Prevalensi Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Dari Tahun 2008 - 2010

(1)

PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT RETINOPATI DIABETIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

DARI TAHUN 2008 – 2010

Oleh :

SHAMINI SHANMUGALINGAM 080100398

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT RETINOPATI DIABETIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

DARI TAHUN 2008 – 2010

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

SHAMINI SHANMUGALINGAM 080100398

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

(4)

ABSTRAK

Mengikut statistik dengan perubahan pola hidup ke arah moden diperkirakan pada tahun–tahun mendatang penyakit Diabetes Melitus akan menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Berbeda dengan kebutaan yang disebabkan oleh katarak yang dapat ditanggulangi, kebutaan yang disebabkan oleh komplikasi diabetes melitus pada retina (retinopati diabetik) tidak dapat dapat ditingkatkan tajam penglihatannya dengan upaya apapun karena telah terjadi buta permanen. Dari penelitian sebelum, didapati bahwa prevalensi kasus kebutaan akibat retinopati diabetik di dunia adalah sebanyak 4,8 % atau 1,8 juta dari 37 milyar kasus kebutaan, 12,000–24,000 kasus kebutaan akibat retinopati diabetik ditemukan setiap tahun dan di Indonesia kebutaan yang dialami oleh penderita retinopati adalah sebanyak 0,03%. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevelansi kebutaan akibat retinopati diabetik yaitu berapa banyak kasus kebutaan yang terjadi pada penderita retinopati diabetik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari tahun 2008–2010.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional yang dilakukan dengan melihat data rekam medis penderita retinopati diabetik tahun 2008–2010 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Subyek penelitian berjumlah 64 orang dengan sampel diperoleh secara total sampling, setelah memenuhi kriteria pemilihan sampel. Cara pengumpulan data dilakukan dengan melihat rekam medis penderita dan mengambil data yang dibutuhkan. Data kemudian dioleh dengan menggunakan sistem komputerisasi.

Hasil yang diperoleh adalah kebutaan akibat retinopati diabetik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan adalah sebanyak 4 orang (6,3%) dengan kebutaan 2 mata (kebutaan bilateral) manakala kebutaan 1 mata (kebutaan unilateral) sebanyak 7 orang (10,9%).


(5)

ABSTRACT

Based on the current statistics with modern lifestyle changes it is estimated that diabetes mellitus in the coming years will be the leading cause of blindness in developing countries, including Indonesia. In contrast to blindness caused by cataracts that can be treated, the blindness caused by the complications of diabetes mellitus towards the retina (diabetic retinopathy) where no treatment can be done to increase the eyesight because the patients becomes permanently blind. From previous research, the prevalence of cases of blindness due to diabetic retinopathy in the world is approximately 4.8% or 1.8 million of 37 million cases of blindness, 12,000–24,000 cases of blindness due to diabetic retinopathy and every year in Indonesia people who suffer blindness due to diabetic retinopathy is approximately 0.03%. Therefore, this study was conducted to determine the prevalence of blindness due to diabetic retinopathy that is how many cases of blindness that has occurred in patients with diabetic retinopathy at the Haji Adam Malik General Hospital from year 2008-2010.

The study design of this descriptive study is cross–sectional design, which is conducted by studying the medical records of diabetic retinopathy patients at the Haji Adam Malik General Hospital from year 2008–2010. The research subjects were selected using total sampling that satisfies the selection criteria. The total subjects were 64 patients. Data collecting procedure was carried out by studying and extracting the required data from the medical record of the patients. The data then was interpreted using a computerized system.

The result of blindness due to diabetic retinopathy in the Haji Adam Malik General Hospital from year 2008-2010 is 4 patients (6.3%) with blindness of two eyes (bilateral blindness) while blindness of one eye (unilateral blindness) is 7 patients (10.9%).


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sebagai sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “PREVALENSI KEBUTAAN AKIBAT RETINOPATI DIABETIK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN DARI TAHUN 2008 – 2010”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku dekan FK USU.

2. Dr. Masitha Dewi S, Sp.M selaku dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik dan sempurna.

3. Dr. Sufitni, M.Kes & Dr. Kristo Nababan, Sp.KK selaku dosen penguji yang telah banyak membantu penulis menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

4. Dr. Fithria Aldy, Sp.M karena membantu memberikan idea dan bantuan yang membantu penulis menyiapkan karya tulis ilmiah dengan baik.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara terutamanya dari Ilmu Kedokteran Komunitas (IKK) yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa pendidikan dan penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

6. Seluruh staf Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

7. Kedua orang tua penulis, Shanmugalingam Veluppillai dan Jeyarani C. Arumugam, yang tiada bosan mendoakan dan memberikan semangat dan merupakan sumber inspirasi dan dorongan kepada penulis untuk


(7)

menyelesaikan karya tulis ilmiah serta pendidikan kedokteran di Universitas Sumatera Utara.

8. Kembaran penulis Shalini Shanmugalingam dan adik penulis Kuhantini Shanmugalingam atas segala idea, sokongan, bantuan dan semangat dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah.

9. Teman sejawat Dhika Alloyna Sinuhaji, Gunachitra Devarajoo dan Indah Soleha atas masukan dan bantuannya dalam pengambilan data dan perbaikan untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

10. Teman seperjuangan Catherine Thamarai Arumugam, Vijay Tyndall Lopez, Rodeo Valentino Siahaan, Jacinta Mary, Ann Diana Jaimin, Wong Sai Ho, Justin Michal Dass, Lau Wei Lin, Rini Nurrahkmah, Paramasundari Panirselvam atas dukungan kemasukan, bantuan dan info terkini mengenai penulisan karya tulis ilmiah.

11. Serta semua pihak baik langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.

Kepada semua pihak tersebut, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membalas semua kebaikan yang selama ini diberikan kepada penulis dan melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, 6 Desember 2011 Penulis,

Shamini Shanmugalingam (NIM: 080100398)


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan .……...………... iii

Abstrak... iv

Abstract... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi………... viii

Daftar Tabel... xi

Daftar Gambar... xiii

Daftar Lampiran... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 7

2.1. Mata ... 7

2.1.1. Anatomi Retina ... ... 7

2.1.2. Fisiologi Mata ... 8

2.1.3. Ketajaman Penglihatan ... 10

2.2. Kebutaan ... 11

2.2.1. Definisi ... ... 11

2.2.2. Epidemiologi ... 12


(9)

2.3. Retinopati Diabetik ... 14

2.3.1. Definisi Diabetes Melitus ... 14

2.3.2. Definisi Retinopati Diabetik ... 15

2.3.3. Epidemiologi ... 15

2.3.4. Klasifikasi ... 15

2.3.5. Patofisiologi ... 16

2.3.6. Pemeriksaan Penunjang ... 18

2.3.7. Penatalaksanaan ... 19

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ……... 23

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 23

3.2. Definisi Operasional... 24

BAB 4 METODE PENELITIAN……… 26

4.1. Rancangan Penelitian ... 26

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 26

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

4.4. Kriteria Inklusi & Eksklusi ... 26

4.4.1. Kriteria Inklusi ... 26

4.4.2. Kriteria Eksklusi ... 26

4.5. Metode Pengumpulan Data ... 27


(10)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 28

5.1. Hasil Penelitian... 28

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 29

5.1.2.1 Deskripsi Umum Sampel ... 29

5.1.2.1.1 Deskripsi Sampel berdasarkan Usia Penderita Retinopati Diabetik ... 29

5.1.2.1.2 Deskripsi Sampel berdasarkan Jenis Kelamin Penderita Retinopati Diabetik ... 30

5.1.2.1.3 Deskripsi Sampel berdasarkan Lama Menderita Diabetes Melitus Penderita Retinopati Diabetik ... 30

5.1.2.1.4 Deskripsi Sampel berdasarkan Riwayat Keluarga Penderita Retinopati Diabetik .. 31

5.1.2.1.5 Deskripsi Sampel berdasarkan Derajat Retinopati Diabetik Penderita Retinopati Diabetik ... 31

5.1.3. Data Sampel Penelitian ... 32

5.1.3.1. Deskripsi Sampel berdasarkan Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik ... 32

5.1.3.1. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Usia ... 32

5.1.3.1. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Jenis Kelamin ... 33 5.1.3.1. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati


(11)

Diabetik berdasarkan Lama Menderita Diabetes

Melitus ... 33

5.1.3.1. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Riwayat Keluarga ... 34

5.1.3.1. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Derajat Retinopati Diabetik . 35 5.2. Perbahasan ... 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.1. Kesimpulan ... 40

6.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA... 42


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Diambil dari International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems, tenth revision. Geneva, World Health Organization, 1992 (Ramanjit Sihota, 2007).

13

Tabel 2.2. Berdasarkan International Classification Diseases (ICD)terhadap penurunan penglihatan.

14 Tabel 2.3. Diagnosis tingkat klinis retinopati diabetik yang

ditetapkan oleh American Diabetes Association dan organisasi lain (Cavallerano et al, 2005).

19

Tabel 2.4. Diambil dari American Academy of Opthalmology menganjurkan beberapa manajemen yang umum.

20 Tabel 2.5. Diambil dari Current Diabetes Reviews, 2009,

Metabolic Control and Diabetic Retinopathy menunjukkan pengurangan atau penurunan resiko dengan terapi yang intensif dan convensional (Rodriguez-Fontal* et al, 2009).

21

Tabel 3.1. Definisi Operasional 23

Tabel 5.1. Distribusi Kelompok Usia Penderita Retinopati Diabetik

28 Tabel 5.2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Retinopati

Diabetik

29 Tabel 5.3. Distribusi Lama Menderita Diabetes Melitus 29


(13)

Penderita Retinopati Diabetik

Tabel 5.4. Distribusi Riwayat Keluarga Penderita Retinopati Diabetik

30 Tabel 5.5. Distribusi Derajat Retinopati Diabetik Penderita

Retinopati Diabetik

30 Tabel 5.6. Distribusi Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik 31 Tabel 5.7. Distribusi Kelompok Usia Penderita Kebutaan

Akibat Retinopati Diabetik

31 Tabel 5.8. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Kebutaan Akibat

Retinopati Diabetik

32 Tabel 5.9. Distribusi Lama Menderita Diabetes Melitus

Penderita Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik

32 Tabel 5.10. Distribusi Riwayat Keluarga Penderita Kebutaan

Akibat Retinopati Diabetik

33 Tabel 5.11. Distribusi Derajat Retinopati Diabetik Penderita

Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1.1. Diambil dari Community Eye Health Jurnal (2008) menggambarkan distribusi penyebab kebutaan

2

Gambar 1.2. Diambil dari Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness: action plan 2006-2011 (2007), menggambarkan distribusi penyebab kebutaan

2

Gambar 2.1. Diambil dari (Netter, 2003) Atlas of Human Anatomy yang menunujukkan gambaran anatomi mata

7 Gambar 2.2. Retinopati diabetik non proliferatif (Lubis, 2007) 16 Gambar 2.3. Retinopati diabetik proliferatif (Lubis, 2007) 16 Gambar 2.4. Diambil dari Advances in Diabetic Retinopathy

menunjukkan alur patogenesis berlakunya retinopati diabetik(Feener, 2008)

17

Gambar 2.5. Contoh gambar fundus berwarna (Silberman, 2010) 18 Gambar 2.6. Gambaran retina yang membingungkan (Silberman,

2010)


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2. Master Data

Lampiran 3. Output Sistem Komputerisasi Lampiran 4. Contoh Tabel Induk

Lampiran 5. Lembar Ethical Clearence

Lampiran 6. Surat Izin Survei Awal Penelitian Lampiran 7. Surat Keterangan Hasil Penelitian

Lampiran 8. International Clinical Diabetic Retinopathy and Macular Edema Disease Severity Scales & Management Recommendations

Lampiran 9. Visual Acuity Tables


(16)

ABSTRAK

Mengikut statistik dengan perubahan pola hidup ke arah moden diperkirakan pada tahun–tahun mendatang penyakit Diabetes Melitus akan menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Berbeda dengan kebutaan yang disebabkan oleh katarak yang dapat ditanggulangi, kebutaan yang disebabkan oleh komplikasi diabetes melitus pada retina (retinopati diabetik) tidak dapat dapat ditingkatkan tajam penglihatannya dengan upaya apapun karena telah terjadi buta permanen. Dari penelitian sebelum, didapati bahwa prevalensi kasus kebutaan akibat retinopati diabetik di dunia adalah sebanyak 4,8 % atau 1,8 juta dari 37 milyar kasus kebutaan, 12,000–24,000 kasus kebutaan akibat retinopati diabetik ditemukan setiap tahun dan di Indonesia kebutaan yang dialami oleh penderita retinopati adalah sebanyak 0,03%. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevelansi kebutaan akibat retinopati diabetik yaitu berapa banyak kasus kebutaan yang terjadi pada penderita retinopati diabetik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari tahun 2008–2010.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional yang dilakukan dengan melihat data rekam medis penderita retinopati diabetik tahun 2008–2010 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Subyek penelitian berjumlah 64 orang dengan sampel diperoleh secara total sampling, setelah memenuhi kriteria pemilihan sampel. Cara pengumpulan data dilakukan dengan melihat rekam medis penderita dan mengambil data yang dibutuhkan. Data kemudian dioleh dengan menggunakan sistem komputerisasi.

Hasil yang diperoleh adalah kebutaan akibat retinopati diabetik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan adalah sebanyak 4 orang (6,3%) dengan kebutaan 2 mata (kebutaan bilateral) manakala kebutaan 1 mata (kebutaan unilateral) sebanyak 7 orang (10,9%).


(17)

ABSTRACT

Based on the current statistics with modern lifestyle changes it is estimated that diabetes mellitus in the coming years will be the leading cause of blindness in developing countries, including Indonesia. In contrast to blindness caused by cataracts that can be treated, the blindness caused by the complications of diabetes mellitus towards the retina (diabetic retinopathy) where no treatment can be done to increase the eyesight because the patients becomes permanently blind. From previous research, the prevalence of cases of blindness due to diabetic retinopathy in the world is approximately 4.8% or 1.8 million of 37 million cases of blindness, 12,000–24,000 cases of blindness due to diabetic retinopathy and every year in Indonesia people who suffer blindness due to diabetic retinopathy is approximately 0.03%. Therefore, this study was conducted to determine the prevalence of blindness due to diabetic retinopathy that is how many cases of blindness that has occurred in patients with diabetic retinopathy at the Haji Adam Malik General Hospital from year 2008-2010.

The study design of this descriptive study is cross–sectional design, which is conducted by studying the medical records of diabetic retinopathy patients at the Haji Adam Malik General Hospital from year 2008–2010. The research subjects were selected using total sampling that satisfies the selection criteria. The total subjects were 64 patients. Data collecting procedure was carried out by studying and extracting the required data from the medical record of the patients. The data then was interpreted using a computerized system.

The result of blindness due to diabetic retinopathy in the Haji Adam Malik General Hospital from year 2008-2010 is 4 patients (6.3%) with blindness of two eyes (bilateral blindness) while blindness of one eye (unilateral blindness) is 7 patients (10.9%).


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Indera penglihatan (baca: mata) merupakan faktor kunci bagi terwujudnya SDM yang berkualitas. Hal ini disebabkan karena jalur utama penyerapan informasi dalam proses belajar individu terjadi melalui penglihatan (83%) oleh karena itu, upaya pemeliharan kesehatan indera penglihatan dan pencegahan kebutaan menjadi satu hal yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak (Puspita, 2010).

Berdasarkan Undang–undang No.23 tahun 1992, tentang kesehatan menyatakan bahwa pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan indera penglihatan merupakan syarat penting untuk meningkatkan kwalitas sumber daya manusia (Aldy, 2010).

Total masyarakat dengan gangguan penglihatan termasuk penurunan visus dan kebutaan diestimasi mencapai sehingga 314 juta di seluruh dunia (Foster, 2008). Manakala, kebutaan di Indonesia merupakan bencana nasional. Kebutaan menyebabkan kualitas sumber daya manusia rendah. Hal ini dampak pada kehilangan produktifitas serta membutuhkan biaya untuk rehabilitasi dan pendidikan orang buta. Berdasarkan survei nasional tahun 1993–1996, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5%. Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan pertama dalam masalah kebutaan di Asia dan nomor dua di dunia. (Hutasoit, 2010). Sementara menurut penelitian lain di Indonesia, yang dilakukan di daerah Sumatera diperoleh data bahwa angka kebutaan bilateral berkisar antara 2,2% dan low vision berkisar sebanyak 5,8% (Aldy, 2010).

Menurut perkiraan WHO pada tahun 2002 dalam (Puspita, 2010), penyebab kebutaan paling utama di dunia adalah katarak (47,8%), glaukoma (12,3%),


(19)

uveitis (10,2%), age – related macular degeneration (AMD) (8,7%), trakhoma (3,6%), corneal opacity (5,1%), dan retinopati diabetik (4,8%).

Gambar 1.1 dan Gambar 1.2: Diambil dari Community Eye Health Jurnal (2008) dan Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness: action plan 2006-2011 (2007), menggambarkan distribusi penyebab kebutaan.

Menurut Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness: action plan 2006-2011 (2007), prevalensi kasus kebutaan akibat retinopati diabetik di dunia adalah sebanyak 4,8 % atau 1,8 juta dari 37 milyar kasus kebutaan. Daripada itu, prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetik di kebanyakkan negara Africa sebanyak 0%, kebanyakkan negara South-East Asia dan Western Pacific sebanyak 3–7%, America, Europe dan Western Pacific sebanyak 15–17%. Manakala, prevalensi kasus kebutaan akibat retinopati diabetik di Indonesia sebanyak 0,03% (Wilardjo, 2001). Selain itu, menurut American Diabetes Association (ADA) (2006) sekitar 12,000 – 24, 000 kasus kebutaan akibat retinopati diabetik ditemukan setiap tahun (Shaya, 2007).


(20)

Prevalensi penderita diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 246 juta (Riaz, 2009) dan daripada itu penderita DM tipe 1 yang berlanjut menjadi retinopati diabetik di dunia adalah sebanyak 0–3 %, dan penderita DM tipe 2 yang berlanjut menjadi retinopati diabetik di dunia adalah sebanyak 6.7–30.2 % (Shaya, 2007). Prevalensi penderita DM di Amerika pula adalah sebanyak 18 juta dan yang berlanjut menjadi retinopati diabetik adalah sebanyak 4,1 juta (Chang, 2008). Manakala di Indonesia, terdapat 8,4 juta penderita DM (Fitrania, 2008) atau 5,7 % penderita DM (Pramono et al, 2010) dan yang berlanjut menjadi retinopari diabetik adalah sebanyak 20,6% (Kun, 1993). Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan urutan keempat tertinggi penderita DM (Fitrania, 2008).

Kondisi ini mendapat perhatian besar lembaga – lembaga internasional sejak tahun 2000. Badan kesehatan dunia / World Health Organization (WHO) berkerjasama dengan International Agency for Prevention of Blindness (IAPB) telah mencadangkan satu inisiatif global yaitu program, “Vision 2020, The Right To Sight” (hak untuk melihat). Visi ini kemudian diimplementasikan sesuai dengan kondisi masing – masing negara. (Puspita, 2010).

Menurut data yang dilaporkan oleh Komisi Diabetes di Amerika, dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes, maka penderita diabetes melitus mempunyai resiko kebutaan 25 kali (Kun, 1993). Di Amerika Serikat, 12% dari penderita yang mengalami kebutaan disebabkan oleh diabetes mellitus. Di negara – negara berkembang diperkirakan penyebab utama kebutaan pada kelompok umur 20 hingga 74 adalah retinopati diabetik (Shaya, 2007). Kebutaan oleh karena retinopati diabetik secara umumnya disebabkan oleh non-resolving vitreous hemorrhage, traction retinal detachment atau diabetic macular edema. Prevalensi retinopati diabetik meningkat secara proposional dengan durasi lama menderita diabetes. Dijumpai retinopati diabetik pada 20% pasien yang didiagnosa menderita DM tipe II pada waktu pertama kali didiagnosis, dan persentasenya bertambah hingga 60–85% setelah 15 tahun menderita DM. Manakala, 3–4% proliferatif retinopati diabetik dijumpai pada


(21)

pasien yang menderita DM tipe II kurang dari 4 tahun dan 5–20% pada pasien yang menderita DM lebih dari 15 tahun (Sengϋl* et al, 2002).

Menurut Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness: action plan 2006-2011 (2007), terdapat terapi yang dapat menurunkan resiko penurunan visus dan kebutaan secara signifikan dengan hasil penelitian klinis selama lebih dari 30 tahun, kontrol terhadap DM dan hipertensi yang baik dan didapati dengan terapi yang khusus dan tepat, resiko penurunan visus dan kebutaan dapat dicegah sebanyak 90%. Namun, setelah terjadi kebutaan akibat retinopati diabetik maka tidak dapat ditingkatkan tajam penglihatan dengan upaya apapun karena telah terjadi buta permanen (Wilardjo, 2001), namun beberapa bentuk retinopati diabetik dapat diobati dengan operasi vitreo – retina kompleks. Skrining program untuk mendeteksi retinopati diabetik pada tahap yang awal dimana dengan pengobatan dapat dicegah dan program pendidikan kesehatan adalah cara yang penting untuk mencegah terjadinya kebutaan akibat retinopati diabetik (Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness: action plan 2006-2011, 2007).

Seseorang yang mengalami kebutaan, baik pada satu mata maupun pada kedua matanya memerlukan perhatian serius karena dapat menimbulkan dampak sosio, ekonomi dan psikologi yang akhirnya menjadi beban individu, masyarakat bahkan negara (Aldy, 2010) dan dengan perubahan pola kehidupan ke arah moden diperkirakan pada tahun – tahun mendatang penyakit DM akan menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang, termasuk Indonesia serta kurangnya data penelitian mengenai prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetik di Indonesia menyebabkan penulis memilih judul ini.

Hal – hal tersebut diatas menjadi latar belakang bagi penulis untuk mengetahui prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetik di Sumatera Utara khususnya dari RSUP Haji Adam Malik Medan.


(22)

1.2. Rumusan Masalah

Berapakah prevalensi pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan dari tahun 2008 – 2010 ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kejadian pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik berdasarkan karakteristik pasien yaitu usia dan jenis kelamin.

2. Mengetahui angka kejadian pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik berdasarkan lama menderita diabetes melitus.

3. Mengetahui angka kejadian pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik berdasarkan riwayat keluarga.

4. Mengetahui angka kejadian pasien yang menderita kebutaan akibat retinopati diabetik berdasarkan derajat retinopati diabetik.


(23)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Bagi Rumah Sakit

1.1. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit yang sangat penting di Sumatera Utara jadi dengan terdeteksinya awal seseorang itu menderita diabetes melitus dapat mencegah dari berlanjutan ke tahap retinopati diabetik dan akhirnya kebutaan serta dalam mendukung saranan pemerintah mengenai perencanaan strategis nasional dan penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan untuk mencapai Vision 2020: The Right to Sight yang ditetapkan oleh WHO.

1.2. Sebagai sumber data bagi RSUP Haji Adam Malik Medan supaya dapat dibuat pemetaan kebutaan akibat retinopati diabetik untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien ataupun masyarakat.

2. Bagi Peneliti

2.1. Bagi peneliti dari kalangan medis untuk menambah pengetahuan dalam ilmu medis mengenai diagnosa, terapi, prognosa.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mata

Gambar 2.1: Diambil dari (Netter, 2003) Atlas of Human Anatomy yang menunujukkan gambaran anatomi mata.

2.1.1. Anatomi Retina

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan:

1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.


(25)

3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.

4. Lapis pleksiform luar, merupakan lapis aseluler dan merupakan tempat sinapsis fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller Lapis ini mendapat metabolisme dari ateri sentral.

6. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aseluler merupakan tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.

7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.

8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.

9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca (Ilyas, 2005).

2.1.2. Fisiologi Mata

Fungsi utama mata adalah untuk memfokuskan berkas cahaya dari lingkungan ke sel-sel batang dan kerucut, sel fotoreseptor retina. Fotoreseptor kemudian mengubah energi cahaya menjad sinyal listrik untuk disalurkan ke SSP. Bagian retina yang mengandung fotoreseptor sebenarnya adalah perluasan dari SSP dan bukan merupakan suatu organ terpisah. Selama perkembangan masa mudiga, sel-sel retina ”mundur” dari sistem saraf, sehingga lapisan-lapisan retina, secara mengejutkan, dan menghadap ke belakang. Bagian saraf dari retina terdiri dari 3 lapisan:

1. Lapisan paling luar (terdekat ke koroid) mengandung sel batang dan sel kerucut yang ujung-ujung peka-cahayanya berhadapan dengan koroid (yakni menjauhi cahaya yang datang)


(26)

2. Sebuah lapisan tengan neuron bipolar 3. Lapisan bagian dalam sel ganglion

Akson sel ganglion membentuk saraf optikus yang keluar dari retina sedikit keluar dari titik tengah. Titik di retina tempat keluarnya saraf optikus dan tempat lewatnya pembuluh darah adalah diskus optikus. Daerah ini sering disebut sebagai bintik (titik) buta; tidak ada bayangan yang dapat dideteksi didaerah ini karena daerah ini tidak mengandung sel batang dan sel kerucut. Dalam keadaan normal kita tidak menyadari adanya titik buta ini karena pengolahan di sentral sedikit banyak ”mengisi” bagian yang hilang ini (Sherwood, 2001).

Cahaya dapat melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor disemua daerah retina, kecuali fovea. Di fovea, yaitu cekungan sebesar pangkal jarum pentul dan tepat di tengah retina, lapisan bipolar dan ganglion tertarik ke samping, sehingga cahaya secara langsung megenai fotoreseptor. Sifat ini, ditambah dengan kenyataan bahwa hanya sel kerucut (yang memiliki ketajaman atau kemampuan diskriminatif lebih besar daripada sel batang) yang dijumpai di tempat ini, menyebabkan fovea adalah titik untuk penglihatan tajam. Dengan demikian, kita memutar mata kita sehingga bayangan benda yang kita lihat jatuh terfokus di fovea. Daerah tepat di sekitar fovea, yaitu makula lutea, juga memiliki konsentrasi sel kerucut yang tinggi dan memilki ketajaman yang cukup besar. Namun, ketajaman makula lutea lebih rendah daripada ketajaman fovea karena adanya sel-sel ganglion dan bipolar di atas makula (Sherwood, 2001).

Fotoreseptor terdiri dari tiga bagian :

1.Sebuah segmen luar, yang terletak paling dekat dengan eksterior mata, menghadap ke koroid dan mendeteksi rangsangan cahaya.

2. Sebuah segmen dalam yang terletak di pertengahan panjang fotoreseptor dan mengandung perangkat metabolik sel.

3. Sebuah terminal sinaps, yang terletak paling dekat dengan interior mata, menghadap ke neuron bipolar; dan menyalurkan sinyal yang dihasilkan di fotoreseptor setelah mendapat rangsangan cahaya ke sel-sel berikutnya pada jalur


(27)

penglihatan. Segmen luar, yang berbentuk seperti batang pada sel-sel batang dan seperti kerucut pada sel-sel kerucut, terdiri dari tumpukan lempeng-lempeng membranosa pipih yang banyak mengandung molekul-molekul fotopigmen. Lebih dari sejuta molekul fotopigmen mungkin terdapat di bagian luar setiap fotoreseptor. Fotopigmen mengalami perubahan kimiawi apabila diaktifkan oleh cahaya. Suatu fotopigmen terdiri dari proein enzimatik yang disebut opsin yang berikatan dengan retinen, suatu turunan vitamin A. Terdapat empat jenis fotopigmen, satu di sel batang dan satu di masing-masing dari ketiga jenis sel kerucut. Retinen identik di keempat fotopigmen, tetapi opsin fotoreseptor sedikit berbeda, sehinga fotopigmen dapat menyerap berbagai panjang gelombang cahaya secara berlebihan. Rodopsin, fotopigmen sel batang, tidak dapat membedakan berbagai panjang gelombang spektrum cahaya tampak; pigmen ini menyerap semua panjang gelombang cahaya tampak. Dengan demikian, sel batang hanya memberi gambaran bayangan abu-abu apabila mendeteksi berbagai intensitas cahaya, bukan memberi warna. Fotopigmen di tiga jenis sel kerucut--sel kerucut merah, hijau dan biru — berespons secara selektif terhadap berbagai panjang gelombang, sehingga penglihatan warna dapat terjadi (Sherwood, 2001).

Fototransduksi, yaitu mekanisme eksitasi, pada dasarnya sama untuk semua fotoreseptor. Ketika menyerap cahaya, molekul fotopigmen berdisosiasi mejadi komponen retinen dan opsin, dan bagian retinennya mengalami perubahan bentuk yang mencetuskan aktivitas enzimatik opsin. Melalui serangkaian reaksi, perubahan biokimiawi pada fotopigmen yang diinduksi oleh cahaya ini menimbulkan hiperpolarisasi potensial reseptor yang mempengaruhi pengeluaran zat perantara dari terminal sinaps fotoreseptor (Sherwood, 2001).

2.1.3. Ketajaman Penglihatan

Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh kelaianan yang timbul di sepanjang jaras optik dan jaras visual neurologik. Jadi, pemeriksa harus mempertimbangkan adanya kelainan refraksi (fokus), ptosis, pengeruhan atau gangguan media mata (misalnya edema kornea, katarak, atau perdarahan dalam


(28)

vitreous atau ruang aqueous), dan gangguan fungsi retina (makula), nervus optikus, atau jaras visual intrakranial (Vaughan & Asbury, 2010).

2.2. Kebutaan 2.2.1. Definisi

Ketajaman penglihatan (visus) seseorang dapat diukur secara subjektif dengan optotype, yaitu lembar papan yang memuat gambar / huruf atau tanda – tanda lain. Bila seseorang tidak mampu menyebutkan huruf atau gambar pada papan Optotype itu maka dinyatakan orang itu tergolong low vision. Pengukuran visusnya dengan cara mengenal jari (finger counting) dan tangan (hand movement) dari pemeriksa. Bila tidak dapat melihat jari dan tangan pemeriksa, maka diminta mengenal pacuan sinar yang biasanya digunakan lampu senter (Wilardjo, 2001).

Departemen Kesehatan telah menetapkan batasan dari kebutaan, ialah golongan social blind bila visusnya finger counting jarak satu meter (visus = 1/60) dan medical ophthalmological blind bila tidak ada persepsi (visus = nol) (Wilardjo, 2001).

Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda – beda ditiap negara seperti kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan sosial. Begitu banyak definisi kebutaan, ada sekitar 65 definisi yang tertera dalam publikasi WHO tahun 1966. Di dalam oftalmologi, terminologi kebutaan terbatas pada titik dapatnya melakukan aktifitas sampai tidak adanya persepi cahaya. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kebutaan didefenisikan sebagai tajam penglihatan dengan koreksi terbaik kurang dari atau sama dengan 6/60. Supaya ada perbandingan secara statistik baik nasional maupun internasional, WHO pada 1972 telah mengajukan kriteria yang seragam dan definisi kebutaan sebagai suatu tajam penglihatan yang kurang dari 3/60 (Snellen) atau yang ekuivalen dengannya. Pada 1979, WHO menambahkan dengan ketidaksanggupan hitung jari pada jarak 3 meter di ruang terbuka dengan cahaya matahari (Hutasoit, 2010).


(29)

Menurut International statistical classification of diseases, injuries and causes of death, 10th revision (ICD-10): H54 (9) definisi gangguan penglihatan,

penurunan visus dan kebutaan adalah penurunan visus dan kebutaan yang merupakan pecahan dari ganguan penglihatan. Penurunan visus atau visual acuity adalah kurang dari 6/18, tetapi sama atau lebih baik dari 3/60 atau kehilangan lapangan pandang kurang dari 20 derajat di mata lebih baik dengan sebaik mungkin dikoreksi (ICD-10 visual impairment categories 1 and 2) dan kebutaan adalah visual acuity kurang dari 3/60 atau kehilangan lapangan pandang kurang dari 10 derajat di mata lebih baik dengan sebaik mungkin dikoreksi (ICD-10 visual impairment categories 3, 4 and 5) (Resnikoff et al, 2002).

2.2.2. Epidemiologi

Berdasarkan laporan WHO kebutaan terjadi akibat katarak 43%, glaukoma 15%, retinopati diabetik 8%, trakoma 11%, defisiensi vitamin A 6%, dan onchocerciases 1% (Ramanjit Sihota, 2007).

Kecacatan sebagai akibat dari penyakit mata masih memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Sejak tahun 1967 kebutaan telah dinyatakan sebagai bencana nasional berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan No.19 Birhub.1967. Tahun 1982, Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Dit.Jen.Bin.Kes Mas) Dep.Kes.RI pernah melakukan survei morbiditas mata dalam survei tersebut didapatkan hasil kebutaan dua mata di Indonesia 1,2%. Dalam hal ini termasuk kebutaan yang dialami oleh penderita retinopati 0,03%. Sebagian besar dari kasus retinopati didapatkan pada penderita diabetes melitus. Disamping itu didapatkan enam macam penyakit sebagai penyebab kebutaan, yang terbanyak adalah katarak sebesar 0,76% dan yang disebabkan oleh kelainan retina menempati urutan kelima (Wilardjo, 2001).

Dengan perubahan pola kehidupan ke arah moden diperkirakan pada tahun – tahun mendatang penyakit diabetes melitus juga sebagai penyebab utama kebutaan di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Berbeda dengan kebutaan yang disebabkan oleh katarak yang dapat ditanggulangi, kebutaan yang disebabkan oleh komplikasi diabetes melitus pada retina (retinopati diabetik) tidak


(30)

dapat ditingkatkan tajam penglihatannya dengan upaya apapun, sehingga terjadi buta permanen (Wilardjo, 2001).

2.2.3. Klasifikasi

Tabel 2.1: Diambil dari International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems, tenth revision. Geneva, World Health Organization, 1992 (Ramanjit Sihota, 2007).

Kategori gangguan penglihatan/visus *

Koreksi ketajaman penglihatan/visus terbaik pada mata yang terbaik

O ‘Normal’ 6/6 hingga 6/18, yaitu visus 6/18 atau lebih baik

1 ‘Gangguan penglihatan’ < 6/18 hingga 6/60 2 ‘Gangguan penglihatan

berat’

< 6/60 hingga 3/60

3 ‘Buta’ < 3/60 hingga 1/60

4 ‘Buta’ < 1/60 persepsi hanya terhadap cahaya

5 ‘Buta’ Tidak ada persepsi terhadap cahaya

9 ‘Tidak dapat ditentukan’

Pada tahun 1977 International Classification of Diseases (ICD) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 (Snellen), dimana kategori 1 dan 2 termasuk dalam low vision sedangkan kategori 3,4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan lapangan pandangan 5° - 10° ditempatkan pada kategori 3 dan lapangan pandangan kurang 5° ditempatkan pada kategori 4 (Lihat table 2.2).


(31)

Tabel 2.2: Berdasarkan International Classification Diseases (ICD) terhadap penurunan penglihatan.

Kategori penurunan penglihatan/visus

Tingkat ketajaman visus (Snellen)

Visus normal 6/6 hingga 6/18

Visus rendah (Low vision)

Kurang dari 6/18 hingga 6/60 Kurang dari 6/60 hingga 3/60

Kebutaan 1. Kurang dari 3/60 (Hitung jari pada jarak 3 meter) hingga 1/60 (Hitung jari pada jarak 1 meter) atau luas pandangan antara 5°-10°

2. Kurang dari 1/60 (Hitung jari pada jarak 3 meter) hingga 1/60 (Hitung jari pada jarak 1 meter) hingga persepsi terhadap cahaya atau luas pandangan kurang dari 5°

3. Tiada persepsi terhadap cahaya

2.3. Retinopati Diabetik

2.3.1. Definisi Diabetes Melitus

Menurut WHO, Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) akibat dari kerusakan sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya. Diabetes melitus bukan merupakan penyakit berpatogen tetapi sekelompok penyakit metabolik dengan etiologi yang berbeda (Reinauer, 2002).

Menurut American Optometric Association (AOA), diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin dan / atau meningkatkan resistensi seluler terhadap insulin (Cavallerano et al, 2009).


(32)

Diabetes adalah penyebab utama keempat kematian di negara-negara industri. Diabetes merupakan suatu penyakit di bidang medis yang memerlukan perhatian yang cukup besar karena komplikasi parah jangka panjangnya, seperti termasuk gangguan kardiovaskular, retinopati, neuropati dan nefropati. Diabetik retinopati adalah penyebab paling tinggi menyebabkan kebutaan, dan merupakan satu masalah yang semakin berkembang di dunia ini (Shrestha, 2007).

2.3.2. Definisi Retinopati Diabetik

Retinopati Diabetik (RD) secara klasik telah dianggap sebagai penyakit mikrosirkulasi dari retina karena efek metabolik akibat hiperglikemia sendiri dan jalur metabolik dipicu oleh hiperglikemia (jalur poliol, jalur hexosamine, jalur DAG-PKC, advanced glycation end-products dan stres oksidatif). Namun, neurodegeneration retina sudah ada sebelum kelainan mikrosirkulasi dapat dideteksi dengan pemeriksaan oftalmoskopi. Dengan kata lain, neurodegeneration retina adalah sebuah peristiwa awal patogenesis RD yang mendahului dan berpartisipasi dalam kelainan mikrosirkulasi yang terjadi pada RD (Villarroel, 2010).

2.3.3. Epidemiologi

Menurut Peter J. Watkins, diabetes adalah penyebab paling umum kebutaan pada orang berusia 30 – 69 tahun. Dua puluh tahun setelah onset diabetes, hampir semua pasien dengan DM tipe I dan lebih dari 60% pasien DM tipe II akan memiliki beberapa derajat retinopati (Watkins dalam Barceló, 2001). Bahkan pada saat diagnosis DM tipe II, sekitar seperempat pasien telah membentuk gejala retinopati (Shrestha, 2007). Lebih dari 20% pasien dengan DM tipe II menderita retinopati diabetik dan sekitar 5% menjadi buta (Barceló, 2001).

2.3.4. Klasifikasi

Secara umum retinopati diabetik dibagi menjadi dua yaitu retinopati diabetik non proliferatif atau dikenali juga dengan retinopati diabetik dasar dan retinopati diabetik proliferatif (Lubis, 2007).


(33)

Gambar 2.2: Retinopati diabetik non proliferatif

Gambar 2.3: Retinopati diabetik proliferatif (Gambar 2.1 dan 2.2: Berdasarkan klasifikasi oleh The International Classification of Diabetic Retinopathy, retinopati diabetik dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu Mild Nonproliferatif Retinopati Diabetik: Microaneurysm only, Moderate Nonproliferatif Retinopati Diabetik dan Severe Nonproliferatif Retinopati Diabetik (Lubis, 2007).

2.3.5. Patofisiologi

Bentuk patofisiologi retinopati diabetik yang paling umum dijumpai adalah cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah yang terkena. Hal ini disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler, mekanisme perubahannya tidak diketahui tetapi telah diteliti adanya perubahan endotel vaskuler (penebalan membran basalis dan hilangnya perisit) dan gangguan hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet). Di sini perubahan mikrovaskuler pada retina terbatas pada lapisan retina (intra retina). Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multipel yang dibentuk oleh kapiler – kapiler yang membentuk kantong-kantong kecil yang menonjol seperti titik – titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, serta bercak perdarahan intra retina. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyalaan api karena lokasinya di dalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Perdarahan dengan bentuk titik-titik atau bercak terletak di


(34)

lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal (Lubis, 2007).

Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati diabetik non proliferatif. Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran plasma yang lanjut disertai iskemik pada dinding retina (cotton wall spot), dan infark pada lapisan serabut saraf. Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari edema makula adalah cotton wall spot, intra retina mikrovaskuler abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manik-manik. Bila satu dari keempatnya dijumpai maka ada kecenderungan progresif (Lubis, 2007).

Retinopati diabetik non proliferatif dapat mempengaruhi fungsi penglihatan melalui dua mekanisme yaitu: perubahan sedikit demi sedikit dengan pembentukan kapiler dari intra retina yang menyebabkan iskemik makular dan peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema makular (Lubis, 2007).

Gambar 2.4: Diambil dari Advances in Diabetic Retinopathy menunjukkan alur patogenesis berlakunya retinopati diabetik(Feener, 2008).


(35)

2.3.6. Pemeriksaan Penunjang

Untuk dapat membantu mendeteksi secara awal adanya edema makula pada retinopati diabetik non – poliferatif dapat digunakan Stereoscopic Biomicroscopic dengan lensa +90 dioptri. Selain itu, Angiografi Fluoresens juga sangat bermanfaat dalam mendeteksi kelainan mikrovaskularisasi pada retinopati diabetik. Manakala dijumpai kelainan pada elektroretinografik juga memiliki hubungan dengan keparahan retinopati dan dapat membantu memperkirakan perkembangan retinopati (Lubis, 2007).

Gambar 2.5: Contoh gambar fundus berwarna. Dua yang pertama menunjukkan gambar mata yang sehat sementara dua terakhir gambar berisi eksudat, manifestasi dari retinopati (Silberman, 2010).

Gambar 2.6: Gambaran retina yang membingungkan. Gambar pertama berisi Patch dengan intensitas warna yang sama dengan diskus optik dan dapat menimbulkan kekeliruan dengan eksudatnya. Namun, komponen ini tidak berhubungan dengan retinopati diabetik. Gambar kedua berisi artefak besar


(36)

oftalmoskopi yang digunakan untuk melihat retina dan hasilnya mirip/hampir sama dengan retinopati jika diperiksa dalam skala yang kecil (Silberman, 2010). Tabel 2.3: Diagnosis tingkat klinis retinopati diabetik dan rujukan yang tepat untuk dokter spesialis mata, berdasarkan grading gambar JVN lebih baik dibandingkan dengan gradasi menggunakan Pengobatan Dini Retinopati Diabetika Study (ETDRS) tujuh standar lapangan 35-mm stereo warna slides dan pemeriksaan retina oleh dokter spesialis mata melalui saiz pupil yang melebar (Cavallerano et al, 2005).

2.3.7. Penatalaksanaan

Pasien retinopati diabetik non-proliferatif tanpa edema makula dilakukan pengobataan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik yang lainnya. Terapi laser argon fokal terhadap titik – titik kebocoran retina pada pasien yang secara klinis menunjukkan edema bermakna dapat memperkecil resiko penurunan penglihatan dan meningkatkan fungsi penglihatan, sedangkan mata dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna maka biasanya hanya dipantau secara ketat terapi laser (Lubis, 2007).


(37)

Pasien retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan pengobatan dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan kemungkinan perdarahan massif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan pada sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh – pembuluh darah yang baru tersebut. Diharapkan kemungkinan fotokoagulasi panretina laser argon ini berkerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari retina yang mengalami iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka – luka bakar laser dalam jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur diseluruh retina, tidak mengenai bagian sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh vaskular temporal utama (Lubis, 2007).

Tabel 2.4: Diambil dari American Academy of Opthalmology menganjurkan beberapa manajemen yang umum. Terapi berbeda mengikut individu, derajat keparahan pasien, faktor resiko, penyakit sistemik lain dan lain – lain.


(38)

Tabel 2.5: Diambil dari Current Diabetes Reviews, 2009, Metabolic Control and Diabetic Retinopathy menunjukkan pengurangan atau penurunan resiko dengan terapi yang intensif dan convensional (Rodriguez-Fontal*, 2009).


(39)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Kerangka Konsep Prevalensi Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan dari Tahun 2008 – 2010

3.2. Variabel dan Definisi Operasional

Sesuai dengan masalah, tujuan, dan model penelitian, maka yang menjadi variabel dalam penelitian berserta dengan definisi operasionalnya masing-masing sesuai dengan yang dicatat oleh petugas rumah sakit sebagai berikut:

Prevalensi Kebutaan

Akibat Retinopati

Diabetik - Karakteristik Penderita (Usia & Jenis Kelamin)

- Lama Menderita Diabetes Melitus - Riwayat Keluarga


(40)

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Alat Ukur

Hasil Ukur Skala

Pengukuran Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik Visus terbaik pada kedua mata < 3/60

Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Ketajaman Visus 1. Visus < 3/60 2. Visus > 3/60 Nominal Penderita Retinopati Diabetik Menderita retinopati diabetik Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Menderita RD 1. Penderita retinopati diabetik 2. Bukan penderita retinopati diabetik Nominal

Usia Usia saat

penderita pertama kali didiagnosis menderita retinopati diabetik Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Usia penderita 1. 20 – 40 tahun 2. 41 – 60 tahun

3. > 60 tahun

Ordinal Jenis Kelamin Jenis kelamin penderita Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Jenis Kelamin 1. Laki – laki 2. Perempuan


(41)

Lama Menderita Diabetes Melitus Lama menderita DM pada saat penderita diagnosis menderita retinopati diabetik Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Onset

1. < 10 tahun 2. 11 – 20 tahun

3. > 20 tahun

Ordinal Riwayat Keluarga Ada riwayat ahli keluarga yang menderita masalah yang sama Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Riwayat Keluarga 1. Ada riwayat keluarga 2. Tidak ada riwayat keluarga Nominal Derajat Retinopati Diabetik Derajat retinopati saat penderita didiagnosis menderita retinopati diabetik Observasi dan Pengumpulan data Rekam Medis Tipe

1. Tipe Non Poliferatif Retinopati Diabetik 2. Tipe Poliferatif Retinopati Diabetik Nominal


(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Desain cross sectional adalah suatu desain penelitian dimana pengumpulan data atau variabel yang akan diteliti dilakukan secara bersamaan dengan melihat data rekam medis penderita retinopati diabetik yang tercatat selama periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2010.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli–September 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan. Adapun pertimbangan memilih lokasi tersebut dengan beberapa alasan yaitu, RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan, pusat pelayan kesehatan pemerintah yang menjadi tempat rujukan di Sumatera Utara, dan jumlah penderita retinopati diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan relatif memadai untuk dijadikan sampel penelitian.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medis penderita retinopati diabetik selama periode 1 Januari 2008–31 Desember 2010.

Sampel penelitian adalah subyek yang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian yang diambil dengan metode total sampling.

4.4. Kriteria Inklusi & Eksklusi 4.4.1 Kriteria Inklusi

Semua penderita retinopati diabetik.

4.4.2. Kriteria Eksklusi

Penderita retinopati diabetik yang menderita penyakit hipertensi dan data rekam medis yang tidak lengkap.


(43)

4.5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai dengan membawa surat pengantar dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ke Poliklinik Mata dan direktur RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder yang diperoleh berdasarkan hasil diagnosis dokter yang tercatat dalam rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan di Poliklinik Mata.

4.6. Metode Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan empat tahapan yakni editing, coding, entry, cleaning data, saving dan analisis data. Pengolahan data dilakukan dengan langkah–langkah yaitu: (1) editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data; (2) coding, data yang telah terkumpul kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer; (3) entry, data tersebut dimasukkan ke dalam program komputer; (4) cleaning data, pemeriksaan semula semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahan sewaktu dimasukkan data; (5) saving, penyimpanan data untuk siap dianalisis; dan (6) analisis data.

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan bantuan sistem komputerisasi, dan kemudian disajikan dengan menggunakan tabel distribusi, frekuensi, dan dilakukan pembahasan dan analisis dalam bentuk narasi sesuai dengan pustaka yang ada.


(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 355/ Menkes/ SK/ VII/ 1990. RSUP Haji Adam Malik Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki 1.995 orang tenaga yang terdiri 790 orang tenaga medis dari berbagai spesialisasi dan sub spesialisasi, 604 orang paramedik perawatan, 298 orang paramedik non perawatan dan 263 tenaga non medis serta ditambah dengan Dokter Brgade Siaga Bencana (BSB) sebanyak 8 orang.

RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat darurat, bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi diagnostik terpadu, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi medik, kardiovaskular, mikrobiologi), pelayanan penunjang non medis (instalasi gizi, farmasi, Central Sterilization Supply Depart (CSSD), bioelektrik medik, Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS), dan pelayanan non medis (instalasi tata usaha pasien, teknik sipil pemulasaraan jenazah). Bagian


(45)

rekam medik terletak di lantai dasar tepat di belakang poliklinik Obstetri Ginekologi.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Penelitian ini berbentuk survei yang bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Desain cross sectional adalah suatu desain penelitian dimana pengumpulan data atau variabel yang diteliti dilakukan secara bersamaan dengan melihat data sekunder rekam medis penderita retinopati diabetik yang tercatat selama periode 1 Januari 2008–31 Desember 2010 dengan jumlah kebutaan akibat retinopati diabetik sebanyak 4 orang, dari sampel penderita retinopati diabetik sebanyak 64 orang.

5.1.2.1 Data Umum Sampel

Dari 64 sampel penderita retinopati diabetik digambarkan berdasarkan usia, jenis kelamin, lamanya menderita retinopati diabetik, riwayat keluarga serta derajat retinopati diabetik.

5.1.2.1.1. Deskripsi Sampel Berdasarkan Usia Penderita Retinopati Diabetik Tabel 5.1. Distribusi Kelompok Usia Penderita Retinopati Diabetik

No. Umur Jumlah Persentasi (%)

1. 20 – 40 Tahun 4 6.3

2. 41 – 60 Tahun 44 68.8

3. > 60 Tahun 16 25.0

Jumlah 64 100.0

Dari tabel 5.1, diperoleh data penderita retinopati diabetik paling banyak dijumpai pada kelompok usia 41–60 tahun sebanyak 44 orang (68,8%) dan diikuti kelompok usia diatas 60 tahun sebanyak 16 orang (25,0%), lalu diikuti kelompok


(46)

5.1.2.1.2. Deskripsi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita Retinopati Diabetik

Tabel 5.2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Retinopati Diabetik

No. Jenis Kelamin Jumlah Persentasi (%)

1. Laki – laki 29 45.3

2. Perempuan 35 54.7

Jumlah 64 100.0

Dari tabel 5.2, jenis kelamin sampel penelitian penderita retinopati diabetik adalah laki-laki sebanyak 29 orang (45,3%) dan perempuan 35 orang (54,7%).

5.1.2.1.3. Deskripsi Sampel berdasarkan Lama Menderita Diabetes Melitus Penderita Retinopati Diabetik

Tabel 5.3. Distribusi Lama Menderita Diabetes Melitus Penderita Retinopati Diabetik

No. Lama Menderita

DM Jumlah Persentasi (%)

1. < 10 Tahun 43 67.2

2. 11 – 20 Tahun 20 31.3

3. > 20 Tahun 1 1.6

Jumlah 64 100.0

Dari tabel 5.3, sampel penelitian penderita retinopati diabetik berdasarkan lama menderita diabetes melitus yang paling banyak adalah kurang dari 10 tahun sebanyak 43 orang (67,2%), dan diikuti lama menderita diabetes melitus 11–20 tahun sebanyak 20 orang (31,3%), lalu di ikuti lama menderita diabetes melitus diatas 20 tahun sebanyak 1 orang (1,6%).


(47)

5.1.2.1.4. Deskripsi Sampel berdasarkan Riwayat Keluarga Penderita Retinopati Diabetik

Tabel 5.4. Distribusi Riwayat Keluarga Penderita Retinopati Diabetik

No. Riwayat Keluarga Jumlah Persentasi (%)

1. Ada 53 82.8

2. Tidak Ada 11 17.2

Jumlah 64 100.0

Dari tabel 5.4, sampel penelitian penderita retinopati diabetik berdasarkan adanya riwayat keluarga sebanyak 53 orang (82,8%), manakala yang tidak mempunyai riwayat keluarga sebanyak 11 orang (17,2%).

5.1.2.1.5. Deskripsi Sampel berdasarkan Derajat Retinopati Diabetik Penderita Retinopati Diabetik

Tabel 5.5. Distribusi Derajat Retinopati Diabetik Penderita Retinopati Diabetik

No. Derajat RD Jumlah Persentasi (%)

1. Tipe Non

Poliferatif Retinopati Diabetik

55 85.9

2. Tipe Poliferatif

Retinopati Diabetik

9 14.1

Jumlah 64 100.0

Dari tabel 5.5, derajat retinopati diabetik yang dominan adalah Tipe Non Poliferatif Retinopati Diabetik (non poliferatif diabetic retinopati / NPDR) dengan jumlah 55 orang (85,9%) dan diikuti Tipe Poliferatif Retinopati Diabetik


(48)

5.1.3. Data Sampel Penelitian

Dari semua sampel penderita retinopati diabetik, didapatkan penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada kedua mata adalah sebanyak 4 orang dan penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada satu mata adalah sebanyak 6 orang.

5.1.3.1. Deskripsi Sampel berdasarkan Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik

Tabel 5.6. Distribusi Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik Kebutaan (Visus < 3/60) Satu Mata Dua Mata

N % N %

Jumlah 4 6,3 7 10,9

Dari tabel 5.6, terjadinya kebutaan akibat retinopati diabetik dengan visus kurang dari 3/60 pada kedua mata sebanyak 4 orang (6,3%) dan kebutaan akibat retinopati diabetik dengan visus kurang dari 3/60 pada satu mata sebanyak 7 orang (10,9%).

5.1.3.2. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Usia

Tabel 5.7. Distribusi Kelompok Usia Penderita Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik

No. Usia 1 Mata 2 Mata Jumlah

N % N % N %

1. 20 – 40 Tahun 2 18,2 0 0,0 2 18,2

2. 41 – 60 Tahun 3 27,3 3 27,3 6 54,5

3. > 60 Tahun 2 18,2 1 9,0 3 27,3

Jumlah 7 63,7 4 36,3 11 100,0

Dari tabel 5.7, penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata terbanyak pada kelompok usia 41–60 tahun sebanyak 3 orang (27,3%), manakala penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata terbanyak pada kelompok usia 41–60 tahun sebanyak 3 orang (27,3%).


(49)

5.1.3.3. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.8. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik

No. Jenis Kelamin 1 Mata 2 Mata Jumlah

N % N % N %

1. Laki – laki 4 36,4 2 18,2 6 54,5

2. Perempuan 3 27,3 2 18,2 5 45,5

Jumlah 7 63,7 4 36,3 11 100,0

Dari tabel 5.8, penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata terbanyak pada jenis kelamin laki–laki sebanyak 4 orang (36,4%), manakala penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata pada jenis kelamin laki–laki dan perempuan persentasinya sama yaitu sebanyak 2 orang (18,2%).

5.1.3.4. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Lama Menderita Diabetes Melitus

Tabel 5.9. Distribusi Lama Menderita Diabetes Melitus Penderita Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik

No. Lama Menderita DM

1 Mata 2 Mata Jumlah

N % N % N %

1. < 10 Tahun 5 45,5 2 18,2 7 63,7

2. 11 – 20 Tahun 2 18,2 2 18,2 4 36,3

3. > 20 Tahun 0 0,0 0 0,0 0,0 0,0

Jumlah 7 63,7 4 36,4 11 100,0

Dari tabel 5.9, lamanya menderita diabetes melitus penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata terbanyak kurang dari 10 tahun sebanyak 5 orang (45,5%), manakala lamanya menderita diabetes melitus penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata persentasinya sama yaitu kurang dari 10 tahun sebanyak 2 orang (18,2%) dan selama 11–20 tahun sebanyak 2 orang (18,2%).


(50)

5.1.3.5. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Riwayat Keluarga

Tabel 5.10. Distribusi Riwayat Keluarga Penderita Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik

No. Riwayat

Keluarga N 1 Mata % N 2 Mata % Jumlah N %

1. Ada 5 45,5 4 36,3 9 81,8

2. Tidak Ada 2 18,2 0 0,0 2 18,2

Jumlah 7 63,7 4 36,3 11 100,0

Dari tabel 5.10, adanya riwayat keluarga pada penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata adalah sebanyak 5 orang (45,5%), manakala adanya riwayat keluarga pada penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata adalah sebanyak 4 orang (36,3%).


(51)

5.1.3.6. Deskripsi Sampel Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik berdasarkan Derajat Retinopati Diabetik

Tabel 5.11. Distribusi Derajat Retinopati Diabetik Penderita Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik

No. Derajat RD 1 Mata 2 Mata Jumlah

N % N % N %

1. Tipe Non Poliferatif Retinopati Diabetik

1 9,1 1 9,1 2 18,2

2. Tipe Poliferatif Retinopati Diabetik

6 54,5 3 27,3 9 81,8

Jumlah 7 63,7 4 36,3 11 100,0

Dari tabel 5.11, tipe poliferatif retinopati diabetik pada penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata sebanyak 6 orang (54,5%), manakala tipe poliferatif retinopati diabetik pada penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata sebanyak 3 orang (27,3%).


(52)

5.2. Pembahasan

Dari tabel 5.1, diperoleh data penderita retinopati diabetik paling banyak dijumpai pada kelompok usia 41–60 tahun sebanyak 44 orang (68,8%) dan diikuti kelompok usia diatas 60 tahun sebanyak 16 orang (25,0%), lalu diikuti kelompok usia 20–40 tahun sebanyak 4 penderita (6,3%). Menurut penelitian Shrestha S, 2007 menemukan usia kurang dari 40 tahun sebanyak 22 orang (7.0%), usia 41 – 60 tahun sebanyak 181 orang (57,3%), lalu usia diatas 60 tahun sebanyak 113 orang (35,8%). Menurut sumber dari poliklinik sub bagian Endokrin Bagian Ilmu Penyakit Dalam Perjan RS Dr. M. Djamil / FK Unand Padang usia termuda yang ditemukan adalah 22 tahun dan yang paling tua adalah 81 tahun dengan rata-rata usia penderita adalah 56,69 tahun. Rata–rata usia penderita pada kelompok usia 41–60 tahun karena merupakan usia dimana peranan fisiologis & hemeostasis tubuh menurun sehingga dengan amalan gaya hidup yang tidak sehat menyebabkan resiko tinggi menderita retinopati diabetik.

Dari tabel 5.2, jenis kelamin sampel penelitian penderita retinopati diabetik adalah laki-laki sebanyak 29 orang (45,3%) dan perempuan 35 orang (54,7%). Menurut sumber dari poliklinik sub bagian Endokrin Bagian Ilmu Penyakit Dalam Perjan RS Dr. M. Djamil / FK Unand Padang terdiri dari 191 orang laki-laki (50,7%) dan 186 orang perempuan (49,3%). Menurut Keat, 2009 penderita retinopati diabetik adalah laki – laki sebanyak 136 (45,2%) dan perempuan sebanyak 165 (54,8%). Terdapat perbedaan distribusi berdasarkan jenis kelamin besar kemungkinan karena faktor ras, lokasi tempat tinggal, norma kehidupan berbeda di setiap negara.

Dari tabel 5.3, sampel penelitian penderita retinopati diabetik berdasarkan lama menderita diabetes melitus yang paling banyak adalah kurang dari 10 tahun sebanyak 43 orang (67,2%). Sedangkan yang ditemukan dalam penelitian Niazi, 2010 adalah rata–rata penderita menderita lamanya diabetes melitus selama 8,73 akan menderita retinopati diabetik. Menurut penelitian dari AlKharji, 2006 prevalensi terjadi retinopati diabetik meningkat dengan lamanya menderita diabetes melitus, dengan hasil penelitian ditemukan meningkatnya resiko sebanyak 10% apabila menderita diabetes melitus selama kurang dari 5 tahun,


(53)

manakala meningkatnya resiko sebanyak 51% apabila menderita diabetes melitus lebih dari 20 tahun. Jadi lama menderita diabetes melitus secara langsung mempunyai kaitan dengan meningkatnya insiden retinopati diabetik.

Dari tabel 5.4, sampel penelitian penderita retinopati diabetik berdasarkan adanya riwayat keluarga sebanyak 53 orang (82,8%), manakala yang tidak mempunyai riwayat keluarga sebanyak 11 orang (17,2%). Pada tahun terakhir ini terjadi peningkatan kejadian DM dengan sebab yang belum jelas, tetapi faktor lingkungan dan faktor predisposisi genetik memegang pengaruh (Syamhudi). Manakala menurut Fouad, 2011 28 orang (63.6%) yang menderita diabetes melitus dengan retinopati mempunyai riwayat keluarga. Ramai penderita mempunyai riwayat keluarga karena mengamalkan gaya hidup yang tidak sehat sejak turun–temurun.

Dari tabel 5.5, derajat retinopati diabetik yang dominan adalah tipe non poliferatif retinopati diabetik (non poliferatif diabetic retinopati / NPDR) dengan jumlah 55 orang (85,9%) dan diikuti tipe poliferatif retinopati diabetik (poliferatif diabetic retinopati / PDR) sebanyak 9 orang (14,1%). Sedangkan menurut penelitian dari poliklinik sub bagian Endokrin Bagian Ilmu Penyakit Dalam Perjan RS Dr. M. Djamil / FK Unand Padang, di kirim ke poliklinik Ilmu Penyakit Mata sebanyak 176 orang (46,7%) menderita tipe non poliferatif retinopati diabetik dan 15 orang (4%) menderita tipe poliferatif retinopati diabetik. Manakala, Mottola et al menemukan sebanyak 23% untuk tipe non poliferatif retinopati diabetik dan sebanyak 8,0% untuk tipe poliferatif retinopati diabetik. Mitchell, sebagai mana di kutip Hesse, menemukan sebanyak 1,2% yang menderita tipe poliferatif retinopati diabetik.

Tabel 5.6 menggambarkan sampel penelitian berdasarkan kebutaan akibat retinopati diabetik dengan kebutaan 2 mata (bilateral) adalah sebanyak 4 orang (6,3%), manakala didapati kebutaan 1 mata (unilateral) akibat retinopati diabetik sebanyak 7 orang (10,9%). Sedangkan menurut Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness: action plan 2006-2011 (2007), prevalensi kasus kebutaan 2 mata (bilateral) akibat retinopati diabetik di dunia adalah sebanyak 4,8 % atau 1,8 juta dari 37 milyar kasus kebutaan. Berdasarkan


(54)

penelitian Wilardjo, di Poliklinik Mata Diabetes di RSUP Dr. Kariadi, selama dua tahun ditemukan 14 orang (13,7%) yang mengalami kebutaan 1 mata (unilateral) dan ditemukan 2 orang (2.0%) yang mengalami kebutaan 2 mata (bilateral). Dari tabel 5.7 diperolehi data penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata terbanyak pada kelompok usia 41–60 tahun sebanyak 3 orang (27,3%), manakala penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata terbanyak pada kelompok usia 41–60 tahun sebanyak 3 orang (27,3%).

Dari table 5,8 diperolehi, penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata terbanyak pada jenis kelamin laki–laki sebanyak 4 orang (36,4%), manakala penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata pada jenis kelamin laki– laki dan perempuan persentasinya sama yaitu sebanyak 2 orang (18,2%).

Dari tabel 5.9, lamanya menderita diabetes melitus penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata terbanyak kurang dari 10 tahun sebanyak 5 orang (45,5%), manakala lamanya menderita diabetes melitus penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata persentasinya sama yaitu kurang dari 10 tahun sebanyak 2 orang (18,2%) dan selama 11–20 tahun sebanyak 2 orang (18,2%). Selain itu menurut penelitian Niazi, 2010 tersebut hubungan menderita diabetes melitus yang lebih lama, dengan peningkatan kadar HbA1C dan kadar gula darah yang tidak terkawal sangat tinggi resikonya berlanjut ke kasus komplikasi seperti kebutaan. Menurut Wilardjo, 2001 umumnya DM tanpa pengelolaan yang baik setelah 5 tahun akan terjadi komplikasi mikrovaskuler sehingga tanpa dikawal dan konsentrasi retina yang sentiasa berada dalam keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan viskositas kekentalan darah meningkat sehingga vaskularisasi lebih lamban bahkan dapat menimbulkan sumbatan pembuluh kapiler, sehingga menyebabkan jaringan retina kekurangan nutrisi dan oksigenisasi dan terjadilah iskhemi jaringan sehingga terjadinya neovaskularisasi yang sifatnya halus dan rapuh sehingga mudah pecah dan berdarah. Terjadinya penurunan visus sampai terjadinya kebutaan karena terbentuknya eksudat yang tebal yang menutup makula lutea, perdarahan masuk ke badan kaca, Retinal detachment karena tarikan jaringan fibrovaskular serta atrofi papil saraf optikus karena nutrisi yang kurang.


(55)

Dari tabel 5.10, adanya riwayat keluarga pada penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata adalah sebanyak 5 orang (45,5%), manakala adanya riwayat keluarga pada penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata adalah sebanyak 4 orang (36,3%).

Dari tabel 5.11, tipe poliferatif retinopati diabetik pada penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 1 mata sebanyak 6 orang (54,5%), manakala tipe poliferatif retinopati diabetik pada penderita kebutaan akibat retinopati diabetik pada 2 mata sebanyak 3 orang (27,3%).


(56)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Prevalensi kebutaan 2 mata (bilateral) pada penderita retinopati diabetik sebanyak 4 orang (6,3%) sedangkan kebutaan 1 mata (unilateral) sebanyak 7 orang (10,9%).

2. Usia penderita retinopati diabetik paling banyak dijumpai pada usia 41–60 tahun sebanyak 44 orang (68,8%).

3. Jenis kelamin penderita retinopati diabetik adalah tidak seimbang, dimana ditemukan laki-laki sebanyak 29 orang (45.3%) dan perempuan sebanyak 35 orang (54,7%).

4. Penderita yang lamanya menderita diabetes melitus rata-rata kurang dari 10 tahun sebanyak 43 orang (67,2%).

5. Penderita retinopati diabetik sebagian besar memiliki riwayat keluarga yaitu 53 orang (82,8%).

6. Derajat retinopati diabetik yang dominan adalah tipe non poliferatif retinopati diabetik (non poliratif diabetic retinopati / NPDR) sebanyak 55 orang (85,9%).


(57)

6.2. Saran

Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Rumah Sakit

Pihak Rumah Sakit diharapkan dapat meningkatkan sumber tenaga, dana serta dapat melaksanakan pelbagai progam penyuluhan mengenai diabetes melitus dan retinopati diabetik kepada penderita sejak awal lagi dan memastikan penderita mengetahui mengenai manfaat apabila dideteksi sejak dini lagi serta memastikan penderita datang ke rumah sakit secara berkala.

2. Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan seperti dokter, bidan, dan perawat dalam melakukan tindakan medis yang sesuai serta menyediakan informasi dan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk langkah-langkah strategis bagi penatalaksanaan kebutaan akibat retinopati diabetik

3. Peneliti

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dalam menggambarkan Prevalensi Kebutaan Akibat Retinopati Diabetik di RSUP Haji Adam Malik Medan dari Tahun 2008 – 2010. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menyempurnakan penelitian ini. Peneliti merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya, untuk meneliti tidak hanya prevalensi tetapi juga faktor – faktor resiko terjadinya kebutaan akibat retinopati diabetik.


(58)

Daftar Pustaka

Aldy, F., 2010. Prevalensi Kebutaan Akibat Trauma Mata di Kabupaten Tanapuli Selatan, USU Repository, 1 – 67.

Alvin C.Powers., 2008. Diabetes Mellitus In: Anthony S. Fauci, Eugene

Braunwald, Dennis L. Kasper, Stephen L. Hauser, Dan L. Longo, J. Larry Jameson, et.al, ed., Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th edition.

United States of America, 2275 – 2304.

American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guidelines For Clinical Practice For The Management of Diabetes Mellitus., 2011. AACE Diabetes Mellitus Clinical Practice Guideline Task Force, Endocrine Practice, 13 (1), 3 – 65.

Barceló, A., Rajpathak, S., 2001. Incidence and prevalence of diabetes mellitus in the Americas, Pan Am J Public Health 10 (5): 300 – 306.

Cavallerano, J., et. al., 2009. Care of the Patient with Diabetes Mellitus, American Optometric Association, 3, 2 – 68.

Chang, L.K., Sarraf, D., 2008. Current and future approaches in the prevention and treatment of diabetic retinopathy, Clinical Ophthalmology, 2 (2): 425 – 433.

Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycemia., 2006. Report of a WHO/IDF Consultation, 5-34. Available from:

http://www.google.com.my/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CCAQFj AA&url=http%3A%2F%2Fwww.idf.org%2Fwebdata%2Fdocs%2FWHO _IDF_definition_diagnosis_of_diabetes.pdf&rct=j&q=Definition%20and %20Diagnosis%20of%20Diabetes%20Mellitus%20and%20Intermediate%


(59)

20Hyperglycemia%2C%20Report%20of%20a%20WHO%2FIDF%20Con sultation&ei=e6jITYu_KYmqrAelu5SRBQ&usg=AFQjCNG8rfBLUHAz AYLdCRRhtgCGTlFoQ&cad=rja [Accesed on 10 April 2011].

Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its

Complications., 1999. Report of a WHO Consultation, 1-33. Available from:http://www.google.com.my/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CB 4QFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.staff.ncl.ac.uk%2Fphilip.home%2F who_dmg.pdf&rct=j&q=Definition%2C%20Diagnosis%20and%20Classif ication%20of%20Diabetes%20Mellitus%20and%20its%20Complications &ei=XazITbGbKonyrQeP55mYBQ&usg=AFQjCNEfU7kTMkUMl1EzD OwFNzQFPS1jEQ&cad=rja [Accesed on 15 April 2011].

DeFronzo, R.A., 2004. Pathogenesis of type 2 diabetes mellitus, The Medical Clinis of North America, 4 (13): 787 – 835.

Donaghue, K.C., et.al., 2007. Microvascular and Macrovascular Complications, Pediatric Diabetes ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2006-2007, 8, 163 – 170.

Feener, E.P., 2008. Advances in Diabetic Retinopathy, US Endocrinology, 85 – 88.

Fitrania, F., 2008. Gambaran epidemiologi hiperglikemia, FKM Universitas Indonesia, 1 – 8.

Foster, A., Gilbert, C., Johnson, G., 2008. Changing patterns in global blindness: 1988-2008, 20th ed. London: Community Eye Health Journal,

International Centre for Eye Health, London School of Hygiene and Tropical Medicine, 37 – 39.


(60)

Global Initiative for the Elimination of Avoidable Blindness: action plan 2006-2011., 2007. World Health Organization 1-87. Available from:

http://www.vision2020.org/documents/publications/Vision2020_report.pd f [Accesed on 9 Februari 2011].

Guspita, R., 2010. Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Langkat, USU Repository, 1 – 62.

Herman., 2010. Prevalensi Kebutaan Akibat Glaukoma di Kabupaten Tanapuli Selatan, USU Repository, 1 – 72.

Hutasoit, H. (2010) Prevalensi Kebutaan Akibat Katarak di Kabupaten Tanapuli Selatan, USU Repository, 1 – 65.

Ilyas., Sidarta., 2005. Ilmu Penyakit Mata: Edisi ketiga. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Penyakit Mata Universitas Indonesia, 21 – 25.

K, Viswanath., McGavin, DD.M., 2003. Diabetic Retinopathy: Clinical Findings and Management, Community Eye Health, 16 (46): 21 – 24.

K, V. Chalam., Lin S., Mostafa, S., 2005. Management of Diabetic Retinopathy in the Twenty-first Century, Northeast Florida Medicine, 1(1): 8 – 15. Khatib, Q.M.N., 2006. Guidelines for the prevention, management and care of

diabetes mellitus, World Health Organization, 9 – 75.

Kun, D.D., Panggabean, D., Akbar, P. A., Kariadi, S.H.KS., 1993. Prevalensi dan Faktor – faktor Resiko Retinopati Diabetik pada Penderita Diabetes Melitus di R.S Dr. Hasan Sadikin, MKB, 25 (2): 14 – 17.


(61)

Mahler, R., Adler, M., 1999. Type 2 Diabetes Mellitus: Update on Diagnosis, Pathophysiology, and Treatment, The Journal of Clinical Endocrinology &amp; Metabolism, 84 (4): 1165 – 1171.

Mukhtar, Z., Haryuna, S.H., Effendy, E., Rambe, A.Y.M., Betty., dan Zahara, D., 2011. Desain Penelitian Klinis dan Statistika Kedokteran. Edisi Pertama. Medan: USU Press Art Design, Publishing & Printing.

Netter, F.H., 2003. Atlas of Human Anatomy, 4th edition. United States of

America: Saunders Elsevier, 16.

Notoatmodjo Soekidjo., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 35 – 185.

Notoatmodjo Soekidjo., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta.

Soto – Pedre, E., Hernaez – Ortega, M.C., Vázquez, J.A., 2009. Six-Year Retrospective Follow-Up Study of Safe Screening Intervals for Sight-Threatening Retinopathy in Patients with Diabetes Mellitus, Journal of Diabetes Science and Technology, 3 (4): 812 – 818.

Permana, H., 2008. Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada Diabetes, Padjadjaran University Medical School, 1 – 5.

Pramono, L.A., et.al, 2010. Prevalence and Predictors of Undiagnosed Diabetes Mellitus in Indonesia, 42 (4): 216 – 222.


(62)

Prevention of Blindness from Diabetes Mellitus., 2005. Report of a WHO Consultation in Geneva, Switzerland, 1-36. Available from:

https://www.iceh.org.uk/display/WEB/Prevention+of+blindness+from+di abetes+mellitus. [Accesed on 10 April 2011]

Ramanjit Sihota., 2007. Physiology of Eyes In: Ramanjit Sihota, Radhika Tandon.ed., Parsons’ Disease of The Eyes 20th ed. New Delhi. Elsevier

Saunders: 18 – 21.

_______________., 2007. The Causes and Prevention of Blindness In: Ramanjit Sihota, Radhika Tandon.ed., Parsons’ Disease of The Eyes 20th ed. New

Delhi. Elsevier Saunders: 523 – 536.

Reinauer, H., Home, P.D., Kanagasabapathy A.S., Heuck, C.C., 2002. Laboratory Diagnosis and Monitoring of Diabetes Mellitus, WHO, 5 – 23.

Resnikoff, S., et.al. 2004. Global data on visual impairment in the year 2002, Bulletin of the World Health Organization, 82 (11): 844 – 851.

Riaz, S. 2009. Diabetes mellitus, Scientific Research and Essay, 4 (5): 367 – 373. Rodgriguez – Fontal*, M., Kerrison, J.B., Alfaro D.V., Jablon, E.P., 2009.

Metabolic Control and Diabetic Retinopathy, Current Diabetes Reviews, 2009, 5, 3 – 7.

Sengϋl*, A., et.al. 2002. A Delayed Diagnosis in Type 2 Diabetes Retinopathy, Turkish Journal of Endocrinology and Metabolism, 1, 31 – 35.

Shaya, F.T., Aljawadi, M., 2007. Diabetic retinopathy: Clinical Ophthalmology, 1 (3): 259 – 265.


(63)

Sherwood, L., 2001. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2001: 708 – 717.

Shrestha, S., Malla, OK., Karki, DB., Byanju, RN., 2007. Retinopathy in a diabetic population, Kathmandu University Medical Journal, 5 (18): 204 – 209.

Silberman, N., Ahlrich, K., Fergus, R., Subramaniam, L., 2011. Case for Automated Detection of Diabetic Retinopathy, Association for the Advancement of Artificial Intelligence, 1 (1): 1 – 6.

Vaughan & Asbury., 2010. Oftalmologi Umum: Edisi ke 17. Jakarta EGC : 1 – 16. Villarroel, M., Ciudin, A., Hernández, C., Simó, R., 2010. Neurodegeneration: An

early event of diabetic retinopathy, World Journal of Diabetes, 1 (2): 57 – 64.

Wilardjo., 2001. Kebutaan sebagai akibat dari Retinopati Diabetik dan Upaya Pencegahannya, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1 – 35. Wahyuni, A.S., 2008. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS).

Jakarta: Bamboedoea Communication, 8 – 9.

Fouad, H., Mona A. Abdel Hamid, M.a., Abdel Azeem, A.A.,Hany M. Labib, H.M.,Khalaf, N.A., 2011. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Gene Insertion/Deletion Polymorphism and Diabetic Retinopathy in Patients with Type 2 Diabetes, Journal of American Science, 2011; 7 (3): 199 – 240.


(64)

Syamhudi, B., Bayi dari Ibu dengan Diabetes Mellitus, Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang, 2 – 4

Lim, K.E.A., Khaw, K.W., 2009. Audit of Diabetic Retinopathy Referrals to Penang Hospitals, A Tertiary Opthalmology Centre in Malaysia, Asian J Ophthalmol. 2009; 11: 17-9

Niazi, M.K., Akram, A., Naz, M.A., Awan, S., 2010. Duration of Diabetes as a Significant Factor for Retinopathy, Pak J Ophthalmol 2010, Vol. 26 No.4: 183 – 185

Epidemiologi retinopati diabetik di Bagian Ilmu Penyakit Mata, Majalah Kedokteran Andalas No. 2. Vol.26. Juli – Desember 2002: 49 – 53


(1)

81


(2)

(3)

83


(4)

(5)

85


(6)