2 Menekan balon karet. Ini berguna untuk meningkatkan kekuatan
genggaman. 3
Angkat kepala dan bahu dari tempat tidur kemudian rentangkan tangan sejauh mungkin.
4 Duduk di tempat tidur. Angkat tubuh dari tempat tidur, tahan selama
beberapa menitAsmadi, 2008.
2.3.4 Alat yang Digunakan Untuk Ambulasi
Banyak alat yang tersedia untuk membantu ketidakmampuan pasien melaksanakan ambulasi. Jenis dari alat dipilih dan lamanya waktu untuk
menggunakan alat tersebut tergantung pada ketidakmampuannya. Terlebih dahulu terapis harus menentukannya apakah kekuatan otot pasien cukup dan
mengkoordinasikannya dengan program ambulasi Gartland, 1987. Alat bantu yang digunakan untuk ambulasi adalah: 1 kruk; dapat
digunakan sementara ataupun permanen, terbuat dari logam dan kayu, misalnya Conventional, Adjustable dan Lofstrand. Kruk biasanya digunakan pada pasien
fraktur hip dan ekstremitas bawah 2 Canes tongkat adalah alat yang ringan, mudah dipindahkan, setinggi pinggang, terbuat dari kayu atau logam, digunakan
pada pasien yang mengalami kelemahan pada satu kaki, terdiri dari dua tipe yaitu: single straight-legged dan quad cane 3 walker adalah suatu alat yang sangat
ringan, mudah dipindahkan, setinggi pinggang, terbuat dari pipa logam, dan mempunyai empat penyangga yang kokoh Gartland, 1987; Potter Perry, 2006;
Wahyuningsih, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Ekstremitas Bawah
Setiap sendi pasien dengan kondisi tirah baring harus dilatih dan digerakkan sesuai kemampuan geraknya untuk mempertahankan fungsinya.
Hubungan terapeutik dapat membantu pasien berpartisipasi dalam program ambulasi yang telah dirancang. Program ambulasi dirancang sesuai kebutuhan
masing-masing pasien, kesehatan umum fisik, dan dampak disabilitas sendi terhadap kehidupannya dan usia. Sasarannya adalah untuk mengembalikan pasien
ke jenjang fungsi tertinggi dengan waktu sesingkat mungkin sesuai prosedur bedah yang dilakukan Brunner Suddarth, 2002.
Pasien biasanya mampu melakukan ambulasi bila mereka telah diyakinkan bahwa gerakan yang akan diberikan perawat selama masih dalam batas terapeutik
sangat menguntungkan, ketidaknyamanan dapat dikontrol dan sasaran aktivitas pasti akan tercapai Brunner Suddarth, 2002. Pasien dengan ketidakmampuan
ekstremitas bawah biasanya dimulai dari duduk di tempat tidur. Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kali selama 10 sampai dengan 15 menit, kemudian
dilatih untuk turun dari tempat tidur dengan bantuan perawat sesuai dengan kebutuhan pasien Lewis et al., 1998.
Tahapan pelaksanaan ambulasi dini yang dilakukan pada pasien pasca operasi yaitu:
a. Sebelum pasien berdiri dan berjalan, nadi, pernafasan dan tekanan
darah pasien harus diperiksa terlebih dahulu.
Universitas Sumatera Utara
b. Jika pasien merasakan nyeri, perawat harus memberikan medikasi
pereda nyeri 20 menit sebelum berjalan, karena penggunaan otot untuk berjalan akan menyebabkan nyeri Wahyuningsih, 2005.
c. Pasien diajarkan duduk di tepi tempat tidur, menggantungkan kakinya
beberapa menit dan melakukan nafas dalam sebelum berdiri. Tindakan ini bertujuan untuk menghindari rasa pusing pada pasien.
d. Selanjutnya, pasien berdiri di samping tempat tidur selama beberapa
menit sampai pasien stabil. Pada awalnya pasien mungkin hanya mampu berdiri dalam waktu yang singkat akibat hipotensi ortostatik.
e. Jika pasien dapat berjalan sendiri, perawat harus berjalan dekat pasien
sehingga dapat membantu jika pasien tergelincir atau merasa pusing Wahyuningsih, 2005; Stevens et al., 2000.
f. Perawat dapat menggandeng lengan bawah pasien dan berjalan
bersama. Jika pasien tampak tidak mantap, tempatkan satu lengan merangkul pinggul pasien untuk menyokong dan memegang lengan
paling dekat dengan perawat, dengan menyokong pasien pada siku. g.
Setiap penolong harus memegang punggung lengan atas pasien dengan satu tangan dan memegang lengan bawah dengan tangan yang
lain. h.
Bila pasien mengalami pusing dan mulai jatuh, perawat menggenggam lengan bawah dan membantu pasien duduk di atas
lantai atau di kursi terdekat Wahyuningsih, 2005.
Universitas Sumatera Utara
i. Pasien diperkenankan berjalan dengan walker atau tongkat biasanya
dalam satu atau dua hari setelah pembedahan. Sasarannya adalah berjalan secara mandiri.
j. Pasien yang mampu mentoleransi aktivitas yang lebih berat, dapat
dipindahkan ke kursi beberapa kali sehari selama waktu yang singkat Brunner Suddarth, 2002.
Pembebanan berat badan weight-bearing pada kaki ditentukan oleh dokter bedah. Weight bearing adalah jumlah dari beban seorang pasien yang
dipasang pada kaki yang dibedah. Tingkatan weight bearing dibedakan menjadi lima yaitu: 1 Non Weight Bearing NWB: kaki tidak boleh menyentuh lantai.
Non weight bearing adalah 0 dari beban tubuh, dilakukan selama 3 minggu pasca operasi 2 Touch Down Weight Bearing TDWB: berat dari kaki pada
lantai saat melangkah tidak lebih dari 5 beban tubuh 3 Partial Weight Bearing PWB: berat dapat berangsur ditingkatkan dari 30-50 beban tubuh, dilakukan
3-6 minggu pasca operasi 4 Weight Bearing as Tolerated WBAT: tingkatannya dari 50-100 beban tubuh. Pasien dapat meningkatkan beban jika merasa
sanggup melakukannya 5 Full Weight Bearing FWB: kaki dapat membawa 100 beban tubuh setiap melangkah, dilakukan 8-9 bulan pasca operasi Pierson,
2002.
Universitas Sumatera Utara
2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Ekstremitas Bawah
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi pada pasien pasca operasi adalah:
a. Kesehatan umum
Penyakit, kelemahan, infeksi, penurunan aktifitas, kurangnya latihan fisik, dan lelah kronik menimbulkan efek yang tidak nyaman pada
fungsi muskuloskeletal Kozier, 1987. b.
Tingkat kesadaran Pasien dengan kondisi disorientasi, bingung atau mengalami
perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melakukan ambulasi dini pasca operasi.
c. Nutrisi
Pasien yang kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot, penurunan jaringan subkutan yang serius, dan gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pasien juga akan mengalami defisiensi protein, keseimbangan nitrogen negatif, dan tidak adekuat asupan vitamin C Potter Perry,
2006. d.
Emosi Perasaan nyaman, kebahagiaan, kepercayaan, dan pengahargaan
pada diri sendiri akan mempengaruhi pasien untuk melaksanakan prosedur ambulasi Kozier, 1987.
Universitas Sumatera Utara
e. Tingkat pendidikan
Pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh melalui proses belajar. Pendidikan
menyebabkan perubahan pada kemampuan intelektual, mengarahkan pada keterampilan yang lebih baik dalam menggunakan dan mengevaluasi
informasi Goldman, 2002. Pendidikan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk
mengatur kesehatan mereka, untuk mematuhi saran-saran kesehatan dan merubah perilaku yang tidak baik bagi mereka WimGroot, 2005.
Jadi tingkat pendidikan mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pada pasien pasca operasi ekstremitas bawah.
f. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Hasil
penelitian mengatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lama daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan
Notoatmodjo, 1993. Rendahnya pengetahuan pasien mengenai pentingnya ambulasi akan menghambat pelaksanaan ambulasi dini pasca
operasi.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA
PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti
Setiadi, 2007. 3.1.1 Edukasi
Edukasi dalam bidang keperawatan merupakan satu bentuk intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik individu, kelompok
maupun masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran, yang didalamnya perawat berperan sebagai perawat pendidik
Suliha, 2002. Menurut Brunner dan Suddarth 2002, edukasi merupakan komponen esensial dalam asuhan keperawatan dan diarahkan pada kegiatan
meningkatkan, mempertahankan, dan memulihkan status kesehatan, mencegah penyakit, dan membantu individu untuk mengatasi efek sisa penyakit.
3.1.2 Kepatuhan Kepatuhan adalah sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan
yang diberikan oleh profesional kesehatan. Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat
kepatuhan Niven, 2000.
Universitas Sumatera Utara