Ken Wilber: Model Integral

24 konformis”. Tahap ini dicirikan dengan perasaan yang mendalam dan pandangan yang sangat rasional, menerima dasar otoritas eksternal dan didukung oleh pene- rimaan orang lain. Ciri ini menyebabkan adanya keterbukaan kepada konsep bahwa remaja dapat mengalami pengalaman spiritual. Teori spiritual Helmeniak mencakup lima tahap: Conformist, Conscien- tiousConformist, Conscientious, Compassionate, dan Cosmic. Helmeniak 1987:78 percaya bahwa “perkembangan spiritual bisa muncul jika mulai me- ninggalkan Tahap Konformis teori Loevinger, 1976 atau Synthetic-Conventional teori Fowler, 1981, tapi perpindahan tahap itu sulit dan beresiko. Menurut teori Helmeniak perpindahan ini idealnya terjadi di masa dewasa awal, tapi jarang sekali terjadi ada pengabaian spiritual hingga usia baya. Jarang juga terjadi orang terus berada pada Tahap Conformist atau Synthetic Convenstional atau terus berada pada level transisi Conscienti- ousConformist atau Self Aware Loevinger atau Tahap 3 dan 4 di sepanjang hidupnya. Tahap ini dicirikan dengan kemampuan seseorang untuk memegang teguh agama warisan dan mulai mempertanyakan dan mengambil tanggung jawab atas tindakan dan keyakinan. Menurut Love 2002:361-362 dua tahap ini me- wakili pengalaman remaja yang bergerak dari tahap pencarian pengakuan dan pengarahan dari lingkungan eksternal dalam pembuatan pemaknaan menuju kesadaran diri dan kebebasan diri.

c. Ken Wilber: Model Integral

Ken Wilber bagi banyak orang dikenal sebagai pendiri Psikologi Trans- personal Bidwell, 1999 dan juga sangat berpengaruh di bidang perkembangan 25 spiritual. Sekalipun dianggap memiliki pandangan filosofis yang sangat kuat, dia telah memancing pendukung dan kritikus sekaligus terhadap karya-karyanya. Model integral Wilber adalah sebuah model yang kompleks yang menggabungkan beberapa model dari beberapa bidang dan dikumpulkan menjadi lima bagian: kuadran, garis, tipologis, kondisi, dan leveltahap Wilber, 2000. Wilber menjelaskan bahwa tidak hanya ada satu garis perkembangan seperti ego atau kognitif, tapi ada sekitar dua lusin garis seperti kognisi, moralitas, kreativitas, emosi, ego, identitas kelamin, dan spiritualitas dan tidak ada satu garispun yang bisa diklaim lebih berpengaruh daripada yang lainnya. Menurut Wilber, garis-garis ini relatif independen, yang berarti bahwa bagi sebagian besar orang dapat saling berkembang satu sama lain, pada level yang berbeda, dengan dinamika yang berbeda, dan pada waktu yang berbeda. Pada dasarnya orang bisa memiliki taraf tinggi secara kognitif, sedang pada kreativitas, dan rendah secara emosional pada saat yang sama. Sekalipun masing-masing garis independen, tapi garis-garis itu saling berhubungan. Wilber 2000 mengambil kesimpulan bahwa sebagai manusia, orang bisa sampai ke tahap yang berbeda pada garis perkembangan yang berbeda, bisa juga mengalami kondisi yang mengkhawatirkan atau luar biasa seperti peng- alaman hampir mati pada setiap tahap kehidupan. Dia menjelaskan bahwa “cara kondisi atau realitas itu dialami dan diinterpretasi tergantung kepada sejauhmana tingkat perkembangan orang itu mencapai pengalaman puncak. Dengan kata lain, anak usia 15 tahun bisa memiliki pengalaman spiritual puncak tapi akan memahami dan menginterpretasinya dari orang yang dominan baginya yang 26 memiliki tahap perkembangan yang lebih stabil. Teori ini membuka peluang bagi remaja untuk memiliki pengalaman spiritual yang lebih tinggi yang mungkin tidak dialami oleh orang yang sudah sampai kepada tahap spiritual yang lebih atas. D. SPIRITUALITAS REMAJA Spiritualitas remaja, menurut Fowler 1981, berada dalam tahap tiga atau synthetic-conventional faith. Dalam tahapan ini yang dimulai pada masa remaja, keyakinan remaja bisa menjadi permanen pada masa dewasa jika tidak ada tantangan atau hambatan dalam masa remaja. Menurut Fowler 1981 tahapan ketiga ini adalah tahapan seorang yang konformis. Remaja menjalani keyakin- annya karena ada tuntutan dan penilaian orang lain dan belum memiliki pegangan yang kuat sebagai individu yang mandiri yang menjadi identitas dirinya. Dalam tahapan ini pandangan interpersonal sangat kuat sekali mengambil peran. Pandangan orang lainlah yang menjadi dorongan mereka menjalani keyakinannya, khususnya teman sebayanya. Nilai-nilai yang dimiliki teman-temannya sangat mengusik remaja untuk memilikinya dan menerapkan nilai-nilai yang dimiliki oleh para temannya Fowler Dell, 2004. Keadaan ini membuat para remaja sangat tergantung kepada orang lain, kepada keyakinan dan prinsip-prinsip yang dimiliki dan dijalankan oleh orang lain, terutama teman sebaya. Mereka melaku- kan ini sebagai afirmasi identitas mereka Fowler Dell, 2004. Jika dilihat dari pandangan teori status identitas, maka teori Fowler ini masuk dalam status identitas foreclosure karena remaja membuat sebuah komit- men untuk menjalankan keyakinannya dikarenakan ada faktor luar, baik oleh orangtua atau teman sebaya, tanpa ada sebuah pencarian atau eksplorasi tentang 27 keyakinan atau spiritualitasnya. Mereka menjalankan keyakinan karena sudah menjadi mafhum bahwa remaja harus menjalankannya tanpa harus ada bantahan atau sifat kritis. Remaja yang foreclosure memiliki sebuah ideologi tapi tidak pernah ada keinginan untuk mengkritisi ideologinya, bahkan tidak sadar akan ideologi yang dia miliki. Selain itu, Fowler 1981 meyakini bahwa banyak literatur mengenai konversi remaja yang mengatakan bahwa dorongan religius remaja adalah untuk mengenal Tuhan yang mengetahui, menerima, dan menasbihkan dirinya begitu dalam, dan yang menjadi penjamin pasti dirinya dengan pembentukan mitos identitas dan keyakinan personal. Dorongan ini juga dapat dikaitkan dengan pengalaman seseorang dalam hal perasaan saling terikat dan percaya, positif atau negatif, selama berada dalam tahapan keyakinan yang mantap. Transisi menuju tahap keempat terjadi ketika ada perkembangan keyakinan atau ada potensi untuk menjadi keyakinan yang menetap, yang merupakan sebuah proses sadar dan aktif. Fowler 1981 mengatakan bahwa akan terjadi masa transisi ke tahapan keempat jika nilai, norma, dan keyakinan remaja mulai tertantang atau terhalangi, atau ketika status foreclosure remaja mulai berbenturan atau bertentangan dengan pengalaman baru. Seringkali pengalaman berada di luar rumah, baik secara fisik atau psikis, atau kedua-duanya, bisa membangkitkan eksplorasi diri, latar belakang, dan nilai yang mendorong menuju kepada tahapan transisi Fowler, 1981. Sekali lagi merujuk kepada teori status identitas Marcia 1966, 1980, proses ini akan menjadi transisi ke arah status moratorium yang terjadi pada permulaan eksplorasi personal, spiritual, dan psikologis yang mendalam. 28 E. TEMUAN TEORITIS DAN EMPIRIS HUBUNGAN IDENTITAS DAN SPIRITUALITAS Para pencipta teori perkembangan seperti Erikson 1950, Fowler 1981, Lerner dkk. 2003, Lerner Alberts, dkk. 2005, Marcia 1980; semua menyatakan bahwa sangat mungkin pada remaja untuk melakukan eksplorasi dan komitmen kepada ideologi dan nilai-nilai seperti spiritualitas. Sebaliknya, Helmeniak 1996 menyatakan bahwa spiritualitas tidak akan muncul sampai masa dewasa. Selain itu, Lerner, Alberts dkk. 2005, Fowler 1981, Helmeniak 1996, serta Wilber 2000 setuju bahwa seperti perkembangan identitas, spiritu- alitas adalah perilaku manusia yang sangat jelas keberadaannya. Satu cara untuk menghubungkan antara status identitas dan spiritualitas adalah mengambil model status identitas Marcia dan mengaplikasikannya ke dalam domain spiritualitas. Penelitian sebelumnya yang melakukan ini dalam menghubungkan antara status identitas dan domain spiritualitas adalah penelitian Griffith dan Griggs 2001 yang menulis artikel teoritis yang berjudul “Religious Identity Status as a Model to Understand, Assess, and Interact with Client Spirituality”. Kedua peneliti ini mengambil empat kategori identitas status dan menerapkan kerangka konseptual yang didefinisikan dengan eksplorasi dan komitmen dalam domain perkembangan identitas religius. Keduanya memberi istilah model mereka dengan “identitas religius”. Apa yang mereka lakukan bisa juga dilakukan pada domain spiritualitas. Griffith dan Griggs 2001 menyatakan bahwa orang secara religius diffused tidak melakukan eksplorasi spiritualitas mereka dan tidak juga ada usaha untuk melakukannya atau berkomitmen. Status identitas religius forclosure adalah orang yang menjalani pengalaman 29 spiritualitas sebagai konformitas atau sekedar menjalani aturan yang ditetapkan oleh agama yang dianutnya agar diterima oleh lingkungannya. Status identitas religius moratorium dialami seseorang jika orang itu mulai mempertanyakan keyakinan religius mereka. Eksplorasi dalam identitas religius moratorium sangat penting dalam membentuk sebuah identitas yang terinternalisasi dan utuh. Identitas status religius achievement terjadi jika seseorang melakukan eksplorasi nilai dan keyakinan, kemudian nilai-nilai itu merasuk dan menyatu menjadi dirinya. Perubahan dari satu identitas ke identitas yang lain tidak linier. Identitas diffusion bisa langsung berubah ke achievement atau sebaliknya. Penelitian yang selama ini dilakukan dalam psikologi lebih banyak me- ngaitkan status identitas dengan religiusitas daripada spiritualitas. Sanders 1998 meneliti hubungan antara identitas ego religius dan kematangan kepercayaan religius pada 292 mahasiswa Kristen M=19,8 tahun. Dellas Identity Status Inventory-Religious Beliefs DISI-R dan the Faith Maturity Scale FMS digunakan dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa orang dengan identitas diffusion kurang matang dalam keyakinan religius daripada tiga status yang lain. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya tentang status identitas. Penelitian ini semuanya pada subyek Kristen yang mungkin berbeda pada subyek dengan keyakinan berbeda. Penelitian lainnya dilakukan oleh Markstorm-Adams, Hofstra, dan Dougher 1994 yang meneliti apakah ada perbedaan identitas antara dua kelompok remaja religius minoritas, dan apakah frekuensi kehadiran ke gereja sebagai bukti komitmen identitas. Penelitian ini terdiri dari 38 remaja Mormon dan 47 non-Mormon Katolik dan Protestan yang merupakan siswa SMA. Menurut penelitian ini, demografis religius 90 adalah 30 Mormon dan sisanya adalah religius kedaerahan yang lain. Dengan demikian kereligiusan mereka tidak berdasarkan kepada Katolik dan Protestan. Mereka juga menemukan bahwa kehadiran ke gereja bukan merupakan bukti komitmen iden- titas mereka. Penelitian terakhir adalah Fulton 1997 yang meneliti hubungan antara status identitas, orientasi religius, dan prasangka anti Kulit Hitam dan Homoseksual pada 176 orang Kaukasia, lulusan S1 Christian Liberal Arts College di California Utara. Penelitian ini menggunakan Extended Objective Measure of Ego-Identity Status EOM-EIS Adams dkk. 1989, The Revised Age Universal Intrinsic-Extrinsic Measure Gorsuch McPherson, 1989. The Quest Scale Q McFarland, 1989 dan alat ukur sikap anti-Kulit Hitam dan antihomoseksual. Peneliti ini mengajukan empat hipotesis: a partisipan dengan identitas achieved akan memiliki skor Intrinsic yang tinggi, skor Quest yang rendah, dan skor prasangka yang rendah daripada status identitas yang lain, b identitas mora- torium akan memiliki skor Q yang tinggi, skor I yang rendah, dan skor prasangka yang rendah, c identitas foreclosure akan memiliki social ekstrinsik Es dan ekstrinsik personal Ep yang tinggi, skor Q yang rendah, dan skor prasangka yang tinggi, dan d identitas diffusion akan memiliki skor I yang rendah dan skor prasangka yang tinggi. Hasilnya hampir semua hipotesis di atas terbukti dalam penelitian ini. Berdasarkan penelitian di atas, maka selayaknya jika kita bisa mengambil kesimpulan untuk melakukan penelitian tentang identitas spiritualitas mahasiswa. Menurut penelitian-penelitian tadi, kaitan antara agama dan perkembangan identitas telah terbukti, tapi belum ditemukan pengalaman spiritual dengan status identitas. 31 Ada dua pendapat mengenai hubungan antara status identitas dan spiritualitas. Pertama, Erikson 1950, Fowler 1981, Lerner dkk. 2003, Lerner, Alberts dkk., 2005, dan Marcia 1980 yang berpendapat bahwa ada potensi dalam remaja untuk memiliki komitmen dan eksplorasi dalam perkembangan spiritualitas mereka. Sebaliknya, Helmeniak 1996 menyatakan bahwa tidak ada eksplorasi dan komitmen pada remaja dalam hal spiritualitas. Dia berpendapat bahwa pada masa dewasalah mulai berkembang spiritualitas yang sebenarnya. Memang pada masa apapun akan berkembang spiritualitas, tapi spiritualitas yang sebenar-benarnya berkembang ada pada masa dewasa. F. KERANGKA BERPIKIR Spiritualitas adalah konsep yang subyektif dalam hal pengalaman dan oleh kerena itu sulit untuk dikonsepkan Reed, 1992. Karena sifatnya yang subyektif ini, ada beberapa cara untuk menghubungkan perkembangan identitas dengan spiritualitas, yaitu: a spiritualitas adalah sikap yang dimiliki pada tahap perkembangan manapun Wilber, 2000, b spiritualitas berkembang dengan cara yang sama secara kognitif dan emosional Fowler, 1981, dan c spiritualitas tidaklah tergantung kepada perkembangan kognitif tapi berhubungan dengannya Fowler, 1981; Wilber, 2000. Tiga peteori ini sepakat bahwa spiritualitas adalah perilaku atau nilai manusia yang jelas, yang bisa dimiliki dan bisa berkembang sebagai proses antarwaktu seperti identitas. Namun, tiga peteori ini tidak membuat pembatasan yang jelas apakah mereka cenderung menilai spiritualitas sebagai perilaku atau proses. Faktanya, definisi spuiritualitas masih tetap samar dengan deskripsinya baik sebagai perilaku atau proses yang di lain waktu akan meng- 32 ancam validitas penelitian juga menciptakan kesulitan bagi penemuan validitas konstruk. Hasil dari penelitian ini akan menambah pembahasan untuk pencarian kejelasan yang lebih jauh. Untuk penelitian ini, hubungan antara identitas dan spiritualitas dipahami saling berkaitan Benson, Roehkepartin, Rude, 2003 dan begitu juga dengan konsep spiritualitas dan religiusitas, saling berkait, tapi tidak sampai saling bergantung satu sama lain Elkins, Hedstrom, Hughes, Leaf, Saunders, 1998. Erikson 1959 menyatakan bahwa selama masa remaja wacana pem- bentukan identitas adalah proses yang mencakup pembentukan makna yang abstrak. Dengan kata lain, proses perkembangan identitas adalah puncak dari kemampuan untuk mencari dan menghubungkan zat yang berada di atas diri. Lerner, Alberts dkk. 2005 memperluas rumusan teori Erikson bahwa proses ini, pembuatan makna abstrak dan pembuatan makna abstrak dan menghubungkan dengan zat yang lebih tinggi, pada dasarnya adalah spiritual. Sama dengan Erikson 1950, 1959, Fowler 1981 menyatakan bahwa teori stataus identitas Marcia 1980 berdasarkan kepada asumsi bahwa remaja memiliki potensi untuk berkembang lebih sehat. Menurut Marcia 1980 teori status identitas tidak menjelaskan proses linier, tapi sebuah cara untuk meng- klasifikasikan remaja perkembangan identitas remaja yang tengah dijalani oleh remaja waktu itu dan mungkin akan berubah lagi di waktu lain. 33 BAB III METODE PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian ini adalah kuantitatif. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan desain cross-sectional dan deskriptif dengan tiga instrumen kuesioner yaitu 1 kuesioner untuk mengungkap informasi demografis dari partisipan, 2 Ego Identity Process Questionnaire EIPQ, Balistreri dkk., 1995, dan 3 Human Spiritual Scale Wheat, 1991. Desain survey meneliti sebuah sampel dari sebuah populasi untuk memperoleh deskripsi kuantitatif tentang kecenderungan, sikap, atau opini sebuah populasi. Survey digunakan di banyak bidang ilmu, termasuk poendidikan, kesehatan, ekonomi, dan psikologi Fink, 2003. Survey yang baik memiliki enam karakter, tujuan yang bisa dicapai dan spesifik, desain penelitian yang jelas, populasi dan sampel yang bisa di- jangkau, instrumen yang reliabel dan valid, analisis yang tepat, dan pelaporan hasil yang akurat Fink, 2003. Disini, alasan pengambilan metode survey sebagai metode penelitian adalah karena dengan survey dapat dilakukan generalisasi pada sebuah populasi dengan beradasarkan kepada sampel yang kecil dan dengan cepat dapat mem- peroleh data yang besar dan beragam. B. SUBYEK PENELITIAN Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah mahasiswa UPI dengan rentang usia 18 sampai 22 tahun. Setiap fakultas diambil rata-rata 60 mahasiswa. Berikut adalah gambaran mahasiswa yang menjadi subyek penelitian. 34 Tabel 3.1 Daftar Jumlah Subyek di Setiap Fakultas Fakultas Subyek Ilmu Pendidikan 74 orang Pendidikan Ekonomi dan Bisnis 63 orang Pendidikan Bahasa dan Seni 67 orang Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial 64 orang Pendidikan Olahraga dan Kesehatan 60 orang Pendidikan Tekonologi dan Kejuruan 70 orang Pendidikan Mat. dan Ilmu Pengetahuan Alam 68 orang C. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai bulan September 2009. Lokasi penelitian adalah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. D. INSTRUMEN Ada tiga kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu 1 kue- sioner untuk mengungkap informasi demografis dari partisipan, 2 Ego Identity Process Questionnaire EIPQ, Balistreri dkk., 1995, yang telah diadaptasi ke bahasa Indonesia yang digunakan untuk menentukan status identitas partisipan, 3 Human Spiritual Scale Wheat, 1991 yang juga telah diadaptasi ke bahasa Indonesia yang didesain untuk mengukur seberapa tinggi tingkat spiritualitas partisipan.

1. Kuesioner Demografis