % exist in shrimp shell with additional two steps process and nonsterile condition. The decrease of shrimp shell protein with one step and sterile condition was 36,08 %, while in nonsterile condition it was 40,67 %. The result of next research showed that the highest decrease of protein with 20 % inoculum percentage was 51,69 %. Decrease of shrimp shell with 10 % inoculum percentage was 49,64 %, while its decrease with 30 % inoculum percentage was 45,25 %. The highest decrease protein (75,54 %) was obtained by using 20 % inoculum and 2,5 mesh size of shrimp shell. Decrease of protein with 2,1 mesh size of shrimp shell by using 20 % inoculum was 74,70 %, while its decrease with 3,5 mesh size and same inoculum was 73,47 %


(6)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPROTEINASI KULIT UDANG SECARA FERMENTASI MENGGUNAKAN ISOLAT Bacillus licheniformis F11

PADA EKSTRAKSI KITIN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

SITI RAHMI FATIHIYAH F34101092

Dilahirkan pada tanggal 20 Mei 1983 Di Bogor, Jawa Barat

Tanggal lulus :

Menyetujui, Bogor, Februari 2006

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Dr. Niknik Nurhayati Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(7)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Mei 1983 dari seorang ibu yang bernama Titin Rochmah dan ayah bernama Oma Soemantri. Penulis merupakan anak kesembilan dari sepu- luh bersaudara. Penulis mendapatkan pendidikan dasar di SDN RIMBA PUTRA tahun 1989 sampai tahun 1995, SLTP di SLTP N 2 Bogor tahun 1995 sampai tahun 1998, dan SMU di SMUN 1

Bogor tahun 1998 sampai 2001. Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2001 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjalankan pendidikan akademis, penulis aktif dibeberapa organisasi yaitu pada tahun 2002 sampai tahun 2003, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) pada Departemen Human Resource Development (HRD). Pada tahun 2003 hingga 2004, penulis juga aktif sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (BEM FATETA IPB) pada Departemen Dalam Negeri Biro Informasi dan Komunikasi. Pada tahun 2004 penulis menjalankan Praktek Lapangan (PL) di PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk, Ancol, Jakarta Utara dengan judul “Aspek Pengadaan Bahan Baku dan Proses Produksi Mie Instan di PT Indofood Sukses Makmur, Tbk Ancol, Jakarta Utara”. Pada tahun 2004 hingga 2005 penulis bekerja paruh waktu sebagai interviewer pada Departemen Product Development di PT. San Miguel Purefoods Suba Indah Indonesia.


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Deproteinasi Kulit Udang Secara Fermentasi Menggunakan Isolat Bacillus licheniformis F11 Pada Ekstraksi Kitin”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan selama lima bulan, terhitung dari bulan Februari hingga bulan Juli 2005, dan disusun berdasarkan acuan tinjauan pustaka. Selama penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil, oleh karena itu, pada kesempatan ini ijinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Oma Soemantri dan Ibunda Titin Rochmah, sebagai orang yang telah membesarkan penulis dengan penuh cinta kasih dan pendorong semangat terhebat, serta kakak-kakak tercinta dan adik tercinta yang telah banyak berkorban selama penyusunan skripsi ini 2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen pembimbing pertama atas segala

arahan dan bimbingan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi.

3. Dr. Niknik Nurhayati selaku dosen pembimbing kedua atas segala arahan dan bimbingan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi.

4. Dr. Ir Ono Suparno, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan atas perbaikan dan penyempurnaan skripsi.

5. Seluruh staf dan karyawan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, BPPT, Serpong, yang banyak membantu penulis selama melakukan penelitian. 6. Teman-teman seperjuangan di LTB (Laboratorium Teknologi Bioindustri):

Dinny Mutiah, Herwanto, Sari Suwandari, Dimas, dan lainnya atas dukungan dan kerjasamanya selama bekerja di laboratorium.


(9)

7. Kawan-kawan TIN 38, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2006


(10)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : SITI RAHMI FATIHIYAH

NRP : F34101092

Judul Skripsi : Deproteinasi Kulit Udang Secara Fermentasi Menggunakan Isolat Bacillus Licheniformis F11 Pada Ekstraksi Kitin

menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul diatas adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Februari 2006


(11)

DEPROTEINASI KULIT UDANG SECARA FERMENTASI

MENGGUNAKAN ISOLAT Bacillus licheniformis F11 PADA

EKSTRAKSI KITIN

Oleh

SITI RAHMI FATIHIYAH F34101092

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Siti Rahmi Fatihiyah. F3410192. Deproteinasi Kulit Udang Secara Fermentasi Menggunakan Isolat Bacillus licheniformis F11 Pada Ekstraksi Kitin. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Niknik Nurhayati

RINGKASAN

Udang merupakan komoditas handal perikanan utama Indonesia (Sudibyo, 1991). Komoditas udang pada saat ini mengalami peningkatan produksi, baik diperoleh dari usaha penangkapan di alam maupun dari hasil budidaya dengan menggunakan tambak udang.

Ekspor udang pada tahun 2004 dari bulan Januari sampai dengan November sebesar 130.000 ton atau senilai 810.905.190 US$ (BPS, diolah oleh Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003). Menurut Sudibyo (1991), sekitar 80 hingga 90 peresen udang diekspor dalam bentuk udang beku tanpa kepala dan kulit. Bobot kulit dan kepala ini dapat mencapai 25 hingga 30 persen dari bobot udang utuh, sehingga dapat diperkirakan bahwa kulit dan kepala yang dihasilkan pada tahun 2004 sampai dengan November cukup besar yaitu sebanyak 40.000 ton.

Limbah udang mudah sekali rusak akibat degradasi mikroba, sehingga berpotensi besar mencemarkan lingkungan. Semakin pesatnya perkembangan produksi udang, maka dibutuhkan penanganan terhadap limbah udang secara khusus. Pemanfaatan limbah udang selama ini adalah untuk pencampur ransum pakan ternak, bahan pencampur pembuatan terasi, petis dan kerupuk udang. Untuk meningkatkan nilai tambahnya, limbah udang tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kitin dan kitosan. Kitin dan kitosan bernilai ekonomi tinggi dan telah dimanfaatkan untuk kosmetik, biomedis, farmasi, pertanian, pengolahan air limbah dan bidang bioteknologi (Suhartono, 1989). Kandungan kitin pada limbah cukup besar, yaitu sebesar 23,5 % (No et al. 1989). Kitin adalah polimer alami yang mempunyai banyak kelebihan, seperti mempunyai sifat biokompatibilitas, biodegradabilitas dan tidak beracun. Sifat khas kitin dapat didayagunakan untuk menangani cemaran logam beracun dan zat pewarna tekstil yang terakumulasi dalam perairan dan dapat menyerap bahan berprotein yang terdapat dalam air limbah industri pengolahan pangan. Kitin juga berpotensi sebagai bahan antibiotika dan benang operasi yang aman (Austin et al. 1981). Kegunaan kitin dalam bidang kesehatan antara lain adalah dalam perawatan luka bakar karena sesuai dengan jaringan otot dan dapat menyerap kolesterol dalam tubuh.

Pada ekstraksi kitin, perlu dilakukan penghilangan protein (deproteinasi) dan mineral (demineralisasi), karena selain kitin, dalam limbah kulit udang juga terdapat protein sebesar 16,9% dan mineral (abu) 63,6%, sehingga dalam pemurnian kitin, komponen tersebut perlu dihilangkan.

Proses deproteinasi dapat dilakukan secara fermentasi dengan menggunakan mikroba penghasil protease, contohnya menggunakan bakteri Bacillus licheniformis F11. Fermentasi diharapkan dapat mengurangi dampak pencemaran dan pemborosan energi., karena reaksinya bersifat spesifik, tidak beracun serta tidak membutuhkan energi yang tinggi. Mikroba sebagai sumber enzim lebih menguntungkan karena pertumbuhannya cepat dan dapat tumbuh


(13)

pada substrat yang relatif murah, mudah ditingkatkan hasilnya melalui pengaturan kondisi pertumbuhan serta mampu menghasilkan enzim dengan pH optimum yang lebih tinggi (Crueger dan Crueger, 1984).

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses terbaik untuk penghilangan protein (deproteinasi) limbah kulit udang pada ekstraksi kitin secara fermentasi dengan menggunakan islolat Bacillus licheniformis F11.

Penelitian dilakukan dengan memfermentasikan kulit udang dengan perlakuan variasi cara penambahan substrat kulit udang secara steril dan nonsteril. Penambahan kulit udang sebanyak 30 % (b/v) dilakukan secara langsung dan bertahap. Penelitian selanjutnya adalah dengan variasi persentase inokulum pada inokulum 10 persen, 20 persen dan 30 persen. Kemudian dilanjutkan dengan variasi ukuran serpihan kulit udang pada ukuran 2,1 mesh, 2,5 mesh dan 3,5 mesh. Pengamatan yang dilakukan terhadap media kultur setiap 6 jam sekali selama 48 jam adalah jumlah sel, kadar protein media kultur dan pH, sedangkan pengamatan yang dilakukan terhadap kulit udang setiap 12 jam sekali selama 48 jam adalah kadar protein limbah kulit udang. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian selanjutnya adalah terhadap kulit udang sertiap 12 jam sekali selama 48 jam untuk mengukur kadar protein limbah kulit udang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan terbesar kadar protein kulit udang adalah pada penambahan substrat kulit udang secara bertahap dan kondisi steril, yaitu sebesar 47,34%. Penurunan kadar protein kulit udang pada penambahan substrat kulit udang secara bertahap dan kondisi nonsteril adalah sebesar 45,45%, sedangkan pada penambahan substrat kulit udang secara langsung kondisi steril dan nonsteril berturut-turut sebesar 36,08% dan 40,67%.

Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa penurunan kadar protein terbesar terjadi pada variasi persentase inokulum 20%, yaitu sebesar 51,69%. Penurunan kadar protein kulit udang pada persentase inokulum 10 % dan 30 % berturut-turut adalah 49,64% dan 45,25%. Dengan menggunakan inokulum 20% dan variasi ukuran serpihan kulit udang 2,5 mesh, diperoleh penurunan kadar protein terbesar , yaitu sebesar 75,54%. Pada variasi ukuran serpihan kulit udang 2,1 mesh dan 3,5 mesh dengan menggunakan inokulum 20%, diperoleh penurunan kadar protein sebesar 74,70% dan 73,47%.


(14)

Siti Rahmi Fatihiyah. F3410192. Deproteinization of Shrimp Shell By Fermentation Using Bacillus licheniformis F11 In Chitin Extraction. Supervised by Liesbetini Hartoto and Niknik Nurhayati

SUMMARY

Shrimp is a potential commodity of main fisheries in Indonesia (Sudibyo, 1991). Production of shrimp commodity, from cacther enterprise in nature as well as from production in shrimp pond shows considerable increases.

Amount of shrimp exported since January until November 2004 was 13.000 ton or US$ 810,905.190 (BPS, processed by Oceanic and Fisheries Departement of Indonesia, 2003). Based on Sudibyo (1991), about 80 to 90 percent shrimp is exported in frozen shrimp form without the heads and the shells. The weight of those heads and shells are about 25 to 30 percent from total shrimp weight. From that amount, it could be measured that head and shell production from January to November 2004 was around 40.000 ton.

Shrimp waste is perishable material, helped by microbes degradation, but it is also potential to pollute the environment. It needs special treatment to overcome shrimp wastes problem because of the rapid increase in shrimp production. Nowadays, shrimp waste is used for feed, making of “terasi” and “petis” and shrimp chips. As an effort to increase its added value, shrimp waste can be used as material for making chitin and chitosan. Chitin and chitosan have high economic value and are used for cosmetics, biomedical, pharmacy, agriculture, waste water treatment and biotechnology (Suhartono, 1989). The content of chitin in shrimp wastes is high enough, that is 23,5% (No et al. 1989). Chitin is a natural polymer with a lot of advantages, e.g having biocompatibility, biodegradability and non toxic characteristic. Special characteristic of chitin is the ability to be used to treat toxic and textile colourant accumulated in fisheries and absorb materials rich of protein which are found in industrial waste of food processing. Chitin is also potential as antibiotic material and safe operation yard (Austin et al. 1981). Chitin is also used to recover burnt skin because it is compatible with human muscle and also can absorb cholesterol inside the body.

Deproteinization is needed in chitin extraction because shrimp shell waste also contains 16,9 % of protein and of 63,6% mineral, so that in chitin purification, that components are needed to be removed. Deproteinization could be done by fermentation using microbes which produces protease, such as Bacillus licheniformis F11. Fermentation can reduce pollution and energy inefficiency, because its specific reaction, nontoxic nature and low energy needs. Microbe as enzyme source gives more benefit because it can grow fast and use cheap substrate. Its yield is easy to be increased by optimization of growth condition and microbe also are capable to produce enzyme with higher optimum pH (Crueger and Crueger, 1984).

The objective of this research is to get the best process condition for shrimp shell waste deproteinization in chitin extraction through fermentation by Bacillus licheniformis F11 isolate. This research was done through shrimp shell fermentation by variation of methods to add shrimp shell substrate in sterile and


(15)

nonsterile condition. Additional of 30% shrimp shell is done in one step and in two steps. The next research was done with 10%, 20% and 30% inoculum percentage variation. The research was continued with shrimp shell size variation in 2,1 mesh, 2,5 mesh and 3,5 mesh. Observation of culture media once in every 6 hours was done to measure cells amount, protein content of culture media and pH. Observation of shrimp shell once in every 12 hours for 48 hours was done to evaluate the protein content of shrimp shell waste. Observation of shrimp shell in the next research was done once in every 12 hours for 48 hours to evaluate the protein content of shrimp shell waste.

Result of this research showed that highest decrease of shrimp shell protein (47,34 %) exist in shrimp shell with additional two steps process and in sterile condition. Decrease of shrimp shell protein with amount 45,45 % exist in shrimp shell with additional two steps process and nonsterile condition. The decrease of shrimp shell protein with one step and sterile condition was 36,08 %, while in nonsterile condition it was 40,67 %. The result of next research showed that the highest decrease of protein with 20 % inoculum percentage was 51,69 %. Decrease of shrimp shell with 10 % inoculum percentage was 49,64 %, while its decrease with 30 % inoculum percentage was 45,25 %. The highest decrease protein (75,54 %) was obtained by using 20 % inoculum and 2,5 mesh size of shrimp shell. Decrease of protein with 2,1 mesh size of shrimp shell by using 20 % inoculum was 74,70 %, while its decrease with 3,5 mesh size and same inoculum was 73,47 %


(16)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPROTEINASI KULIT UDANG SECARA FERMENTASI MENGGUNAKAN ISOLAT Bacillus licheniformis F11

PADA EKSTRAKSI KITIN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

SITI RAHMI FATIHIYAH F34101092

Dilahirkan pada tanggal 20 Mei 1983 Di Bogor, Jawa Barat

Tanggal lulus :

Menyetujui, Bogor, Februari 2006

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Dr. Niknik Nurhayati Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(17)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Mei 1983 dari seorang ibu yang bernama Titin Rochmah dan ayah bernama Oma Soemantri. Penulis merupakan anak kesembilan dari sepu- luh bersaudara. Penulis mendapatkan pendidikan dasar di SDN RIMBA PUTRA tahun 1989 sampai tahun 1995, SLTP di SLTP N 2 Bogor tahun 1995 sampai tahun 1998, dan SMU di SMUN 1

Bogor tahun 1998 sampai 2001. Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2001 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjalankan pendidikan akademis, penulis aktif dibeberapa organisasi yaitu pada tahun 2002 sampai tahun 2003, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) pada Departemen Human Resource Development (HRD). Pada tahun 2003 hingga 2004, penulis juga aktif sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (BEM FATETA IPB) pada Departemen Dalam Negeri Biro Informasi dan Komunikasi. Pada tahun 2004 penulis menjalankan Praktek Lapangan (PL) di PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk, Ancol, Jakarta Utara dengan judul “Aspek Pengadaan Bahan Baku dan Proses Produksi Mie Instan di PT Indofood Sukses Makmur, Tbk Ancol, Jakarta Utara”. Pada tahun 2004 hingga 2005 penulis bekerja paruh waktu sebagai interviewer pada Departemen Product Development di PT. San Miguel Purefoods Suba Indah Indonesia.


(18)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Deproteinasi Kulit Udang Secara Fermentasi Menggunakan Isolat Bacillus licheniformis F11 Pada Ekstraksi Kitin”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan selama lima bulan, terhitung dari bulan Februari hingga bulan Juli 2005, dan disusun berdasarkan acuan tinjauan pustaka. Selama penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil, oleh karena itu, pada kesempatan ini ijinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Oma Soemantri dan Ibunda Titin Rochmah, sebagai orang yang telah membesarkan penulis dengan penuh cinta kasih dan pendorong semangat terhebat, serta kakak-kakak tercinta dan adik tercinta yang telah banyak berkorban selama penyusunan skripsi ini 2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen pembimbing pertama atas segala

arahan dan bimbingan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi.

3. Dr. Niknik Nurhayati selaku dosen pembimbing kedua atas segala arahan dan bimbingan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi.

4. Dr. Ir Ono Suparno, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan atas perbaikan dan penyempurnaan skripsi.

5. Seluruh staf dan karyawan di Laboratorium Teknologi Bioindustri, BPPT, Serpong, yang banyak membantu penulis selama melakukan penelitian. 6. Teman-teman seperjuangan di LTB (Laboratorium Teknologi Bioindustri):

Dinny Mutiah, Herwanto, Sari Suwandari, Dimas, dan lainnya atas dukungan dan kerjasamanya selama bekerja di laboratorium.


(19)

7. Kawan-kawan TIN 38, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2006


(20)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : SITI RAHMI FATIHIYAH

NRP : F34101092

Judul Skripsi : Deproteinasi Kulit Udang Secara Fermentasi Menggunakan Isolat Bacillus Licheniformis F11 Pada Ekstraksi Kitin

menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul diatas adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Februari 2006


(21)

UCAPAN TERI MAKASI H

Selama empat tahun enam bulan penulis berhasil menyelesaikan belajar di jurusan Teknologi I ndustri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian I nstitut Pertanian Bogor dengan penuh bimbingan, arahan, saran dan kritik dari semua pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. I bu Liebetini Hartoto yang telah membimbing penulis hingga dapat meraih yag dicita-citakan

2. I bu Niknik Nurhayati yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis selama melakukan penelitian hingga menyelesaikan skripsi ini 3. Seluruh staf pengajar TI N yang telah memberikan banyak ilmu kepada

penulis

4. Nugraheni Dyahwarni, Rizkiyana Utami, Anne Nurul Kusumawardani, Wini Pratiwi, Wina Eka Wahyu Lestari, Astrid I ndrajati, Rizka Hezmela, Dian Panca, Debbi Purnawati, A. Agung Purnama, M.Toni Darmawan, M.Affan Badar, atas kebersamaan selama 4 tahun

5. Teman-teman ROHI S 38, Nurmalia Muliyati, Asti Lestari, Retno Widyowati, Hanni Daylistiyo, Amalia Ulfah, Siti Muzdalifah, Berta Satyarini, Oriza Sativa, Deni Kurniawan, Anas Bunyamin, Bambang Kurniawan yang selalu saling membantu dan mengingatkan

6. Teman-teman satu bimbingan Azmidi Nazaruddin, M.Doni Darmawan, Nugraheni Dyahwarni atas perjuangan dan kerjasamanya

7. Mia Rahmawati, Vien Syafrina, I ka Kartika, Mila Hikmatunnisa, Nilla Amalia, Prima Luna, Laily Dwi atas indahnya keluarga kedua dan atas inspirasi hidup

8. Teman-teman BEM F 2003/ 2004, HI MALOGI N 2002/ 2003 yang telah memberikan pelajaran dan pengalaman hidup

9. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(22)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... iii DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vi DAFTAR LAMPIRAN ... vii I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1 B. TUJUAN ... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4 A. KLASIFIKASI DAN KOMPOSISI UDANG ... 4 B. KITIN ... 5 C. DEPROTEINASI ... 8 D. FERMENTASI ... 9 E. PROTEASE ... 11 III.METODE PENELITIAN ... 14 A. WAKTU DAN TEMPAT ... 14 B. BAHAN DAN ALAT ... 14 1. Bahan ... 14 2. Alat ... 14 C. METODOLOGI ... 15 1. Penyiapan Isolat Bakteri ... 15 2. Penyiapan Bahan Baku Kulit Udang ... 16 3. Penyiapan Media Fermentasi ... 18 4. Fermentasi Limbah Kulit Udang ... 18 5. Analisis Sampel ... 20 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

A. PENELITIAN TAHAP I

1. Variasi Penambahan Substrat Pada Kondisi

Steril Dan Nonsteril ... 24 a. Penambahan Substrat Langsung pada Kondisi Steril


(23)

iv

b. Penambahan Substrat Bertahap pada Kondisi Steril

dan Nonsteril ... 29

B. PENELITIAN TAHAP II ... 33 1. Variasi Persentase Inokulum ... 33 2. Variasi Ukuran Serpihan Kulit Udang ... 35 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38 A. KESIMPULAN ... 38 B. SARAN ... 39 DAFTAR PUSTAKA ... 40 LAMPIRAN ... 43


(24)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kulit dan limbah udang windu ... 5 Tabel 2. Komposisi (% bobot kering) kulit udang berdasarkan

proses pengupasan ... 7 Tabel 3. Persentase kadar kitin dan protein pada Crustacea ... 8


(25)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bagian-bagian udang ... 4 Gambar 2. Struktur berulang kitin ... 6 Gambar 3. Reaksi hidrolisis protein ... 8 Gambar 4. Diagram alir persiapan inokulum ... 17 Gambar 5. Persiapan bahan baku kulit udang ... 17 Gambar 6. Skema Penelitian Tahap I dengan variasi cara penambahan

substrat kulit udang pada kondisi steril dan nonsteril ... 22 Gambar 7. Skema Penelitian Tahap II dengan variasi

persentase inokulum ... 22 Gambar 8. Skema Penelitian Tahap II dengan variasi ukuran

serpihan kulit udang ... 23 Gambar 9. Kurva pertumbuhan dan kadar protein dalam media pada

penambahan substrat langsung ... 26 Gambar 10. Kurva pertumbuhan dan kadar protein kulit udang pada

penambahan substrat langsung ... 27 Gambar 11. pH media dan kadar protein kulit udang pada

penambahan substrat langsung ... 29 Gambar 12 Kurva pertumbuhan dan kadar protein dalam media pada

penambahan substrat bertahap ... 31 Gambar 13. Kurva pertumbuhan dan kadar protein kulit udang pada

penambahan substrat bertahap ... 32 Gambar 14. pH media dan kadar protein kulit udang pada

penambahan substrat bertahap ... 33 Gambar 15. Kadar protein kulit udang pada variasi persentase inokulum 35 Gambar 16. Kadar protein kulit udang pada


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Pembuatan larutan Bradford dan Prosedur

pengujian protein (metode standar) ... 43 Lampiran 2. Kurva Standar Protein ... 44 Lampiran 3. Komposisi Medium Agar LB (Luria Bertani) ... 45 Lampiran 4. Jumlah Sel (sel/ml) 107 Pada Penambahan

Substrat Langsung ... 46 Lampiran 5. Kadar Protein dalam Media (mg/ml) Kultur

Pada Penambahan Substrat Secara Langsung ... 47 Lampiran 6. Kadar Protein Kulit Udang (%) Pada

Penambahan Substrat Secara Langsung ... 48 Lampiran 7. Nilai pH Media Fermentasi Pada Penambahan

Substrat Secara Langsung ... 49 Lampiran 8. Jumlah Sel (sel/ml) 107 Pada Penambahan

Substrat Bertahap ………. 50 Lampiran 9. Kadar Protein Dalam Media (mg/ml)

Kultur Pada Penambahan Substrat Secara Bertahap ... 51 Lampiran 10. Kadar Protein Kulit Udang (%) Pada

Penambahan Substrat Secara Bertahap ... 52 Lampiran 11. Nilai pH Media Fermentasi Pada

Penambahan Substrat Secara Bertahap ... 53 Lampiran 12. Kadar Protein Kulit Udang (%) Variasi

Persentase Inokulum ... 54 Lampiran 13. Kadar Protein Kulit Udang (%) Variasi

Ukuran Serpihan Kulit Udang ... 55 Lampiran 14. Gambar Isolat B. licheniformis ... 56 Lampiran 15. Dokumentasi alat-alat yang digunakan selama penelitian … 57


(27)

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Udang merupakan komoditas handal perikanan utama Indonesia (Sudibyo, 1991). Komoditas udang pada saat ini mengalami peningkatan produksi, baik diperoleh dari usaha penangkapan di alam maupun dari hasil budidaya dengan menggunakan tambak udang. Departemen Kelautan dan Perikanan (2003) melaporkan, luas tambak udang keseluruhan adalah 250 ha, yang terdiri dari 100 ha tambak eks inti dan 150 ha tambak eks plasma.

Ekspor udang pada tahun 2002 yaitu sebesar 130.000 ton atau senilai 836.563.280 US$, tahun 2003 yaitu sebesar 140.000 ton atau senilai 850.222203 US$ dan tahun 2004 sampai dengan November sebesar 130.000 ton atau senilai 810.905.190 US$ (BPS, diolah oleh Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003). Menurut Sudibyo (1991), sekitar 80 hingga 90 persen udang di ekspor dalam bentuk udang udang beku tanpa kepala dan kulit. Bobot kulit dan kepala ini dapat mencapai 25 hingga 30 persen dari bobot udang utuh, sehingga dapat diperkirakan bahwa kulit dan kepala yang dihasilkan pada tahun 2004 sampai dengan November cukup besar yaitu sebanyak 40.000 ton.

Limbah udang mudah sekali rusak akibat degradasi mikroba, sehingga berpotensi besar mencemarkan lingkungan. Semakin pesatnya perkembangan produksi udang, maka dibutuhkan penanganan terhadap limbah udang secara khusus. Pemanfaatan limbah udang selama ini adalah untuk pencampur ransum pakan ternak, bahan pencampur pembuatan terasi, petis dan kerupuk udang. Sementara di negara maju seperti Jepang dan Jerman, limbah udang banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kitin dan kitosan (Bastaman, 1989). Kitin mempunyai prospek yang cukup besar sebagai bahan baku dengan berbagai kegunaannya di berbagai bidang. Kitin dan kitosan diketahui bernilai ekonomi tinggi dan telah dimanfaatkan untuk kosmetik, biomedis, farmasi, pertanian, pengolahan air limbah dan bidang bioteknologi (Suhartono, 1989).


(28)

2

Limbah udang merupakan sisa bagian tubuh yang biasanya berupa bagian kepala, kulit dan ekor (Moelyanto, 1979). Komposisi utama limbah udang adalah protein, kitin, lemak dan mineral (Chen dan Chen, 1991). Bagian kulit mengandung kitin yang lebih banyak dan protein yang lebih sedikit, sedangkan bagian kepala mengandung kitin yang lebih sedikit dan protein yang lebih banyak (No et al. 1989).

Kitin adalah polimer alami yang mempunyai banyak kelebihan, seperti mempunyai sifat biokompatibilitas, biodegradabilitas dan tidak beracun. Ornum (1992), menyatakan bahwa kitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam organik encer dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan lithium klorida. Sifat daya serap kitin yang baik dapat didayagunakan untuk menangani cemaran logam beracun dan zat pewarna tekstil yang terakumulasi dalam perairan dan dapat menyerap bahan berprotein yang terdapat dalam air limbah industri pengolahan pangan. Kitin juga berpotensi sebagai komoditas di bidang industri, misalnya sebagai aditif pada industri kertas, tekstil dan industri makanan. Kitin juga berpotensi sebagai bahan antibiotika dan benang operasi yang aman (Austin et al. 1981).

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan isolasi kitin, antara lain adalah jenis bahan baku dan proses ekstraksi kitin, yang meliputi deproteinasi dan demineralisasi. Untuk mendapat kitin dengan kualitas tinggi, proses deproteinasi dan demineralisasi merupakan proses yang paling penting (Knorr, 1991).

Deproteinasi umumnya dilakukan dengan menambahkan NaOH encer yang disertai dengan pemanasan secara kontinyu (Hackman, 1954). Proses ini diduga berpengaruh terhadap perubahan sifat kimiawi kitin (Foster dan Hackman, 1957). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penurunan kadar protein dan mineral pada kitin secara kimiawi menunjukkan hasil yang kurang baik. Hasil deproteinasi dengan mempergunakan asam kuat atau basa kuat seperti NaOH pada suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan produk karena terjadi penguraian protein


(29)

3

menjadi peptida dan asam amino, sehingga dapat berpengaruh terhadap perubahan sifat fisik kimiawi kitin.

Proses deproteinasi dapat juga dilakukan secara fermentasi dengan menggunakan mikroba penghasil protease, (Citoreksoko dan Nasution, 1999) contohnya menggunakan bakteri Bacillus licheniformis F11. Fermentasi diharapkan dapat mengurangi dampak pencemaran dan pemborosan energi, karena reaksinya bersifat spesifik, tidak beracun serta tidak membutuhkan energi yang tinggi. Mikroba sebagai sumber enzim lebih menguntungkan karena pertumbuhannya cepat dan dapat tumbuh pada substrat yang relatif murah, mudah ditingkatkan hasilnya melalui pengaturan kondisi pertumbuhan serta mampu menghasilkan enzim dengan pH optimum yang lebih tinggi (Crueger dan Crueger, 1984).

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses terbaik untuk penghilangan protein (deproteinasi) limbah kulit udang pada ekstraksi kitin secara fermentasi dengan menggunakan islolat Bacillus licheniformis F11.


(30)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KLASIFIKASI DAN KOMPOSISI UDANG

Udang termasuk ke dalam filum Artopoda, kelas Crustacea, ordo Decapoda dan Sub ordo Natania. Sub ordo ini terdiri dari tiga famili yaitu Segestiade, Palaemodae dan Penaidae (Sarwono, 1993). Tubuh udang terdiri atas tiga bagian besar, yaitu kepala dan dada (cephalathorax), badan atau bagian perut (abdomen) dan ekor. Seluruh tubuhnya terdiri atas ruas-ruas yang terbungkus oleh kerangka luar (eksoskeleton) yang terbuat dari semacam zat tanduk (kitin) yang diperkeras oleh bahan kapur CaCO3. Jumlah ruas pada badan udang terdiri atas 13 ruas yaitu lima ruas kepala dan delapan ruas dada. Skema susunan tubuh udang windu dapat dilihat pada Gambar 1.

Keterangan :

1. Cepalothorax 5. Pleopoda

2. Rostum 6. Telson

3. Antena 7. Uropoda

4. Periopoda

a, b, c, d, e : ruas abdomen ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5


(31)

5

Kulit udang mengandung komposisi kitin yang lebih baik dibandingkan dengan limbah udang secara keseluruhan. Perbandingan ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kulit dan limbah udang windu Komposisi1)

(%b/b)

Kulit Udang Limbah Udang 2)

Protein 16,9 35,8

Lemak 0,6 9,9

Serat 23,6 16,5

Kitin 23,5 15,9

Abu 63,6 38,1

Sumber : No et al. (1989) 1)

penentuan berdasarkan bobot kering 2)

limbah udang terdiri dari kepala, kulit dan ekor

Pada limbah kulit udang, kandungan kitin cukup besar yaitu 23,5%. Hal ini menyebabkan limbah kuit udang berpotensi sebagai bahan baku dalam memproduksi kitin. Selain itu, dalam limbah kulit udang juga terdapat protein sebesar 16,9% dan mineral (abu) sebesar 63,6%, sehingga dalam pemurnian kitin komponen tersebut perlu dihilangkan. Komponen-komponen tersebut perlu dihilangkan untuk menghasilkan produk kitin yang bermutu tinggi sehingga molekul-molekulnya menjadi lebih halus dan kelarutannya lebih rendah. Proses penghilangan protein (deproteinasi) diduga dapat menyebabkan pengurangan lemak dan logam dalam kulit udang, karena lemak dapat berasal dari lemak yang terikat dengan protein (lipoprotein), sehingga setelah protein terdegradasi maka lemak dapat terlepas dari kulit udang (Rohani, 2000).

B. KITIN

Kitin merupakan senyawa biopolimer berantai panjang dan tidak bercabang. Tiap rantai polimer terdiri dari 2000 hingga 5000 unit


(32)

6

monomer yang terpaut melalui ikatan β-1,4 glikosida. Unit monomer kitin mempunyai rumus molekul C18H12O5 dengan kadar C, H, N, O berturut-turut 47%, 6%, 7% dan 40% (Bastaman, 1989).

Struktur kitin sama dengan selulosa, yaitu ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan glukosida pada posisi β-1,4. Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon nomor dua, pada kitin digantikan dengan gugus asetamina (-NHCOCH3), sehingga kitin dapat menjadi polimer berunit N-Asetil glukosamin. Struktur kimia kitin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur berulang kitin (Bough, 1975)

Menurut Angka dan Suhartono (2000), kitin yang diperoleh dari berbagai sumber memiliki struktur yang sama, kecuali ikatannya dengan protein dan kalsium karbonat yang merupakan dua komponen lain pada kulit udang. Setelah protein kalsium dan kalsium karbonat dari kulit udang dihilangkan dengan pemberian garam dan basa, maka tinggallah kitin yang berbentuk materi kaku dan berpori yang relatif tahan terhadap perlakuan kimia dan infeksi mikroba. Komposisi kulit udang berdasarkan proses pengupasan dapat dilihat pada Tabel 2.


(33)

7

Tabel 2. Komposisi (% bobot kering) kulit udang berdasarkan proses pengupasan

Sumber Komposisi (%) bobot kering)

Protein Kitin Kalsium Karbonat

Pengupasan Tangan 27,2 57,4 15,3

Pengupasan Mekanis 22 42,3 35,7

Sumber : Angka dan Suhartono (2000)

Kitin adalah penyusun kerangka luar serangga, Moluska dan Crustacea. Diduga terdapat 37,3 ribu ton kitin per tahun yang diperoleh dari kulit kerang, kepiting dan udang, sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan baku industri (Yang et al., 2000).

Menurut Stephen (1995), kitin merupakan padatan amorf berwarna putih, dapat terurai secara hayati (biodegradable), terutama oleh bakteri penghasil enzim lisozim dan kitinase. Sifat kitin yang tidak beracun menyebabkan kitin banyak digunakan untuk keperluan pakan ternak dan kesehatan misalnya sebagai benang bedah.

Menurut Svitil et al. (1997), kitin dibedakan karena susunan rantai Nasetil-D-glukosamin yaitu α, , dan , derajat deasetilasi serta adanya ikatan silang seperti dengan protein dan glukan. Kitin dalam tubuh organisme terdapat dalam tiga bentuk kristal dan dibedakan atas susunan rantai molekul yang membangun kristalnya yaitu α-kitin (rantai antiparalel), -kitin (rantai paralel) dan -kitin yang terdiri atas tiga rantai (Angka dan Suhartono, 2000 ; Rudal, 1969).

Sebagai material pelindung Crustacea, kitin terdapat sebagai mukopolisakarida yang berasosiasi dengan kalsium karbonat dan berikatan kovalen dengan protein (Austin, 1984). Masih menurut (Austin, 1984), tidak semua protein berikatan kovalen dengan kitin. Sebagian besar protein berikatan secara fisik. Jumlah protein yang terikat secara kovalen dengan kitin setiap jenis Crustacea tidak sama seperti dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Muzi (1990), perbedaan jumlah protein yang terikat secara kovalen akan mempengaruhi mudah tidaknya proses deproteinasi. Oleh karena perbedaan antara jumlah protein total dengan jumlah protein


(34)

8

yang terikat secara kovalen, maka tidak ada proses deproteinasi yang optimum untuk setiap jenis Crustacea (Muzi, 1990).

Tabel 3. Persentase kadar kitin dan protein pada Crustacea (Austin, 1981)

C. DEPROTEINASI

Deproteinasi adalah proses penghilangan kadar protein pada suatu bahan. Ikatan peptida yang menghubungkan asam-asam amino pada molekul protein akan diputus dalam proses ini dengan reaksi hidrolisis. Menurut Sumaatmadja (1975), pada reaksi hidrolisis ikatan peptida, protein akan diuraikan menjadi peptida-peptida sederhana dan asam amino, dan bila asam-asam amino diuraikan lebih jauh membentuk gugus asam karboksilat dan amina. Reaksi yang akan terjadi dapat dilihat pada Gambar 3.

R1 H R2 R1 H R2

C C N C + H-O-H -C-C-OH + H-N-C-

H O H H O H

Gambar 3. Reaksi hidrolisis protein (Sumaatmadja, 1975)

Menurut Girindra (1986), hidrolisis protein dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu sebagai berikut.

Crustacea Kitin (%) Total Protein (%)

Protein Terikat Kovalen (%)

Kepiting biru 14,9 16,4 5,3

Kepiting batu 18,1 14,1 5,7

Kepiting merah 27,6 12,3 3,1

Kepiting ladam 26,4 73,3 27,9


(35)

9

1. Hidrolisis dengan Asam

Hidrolisis asam dilakukan dengan menggunakan asam anorganik kuat contohnya HCl dan dipanaskan dengan suhu mendidih serta dapat juga dilakukan dengan tekanan diatas satu atmosfer. Hidrolisis ini dilakukan dalam beberapa jam.

2. Hidrolisis dengan Basa

Hidrolisis basa dilakukan dengan menggunakan basa kuat seperti NaOH dan KOH, juga dilakukan pada suhu tinggi dalam beberapa jam.

3. Hidrolisis dengan Enzim

Hidrolisis enzim dilakukan dengan menggunakan enzim yang dihasilkan oleh mikroba penghasil protease seperti Bacillus licheniformis.

Hidrolisis protein secara enzimatis tidak seperti hidrolisis dengan asam atau basa. Hidrolisis menggunakan enzim dapat mencegah terjadinya kerusakan produk. Selain itu menurut Muchtadi et al. (1992), penggunaan enzim untuk suatu proses lebih menguntungkan karena kerja enzim sangat spesifik, sehingga tidak didapatkan reaksi samping atau hasil samping yang tidak dikehendaki. Bila mempergunakan enzim, tidak diperlukan suhu yang ekstrim seperti pada cara kimiawi, sehingga dapat lebih menghemat energi, dan yang juga menguntungkan yaitu dalam pemisahan produk yang dihasilkan aman dari bahan-bahan kimia sintetik yang umumnya bersifat toksik.

D. FERMENTASI

Fermentasi adalah proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan mikroba. Proses ini dapat berlangsung dalam lingkungan aerob atau anaerob, tergantung dari sifat


(36)

10

mikroba. Proses fermentasi akan berlangsung secara optimum dengan mengatur kondisi optimum dari mikroba untuk tumbuh (Rachman,1992).

Fermentasi dapat dilakukan dengan metode kultur terendam (media cair) dan kultur permukaan (media padat). Dewasa ini proses fermentasi untuk memproduksi berbagai produk lebih banyak menggunakan teknik kultur terendam, walau demikian kultur permukaan yang menggunakan media padat masih banyak digunakan untuk memproduksi berbagai jenis asam organik dan enzim (Rachman, 1992).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah sebagai berikut.

1. Suhu

Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Bakteri psikrofil tumbuh pada 0-30˚C, mesofil 25-40˚C, dan termofil pada suhu 50˚C atau lebih. Suhu tersebut mempengaruhi pertumbuhan atau peningkatan massa sel, reproduksi dan semua aktivitas yang dilakukan oleh mikroba. Suhu yang rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme, sedangkan suhu tinggi sampai batas tertentu akan mempercepat aktivitas sel. Suhu yang tinggi melebihi suhu maksimum akan menyebabkan kerusakan sel yang menyebabkan proses metabolisme menurun. Bacillus licheniformis tumbuh pada suhu maksimum 50-55˚C dan suhu minimum 15˚C (Gordon, 1972).

2. pH

Nilai pH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5-7,5. Namun beberapa spesies bakteri dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam ataupun sangat basa. Bagi kebanyakan bakteri, nilai pH minimum dan maksimum ialah 4 dan 9. Bakteri yang tumbuh pada suasana asam disebut asidofilik, pada susana netral disebut neutrofilik dan pada suasana basa disebut alkalifilik. Kondisi pH lebih dipengaruhi oleh komposisi media dan senyawa-senyawa asam atau basa yang dihasilkan dalam pertumbuhannya. Bacillus licheniformis


(37)

11

3. Komposisi Media

Secara umum, media fermentasi menyediakan semua nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan pembentuk sel dan biosintesis produk-produk metabolisme. Tergantung pada jenis mikroba dan produk yang akan diproduksi, setiap fermentasi memerlukan media tertentu karena bila media tidak sesuai dapat menyebabkan perubahan hasil metabolisme mikroba.

Senyawa-senyawa sumber karbon dan nitrogen merupakan komponen terpenting dalam media fermentasi, karena sel-sel mikroba dan berbagai produk fermentasi sebagian besar terdiri dari unsur karbon dan nitrogen. Di samping itu media fermentasi juga harus mengandung air, garam-garam anorganik dan mineral. Mineral seperti magnesium, fosfat, kalium, sulfur, kalsium dan kromium merupakan komponen penting dalam media fermentasi. Pemberian unsur tersebut ke dalam media fermentasi harus diperhatikan agar tidak melebihi kebutuhan. Konsentrasi nutrien yang terlalu tinggi dapat menghambat metabolisme (Rachman,1992).

Sumber nutrien yang digunakan sebagai media fermentasi harus memiliki syarat dapat memproduksi produk atau biomassa dengan hasil maksimum dan laju reaksi yang juga maksimum, mutu harus konsisten, murah dan tersedia sepanjang tahun, dan juga tidak menimbulkan masalah terhadap aerasi, agitasi, ekstraksi dan pemurnian serta perlakuan limbah. Sumber karbon yang biasa digunakan dalam media yaitu glukosa, sedangkan sumber nitrogennya dapat berasal dari ekstrak daging sapi, ekstrak khamir, garam triamonium sitrat dan sumber mineral lain seperti K2HPO4, Na asetat.3H2O, MgSO4.7H2O dan MnSO4 .4H2O (Atlas,1995).

E. PROTEASE

Protease dinamakan juga enzim peptidase, karena enzim protease bekerja dalam pemecahan molekul protein dengan memutuskan ikatan peptida (Girindra, 1986). Menurut Suhartono (1989), dilihat dari letak


(38)

12

pemecahan ikatan peptida, protease dibedakan menjadi eksoprotease dan endoprotease. Eksoprotease menguraikan protein dari ujung rantai, sehingga dihasilkan satu asam amino dan sisa peptida. Pada tingkat lanjut, enzim ini akan menghasilkan sejumlah asam amino. Golongan endoprotease menguraikan ikatan peptida dari bagian dalam rantai protein, sehingga dihasilkan peptida dan polipeptida. Oleh karena itu kebanyakan endoprotease hanya akan menghasilkan asam amino dalam jumlah terbatas.

Berdasarkan aktivitas pH optimumnya, protease digolongkan menjadi protease asam, netral dan basa (alkalin). Protease asam banyak dihasilkan oleh kapang dan khamir, tetapi jarang ditemukan pada bakteri. Enzim ini mempunyai pH optimum 3-4. Protease alkalin mempunyai pH optimum sekitar 9-11 (Ward, 1983).

Bacillus licheniformis merupakan bakteri yang potensial sebagai penghasil protease. Jenis protease yang dihasilkan oleh bakteri ini adalah enzim ekstraselular yang tergolong proteinase serin alkali (Aunstrup, 1978). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bisping (2004), yang hasilnya disampaikan pada Discussion Forum Program Prospect Of Chitin Production And Application In Indonesia, Jakarta. September 14th 2005, Bacillus licheniformis, secara khusus galur F11 sangat potensial untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya karena bersifat termofil yang banyak digunakan untuk produksi enzim industri. Selain itu proses fermentasi menggunakan Bacillus licheniformis dapat dijalankan tanpa tahap sterilisasi dengan suhu tinggi dan dapat menggunakan pH optimum Bacillus licheniformis untuk menghasilkan protease.

Protease yang dihasilkan oleh Bacillus licheniformis merupakan golongan endoprotease netral dan basa (alkalin) yang telah dapat dimurnikan dan dikristalkan. Enzim ini termasuk dalam protease serin karena mengandung gugus serin pada sisi aktifnya. Enzim ini bekerja sebagai endopeptida dan dihambat kuat oleh senyawa


(39)

diisopropil-13

fluorofosfat (DFP) karena adanya reaksi DFP dengan gugus hidroksi dari residu serin pada sisi aktif (Aunstrup,1978).

Bacillus licheniformis menghasilkan dua jenis protease, yang aktif pada pH netral sedangkan yang lainnya pada pH alkali. Protease yang dihasilkan oleh Bacillus licheniformis dikenal dengan nama Subtilisin Carlberg, yang diisolasi pertama kali oleh Guntelberg Lang dan Ottensen pada tahun 1953 (Ward,1983). Subtilisin Carlberg mempunyai pH optimum untuk aktivitasnya pada pH 8,0 sampai 11,0 dan stabil pada pH 5,0 hingga 10,0 pada suhu 25˚C. Enzim ini tahan sampai suhu 50˚C selama satu jam pada pH 8,5 serta dapat diinaktifkan dengan cepat pada pH di bawah 5,0 dan di atas 11,0 (Ward, 1983).


(40)

14

III. METODE PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri (LTB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), PUSPIPTEK, Serpong Tangerang dari bulan Februasi sampai Juli 2005.

B. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit udang basah yang telah dipisahkan dari kotoran dan daging ikutan. Kulit udang ini diperoleh dari industri pembekuan udang yaitu PT. Wirontono Baru yang terletak di kawasan industri Tanjung Priok, Jakarta Utara. Isolat bakteri yang digunakan adalah isolat Bacillus licheiformis F11 yang berasal dari koleksi Laboratorium Teknologi Bioindustri (LTB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), PUSPIPTEK, Serpong Tangerang. Bahan-bahan yang digunakan adalah media LB (Luria Bertani), ekstrak khamir, NaCl, tripton, bacto agar, NaOH 2 N dan Bovine Serum Albumin (BSA).

2. Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, waterbath, oven, mikroskop cahaya, blender Philips, autoklaf, gelas piala, pembakar Bunsen, cawan petri, cool centrifuge Nimac CR, labu erlenmeyer, gelas ukur, hemasitometer, inkubator, laminar air flow, stirer magnetic, pipet mikro, mikroskop elektron, pH-meter Knick, pinset, pipet volumetrik,

rotary shaker Kuhner, spatula, spektrofotometer Pharmacia ”LKB”, tabung Eppendorf, mikropipet, vortex mixer serta alat-alat lain yang terdapat pada Laboratorium Teknologi Bioindustri (LTB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), PUSPIPTEK, Serpong Tangerang. Selain itu digunakan juga penyaring getar Ristok yang berada


(41)

15

di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor untuk mengukur ukuran serpihan kulit udang.

C. METODOLOGI

Penelitian yang dilakukan adalah dengan memfermentasikan limbah kulit udang menggunakan B. licheniformis F11 dengan melakukan variasi cara penambahan substrat kulit udang pada kondisi steril dan nonsteril, variasi persentase inokulum dan variasi ukuran serpihan kulit udang, sehingga dapat menurunkan kadar protein pada kulit udang sampai serendah mungkin.

Pada fermentasi, suhu diatur pada 55oC dan agitasi 125 rpm. Hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bisping (2004), yang hasilnya disampaikan pada Discussion Forum Program Prospect Of Chitin Production And Application In Indonesia, Jakarta. September 14th 2005, pertumbuhan B. licheniformis F11 pada suhu 55oC dapat mendegradasi kadar protein dalam limbah kulit udang secara maksimal yaitu selama 48 jam dengan agitasi 125 rpm.

Media starter diinkubasi pada suhu 55oC selama 6-7 jam sampai mencapai jumlah bakteri 107-108. Fermentasi dilakukan selama 48 jam dan setiap 6 jam dilakukan pengambilan sampel terhadap media dan dilakukan perhitungan jumlah sel, pengukuran pH dan kadar protein media. Sampel kulit udang diambil setiap 12 jam selama fermentasi dan dilakukan analisis kadar protein pada kulit udang (Yang et al. 2000)

1. Penyiapan Isolat Bakteri

Tahapan persiapan isolat B. licheniformis F11 adalah sebagai berikut. a. Persiapan Media Regenerasi

Media yang digunakan adalah media LB (Luria Bertani), yaitu NaCl sebanyak 0,5 gram, ekstrak khamir 0,5 gram, tripton 1 gram dan bactoagar 2 gram dilarutkan dalam 100 ml air suling, dihomogenkan dengan pengaduk magnet, kemudian pH diatur dengan penambahan asam atau basa menjadi pH netral dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 112oC selama 15 menit. Setelah itu didinginkan dan dituang pada


(42)

16

cawan petri sehingga menjadi stok media agar steril yang siap digunakan.

b. Persiapan Media Pertumbuhan (Inokulum)

Media yang digunakan adalah media LB (Luria Bertani) namun tanpa penambahan agar. NaCl sebanyak 0,5 gram, ekstrak khamir 0,5 gram, tripton 1 gram dilarutkan dalam 100 ml air suling, dihomogenkan dengan pengaduk magnet, kemudian pH diatur dengan penambahan asam atau basa menjadi pH netral dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 112oC selama 15 menit.

c. Penyegaran Isolat Bakteri

Isolat bakteri disebar pada media LB (Luria Bertani) menggunakan metode penggoresan kuadran (Hadiutomo, 1993). Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.

d. Penyiapan Kultur Isolat Bakteri

Satu lup bakteri diinokulasi dalam 100 ml media starter dalam labu erlenmeyer 250 ml yang sebelumnya telah disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Kultur ini diinkubasi pada rotary shaker

Kuhner dengan suhu 55oC dan agitasi 150 rpm selama 7 jam. Kultur ini selanjutnya disebut inokulum. Tahapan persiapan inokulum B. licheniformis F11 dapat dilihat pada Gambar 4.

2. Penyiapan Kulit Udang

Mula-mula bahan baku kulit udang dihancurkan menjadi partikel-partikel kecil menggunakan blender Philips dengan waktu penghancuran selama 6 menit dan dengan penambahan air sebanyak 200 ml. Tahapan persiapan bahan baku kulit udang dapat dilihat pada Gambar 5.


(43)

17

Gambar 4. Diagram alir persiapan inokulum

Gambar 5. Persiapan bahan baku kulit udang Kulit udang

Penghancuran dengan blender

Philips (t=6 menit)

Kulit udang basah Air 200 ml

Pencucian dan pembersihan dari kotoran dan daging ikutan

Penyaringan

Isolat B. licheniformis F11

Satu lup biakan agar miring B. licheniformis

Inokulum

Inokulasi dalam 100 ml media cair steril LB

Inkubasi dalam Rotary shaking incubator, 55oC, 150 rpm, 6-7 jam Penyegaran pada media agar (37oC, 24 jam)


(44)

18

3. Penyiapan Media Fermentasi

Komposisi media fermentasi terdiri dari NaCl 0,5% dan ekstrak khamir 0,1%, selanjutnya dilakukan penambahan kulit udang sebanyak 30% (b/v). Persentase diambil dari volume kerja fermentasi. Fermentasi dilakukan dalam labu erlenmeyer 500 ml (volume kerja 100 ml).

4. Fermentasi Limbah Kulit Udang

Tujuan fermentasi limbah kulit udang ini adalah untuk melakukan penghilangan protein (deproteinasi) limbah kulit udang dengan beberapa perlakuan. Fermentasi limbah kulit udang dilakukan dalam dua tahapan penelitian. Pada penelitian Tahap I, fermentasi limbah kulit udang dilakukan pada variasi cara penambahan substrat kulit udang dengan kondisi steril dan nonsteril. Penambahan substrat kulit udang dilakukan secara langsung dan bertahap. Penambahan substrat kulit udang secara langsung dilakukan dengan menambahkan secara langsung substrat kulit udang ke dalam media fermentasi sebanyak 30% (b/v) dari volume fermentasi. Sedangkan penambahan substrat secara bertahap dilakukan dengan menambahkan substrat kulit udang sebanyak 10% di awal fermentasi, kemudian pada jam ke-12 dilakukan penambahan kembali substrat kulit udang sebanyak 20%. Penambahan substrat secara bertahap dilakukan untuk membiasakan mikroba pada media substrat kulit udang. Pada penambahan kulit udang 10%, diharapkan mikroba dapat beradaptasi dengan kondisi fermentasi dan kemudian mengalami pertumbuhan sel mencapai pertumbuhan eksponensial sehingga proses penghilangan protein pada kulit udang semakin maksimal. Kondisi steril yang dilakukan pada media fermentasi dengan penambahan substrat kulit udang adalah dengan perlakuan sterilisasi menggunakan autoklaf121oC selama 15 menit dan kondisi nonsteril adalah tanpa sterilisasi. Tujuan perlakuan tanpa sterilisasi adalah untuk efisiensi energi dan waktu pada proses deproteinasi kulit udang. Selanjutnya, pada penelitian Tahap II, fermentasi dilakukan dengan variasi persentase inokulum yaitu 10%, 20% dan 30%


(45)

19

dan variasi ukuran serpihan kulit udang yaitu 2,1 mesh, 2,5 mesh dan 3,5 mesh.

Fermentasi dilakukan dalam labu erlenmeyer 500 ml (volume kerja 100 ml) yang diinkubasikan pada incubator shaker suhu 55oC dengan kecepatan agitasi 125 rpm dengan dua kali ulangan.

Pengambilan sampel media kultur dilakukan setiap 6 jam sekali selama 48 jam dan analisis yang dilakukan adalah jumlah sel (kurva pertumbuhan) dengan metode hemasitometer, pengukuran pH dan pengukuran kadar protein media kultur dengan metode Bradford (1976). Pengambilan sampel kulit udang diambil setiap 12 jam selama fermentasi yaitu 48 jam dan dilakukan analisis kadar protein kulit udang (Yang et al.

2000).

Pada penelitian Tahap II, fermentasi kulit udang dilakukan dengan variasi persentase inokulum pada 10%, 20% dan 30% (v/v) dan variasi ukuran serpihan kulit udang yaitu 2,1 mesh, 2,5 mesh dan 3,5 mesh. Variasi ukuran serpihan kulit udang didapat dengan melakukan variasi waktu penghancuran pada kulit udang dengan menggunakan blender

Philips yaitu pada 6 menit (T6’), 12 menit (T12’) dan 18 menit (T18’). Penghancuran limbah kulit udang pada waktu 6 menit, 12 menit dan 18 menit menghasilkan ukuran serpihan kulit udang berturut-turut adalah 2,1 mesh, 2,5 mesh dan 3,5 mesh. Pengukuran ini dilakukan dengan menyaring sampel kulit udang yang telah dihancurkan kemudian dikeringkan pada oven 80oC, 24 jam dan selanjutnya dilakukan pengukuran serpihannya. Ukuran serpihan didapat dengan melakukan penyaringan menggunakan penyaring getar Ristok yang berada di Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor.

Fermentasi dilakukan dalam labu erlenmeyer 500 ml (volume kerja 100 ml) yang diinkubasikan pada incubator shaker suhu 55oC dengan kecepatan agitasi 125 rpm dengan dua kali ulangan.

Pengambilan sampel kulit udang pada variasi persentase inokulum dilakukan setiap 12 jam sekali selama 48 jam. Analisis yang dilakukan


(46)

20

adalah kadar protein pada kulit udang. Sampling kulit udang sebanyak @ 3 gram pada t= 0, 12, 36, 48 jam.

Pengambilan sampel kulit udang pada variasi ukuran serpihan kulit udang 2,1 mesh, 2,5 mesh dan 3,5 mesh dilakukan setiap 24 jam selama 48 jam. Analisis yang dilakukan adalah kadar protein kulit udang. Sampling kulit udang sebanyak @ 3 gram dilakukan pada t= 0, 24, 48 jam.

Skema Penelitian Tahap I dan II dapat dilihat pada Gambar 6, 7, 8.

5. Analisis Sampel

1. Analisa Jumlah Sel Metode Hemasitomer (Hadiutomo, 1993)

Langkah pertama adalah menyiapkan alat-alat yang digunakan seperti hemasitomer, pipet makro, tabung Eppendorf, dan mikroskop. Sampel media biakan B. licheniformis F11 disiapkan.

Permukaan hemasitomer dibersihkan dengan alkohol, demikian pula dengan kaca tutup hemasitomer. Suspensi mikroba diambil sebanyak 100 μL, dengan menggunakan pipet mikro kedalam tabung

Eppendorf. Kemudian diencerkan dengan garam fisiologis 89% sebanyak 900 μL dan divortex. Suspensi B. licheniformis F11 diambil sebanyak ± 10-20 μL menggunakan pipet mikro, lalu ujung pipet diletakkan pada tepi kaca hemasitomer. Hemasitomer diletakkan pada mikroskop dan dilakukan perhitungan dengan membagi area hemasitomer menggunakan metode hitungan mikroskopis dan dicatat.

2. Pengukuran pH

Pengukuran pH sampel cairan fermentasi dilakukan dengan menggunakan pH meter Knick yang telah dikalibrasi dengan larutan standar. Sampel cairan fermentasi langsung di ukur pH tanpa pengenceran dan perlakuan lain sebelumnya.

3. Penentuan Kadar Protein Media Kultur (Bradford, 1976)

Sampel media diambil sebanyak 1-2 ml ke dalam tabung


(47)

21

selama 20 menit (4oC, 10000 rpm). Sebanyak 40μL supernatan ditambah dengan 2 ml pereaksi Bradford, kemudian divortex lalu diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang (± 28oC) dan kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm.

Standar yang digunakan adalah standar protein Bovine Serum Albumin (BSA) pada konsentrasi beragam, terdiri dari 0; 0,2 ;0,4 ;0,6 ;0,8 ;1 (Lampiran 1). Sedangkan blanko yang digunakan adalah air suling. Protein yang diperoleh dinyatakan dalam satuan mg/ml.

4. Pengukuran Kadar Protein Kulit Udang (Yang et al. 2000)

Analisis kadar protein kulit udang setelah deproteinasi dilakukan dengan mengekstraksi kulit udang dengan menggunakan 2 N NaOH pada rasio 3:8 (w/v) dengan pemanasan pada suhu 100°C selama 30 menit, kemudian supernatan diukur kadar proteinnya dengan metode Bradford (1976). NaOH digunakan untuk melarutkan protein, dimana protein akan terekstrak dalam bentuk Na-proteinat. Protein yang terekstrak bersifat larut dalam air dan akan hilang terbawa air pada saat pencucian.

Sebanyak 3 gram sampel kulit udang di ambil pada labu erlenmeyer 100 ml dan di tambahkan dengan 8 ml NaOH 2 N. Setelah itu dipanaskan pada waterbath 100oC selama 30 menit. Sentrifugasi pada tabung sentrifuse 14 ml dilakukan menggunaka cool centrifuge

selama 20 menit (4oC, 10000 rpm). Sebanyak 40μL supernatan ditambah dengan 2 ml pereaksi Bradford, kemudian divortex lalu diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang (± 28oC) dan kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm.


(48)

22

Gambar 6. Skema Penelitian Tahap I dengan variasi cara penambahan substrat kulit udang pada kondisi steril dan nonsteril

Gambar 7. Skema Penelitian Tahap II dengan variasi persentase inokulum 30% kulit udang

Pengambilan sampel

Fermentasi 55oC, agitasi 125 rpm, 48 jam Sterilisasi dan nonsterilisasi Inokulum B.

licheniformis

Media fermentasi (100 ml)

Fermentasi 55oC, agitasi 125 rpm, 48 jam Inokulasi

10% Inokulum (50 ml)

Inokulasi 20% Inokulum (100 ml)

Inokulasi 30% Inokulum (150 ml)

Pengambilan sampel Media fermentasi (500 ml)


(49)

23

Gambar 8. Skema Penelitian Tahap II dengan variasi ukuran serpihan kulit udang

Fermentasi 55oC, agitasi 125 rpm, 48 jam Inokulasi 20% inokulum

Pengambilan sampel Media Fermentasi dengan

Tpenghancuran kulit udang 12 menit (100 ml)

Media Fermentasi dengan

Tpenghancuran kulit udang 18 menit (100 ml) Media Fermentasi

dengan

Tpenghancuran kulit udang 6 menit (100 ml)


(50)

24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN TAHAP I

1. Variasi Cara Penambahan Substrat Pada Kondisi Steril Dan Nonsteril

a. Penambahan Substrat Langsung pada Kondisi Steril dan Nonsteril

Penambahan substrat secara langsung pada kondisi steril dan nonsteril dilakukan untuk mempelajari pengaruh penambahan substrat kulit udang secara langsung kondisi steril dan nonsteril pada proses deproteinasi. Proses ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh jumlah sel terhadap kadar protein pada media kultur, jumlah sel terhadap penurunan kadar protein pada kulit udang dan pH media terhadap penurunan kadar protein pada kulit udang.

Kurva pertumbuhan

Berdasarkan data yang diperoleh pada Lampiran 4, jumlah sel pada penambahan substrat langsung kondisi steril pada jam ke-0 adalah 6,ke-03x1ke-07 sel/ml. Kurva pertumbuhan sel mencapai fase lag mulai jam ke-0 hingga jam ke-6. Fase logaritmik terjadi antara jam ke-6 hingga jam ke-30, fase stasioner pada jam ke-30 hingga jam ke-36 dan fase kematian setelah jam ke-36. Kenaikan jumlah sel tertinggi terjadi pada jam ke-36 (10,45x107 sel/ml). Jumlah sel pada kondisi nonsteril pada jam ke-0 adalah 6,36x107 sel/ml. Sama halnya dengan kondisi steril, fase lag mulai ke-0 hingga jam ke-6. Fase logaritmik dicapai pada jam ke-6 hingga jam ke-30 dan fase stasioner antara jam ke-30 dan jam ke-36. Fase kematian setelah jam ke-36. Jumlah sel tertinggi terjadi pada jam ke-36 (12,95x107 sel/ml). Ilyas (1983), mengatakan bahwa pada fase lag, sel sedang beradaptasi untuk mensintesis enzim-enzim yang diperlukan


(51)

25

selama metabolisme. Pertumbuhan berlangsung cepat pada fase logaritmik, sebab sel telah beradaptasi dengan lingkungan.

Kadar Protein Pada Media Kultur

Kadar protein pada media kultur baik pada kondisi steril maupun nonsteril nilainya berfluktuatif dari jam ke-0 hingga jam ke-18, selanjutnya terus menurun hingga akhir fermentasi. Nilai kadar protein media ini memiliki kecenderungan dan berpola untuk kondisi steril maupun non steril. Kadar protein dalam media untuk kondisi steril pada awal fermentasi hingga jam ke-18 nilainya berfluktuatif dan jumlah sel berada pada fase logaritmik. Kemudian kadar protein menurun dan jumlah sel berada pada fase stasioner kemudian mengalami kematian. Untuk kondisi nonsteril pada awal fermentasi hingga jam ke-18 nilainya berfluktuatif dan jumlah sel meningkat dan berada pada fase logaritmik. Kadar protein menurun dan jumlah sel berada pada fase logaritmik hingga jam ke-30 kemudian stasioner dan mengalami kematian.

Kadar protein media meningkat setelah ditambahkan isolat

B. licheniformis F11. Hal ini disebabkan karena protein media dapat berasal dari protease yang diproduksi oleh B. licheniformis.

Selain itu dapat pula berasal dari protein terlarut dari kulit udang. Fluktuasi kadar protein media terjadi karena adanya pengurangan protein akibat aktivitas hidrolisis protein oleh protease dan atau penambahan protein berupa protein yang diproduksi oleh B. licheniformis. Memasuki fase stasioner atau kematian, bakteri tidak lagi memproduksi protein sehingga dalam kultur media hanya terjadi hidrolisis protein oleh protease sehingga pada fase ini kadar protein media cenderung menurun atau konstan.


(52)

26 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu (jam )

K a da r P rot e in M e di a ( m g/ m l) 7.6 7.7 7.8 7.9 8 8.1 8.2 Ku rv a P e rt um buha n (l o g ju ml a h s e l)

kadar protein media steril kadar protein media nonsteril kurva pertumbuhan steril kurva pertumbuhan nonsteril

Gambar 9. Kurva pertumbuhan dan kadar protein dalam media pada penambahan substrat langsung Kadar Protein Kulit Udang

Kadar protein kulit udang kondisi steril seperti dapat dilihat pada Lampiran 6, mengalami penurunan yaitu pada awal fermentasi (jam ke-0) adalah sebesar 8,04% menjadi 4,99% pada jam ke-36 dan pada akhir fermentasi (jam ke-48) yaitu 5,14% (Gambar 9). Kadar protein kulit udang cenderung terus menurun selama fermentasi. Persentase penurunan kadar protein kulit udang mencapai 36,08% di akhir fermentasi (jam ke-48).

Kadar protein kulit udang kondisi nonsteril mengalami penurunan dari awal fermentasi (jam ke-0) adalah sebesar 8,25% menjadi 4,89% pada akhir fermentasi (jam ke-48). Kadar protein kulit udang terus menurun seiring dengan pertumbuhan sel bakteri. Persentase penurunan kadar protein kulit udang mencapai 40,64% pada jam ke-48.

Penurunan kadar protein kulit udang selama fermentasi terjadi karena sel bakteri yang ditambahkan telah beradaptasi sehingga bakteri dapat segera mensintesis protease. Enzim ini mempunyai aktivitas memecah molekul protein dengan memutuskan ikatan peptida, sehingga terbentuk asam amino dan sisa peptida (Suhartono, 1989).


(53)

27

1 4 7 10

0 12 24 36 48

Waktu (jam )

K a da r P ro te in K u li t U d a n g (% ) 7.6 7.8 8 8.2 K ur v a P e rt um bu ha n (l o g ju ml a h s e l)

kadar protein kulit udang steril kadar protein kulit udang nonsteril kurva pertumbuhan steril kurva pertumbuhan nonsteril

Gambar 10. Kurva pertumbuhan dan kadar protein kulit udang pada penambahan substrat langsung

Nilai pH

Nilai pH fermentasi cenderung meningkat seiring dengan penurunan kadar protein kulit udang selama fermentasi. Nilai pH kondisi steril pada jam ke-0 yaitu 8,5, kemudian naik mencapai 8,7 pada jam ke-30 dan di akhir fermentasi (jam ke-48) nilai pH adalah 9. Pada kondisi nonsteril, nilai pH pada jam ke-0 yaitu 8,3 dan tidak mengalami penurunan ataupun peningkatan yang berarti sampai jam ke-36 yaitu dengan nilai 8,8, kemudian semakin naik pada jam ke-42 hingga jam ke-48 yaitu dengan nilai pH 9. Proses penghilangan protein (deproteinasi) kulit udang melalui proses hidrolisis secara enzimatis, menyebabkan peningkatan nilai pH media fermentasi. Secara umum, nilai pH pada penambahan substrat langsung pada kondisi steril dan nonsteril yang diperlihatkan pada Lampiran 7.

Hidrolisis protein menghasilkan asam amino bebas sebagai unit pembangunnya yang tersusun melalui ikatan peptida (Lehninger, 1993). Setiap jenis protein menghasilkan jenis-jenis asam amino yang khas setelah proses hidrolisis, dan bila asam-asam amino diuraikan lebih jauh membentuk gugus asam-asam karboksilat dan amina. Menurut No et al. (1989), kulit udang mengandung asam amino 67,2 mg/g dengan komposisi asam


(54)

28

amino tersebut adalah asam aspartat (4,3 mg/g), treonin (2,1 mg/g), serin (2,4 mg/g), prolin (3,8 mg/g), asam glutamat (5,2 mg/g), glisin (4,1 mg/g), alanin (2,6 mg/g), valin (2,1 mg/g), sistein (0,2 mg/g), metionin (0,3 mg/g), isoleusin (1,4 mg/g), leusin (2,5 mg/g), tirosin (28,4 mg/g), penilalanin (2,3 mg/g), lisin (2,2 mg/g), histidin (0,7 mg/g), arginin (2,6 mg/g). Selama fermentasi, nilai pH media cenderung meningkat pada kondisi steril maupun nonsteril, hal ini diduga terjadi karena proses hidrolisis protein oleh protease menghasilkan asam amino dan kemudian terurai lebih jauh membentuk gugus karboksilat dan amina. Meningkatnya produksi gugus amina sebagai hasil penguraian asama amino menyebabkan nilai pH meningkat pada media fermentasi. Asam amino digolongkan atas dasar polaritas gugus R. Golongan non-polar mencakup alanin, leusin, isoleusin, valin, fenilalanin, triptofan dan metionin. Golongan polar-netral termasuk glisin, serin, treonin, sistein, tirosin, asparagin dan glutamin. Golongan bermuatan negatif (asam) mengandung asam aspartat dan asam glutamat dan golongan bermuatan positif (basa) mengandung arginin, lisin dan histidin (Lehninger, 1993).

Pada Gambar 11, ditunjukkan kecenderungan meningkatnya nilai pH seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Persentase penurunan kadar protein kulit udang yang semakin tinggi yang ditandai dengan kadar protein kulit udang yang semakin rendah, meningkatkan nilai pH deproteinasi. Fennema (1985), menyatakan bahwa kelarutan protein pada suasana basa lebih besar dibandingkan pada suasana asam.


(55)

29

Gambar 11. pH media dan kadar protein kulit udang pada penambahan substrat langsung

b. Penambahan Substrat Bertahap pada Kondisi Steril dan Nonsteril

Penambahan substrat bertahap pada kondisi steril dan nonsteril dilakukan untuk mempelajari pengaruh penambahan substrat kulit udang secara bertahap kondisi steril dan nonsteril pada proses deproteinasi. Penambahan substrat kulit udang dilakukan secara bertahap sebanyak 30 persen pada media fermentasi dengan volume kerja fermentasi 100 ml. Pada awal fermentasi diberikan substrat sebanyak 10 persen kemudian selanjutnya 20 persen pada jam ke-12. Kondisi nonsteril yang dilakukan pada media fermentasi dengan penambahan substrat kulit udang adalah tanpa perlakuan sterilisasi.

Kurva Pertumbuhan

Jumlah sel pada penambahan substrat bertahap kondisi steril pada jam ke-0 adalah 6,25x107 sel/ml. Kurva pertumbuhan sel mencapai fase lag mulai jam ke-0 hingga jam ke-6. Kemudian fase logaritmik dicapai pada jam ke-6 hingga jam ke-30, fase stasioner pada jam ke-30 hingga jam ke-42 dan fase kematian setelah jam ke-42. Kenaikan jumlah sel tertinggi terjadi pada jam ke-30 (9,43x107 sel/ml). Kurva pertumbuhan pada kondisi

1 4 7 10

0 12 24 36 48

Waktu (jam) K a da r P rot ein Kuli t Uda n g (%) 7 7.5 8 8.5 9 9.5 pH Medi a

kadar protein kulit udang steril kadar protein kulit udang nonsteril pH media steril


(56)

30

nonsteril mencapai fase lag pada jam ke-0 hingga jam ke-6. Fase logaritmik antara jam ke-6 hingga jam ke-18 , kemudian fase stasioner pada jam ke-18 hingga jam ke-30 dan fase kematian setelah jam ke-30. Jumlah sel tertinggi terjadi pada jam ke-36 (13,38x107 sel/ml).

Kadar Protein Pada Media Kultur

Kadar protein pada media kultur baik pada kondisi steril maupun nonsteril nilainya berfluktuatif dari awal hingga akhir fermentasi. Data hasil penelitian yang dapat dilihat pada Lampiran 12, nilai kadar protein media untuk kondisi steril pada awal fermentasi hingga jam ke-12 nilainya meningkat dan jumlah sel meningkat dan berada pada fase logaritmik. Kemudian kadar protein menurun hingga jam ke-36 dan meningkat kembali hingga akhir fermentasi dimana jumlah sel berada pada fase stasioner kemudian mengalami fase kematian.

Untuk kondisi nonsteril, pada awal fermentasi hingga jam ke-12 nilainya meningkat dan jumlah sel meningkat dan berada pada fase logaritmik. Kemudian kadar protein menurun hingga jam ke-30 dan meningkat kembali hingga akhir fermentasi. Jumlah sel berada pada fase pertumbuhan hingga jam ke-30 kemudian stasioner dan mengalami kematian. Jumlah sel pada kondisi steril lebih sedikit dibandingkan pada kondisi nonsteril, tetapi kadar protein media lebih besar pada kondisi steril dibandingkan pada kondisi nonsteril. Hal ini terjadi karena kondisi steril adalah perlakuan untuk mencegah kontaminasi dari sel bakteri lain pada media fermentasi, sehingga sel yang tumbuh hanya B. licheniformis F11 yang dapat segera mensintesis protease yang terukur sebagai protein dalam media fermentasi.


(57)

31 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu (jam )

K a d a r P rot e in M e di a (m g /m l) 7.6 7.7 7.8 7.9 8 8.1 8.2 K u rv a P e rt u m bu ha n (l o g (j um la h s e l)

kadar protein media steril kadar protein media nonsteril kurva pertumbuhan steril kurva pertumbuhan nonsteril

Gambar 12. Kurva pertumbuhan dan kadar protein dalam media pada penambahan substrat bertahap Kadar Protein Kulit Udang

Kadar protein kulit udang kondisi steril seperti dapat dilihat pada Lampiran 13. Pada awal fermentasi (jam ke-0) adalah sebesar 6,85% menjadi 4,54% pada jam ke-12, dan cenderung meurun hingga akhir fermentasi (jam ke-48) yaitu 3,61% (Gambar 12). Kadar protein kulit udang terus menurun seiring dengan pertumbuhan sel bakteri, tetapi pada jam ke-36 pertumbuhan sel berada pada fase stasioner kemudian mengalami fase kematian. Persentase penurunan kadar protein kulit udang pada akhir fermentasi mencapai 47,34%.

Kadar protein kulit udang kondisi nonsteril pada awal fermentasi (jam ke-0) adalah sebesar 7,02% dan menjadi 3,74% pada jam ke-24 dan cenderung menurun di akhir fermentasi (jam ke-48) yaitu 3,83%. Persentase penurunan kadar protein kulit udang mencapai 45,45%. Penurunan kadar protein kulit udang pada kondisi steril lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi nonsteril. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang dihasilkan pada kondisi steril, yang merupakan mikroorganisme penghasil protease yang dapat mendegradasi protein pada kulit udang. Pada kondisi nonsteril, walaupun dengan jumlah sel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada kondisi


(58)

32 0 2 4 6 8

0 12 24 36 48

Waktu (jam )

K a da r P rote in K u li t U d a n g (% ) 7.6 7.7 7.8 7.9 8 8.1 8.2 K u rv a P e rt um bu ha n (lo g ju m la h se l)

kadar protein kulit udang steril kadar protein kulit udang nonsteril kurva pertumbuhan steril kurva pertumbuhan nonsteril

steril, tetapi jumlah sel tersebut sebagian merupakan sel mikroorganisme kontaminan yang diduga tidak menghasilkan protease yang dapat mendegradasi protein dalam kulit udang, sehingga penurunan kadar protein pada kulit udang kurang maksimal.

Berdasarkan data hasil pengukuran kadar protein kulit udang, maka pada penelitian selanjutnya digunakan cara penambahan substrat kulit udang secara bertahap pada kondisi steril.

Gambar 13. Kurva pertumbuhan dan kadar protein kulit udang pada penambahan substrat bertahap

Nilai pH

Kadar protein kulit udang menurun seiring dengan naiknya nilai pH pada media fermentasi. Nilai pH kondisi steril pada jam ke-0 yaitu 9,2 dan semakin menurun hingga jam ke-36 yaitu 8,9 kemudian kembali pada nilai 9,2 di akhir fermentasi (jam ke-48). Pada kondisi nonsteril, nilai pH pada jam ke-0 yaitu 8,5, mengalami peningkatan hingga akhir fermentasi pada jam ke-48 yaitu dengan nilai pH 9,2. Secara umum, nilai pH pada penambahan substrat bertahap pada kondisi steril dan nonsteril yang diperlihatkan pada Lampiran 11.


(59)

33

Pada Gambar 14 ditunjukkan kecenderungan nilai pH hasil fermentasi. Persentase penurunan kadar protein kulit udang yang semakin besar yang ditandai dengan kadar protein kulit udang yang semakin kecil, semakin meningkatkan nilai pH deproteinasi. Hal ini berarti proses penghilangan protein dalam kulit udang semakin efektif.

Gambar 14. pH media dan kadar protein kulit udang pada penambahan substrat bertahap

B. PENELITIAN TAHAP II 1. Variasi Persentase Inokulum

Proses deproteinasi kulit udang pada tahap ini dilakukan dengan memberikan perlakuan variasi persentase inokulum yang ditambahkan dalam media fermentasi. Persentase inokulum yang diberikan adalah 10 persen, 20 persen dan 30 persen (v/v). Persentase diambil dari volume kerja fermentasi yaitu 500 ml. Pada perlakuan ini diberikan cara penambahan substrat kulit udang secara bertahap pada kondisi fermentasi steril yang merupakan perlakuan terbaik yang dihasilkan pada penelitian Tahap I. Analisis yang dilakukan adalah analisis kadar protein kulit udang (Yang et al. 2000).

Kadar protein kulit udang pada variasi persentase inokulum 30% di awal fermentasi yaitu 6,46% dan mencapai penurunan yang maksimum yaitu 3,54% pada akhir fermentasi (Gambar 14) dengan persentase penurunan kadar protein sebesar 45,25%. Pada inokulum

1 4 7 10

0 12 24 36 48

Waktu (jam) Ka d a r P rotein K u li t Udang (% ) 7 7.5 8 8.5 9 9.5 pH Me di a

kadar protein kulit udang steril kadar protein kulit udang nonsteril pH media steril


(60)

34

10%, di awal fermentasi kadar protein adalah 8,00% dan terus mengalami penurunan hingga akhir fermentasi yaitu 4,03%. Persentase penurunan kadar protein mencapai 49,64%. Untuk penambahan inokulum sebesar 20%, kadar protein di awal fermentasi adalah 7,98% dan mengalami penurunan hingga akhir fermentasi yaitu sebesar 3,86% dan persentase penurunan kadar protein mencapai 51,69%. Data hasil penelitian dengan variasi persentase inokulum dapat dilihat pada Lampiran 12.

Penurunan kadar protein pada kulit udang dengan penambahan inokulum yang berbeda-beda, rata-rata mencapai 50% dan penurunan kadar protein terbesar adalah pada penambahan inokulum 20% yaitu sebesar 51,69%.

Jumlah inokulum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lamanya fase adaptasi mikroba. Penurunan kadar protein selama fermentasi terjadi karena mikroba yang digunakan telah beradaptasi dengan lingkungan fermentasi dan segera mensintesis protease yang dapat mendegradasi protein. Selain itu, bakteri yang menghasilkan protease selama fermentasi akan semakin banyak melepaskan protein dari ikatannya, akibatnya terjadi pengurangan jumlah protein dalam kulit udang. Hal ini terjadi karena konsentrasi inokulum optimum yang diberikan akan meningkatkan pertumbuhan mikroba penghasil protease, sehingga akan banyak protein yang terlepas dari ikatannya dan akibatnya pengurangan jumlah protein pun meningkat.


(1)

Lampiran 13. Kadar Protein Kulit Udang (%) Variasi Ukuran Serpihan Kulit Udang Jam ke-

T 6' T 12' T 18'

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

0 8.10 8.14 8.12 7.48 7.78 7.63 7.94 7.79 7.87

24 3.36 3.54 3.45 2.06 2.01 2.04 2.75 2.73 2.74


(2)

(3)

Lampiran 15. Dokumentasi alat-alat yang digunakan selama penelitian

Gambar 1. Spektrofotometer Pharmacia ”LKB”


(4)

Gambar 3. Rotary shaker KUHNER


(5)

(6)